Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN

INTOSIKASI MAKANAN

A. Definisi
Racun adalah suatu zat yang memiliki kemampuan untuk merusak sel
dan sebagian fungsi tubuh secara tidak normal (Arisman, 2009). Junaidi
(2011) menyatakan racun adalah suatu zat atau makanan yang menyebabkan
efek bahaya bagi tubuh.
Keracunan makanan adalah suatu penyakit yang terjadi setelah
menyantap makanan yang mengandung racun, berasal dari bahan beracun
yang terbentuk akibat pembusukan makanan dan bakteri (Arisman, 2009).
Junaidi (2011) menyatakan keadaan darurat yang diakibatkan masuknya suatu
zat atau makanan ke dalam tubuh melalui mulut yang mengakibatkan bahaya
bagi tubuh disebut sebagai keracunan makanan.
Perez dan Luke’s (2014) menyatakan keracunan makanan adalah
keracunan yang terjadi akibat menelan makanan atau air yang mengandung
bakteri, parasit, virus, jamur atau yang telah terkontaminasi racun.

B. Etiologi
Penyebab keracunan makanan adalah kuman Clostridium botulinum
yang hidup dengan kedap udara (anaerobik), yaitu di tempat-tempat yang
tidak ada udaranya (Junaidi, 2011). Keracunan makanan dapat disebabkan
oleh pencemaran bahan-bahan kimia beracun, kontaminasi zat-zat kimia,
mikroba, bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh manusia
(Suarjana, 2013).
Di Indonesia ada beberapa jenis makanan yang sering mengakibatkan
keracunan, antara lain:
1. Keracunan botolinum
Clostridium botolinum adalah kuman yang hidup secara anaerobik,
yaitu di tempat-tempat yang tidak ada udaranya. Kuman ini mampu
melindungi dirinya dari suhu yang agak tinggi dengan jalan membentuk
spora. Karena cara hidupnya yang demikian itu, kuman ini banyak
dijumpai pada makanan kaleng yang diolah secara kurang sempurna.
Gejala keracunan botolinum muncul secara mendadak, 18-36 jam
sesudah memakan makanan yang tercemar. Gejala itu berupa lemah
badan yang kemudian disusul dengan penglihatan yang kabur dan ganda.
Kelumpuhan saraf mata itu diikuti oleh kelumpuhan saraf-saraf otak
lainnya, sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara dan susah
menelan. Pengobatan hanya dapat diberikan di rumah sakit dengan
penyuntikan serum antitoksin yang khas untuk botulinum. Oleh karena
itu dalam hal ini yang penting ialah pencegahan.
Pencegahan: sebelum dihidangkan, makanan kaleng dibuka dan
kemudian direbus bersama kalengnya di dalam air sampai mendidih.
2. Keracunan bongkrek
Bongkrek ialah sejenis tempe yang dalam proses pembuatannya di
campur dengan ampas kelapa dan kacang tanah. Tempe ini seringkali
menyebabkan keracunan karena terkontaminasi oleh
bakteri Burkholderia galdioli yang menghasilkan racun berupa asam
bongkrek dan toxoflavin, serta memusnahkan jamur Rhizopus karena
efek antibiotik dari asam bongkrek.
Gejala timbul setelah 12-48 jam. Biasanya sekaligus beberapa
anggota suatu keluarga terkena. Kematian bisa timbul dari 1-8 hari.
Gejala intoksikasi yaitu: mual, pusing, diplopia, anorexia, merasa lemah,
ptosis, strabismus, kesukaran bernafas, menelan atau berbicara.
3. Keracunan jamur
Gejala muncul dalam jarak bebarapa menit sampai 2 jam sesudah
makan jamur yang beracun (Amanita spp). Gejala tersebut berupa sakit
perut yang hebat, muntah, mencret, haus, berkeringat banyak, kekacauan
mental, pingsan.
4. Keracunan ikan laut
Beberapa jenis ikan laut dapat menyebabkan keracunan. Diduga
racun tersebut terbawa dari ganggang yang dimakan oleh ikan itu. Sejauh
keracunan makanan dari ikan yang bersangkutan, mikroba penyebab
penyakit atau racun itu yang masuk ke dalam tubuh setelah
mengkonsumsi ikan mentah atau dimasak. Hal ini juga bisa terjadi karena
polusi kimia dalam air, dimana mengontaminasi ikan yang tertangkap
untuk dijual di pasar. Gejala-gejala keracunan berbagai binatang laut
tersebut muncul kira-kira 20 menit sesudah memakannya. Gejala itu
berupa: mual, muntah, kesemutan di sekitar mulut, lemah badan dan
susah bernafas.
5. Keracunan singkong
Zat beracun dalam singkong adalah asam sianida. Zat ini
mengganggu oksidasi jaringan karena mengikat enzim sitokrom
oksidase. Beberapa jam setelah makan singkong timbul muntah, pusing,
lemah, kesadaran menurun sampai koma, dispneu, sianosis dan kejang.
6. Keracunan baygon
7. Keracunan minyak tanah
8. Keracunan bahan kimia
9. Lain-lain
Penyebab utama makanan terkontaminasi adalah bakteri, virus, atau parasit.

C. Manifestasi Klinis
Akibat keracunan makanan bisa menimbulkan gejala pada sistem saraf
dan saluran cerna. Suarjana (2013) menyatakan tanda gejala yang biasa
terjadi pada saluran cerna adalah sakit perut, mual, muntah, bahkan dapat
menyebabkan diare. Tanda gejala yang biasa terjadi pada sistem saraf adalah
adanya rasa lemah, kesemutan (parastesi), dan kelumpuhan (paralisis) otot
pernafasan (Arisman, 2009).

D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bermanfaat dalam diagnosis toksikologi
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium: Pada pemeriksaan laboratorium biasanya
dilakukan tes darah, tes urin, tes kondisi tinja, dan pemeriksaan parasit.
Tes-tes ini bertujuan untuk mengetahui jenis organisme penyebab
terjadinya keracunan. Pemeriksaan laboratorium sederhana dapat
dilakukan di layanan kesehatan primer yang memiliki fasilitas, misalnya:
pemeriksaan mikroskopis feses untuk keberadaan telur cacing dan
parasit; pewarnaan Gram, KOH dan metilenblue Loeffler untuk
membantu membedakan antara penyakit invasif dan non-invasif (PMK
No. 5 Tahun 2014).
2. Gas Darah Arteri: Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2
(hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-
obat yang menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan . yang kurang
akibat hipoksia, hipotensi. Atau keracunan sianida akan menghasilkan
asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur oksigen yang larut dalam
plasma dan bukan merupakan total oksigen dalam darah. karena itu pada
keracunan karbon monoksida mungkin PO2 tampak normal meskipun
ada defisiensi oksihemoelobin yang nyata dalam darah.
3. Uji Fungsi Ginjal: Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam
kasus lain, gagal ginjal merupakan akibat syok, koagulasi intravaskular
yang menyebar (disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau
mioglohinuria. Tingkat kadar nitrogen urea darah dan kreatinin harus
diukur dan dilakukan urinalisis.
4. Osmolalitas Serum: Perhitungan osmolalitas serum terutama
bergantung pada natrium serum, glukosa serum serta nitrogen urea darah.
5. Elektrokardiogram: Pelebaran lama kompleks QRS yang lebih besar
dari 0,1 detik adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan
kuinidin.
6. CT-Scan: fotopolos abdomen mungkin berguna, karena beberapa tablet,
khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks
dapat menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau
edema paru. Bila dicurigai adanya trauma kapitis, dianjurkan untuk
pemeriksaan CT-scan.

E. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama keracunan makanan yang dapat dilakukan adalah
dengan mengupayakan penderita untuk memuntahkan makanan yang telah
dikonsumsi penderita. Cara yang bisa dilakukan untuk merangsang muntahan
adalah dengan memberikan minuman susu. Selain itu, cara yang bisa
dilakukan adalah dengan meminum segelas air yang telah dicampur dengan
satu sendok teh garam dan berikan minuman teh pekat (Junaidi, 2011).
Menurut Noriko (2013) tanaman teh memiliki potensi sebagai
antibakteria karena mengandung bioaktif yaitu senyawa tanin. Tanin adalah
senyawa fenolik yang terkandung dalam berbagai jenis tumbuhan hijau
dengan kadar yang berbeda-beda. Manfaat tanin selain antibakteria adalah
sebagai antiseptik dan mempunyai sifat sebagai agent pengkelat logam karena
adanya pengaruh fenolik. Pengaruh fenolik bisa memberikan antioksidan bagi
tubuh.
Hardisman (2014) menyatakan pertolongan pertama keracunan
makanan adalah dengan minum air putih yang banyak, pemberian larutan air
yang telah dicampur dengan garam. Pertolongan pertama yang bisa dilakukan
adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau
diare. Menghindari terjadinya dehidrasi pada korban segera berikan air
minum dan larutan elektrolit yang banyak untuk korban (Sentra informasi
keracunan nasional & Badan pemeriksaan Makanan dan obat SIKERNAS &
BPOM, 2012).
Menurut Bahri, Sigit, dkk. (2012) cairan elektrolit dapat diperoleh dari
air kelapa. Air kelapa murni tanpa tambahan gula sedikit menginduksi
urinisasi, sedangkan air kelapa yang ditambah dengan gula banyak
menginduksi urinisasi. Penyebab banyaknya menginduksi urinisasi adalah
karena konsentrasi gula yang tinggi, sehingga absobsi air menjadi lambat dan
urinisasi meningkat.
Penatalaksanaan umum kedaruratan keracunan antara lain:
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan, setiap kasus
keracunan harus diperlakukan seperti keadaan kegawatan yang
mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda-tanda vital seperti jalan
napas, sirkulasi, dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat.
2. Resusitasi
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan
dan nadi. Berikan cairan intravena, oksigen, hisap lendir dalam saluran
pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas, kalau perlu
respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari
mulut ke mulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mulut
penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask
atau menggunakan alat bag – valve – mask.
3. Pemberian cairan intravena untuk pasien penurunan kesadaran
Penderita keracunan makanan yang parah dan mengalami dehidrasi
harus mendapatkan perawatan lanjutan. Dokter biasanya akan
memberikan cairan melalui intravena atau infus. Cairan ini bisa
menggantikan cairan tubuh yang hilang serta menjaga agar tubuh tidak
terlalu lemah. Jika dokter memberikan obat-obatan maka bisa dilakukan
secara langsung lewat cairan infus.
4. Pemberian norit/zat karbon aktif
Menurut para ahli makanan dan dokter, pertolongan pertama yang
bisa kita lakukan adalah dengan memberikan karbon aktif atau arang
aktif ke korban. Di pasaran, ada arang aktif yang dijual. Salah satu yang
terkenal norit.
Tablet berwarna hitam ini punya sifat arang aktif yang mampu
menyerap apapun yang ada di sekitarnya, termasuk racun. Semakin
banyak yang dimakan, semakin banyak racun yang diserap. Hanya saja,
norit cuma menyerap racun yang masih di saluran pencernaan dan belum
ikut beredar dalam darah.
Meskipun norit mampu menyerap banyak racun, norit nyatanya
juga menyerap zat gizi dan vitamin yang terdapat pada makanan. Oleh
karena itu, saat menenggak norit, korban juga harus terus diberikan
minum air putih untuk menggantikan zat yang ikut terserap norit.
AC diberikan dalam dosis 50 gram pada orang dewasa dan 1 g/kg
(maksimal 50 gram) pada anak-anak.
Kontraindikasi pemberian norit adalah sebagai berikut:
a) Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil, wanita
menyusui, anak-anak, serta lansia dianjurkan untuk berkonsultasi
kepada dokter sebelum mengonsumsi jenis obat ini.
b) Penderita yang mengalami pendarahan, penyumbatan, atau memiliki
lubang pada sistem pencernaan.
c) Penderita yang sedang mengalami dehidrasi.
d) Penderita yang baru melalui prosedur operasi.
e) Penderita yang sedang berada pada kondisi tidak sadar atau
penurunan kesadaran.
f) Penderita dengan proses pencernaan yang lambat.
g) Penderita yang sedang mengonsumsi obat-obatan lain di saat yang
bersamaan.
h) Penderita yang memiliki alergi terhadap jenis obat-obatan ini atau
pada pengawet dan pewarna makanan serta hewan.
Bila norit tak tersedia, kita bisa menggantikannya dengan susu.
Susu memiliki kelebihan mengikat racun yang ada dalam tubuh agar tak
beredar dalam tubuh. Susu juga bisa merangsang muntah sehingga
makanan beracun bisa ikut keluar.
5. Kumbah Lambung
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang
kesadarannya menurun, atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil
paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah
keracunan. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah
lambung sebaiknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa
endotrakeal berbalon untuk mencegah aspirasi pneumonia.
6. Pemberian antidot/penawar
Tidak semua racun ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah
mengatasi keadaan sesuai dengan masalah. Atropin sulfat (SA) bekerja
dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a) Mula-mula diberikan bolus IV 1 - 2,5 mg.
b) Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 - 10 - 15 menit sampai
timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering,
takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
c) Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 - 60 menit
selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d) Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian
yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema
paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.
7. Pemberian antibiotik
Untuk beberapa kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh
bakteri maka perlu dibantu dengan obat antibiotik. Obat ini harus
diberikan oleh dokter yang merawat. Biasanya penderita yang terlihat
parah seperti diare dan muntah akut harus menerima obat antibiotik ini.
Selain itu penderita juga harus mendapatkan cairan pengganti lewat
infus. Beberapa jenis obat harus diberikan sesuai dengan penyebabnya,
berikut beberapa terapi yang sering diberikan oleh dokter:
a) Ciprofloxacin (Cipro)
b) Norfloksasin (Noroxin)
c) Trimetoprim / sulfametoksazol
d) Doxycycline
e) Rifaximin (Xifaxan, RedActiv, Flonorm)
8. Penilaian Klinis
Upaya yang paling penting adalah anamnese atau aloanamnesis
yang rinci. Beberapa pegangan anamnesis yang penting dalam upaya
mengatasi keracunan, ialah:
a) Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang
digunakan, termasuk yang sering dipakai
b) Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas
tentang obat yang digunakan.
c) Tanyakan dan simpan sisa obat dan muntahan yang masih ada untuk
pemeriksaan toksikologi
d) Tanyakan riwayat alergi obat atau syok anafilaktik
Pada pemeriksaan fisik diupayakan untuk menemukan tanda/kelainan
fungsi autonom yaitu pemeriksaan tekanan darah, nadi, ukuran pupil,
keringat, air liur, dan aktivitas peristaltik usus.
9. Terapi suportif, konsultasi, dan rehabilitasi
Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat
secara holistik dan efektif dalam biaya.

Jangan berikan sirup ipecac atau melakukan apa saja untuk memancing
muntah. Kelompok ahli, termasuk American Association of Poison Control
Centers dan American Academy of Pediatrics, tidak lagi mendukung
penggunaan ipecac pada anak-anak atau orang dewasa yang telah menelan pil
atau zat berpotensi beracun lainnya. Tidak ada bukti baik yang membuktikan
efektivitas penggunaan sirup tersebut dan dampaknya seringkali lebih
berbahaya.
Penatalaksanaan keperawatan pasien keracunan meliputi:
a. Penatalaksanaan syok bila terjadi.
b. Pantaulah tanda vital secara berkala.
c. Pantau keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Bantu mendapatkan spesimen darah, urine, isi lambung dan muntah.
e. Pantau dan atasi komplikasi seperti hipotensi dan kejang.
f. Bila pasien merasa mual dan ingin muntah, anjurkan untuk memiringkan
kepalanya ke samping.
g. Kompres hangat pada perut. Hal ini akan meringankan kejang dan nyeri di
perut dan kecenderungan untuk muntah.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan Teori


1. Pengkajian
a. Survei Primer
Penatalaksanaan awal pasien koma, kejang, atau perubahan
keadaan mental lainnya harus mengikuti cara pendekatan yang sama
tanpa memandang jenis racun penyebab. Usaha untuk membuat diagnosis
toksikologi khusus hanya memperlambat penggunaan tindakan suportif
yang merupakan bentuk dasar “ABCD” pada pengobatan keracunan.
Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah atau
beberapa gangguan lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang mengalirkan
napas melalui oral atau dengan memasukkan pipa endotrakea. Pada
kebanyakan pasien, penempatan pada posisi sederhana dalam posisi
dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku (flaccid)
keluar dan saluran napas. Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji
dengan mengobservasi dan mengukur gas darah arteri. Pada pasien
dengan insufisiensi pernapasan harus dilakukan intubasi dan ventilasi
mekanik. Sirkulasi (C) yang cukup harus diuji dengan mengukur denyut
nadi, tekanan darah, urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat
untuk intravena harus dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum
glukosa dan untuk pemeriksaan rutin lainnya.
Pada waktu ini, setiap pasien dengan keadaan mental yang berubah
harus diberi larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa diberikan larutan
dekstrosa sebanyak 25 g (50 mL larutan dekstrosa 50% secara intravena).
Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin, karena pasien koma akibat
hipoglikemia yang dengan cepat dan ireversibel akan kehilangan sel-sel
otak. Pasien hipoglikemia mungkin tampak sebagai pasien keracunan,
dan tidak ada metode yang cepat dan dapat dipercaya untuk
membedakannya dan pasien keracunan. Pada umumnya pemberian
glukosa tidak berbahaya sementara menunggu hasil pemeriksaan gula
darah. Pada waktu ini, pasien alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi
100 mg tiamin intramuskular untuk mencegah timbulnya sindrom
Wernicke.
Antagonis narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan
dosis 0,4-2 mg intravena. Nalokson akan memulihkan pernapasan dan
depresi sistem saraf pusat akibat semua jenis obat narkotika. Ada
manfaatnya untuk mengingat bahwa obat-obat ini menimbulkan kematian
terutama akibat depresi pernapasan; karena itu, bila bantuan pernapasan
dan pembebasan saluran pernapasan telah diberikan, nalokson mungkin
tidak diperlukan lagi. Antagonis benzodiazepin flumazenil bermanfaat
pada pasien dengan kecurigaan takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak
boleh digunakan bila terdapat riwayat kejang atau takar lajak
antidepresan trisiklik, dan obat ini tidak boleh digunakan sebagai
pengganti penatalaksanaan saluran napas secara hati-hati.
Penatalaksanaan keracunan memerlukan suatu pengetahuan tentang
bagaimana mengobati hipoventilasi, koma, syok, kejang, dan psikosis.
Pertimbangan toksikokinetik yang mendetil titik banyak artinya bila
fungsi-fungsi vital tidak dipertahankan. Hipoventilasi dan koma
memerlukan perhatian khusus pada penatalaksanaan saluran napas. Gas
darah arteri harus sering diperiksa, dan aspirasi isi lambung harus
dicegah. Penatalaksanaan cairan dan elektrolit mungkin kompleks.
Monitoring berat badan, tekanan vena sentral, tekanan yang mendesak
kapiler paru, dan gas darah arteri diperlukan untuk memastikan
pemberian cairan mencukupi tetapi tidak berlebihan. Dengan tindakan
suportif yang tepat untuk koma, syok, kejang, dan agitasi, umumnya
memberikan harapan hidup bagi pasien keracunan.
b. Survei Sekunder

Setelah dilakukan intervensi awal yang esensial, dapat dimulai


evaluasi yang terinci untuk membuat diagnosis spesifik. Hal ini meliputi
pengumpulan riwayat yang ada dan melakukan pemeriksaan fisik singkat
yang berorientasi pada toksikologi. Penyebab koma lainnya atau kejang
seperti trauma pada kepala, meningitis, atau kelainan metabolisme harus
dicari dan diobati.
1) Riwayat: Pernyataan dengan mulut tentang jumlah dan jenis obat
yang ditelan dalam kedaruratan toksik mungkin tidak dapat
dipercayai. Bahkan anggota keluarga, polisi, dan pemadam
kebakaran atau personil paramedis harus ditanyai tintuk
menggambarkan lingkungan di mana kedaruratan toksik ditemukan
dan semua alat suntik, botol-botol kosong, produk rumah tangga,
atau obat-obat bebas di sekitar pasien yang kemungkinan dapat
meracuni pasien harus dibawa ke ruang gawat darurat.
2) Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan
penekanan pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk
ke arah diagnosis toksikologi. Hal ini termasuk tanda-tanda vital,
mata dan mulut, kulit, abdomen, dan sistem saraf.
a) Tanda-tanda vital. Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital
(tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh)
merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan toksikologi.
Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obat
amfetamin, kokain, fensiklidin, nikotin, dan antimuskarinik.
Hipotensi dan bradikardia, merupakan gambaran karakteristik
dan takar lajak narkotika, kionidin, sedatif-hipnotik dan beta
bloker. Takikardia dan hipotensi sering terjadi dengan
antidepresan trisiklik, fenotiazin, dan teofihin. Pernapasan yang
cepat adalah khas pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya,
salisilat, karbon monoksida dan toksin lain yang menghasilkan
asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan karena obat-
obat simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-obat
yang menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia dapat
disebabkan oleh takar lajak yang berat dengan obat narkotik,
fenotiazin, dan obat sedatif, terutama jika disertai dengan
pemaparan pada lingkungan yang dingin atau infus intravena
pada suhu kamar.
b) Mata. Mata merupakan sumber informasi toksikologi yang
berharga. Konstriksi pupil (miosis) adalah khas utituk keracunan
narkotika, klonidin, fenotiazin, insektisida organofosfat dan
penghambat kolinesterase lainnya, serta koma yang dalam
akibat obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat
pada amfetamin, kokain, LSD, atropin, dan obat antirnuskarinik
lain. Nistagmus riorizontal dicirikan pada keracunan dengan
fenitoin, alkohol, barbiturat, dan obat seclatit lain. Adanya
nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat
keracunan fensiklidin. Ptosis dan oftalmoplegia merupakan
gambaran karakteristik dari botulinum.
c) Mulut. Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar
akibat zat-zat korosif. atau jelaga dan inhalasi asap. Bau yang
khas dan alkohol, pelarut hidrokarbon. Paraldehid atau amonia
mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan sianida dapat dikenali
oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti bitter almonds.
Arsen dan organofosfat telah dilaporkan menghasilkan bau
seperti bau bawang putih.
d) Kulit. Kulit sering tampak merah, panas, dan kering pada
keracunan dengan atropin dan antimuskarinik lain. Keringat
yang berlebihan ditemukan pada keracunan dengan
organofosfat, nikotin, dan obat-obat simpatomimetik. Sianosis
dapat disebabkan oleh hipoksemia atau methemoglohinemia.
Ikterus dapat memberi kesan adanya nekrosis hati akibat
keracunan asetaminofen atau jamur A manila phailoides.
e) Abdomen. Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus,
yang khas pada keracunan dengan antimuskarinik, narkotik, dan
obat sedatif. Bunyi usus yang hiperaktif, kram perut, dan diare
adalah urnum terjadi pada keracunan dengan organofosfat, besi,
arsen, teofihin, dan A.phalloides.
f) Sistem saraf. Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial.
Kejang fokal atau defisit motorik lebih menggambarkan lesi
struktural (seperti perdarahan intrakranial akibat trauma)
daripada ensefalopati toksik atau metabolik. Nistagmus,
disartria, dan ataksia adalah khas pada keracunan fenitoin,
alkohol, barbiturat, dan keracunan sedatif lainnya. Kekakuan
dan hiperaktivitas otot umum ditemukan pada metakualon,
haloperidol, fensiklidin (PCP), dan obat-obat simpatomimetik.
Kejang sering disehabkan oleh takar lajak antidepresan trisiktik,
teotilin, isoniazid, dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan
bahkan EEG isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam
karena obat narkotika dan sedatif-hipnotik, dan mungkin
menyerupai kematian otak.
3) Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan laboratorium. Laboratorium rutin (darah, urin,
feses, lengkap) tidak banyak membantu.
b) Pemeriksaan darah lengkap, kreatinin serum (N: 0,5-1,5 mg/dl),
elektrolit serum (termasuk kalsium (N: 9-11 mg/dl).
c) Foto thorax kalau ada kecurigaan udema paru.
d) Pemeriksaan EKG. Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada
kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama
jantung yang berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi
supraventrikuler, takikardi ventrikuler, fibrilasi ventrikuler,
asistol, disosiasi elektromekanik. Beberapa faktor predosposisi
timbulnya aritmia pada keracunan adalah keracunan obat
kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia,
gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar
jantung iskemik.

2. Diagnosa
a. Nyeri akut b/d agen cedera biologis.
b. Pola nafas tidak efektif b/d distress pernafasan.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d intake tidak
adekuat (anoreksia, mual dan muntah), kesulitan menelan.
d. Defisit volume cairan b/d muntah, diare.
e. Hambatan mobilitas fisik b/d paralisis, ketidakmampuan otot
berkontraksi.
f. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan fisik.

3. Intervensi

No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Setelah dilakukan tindakan 1) Lakukan pengkajian nyeri
keperawatan 1x 24 jam diharapkan secara komprehensif termasuk
nyeri berkurang, menghilang lokasi, durasi frekuensi,
dengan kriteria hasil: karakteristik, kualitas dan
Pain level, dibuktikan dengan faktor presipitasi
respon nonverbal pasien 2) Observasi reaksi nonverbal
menunjukkan tidak ada nyeri, tanda dari ketidaknyamanan
vital dalam batas normal, tidak ada 3) Bantu pasien dan keluarga
masalah pola tidur, pasien untuk mencari dan menemukan
melaporkan nyeri berkurang. dukungan
Pain control, dibuktikan dengan 4) Kontrol lingkungan yang
pasien dapat melakukan teknik dapat mempengaruhi nyeri
nonfarmakologis untuk mengurangi seperti suhu ruangan,
nyeri. pencahayaan dan kebisingan
5) Kurangi faktor presipitasi nyeri
6) Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
7) Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
8) Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri:
9) Tingkatkan istirahat
10) Berikan informasi tentang
nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
11) Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali

2. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor vital sign


keperawatan 1x 24 jam diharapkan 2) Identifikasi kebutuhan insersi
pola nafas menjadi efektif dengan jalan nafas buatan
kriteria hasil: 3) Posisikan pasien untuk
NOC : Status Pernapasan : memaksimalkan ventilasi
Pertukaran Gas tidak akan 4) Monitor status respirasi: adanya
terganggu dibuktikan dengan : suara nafas tambahan
Kesadaran composmentis, TTV 5) Kolaborasi dengan tim medis:
menjadi normal, pernafasan pemberian oksigen
menjadi normal yaitu tidak
mengalami nafas
Dangkal
3. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output
keperawatan selama 1 x 24 jam makanan/cairan dan hitung
pemenuhan nutrisi dapat masukan kalori perhari sesuai
adekuat/terpenuhi dengan kriteria kebutuhan
hasil: 2) Kaji kebutuhan nutrisi
Status Gizi Asupan Makanan dan parenteral
Cairan ditandai pasien nafsu 3) Pilih suplemen nutrisi sesuai
makan meningkat, mual dan kebutuhan
muntah hilang, pasien tampak segar 4) Bantu pasien memilih makanan
Status Gizi; Nilai Gizi terpenuhi yang lunak dan lembut
dibuktikan dengan BB meningkat, 5) Berikan nutrisi yang dibutuhkan
BB tidak turun. sesuai batas diet yang
dianjurkan
6) Kolaborasikan pemberian anti
emesis sesuai indikasi

4. Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor intake dan output,


keperawatan selama 1x24 jam karakter serta jumlah feses
diharapkan kebutuhan cairan 2) Observasi kulit kering
terpenuhi dengan kriteria hasil: berlebihan dan membran
a. Tidak adanya tanda-tanda mukosa, penurunan turgor kulit
dehidrasi 3) Anjurkan klien untuk
b. Vital sign dalam batas normal meningkatkan asupan cairan per
oral
4) Kolaborasi pemberian cairan
paranteral sesuai indikasi

5. Setelah dilakukan tindakan 1) Tentukan batasan pergerakan


keperawatan selama 1x24 jam sendi dan efeknya terhadap
diharapkan kemampuan mobilitas fungsi sendi
fisik meningkat dengan kriteria 2) Monitor lokasi dan
hasil: kecenderungan adanya nyeri dan
a. Kekuatan otot meningkat ketidaknyamanan selama
b. Tidak ada kaku sendi pergerakan/aktivitas
c. Dapat bergerak dengan mudah 3) Lakukan latihan ROM pasif atau
ROM dengan bantuan, sesuai
indikasi
4) Jelaskan pada pasien atau
keluarga manfaat dan tujuan
melakukan latihan sendi
5) Dukung pasien untuk melihat
gerakan tubuh sebelum memulai
latihan

6. Setelah dilakukan tindakan 1) Observasi adanya pembatasan


keperawatan selama 1x24 jam klien dalam melakukan aktivitas
diharapkan klien dapat memenuhi 2) Kaji adanya fakor yang
kebutuhan dirinya dengan kriteria menyebabkan kelelahan
hasil: 3) Monitor nutrisi dan sumber
a. Ketidaknyamanan setelah energi yang adekuat
beraktivitas berkurang 4) Bantu klien dalam memenuhi
b. Dapat memenuhi kebutuhan kebutuhannya
sehari-hari 5) Bantu klien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari

Anda mungkin juga menyukai