Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO III


‘ KORBAN KDRT ’

KELOMPOK A1

JOHANNES EPHAN B. K. G0012101


SYARIF HIDAYATULLAH G0012221
ALFIAN SATRIA W. G0012011
ILHAM RAMADHAN G0012095
KENNY ADHITYA G0012105
YOLANDA RAVENIA G0012235
RESTI NURFADILLAH G0012177
FATMANISA LAILA G0012077
ANIKI PUSPITA G0012017
FENTI ENDRIYANI G0012079
SABILA FATIMAH G0012199
ADHIZTI NALURIANNISA E. N. G0012003

NAMA TUTOR :
DIAH KURNIA MIRAWATI, dr.,Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO III

‘KENAPA PERUTKU SAKIT SETELAH MAKAN’

Seorang laki – laki berusia 40 tahun diantar oleh keluarganya ke Instalasi Gawat
Darurat (IGD) Rumah Sakit. Dari anamnesis didapatkan nyeri perut mual, muntah, nyeri
kepala, mulut terasa terbakar dan terasa seperti logam, sesak nafas, terjadi 1 jam setelah
makan masakan ikan tuna dan minum minuman keras yang dibeli dari warung makan dekat
rumahnya.

Pemeriksaan fisik didapatkan kondisi delirium, tekanan darah 80/60 mmHg, nadi 120x/menit,
isi dan tekanan kurang, laju respirasi 28 kali permenit serta suhu 36,9oC, dengan rash
eritematosus di wajah dan dada, wheezing pada auskultasi paru disertai akral yang mulai
dingin. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 12 gr%, hematokrit 40%,
leukosit 10.600/uL, trombosit 375.000/uL, ureum 43mg/dL, kreatinin 1,3mg/dL, saturasi
oksigen 90%, natrium 130 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L. Saat di IGD diberikan terapi
oksigenisasi nasal kanul 3 lpm, infus Ringer Laktat tetesan cepat, injeksi adrenalin, dan
injeksi difenhidramin intravena 1 ampul, inhalasi Salbutamol dan arang aktif. Pasien
selanjutnya diputuskan untuk rawat inap.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Seven Jump

1. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam


scenario

a. Oksigenisasi nasal kanul adalah pemberian oksigen dengan alat yang dimasukan
melalui hidung dengan kecepatan 1-6 liter per menit, saturasi 22-24%
b. Arang aktif adalah suatu zat kimia berupa karbon dalam bentuk serbuk atau tablet
yang berfungsi untuk menyerap racun

2. Langkah II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
a. Apa hubungan keluhan dengan makan ikan tuna dan minum minuman keras?
b. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?
c. Mengapa di IGD diberikan terapi seperti yang disebutkan dalam skenario?
d. Hubungan 1 jam setelah makan dengan munculya keluhan seperti dalam skenario?
e. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan Lab?
f. Apa saja kondisi kedaruratan yang dialami pasien?
g. Bagaimana pengaruh tatalaksana pada kondisi pasien?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat penyataan sementara


mengenai permasalahan
a. Riwayat pasien
1) Makan tuna
Keracunan histamin merupakan salah satu bentuk keracunan yang paling umum
yang terjadi sehubungan dengan konsumsi ikan Manifestasi yang muncul mirip
dengan reaksi alergi namun sebenarnya manifestasi yang muncul disebabkan
karena racun yang dihasilkan bakteri yang hidup di dalam jaringan tubuh ikan.
Gejala yang dapat muncul pada keracunan ringan adalah munculnya ruam, kulit
kemerahan, rasa terbakar, dan muka merah. Keracunan sedang ditandai dengan
gejala kulit kemerahan yang persisten, urtikaria, takikardia, sakit kepala, ansietas,
mual, muntah, dan diare. Sedangkan pada keracuan berat gejala yang dapat muncul
adalah adanya hipotensi, bronkospasme, angioderma, gangguan pada saluran nafas,
dan bisa mengalami gagal nafas.

Jenis ikan yang biasanya menyebabkan keracunan histamin adalah ikan famili
scombroidae seperti ikan tuna, ikan makarel, ikan tongkol, ikan marlin, dan hampir
100 spesies lainnya. Karena berasal dari ikan famili scombroidae maka racun yang
dihasilkan disebut dengan skombrotoksin atau disebut juga racun histamin.
Skombrotoksin dapat menyebabkan keracunan ketika seseorang mengkonsumsi
ikan yang telah terbentuk histamin pada tubuhnya. Keracunan histamin berkaitan
langsung dengan proses penanganan ikan yang tidak benar setelah ditangkap
seperti ikan yang sudah tidak segar lagi dan ikan tidak segera dibekukan. Ikan
seharusnya didinginkan setelah ditangkap agar suhu internalnya mencapai 50oF
(10oC) dalam waktu 6 jam setelah ikan ditangkap. Setelah itu, jika tidak langsung
diolah, ikan harus disimpan dalam suhu dibawah 40oF (<4,4oC). Apabila ikan tidak
didinginkan dengan benar maka amina biogenik seperti histamin dapat dibentuk di
dalam tubuh ikan. Amina biogenik tersebut akan meningkat jika diletakkan terlalu
lama pada air atau tidak segera didinginkan. Pembentukan histamin berasal dari
histidin yang secara alami terdapat pada semua spesies ikan famili scombroidae.
Bakteri yang hadir dalam usus dan insang ikan (Morganella morganii, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae,Proteus vulgaris, Hafnia alvei, Enterobacter
aerogenes, Citrobactor freundii, Aerobacter spp., Serratia spp.) memiliki enzim
histidine decarboxylase yang dapat merubah asam amino histidin pada ikan
menjadi histamin pada kondisi hangat (maksimum produksi histamin yang tercatat
pada suhu 20 – 30oC.

Histidin pada jenis ikan tertentu jumlahnya lebih besar sehingga meningkatkan
kemungkinan histamin yang terbentuk akan lebih cepat selama penanganan dan
penyimpanan yang tidak tepat. Setelah histamin terbentuk, tidak akan hilang
selama ikan dibersihkan atau dimasak. Demikian juga, pembekuan tidak akan
mengurangi atau merusak histamin tersebut. Penanganan ikan yang segera setelah
ditangkap adalah satu-satunya cara untuk mencegah terbentuknya histamin.

Kandungan histamin pada ikan segar/sehat adalah kurang dari 0,1 mg/gram ikan,
sedangkan bila ikan diletakkan pada suhu kamar, histamin akan meningkat dengan
cepat mencapai 1 mg/gram ikan dalam waktu 24 jam. Histamin tidak
membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/100 g ikan.
Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, keracunan
histamin akan timbul jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan
histamin 50 mg/100 g ikan. Ikan dengan kandungan histamin lebih dari 20 mg/100
g ikan sudah tidak boleh dikonsumsi.

2) Minum alkohol
Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan langsung diserap dan menyebar ke
organ-organ tubuh melalui aliran darah, dan sisanya masuk ke saluran pencernaan,
mulai dari kerongkongan, lambung, sampai ke usus untuk dialirkan ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Jantung akan memompa darah bercampur alkohol
ini ke seluruh bagian tubuh, sampai ke otak. Baru terakhir, hati (liver) akan
membakar atau menghancurkan alkohol dibantu dengan enzim khusus untuk
dikeluarkan melalui air seni dan keringat.
Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak, ini terjadi
karena penghambatan atau penekanan saraf perangsangan. Sejak lama diduga efek
depresi alcohol pada SSP berdasarkan kelarutannya dalam membran lipid. Efek
alkohol terhadap berbagai saraf berbeda karena perbedaan distribusi fosfolipid dan
kolesterol di membran tidak seragam. Data eksperimental menyokong dugaan
mekanisme kerja alcohol di SSP serupa barbiturate.
Etanol adalah bahan cairan yang telah lama digunakan sebagai obat dan merupakan
bentuk alkohol yang terdapat dalam minuman keras seperti bir, anggur, wiskey
maupun minuman lainnya. Etanol merupakan cairan yang jernih tidak berwarna,
terasa membakar pada mulut maupun tenggorokan bila ditelan. Etanol mudah
sekali larut dalam air dan sangat potensial untuk menghambat sistem saraf pusat
terutama dalam aktifitas sistem retikular. Aktifitas dari etanol sangat kuat dan
setara dengan bahan anastetik umum. Pada konsentrasi 5 – 10% etanol memblok
kemampuan neuron dalam impuls listrik, konsentrasi tersebut jauh lebih tinggi
daripada konsentrasi etanol dalam sistem saraf pusat secara invivo. Pengaruh
etanol pada sistem saraf pusat berbanding langsung dengan konsentrasi etanol
dalam darah. Daerah otak yang dihambat pertama kali ialah sistem retikuler aktif.
Hal tersebut menyebabkan terganggunya sistem motorik dan kemampuan dalam
berpikir. Disamping itu pengaruh hambatan pada daerah serebral kortek
mengakibatkan terjadinya kelainan tingkah laku. Gangguan kelainan tingkah laku
ini bergantung pada individu, tetapi pada umumnya penderita turun daya ingatnya.
Gangguan pada sistem saraf pusat ini sangat bervariasi biasanya berurutan dari
bagian kortek yang terganggu dan merambat ke bagian medula.
3) Keracunan yang terjadi pada pasien
Selain keracunan ikan ada juga kemungkinan lain penyebab munculnya keluhan
pada pasien terkait dengan konsumsi ikan tuna yaitu terjadinya reaksi anafilaktik.
Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi
alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan
respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga
menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik. Dalam sekenario ini pasien
kemungkinan mengalami syok anafilaktik dilihat dari hasil pemeriksaan fisik dan
labnya dimana pasien mengalami hipotensi,takikardi, dan berbagai manifestasi
syok lainnya.
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem
pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan
pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian
terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya,
alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen
antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari
granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis
SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin.
Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine
(SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus
menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.

b. Patofisiologi keluhan pasien


1) Nyeri perut
2) Nyeri perut terjadi akibat histamin meningkatan ambang batas rangsang nyeri
perut dan peningkatan peristaltik usus. Mual dan muntah
Mual muntah dapat terjadi karena histamin yang dikandung oleh ikan yang
dikonsumsi oleh pasien berikatan dengan reseptor H2 sehingga merangsang
refleks muntah.
3) Nyeri kepala
Nyeri kepala yang dialami pasien kemungkinan merupakan efek dari alkohol
yang dikonsumsi sebelumnya.
4) Mulut terasa seperti terbakar dan berbau logam
Adanya rasa mulut terbakar dan rasa seperti logam biasa terjadi pada kondisi
keracunan logam seperti merkuri dari tubuh ikan yang terkontaminasi dan
kasus ini sering terjadi pada kasus dimana seseorang mengkonsumsi ikan jenis
scombrid, seperti ikan tuna, sarden, dsb.
Mulut terasa terbakar juga bisa diakibatkan oleh adanya refluks HCL pada
lambung.
5) Sesak napas
Pada kasus keracunan, sesak nafas dapat terjadi dikarenakan adanya
mekanisme pertahanan pada mukosa saluran nafas dengan mengeluarkan
lendir yang akhirnya dapat menghambat jalan nafas.
Selain itu, sesak napas pada pasien juga bisa disebabkan karena efek histamin
pada bronkus yaitu terjadinya bronkospasme
c. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik
Tekanan darah pasien didapatkan 80/60 mmHg, pasien mengalami hipotensi. Hal
ini merupakan tanda syok hipovolemik dan konsumsi histamin yang
mengakibatkan vasodilatasi vena, vasokontrsiksi arteri kecil, dan kebocoran
plasma.

Denyut nadi pasien 120x/menit, yang berarti pasien mengalami takikardi akibat
menempelnya histamin pada reseptor histamin yang terdapat pada otot jantung. RR
pasien 28x/menit, pasien mengalami takipneu yang diakibatka oleh sifat
bronkospasme dari histamin. Rash eritemtous pada kulit pasien diakibatkan oleh
adanya histamin yang mempunyai efek vasodilatasi pada pembuluh darah
superfisial. Sesak nafas dan adanya wheezing pada pemeriksaan paru diakibatkan
oleh sifar bronkospasme dari histamin.

4. Langkah VI : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan


sementara mengenai permasalahan pada Langkah III.
Karena keterbatasan waktu, pada pertemuan pertama tidak dilakukan
inventarisasi permasalahan secara sistematis. Kelompok langsung membahas
permasalahan yang bisa dijawab pada pertemuan pertama.
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran.
Semua pertanyaan yang diajukan pada pertemuan pertama dijadikan tujuan
pembelajaran pada diskusi tutorial ini.
6. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru
Pencarian informasi baru mengenai hal-hal yang masih belum terbahas di
pertemuan pertama dilakukan di luar kegiatan diskusi tutorial.
7. Langkah VII : Melaporkan, membahas dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
a) Interpretasi hasil pemeriksaan lab
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ureum pasien. Hal ini
mengarah pada kerusakan pre renal. Kadar kalium dan natrium rendah yang
mengindikasikan adanya syok. Hemoglobin pasien mengalami penurunan. Kadar
leukosit meningkat oleh karena peningkatan produksi basofil. Hematoktit dan trombosit
normal.

b) Kedaruratan yang terjadi pada pasien di skenario


Kegawat daruratan yang ditemukan dalam kasus skenario antara lain adalah adanya
tanda-tanda syok pada pasien, dimana tekanan darah sistol pasien dibawah 90mmHg,
didukung oleh adanya takikardi, yang menandakan bahwa kecurigaan syok pada pasien
dalam fase kompensasi. Kemudian yang akan segera menjadi kegawatdaruratan adalah
adanya kecurigaan hambatan saluran napas yaitu adanya wheezing pada auskultasi, jika
kondisi ini terus berlanjut akan mengarah pada kurangknya saturasi oksigen di darah
dan keperluan akan oksigen bagi beberapa organ vital seperti encephalon dan cor akan
dalam kondisi bahaya, yang pada kondisi parah menyebabkan infark cerebri dan aritmia
sehingga pada penanganannya diperlukan pemberian oksigen serta menjaga jalan napas
tetap terbuka. Kondisi gawat lainnya yaitu keluhan utama pasien yang membuatnya
datang ke dokter yaitu perasaan mual dan muntah, kelak kondisi ini jika tidak segera di
atasi akan menyebabkan dehidrasi pada pasien, sebab akan banyak cairan yang keluar.
Kesadaran pasien yang dalam tingkat delirium mnambah kegawatan yaitu mampu
menutupi adanya tanda-tanda syok anafilaktik, seperti yang kita ketahui bahwa
munculnya reaksi dan syok anafilaktif dimediasi oleh adanya respon imun, yang
mengeluarkan autakoid tubuh yang bekerja pada sistem syaraf otonom, pada kondisi
kesadaran yang menurun maka fungsi ini akan tidak bekerja dengan baik, terkait jaras
syafar pada sistem syaraf pusat ke perifer, sehingga paramedis tidak dapat dengan sigap
memberi pertolongan, maka dari itu mengetahui adanya riwayat penggunaan analgesik
atau anastesi sangat penting
c) Penatalaksanaan pasien di IGD

Gambar 1. Tatalaksana awal di Instalasi Gawat Darurat pada syok anafilaktik; sumber= World Allergi
Organization, guideline for the assement and management of anaphylaxis, 2012
d) Diagnosis
Diagnosis kerja dalam kasus ini adalah renjatan anafilaksis et causa alergi makanan,
dengan diagnosis banding antara lain alergi makanan, keracunan makanan.
e) Prognosis
Prognosis pasien adalah ad bonam karna masuk rumah sakit segera saat muncul reaksi
yang mencurigakan dan mendapat penanganan yang baik, namun kondisi ini dapat
kambuh dikemudian hari, sehingga dibutuhkan supervisi yang baik bagi pasien baik
terhadap agen penyebab alergi atau[un edukasi terhadap tindakan yang bisa dilakukan
awal jika pasien mengalami gejala yang sama.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Pada skenario pasien mengalami keracunan makanan. Keracunan kemungkinan
besar disebabkan oleh masakan ikan tuna yang dikonsumsi. Kandungan zat dari ikan
tuna yang dapat bersifat toksik apabila dikonsumsi secara berlebihan yaitu merkuri
dan histamin.
2. Keracunan makanan tidak mengarah kearah minuman keras yang kemungkinan
disebabkan oleh konsumsi alkohol karena gejala yang muncul tidak khas pada
keracunan alkohol seperti frekuensi muntah sering, adanya bau alkohol dan pupil
mata dilatasi.
3. Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien mengalami syok anafilaktik, karena terjadi
setelah pasien mengkonsumsi makanan ikan tuna yang mengandung histamin.
Namun syok anafilaktik pada kasus ini tidak disebabkan oleh faktor imunologik
namun merupakan reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid.
4. Pasien perlu dirawat inap untuk monitoring terapi yang diberikan.

B. Saran
1. Pelaksanaan diskusi tutorial harus dikembalikan pada problem-based learning dan
bukan berorientasi pada problem solving agar hal yang dipelajari mahasiswa dari
skenario lebih luas dan tidak hanya terpaku pada pemecahan masalah di skenario.
2. Setiap mahasiswa terutama pada pertemuan sesi kedua tutorial sebaiknya masing-
masing telah mencari sumber pustaka, agar diskusi dapat berjalan dengan hidup dan
antar mahasiswa dapat terjadi pertukaran ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman (2009).Keracunanmakanan: bukuajarilmugizi. Jakarta: EGC; pp 2-15. Niruri R,


Wirasuta IMAG (2006). Toksikologiumum.Jimbaran: FMIPA UniversitasUdayana

Badan POM Siker Informasi Keracunan. Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk


Rumah Sakit. Jakarta: Badan POM

Birkun, Alexei.2014. Histamine Toxicity from Fish. Medscape

Budiana. 2009. Pengaruh Alkohol. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2009/bagaimana-


alkohol-mempengaruhi -tubuh-anda/ diakses pada tanggal 17 Desember 2011.

Cunha JP. 2013. Poisoning. emedicinehealth.


http://www.emedicinehealth.com/poisoning/page9_em.htm - Diakses 10 Juni 2014

Christanto A, Tedjo O (2011). Manifestasi Alergi Makanan pada Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Jakarta: CDK 187, 38:6, pp: 410-411

Food Poisoning. http://emedicine.medscape.com/article/175569-overview#aw2aab6b2b5aa.


diakses 5 Juni 2014

Gresham C. 2013. Seafood Toxicity. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/1011549-overview#showall – Diakses 10 Juni
2014

Harahap, Ikhsanudin A. 2004. Terapi Oksigen dalam Asuhan Keperawatan. Universitas


Sumatera Utara.

James E F Reynolds and Martindale. 1996. The Extra Pharmacopoeia Thirty first edition.
London: Roya Pharmaceutical Society

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.

Klaassen, CD. Poison. Diunduh dari:


http://www.britannica.com/EBchecked/topic/466463/poison/28077/Classification-of-a-
poison

Mc Graw Hill Lange. Poisoning & Drug Overdose Kent R. Olson fifth edition. by the
Faculty, Staff, and Associateds of the California Poison Control System.

Shafer W. Hine M. Levy B. A Textbook of Oral Pathology. 4th Edition. W.B.


SaundersCompany. Philadelpia : 1983

Anda mungkin juga menyukai