Anda di halaman 1dari 7

Budidaya Komoditas Teripang Pasir, Bandeng dan Rumput

Laut Menggunakan Metode IMTA

Dosen Pengampu:

Febriyani Eka Supriyatin, S.Si., M.Si.

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5

1. Aisyah Nurul Jannah (235080107111031)


2. Alisha Etsarani (235080101111051)
3. Choiriyah Fatimatus Z.R (235080107111043)
4. Frina Anggreni (235080107111035)
5. Miclialma Supriadi (235080100111053)
6. Zaskia Armelia N. P (235080107111039)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG2023
BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang

Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) adalah praktik budidaya perikanan yang
melibatkan hubungan mutualistik antara organisme pada tingkatan tropik rendah, misalnya pada
organisme pemakan. Suspensi terlarut dalam air (suspension feeders) ke tropik yang lebih tinggi,
misalnya ikan, sehingga limbah nutrisi dari satu spesies dapat menjadi sumber masukan nutrisi untuk
organisme lainnya (Reid et al., 2007; Troell et al., 2003, 2009). Efektivitas IMTA telah dibuktikan
baik dalam perairan tawar dan laut dengan memadukan berbagai jenis organisme (FAO, 2009).
Budidaya sistem IMTA merupakan pendekatan budidaya yang baru dilakukan dengan
mengintegrasikan budidaya spesies yang dalam pertumbuhannya membutuhkan pakan tambahan (fed
species), seperti ikan bersirip. Spesies yang mampu mengekstraksi materi anorganik seperti rumput
laut, dan spesies yang mampu mengekstraksi bahan organik seperti organisme pemakan suspensi
(suspension dan deposit feeders), sehingga dapat menimbulkan efek negatif dari industri akuakultur di
ekosistem alamnya. Aplikasi IMTA bertujuan untuk mengurangi pelepasan limbah budidaya, dan
memiliki kelebihan yang mungkin termasuk mengurangi dampak ekologis, meningkatkan
diversifikasi produk budidaya, dan meningkatkan penerimaan sosial dari sistem budidaya tersebut,
sehingga aplikasi IMTA memiliki kontribusi pada keberlanjutan budidaya. Namun demikian, sebagian
besar penelitian difokuskan pada sistem budidaya perikanan darat dan hanya sedikit yang menyelidiki
kemungkinan aplikasi IMTA di perairan laut terbuka (coastal dan offshore water ecosystem).

1.2. Pemilihan Komoditas

Pemilihan komoditas yang diambil oleh kelompok 5 yaitu ikan bandeng, teripang pasir, dan
rumput laut. Budidaya IMTA merupakan metode budidaya dengan pendekatan multitrofik yang
menggabungkan komoditas bandeng, teripang, dan rumput laut dalam satu tambak.

1.3 Pemilihan Lokasi

Lokasi yang dipilih menekan pada pengembangan budidaya laut dan budidaya air payau
(tambak). Tingkat teknologi budidaya di laut yang menjadi perhatian yaitu budidaya laut terintegrasi
(IMTA) dengan komoditas ikan kerapu, ikan bawal bintang, rumput laut, abalon, dan
kerang-kerangan. Sedangkan pada budidaya air payau lebih memperhatikan kepada teknologi tambak
silvofishery dan tambak supra-intensif. Pemilihan lokasi berada di daerah inlet atau masuk nya air laut
ketika surut yang menjadi area terdekat dari pelabuhan kapal atau perahu pekerja KJA dan nelayan.
Lokasi yang paling sedikit terdapat di KJA, kegiatan di KJA menjadi jalur lalu lintas utama dan
menjadi lokasi paling ujung. Pada saat surut rendah memunculkan pasir dan daratan lainnya yang
akan menutup akses air keluar teluk.

1.4 Teripang Pasir

Teripang pasir (Holothuria scabra) merupakan sumberdaya laut bernilai ekonomis tinggi, dan
berkhasiat obat. Tingginya kebutuhan dan nilai ekonomis tersebut menyebabkan permintaan makin
meningkat, padahal semuanya hanya mengandalkan tangkapan dari alam, sehingga di hampir semua
lokasi memperlihatkan terjadi gejala tangkap lebih. Atas dasar itu maka perlu segera dibuat rancang
bangun hatchery teripang pasir terstandar berbasis kearifan lokal untuk penyediaan bahan baku
industri farmasi yang kontinyu dan berkelanjutan. Fungsi komoditas ini dalan budidaya IMTA yaitu
sebagai pemakan Detritus, Memakan sisa pakan, feses, sisa pembusukan dan bahan organik lain,
Menggemburkan dasar perairan, Menghasilkan biomassa (produk)

1.4 Ikan Bandeng

Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas perairan payau yang
dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ikan bandeng menjadi bahan pangan yang
mengandung gizi sangat cukup dan bermanfaat bagi tubuh. Ikan bandeng memiliki kandungan gizi
yaitu kadar air berkisar 70,7%; kadar abu 1,4%; protein 24,1%; lemak 0,85%; karbohidrat 2,7%
(Hafiludin 2015). Ikan bandeng menyediakan benih dan pakan yang memadai kualitas maupun
kuantitas dengan baik untuk meningkatkan produksi. Pakan yang dikandung harus mengandung
nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ikan seperti karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin
(Kordi,2005). Pakan buatan yang paling mahal pada ikan yaitu protein, karena ikan memerlukan
protein yang sangat tinggi (50-70%) dibandingkan pada hewan darat lainnya. Pertumbuhan benih ikan
memerlukan kadar protein yaitu 25-35%. Ikan bandeng menjadi salah satu spesies yang utama dalam
sistem budidaya Integrated Multi Tropic Aquaculture(IMTA) yang menggabungkan beberapa
komoditas di dalam satu sistem budidaya. Sistem IMTA menjadi komoditas dengan trofik yang
berbeda dan membantu dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Selanjutnya fungsi bandeng dalam
budidaya ini adalah sebagai konsumen, Memakan plankton di kolom perairan, Memakan klekap dan
lumut; menjaga rumput laut tetap bersih, Menghasilkan biomassa (produk).
1.4 Rumput laut

Rumput laut (GraciLARIA SP) dalam komoditas IMTA memiliki peran penting sebagai
biofilter dan penghasil biomassa yang bernilai ekonomis. Rumput laut juga berfungsi sebagai
penyerap nutrien dan limbah dari budidaya ikan, sehingga dapat membantu menjaga keseimbangan
ekosistem perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut dalam sistem
IMTA dapat mencapai 74% lebih baik dibandingkan dengan sistem monokultur. Potensi rumput laut
perlu terus digali karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan merupakan salah satu komoditas
budidaya laut yang penting di Indonesia. Adapun fungsi dari komoditas ini yaitu Produsen, menyerap
sisa metabolisme teripang dan bandeng (Ammonia, Nitrit, Nitrat, Fosfat), menghasilkan biomassa
(produk) dan terakhir sebagai shelter bagi teripang.

1.7 Perbedaan IMTA dan Polikultur

IMTA berbeda dengan polikultur karena polikultur adalah membudidayakan lebih dari satu
spesies tanpa memperhatikan kegunaan spesies dalam ekosistem, sedangkan IMTA menitikberatkan
pada kemampuan spesies dalam menjaga keseimbangan ekosistem sehingga setiap spesies tertentu
memiliki fungsi yang berbeda misalnya sebagai karnivora e, herbivore, detritus, biofiltering dan
penyerang partikel sehingga keseimbangan ekosistem mampu terjaga dengan baik. IMTA dapat
digunakan hampir seluruh wadah budidaya baik laut maupun darat karena konsep keseimbangan
ekosistem yang diterapkan. IMTA pertama kali diterapkan di Norwegia dengan memanfaatkan
salmon, kelp dan kerang (Chopin. 2004).

1.8 Kekurangan dan Kelebihan IMTA

Sistem Budidaya IMTA sendiri merupakan sistem budidaya yang efektif sehingga sangat
disarankan. Beberapa kelebihan IMTA diantaranya yaitu memiliki Penerapan perikanan budidaya
terintegrasi yang sangat sesuai dengan konsep BE dan ecosystem approach to aquaculture (EAA)
yang dirumuskan oleh FAO (Soto et al., 2008; FAO 2009). Melalui IMTA, selain dapat meningkatkan
produktivitas secara simultan juga dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan. Hal ini terjadi
karena pemanfaatan siklus energi yang efektif dari setiap komoditas yang dibudidayakan (FAO,
2010). Konsep IMTA adalah menggabungkan kegiatan pemeliharaan beberapa spesies dari tingkat
trofik yang berbeda yaitu antara komoditas budidaya utama yang diberi pakan (ikan) dengan
komoditas dengan trofik level yang lebih rendah sebagai penyerap bahan organik tersuspensi
(suspension dan deposit feeder, contoh kekerangan) dan bahan anorganik terlarut (rumput laut)
penyerap (Troell et al., 2009). Konsep IMTA ini dapat diaplikasikan pada semua ekosistem: air tawar,
payau, dan laut. Potensi lahan yang dimiliki oleh wilayah pengembangan merupakan kekuatan
lainnya dalam mendukung pengembangan IMTA. Meskipun memiliki kelebihan, ternyata sistem ini
juga memiliki kekurangan karena upaya penerapan perikanan budidaya yang berbasis IMTA yang
masih belum mendapatkan dukungan sepenuhnya, baik dari segi ketersediaan sumberdaya manusia
yang handal, kurangnya pemahaman pelaku budidaya tentang dampak terhadap lingkungan, serta
komoditas yang dikembangkan umumnya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga
membutuhkan modal usaha yang cukup tinggi. Penerapan langsung tentang IMTA sangat kurang dan
belum menjadi prioritas dalam penegmbangan perikanan budidaya yang berbasis kawasan.

1.9 Desain dan Konstruksi IMTA

1.10 Persiapan Lahan

Tahapan persiapan lahan untuk budidaya IMTA (Integrated Multi-Trophic


Aquaculture) dapat mencakup beberapa langkah, seperti pengeringan kolam, pengapuran
tanah, pemupukan, dan penggenangan kolam dengan air. Tahapan ini bertujuan untuk
menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan organisme budidaya dengan baik.
Pengeringan kolam dilakukan untuk memutus siklus hidup hama dan penyakit yang mungkin
ada pada periode budidaya sebelumnya. Setelah itu, tanah dikapur dan didiamkan selama
beberapa hari sebelum dilakukan pemupukan. Tahap terakhir adalah penggenangan kolam
dengan air secara bertahap. Pertama-tama, dasar kolam digenangi air setinggi 10-15 cm
selama 2-3 hari untuk memungkinkan tumbuhan dan hewan berkembang biak.
Daftar Pustaka

Deran, M. Y. K., Tjendanawangi, A., & Dahoklory, N. (2023). Efektifitas Substitusi Tepung
Ikan (Brevoorita tyrannus) dengan Tepung Ampas Kelapa (Cocus nucifera L)
Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Ikan Bandeng (Chanos chanos). JURNAL
VOKASI ILMU-ILMU PERIKANAN (JVIP), 3(2), 147-153.

Purwanti, A. (2016). Persiapan Kolam Tanah Untuk Budidaya Ikan

Radiarta, I. N., Erlania, E., & Haryadi, J. (2015). Analisis Pengembangan Perikanan Budidaya
Berbasis Ekonomi Biru Dengan Pendekatan Analytic Hierarchy Process (Ahp). Jurnal
Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 10(1), 47-59.

Sabilu, Kadir, S., Eddy, N., Kukuh, J., Dedi, W., (2021). Pemanfaatan Limbah Sedimen
Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Sistem Intensif untuk Budidaya
Teripang Pasir (Holothuria scabra, Jaeger 1883) (Doctoral dissertation, IPB
University).

Sanger, G., Kaseger, B. E., Rarung, L. K., & Damongilala, L. (2018). Potensi beberapa jenis
rumput laut sebagai bahan pangan fungsional, sumber pigmen dan antioksidan alami.
Jurnal pengolahan hasil perikanan Indonesia, 21(2), 208-217.

Tammi, T., Pratiwi, N. T., & Radiarta, I. N. (2015). Aplikasi analisis klaster dan indeks trix
untuk mengkaji variabilitas status trofik di teluk pegametan, singaraja, bali. Jurnal
Riset Akuakultur, 10(2), 271-281.

Triarso, I., & Putro, S. P. (2019). Pengembangan budidaya perikanan produktif berkelanjutan
sistem imta (integrated multi-trophic aquaculture)(studi kasus di kep. karimunjawa,
jepara). Life Science, 8(2), 192-199.

Anda mungkin juga menyukai