Anda di halaman 1dari 33

USULAN PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON


BERDASARKAN UMUR PENEBARAN UDANG DI PERTAMBAKAN
PT CENTRAL PROTEINA PRIMA, SUBANG JAWA BARAT

Disusun untuk dipresentasikan dalam rangka penelitian untuk Skripsi di


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh :
Dian Islammiyati
NIM. L1A015023

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Subang merupakan salah satu kabupaten dari enam kabupaten

di wilayah pantura (pantai Utara) Pulau Jawa, yang menjadi target program

revitalisasi tambak tahap pertama KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan).

Dari total 1.000 ha lahan yang diperuntukkan untuk tahap awal revitalisasi

tambak, di pantura Jawa Barat, sekitar 45% atau seluas 360 ha berlokasi di

Kabupaten Subang. Pemilihan lokasi revitalisasi tambak didasari oleh potensi

utama wilayah tersebut untuk menggenjot kapasitas produksi udang nasional

sekaligus sebagai entry point dalam percepatan pembangunan industrialisasi

perikanan budidaya di Indonesia (Antara, 2012 dalam Tarunamulia et al., 2015).

PT Central Proteina Prima (C.P. Prima) merupakan salah satu perusahaan

yang bergerak dibidang aquaculture yang terletak di Desa Jayamukti, Kecamatan

Blanakan, Kabupaten Subang Jawa Barat. PT C.P. Prima mengelola sekitar 400 unit

atau petakan tambak. Sistem budidaya yang dilakukan pada tambak PT C.P.

Prima adalah sistem budidaya intensif dengan komoditas udang yang

dibudidayakan adalah Udang Vannamei. Padat tebar yang biasa digunakan oleh

tambak tersebut adalah 100 ind/m2. PT C.P. Prima dalam satu kali produksi dapat

mencapai 2-2,5 ton udang per petakan tambak. PT C.P. Prima menggunakan

sistem budidaya tambak intensif yang mengelola sekitar 400 tambak/hektar

dengan variasi umur penebaran udang dari ≤30 hari, 30-60 hari, 61-90 hari dan >90

hari. Namun, dari variasi umur penebaran udang ini memiliki resiko terjadinya

penurunan kualitas fisik dan kimia air di tambak PT C.P. Prima. Berdasarkan

1
Pendapat Wulandari et al. (2015) treatment budidaya dilakukan menyesuaikan

umur udang. Pemberian jumlah pakan disesuaikan dengan umur udang, semakin

tua umur udang maka jumlah pakan semakin bertambah. Peningkatan jumlah

pakan ini memicu resiko penurunan kualitas air baik secara fisik ataupun kimia.

Budidaya udang sangat tergantung pada kondisi kualitas fisik dan kimia air. Nilai

kualitas air berperan penting dalam menunjang pertumbuhan dan kesehatan

udang (Siregar et al, 2019).

Salah satu unsur penting yang menunjang dalam pengembangan budidaya

tambak adalah fitoplankton sebagai pakan alami. Tumbuh dan berkembangnya

fitoplankton di perairan tambak memerlukan energi dari serapan nutrien yang

secara tidak langsung bersumber dari hasil dekomposisi bahan organik sisa pakan

buatan dan udang pada penerapan teknologi intensif atau secara langsung melalui

pupuk anorganik (urea dan SP36) yang bersumber dari hasil pemupukan pada

penerapan teknologi tradisional (Utojo dan Akhmad, 2016). Menurut Pirzan dan

Utojo (2010) konsentrasi nutrien pada tambak intensif dan tradisional diduga

dapat mempengaruhi kondisi struktur plankton yang berbeda sehingga perlu

dilakukan penelitian tentang struktur komunitas plankton bertujuan mengetahui

kelimpahan, keragaman dan hubungan salah satu jenis plankton yang dominan di

tambak intensif PT C.P. Prima Subang, Jawa Barat.

Struktur komunitas fitoplankton merupakan suatu kumpulan berbagai

jenis organisme yang terdiri berbagai spesies fitoplankton yang saling berinteraksi

di dalam suatu stratifikasi tertentu. Struktur komunitas dan pola penyebaran

plankton dalam perairan dapat dipakai sebagai salah satu indikator biologi dalam

2
menentukan perubahan kondisi perairan tersebut (Yuliana et al., 2012). Struktur

komunitas fitoplankton meliputi keragaman, kelimpahan, kemerataan dan

dominansi.

Dinamika kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton terutama

dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia, khususnya ketersediaan unsur hara

(nutrien) dan kualitas cahaya serta kemampuan fitoplankton untuk

memanfaatkannya (Muharram, 2006 dalam Lathifah et al., 2017). Batas toleransi

fitoplankton terhadap perubahan lingkungan berbeda-beda pada setiap

organisme. Respon terhadap efektivitas dan tingkat serapan nutrien oleh

komunitas fitoplankton di tambak intensif juga bervariasi yang dipengaruhi oleh

parameter kualitas air (Utojo dan Akhmad, 2016). Faktor fisika dan kimia yang

mempengaruhi kehidupan fitoplankton, yaitu temperatur, kekeruhan, salinitas,

pH, BOD, kesadahan, alkalinitas, nitrat, dan ortofosfat.

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Subang merupakan salah satu wilayah dengan produksi udang

vannamei terbesar di Jawa Barat. Salah satu perusahaan tambak udang di wilayah

tersebut adalah PT Central Proteina Prima (C.P. Prima) yaitu suatu perusahaan

yang bergerak dalam bidang agribisnis dan aquaculture. Usaha tambak udang PT

C.P. Prima ini dilakukan secara intensif dan memiliki variasi umur penebaran

udang yang berbeda yaitu ≤ 30 hari yang diberi pelet sebanyak 200 gram/hari, 31-

60 hari diberi pelet sebanyak 400 gram/hari, 61-90 hari diberi pelet sebanyak 600

gram/hari, dan >90 hari diberi pelet sebanyak 800 gram/hari. Perbedaan tersebut

akan menyebabkan struktur komunitas fitoplankton di masing-masing tambak

3
berbeda-beda. Selain itu faktor fisika dan kimia di masing-masing tambak akan

menyebabkan struktur komunitas fitoplanktonnya berbeda-beda.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perbedaan keragaman dan kelimpahan fitoplankton pada

tambak yang berbeda umur penebaran udangnya di PT C.P. Prima Subang

Jawa Barat?

2. Bagaimanakah perbedaan kemerataan dan dominansi fitoplankton pada

tambak yang berbeda umur penebaran udangnya di PT C.P. Prima Subang

Jawa Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbedaan keragaman dan kelimpahan fitoplankton pada

tambak yang berbeda umur penebaran udangnya di PT C.P. Prima Subang

Jawa Barat.

2. Untuk mengetahui perbedaan kemerataan dan dominansi fitoplankton pada

tambak yang berbeda umur penebaran udangnya di PT C.P. Prima Subang

Jawa Barat.

1.4. Manfaat

Manfaat dari hasil penelitian yang didapatkan diharapkan dapat

memberikan informasi tentang struktur komunitas fitoplankton di pertambakan

PT C.P. Prima Subang Jawa Barat serta menjadi pedoman untuk para pengusaha

pertambakan yang ada di Subang dan sekitarnya.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tambak

2.1.1. Definisi Tambak

Tambak adalah wadah budidaya ikan yang dibangun di daerah pesisir atau

pantai, terutama hutan mangrove, dan teluk untuk mempermudah memperoleh

pasokan air payau untuk mengisi tambak. Lokasi yang dipilih untuk membangun

tambak memiliki kisaran pasang surut antara 1,5 – 2,5 m. Jika perbedaan pasang

surut lebih dari 2,5 m memerlukan pematang yang besar dan kuat, sedangkan

perbedaan pasang surut lebih rendah dari 1,5 m, suplai air tambak membutuhkan

pompa (Budihastuti, 2013). Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air yang

hidup di perairan payau yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti Udang

Windu (Penaeus monodon), Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dan Bandeng

(Chanos chanos) atau biota lainnya (Damayanti, 2014).

Lingkungan tambak sebagai suatu ekosistem mempunyai peran yang

sangat penting dalam memelihara kelangsungan hidup organisme yang

dibudidaya (Bahri et al., 2014). Keberhasilan usaha budidaya tambak sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan lahan tambak yang memenuhi persyaratan baik

fisik, kimia maupun biologis (Gumelar et al., 2018). Wilayah tambak termasuk

daerah pesisir yang dipengaruhi daratan dan lautan, pada saat pasang air tambak

bercampur dengan air laut, saat surut air tawar mempengaruhi air tambak.

Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan tambak ada tiga tipe tambak yakni

tambak ekstensif, tambak semi intensif, dan tambak intensif (Budihastuti, 2013).

5
2.1.2. Jenis Tambak

2.1.2.1. Tambak Ekstensif (Tradisional)

Sistem budidaya ekstensif dilakukan secara sederhana dan kondisi di

dalam perairan tambak sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan di sekitarnya

(Machzar et al., 2018). Menurut Mujiman et al. (2005), ciri-ciri tambak udang

ektensif (tradisional) yaitu: umumnya dibangun di daerah pasang surut, rawa-

rawa, semak dan daerah mangrove. Petakan tambak memiliki ukuran dan bentuk

tidak teratur dengan luas antara 3–10 ha/petak. Pada sekeliling petakan tambak

terdapat caren dengan kedalaman 30–50 cm dan lebar 5–10 m. Terdapat pelataran

yang dikelilingi oleh caren dengan kedalaman 30–40 cm. Ditengah petakan

tambak dibuat petakan kecil untuk nener.

2.1.2.2. Tambak Semi Intensif

Sistem semi intensif merupakan perbaikan dari sistem tradisional. Tambak

udang semi intensif memiliki ciri yaitu luasan tambak dalam satu petak antara 1–3

ha/petak dengan bentuk persegi panjang. Petakan tambak dilengkapi dengan

saluran inlet dan outlet. Kedalaman air dipelataran hanya 40-50 cm. Dasar kolam

yang digunakan pada tambak semi intensif biasnya berupa tanah (Luthfi et al.,

2017). Padat penebaran pada sistem budidaya semi intensif 30 – 80 ekor/m2 untuk

udang vannamei. Tambak semi intensif biasanya memberi pakan tambahan,

karena untuk hidup dan tumbuh udang memerlukan pakan yang cukup kuantitas

dan kualitasnya (Banun et al., 2008).

2.1.2.3. Tambak Intensif

Sistem budidaya intensif dilakukan dengan teknik yang canggih dan

memerlukan input biaya yang besar. Tambak intensif memiliki petakan yang lebih

6
besar dibandingkan dengan sistem budidaya ekstensif maupun semi intensif yaitu

berukuran 0,2–0,5 ha/petak. Ciri-ciri teknologi budidaya udang intensif adalah

penggunaan padat penebaran tinggi disertai pemberian pakan tambahan dan

pengelolaan mutu air (Luthfi et al., 2017). Padat tebar yang cukup tinggi yaitu 80-

100-120 ind/m2 (Mangampa dan Hidayat, 2010). Budidaya secara intensif biasanya

menggunakan kincir air untuk menyuplai oksigen (Farionita et al., 2018).

Manfaat plankton pada pengelolaan tambak udang intensif yaitu saat

kekeruhan karena plankton dengan nilai daya cerah perairan antara 30 – 40 cm

justru diperlukan dan pertumbuhan plankton yang baik ditandai oleh berubahnya

warna air tambak dari coklat muda hingga hijau daun muda, mutlak

dipertahankan karena: 1) plankton membuat tambak menjadi teduh, sehingga

udang dapat lebih aktif mencari makan di siang hari; 2) plankton nabati

merupakan produsen O2 dalam air; 3) bermanfaat sebagai pakan alami udang

khususnya pada awal pemeliharaan setelah penebaran benur; 4) menekan

pertumbuhan klekap dan lumut di dasar tambak; dan 5) plankton nabati

membantu menyerap senyawa yang sangat berbahaya bagi udang seperti

ammonia, nitrit dan nitrat. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan tambak

udang intensif yang ditandai dengan menurunnya daya cerah perairan dan

seringnya terjadi blooming plankton terutama karena semakin suburnya dasar

tambak akibat timbunan suspensi organik dari kotoran udang dan sisa-sisa pakan

(pelet), menumpuknya sel plankton yang sudah tua dan mati serta gerakan udang

yang aktif karena semakin besar (Poernomo, 1988 dalam Utojo, 2015).

7
2.1.2.4. Tambak Super Intensif

Tambak super intensif merupakan sistem budidaya dengan padat tebar

yang sangat tinggi. Padat tebar pada teknologi budidaya super intensif ini

biasanya 120-150ekor/m2 (Hasnawi et al., 2016). Budidaya udang vannamei super

intensif sepenuhnya mengandalkan masukan pakan berupa pelet yang mencapai

kisaran 60%-70% dari biaya operasional dengan konversi pakan antara 1,3-1,6

(Rachmansyah et al., 2014). Tambak super intensif biasanya menggunakan kincir

super case dengan dasar petakan merupakan plastik atau semen. Sistem budidaya

super intensif memiliki saluran buangan di tengah dasar petakan dan pengaturan

kincir yang mendukung sehingga kotoran bisa terkumpul di dasar tengah petakan

(Hasnawi et al., 2016).

2.1.3. Tambak PT C.P. Prima

PT Central Proteina Prima (C.P. Prima) merupakan suatu perusahaan

akuakultur yang terletak di desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan, Kabupaten

Subang Jawa Barat. PT C.P. Prima mengelola sekitar 400 petak tambak dengan

berbagai variasi umur penebaran udang. Sumber air yang digunakan oleh PT C.P.

Prima yaitu air laut Pantai Blanakan dan Muara Sungai Kali Blanakan.

Gambar 1. Tambak PT Central Proteina Prima

8
Sistem budidaya yang dikembangkan di C.P. Prima yaitu dengan

menggunakan sistem budidaya intensif dengan komoditas udang yang

dbudidayakan adalah udang vannamei. Padat tebar yang biasa digunakan oleh

tambak tersebebut adalah 100 ind/m2. PT C.P. Prima dalam satu kali produksi

dapat mencapai 2-2,5 ton udang per petak tambak. Sedangkan jumlah produksi

per tahun mencapai 4-5 ton udang per petak tambak.

Sistem produksi tambak PT C.P. Prima memiliki strategi produksi dengan

berbagai variasi umur penebaran udang. Hal ini bertujuan agar produksi udang

dapat dilakukan secara kontinu. Variasi umur penebaran udang dan manajemen

pakan yang diberikan di tambak PT C.P. Prima adalah umur ≤30 hari dengan

pemberian pelet sebanyak 200 gram, umur 30-60 hari dengan pemberian pelet

sebanyak 400 gram, umur 61-90 hari dengan pemberian pelet sebanyak 600 gram,

dan umur >90 hari dengan pemberian pelet sebanyak 800 gram.

2.2. Fitoplankton

2.2.1. Pengertian dan Sifat Umum Fitoplankton

Plankton merupakan organisme akuatik yang melayang-layang dalam

badan air. Beberapa golongan plankton memiliki distribusi yang luas karena

memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai keadaan lingkungan.

Plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan

produsen primer yang mampu membentuk zat organik dari zat anorganik dalam

proses fotosintesis (Kolaya et al., 2014). Selain sebagai dasar dari rantai makanan

(primary producer) juga merupakan salah satu parameter tingkat kesuburan suatu

perairan. Terdapat hubungan positif antara kelimpahan fitoplankton dengan

produktivitas perairan. Jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi


9
maka perairan tersebut cenderung memiliki produktivitas yang tinggi (Samiaji,

2013 dalam Yanasari et al., 2017). Keberadaan fitoplankton laut sangat tergantung

oleh cahaya matahari yang mendukung proses fotosintesis. Proses fotosintesis

oleh fitoplankton akan menghasilkan oksigen. Selain cahaya, kondisi parameter

perairan laut juga berpengaruh bagi kelangsungan hidup fitoplankton seperti

suhu, pH, salinitas, kecerahan, kecepatan arus, oksigen terlarut, nitrat dan

phospat (Yanasari et al., 2017).

Fitoplankon merupakan mikroorganisme penunjang dalam kegiatan

budidaya udang vannamei yang berperan sebagai pakan alami karena ciri khas

dari organisme fitoplankton merupakan produsen primer dari zooplankton

(plankton yang bersifat hewani) dan selanjutnya dimakan ikan dan udang. Suatu

perairan tambak dikatakan subur apabila di dalamnya banyak produsen primer

yaitu fitoplankton, baik kuantitas maupun kualitasnya sebagai sumber pakan

alami dan juga berperan sebagai penghasil oksigen melalui proses fotosintesis

(Setyobudiandi et al., 2009 dalam Utojo, 2015). Selain itu dalam kegiatan budidaya

udang intensif fitoplankton juga berperan untuk mengontrol warna dan

kekeruhan air, meningkatkan kadar oksigen terlarut (DO) perairan, menekan

pertumbuhan lumut pada dasar tambak, dan juga dapat menyerap senyawa

organik yang melimpah pada perairan seperti ammonia, nitrit dan nitrat yang

merupakan nutrien yang di butuhkan untuk pertumbuhan fitoplankton tersebut

(Utojo, 2015).

Keberadaan fitoplankton sangat diperlukan dalam menjaga kelangsungan

hidup ekosistem perairan dan memegang peranan penting dalam rantai makanan.

10
Fitoplankton juga berperan transfer energi ke tingkat trofik organisme yang lebih

tinggi (Zohary et al., 2014). Beberapa famili fitoplankton seperti Chlorophyceae,

Cyanophyceae dan Diatomae merupakan makanan bagi hewan budidaya tambak.

Sehingga kondisi struktur komunitas fitoplankton pada suatu perairan budidaya

tambak dapat mempengaruhi kestabilan rantai makanan hingga tingkat trofik

yang lebih tinggi termasuk hewan budidaya yang ada didalamnya (Mahmud et

al., 2012).

2.2.2. Klasifikasi Fitoplankton

Fitoplakton dikelompokkan dalam 5 divisi yaitu: Cyanophyta, Crysophyta,

Pyrrophyta, Chlorophyta dan Euglenophyta semua kelompok fitoplankton ini

dapat hidup di air laut dan air tawar kecuali Euglenophyta yang hanya hidup di

air tawar saja (Sachlan, 1982 dalam Handayani, 2009). Berikut ini adalah

penggolongan fitoplankton berdasarkan ciri-cirinya :

1) Divisio Cyanophyta

Cyanophyta memiliki karakteristik morfologi ada yang berfilamen ada

yang tidak berfilamen, ada yang uniseluler dan ada yang berkelompok.

Fitoplankton jenis ini kurang menguntungkan jika terjadi blooming (ledakan

populasi) akan menyebabkan perairan berwarna hijau biru bahkan hitam karena

mengeluarkan toksin yang berbahaya bagi udang sehingga udang tersebut akan

mati sebelum masa panen. Cyanophyta juga dapat mendominasi permukaan air

karena memiliki gelembung gas dalam tubuhnya sehingga dapat memahkan

untuk bergerak menuju peukaan air da terakumulasi di permukan terebut

(Budiharto et al,. 2007 dalam Utojo dan Akhmad, 2016).

11
Cyanophyta mampu mengikat N dari udara bebas karena memiliki sel

khusus yang disebut heterocysta sehingga Cyanophyta lebih cepat tumbuh

dibandingkan kelas-kelas lainnya (Edhy et al., 2003 dalam Widigdo dan Wardianto,

2013). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di tambak udang PT Cetral

Pertiwi Bahari pada tahun 2008, fitoplankton dari jenis cyanophyta yang

ditemukan yaitu, Anabaena, Anabaenopsis, Aphanizomenon, Chrooccus,

Coelosphaerium, Gomphophaeria, Merismopedia, Microcstis, Nostoc, Oscillatoria, dan

Spirulina (Widigdo dan Wardianto, 2013).

2) Divisio Chlorophyta

Chlorophyta memiliki karakteristik morfologi bersifat uniseluler, berkoloni,

berantai, dan berwarna hjau serta melayang-layang pada permukaan air sehingga

dapat berfotosintesis (Utojo dan Akhmad, 2016). Chlorophyta merupakan

fitoplankton yang diharapkan tumbuh dalam perairan tambak karena berperan

sebagai pakan alami yang bersifat baik bagi udang dan penambah oksigen dalam

air (Widigdo dan Wardianto, 2013). Berdasarkan penelitian yang pernah

dilakukan di tambak intensif dan tradisional, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur

pada tahun 2013, fitoplankton dari jenis Chlorophyta yang ditemukan yaitu,

Tetastrum, Ceratium, Chaetcheros, dan Thallasionema (Utojo dan Akhmad, 2016).

3) Divisio Chrysophyta

Chrysophyta merupakan kelompok alga berwarna cokelat-keemasan yang

mengandung karoten dan ksantofel. Bersifat uniseluler dan ada juga yang

membentuk kelompok, sebagian besar dari kelompok ini memiliki flagel. Ada

sekitar 1.200 spesies dalam 112 genera (Kristiansen dan Skaloud, 2016).

12
Chrysophyta digolongkan ke dalam 3 kelas, yaitu Bacillariophyceae,

Xantophyceae, dan Chrysophyceae. Bacillarophyceae meruakan diatom yang

mengandung silikat, silikat sendiri merupakan usur esensial dalam pembetukan

dinding sel. Bacillarophyceae bersifat kosmopolit, cepat berkembang di perairan

dan paling umum dijumpai di laut, mulai dari wilayah pesisir tremasuk tambak

hingga laut lepas (Utojo dan Akhmad, 2016).

4) Divisio Pyrrophyta

Dinoflagellata merupakan suatu kelompok organisme uniseluler yang unik

yang memiliki dua flagella dan umum dijumpai di air tawar maupun air laut.

Kelompok ini merupakan organisme eukariotik. Salah satu ciri khas kelompok

organisme ini adalah keberadaan dinding sel yang terbuat dari lapisan selulosa.

Akan tetapi ada beberapa organisme yang tidak memiliki dinding sel ini

(Wiryatno, 2017).

Dinoflagellata dalam jumah besar dapat menimbulkan fenomena pasang

merah (red tie). Beberapa jenis Dinoflagellata dapat menimbulkan kematian massal

pada ikan dan secara langsung membahayakan udang karena timbul penyakit

Blunted Head Syndrom yaitu terjadinya pengikisan di kepala bagian anterior.

Keberadaan Dinoflagellata di sekitar area pertambakan perlu diwaspdai apalagi

sampai ditemukan genus predominan. Berdasarkan penelitian yang pernah

dilakukan di tambak udang PT Cetral Pertiwi Bahari pada tahun 2008,

fitoplankton dari jenis Dinoflagellata yang ditemukan yaitu, Alexandrium,

Ceratium, Dinophysis, Gymnodinium, Noctiluca, Peridinum, Prorocentrum, dan

Protoperidinium (Widigdo dan Wardianto, 2013).

13
5) Divisio Euglenophyta

Euglenophyta dimasukkan dalam kelompok alga hijau oleh beberapa ahli

taksonomi dan dimasukkan ke dalam golongan protozoa oleh karena organisme

ini memiliki sifat-sifat tanaman sekaligus hewan. Organisme ini merupakan

organisme eukaryotik dengan struktur-struktur tubuh yang dapat dijumpai pada

sebagian besar alga, namun mereka juga memiliki kerongkongan sehingga mereka

dapat memasukkan partikel ke dalam tubuhnya. Mereka memiliki satu flagella

yang panjang dan bisanya berenang dengan cara menarik diri mereka melalui air.

Beberapa di antaranya melakukan gerakan amoeboid. Organisme ini tidak

memiliki dinding sel, namun mereka memiliki lapisan luar yang keras yang

tersusun dari protein yaitu pellicle, yang memiliki fungsi yang sama seperti

dinding sel. Euglenophyta memiliki klorofil a dan b beberapa karotenoid dan

biasanya mereka terlihat berwarna hijau rumput. Euglena umumnya ditemukan

di perairan yang kaya akan nutrien (Wiryatno, 2017).

2.2.3. Struktur komunitas Fitoplankton

Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mempelajari sususan

atau komposisi spesies dan kelimpahannya dalam suatu komunitas. Secara umum

ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur

komunitas yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies dan interaksi

fungsional. Struktur komunitas plankton merupakan kumpulan populasi

plankton yang terdiri dari fitoplankton dan zooplankton pada suatu habitat

tertentu yang saling berinteraksi. Dinamika kelimpahan dan struktur komunitas

plankton terutama dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia, khususnya

14
ketersediaan unsur hara (nutrien) dan kualitas cahaya serta kemampuan

fitoplankton untuk memanfaatkannya (Zakiyyah, 2016).

Keragaman jenis merupakan karakteristik tingkat komunitas berdasarkan

organisme biologisnya. Keragaman jenis merupakan parameter yang digunakan

dalam mengetahui suatu komunitas. Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan

keseimbangan dalam suatu komunitas, akhir-akhir ini terjadi penurunan yang

menjadikan keragaman fitoplankton rendah (Pirzan dan Pong, 2008). Nilai

keragaman jenis apabila H'<1 maka stabilitas komunitas biota dinyatakan tidak

stabil, apabila nilai H' berkisar dari 1 – 3 maka stabilitas komunitas biota adalah

moderat (sedang) dan apabila nilai H'>3 berarti stabilitas komunitas biota

bersangkutan dalam kondisi prima. Semakin banyak jumlah anggota individunya

dan merata, maka indeks keanekaragaman juga akan semakin besar (Basmi, 2000

dalam Utojo, 2015).

Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman dipengaruhi oleh faktor

jumlah spesies, jumlah individu serta penyebaran individunya. pH, BOD,

intensitas cahaya dan nitrat merupakan bagian dari siklus hidroekologis yang

tentunya antara faktor lingkungan dan plankton saling berinteraksi. Sifat plankton

yang aerob fakultatif akan mempengaruhi BOD dan COD yang berada dalam

perairan. Sedangkan intensitas cahaya yang ada juga mempengaruhi keberadaan

fitoplankton yang ada di dalam suatu perairan (Sudarsono, 2014).

Kelimpahan merupakan padatan relatif suatu organisme di suatu tempat

tertentu. Kelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh sebaran konsentrasi

kekeruhan, karena semakin tinggi konsentrasi kekeruhan akan menyebabkan

15
adanya penutupan terhadap masuknya cahaya matahari ke dalam perairan, dan

pada akhirnya dapat mengganggu proses fotosintesis oleh fitoplankton (Wisha et

al., 2014). Handoko et al. (2013) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa

kelimpahan fitoplankton semakin besar seiring dengan kandungan nitrat dan

nitrat merupakan faktor penentu kelimpahan fitoplankton. Pada suatu sisi,

peningkatan populasi tersebut dapat memberi keuntungan bagi bidang budidaya

laut yaitu meningkatnya ketersediaan pakan alami bagi biota perairan dan biota

yang dibudidayakan. Pada sisi lain, pengaruh negatif peningkatan populasi

fitoplankton tersebut dapat menyebabkan keracunan bagi biota perairan dan juga

menyebabkan kadar oksigen menurun darastis pada malam dan pagi hari. Bahan

organik yang masuk ke perairan akan menyebabkan semakin tingginya tingkat

kekeruhan, sehingga dapat mempengaruhi penetrasi sinar matahari, hal tersebut

akan berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton (Abida, 2010

dalam Cokrowati et al., 2014).

Indeks kemerataan menunjukkan kemerataan pola penyebaran biota,

apakah biota tersebut menyebar merata atau tidak. Nilai tinggi pada indeks

kemerataan menunjukan bahwa struktur kandungan setiap takson tidak berbeda

banyak (Romimohtarto dan Sri, 2009). Nilai kemerataan atau keseragaman apabila

keseragaman mendekati nol berarti keseragaman antar spesies di dalam

komunitas tergolong rendah dan sebaliknya keseragaman yang mendekati satu

dapat dikatakan keseragaman antar spesies tergolong merata atau sama (Pirzan et

al. 2005 dalam Yanasari et al., 2017).

16
Indeks dominansi merupakan indeks yang memperlihatkan adanya spesies

yang mendominasi dalam suatu komunitas plankton. Indeks dominansi berkisar

antara 0-1. Apabila D < 0,5 berarti struktur komunitas dalam keadaan stabil, jika D

> 0,5 berarati struktur komunitas dalam keadaan labil karena terjadi tekanan

ekologis (Wahyuni dan Rosanti, 2016). Dominansi di suatu habitat tergantung

pada kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan perairan. Pola

penyebaran biota diakibatkan oleh perubahan faktor lingkungan perairan dengan

indeks kemerataan terhadap spesies tersebut (Romimohtarto dan Sri, 2009).

2.3. Faktor-Faktor Pertumbuhan Fitoplankton pada Tambak PT C.P. Prima

2.3.1. Faktor Fisika

2.3.1.1. Temperatur

Temperatur adalah faktor penting dalam suatu perairan karena

mempunyai pengaruh yang besar pada makhluk hidup salah satunya plankton

(Kadir et al., 2015). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan

meningkatnya temperatur perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah

mencapai suatu titik temperatur tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies

fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu (Vallina et al.,

2017). temperatur yang optimal untuk tambak adalah berkisar 27-300 (Supratno

dan Kasnadi, 2002 dalam Putra dan Manan, 2014).

2.3.1.2. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya berperan penting didalam fotosintesis, serta sangat

dipengaruhi olehg zat-zat didalam air. penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh

keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi, serta

ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Semakin tinggi penetrasi cahaya

17
maka pertumbuhan fitoplankton meningkat, karena semakin banyak cahaya yang

masuk ke perairan dan fitoplankton semakin aktif melakukan fotosintesis

(Prasetyaningtyas et al., 2012).

2.3.1.3. Kekeruhan

Kekeruhan atau Turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi

di dalam air. Turbiditas pada ekositem perairan juga sangat berhubungan dengan

kedalaman, kecepatan arus, tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Pengaruh

ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya matahari ke dalam

perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer akibat penurunan

fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik. Peningkatan kekeruhan pada

ekosistem perairan juga akan berakibat terhadap mekanisme pernapasan

organisme perairan (Patil et al., 2012). Berdasarkan PERMEN-KP No. 75 tahun

2016 kekeruhan dalam suatu perairan yang baik untuk kegiatan budidaya yaitu

berkisar antara <50 NTU.

2.3.1.4. Salinitas

Salinitas adalah komposisi ion ion dalam perairan. Ion-ion yang

terdapat dalam perairan laut terdiri dari enam elmen, yaitu klorin, sodium,

magnesium, sulfur, kalsium dan potassium. Salinitas merupakan faktor kimia

yang mempengaruhi sifat fisik air, diantaranya adalah tekanan osmotik dan

densitas air (Izzati, 2004). Salinitas yang baik untuk budidaya tambak udang

adalah 12-20‰, sedangkan udang akan mengalami kematian pada salinitas lebih

besar dari 50 ‰. Metabolisme pigmen udang tidak sempurna dan mudah

terserang penyakit apabila salinitas air tambak kurang dari 12 ‰ (Dede et al.,

2014).
18
2.3.2. Kualitas Kimia

2.3.2.1. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH merupakan logaritma negatif konsentrasi ion

H+. Hal tersebut menunjukan bahwa konsntrasi ion H+ yang tinggi menunjukan

nilai derajat keasaman yang rendah atau dalam suasana asam dan sebaliknya.

Nilai pH yang untuk kehidupan plankton di perairan sekitar 6,5 – 8,0. Perubahan

pH menjadi hal yang peka bagi sebagian besar biota akuatik. Umumnya, biota

akuatik menyukai pH yang netral (Prasetyaningtyaset al., 2012).

2.3.2.2. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh mikroorganisme pada suatu perairan untuk melakukan proses

dekomposisi bahan organik yang masuk ke perairan. Proses dekomposisi ini

mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup besar terutama

jika bahan organik yang masuk ke perairan dalam jumlah yang banyak (Arsad et

al., 2017). Kategori tingkat pencemaran suatu perairan berdasarkan BOD, yaitu

jika BOD < 3 mg/L tergolong belum atau sedikit ‘tercemar’, 3,0-4,9 mg/L telah

‘tercemar ringan ’, 5,0-15 mg/L tergolong tercemar ‘sedang’ dan > 5 mg/L

tergolong telah ‘tercemar berat’ (Lee et al., 1978 dalam Kadir et al., 2015).

2.3.2.3. Kesadahan

Kesadahan (Hardness) adalah gambaran kation logam divalen (valensi

dua) seperti Fe, Sr, Mn, Ca dan Mg. Kation-kation ini bereaksi dengan anion anion

yang terdapat di dalam air membentuk endapan. Kation utama penyebab dari

kesadahan adalah kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Kalsium dan magnesium

berasosiasi dengan ion CO32- dan HCO3-. Kesadahan ini sangat sensitif dengan

19
suhu dan dapat mengendap dengan mudah pada suhu yang tinggi. Selain itu,

alkalinitas juga mengpengaruhi kesadahan perairan. Jika alkalinitas melebihi

kesadahan maka sebagian dari anion-anion penyusun alkalinitas (bikarbonat dan

karbonat) berasosiasi dengan kation valensi satu (Effendi, 2003). Kadar kesadahan

hampir tidak mempengaruhi budidaya udang yang berada di dalam tambak, akan

tetapi kesadahan mempengaruhi keberadaan unsur-unsur hara yang diperlukan

oleh fitoplankton sebagai produsen primer (Mishra et al., 2008). Berdasarkan

PERMEN-KP No. 75 tahun 2016 tingkat total kesadahan air yang diperlukan

untuk budidaya 20–30 mg/L.

2.3.2.4. Alkalinitas

Alkalinitas menggambarkan kandungan basa yang dapat dititrasi dengan

asam kuat dan umumnya terdapat dalam air sebagai bikarbonat. Nilai alkalinitas

yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat perkembangan

organisme perairan (Soeseno, 1974). Alkalinitas yang dibutuhkan berperan

sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan

Boyd, 1989 dalam Putra dan Manan, 2014). Total alkalinitas yang dibutuhkan

untuk keperluan perikanan berada pada kisaran 50-300 mg/L (Cholik et al., 1986

dalam Putra dan Manan, 2014)

2.3.2.5. Ortofosfat

Ortofosfat merupakan sumber fosfat terbesar yang digunakan oleh

fitoplankton dan diserap dengan cepat pada konsentrasi kurang dari 1 mg/L.

Ortophosfat di perairan biasanya dalam jumlah sedikit, lebih sedikit daripada

nitrat karena sumbernya lebih sedikit dari pada nitrat. Hal ini sering

menyebabkan efisiensi zat hara yang dapat menekan pertumbuhan fitoplankton


20
serta akhirnya mengurangi produktivitas dalam sistem perairan (Reynold,1993

dalam Widyastuti dan Siregar, 2008). Berdasarkan PERMEN-KP No. 75 tahun 2016

kandungan ortofosfat rata-rata selama pemeliharaan udang vannamei di tambak

adalah 0,1-5 mg/L.

2.3.2.6. Nitrat

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan

nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga.Sangat mudah larut dalam air

dan bersifat stabil. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi

nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam proses nitrogen dan

berlangsung aerob. Untuk pertumbuhan fitoplankton memerlukan kandungan

nitrat 0,9 – 3,5 mg/L (Makmur et al., 2011)

21
III. MATERI DAN METODA

3.1. Materi Penelitian

3.1.1. Alat

Tabel 1. Alat yang digunakan

No Nama alat Fungsi


1 Ember volume 10 liter Mengambil air sampel
2 Plankton net no.25 mesh size 60 μm Menyaring plankton
3 Botol sampel 30 ml Tempat air sampel fitoplankton
4 Spuit 3 ml Mengambil larutan formalin
5 Mikroskop binokuler merk Mengamati fitoplankton
YAZUMI XSZ-107BN
6 Object glass Sebagai tempat sampel yang diamati
7 Cover glass Sebagai penutup sampel
8 Pipet tetes Mengambil sampel dalam botol sampel
9 Kamera ponsel Dokumentasi gambar fitoplankton
10 Botol Sebagai tempat akuades
11 Tissue Membersihkan alat
12 Buku identifikasi Mengidentifikasi fitoplankton
13 Alat tulis Mencatat data fitoplankton
14 Kertas label Memberi label pada botol sampel

3.1.2. Bahan

Tabel 2. Bahan yang digunakan

No. Bahan Fungsi


1 Lugol Mengawetkan sampel fitoplankton
2 Larutan formalin 40% Mengawetkan sampel fitoplankton
3 Akuades Membersihkan alat
4 Es batu Mendinginkan sampel fitoplankton

22
3.2. Metoda Penelitian

3.2.1. Metoda dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang Jawa

Barat yang memiliki lahan pertambakan. Metode penelitian yang digunakan

adalah metode survey. Penentuan stasiun penelitian dilakukan dengan

menggunakan metode purposive random sampling. Lokasi pengambilan sampel

dibagi menjadi 4 stasiun dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Penentuan stasiun

secara acak berdasarkan umur udang yang berbeda-beda, yaitu stasiun I pada

tambak dengan umur udang ≤30 hari, stasiun II pada tambak dengan umur udang

31-60 hari, Stasiun III pada tambak dengan umur udang 61-90 hari dan untuk

stasiun IV pada tambak dengan umur udang >90 hari.

Gambar 1. Lokasi PT C.P. Prima Desa Jayamukti, Kecamatan Blanakan


Kabupaten Subang Jawa Barat
(Sumber : Google Earth)

3.2.2. Parameter Penelitian

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter utama

yaitu keragaman, kelimpahan, indeks dominansi dan indeks kemerataan tiap jenis

fitoplankton yang berada di setiap bagian tambak. Parameter pendukung yaitu

23
suhu, penetrasi cahaya, kekeruhan, salinitas, pH, BOD, alkalinitas, kesadahan,

Nitrat (NO3-N), dan ortofosfat.

3.2.3. Prosedur Penelitian

3.2.3.1.1. Pengambilan dan Pengawetan Sampel Plankton

Pengambilan sampel air dilakukan dengan 2 cara yaitu in situ (langsung

Sampel air diambil sebanyak 100 liter dengan ember plastik bervolume 10 liter

dan dituangkan ke dalam plankton net No. 25. Sampel air yang tertampung dalam

botol penampung plankton net tersebut dipindahkan ke dalam botol sampel,

kemudian ditambahkan larutan formalin 40% hingga konsentrasi menjadi 4%.

Lugol ditambahkan sebanyak 3 tetes, lalu diberi kertas label dan didinginkan di

dalam icebox, lalu diamati di laboratorium. Formalin yang dibutuhkan dapat

diperoleh menggunakan rumus pengenceran.

N1x V1 = N2 x V2

Keterangan :
N1 = konsentrasi formalin yang dikehendaki (4%)
N2 = konsentrasi formalin yang tersedia (40%)
V1 = volume air dalam botol sampel (30 mL)
V2 = volume formalin dalam botol yang di perlukan (ml)

3.2.4. Pengumpulan Data

3.2.4.1. Perhitungan Keragaman Fitoplankton

Indeks keanekaragaman plankton dihitung dengan melihat genera

plankton yang didapatkan dan menggunakan persamaan Shanon Wiener.

Perhitungan ini mengambarkan analisa informasi mengenai jumlah individu serta

seberapa banyak jenis yang ada dalam suatu komunitas (Odum, 1971 dalam Utojo,

2015).

24
𝑠 𝑛𝑖 𝑛𝑖
H′= −∑𝑖−1 ln
𝑁 𝑁

Dimana :
H’ = indeks keragaman
S =jumlah spesies
Ni = jumlah individu tiap spesies ke-i
N =jumlah total individu semua spesies

3.2.4.2. Perhitungan Kelimpahan Fitoplankton

Perhitungan kelimpahan fitoplankton menggunakan rumus modifikasi dari

Lackey Drop Microtranset Counting (APHA, 2005 dalam Utojo, 2015) yaitu

𝐴 𝐶 1
N = n x 𝐵×𝐷×𝐸

Keterangan:
N = Jumlah total plankton
A = Luas gelas penutup ( 18 x 18 mm2)
B = Luas satu lapang pandang (1,11279 mm2)
C = Volume air tersaring ( 30 mL )
D = Volume air satu tetes ( 0,05 mL ) di bawah gelas penutup
E = Volume air yang disaring ( 100 L )
n = Jumlah rataan total individu per lapang pandang

3.2.4.3. Perhitungan Kemerataan Fitoplankton

Indeks kemerataan sangat penting untuk mengetahui berapa besar

penyebaran jumlah individu setiap jenis pada tingkat komunitas. Indeks

kemerataan dihitung dengan membandingkan indeks karagaman dengan nilai

maksimumnya, kemerataan ditentukan dengan menggunakan Indeks Kemerataan

(Odum, 1971 dalam Utojo, 2015).

H′
E=
H′ max

Keterangan:
E = indeks kemerataan
H’ = indeks keragaman
H’ max = log2 S atau ln S
S = jumlah spesies

25
3.2.4.4. Perhitungan Dominansi Fitoplankton

Indeks dominansi digunakan untuk melihat adanya dominansi oleh jenis

tertentu pada populasi plankton dengan menggunakan Indeks Dominansi Simpson

(Odum, 1971 dalam Utojo, 2015).

𝑛𝑖(𝑛𝑖−1)
𝐷=∑
𝑁 (𝑁−1)
Keterangan:
D = indeks dominansi
ni = jumlah individu tiap spesies ke-i
N = jumlah total individu semua spesies

3.2.5. Pengambilan Sampel Air Parameter Pendukung

3.2.5.1. Pengambilan dan Pengawetan Sampel

Pengambilan analisis kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu sampel

air diukur secara insitu (langsung diukur di lapangan) yang meliputi suhu,

penetrasi cahaya, kekeruhan, salinitas, pH, BOD, kesadahan, alkalinitas, dan nitrat

dan ortofosfat dan secara eksitu (dimasukkan ice box dan diukur di laboratorium)

yang meliputi sampel fitoplankton). Pengukuran analisis kualitas air meliputi

parameter kualitas air, satuan, dan metode pengukuran.

3.2.5.2. Prosedur Pengukuran Parameter Pendukung

Pengukuran parameter pendukung pada penelitian ini dapat ditunjukan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran Parameter Kualitas Air

No Parameter Satuan Alat/Metode Sumber

1 Temperatur oC Pemuaian APHA (2012)

2 Kekeruhan NTU Turbidimetri APHA (2012)

26
3 Salinitas ppt Konduktivitimetri APHA (2012)

4 Penetrasi Cahaya cm Secchi disk APHA (2012)

5 pH Unit Elektrometri APHA (2012)

6 BOD mg/L Winkler APHA (2012)

8 Alkalinitas mg/L Lungue APHA (2012)

9 Kesadahan mg/L Titrimetris APHA (2012)

10 Nitrat mg/L Spektrofotometri APHA (2012)

9. Ortophosfat mg/L Spektrofotometri APHA (2012)

3.3. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2019. Tempat penelitian

dilaksanakan di tambak PT C.P. Prima Subang Jawa Barat. Tempat analisis sampel

dilakukan di Laboratorium PT C.P. Prima Subang Jawa Barat.

3.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan:

1. Untuk mengetahui keragaman fitoplankton data dianalisis secara deskriptif

dengan kriteria (Basmi, 2000 dalam Utojo, 2015) dan data kelimpahan

fitoplankton pada tambak yang berbeda umur penebaran, dianalisis

menggunakan uji F. Apabila hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji

BNT.

2. Untuk mengetahui indeks kemerataan fitoplankton dianalisis secara

deskriptif dengan kriteria jika nilai 0 < E ≤ 0,4 maka kemerataan rendah, jika

nilai 0,4 < E ≤ 0,6 maka kemerataan sedang, jika nilai 0,6 < E ≤ 1,0 maka

kemerataan tinggi (Pirzan et al. 2005 dalam Yanasari et al., 2017) dan data
27
indeks dominansi plankton dianalisis secara deskriptif dengan kriteria

berkisar antara 0-1, apabila D < 0,5 berarti struktur komunitas dalam keadaan

stabil, jika D > 0,5 berarati struktur komunitas dalam keadaan labil karena

terjadi tekanan ekologis (Wahyuni dan Rosanti, 2016) dan dilanjutkan dengan

analisis aturan 50 % yaitu untuk mengetahui jenis-jenis plankton yang

predominan pada masing-masing stasiun. Terlebih dahulu ditentukan jenis

yang predominan (P) dan non predominan (-) pada masing-masing stasiun.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, R., Endang., Dwi Sunu W. 2014. Kelimpahan Chrysophyta pada


Media budidaya ikan nila yang diberi pakan fermentasi dengan
penambahan tepung kulit ubi kayu dan probiotik. Scrypta Biologica. 1(1):
66-70

APHA. 2012. Standard Methods For The Examination Of Water And Wastewater. 22nd
Edition. American Public Healt Association (APHA). Washington D.C.

Arif, Hermawan. 2012. Hubungan Salinitas Terhadap Persebaran Ikan Medaka Kepala
Timah (Aplocheilus Panchax ) Di Sungai Opak Daerah Istimewa Yogyakarta.S1
Thesis. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Arsad, S., Ahmad, A., Atika, P., Betrina, M. V., Dhira, K. S., Nanik, R. B. 2017.
Studi Kegiatan Budidaya Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei) dengan Penerapan Sistem Pemeliharaan Berbeda. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 9(1):1-14.

Bahri, S., Indra., Muyassir. 2014. Kualitas Lahan Tambak dan Sosial Ekonomi pada
Budidaya Udang dan Ikan di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh
Utara. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan, 3(1):412-420.

Banun, S., Arthana, W., Suarna, W. 2008. Kajian Ekologis Pengelolaan Tambak
Udang di Dusun Dangin Marga Desa Delodbrawah Kecamatan Mendoyo
Kabupaten Jembrana Bali. Jurnal Ilmu Lingkungan, 3(1):10-15.

Budihastuti, R. 2013. Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina


Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang. Disertasi. Universitas
Diponegoro Semarang

Cokrowati, N., Sadikin A., Zaenal A., Bagus D. H.S., Ayu A. D. 2014. Kelimpahan
dan Komposisi Fitoplankton di Perairan Teluk Kodek Pemenang Lombok
Utara. Depik.3(1): 21-26.

Damayanti, H. O. 2014. Tinjauan Kualitas dan Dampak Ekonomi Konsentrasi


Total Dissolved Solid (TDS) Air di Area Pertambakan Desa Bulumanis
Kidul. Jurnal Litbang, 5(2): 103-113.

Dede, H., Riris, dan A., Gusti, D. 2014. Evaluasi tingkat kesesuaian kualitas air
tambak udang berdasarkan produktivitas primer PT. Tirta Bumi Nirbaya
Teluk Hurun Lampung Selatan (studi kasus). Maspari Journal, 6 (1) : 32-38.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta.

29
Farionita, I. M., Joni, M. Aji., Agus, S. 2018. Analisis komparatif usaha budidaya
udang vannamei tambak tradisional dengan tambak intensif di Kabupaten
Situbondo. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (JEPA), 2(4) : 255-266.

Gumelar, B. A., Abdi, S., Nurhadi, B. 2018. Studi Perbandingan Konsentrasi


Klorofil-a pada Tambak Bandeng Tradisional dan Tambak Bandeng
Intensif Menggunakan Citra Landsat 8. Jurnal Geodesi, 7(4) : 66-77.

Handayani, D. 2009. Kelimpahan dan Keragaman Plankton di Perairan Pasang Surut


Tambak Blanakan, Subang. Skripsi. 91 hal.

Hasnawi., Tarunamulia., Akhmad, M. 2016. Analisis Kawasan Potensial Untuk


Tambak Super-Intensif di Pesisir Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi
Selatan. Media Akuakultur, 11(1):35-46.

Izzati, M. 2004. Kejernihan dan Salinitas Perairan Tambak setelah Penambahan


Rumput Laut, Sargassum plagyophyllum dan Ekstraknya. BIOMA. 10(2): 53-
56.

Kadir, M.A., A. Damar, M. Krisanti. 2015. Dinamika Spasial dan Temporal


Struktur Komunitas Zooplankton di Teluk Jakarta.Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 20 (3) : 247-256.

Kolaya, Ira., Retno Hartati dan Hadi.E. 2014. Kelimpahan Fitoplankton pada
Tambak Tidak Produktif di Desa Mangunharjo, Semarang. Journal of
Marine Research. 3 (4):492-498.

Kristiansen, J., and Skaloud, P. 2016. Chrysophyta. Spriger Internasional


Publishing. Switzerland.

Lathifah, N., Hidayat, J. W., Muhammad, F. 2017. Struktur Komunitas


Fitoplankton sebagai Dasar Pengelolaan Kualitas Perairan Pantai
Mangrove di Tapak Tugurejo Semarang. BIOMA: Berkala Ilmiah Biologi.
19(2): 164-169.

Luthfi, M. Z., Sri, R., Tita, E. 2017. Analisa kelayakan usaha budidaya polikultur
udang windu (Penaeus monodon) dan ikan koi (Cyprinus carpio) di Desa
Bangsri, Kabupaten Brebes. Jurnal Sains Akuakultur Tropis, 1(1) : 62-71.

Machzar, A. F., Sabriansyah, R.A., Hurriyatul, F. 2018. Implementasi sistem


monitoring kualitas air pada budidaya tambak udang dan bandeng. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer, 2(10) : 3458-3465.

Mahmud, S., Aunurohim., Tjahyaningrum, I. T. D. 2012. Struktur Komunitas


Fitoplankton Pada Tambak Dengan Pupuk Dan Tambak Tanpa Pupuk Di
Kelurahan Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur. Jurnal Sains Dan Seni ITS. 1:
10 –15.

30
Mangampa, M., dan Hidayat, S. S. 2010. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) Teknologi Intensif Menggunakan Benih Tokolan. J. Ris.
Akuakultur, 5(3) : 351-361.

Mishra, R., Biswajit, R., Hrudayanthnath, T. 2008. Water Quality Assessment of


Aquaculture Ponds Located in Bhitarkanika Mangrove Ecosystem, Orissa,
India. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 8 : 71-77.

Mujiman, A. dan S.R. Suyanto. 2005. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Patil, P. N, Sawant, D. V, Deshmukh, R. N. 2012. Physico-chemical parameters for


testing of water A review. International Journal Of Environmental Sciences.
3(3): 1194-1207.

Pirzan, A.M. dan P. R. Pong-Masak. 2008. Hubungan Produktifitas Tambak


dengan Keragaman Fitoplankton di Sulawesi Selatan. J. Ris. Akuakultur.
2(2): 211-220.

Prasetyaningtyas, T., Priyono, B,. Pribadi, T. A. 2012. Keanekaragaman Plankton


Di Perairan Tambak Ikan Bandeng Di Tapak Tugurejo, Semarang. Unnes
Journal of life science. 1(1): 54-61

Putra, F.R. dan Manan, A. 2014. Kualitas Air pada Tambak Pembesaran Udang
Vannamei di Situ Bondo, Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan.
6(2): 137-141.

Rachmansyah., Makmur., Muhammad, C. U. 2014. Estimasi Beban Limbah


Nutrien Pakan dan Daya Dukung Kawasan Pesisir untuk Tambak Udang
Vannamei Superintensif. J. Ris. Akuakultur. 9(3):439-448.

Romimohtarto, K. dan Sri, J. 2009. Biologi Laut : Ilmu Pengetauan Tentang Biologi
Laut. Djambatan. Jakarta.

Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan dan


Perikanan. UNDIP, Semarang.

Siregar, A. S., Romdoni, T. A., Prayogo, N. A. 2019. Water Quality Monitoring


Using WQI Method In Cemara Sewu Shrimp Farm Jetis Cilacap Regency.
In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 255(1) : 1-7.

Tarunamulia, Mustafa, A., Hasnawi, Kamariah. 2015. Kelayakan Rekayasa


Tambak Silvofishery Di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Riset Akuakultur. 10(4): 579-592

Utojo dan Akhmad M. 2016. Struktur Komunitas Plankton Pada Tambak Intensif
Dan Tradisional Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. (1): 269-288.

31
Utojo. 2015. Keragaman Plankton dan Kondisi Perairan Tambak Intensif dan
Tradisional di Probolinggo Jawa Timur. Boisfera. 32(2): 83-97.

Widigdo, B. dan Wardianto, Y. 2013. Dinamika Komunitas Fitoplankton dan


Kualitas Perairan di Lingkungan Perairan Tambak Udang Intensif: Sebuah
Analis Korelasi. Jurnal Biologi Tropis. 13(2): 160-184.

Widyastuti, E., dan Siregar, A.S. 2008. Hidrobiologi. Universitas Terbuka.


Purwokerto.

Wiryatno, J. 2017. Jenis-Jenis Mikroalga Yang Terdapat di Estuari Dam Denpasar


Bali. Laporan Penelitian. FMIPA Universitas Udayana, Denpasar. 24 hal.

Wisha, U., Yusuf, J.M., Maslukah, L. 2014. Sebaran Padatan Tersuspensi dan
Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai Porong Kabupaten Sidoarjo.
Jurnal Oseanografi. 3(3) : 454-461.

Yanasari, N., Joko S., Sofyan H.S. 2017. Struktur Komunitas Fitoplankton Di
Perairan Muara Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
Jurnal Online Mahasiswa FPIK. 4(2): 1-11.

Yuliana., Adiwilaga, E. M., Harris E., Pratiwi N. T. M. 2012. Hubungan Antar


Kelimpahan Fitoplankton Dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan Di
Teluk Jakarta. Jurnal Akuatika. 3(2).

Zakiyyah, I., Wasiq, J., Muhammad, F. 2016. Struktur Komunitas Plankton


Perairan Payau di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak. Bioma. 18(1):
89-96.

Zohary, T., Sukenik, A., Berman, T., Nishri, A. 2014. Lake Kinneret: Ecology and
Management. Springer. https://www.researchgate.net/publication/305936040

32

Anda mungkin juga menyukai