Anda di halaman 1dari 9

REGULASI HORMONAL PADA METAMORFOSIS KATAK

Oleh :
Nama : Rizqi Nahriyati
NIM : B1A015088
Kelompok : 3
Rombongan : II

LAPORAN PRAKTIKUM ENDOKRINOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Tujuan

Tujuan praktikum regulasi hormonal pada metamorfosis katak adalah


untuk mengetahui hubungan fungsi hormon tiroid dengan perubahan-perubahan
metamorfosis berudu melalui penambahan hormon tiroksin dan anti tiroksin.
1.2 Manfaat

Manfaat praktikum regulasi hormonal pada metamorfosis katak adalah


untuk melihat pengaruh hormon tiroksin dan anti tiroksin terhadap metamorfosis
katak.
II. MATERI DAN PROSEDUR KERJA

2.1 Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah larva anura atau larva
urodela tingkat tunas ekor dan belum memiliki tunas kaki, hormon tiroksin (100 mg
per tablet), antitiroksin (propylthiouracil, 100 mg per tablet), air media inkubasi
larva, dan bayam rebus.
Alat yang digunakan adalah bak plastik tempat inkubasi berudu, milimeter
blok, mikroskop atau loop, alat bedah, mortar dan martil, gelas ukur, seser kecil atau
saringan teh.

2.2 Prosedur Kerja


Metode yang dilakukan pada praktikum ini adalah :
1. Larva atau berudu yang belum memiliki tunas kaki belakang dengan panjang
tubuh sekitar 7 mm disiapkan.
2. Panjang kepala, lebar kepala, dan panjang ekor diukur menggunakan milimeter
blok. Bagian ventral berudu diamati di bawah mikroskop (loope) dan
diperhatikan susunan saluran pencernaannya.
3. Sebanyak 5 unit percobaan masing-masing berisi 10 ekor berudu disiapkan.
Percobaan 1 dan 2, masing-masing ditambahkan prophylthiouracil sebanyak 25
mg, 50 mg, dan 100 mg per ml medium. Percobaan 3 dan 4, masing-masing
ditambahkan hormon tiroksin ditambahkan sebanyak 25 mg, 50 mg, dan 100 mg
per ml medium. Percobaan kelima merupakan kontrol sehingga tidak
ditambahkan apapun ke dalam medium inkubasi.
4. Larva dipelihara dalam ketiga kondisi tersebut selama 1 minggu dengan
pergantian medium inkubasi dilakukan setiap empat hari sekali dan larva diberi
pakan berupa bayam rebus setiap dua hari sekali.
5. Pengukuran panjang ekor, panjang kepala, lebar kepala dan panjang usus
dilakukan kembali pada hari terakhir pegamatan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Tabel 3.2
3.2 Pembahasan

Metamorfosis pada amphibi merupakan suatu proses rangkaian morfologik,


biokimia dan tingkah laku yang luas, yang merubah larva akuatik dan herbivora
menjadi hewan dewasa muda yang bernafas dengan paru-paru, karnivora dan hidup
di darat. Sebagian besar perubahan morfologik dan biokimiawi metamorfosis
amphibi diduga dimediasi langsung oleh hormon tiroid T3 dan T4. Beberapa
perubahan, seperti sintesis vitelogenin yang diinduksi estrosol, tampak diregulasi
secara tidak langsung oleh hormon kelenjar tiroid, yang lain seperti penggantian
hemoglobin larva ke hemoglobin dewasa disebabkan kronologi kedewasaan dan
bebas dari aktivitas hormonal (Blakery, 1985). Terdapat tiga tingkatan perubahan
metamorfik. Tahapan yang pertama adalah premetamorfosis yang ditandai dengan
pertumbuhan larva yang sangat dominan, yaitu ukuran tubuh berudu semakin besar.
Tahapan yang kedua adalah prometamorfosis. Selama tahapan prometamorfosis,
petumbuhan berlanjut dan beberapa perkembangan berubah, seperti mulai
munculnya membra belakang. Perkembangan membra depan dapat menandai
dimulainya metamorfosis klimaks, suatu periode perubahan morfologi dan fisiologi
yang luas dan dramatik (Kimball, 1992). Menurut Putri et al (2013), awal
metamorfosis berudu katak nampak oleh munculnya kaki belakang (hind limb)
biasanya pada minggu kedua yaitu antara hari ke 14 sampai hari ke 16.
Perkembangan selanjutnya yaitu sampai tahap munculnya kaki depan.
Faktor yang mempengaruhi metamorfosis dapat dibedakan menjadi faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan antara lain
temperatur air, kualitas air dan adanya parasit serta jumlah pakan yang tersedia.
Berudu yang hidup pada temperatur rendah biasanya dapat meningkatkan ukuran
tubuhnya. Faktor internal meliputi perbedaan umur, kemampuan beradaptasi dengan
lingkungannya dan adanya ketahanan terhadap penyakit (Sanuy, 2008). Selain dua
faktor tersebut juga ada salah satu faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor hormon.
Hormon utama metamorfosis amfibi adalah hormon tiroid, yang serupa dengan
ecdyson pada metamorfosis serangga. Hormon ini diproduksi dalam kelenjar tiroid
yang terletak pada bagian ventral dari trachea pada leher. Komponen aktif dari
hormone tiroid adalah thyroxine (T4) dan triiodothyronine (T3), keduanya
merupakan derivat dari asam amino tyrosine. Triiodothyronine (T3) secara umum
terlihat sebagai komponen yang lebih aktif, juga disintesis dari thyroxine (T4) dalam
jaringan lain dari kelenjar tiroid. Ketika kelenjar tiroid dipindahkan dari berudu
muda, mereka tumbuh menjadi berudu dewasa yang tidak pernah mengalami
metamorfosis. Sebaliknya, ketika hormone tiroid diberikan pada berudu muda
dengan makanan atau injeksi, mereka bermetamorfosis secara prematur (Gilbert.,
2000).
Praktikum kali ini dilakukan untuk mengetahui regulasi hormonal pada berudu
selama metamorfosis katak dengan menggunakan media air sebagai kontrol dan
untuk media perlakuan berupa tiroksin dan antitiroksin yaitu propylthiouracil (PTU).
Konsentrasi tiroksin dan propylthiouracil yang diberikan masing-masing sebesar
25, 50, dan 100 mg/L. Hasil survival rate (SR) tertinggi dari setiap perlakuan yaitu
terdapat pada berudu dengan media PTU konsentrasi 50 mg/L ulangan kedua yaitu
sebesar 40%, lalu PTU konsentrasi 25 mg/L ulangan kedua yaitu sebesar 33%, PTU
konsentrasi 50 mg/L ulangan kesatu dan kontrol ulangan kedua sebesar 30%, PTU
100 mg/L ulangan kesatu sebesar 28%, kontrol ulangan ketiga sebesar 20%, dan
PTU konsentrasi 100 mg/L ulangan ketiga sebesar 10%, sedangkan yang lainnya
tidak terdapat berudu yang survive (0%). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
berudu pada media PTU dan kontrol lebih survive, sedangkan berudu pada media
tiroksin menunjukkan laju survival yang lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan
karena konsentrasi yang diberikan terhadap berudu termasuk konsentrasi yang tinggi
sehingga memicu berudu untuk bermetabolisme lebih dari biasanya yang
menyebabkan berudu kehilangan energi secara drastis, sedangkan usia berudu masih
sangat muda sehingga tidak tahan terhadap pemberian tiroksin. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Hermawan et al (2004) bahwa kematian total pada larva diduga
disebabkan oleh dosis tiroksin yang terlalu tinggi. Pemberian dosis yang terlalu
tinggi menyebabkan laju metabolisme dalam tubuh berjalan terlalu cepat sehingga
terjadi mortalitas pada organisme tersebut. Pemberian tiroksin dalam dosis tinggi
juga dapat menyebabkan abnormalitas serta terjadinya kematian. Selain itu, laju
survival yang rendah juga dapat disebabkan oleh faktor pakan pada berudu dimana
Putri et al (2013) menyatakan bahwa pemberian pakan konvensional dapat
menyebabkan kondisi lingkungan air kotor dan mudah terkontaminasi, hal ini dapat
mempengaruhi tingkat survival rate selama masa pertumbuhan. Bayam rebus
menyebabkan air menjadi mudah keruh dan nutrisi yang dikandung bayam rebus
tidak dapat memenuhi kebutuhan selama fase metamormosis. Selain itu, protein,
lemak, dan karbohidrat merupakan sumber yang paling penting untuk pembentukan
energi atau ATP yang digunakan dalam aktivitas metabolisme di dalam tubuh berudu.
Khususnya protein yang merupakan kunci untuk menstimulasi terjadinya
metamorfosis.
Perkembangan berudu pada masing-masing perlakuan baik kontrol, tiroksin
maupun PTU tidak menunjukkan hasil apapun, atau tidak berpengaruh. Berudu yang
dipelihara selama 7 hari tersebut belum mengalami tanda-tanda perkembangan
seperti munculnya membra belakang, membra depan dan pigmentasi daerah ventral.
Namun, hanya pada berudu dengan perlakuan kontrol ulangan ke-2 terdapat tiga ekor
berudu yang mengalami pigmentasi daerah ventral. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan Hermawan et al (2004) bahwa hormon tiroksin (T4) berperan penting
dalam metabolisme tubuh sehingga dapat mempercepat perkembangan dan
pertumbuhan. Hasil yang didapatkan dimungkinkan karena waktu pemeliharaan yang
kurang lama sehingga perubahan tersebut belum terlihat pada masing-masing berudu
atau berudu tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang mengharuskannya
untuk bermetabolisme lebih. Selain itu, menurut Putri et al (2013) faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada berudu antara lain kondisi air,
jumlah asupan pakan, dan tingkat kerapatan individu dalam wadah pemeliharaan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa


perbedaan dosis dari setiap perlakuan yang diberikan tidak menunjukan adanya
pengaruh terhadap metamorfosis berudu seperti munculnya membra depan serta
membra belakang serta abdomen yang masih terlihat transparan atau belum
terpigmentasi.

4.2 Saran
Saran untuk praktikum ini adalah sebaiknya berudu yang digunakan tidak
terlalu kecil agar lebih bisa survive.
DAFTAR REFERENSI

Blakery, J. 1985. The Sience of Animal Husbandry. Reston Publishing Company Inc.
Gilbert, S. F. 2000. Development Biology. Massachusetts: Sinaur Assacieates.

Hermawan, Zairin Jr. M., & Raswin, M. M. 2004. Pengaruh Pemberian Hormon
Tiroksin pada Induk Terhadap Metamorfosa dan Kelangsungan Hidup Larva
Ikan Betutu, Oxyeleotris marmorata (Blkr.). Jurnal Akuakultur Indonesia.
3(3), pp. 5-8.

Kimball, T. W. 1992. Biologi Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Putri, A. R. I., Kurniawa, N., & Marhendra, A. P. W. 2013. Pengaruh Hormon


Hipofisa dan Ovaprim Terhadap Ovulasi Katak Serta Perbedaan Pakan
Terhadap Pertumbuhan Berudu Katak (Fejervarya cancrivora). Jurnal
Biotropika. 1(5), pp. 191-195.
Sanuy, D. And N. Oromi. 2008. Effect of Temperature On Embryonic and Larval
Development and Growth In The Natterjack Toad (Bufo calamita) in a Semi-
arid Zone. Animal Biodiversity and Conservation. 31(1).

Anda mungkin juga menyukai