Anda di halaman 1dari 4

https://tirto.

id/padat-karya-tunai-program-gaya-lama-jelang-pemilu-cE5Z

tirto.id - Di sebuah pematang sawah di Lampung, Presiden Jokowi tampak mondar-


mandir bak mandor yang sedang mengawasi pekerjaan anak buahnya. Kedua
tangannya sedekap ke sisi belakang badan, sesekali tangannya menunjuk sambil
membuka pembicaraan dengan warga dan aparat pemerintah setempat.

Penggambaran lengkap kegiatan Jokowi ini terekam pada sebuah video yang diunggah
akhir Januari 2018 lalu berjudul "Lagi Jadi Mandor Proyek, Pak Jokowi Tinjau Program
Padat Karya Saluran Irigasi di Lampung Selatan." Jokowi sempat bertanya ihwal upah
yang diberikan kepada para petani yang ikut program padat karya tunai.

“Saya sempat tanya langsung ke petani, upahnya berapa membangun irigasi ini? Untuk
tukang itu dapat upah sebesar Rp100.000, dan pembantu tukang sebesar Rp80.000.
Nanti, dibayar setiap minggu,” katanya

Pembangunan saluran irigasi di Lampung ini merupakan bagian dari Program Padat
Karya Tunai yang digalakkan pemerintah mulai 2018. Tujuan program ini mulia, untuk
meningkatkan pendapatan, konsumsi dan daya beli masyarakat di pedesaan, juga
menambah perputaran uang di desa, hingga mengerek pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah berencana melaksanakan program Padat Karya Tunai pada 1.000 desa di
100 kabupaten secara bertahap hingga akhir tahun ini. Pada tahap pertama, program
itu akan dilakukan di 10 kabupaten untuk 100 desa, yakni Kabupaten Rokanhulu,
Pemalang, Brebes, Ketapang, Gorontalo, Maluku Tengah, Lombok Tengah, Lampung
Tengah, Cianjur, dan Lanny Jaya.

Baca juga: Program Padat Karya Tunai Diutamakan untuk Daerah Gizi Buruk

Dasar program Padat Karya Tunai ini diatur di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi; dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional No.
140-8698/2017, No. 954/KMK.07/2017, No. 116/2017 dan No. 01/SKB/M.PPN/12/2017,
yang ditetapkan bersama-sama empat menteri pada 18 Desember 2017.

Dalam SKB itu Padat Karya Tunai memang hanya satu dari tujuh aspek percepatan
pelaksanaan UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang menjadi dasar SKB. Kesepakatan
ini juga mengatur khusus pelaksanaan Padat Karya Tunai. Pertama, maksimal 5
kegiatan sesuai kebutuhan dan prioritas desa. Kedua, cakupan kegiatan Padat Karya
Tunai antara lain seperti pengadaan, pembangunan, pengembangan, dan
pemeliharaan.

Ketiga, memperhatikan besaran upah, seperti upah yang setara dengan upah buruh
tani, upah dibayar minimal 30 persen dari pekerjaan fisik, dan dibayar secara harian
atau mingguan. Keempat, dilakukan tidak bersamaan dengan masa panen. Kelima,
keberlanjutan program selama setahun, dan mengoptimalkan peran pendamping desa.
Baca juga: Dana Desa Di Era Jokowi

Untuk program Padat Karya Tunai 2018, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp18
triliun atau 30 persen dari anggaran dana desa yang sebesar Rp60 triliun. Selain dari
anggaran desa, Padat Karya Tunai juga memiliki sumber pendanaan lainnya. Sumber
dana itu berasal dari anggaran kementerian/lembaga.

Misalnya, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,


Kementerian Kelautan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pariwisata, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan,
dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Kementerian Perhubungan misalnya, mengalokasikan anggaran senilai Rp1,27 triliun


untuk program padat karya tunai pada tahun ini. Nanti, belanja upah itu akan
membiayai sebanyak 70.858 tenaga kerja pada 831 desa di 739 kabupaten.

Bukan Hal Baru Menjelang Pemilu

Padat Karya Tunai bukan lah barang baru dalam nomenklatur program pemerintah.
Setidaknya program sejenis dengan nama-nama yang mirip disisipkan kata "tunai" atau
"langsung" pernah muncul. Masih ingat dengan Bantuan Langsung Tunai atau BLT?
lalu diperhalus dengan istilah Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang
kemudian dipelesetkan menjadi "Balsem".

Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), program ini bertujuan membantu
masyarakat tak mampu akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Pada masa itu ada
istilah "memberi ikan", "memberi kail", dan "memberi jala" kepada masyarakat. Istilah
yang pertama merujuk pada bantuan langsung, sedangkan memberi kail identik dengan
padat karya—masyarakat dilibatkan aktif untuk diberikan pekerjaan dengan imbalan
uang dari pemerintah. Sedangkan istilah memberi jala melekat pada bantuan program
pembiayaan usaha.

Dalam konteks padat karya, program sejenis sudah setidaknya sudah digalakkan sejak
era Orde Baru. Program padat karya yang dibentuk saat Soeharto mencakup program
Inpres Desa Tertinggal. Program yang dimulai pada 1994 itu memiliki misi membantu
masyarakat untuk keluar dari garis kemiskinan.

Dari program itu, pemerintah menyalurkan dana sebesar Rp20 juta per desa setiap
tahunnya. Desa penerima akan mendapatkan dana bantuan langsung selama tiga
tahun berturut-turut, sehingga total dana yang terima setiap desa mencapai Rp60 juta.

Kegiatan sejenis padat karya berganti nama saat era B.J Habibie, dengan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada 1998. Pemerintah menyiapkan anggaran
sebesar Rp3,4 triliun untuk program JPS. JPS adalah kebijakan pemerintah untuk
meminimalisir dampak primer dan sekunder krisis melalui integrasi berbagai program,
khusus dirancang mengatasi dampak negatif krisis maupun pengurangan kemiskinan.

Program serupa juga dilakukan pada saat era SBY. Kala itu, kegiatan padat karya
masuk ke dalam lingkup kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri.

Baca juga: Romusha Gaya Baru Bernama Padat Karya

Program Padat Karya Tunai bisa memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat,
terutama para petani. Apalagi, jadwal kegiatan Padat Karya Tunai tersebut juga
disesuaikan ketika petani menganggur, yakni di luar musim tanam dan panen.

Chatib Basri, Menteri Keuangan periode 2013-2014, menilai Padat Karya Tunai
berpotensi menaikkan konsumsi masyarakat menengah ke bawah, asalkan benar-
benar dapat menyentuh langsung kepada masyarakat yang belum bekerja.

“Itu di mana orang kerja, kemudian dikasih uang tunai. Kalau mereka punya uang tunai,
pasti akan dibelanjakan. Dengan orang belanja, permintaan akan naik. Pertumbuhan
ekonomi pun bisa terdorong,” katanya kepada Tirto.

Selain meningkatkan daya beli masyarakat, program Padat Karya Tunai ini memang
melekat dengan anggapan sebagai alat untuk mendongkrak popularitas pemerintah.
Apalagi, program ini akan dilaksanakan hingga akhir 2018, mepet-mepet dengan
digelarnya Pemilu.

Sejak awal Januari 2018, Jokowi memang telah beberapa kali terjun langsung ke desa-
desa untuk memastikan program Padat Karya Tunai dilaksanakan. Interaksi langsung
itu tentunya akan menambah kedekatan presiden dengan kaum petani di pedesaan.

Sekadar contoh lain, saat BLT bergulir pada era SBY terjadi menjelang Pilpres 2009.
Saat itu, program BLT memang dihujani berbagai kritik, selain juga menarik simpatik.

“[Padat Karya Tunai] mirip dengan program BLT dari SBY ketika menjelang Pemilu
2009. Konsepnya kurang lebih sama,” kata Ekonom Institute for Development of
Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Tirto.

Program BLT dimulai pada 2005, melalui Inpres No. 12/2005 tentang Pelaksanaan BLT
Kepada Rumah Tangga Miskin. Nominal pembayaran BLT kala itu sebesar Rp300.000,
dan dibayar sebanyak empat kali selama 12 bulan.

Pada 2008, program BLT digulirkan lagi oleh pemerintah, menyusul kenaikan harga
BBM. Melalui Inpres No. 3/2008, nominal pembayaran BLT sebesar Rp300.000-
Rp400.000, dan diberikan sebanyak dua kali dalam kurun waktu 7 bulan.

Jelang Pilpres pada Juli 2009, program BLT kembali digulirkan. Kali ini, nominal
pembayaran BLT sebesar Rp100.000 per bulan, dan dibayarkan dua kali. Jumlah
penerima BLT pada 2009 mencapai 18,5 juta rumah tangga sasaran.

Bhima menilai program sosial yang digulirkan pemerintah, terutama menjelang Pilpres
sudah lazim. Pemerintah memang memiliki hak untuk membuat program, dan bebas
menentukan kapan dimulainya programnya. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah
mengenai transparansi anggaran dan ketepatan sasaran program. Jangan sampai,
program itu justru menimbulkan persoalan baru di masa mendatang.

Baca juga: Indef Nilai Tahun Politik Picu RAPBN 2018 Terlalu Populis

Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Saptopribowo membantah


anggapan yang membandingkan Program Padat Karya Tunai yang mirip dengan BLT di
era pemerintah sebelumnya. Menurutnya, Padat Karya Tunai tidak ada hubungannya
dengan Pilpres 2019.

"Program ini digagas dan dimulai sejak tahun lalu, dan sebagai bentuk program untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat kecil melalui proyek padat karya di
beberapa Kementerian. Tidak ada hubungannya dengan Pilpres 2019, terlalu jauh
analisa itu," ujarnya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PROGRAM PADAT KARYA TUNAI atau tulisan menarik
lainnya Ringkang Gumiwang
(tirto.id - Ekonomi)

Reporter: Ringkang Gumiwang


Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra

Anda mungkin juga menyukai