Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang PT. KAI Commuter Jabodetabek

Kereta Api merupakan moda transportasi darat yang sering digunakan oleh masyarakat

perkotaan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada masa kini, terutama masyarakat yang

memiliki mobilitas yang tinggi dan tinggal di wilayah penyanggah disekitar wilayah perkotaan

(atau yang biasa disebut penglaju/commuter). Seiring dengan perkembangan teknologi

perkeretaapian di Indonesia, khusus kota Jakarta memiliki jalur kereta api listrik (KRL) yang

kemudian menghubungkan wilayah-wilayah di sekitar kota Jakarta (Bekasi, Bogor, Tangerang).

Elektrifikasi jalur kereta api di sekitaran Jakarta sudah dimulai pada masa penjajahan kolonial

Belanda yaitu pada tahun 1923 dengan rute Tanjung Priok-Meester Cornelis (Jatinegara). Pada

akhir tahun 2000, pelayanan kereta api listrik di Jakarta semakin berkembang dan terpadu serta

mulai menjangkau daerah-daerah perkotaan sekitar. Berdasarkan Inpres no.5 tahun 2005, maka

dibentuklah PT. KAI Commuter Jabodetabek (PT. KCJ) yang bertujuan untuk lebih meningkatkan

lagi pelayanan terhadap pengguna jasa kereta api khususnya kereta api listrik (KRL) dan

membantu pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan transportasi perkotaan yang semakin

kompleks. Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line sendiri adalah kereta api listrik yang

melayani rute/relasi: Jakarta-Bogor PP; Jakarta-Tanah Abang PP; Jakarta-Tangerang PP; Jakarta-

Bekasi PP; dan Jakarta-Serpong PP. Jam operasional kereta api listrik ini dimulai pada pukul 05:00

pagi dan berakhir pada pukul 24:00 malam. Pada akhir tahun 2013, PT. KAI Commuter Line

menghentikan operasional kereta api listrik ekonomi dan menggantinya dengan KRL AC.

Penghentian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kereta api kepada para

pengguna jasa KRL itu sendiri. Mayoritas kereta api listrik yang digunakan oleh PT. KAI

Commuter Jabodetabek saat ini adalah kereta api listrik buatan Jepang yang dioperasikan oleh
operator kereta api Jepang JR East dan sudah beroperasi selama lebih dari 20 tahun serta masih

layak pakai. Berdasarkan data dari PT. KAI Commuter Jabodetabek, setidaknya ada sekitar

575.000 pengguna tetap jasa kereta api listrik di Jakarta per harinya pada akhir tahun 2013. PT.

KAI Commuter Jabodetabek sendiri menargetkan pada tahun 2014 ini akan mengangkut sekitar

700.000 penumpang per harinya. Pengguna tetap Commuter Line sendiri kebanyakan adalah para

pekerja yang tinggal/bermukim di wilayah penyangga sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang

dan Bogor dan bekerja/berkantor di Jakarta. Alasan utama masyarakat masih menggunakan

transportasi kereta dikarenakan faktor biaya yang murah dan efisiensi waktu yang tinggi. Tiket

kereta api listrik Commuter Line murah dikarenakan mendapat subsidi/PSO (Public Service

Obligation) dari pemerintah pusat maupun daerah. Ketepatan waktu kedatangan kereta api sesuai

dengan jadwal juga menjadi faktor penentu masyarakat lebih memilih kereta api dikarenakan

kereta api menggunakan jalur tersendiri dan tanpa hambatan bila dibandingkan dengan moda

transportasi darat lainnya seperti bus (Trans Jakarta maupun bus kota lain), angkutan umum, dll

yang biasanya sering mengalami kemacetan di jalan.

1.2 Penerapan Gerbong Khusus Wanita

Gerbong Khusus Wanita mulai diterapkan pada awal tahun 2010 oleh PT. KAI Commuter

Jabodetabek dikarenakan animo pengguna jasa kereta Commuter Line khususnya para perempuan

sangat tinggi. Alasan lain diterapkannya gerbong khusus wanita adalah untuk mengurangi tindak

kejahatan seksual dan kekerasan fisik terhadap perempuan yang sering terjadi di moda transportasi

umum khususnya kereta api. Tingginya angka kejahatan seksual terhadap perempuan yang terjadi

di sarana transportasi umum akhir-akhir ini khususnya di kereta api listrik Commuter Line menjadi

acuan PT. KCJ untuk menerapkan kebijakan gerbong khusus wanita tersebut. Sebelum adanya
kebijakan penerapan gerbong khusus wanita tersebut, PT. KCJ memulainya dengan menjalankan

satu (1) rangkaian kereta khusus wanita pada setiap relasi perjalanan kereta api listrik Commuter

Line. Penerapan kereta khusus wanita ini dianggap tidak maksimal oleh PT. KCJ dikarenakan

kereta khusus tersebut hanya terisi pada jam-jam sibuk, sedangkan diluar itu selalu sepi

penumpang. PT. KCJ akhirnya meniadakan kereta khusus tersebut dan menggantinya dengan

kebijakan gerbong khusus wanita. Gerbong khusus perempuan sendiri terdapat pada setiap

rangkaian kereta api Commuter Line di setiap relasi. Setiap rangkaian kereta Commuter Line bisa

mengangkut sampai 8 gerbong. Posisi dari gerbong kereta khusus wanita itu sendiri ada di gerbong

pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang). Wacana penambahan gerbong khusus wanita

sedang dibahas oleh PT.KCJ selaku operator Commuter Line mengingat pertumbuhan pengguna

jasa kereta Commuter Line khususnya penumpang perempuan sangat tinggi serta menunggu

adanya perbaikan infrastruktur di setiap stasiun (penambahan panjang peron/emplasemen) dan

penambahan rangkaian gerbong kereta dengan mendatangkan kereta api listrik bekas dari Jepang.

Pembahasan

2.1 Petugas Keamanan Perempuan KA Commuter Line

Dalam setiap rangkaian kereta Commuter Line yang beroperasi pada seluruh relasi

Jabodetabek biasanya disiagakan petugas keamanan yang berjaga di setiap gerbong. Petugas

keamanan yang berjaga di setiap gerbongnya biasanya adalah petugas keamanan laki-laki.

Semenjak diberlakukannya kebijakan gerbong khusus wanita, terjadi perubahan formasi/susunan

petugas keamanan yang disiagakan di gerbong kereta Commuter Line. Petugas keamanan laki-laki
yang biasanya berjaga di gerbong pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang) dialihkan dan

kemudian ditempatkan mulai dari gerbong kedua sampai gerbong ketujuh. Sebagai gantinya,

gerbong khusus wanita yang berada di gerbong pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang)

akan disiagakan petugas keamanan perempuan. Petugas keamanan perempuan ini nantinya yang

akan berjaga disetiap gerbong khusus wanita Commuter Line dan petugas yang akan berjaga

berjumlah 1-2 orang disetiap gerbongnya. Tugas dari petugas keamanan perempuan tersebut

adalah untuk mengarahkan para penumpang perempuan untuk masuk ke dalam kereta api, menjaga

keamanan serta ketertiban di dalam gerbong khusus wanita.

2.2 Isu-Isu Ketidaksetaraan Gender yang Muncul

Selama ini masyarakat mengenal bahwa pekerjaan petugas keamanan umumnya dilakukan

oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh budaya Patriarki yang sudah secara turun temurun

dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Budaya Patriarki sudah melekat dalam adat budaya

setiap suku di Indonesia dan bahkan budaya Patriarki dapat kita temui dalam setiap ajaran agama

yang ada di Indonesia dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Patriarki yang

sudah lama menghinggapi setiap profesi pekerjaan dan melekat dalam benak pemikiran setiap

orang, kemudian membentuk sebuah pandangan bahwa bekerja sebagai petugas keamanan hanya

bisa dilakukan oleh laki-laki. Definisi dari “Patriarki” itu sendiri merupakan sebuah konsep bahwa

laki-laki memegang kekuasaan penuh atas semua peran penting dalam masyarakat (dalam bidang

pemerintahan, militer, pendidikan, industry, bisnis, kesehatan, agama) dan pada dasarnya kaum

perempuan hanya memiliki sedikit akses terhadap sumber kekuasaan tersebut dan cenderung

menguntungkan kaum laki-laki1. Pengaruh budaya patriarki yang kemudian menimbulkan persepsi

bahwa pekerjaan petugas keamanan membutuhkan suatu hal penting yaitu “maskulinitas” yang
hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Maskulinitas yang dimaksud merujuk pada sifat umum laki-

laki seperti bentuk tubuh yang kekar dan proporsional serta suara yang lantang dan cenderung

besar.

Seiring dengan berjalannya waktu, kaum perempuan mulai diberi kesempatan untuk

bekerja di sektor yang biasanya didominasi oleh kaum laki-laki seiring diterbitkannya Inpres No.9

tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional dan merujuk pada

UU No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang

mengharuskan adanya partisipasi kaum perempuan untuk ikut dalam proses pembangunan

nasional di segala sektor serta menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Kesempatan kerja yang

diperoleh seorang perempuan dengan bekerja sebagai petugas keamanan kereta api menunjukkan

bahwa kaum perempuan mulai melakukan perlawanan terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender

bahwa perempuan berhak bekerja dimana saja dan dalam berbagai bidang baik itu pekerjaan yang

bersifat formal maupun informal. Namun dalam praktiknya di lapangan, hal tersebut berbeda jauh

seperti apa yang diharapkan oleh para penggagas kesetaraan gender. Masih banyak ditemui hal-

hal yang kemudian bertujuan untuk mendiskriminasikan kaum perempuan yang berkeinginan

untuk bekerja demi menghidupi keluarga dengan tidak bergantung terhadap laki-laki, khususnya

dalam kasus petugas keamanan kereta api perempuan yang akan dibahas saat ini.

Permasalahan ketidaksetaraan gender yang muncul terkait profesi tersebut antara lain

adalah:

1. Kesetaraan dan keadilan yang diterima oleh petugas keamanan perempuan bila dibandingkan

dengan petugas keamanan laki-laki baik itu dalam hal pengupahan/gaji, peningkatan

kesejahteraan, serta jam operasional kerja. Banyak kasus yang terjadi pada dunia kerja yang

mendiskriminasikan kaum perempuan, seperti pembagian upah/gaji yang tidak sesuai dan
cenderung menguntungkan kaum laki-laki, pengeksploitasian secara maksimal terhadap usaha

perempuan dalam bekerja, maupun penerapan jam kerja ekstra diluar jam kerja tetap terhadap

kaum perempuan. Masalah-masalah tersebut seharusnya diselesaikan dengan menggunakan

perspektif dari perempuan itu sendiri, seperti sistem pemberian gaji/upah yang diterima oleh

setiap petugas keamanan perempuan maupun petugas keamanan laki-laki haruslah mengukur

dari index performa/kinerja yang ditunjukkan oleh setiap pekerja tanpa memandang jenis

kelamin. Pemberian upah/gaji berdasarkan kinerja sendiri bertujuan untuk meminimalisir

adanya kesenjangan yang terjadi antara petugas keamanan perempuan dan laki-laki. Pemberian

tunjangan/insentif terhadap para petugas keamanan perempuan juga diperlukan untuk

meningkatkan kesejahteraan dikarenakan kaum perempuan memiliki kebutuhan khusus yang

setiap saat harus dipenuhi. Jam operasional kerja yang disesuaikan juga menjadi hal penting

guna meningkatkan kinerja dari para petugas keamanan perempuan mengingat mayoritas dari

mereka sudah menikah/berkeluarga dan memiliki anak tanpa mengesampingkan peran mereka

sebagai seorang ibu yang juga mempunyai peran reproduksi. Penyesuaian jam operasional

kerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pembagian waktu kerja/shift dan

memprioritaskan para pekerja yang sudah menikah.

2. Perlunya persetujuan dari orang-orang terdekat (suami, orang tua maupun saudara) untuk

seorang perempuan menekuni profesi tersebut (petugas keamanan) yang notabene profesi ini

identik dengan laki-laki. Persetujuan ini diperlukan mengingat bahwa sebagian besar

masyarakat Indonesia masih belum bias menerima “konsep” perempuan yang menekuni

pekerjaan yang identik dengan laki-laki dan lingkungan pekerjaan yang mayoritas didominasi

oleh laki-laki. Masyarakat masih terbelenggu dengan budaya Patriarki yang mendominasi

keselurahan aspek-aspek kehidupan dari masyarakat itu sendiri. Hal ini kemudian yang akan
menjadi hambatan seorang perempuan untuk perkecimpung dalam dunia kerja dan tidak

mampu mengembangkan karirnya layaknya perempuan-perempuan lainnya di belahan dunia

lain dimana sebagian besar dari mereka tinggal di negara-negara yang sudah menjunjung tinggi

asas kesetaraan dan keadilan gender.

3. Kekhawatiran para petugas keamanan perempuan terhadap status kerja mereka sebagai pekerja

alih daya (outsourcing) akan berpengaruh buruk terhadap kinerja mereka sehingga

menyebabkan penurunan kinerja akibat tidak adanya kejelasan status kerja. Outsourcing

didefinisikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu

badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan

manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.

Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari

perusahaan induk kepada perusahaan lain diluar perusahaan induk. Outsourcing biasanya

dilakukan oleh perusahaan untuk menekan biaya produksi (cost of production). Dengan adanya

outsourcing ini, perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya

manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan tersebut. Dalam hal ini, PT.KAI melakukan

kerjasama dengan pihak penyedia jasa keamanan untuk menyediakan tenaga kerja keamanan

yang jumlah sudah disepakati dalam perjanjian kerjasama. Sebagian besar dari petugas

keamanan perempuan yang bekerja saat ini adalah pekerja alih daya (outsourcing) yang bekerja

dibawah sebuah perusahaan penyedia jasa keamanan. Di Indonesia sendiri tenaga kerja

outsourcing sendiri sering mengalami ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan tempat

mereka bekerja, seperti pemutusan hubungan kerja secara sepihak serta gaji/upah yang

belum/telat untuk dibayarkan. Ketidakjelasan status kerja inilah yang kemudian membuat para

perempuan berpikir ulang untuk bekerja sebagai petugas keamanan.


Pengangkatan sebagai pegawai tetap dibawah naungan PT. KAI merupakan salah satu solusi

untuk menyelesaikan masalah tersebut namun terhalang oleh minimnya anggaran yang

dimiliki PT. KAI serta pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti perawatan (maintenance)

sarana dan prasarana kereta api (perawatan gerbong dan lokomotif, perawatan rel dan

persinyalan, dll).

2.3 Peran Petugas Keamanan Perempuan dalam Peningkatan Keamanan KA Commuter

Line

Kebutuhan akan petugas keamanan kereta api sudah sangat mendesak dikarenakan

gerbong-gerbong khusus wanita akan mengalami pertambahan seiring dengan diberlakukannya

kebijakan penambahan gerbong kereta api listrik untuk kebutuhan operasional kereta api

Commuter Line. Penambahan gerbong khusus wanita disetiap rangkaian kereta api Commuter

Line ini guna mengantisipasi membludaknya penumpang perempuan yang tidak tertampung di

gerbong khusus wanita dan menghindari penggunaan gerbong regular oleh para penumpang

perempuan yang bertujuan sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual

terhadap perempuan yang sering terjadi di gerbong-gerbong reguler kereta api Commuter Line.

Petugas keamanan perempuan disiagakan untuk membantu menjalankan pengamanan di dalam

gerbong khusus wanita serta memberikan bantuan kepada para penumpang perempuan

berkebutuhan khusus (lansia, wanita hamil, pengguna kursi roda) yang menggunakan kereta api

Commuter Line. Kejahatan seksual terhadap perempuan bisa terjadi diwilayah privat dan public

dikarenakan adanya interaksi secara bebas antara perempuan dan laki-laki di ruang-ruang public

seperti mall, pasar, sekolah dan tidak terkecuali sarana transportasi umum seperti kereta api.

Pembatasan interaksi secara bebas antara perempuan dan laki-laki dengan menggunakan “sekat-
sekat” yang bertujuan untuk memisahkan area privat antara perempuan dan laki-laki dapat menjadi

sebuah langkah pencegahan terhadap kejahatan seksual, seperti kebijakan penerapan gerbong

khusus wanita di kereta api Commuter Line dan penambahan petugas keamanan perempuan di

gerbong khusus tersebut.

Penutup

3.1 Kesimpulan

Kebijakan PT.KCJ untuk menerapkan gerbong khusus wanita serta penambahan petugas

keamanan perempuan tidak serta merta tanpa sebuah alasan. Meningkatnya angka pelecehan serta

kejahatan seksual yang terjadi terhadap penumpang perempuan di gerbong-gerbong regular kereta

api Commuter Line menjadi alasan utama penerapan kebijakan tersebut. Selain penerapan gerbong

khusus wanita, PT. KCJ juga menyiagakan petugas keamanan perempuan untuk melakukan

pengamanan di dalam gerbong khusus wanita. Petugas keamana perempuan ini diharapkan untuk

dapat berperan sebagai “ujung tombak” dalam pemberantasan kejahatan/pelecehan seksual

terhadap perempuan di dalam kereta api Commuter Line. Namun, dalam pelaksanaannya

penempatan petugas keamanan perempuan di gerbong khusus tersebut mengalami banyak kendala,

salah satunya adalah kurangnya jumlah personil petugas keamanan perempuan yang dimiliki oleh

PT.KCJ itu sendiri. Hal ini disebabkan masih banyak perempuan di Indonesia yang menganggap

rendah profesi petugas keamanan apalagi jika profesi tersebut ditekuni oleh perempuan yang

notabene dipandang lemah dalam segala hal. Bagi para perempuan yang berniat untuk menekuni

profesi tersebut juga sedikit mengalami kendala terkait adanya kasus-kasus diskriminasi terhadap

perempuan di dunia kerja. Diskriminasi inilah yang kemudian berkembang menjadi isu-isu
ketidaksetaraan gender dikarenakan permasalahan tersebut menjadi sangat kompleks dan menjadi

perdebatan diantara masyarakat Indonesia yang kebanyakan dari mereka masih menganut mindset

dari budaya Patriarki itu sendiri. Seiring dengan perkembangan zaman, diharapkan adanya

perubahan mindset dari masyarakat terhadap perempuan yang memilih untuk bekerja daripada

menjadi ibu rumah tangga. Perubahan mindset ini diperlukan agar para wanita dapat memahami

hak-hak mereka terutama hak mereka untuk mendapat pekerjaan layak. Permasalahan-

permasalahan yang sifatnya substantif inilah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi PT. KCJ

dalam merekrut calon-calon petugas keamanan perempuan dengan tidak mengesampingkan

kebutuhan-kebutuhan khususnya serta menjunjung tinggi hak-hak mereka sebagai seorang

perempuan.

3.2 Rekomendasi

Perekrutan terhadap tenaga-tenaga pengamanan khususnya petugas keamanan perempuan

yang bertugas mengamankan gerbong khusus perempuan yang dilakukan oleh PT.KCJ harus

memperhatikan berbagai macam aspek, seperti syarat-syarat fisik maupun non fisik (kemampuan

dan pengalaman). Kedua hal ini harus menjadi prioritas utama dan menjadi tolak ukur dalam

pelaksanaan perekrutan calon-calon pegawai PT. KCJ. Hal lainnya yang harus menjadi perhatian

PT. KCJ selaku operator Commuter Line dalam melakukan perekrutan terhadap calon petugas

keamanan kereta perempuan adalah dengan menerapkan prinsip kesetaraan yang kemudian

diterapkan dalam operasional pekerjaan, seperti kesetaraan dalam penerimaan upah/gaji antara

petugas laki-laki maupun perempuan serta pemberian insentif-insentif khusus terhadap petugas

perempuan untuk mendorong kinerja agar semakin meningkat.


DAFTAR PUSTAKA

Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://www.krl.co.id/sekilas-krl.html diakses pada tanggal 4 Januari 2014 pukul 23:51

http://koran-sindo.com/node/315108 diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 22:00

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36075/4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal

6 Januari 2014 pukul 13:35

http://www.shalimow.com/aneka-bisnis/urgensi-gerbong-kereta-khusus-perempuan-upaya-

mengurangi-pelecehan-sexual-pada-perempuan.html diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul

8:47

Anda mungkin juga menyukai