Anda di halaman 1dari 3

MAKALAH BIOFARMASETIKA

Disusun Oleh :

Dyah Prihartiningsih (18331008)

Dosen pengampu : Trisna Dewi Nirmalasari,S.Farm, M.Sc.,Apt.

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AKBIDYO YOGYAKARTA

2019/2020
A. In Vivo

In Vivo adalah bahasa Latin untuk “dalam organisme hidup”; mengacu pada penelitian yang
dilakukan menggunakan subjek manusia atau hewan. Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan
yang bersifat imunogenik, Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif
palsu, Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul: insulin, antisera,
ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
penisilin saja. Prinsip Kerja In Vivo yaitu Pengujian secara biologis biasanya menggunakan hewan
coba untuk membantu menjalakan penelitian-penalitian yang tidak bisa secara langsung dilakukan
dalamtubuh manusia dengan asumsi semua jaringan, sel-sel penyusun tubuh, sertaenzim-enzim ada
dalam tubuh hewan coba tersebut memiliki kesamaan dengan manusia. Kecernaan In vivo merupakan
suatu cara penentuan kecernaan nutrient menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrient
pakan dan feses (Tillman at al, 1991).

B. In Vitro

Kecernaan in vittro memiliki keuntungan lebih singkat, lebih ekonomis, tidak adanya resiko kematian
pada ternak, dan prediksi yang tidak berbeda jauh dengan metode in vivo atau yang biasa dilakukan
untuk mengukur kecernaan pada ternak ruminansia. Dasar dari metode ini adalah menirukan proses
yang terjadi dalam rumen dan cara yang paling sering digunakan adalah teknik in vitro. Pola
degradasi di dalam rumen dapat dipelajari dengan menggunakan variasi waktu inkubasi pada metode
standar. Metode in vitro juga dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi produk akhir fermentasi.
Kecernaan In vitro merupakan suatu prosedur yang mencoba meniru proses kecernaan yang terjadi
dalam tubuh ternak. Prosedur ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap pertama adalah pencernaan yang
dilakukan mikroorganisme cairan rumen, kemudian diikuti tahap kedua oleh larutan asam dan
pepsin.Metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Prinsip dan
kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme
dalam rumen dan abomasum. pH rumen dan reticulum berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi sesuai
dengan rasio pemberian konsentrat. Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo
agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga tidak terlalu berbeda jauh
dengan pengukuran secara in vivo. Menurut Anonymous (2008). Teknik kecernaan in vittro memiliki
keuntungan lebih singkat, lebih ekonomis, tidak adanya resiko kematian pada ternak, dan prediksi
yang tidak berbeda jauh dengan metode in vivo, Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai
sistem in vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama sehingga nilai yang didapat juga tidak terlalu
berbeda jauh dengan pengukuran secara in vivo. Kecernaan in vitro adalah teknik pengukuran
degradabilitas dan kecernaan evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium
dengan meniru seperti kondisi sebenarnya. Pada dasarnya teknik in vitro adalah meniru kondisi
rumen. Kondisi yang di modifikasi dalam hal ini antara lain larutan penyannga, bejana fermentasi, pH
optimum, sumber inokulum, kondisi an aerob, periode fermentasi seta akhir fermentasi. Pengukuran
kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrien dari suatu
bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan
persentasi nutrient yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan
melihat selisih antara jumlah nutrien yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalan feses.
Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan
diserap.(sutardi et al,1983).

Metode Uji kecernaan in-vitro bahan pakan pada awalnya di populerkan oleh Tilley dan Terry,
dengan istilah In- a two stage technique for the in vitro digestion. Tahap pertama ( the first stage
procedure) berlangsung selama 48 jam dan sebagian besar proses pencernaan dilaksanakan oleh
mikrobia terhadap struktur karbohidrat ( bukan komposisinya). Analisis kecernaan in vitro pakan
tahap kedua ( the second stage ) dirancang sebagaimana proses perombakan pakan pada pasca
(setelah) rumen (omasum, abomasum, usus halus). Ekosistem, terutama pH ( ≤ 4 ) dalam ketiga organ
pencernaan paca rumen dimaksudkan untuk menurunkan viabilitas mikrobia sehingga enzim yang
berperan hanya yang di produksi oleh induk semang. Prosedur Tilley dan Terry dimodifikasi oleh
Haris menjadi beberapa metode seperti metode Barnes (1969), metode More ( 1970 ), dan Troelsen
( 1970 ).

C. Koefisien partisi

Koefisien partisi menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua fase, yaitu
pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar
dan difusi trans membran terjadi lebih mudah. Selain itu, organisme terdiri dari fase lemak dan air,
sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut akan menjadi
hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989). Penentuan koefisien partisi secara eksperimen
dilakukan dengan cara pendistribusian senyawa dalam jumlah tertentu ke dalam sistem keseimbangan
termodinamik antara dua pelarut yang berbeda kepolaran yaitu pelarut n-oktanol dan air (Tahir, 2001).
Dalam pembuatan obat luar atau topikal, terdapat dua tahapan kerja obat topikal agar dapat
memberikan efeknya yaitu obat harus dapat lepas dari basis dan menuju ke permukaan kulit,
selanjutnya berpenetrasi melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya. Faktor yang
mempengaruhi salah satunya adalah koefisien partisi. Oleh karena itu, koefisien partisi juga
merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan (Aprhyanthy, 2012). Untuk meningkatkan
fluks obat yang melewati membran kulit, dapat digunakan senyawa-senyawa peningkat penetrasi.
Fluks obat yang melewati membran dipengaruhi oleh koefisien difusi obat melewati stratum corneum,
konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antara obat dan stratum
corneum dan tebal lapisan membrane (Sukmawati, 2010).

Anda mungkin juga menyukai