Peran Petugas Keamanan Kereta Api Security in Trains Perempuan Dalam Peningkatan Keamanan Dan Pelayanan Kereta Api Commuter Line
Peran Petugas Keamanan Kereta Api Security in Trains Perempuan Dalam Peningkatan Keamanan Dan Pelayanan Kereta Api Commuter Line
Kereta Api merupakan moda transportasi darat yang sering digunakan oleh masyarakat
perkotaan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa pada masa kini, terutama masyarakat yang
memiliki mobilitas yang tinggi dan tinggal di wilayah penyanggah disekitar wilayah perkotaan
perkeretaapian di Indonesia, khusus kota Jakarta memiliki jalur kereta api listrik (KRL) yang
Elektrifikasi jalur kereta api di sekitaran Jakarta sudah dimulai pada masa penjajahan kolonial
Belanda yaitu pada tahun 1923 dengan rute Tanjung Priok-Meester Cornelis (Jatinegara). Pada
akhir tahun 2000, pelayanan kereta api listrik di Jakarta semakin berkembang dan terpadu serta
mulai menjangkau daerah-daerah perkotaan sekitar. Berdasarkan Inpres no.5 tahun 2005, maka
dibentuklah PT. KAI Commuter Jabodetabek (PT. KCJ) yang bertujuan untuk lebih meningkatkan
lagi pelayanan terhadap pengguna jasa kereta api khususnya kereta api listrik (KRL) dan
membantu pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan transportasi perkotaan yang semakin
kompleks. Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line sendiri adalah kereta api listrik yang
melayani rute/relasi: Jakarta-Bogor PP; Jakarta-Tanah Abang PP; Jakarta-Tangerang PP; Jakarta-
Bekasi PP; dan Jakarta-Serpong PP. Jam operasional kereta api listrik ini dimulai pada pukul 05:00
pagi dan berakhir pada pukul 24:00 malam. Pada akhir tahun 2013, PT. KAI Commuter Line
menghentikan operasional kereta api listrik ekonomi dan menggantinya dengan KRL AC.
Penghentian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kereta api kepada para
pengguna jasa KRL itu sendiri. Mayoritas kereta api listrik yang digunakan oleh PT. KAI
Commuter Jabodetabek saat ini adalah kereta api listrik buatan Jepang yang dioperasikan oleh
operator kereta api Jepang JR East dan sudah beroperasi selama lebih dari 20 tahun serta masih
layak pakai. Berdasarkan data dari PT. KAI Commuter Jabodetabek, setidaknya ada sekitar
575.000 pengguna tetap jasa kereta api listrik di Jakarta per harinya pada akhir tahun 2013. PT.
KAI Commuter Jabodetabek sendiri menargetkan pada tahun 2014 ini akan mengangkut sekitar
700.000 penumpang per harinya. Pengguna tetap Commuter Line sendiri kebanyakan adalah para
pekerja yang tinggal/bermukim di wilayah penyangga sekitar Jakarta seperti Bekasi, Tangerang
dan Bogor dan bekerja/berkantor di Jakarta. Alasan utama masyarakat masih menggunakan
transportasi kereta dikarenakan faktor biaya yang murah dan efisiensi waktu yang tinggi. Tiket
kereta api listrik Commuter Line murah dikarenakan mendapat subsidi/PSO (Public Service
Obligation) dari pemerintah pusat maupun daerah. Ketepatan waktu kedatangan kereta api sesuai
dengan jadwal juga menjadi faktor penentu masyarakat lebih memilih kereta api dikarenakan
kereta api menggunakan jalur tersendiri dan tanpa hambatan bila dibandingkan dengan moda
transportasi darat lainnya seperti bus (Trans Jakarta maupun bus kota lain), angkutan umum, dll
Gerbong Khusus Wanita mulai diterapkan pada awal tahun 2010 oleh PT. KAI Commuter
Jabodetabek dikarenakan animo pengguna jasa kereta Commuter Line khususnya para perempuan
sangat tinggi. Alasan lain diterapkannya gerbong khusus wanita adalah untuk mengurangi tindak
kejahatan seksual dan kekerasan fisik terhadap perempuan yang sering terjadi di moda transportasi
umum khususnya kereta api. Tingginya angka kejahatan seksual terhadap perempuan yang terjadi
di sarana transportasi umum akhir-akhir ini khususnya di kereta api listrik Commuter Line menjadi
acuan PT. KCJ untuk menerapkan kebijakan gerbong khusus wanita tersebut. Sebelum adanya
kebijakan penerapan gerbong khusus wanita tersebut, PT. KCJ memulainya dengan menjalankan
satu (1) rangkaian kereta khusus wanita pada setiap relasi perjalanan kereta api listrik Commuter
Line. Penerapan kereta khusus wanita ini dianggap tidak maksimal oleh PT. KCJ dikarenakan
kereta khusus tersebut hanya terisi pada jam-jam sibuk, sedangkan diluar itu selalu sepi
penumpang. PT. KCJ akhirnya meniadakan kereta khusus tersebut dan menggantinya dengan
kebijakan gerbong khusus wanita. Gerbong khusus perempuan sendiri terdapat pada setiap
rangkaian kereta api Commuter Line di setiap relasi. Setiap rangkaian kereta Commuter Line bisa
mengangkut sampai 8 gerbong. Posisi dari gerbong kereta khusus wanita itu sendiri ada di gerbong
pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang). Wacana penambahan gerbong khusus wanita
sedang dibahas oleh PT.KCJ selaku operator Commuter Line mengingat pertumbuhan pengguna
jasa kereta Commuter Line khususnya penumpang perempuan sangat tinggi serta menunggu
penambahan rangkaian gerbong kereta dengan mendatangkan kereta api listrik bekas dari Jepang.
Pembahasan
Dalam setiap rangkaian kereta Commuter Line yang beroperasi pada seluruh relasi
Jabodetabek biasanya disiagakan petugas keamanan yang berjaga di setiap gerbong. Petugas
keamanan yang berjaga di setiap gerbongnya biasanya adalah petugas keamanan laki-laki.
petugas keamanan yang disiagakan di gerbong kereta Commuter Line. Petugas keamanan laki-laki
yang biasanya berjaga di gerbong pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang) dialihkan dan
kemudian ditempatkan mulai dari gerbong kedua sampai gerbong ketujuh. Sebagai gantinya,
gerbong khusus wanita yang berada di gerbong pertama (depan) dan gerbong delapan (belakang)
akan disiagakan petugas keamanan perempuan. Petugas keamanan perempuan ini nantinya yang
akan berjaga disetiap gerbong khusus wanita Commuter Line dan petugas yang akan berjaga
berjumlah 1-2 orang disetiap gerbongnya. Tugas dari petugas keamanan perempuan tersebut
adalah untuk mengarahkan para penumpang perempuan untuk masuk ke dalam kereta api, menjaga
Selama ini masyarakat mengenal bahwa pekerjaan petugas keamanan umumnya dilakukan
oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh budaya Patriarki yang sudah secara turun temurun
dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Budaya Patriarki sudah melekat dalam adat budaya
setiap suku di Indonesia dan bahkan budaya Patriarki dapat kita temui dalam setiap ajaran agama
yang ada di Indonesia dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Patriarki yang
sudah lama menghinggapi setiap profesi pekerjaan dan melekat dalam benak pemikiran setiap
orang, kemudian membentuk sebuah pandangan bahwa bekerja sebagai petugas keamanan hanya
bisa dilakukan oleh laki-laki. Definisi dari “Patriarki” itu sendiri merupakan sebuah konsep bahwa
laki-laki memegang kekuasaan penuh atas semua peran penting dalam masyarakat (dalam bidang
pemerintahan, militer, pendidikan, industry, bisnis, kesehatan, agama) dan pada dasarnya kaum
perempuan hanya memiliki sedikit akses terhadap sumber kekuasaan tersebut dan cenderung
menguntungkan kaum laki-laki1. Pengaruh budaya patriarki yang kemudian menimbulkan persepsi
bahwa pekerjaan petugas keamanan membutuhkan suatu hal penting yaitu “maskulinitas” yang
hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Maskulinitas yang dimaksud merujuk pada sifat umum laki-
laki seperti bentuk tubuh yang kekar dan proporsional serta suara yang lantang dan cenderung
besar.
Seiring dengan berjalannya waktu, kaum perempuan mulai diberi kesempatan untuk
bekerja di sektor yang biasanya didominasi oleh kaum laki-laki seiring diterbitkannya Inpres No.9
tahun 2009 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional dan merujuk pada
UU No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang
mengharuskan adanya partisipasi kaum perempuan untuk ikut dalam proses pembangunan
nasional di segala sektor serta menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Kesempatan kerja yang
diperoleh seorang perempuan dengan bekerja sebagai petugas keamanan kereta api menunjukkan
bahwa kaum perempuan mulai melakukan perlawanan terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender
bahwa perempuan berhak bekerja dimana saja dan dalam berbagai bidang baik itu pekerjaan yang
bersifat formal maupun informal. Namun dalam praktiknya di lapangan, hal tersebut berbeda jauh
seperti apa yang diharapkan oleh para penggagas kesetaraan gender. Masih banyak ditemui hal-
hal yang kemudian bertujuan untuk mendiskriminasikan kaum perempuan yang berkeinginan
untuk bekerja demi menghidupi keluarga dengan tidak bergantung terhadap laki-laki, khususnya
dalam kasus petugas keamanan kereta api perempuan yang akan dibahas saat ini.
Permasalahan ketidaksetaraan gender yang muncul terkait profesi tersebut antara lain
adalah:
1. Kesetaraan dan keadilan yang diterima oleh petugas keamanan perempuan bila dibandingkan
dengan petugas keamanan laki-laki baik itu dalam hal pengupahan/gaji, peningkatan
kesejahteraan, serta jam operasional kerja. Banyak kasus yang terjadi pada dunia kerja yang
mendiskriminasikan kaum perempuan, seperti pembagian upah/gaji yang tidak sesuai dan
cenderung menguntungkan kaum laki-laki, pengeksploitasian secara maksimal terhadap usaha
perempuan dalam bekerja, maupun penerapan jam kerja ekstra diluar jam kerja tetap terhadap
perspektif dari perempuan itu sendiri, seperti sistem pemberian gaji/upah yang diterima oleh
setiap petugas keamanan perempuan maupun petugas keamanan laki-laki haruslah mengukur
dari index performa/kinerja yang ditunjukkan oleh setiap pekerja tanpa memandang jenis
adanya kesenjangan yang terjadi antara petugas keamanan perempuan dan laki-laki. Pemberian
setiap saat harus dipenuhi. Jam operasional kerja yang disesuaikan juga menjadi hal penting
guna meningkatkan kinerja dari para petugas keamanan perempuan mengingat mayoritas dari
mereka sudah menikah/berkeluarga dan memiliki anak tanpa mengesampingkan peran mereka
sebagai seorang ibu yang juga mempunyai peran reproduksi. Penyesuaian jam operasional
kerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pembagian waktu kerja/shift dan
2. Perlunya persetujuan dari orang-orang terdekat (suami, orang tua maupun saudara) untuk
seorang perempuan menekuni profesi tersebut (petugas keamanan) yang notabene profesi ini
identik dengan laki-laki. Persetujuan ini diperlukan mengingat bahwa sebagian besar
masyarakat Indonesia masih belum bias menerima “konsep” perempuan yang menekuni
pekerjaan yang identik dengan laki-laki dan lingkungan pekerjaan yang mayoritas didominasi
oleh laki-laki. Masyarakat masih terbelenggu dengan budaya Patriarki yang mendominasi
keselurahan aspek-aspek kehidupan dari masyarakat itu sendiri. Hal ini kemudian yang akan
menjadi hambatan seorang perempuan untuk perkecimpung dalam dunia kerja dan tidak
lain dimana sebagian besar dari mereka tinggal di negara-negara yang sudah menjunjung tinggi
3. Kekhawatiran para petugas keamanan perempuan terhadap status kerja mereka sebagai pekerja
alih daya (outsourcing) akan berpengaruh buruk terhadap kinerja mereka sehingga
menyebabkan penurunan kinerja akibat tidak adanya kejelasan status kerja. Outsourcing
didefinisikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu
badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan
manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari
perusahaan induk kepada perusahaan lain diluar perusahaan induk. Outsourcing biasanya
dilakukan oleh perusahaan untuk menekan biaya produksi (cost of production). Dengan adanya
outsourcing ini, perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya
manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan tersebut. Dalam hal ini, PT.KAI melakukan
kerjasama dengan pihak penyedia jasa keamanan untuk menyediakan tenaga kerja keamanan
yang jumlah sudah disepakati dalam perjanjian kerjasama. Sebagian besar dari petugas
keamanan perempuan yang bekerja saat ini adalah pekerja alih daya (outsourcing) yang bekerja
dibawah sebuah perusahaan penyedia jasa keamanan. Di Indonesia sendiri tenaga kerja
outsourcing sendiri sering mengalami ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan tempat
mereka bekerja, seperti pemutusan hubungan kerja secara sepihak serta gaji/upah yang
belum/telat untuk dibayarkan. Ketidakjelasan status kerja inilah yang kemudian membuat para
untuk menyelesaikan masalah tersebut namun terhalang oleh minimnya anggaran yang
sarana dan prasarana kereta api (perawatan gerbong dan lokomotif, perawatan rel dan
persinyalan, dll).
Line
Kebutuhan akan petugas keamanan kereta api sudah sangat mendesak dikarenakan
kebijakan penambahan gerbong kereta api listrik untuk kebutuhan operasional kereta api
Commuter Line. Penambahan gerbong khusus wanita disetiap rangkaian kereta api Commuter
Line ini guna mengantisipasi membludaknya penumpang perempuan yang tidak tertampung di
gerbong khusus wanita dan menghindari penggunaan gerbong regular oleh para penumpang
perempuan yang bertujuan sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual
terhadap perempuan yang sering terjadi di gerbong-gerbong reguler kereta api Commuter Line.
gerbong khusus wanita serta memberikan bantuan kepada para penumpang perempuan
berkebutuhan khusus (lansia, wanita hamil, pengguna kursi roda) yang menggunakan kereta api
Commuter Line. Kejahatan seksual terhadap perempuan bisa terjadi diwilayah privat dan public
dikarenakan adanya interaksi secara bebas antara perempuan dan laki-laki di ruang-ruang public
seperti mall, pasar, sekolah dan tidak terkecuali sarana transportasi umum seperti kereta api.
Pembatasan interaksi secara bebas antara perempuan dan laki-laki dengan menggunakan “sekat-
sekat” yang bertujuan untuk memisahkan area privat antara perempuan dan laki-laki dapat menjadi
sebuah langkah pencegahan terhadap kejahatan seksual, seperti kebijakan penerapan gerbong
khusus wanita di kereta api Commuter Line dan penambahan petugas keamanan perempuan di
Penutup
3.1 Kesimpulan
Kebijakan PT.KCJ untuk menerapkan gerbong khusus wanita serta penambahan petugas
keamanan perempuan tidak serta merta tanpa sebuah alasan. Meningkatnya angka pelecehan serta
kejahatan seksual yang terjadi terhadap penumpang perempuan di gerbong-gerbong regular kereta
api Commuter Line menjadi alasan utama penerapan kebijakan tersebut. Selain penerapan gerbong
khusus wanita, PT. KCJ juga menyiagakan petugas keamanan perempuan untuk melakukan
pengamanan di dalam gerbong khusus wanita. Petugas keamana perempuan ini diharapkan untuk
terhadap perempuan di dalam kereta api Commuter Line. Namun, dalam pelaksanaannya
penempatan petugas keamanan perempuan di gerbong khusus tersebut mengalami banyak kendala,
salah satunya adalah kurangnya jumlah personil petugas keamanan perempuan yang dimiliki oleh
PT.KCJ itu sendiri. Hal ini disebabkan masih banyak perempuan di Indonesia yang menganggap
rendah profesi petugas keamanan apalagi jika profesi tersebut ditekuni oleh perempuan yang
notabene dipandang lemah dalam segala hal. Bagi para perempuan yang berniat untuk menekuni
profesi tersebut juga sedikit mengalami kendala terkait adanya kasus-kasus diskriminasi terhadap
perempuan di dunia kerja. Diskriminasi inilah yang kemudian berkembang menjadi isu-isu
ketidaksetaraan gender dikarenakan permasalahan tersebut menjadi sangat kompleks dan menjadi
perdebatan diantara masyarakat Indonesia yang kebanyakan dari mereka masih menganut mindset
dari budaya Patriarki itu sendiri. Seiring dengan perkembangan zaman, diharapkan adanya
perubahan mindset dari masyarakat terhadap perempuan yang memilih untuk bekerja daripada
menjadi ibu rumah tangga. Perubahan mindset ini diperlukan agar para wanita dapat memahami
hak-hak mereka terutama hak mereka untuk mendapat pekerjaan layak. Permasalahan-
permasalahan yang sifatnya substantif inilah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi PT. KCJ
perempuan.
3.2 Rekomendasi
yang bertugas mengamankan gerbong khusus perempuan yang dilakukan oleh PT.KCJ harus
memperhatikan berbagai macam aspek, seperti syarat-syarat fisik maupun non fisik (kemampuan
dan pengalaman). Kedua hal ini harus menjadi prioritas utama dan menjadi tolak ukur dalam
pelaksanaan perekrutan calon-calon pegawai PT. KCJ. Hal lainnya yang harus menjadi perhatian
PT. KCJ selaku operator Commuter Line dalam melakukan perekrutan terhadap calon petugas
keamanan kereta perempuan adalah dengan menerapkan prinsip kesetaraan yang kemudian
diterapkan dalam operasional pekerjaan, seperti kesetaraan dalam penerimaan upah/gaji antara
petugas laki-laki maupun perempuan serta pemberian insentif-insentif khusus terhadap petugas
Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://www.shalimow.com/aneka-bisnis/urgensi-gerbong-kereta-khusus-perempuan-upaya-
8:47