Anda di halaman 1dari 7

METODE PENGUKURAN DEGRADASI BAHAN PAKAN

TEKNIK PENELITIAN ILMU PETERNAKAN DAN LABORATORIUM


NUTRISI TERNAK

Oleh :
YELSI LISTIANA DEWI
1531612020

ILMU TERNAK
PRODI ILMU PERTANIAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS, 2016

Penelitian Strata 1 mengenai pengukuran kecernaan fraksi serat lima jenis


rumput laut coklat (Phaeophyceae) (Sargassum binderi, Sargassum crassifolium,
Turbinari murayana, Turbinaria decurrens dan Padina australis) dengan metode
in vitro. Parameter yang diukur, yaitu kecernaan fraksi serat (kc NDF, kc ADF dan
kc selulosa).
Alasan menggunakan metode in vitro dalam penelitian adalah penelitian
ini merupakan tahap awal untuk mengetahui potensi rumput laut coklat sebagai
pakan ternak ruminansia dari segi kualitas kandungan nutrisi dan untuk
mengetahui jenis rumput laut coklat yang memiliki kecernaan fraksi serat yang
terbaik. Pada penelitian ini hanya menggunakan metode in vitro tahap 1
(menggunakan cairan rumen), yaitu mengukur kecernaan bahan pada rumen,
tetapi lebih baiknya dilanjutkan dengan in vitro tahap 2 (menggunakan pepsinasam), yaitu mengukur kecernaan bahan di pasca rumen.
Pelaksanaan teknik in vitro pada penelitian menggunakan teknologi
sederhana. Sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini :

Gambar 1. Proses in vitro


Sebaiknya pelaksanaan teknik in vitro menggunakan teknologi terbaru dan
canggih seperti Rusitec, agar hasil penelitian yang diperoleh lebih baik atau
mendekati keadaan sebenarnya pada ternak.

Gambar 2.Rusitec (Rumen Simulation Technique) (Czerkawski dan


Breckenridge, 1977)

Selain menggunakan teknik in vitro (teknik Tilley dan Terry) untuk mengukur
kecernaan fraksi serat pada penelitian ini dapat juga menggunakan teknik in
sacco, yaitu mengukur tingkat dan laju degradasi pakan ternak dalam rumen
menggunakan ternak berfistula.

Gambar 3. Ternak Fistula


Berikut tahapan penelitian lanjutan yang dapat dilakukan mengenai potensi
rumput laut coklat sebagai pakan ruminansia:
a. Setelah diketahui jenis rumput laut coklat yang memiliki kecernaan fraksi serat
yang terbaik, kemudian dilanjutkan dengan melakukan in vitro kembali,
dimana rumput laut tersebut dimasukkan dalam susunan ransum dengan dosis
yang berbeda. Tujuannya untuk mengetahui dosis yang tepat dalam susunan
ransum
b. Setelah diketahui dosis rumput laut yang tepat dalam susunan ransum,
penelitian dapat dilanjutkan ke tahap in vivo untuk mengetahui pengaruh
langsung rumput laut coklat dalam susunan ransum terhadap ternak ruminansia

Analisa fraksi serat (NDF, ADF, selulosa dan hemiselulosa) pada


penelitian ini menggunaan teknologi keluaran FOSS, yaitu Fibertec. Fibertec
8000 adalah sistem otomatis untuk penentuan serat kasar, NDF dan parameter
terkait sesuai dengan acuan standar metode 'crucible' seperti Weende, van Soest
dan metode lain. Kelebihan Fibertec 8000, yaitu praktis, memberikan akurasi
yang tinggi, aman dan waktu operasi terendah dibandingkan menggunakan
teknologi sederhana yang biasa dilakukan.

Gambar 3. Fibertec
Alat untuk menganalisa fraksi serat dibawah ini merupakan teknologi
sederhana yang biasa dilakukan. Pada alat ini alat pemanas dan pompa vakum
terpisah, tidak ada timer, untuk menyaring sampel hanya dapat dilakukan satu per
satu menggunakan pompa vakum dan untuk penambahan larutan dilakukan secara
manual.

Gambar 4. Seperangkat alat untuk Analisa Van Soest

Berikut dijelaskan teknik-teknik pengukuran degradasi pakan. Evaluasi


degradasi bahan pakan dalam rumen dapat dilaksanakan dengan metode in vitro,
in sacco, dan in vivo (Tillman et al., 1998).
In vitro (teknik Tilley dan Terry) merupakan salah satu metoda evaluasi
pakan ternak yang menggunakan analisa kimia di laboratorium (AOAC, 1984),
digunakan untuk memprediksi apa yang terjadi pada proses pencernaan
sebenarnya pada ternak ruminansia (Ismartoyo, 2011). Metode kecernaan in
vitro adalah metode laboratorium yang prinsipnya meniru sistem pencernaan
ruminansia (Tiliman et al., 1998). Teknik in vitro adalah teknik dimana
bahan pakan yang akan diteliti

difermentasikan dalam tabung dengan

menggunakan cairan rumen atau enzim. Faktor yang mempengaruhi in vitro


antara lain pH, cairan rumen, jumlah cairan rumen, jumlah dan ukuran partikel
sampel bahan pakan, suhu inkubasi, lama inkubasi, sampel bahan pakan yang
difermentasi dan larutan buffer (Rahmadi et al., 2003).
Syarat yang harus di perhatikan dalam in vitro adalah larutan penyangga
dan media makanan, temperatur sekitar 39oC, pH optimal 6,7-7,1, adanya sumber
inokulum dan pemberian gas CO2 (Jhonson, 1966). Pencernaan dalam rumen
buatan akan berlangsung baik apabila populasi mikroba dapat dipertahankan
secara terus menerus mendekati kondisi di dalam rumen (Hungate, 1966).
Kelebihan metode in vitro adalah hasil penelitian dapat diperoleh dalam
waktu singkat dari beberapa bahan makanan yang tidak dapat diberikan secara
tunggal pada hewan, kecernaannya dapat diteliti dengan metode in vitro, tidak
diperlukan pengumpulan feses atau sisa makanan, sehingga dapat menghemat
waktu, tenaga dan biaya. Sedangkan kekurangannya adalah menggunakan waktu
standar, padahal lamanya waktu bahan makanan berada dalam rumen bervariasi
menurut jenis dan bentuk makanan, tidak terjadi penyerapan zat-zat makanan
seperti yang terjadi pada hewan hidup (Tangdilintin, 1992).
Tilley and Terry menyempurnakan teknik in vitro yang pada awalnya
menggunakan cairan rumen dan pelaksanaannya hanya satu tahap (metode in vitro
satu tahap) karena metode ini dianggap hanya mewakili pencernaan dalam rumen
retikulum. Fermentasi dengan cairan rumen perlu diikuti dengan fermentasi
pepsin-asam (metode in vitro dua tahap). Sampel yang akan diteliti daya

cernanya dengan teknik in vitro 2 tahap yang disempurnakan oleh Tiley and
Terry terlebih dahulu dikeringkan dalam oven kemudian disaring.

Teknik

yang diperkenalkan oleh Tilley and Terry telah banyak dimodifikasi untuk
menyederhanakan pe!aksanaannya. Sistem in vitro dapat digunakan untuk
menguji hipotesis dan mekanismenya, namun peneiltian secara in vivo penting
untuk mengkonfirmasi hasilnya (Dewhurst et al., 2000).
Metode in sacco adalah tingkat dan laju degradasi pakan ternak dalam
rumen (Ismartoto, 2011). Lebih lanjut disebutkan bahwa teknik ini dapat
memberikan gambaran bagaimana proses pakan didegradasi dan difermentasi oleh
mikroba rumen. Inkubasi sampel in sacco menggunakan nylon bag dalam rumen

dengan menggunakan ternak fistula (Getachew et al., 2004). Metode in sacco,


dilakukan dengan membuat fistula (lubang) pada lambung (bagian rumen) hewan
(Rahmadi et al., 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahan pakan atau ransum
terlebih dahulu dimasukkan dalam kantong-kantong dari bahan nilon (nylon bag)
yang tidak dicerna oleh mikrobia, kemudian dimasukkan ke dalam rumen melalui
lubang (fistula) tersebut. Sesudah inkubasi kantong dicuci pada air mengalir
kemudian ditimbang berat keringnya. Nutrisi yang hilang dari pakan di dalam
kantong tersebut sama dengan nutrisi yang didegradasi.
Keuntungan penggunaan teknik ini adalah besar degradasi dan tingkat
degradasi bahan pakan dapat dengan cepat diketahui, sederhana, pakan secara
langsung diinkubasikan pada lingkungan rumen ternak, dapat mengevaluasi bahan
pakan lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Kelemahan teknik ini adalah
harus ada ternak fistula untuk menggunakan teknik ini, biaya mahal dan hanya
dapat mengukur degradasi pakan di rumen.
Menurut Harfiah (2005), teknik in sacco dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat kecernaan in vivo. Evaluasi degradasi bahan pakan secara in
sacco diperoleh nilai fraksi pakan yang mudah terdegradasi (a), fraksi pakan yang
potensial terdegradasi (b) dan kecepatan degradasi fraksi b (c) untuk menghitung
besarnya nilai degradasi teori (DT).
Faktor yang mempengaruhi degradasi nutrien secara in sacco dibedakan
menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
berupa konsentrasi NH4, konsentrasi VFA, pH rumen dan laju partikel pakan

keluar dari rumen. Faktor eksternal berupa karakteristik pakan, posisi dalam
rumen, porositas kantong nilon, ukuran partikel substrat, perbandingan berat
substrat dengan permukaan kantong nilon, waktu inkubasi, proses pencucian, dan
jenis ternak (Rahmadi et al., 2010).
Pada penentuan atau penilaian bahan pakan secara in vivo digunakan
ternak sebagai materi percobaan (Rahmadi et al., 2010). Lebih lanjut disebutkan
bahwa koefisien cerna bahan pakan dicari dengan jalan menghitung pakan yang
masuk dan pakan yang dikuluarkan melalui feses. Menurut Ismartoyo (2011),
teknik kecernaan in vivo (total collection) akan memberikan gambaran bagaimana nilai
kecernaan pakan dari mulut sampai ke anus, namun tidak memberikan gambaran apapun
mengenai nasib individu pakan tersebut dalam rumen.

Penelitian in vivo dilakukan dengan mencatat pakan yang dikonsuumsi dan


feses yang dikeluarkan dalam satu hari (Tillman et al, 1998). Pengukuran
daya cerna konvensional terdiri dari dua periode, yaitu periode pendahuluan dan
periode koleksi. Periode pendahuluan berlangsung 7-10 hari, tujuannya untuk
membiasakan hewan kepada pakan dan keadaan sekitarnya dan untuk
menghilangkan sisa-sisa pakan dari waktu sebelumnya. Periode koleksi
berlangsung selama 5-15 hari, pada periode tersebut feses dikumpulkan,
ditimbang dan dicatat. Koefisien cerna yang ditentukan secara in vivo biasanya 12% lebih rendah dari harga in vitro. Sumber kesalahan dalam uji kecernaan in
vivo adalah terdapatnya bahan-bahan yang berasal dari tubuh di dalam feses
sehingga zat makanan yang terdapat di dalam feses adalah enzim yang
disekresikan ke dalam saluran pencernaan yang tidak diabsorbsi kembali, dan
juga bahan yang berupa hasil kikisan sel-sel dari dinding pencernaan.

Anda mungkin juga menyukai