KASUS TOSHIBA
Audit Forensik B
Dosen Pengampu: Dr. Eko Hariyanto, M.Si.,Ak., CA., CPA
Disusun oleh:
1. Taksonomi Fraud
yaitu dari pelaku, ukuran, motivasi, materialitas, pihak yang diuntungkan, dan ukuran
perusahaan. Kasus ini seperti kasus Enron, dapat katagori sebagai kecurangan laporan
keuangan. Karena :
O), Atsutoshi Nishida (Penasihat) Hal ini sesuai dengan ACFE yang meny
b. Ukuran kecurangan
c. Motivasi
Motivasi Toshiba adalah kenaikan harga saham dan bonus yang dperoleh ji
ka target tercapai, yang sesuai dengan yang disebutkan oleh ACFE untuk k
d. Materialitas
e. Yang diuntungkan
an dan pelaku yang terlibat dalam kecurangan toshiba yaitu CEO Thosiba,
f. Ukuran Perusahaan
Menurut Donald R. Cressey, ada 3 hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud,
yaitu tekanan (pressure), rasionalisasi (rationalization), dan kesempatan (opportunity). B
erdasarkan konsep ini, kasus Malinda Dee dapat dianalisis sebagai berikut:
a. Tekanan (Pressure)
Top executive Toshiba memberikan target kepada perusahaan secara overtmistic/ berle
bihan, sehingga top manajemen berusaha memenuhi target yang ditetapkan secara tida
k rasional dengan berbagai cara, termasuk salah satunya manipulasi laporan keuangan.
Selain itu sistem kompensasi/ bonus karyawan dihitung berdasarkan kinerja keuangan,
sehingga karyawan berusaha memuhi target dengan ikut melakukan kecurangan bai
k itu dengan suka rela atau terpaksa. Lingkungan perusahaan yang kaku, yaitu karyaw
an harus patuh pada atasan.
b. Rasionalisasi (Rationalization)
Pelaku utama dalam kasus ini adalah para top manajemen, mereka merasa bahwa
apa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan perusahaan yaitu untuk
meningkatkan laba sehingga harga saham mereka naik. Alasan lainnya
berhubungan target yang ditetapkan, sehingga para top manajemen dan karyawan
merasa tidak malah mereka melakukan kecurangan karna hal itu agar target yang
ditetapkan perusahaan dapat terpenuhi dan mereka tidak melakukannya sendiri dan
direncanakan dan dijalankan secara sistematis. Alasan ketiga yaitu selama ini
perusahaan tidak benar-benar melakukan aktivitas antifraud, dan terkesan
mengabaikan kecurangan yang dilakukan.
c. Kesempatan (Opportunity)
Para pelaku telah bekerja untuk toshiba dalam kurun waktu yang lama, dimana
Hisao Tanaka (CEO), Nario Sasaki (Wakil Direktur sekaligus mantan CEO) telah
bekerja sejak tahun 1970-an, sehingga mereka tahu betul seluk beluk dan celah internal
kontrol perusahaan untuk tidak terdeteksi kecurangan yang dilakukan. Mereka juga
memiliki kemampuan dan kedudukan yang membuat mereka merasa leluasa untuk
melakukan kecurangan.
3. Red Flags
Jika dihubungkan dengan red flags secara umum, kasus ini dapat
a. Anomali Akuntasi
memenuhi target yang telah ditetapkan perusahaan. Karena pelaku adalah top
manajemen dan didukung oleh budaya perusahaan yang takut terhadap atasan,
sebenarnya banyak keluhan anonim dari karyawan memalui sistem yang telah
dibuat oleh toshiba, tetapi itu hanya menjadi angin lalu karna tidak ada
Toshiba sangat terobsesi dengan kenaikan harga saham, maka dari itu
perusahaan menetapkan target yang tidak masuk akal untuk dicapai, dan hal
perusahaan tersebut, karea tuntutan dan tekanan agar memenuhi target, maka
para top manajemen dan karyawan akan berusaha berbagai cara ( salah
mereka tidak dikeluarkan dar perusahaan. Sehingga berdasarkan red flags dan
4. Deteksi Fraud
Dalam mendeteksi fraud yang terjadi dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Seperti apa yang sudah dibahas sebelumnya dan dapat disimpulkan bahwa fraud yang
terjadi dalam kasus Toshiba ini termsuk ke dalam katagori kecurangan laporan
keuangan, maka penulis hanya akan menyampaikan deteksi untuk skema fraud
laporan keuangan. Deteksi yang dapat dilakukan untuk skema fraud laporan keuangan
adalah sebagai berikut:
a. Surprise Audit
Karena pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Abe yang mendorong adanya
transparasi yang lebih besar di perusahaan-perusahaan Jepang. Hal ini didasari
atas keinginan Perdana Menteri Abe untuk menarik lebih banyak investasi asing
yang masuk ke Jepang. Atas himbauan tersebut kemudian Toshiba Corp merekrut
komite investigasi independen atau pihak ke 3 yang didalamnya melibatkan para
akuntan dan pengacara untuk menyelidiki ada atau tidaknya masalah transparansi
di Perusahaan besar tersebut. Sehingga dapat diartikan bahwa toshiba malakukan
surprise audit dan hal ini berhasil mendeteksi fraud yang ada di perusahaan
tersebut yang telah berlangsung sejak tahun 2008.
b. Internal Control
Pada kasus ini, toshiba dapat digolongkan menjadi perusahaan yang memiliki
internal kontrol yang buruk, dimana seharusnya internal kontrol merupakan
periasai utama untuk mencegah dan meminimalisir fraud. Dimana lingkungan
pencegahan perusahaan sangatlah buruk, baik dalam tatakelola perusahaan yang
belum dapat menerapkan good corporate governance. Budaya Tone at the top
yang sangat buruk, dimana top manajemenlah yang melakukan fraud, sehingga
karyawan yang berada dibawahnya melakukan fraud juga baik secara sukarela
ataupun paksaan. Dan juga kebijakan dan prosedur anti fraud tidak berjalan
dengan baik, dimana toshiba hanya sebatas membuat tanpa mengawasi dan
menindaklanjuti jika ada pelanggaran. Dan beberapa hal lain yang sebenarnya
dapat dilakukan internal kontrol dalam upaya mendeteksi fraud.
c. Audit Internal / Fraud Examination Department/ Audit Investigatif
Fraud dilakukan secara bersama sama, sistematis dan cerdas, sehingga dapat lolos
dari system control yang ada didalam perusahaan mulai dari divisi akuntansi,
keuangan, internal audit, tidak berfungsi sama sekali, bahkan tim auditor
eksternal sekelas Ernst & Young (EY) tak mampu mencium aroma busuk dari
laporan keuangan Toshiba. Maka ketika internal ataupun eksternal audit tidak
mampu mendeteksi kecurangan, maka perusahaan harus sesekali malakukan audit
investigativ, supaya mampu mendeteksi kecurangan-kecurangan yang tidak
mampu dideteksi oleh internal ataupun eksternal audit.
d. Hotline/ Tip
Toshiba sebenarnya telah menerapkan hotline/ anynomous tip. Mereka hanya
menyediakan medianya tanpa menindaklanjuti aduan yang ada sehingga tip ini
dapat berjalan secara efektif untuk mendeteksi fraud. Bahkan toshiba terkesan
menutup mata atas aduan yang dberikan. Jika cara ini diterapkan dengan
sebagaimana mestinya, hal ini sangat membantu mendeteksi kecurangan secara
dini, sehingga mempermudah internal auditor dalam menjalankan tugasnya.
e. Analisis vertikal dan Horizontal
f. Analisis Rasio (Beneish’s Ratios)
g. Menjalankan pemeriksaan latar belakang pada eksekutif
5. Tanggapan menurut kelompok 10 tentang Kasus Toshiba
Target yang terlalu tinggi, dan tekanan atas pencapaian target tersebutlah yang
menyebabkan skandal ini terjadi. Dalam akuntansi manajemen, hal ini disebut dengan
akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis melaporkan
pencapaian kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen puncak
perusahaan kepadanya. Top executive Toshiba memberikan target kepada perusahaan
secara overtmistic/ berlebihan, sehingga top manajemen berusaha memenuhi target
yang ditetapkan secara tidak rasional dengan berbagai cara, termasuk salah satunya
manipulasi laporan keuangan. Selain itu sistem kompensasi/ bonus karyawan dihitung
berdasarkan kinerja keuangan, sehingga karyawan berusaha memuhi target dengan
ikut melakukan kecurangan baik itu dengan suka rela atau terpaksa. Lingkungan
perusahaan yang kaku, yaitu karyawan harus patuh pada atasan.
Adanya target bisnis yang under atau over tidaklah baik, karena target bisnis
yang baik adalah target yang tidak terlalu mudah untuk dicapai dan tidak mustahil
untuk dicapai, sehingga dapat secara efektif memicu atau mendorong kinerja entitas
perusahaan. Tingginya target bisnis yang ditetapkan oleh eksekutif dapat memberikan
tekanan bagi bawahan.
Dalam kasus Thosiba Corp penyalah gunaan prosedur akuntansi secara terus-
menerus dilakukan sebagai kebijakan resmi dari manajemen, dan tidak mungkin bagi
siapa pun untuk melawannya, sesuai dengan budaya perusahaan Toshiba. Toshiba
Corp sendiri memiliki budaya perusahaan yang didalamnya dituntut untuk patuh
terhadap atasan, yang dalam kasus ini menjadi factor penting dalam menghasilkan
praktek manipulasi laporan keuangan. Sehingga bawahan bahkan tidak bias
memberikan masukan ataupun kritik kepada atasan atas overoptimistic target yang
ditetapkan oleh atasan, dan itulah yang mendorong mereka untuk melakukan apapun
agar target tersebut tercapai.
B. Akibat pada penyebab diatas dalam kasus ini terdapat permasalahan yang
dilanggar oleh para eksekutif Toshiba diantaranya :
1. Kepentingan Publik
Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, seorang akuntan harus secara t
erus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang
tinggi. Dalam hal ini, akuntan dalam Toshiba telah mengorbankan kepentingan pub
lik demi kepentingan mereka semata. Dengan kesalahan penyajian pada laporan ke
uangan Toshiba, menyebabkan pengambilan keputusan yang salah bagi investor.
2. Integritas
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang t
anpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publi
k tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Namun, Toshiba terbukti tidak j
ujur dalam menyusun laporan keuangan mereka. Sehingga telah melanggar prinsip
kode etik akuntansi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan
perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan p
rinsip.
3. Obyektivitas
Obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara inte
lektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau be
rada dibawah pengaruh pihak lain. Dalam hal ini, akuntan Toshiba tidak menunjuk
kan prinsip obyektivitasnya. Hal ini dibuktikan oleh dalam penyusunan laporan keu
angan, akuntan masih didalam pengaruh para eksekutifnya untuk meninggikan laba
didalam laporan keuangannya.
C. Solusi
Dalam kasus skandal akuntansi yang dilakukan oleh Toshiba menunjukkan perilaku
bisnis yang kurang baik. Dilihat dari etika pada kasus ini adanya tindakan kecuranga
n dalam pembuatan laporan keuangan dengan menaikan laba operasional perusahaan
Dalam menciptakan etika bisnis yang baik dikasus ini ada hal-hal yang perlu diperh
atikan antara lain :
Budaya diperusahaan Toshiba dimana karyawan tidak dapat menentang perintah atas
an sangatlah tidak baik. Sebagai atasan, mereka harus mengembangkan budaya conti
nuous improvement seperti mengkomunikasikan ekspetasi mereka, beri informasi da
n pelatihan kepada karyawan, menilai pengetahuan dan keterampilan karyawan-kary
awannya, memberikan dorongan kepada karyawannya, menunjukkan konsistensi, be
rikan kesempatan untuk eksperimen dan kesalahan kepada karyawan. Tidak hanya it
u, mereka juga harus memiliki pengontrolan yang baik terhadap sejauh mana perkem
bangan target pencapaian mereka. Bentuk pengontrolan ini bisa seperti rapat minggu
an, rapat dua mingguan, atau rapat bulanan.
Independensi internal audit Toshiba sangat buruk. Bahkan 3 komite audit tidak mem
iliki pengetahuan tentang keuangan dan akuntansi. Dalam hal ini, audit internal pada
perusahaan Toshiba harus membangun independensinya. Sesuai dengan interprestasi
standar internal audit, untuk mencerminkan independensi, kedudukan Internal audit
dalam organisasi harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga mampu mengungkapka
n pandangan dan pemikirannya tanpa pengaruh ataupun tekanan dari manajemen ata
upun pihak lain yang terkait dengan organisasi. Pemimpin internal audit memiliki ak
ses langsung dan tidak terbatasi dengan manajemen senior dan komisaris untuk mela
porkan hasil auditnya.
D. Pendapat menurut kelompok kami
Menurut kelompok kami kasus Toshiba dapat terjadi karena adanya peluang
bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi laporan keuangan. Pada
kasus ini tidak terdapat adanya etika bisnis yang konsekuen dan konsisten dari
para pihak yang terkait dan mereka juga tidak dapat memegang tanggung jawab
sosial yang diberikan kepada masyarakat karena hanya mementingkan dirinya
pribadi sehingga berani melakukan kecurangan dan penyimpangan pencatatan
laporan keuangan pada perusahaan. Jika komisaris (Chairman) Toshiba tidak
melakukan inistiatif membentuk panel independen ini, kasus akuntansi Toshiba
ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan, artinya jika dengan pengawasan
biasa saja (internal audit atau komite audit), hal ini pasti tidak terdeteksi. Peran
OJK nya Jepang yang tidak mampu mendeteksi kasus ini, dengan
beranekaragam regulasi yang dikeluarkan OJK ternyata masih belum mampu
mencegah terjadinya praktik kecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di
bursa, ini juga patut dipertanyakan. Demikian juga pada eksternal auditor
Toshiba yang juga tidak mampu menemukan kecurangan akuntansi ini. Audit
independen saja tidak mampu menemukannya bagaimana dengan internal audit
atau OJK? Perlu dilakukan pengawasan lebih untuk mencegah hal ini terulang
lagi, mungkin semacam inspeksi dari komisaris perusahaan atau dari regulator
(jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau pemeriksaan khusus bisa dilakukan
kapan saja dengan waktu yang tidak tentu. Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini
harus dituangkan dalam peraturan resmi (peraturan OJK atau peraturan
pemerintah) agar semua perusahaan melakukannya secara bersama, termasuk
didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi ini. Dengan penerapan
pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan keuangan yang lebih
accountable, good corporate governance, dan tentunya kepercayaan para
stakeholder akan semakin tinggi. Diharapkan setelah adanya kasus manipulasi
dari perusahaan Toshiba ini, masyarakat dan investor mempelajari adanya
kecurangan kecurangan lainnya yang mungkin muncul bukan hanya dari
perusahaan Toshiba tetapi perusahaan besar lain. Kasus tersebut mengajarkan
kita agar selalu berhati hati dalam membeli saham dari suatu perusahaan.