Anda di halaman 1dari 8

Kasus Fraud Toshiba

Salah satu perusahaan industri teknologi terbesar didunia pasti Toshiba termasuk didalamnya.
Toshiba berdiri sejak tahun 1875. Toshiba membuat produk yang berkualitas, brand image
yang tangguh, dan layanan pelanggan yang excellent. Reputasi yang bagus itukini hancur
berantakan hanya karena pressure yang sangat tinggi untuk memenuhi target performance
unit. Kasus ini bermula atas inisiatif Pemerintahan Perdana Menteri Jepangyaitu Shinzo Abe
yang mendorong transparansi yang lebih besar di perusahaan-perusahaanJepang untuk
menarik lebih banyak investasi asing. Atas saran pemerintah tersebut, Toshibamenyewa
panelis independen yang terdiri dari para akuntan dan pengacara untuk menyelidikimasalah
transparansi di Perusahaannya. Betapa mengejutkannya bahwa dalam laporan 300halaman
yang diterbitkan panel independen tersebut mengatakan bahwa tiga direksi telah berperan
aktif dalam menggelembungkan laba usaha Toshiba sebesar ¥151,8 miliar (setaradengan Rp
15,85 triliun / US$ 1,2 miliar) sejak tahun 2008.Panel yang dipimpin oleh mantan jaksa top di
Jepang itu, mengatakan bahwa eksekutif perusahaan telah menekan unit bisnis perusahaan,
mulai dari unit personal computer sampai ke unit semikonduktor dan reaktornuklir untuk
mencapai target laba yang tidak realistis. Manajemen biasanya mengeluarkantantangan target
yang besar itu sebelum akhir kuartal/tahun fiskal. Hal ini mendorong kepalaunit bisnis untuk
menggoreng catatan akuntansinya. Laporan itu juga mengatakan bahwa penyalahgunaan
prosedur akuntansi secara terus-menerus dilakukan sebagai kebijakan resmidari manajemen,
dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk melawannya, sesuai dengan budaya perusahaan
Toshiba.Sejak laporan audit penginvestigasian resmi dirilis dua bulan setelah komite yang
diketuaiKoichi Ueda dan beranggotakan beberapa pakar akuntansi Jepang menginvestigasi
Toshibadan sampai pada kesimpulan telah terjadi penyimpangan. Akibat laporan ini CEO
Toshiba,Hisao Tanaka, mengundurkan diri, disusul keesokan harinya pengunduran diri wakil
CEOToshiba, Norio Sasaki. Selain itu Atsutoshi Nishida, chief executive dari tahun 2005
sampaidengan tahun 2009 yang sekarang menjadi penasihat Toshiba juga mengundurkan diri,
totalada delapan pejabat Toshiba mengundurkan diri. Panel tersebut mengatakan bahwa
Tanakadan Sasaki tidak mungkin tidak tahu atas praktik penggorengan laporan keuangan ini.
SahamToshiba turun sekitar 20% sejak awal April 2015 ketika isu akuntansi ini terungkap.
Nilai pasar perusahaan ini hilang sekitar ¥ 1,67 triliun (setara dengan RP174 triliun).Menteri
Keuangan Jepang, Taro Aso mengatakan, penyimpangan pembukuan di Toshibasangat
disesalkan. Pasalnya skandal tersebut terjadi pada saat Perdana Menteri Shinzo Abesedang
mencoba untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor global dengan pedomantata
kelola perusahaan yang lebih baik. Aso menolak berkomentar ketika ditanya apakahToshiba
akan menghadapi denda. Salah seorang narasumber mengatakan regulator mulaimelihat
pembukuan Toshiba.
Alasan Fraud terjadi

Dalam elemen segitiga Fraud bahwa ada tiga hal yang dapat dijelaskan dalam
hubungannyadengan Behavioral Forensik:

 Pressure untuk pencapaian target

Pencapaian target yang terlalu tinggi dan tekanan atas pencapaian target tersebutlah
yangmenyebabkan skandal ini terjadi. Praktik ini sebenarnya normal terjadi, namun tekanan
dan punishment dari atasan agar target tercapai dan ditambah budaya perusahaan yang kurang
baik yaitu tidak bisa melawan atasan. Maksudnya melawan adalah koreksi atas
kesalahanmanajemen mengambil keputusan. Bawahan tidak berani mengkoreksi penetapan
target olehCEO yang bahkan tidak realistis dengan kondisi bisnis dan perusahaan. Selain itu,
sistemkompensasi karyawan yang dihitung dari kinerja keuangan juga turut andil di
dalamnya.Maka muncullah ide-ide kreatif dari karyawannya untuk mencapai target yang
ditetapkan.Celakanya kreatifitas kali ini bukan dalam riset pengembangan atau pemasaran
namun dalamhal perlakuan akuntansi. Dibuatlah laporan keuangan dengan profit tinggi
padahal tidakmencerminkan keadaan yang sebenarnya.

 Opportunity

Kesempatan untuk melakukan fraud terjadi karena semua pihak yang berada dalam
perusahaan tidak ada atau tidak ada yang berani mengungkapkan praktik
tersebut.Penyelewengan dilakukan secara bersama, sistematis dan cerdas. Sekian lapis sistem
kontroldari mulai divisi akuntansi, keuangan, internal audit, tidak berfungsi sama
sekali.Kasus akuntansi Toshiba ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan, jika komisaris
(Chairman) Toshiba tidak melakukan inistiatif membentuk komite investigasi independen.

 Rasionalisasi

Dalam hal ini pelaku mencari pembenaran atas tindakan yang dilakukannya dengan
beranggapan sebagai berikut:

1. Bahwasanya tindakannya untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang


dicintainya
2. Masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak mendapatkan
lebihdari yang telah dia dapatkan sekarang (posisi, gaji, promosi, dll.)
3. Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak mengapa jika
pelaku mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut.
4. Aktivitas Setelah Behavioral Forensik Audit.

Perlunya mereformasi pejabat struktural perusahaan yang bertujuan untuk


mengembalikankepercayaan publik. Kemudian mendeskripsikan langkah-langkah untuk
mereformasi budayayang merugikan perusahaan secara realistis, serta memperkuat fungsi
pengawasan komiteaudit dalam memitigasi risiko perusahaan.
Cara Baru Pengawasan

Jika komisaris (Chairman) Toshiba tidak melakukan inistiatif membentuk panel


independenini, kasus akuntansi Toshiba ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan,
artinya jikadengan pengawasan biasa saja (internal audit atau komite audit), hal ini pasti tidak
terdeteksi.Peran OJK nya Jepang yang tidak mampu mendeteksi kasus ini, dengan
beranekaragamregulasi yang dikeluarkan OJK ternyata masih belum mampu mencegah
terjadinya praktikkecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa, ini juga patut
dipertanyakan.Demikian juga pada eksternal auditor Toshiba yang juga tidak mampu
menemukankecurangan akuntansi ini. Audit independen saja tidak mampu menemukannya
bagaimanadengan internal audit atau OJK? Perlu dilakukan pengawasan lebih untuk
mencegah hal initerulang lagi, mungkin semacam inspeksi dari komisaris perusahaan atau
dari regulator (jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau pemeriksaan khusus bisa dilakukan
kapan saja denganwaktu yang tidak tentu. Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini harus dituangkan
dalam peraturanresmi (peraturan OJK atau peraturan pemerintah) agar semua perusahaan
melakukannyasecara bersama, termasuk didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi
ini. Dengan penerapan pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan keuangan yang
lebih accountable, good corporate governance, dan tentunya kepercayaan para stakeholder
akansemakin tinggi
Skandal Akuntansi Toshiba

Setelah terungkap bahwa perusahaan elektronik terbesar di dunia, Toshiba, melakukan


praktik akuntansi illegal, perusahaan tersebut mengumumkan pendapatan sebelum pajak
mengalami penurunan sebesar 224,8 miliar yen untuk periode April 2008 sampai dengan
Desember 2014. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan dibenak kita, “ Bagaimana skandal
semacam ini dapat terjadi disalah satu perusahaan terkemuka di Jepang?” mengingat bahwa
Toshiba selama ini dipadang sebagai salah satu pelopor tata perusahaan formal.

Untuk menyelidiki skandal akuntansi ini, Toshiba membentuk komite pengacara pihak ketiga
dan akuntan publik dipimpin oleh Ueda Koichi, mantan kepala Kantor Kejaksaan Tinggi
Tokyo. Laporan penyelidikan pada tanggal 20 Juli memverifikasi bahwa skandal akuntansi
ini dilakukan diberbagai unit bisnis secara institusional dengan keterlibatan manajemen
tingkat korporat. Namun, laporan tersebut hanya mengatakan bahwa manajemen puncak
terlibat dan tidak menyatakan bahwa apakah pimpinan eksekutif perusahaan tersebut
melakukan skandal akuntansi atau tidak.

Pada konferensi pers tanggal 21 Juli, Presiden Toshiba Tanaka Hisao mengumumkan
pengunduran dirinya, ia menolak bahwa ia telah memerintahkan para karyawannya untuk
menggelembungkan laba perusahaan, menekan kerugian, dan memalsukan akun. Disini, ia
juga mengaku bahwa Toshiba telah menderita, “ Apa yang dapat menjadi dampak terbesar
terhadap citra brand kami selama sejarah 140 tahun.” Faktor ketidaklayakan dan rantai
komando yang terlibat dalam pelaksanaannya tetap tidak jelas, namun faktor utama yang
disebutkan dalam laporan panitia investigasi adalah “ budaya perusahaan dimana karyawan
tidak dapat menentang perintah atasan.” Di Toshiba, para eksekutif berorientasi terhadap
hasil laporan keuangan pada periode fiskal saat ini, maka dari itu mereka memberikan
tekanan berat kepada bawahan untuk mencapai target hasil unit bisnis mereka. Para karyawan
tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah dari atasannya.

Laporan panitia investigasi memberikan gambaran tentang bagaimana skandal akuntansi ini
dilakukan. Yang paling jelas adalah adanya seperangkat peraturan de facto yang
menempatkan kehendak manajemen perusahaan menjelang standar akuntansi regular.
Misalnya, jika proyek tenaga listrik jangka panjang mengalami defisit karena kenaikan biaya
dan faktor lainnya, berdasarkan standar normal, praktik ini ditetapkan dengan metode
akuntansi basis akrual untuk mencatat biaya atas perkiraan defisit dalam pendapatan selama
periode fiskal saat ini. Unit bisnis yang terkena dampak defisit akan mencatat sebagai
perkiraan cadangan kerugian dimasa yang akan datang. Tapi salah satu peraturan de facto di
Toshiba memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari manajemen perusahaan dan juga dari
kepala unit bisnis untuk penghapusan semacam itu. Karena perusahaan mengalami kerugian
berarti laba bersih perusahaan juga mengalami penurunan untuk periode fiskal saat ini. Inilah
tantangan bagi para ekskutif terhadap unit bisnis. Untuk menutupi jumlah kerugian yang
dihapuskan, para ekskutif akan memberikan tekanan berat terhadap karyawan untuk
menghasilkan keuntungan tambahan. Karyawanpun dengan terpaksa menuruti perintah dari
para eksekutif untuk menunda kerugian periode akuntansi selanjutnya.
Dalam bisnis pribadinya, Toshiba meningkatkan pendapatan melalui transaksi dengan
produsen yang memproduksi komputer merk Toshiba dibawah kontrak. Toshiba menjual
komponen utama komputer dan kemudian membeli kembali produk jadi mereka. Agar tidak
ketahuan harga sebenarnya kepada para pesaing, Toshiba menggunakan teknik “ masking
price” atau disebut dengan pemalsuan harga ke produsen, dan membeli komputer jadi mereka
dengan menambah biaya produksi dan biaya lainnya untuk meningkatkan jumlah produksi.
Karena masking price terlalu tinggi untuk komponen utama dibanding dengan harga untuk
produk jadi, maka keuntungan penjualan untuk komponen utama ini tidak dapat dicatat
sebagai laba perusahaan. Tapi, itulah yang dilakukan oleh Toshiba. Selama bertahun-tahun,
perusahaan melakukan masking price sampai harganya 5 kali lipat dari biaya sebenarnya.
Toshiba juga memaksa produsen untuk membeli lebih banyak lagi komponen utama dari
yang mereka butuhkan. Tak heran apabila keuntungan Toshiba terlihat lebih besar untuk
periode akuntansi saat ini.

Dalam sebuah wawancara yang muncul diharian bisnis Nikkie pada 6 April 2013, Presiden
Toshiba Okamura Tadashi menyatakan tidak penting sistem apa yang mungkin akan
diciptakan oleh perusahaan, itu tidak akan berhasil apabila perusahaan tidak menerapkan
kode etik. Okamura juga mengamati bahwa wewenang pada perusahaan Jepang terlalu
berpusat, dengan mengatakan otoritas yang berlebihan yang dimiliki oleh presiden
perusahaan telah menghasilkan transparasi yang buruk dan penerapan struktural yang meluas
diantara perusahaan-perusahaan besar.

Toshiba merupakan salah satu pengadopsi sistem baru tata kelola perusahaan di Jepang.
Struktur tata kelola perusahaan memenuhi standar tata kelola perusahaan. Berkali-kali kasus
kegagalan tata kelola perusahaan telah memberikan bukti bahwa struktur tata kelola
perusahaan yang baik tidak serta merta mengarah pada tata kelola perusahaan yang baik.
Budaya organisasi merupakan penentu penting kualitas tata kelola perusahaan. Beberapa
pengamatan dari komite investigasi independen perusahaan mengenai audit internal menuai
perbincangan dan perdebatan.

Komite investigasi mengamati bahwa peraturan pembagian tugas diToshiba, divisi audit
perusahaan bertanggung jawab untuk mengaudit divisi perusahaan, perusahaan, perusahaan
cabang dan perusahaan afiliasi. Tapi, kenyataannya, divisi audit hanya memberikan layanan
konsultasi untuk ‘manajemen’ yang dilakukan dimasing-masing perusahan dan jarang
melakukan layanan dari sudut pandang audit akuntansi (apakah perlakuan akuntansi tepat
atau tidak.).

Audit Internal dapat berjalan independen apabila komite auditnya kapabel, independen dan
efektif, dan auditor internal melapor kepada komite audit.

DiToshiba, komite audit tidak kapabel dan tidak independen. Ada 3 anggota eksternal komite
audit yang tidak memiliki pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Mantan Chief
Financial Officer (CFO) merupakan CFO yang satu-satunya anggota komite audit selama
penyimpangan akuntansi terjadi. Oleh sebab itu, audit internal tidak independen dari
manajemen. Manajemen laba mendapat persetujuan diam-diam dari manajemen puncak.
Karenanya, ,tidak mengherankan bahwa akuntansi audit tidak diikutsertakan dalam ruang
lingkup audit internal.

Literatur kontemprorer mendefinisikan audit internal sebagai ‘assurance and consulting


service’. Problemanya adalah menyeimbangkan antara layanan konsultasi dengan layanan
penjamin. Persoalan muncul ketika auditor internal lupa bahwa fungsi utama audit internal
ialah sebagai penjamin dimana layanan konsultasi mengalir dari layanan penjaminan.
Walaupun , tujuan utama audit operasi adalah untuk mendapatkan jaminan bahwa
pengendalian internal yang diterapkan untuk mencapai tujuan operasi cukup memadai dan
beroperasi secara efektif, auditee meninjau internal auditor untuk saran dan konsultasi.
Layanan konsultasi semacam itu merupakan layanan sampingan dari layanan penjaminan.
Auditee tidak seharusnya menolak manfaat dari auditor internal yang memiliki pemahaman
terhadap industri dan bisnis, dan teguran sebelum auditee mencapai tujuan operasinya.
Pengecualian layanan konsultasi dari ruang lingkup audit internal akan menghasilkan
penggunaan sumber audit internal yang optimal.

Budaya organisasi juga menentukan efektivitas audit internal. Seperti laporan panitia
investigasi yang telah disebutkan sebelumnya tentang adanya budaya di Toshiba dimana
karyawan tidak dapat menentang perintah atasan. Apabila budaya perusahaan seperti ini,
audit internal yang jujur tidak akan dapat bertahan, terutama jika terlepas dari manajemen.
Mungkin ini adalah alasan mengapa audit internal di Toshiba memilih jalan yang mudah
untuk berfokus hanya pada ‘layanan konsultasi’tanpa melaporkan kelemahan pengendalian
internal.

Audit internal adalah “ mata dan telinga” dan “ go to man” dari komite audit. Oleh karena itu,
kegagalan audit internal, menyebabkan kegagalan tata kelola perusahaan.

Analisis :

Dalam kasus ini terdapat permasalahan yang dilanggar oleh para eksekutif Toshiba
diantaranya :

1. Kepentingan Publik

Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, seorang akuntan harus secara terus-
menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. Dalam
hal ini, akuntan dalam Toshiba telah mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan
mereka semata. Dengan kesalahan penyajian pada laporan keuangan Toshiba, menyebabkan
pengambilan keputusan yang salah bagi investor.

2. Integritas

Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh
dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Namun, Toshiba terbukti tidak jujur dalam menyusun
laporan keuangan mereka. Sehingga telah melanggar prinsip kode etik akuntansi. Integritas
dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi
tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

3. Obyektivitas

Obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual,
tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah
pengaruh pihak lain. Dalam hal ini, akuntan Toshiba tidak menunjukkan prinsip
obyektivitasnya. Hal ini dibuktikan oleh dalam penyusunan laporan keuangan, akuntan masih
didalam pengaruh para eksekutifnya untuk meninggikan laba didalam laporan keuangannya.

Solusi

Dalam kasus skandal akuntansi yang dilakukan oleh Toshiba menunjukkan perilaku bisnis
yang kurang baik. Dilihat dari etika pada kasus ini adanya tindakan kecurangan dalam
pembuatan laporan keuangan dengan menaikan laba operasional perusahaan. Dalam
menciptakan etika bisnis yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperhatikan antara
lain:

1) Menyusun strategi untuk mencapai target penjualan

Pencapaian target dalam perusahaan memanglah sangat penting untuk meningkatkan laba
bagi perusahaan. Apabila perusahaan belum mencapai target yang diinginkan , perusahaan
dapat menyusun strategi untuk mencapai target penjualannya seperti mengutamakan kualitas
dan inovasi produk, melakukan promosi secara efektif, dan memberikan pelayanan lebih baik
lagi kepada pelanggan.

2) Memperbaiki budaya perusahaan

Budaya diperusahaan Toshiba dimana karyawan tidak dapat menentang perintah atasan
sangatlah tidak baik. Sebagai atasan, mereka harus mengembangkan budaya continuous
improvement seperti mengkomunikasikan ekspetasi mereka, beri informasi dan pelatihan
kepada karyawan, menilai pengetahuan dan keterampilan karyawan-karyawannya,
memberikan dorongan kepada karyawannya, menunjukkan konsistensi, berikan kesempatan
untuk eksperimen dan kesalahan kepada karyawan. Tidak hanya itu, mereka juga harus
memiliki pengontrolan yang baik terhadap sejauh mana perkembangan target pencapaian
mereka. Bentuk pengontrolan ini bisa seperti rapat mingguan, rapat dua mingguan, atau rapat
bulanan.

3) Membangun independensi auditor internal

Independensi internal audit Toshiba sangat buruk. Bahkan 3 komite audit tidak memiliki
pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Dalam hal ini, audit internal pada perusahaan
Toshiba harus membangun independensinya. Sesuai dengan interprestasi standar internal
audit, untuk mencerminkan independensi, kedudukan Internal audit dalam organisasi harus
ditetapkan sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapkan pandangan dan pemikirannya
tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ataupun pihak lain yang terkait dengan
organisasi. Pemimpin internal audit memiliki akses langsung dan tidak terbatasi dengan
manajemen senior dan komisaris untuk melaporkan hasil auditnya.

Sumber :

http://www.business-standard.com/article/opinion/toshiba-a-case-of-internal-audit-failure-
115080900760_1.html

https://prezi.com/8ib20d2n6c5v/toshiba-accounting-fraud-in-2015/

https://dokumen.tips/download/link/perbedaan-pekerjaan-assurance-dan-consulting

http://www.duniakaryawan.com/cara-menjadi-atasan-yang-berwibawa-dan-disukai-bawahan/

http://www.nippon.com/en/in-depth/a04802/

https://wangsitdewa.blogspot.co.id/2015/11/independensi-auditor-internal.html

Anda mungkin juga menyukai