Anda di halaman 1dari 255

Taufik Kurniawan, Nata Irawan,

Ahan Syahrul Arifin, Misbakhun,


Indra J. Piliang, dkk

DESA MILLENIUM KETIGA :


PROSPEK
DAN TANTANGAN BISNIS
Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang


Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 Llima Ratus Juta Rupiah).
DESA MILLENIUM KETIGA:
PROSPEK & TANTANGAN BISNIS
©PT Sang Gerilya Indonesia 2018
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved

Cetakan *******
Editor : Indra J Piliang
Kata Pengantar : Ahmad Erani Yustika & Ardan Adi Perdana
Desain Sampul : M Ismail Z
Tata Letak : Sadam Husain
Pra-cetak :
Ukuran : 13 mm x 20 mm
Halaman : ******
ISBN :

Diterbitkan oleh :
PT SANG GERILYA INDONESIA
Jl. Asem Baris Raya Nomor 9, RT 02/RW 05
Kebon Baru, Tebet, Jakarta
Telepon: 021-6349722
E-Mail: sanggerilyaindonesia@gmail.com
twitter: @GerilyaNews
KATA PENGANTAR

Tiga tahun lebih UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang


Desa telah diimplementasikan. UU Desa telah menjadi
momentum pembangunan yang mengedepankan desa
sebagai kekuatan bangsa. Desa tidak lagi semata menjadi
objek sasaran pembangunan, tetapi telah menjadi
subjek yang berperan aktif sebagai motor penggerak
pembangunan.
Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi tantangan utama yang
harus mendapat perhatian bersama dalam implementasi
UU Desa dari semua stakeholder yaitu pemerintahan
(governance), pembangunan (development) dan pemberdayaan
(empowerment).
Pemerintahan (governance) mencakup penyelenggaraan
pemerintahan desa termasuk di dalamnya terkait
pengelolaan keuangan desa. Desa yang saat ini berjumlah
sebanyak 74.958 desa mendapat kucuran dana yang sangat
besar. Tahun 2018 telah dianggarkan 60 triliun dalam
APBN. Belum ditambah sumber pendapatan desa lainnya
seperti Alokasi Dana Desa, Dana Bagi Hasil Pajak/Retribusi
Daerah, dan Bantuan Keuangan. Dana yang dikelola sangat

v
vi ******

besar, pemerintah desa dengan kondisi dan kapasistas


SDM yang bervariatif, dituntut untuk menerapkan prinsip
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa. Semua
akhir kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
sehingga terwujud tata kelola pemerintahan desa yang baik
(Good Village Governance).
Menjawab tantangan governance, BPKP bersama
dengan Kementerian Dalam Negeri telah mengembangkan
aplikasi sederhana untuk membantu dalam pengelolaan
keuangan desa yaitu Aplikasi Sistem Keuangan Desa
(Siskeudes). Dengan aplikasi ini, diharapkan waktu yang
ada tidak tersita untuk mengurus administrasi keuangan
dan SPJ kegiatan yang ‘njlimet’ bagi pemerintah desa.
Pemerintah desa dapat lebih fokus untuk perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan desa yang menjadi esensi dari
UU Desa. Selain itu, dalam aplikasi ini juga sudah ditanam
pengendalian ‘built in control’ yang menuntun pemerintah
desa menggunakan keuangan desa sesuai dengan regulasi
yang ada.
Dalam acara peresmian pembukaan Rapat Koordinasi
Nasional Pengawasan Intern Pemerintah di Istana
Negara pada tanggal 18 Mei 2017, Presiden Joko Widodo
memberikan arahan agar Aplikasi Siskeudes segera
diterapkan di seluruh desa. Sampai dengan akhir Tahun
2017, jumlah desa yang menggunakan Aplikasi Siskeudes
telah mencapai 64.756 desa (86,39%). Pengembangan dan
penyempurnaan terus dilakukan melalui koordinasi secara
aktif dengan Kemendagri, Kementerian Desa PDTT,
Kementrian keuangan serta stakeholders terkait lainnya.
Desa Millenium Ketiga: vii
Prospek & Tantangan Bisnis

Dengan adanya akuntabilitas keuangan desa dan


didukung partisipasi masyarakat, maka akan menjadi
modal desa mengubah peradaban desa yang maju dan
mandiri, sekaligus menjawab tantangan berikutnya yaitu
pembangunan (development) dan pemberdayaan masyarakat
desa (empowerment) sebagaimana diuraikan dan diulas dalam
buku ini dari berbagai prespektif penulis yang ahli di
bidangnya.
Dengan terbitnya buku ini, semoga dapat memperkaya
kepustakaan tentang desa dan dapat menjadi rujukan dalam
pengaturan/kebijakan terkait desa di Indonesia. Selamat
membaca.

Jakarta, 1 Februari 2018


Kepala BPKP,

Ardan Adiperdana
Kata Pengantar Edisi
Pertama

Sejak UU Desa No. 6/2014 diluncurkan pada awal 2014


gegap gempita menyergap Nusantara. Undang-undang ini
tidak saja dirayakan oleh perangkat dan warga desa, tapi
juga dipestakan oleh para akademisi, masyarakat sipil,
organisasi kemasyarakatan, dan yang lain karena dianggap
kunci untuk menyudahi kejumudan desa. Perhatian itu kian
menyeruak setelah Presiden terpilih (2014) memberikan
komitmen politik untuk menggelontorkan Dana Desa
(DD) dan membentuk kementerian baru yang khusus
menangani pembangunan desa, yaitu Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes). Pembangunan desa lantas naik dalam etalase
terdepan pemerintah sekarang.
Pada 2017 ini pembangunan desa yang dibiayai oleh
DD telah memasuki tahun ketiga. Tiap tahun DD naik
sangat besar, dari mulai Rp 20,7 triliun (2015) menjadi
Rp 46,9 triliun (2016), dan sekarang Rp 60 triliun (2017).
Dalam dua tahun penyelenggaraan program DD, fokus
pemerintah masih lebih banyak untuk menyusun regulasi
penyaluran, pemanfataan, dan pengendalian DD. Regulasi
penyaluran DD telah melewati beberapa revisi, misalnya

viii
Desa Millenium Ketiga: ix
Prospek & Tantangan Bisnis

pada 2015 DD disalurkan dalam tiga tahap dan sejak


2016 tinggal 2 tahap [April (60%) dan Agustus (40%)
tiap tahunnya]. Di balik penyaluran ini juga tersimpan
banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh kabupaten
maupun desa, misalnya desa mesti membuat RKPDesa dan
APBDesa, agar DD bisa disalurkan.
Pada fase pemanfaatan DD Kemendes mempunyai
otoritas penuh untuk mengaturnya. Setiap tahun
Permendes yang memandu prioritas pemanfaatan DD
dikeluarkan agar alokasi penggunaan sesuai dengan
tujuan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dua hal pokok yang menjadi titik tekan dari Permendes
ini, yakni memastikan agar desa punya panduan tanpa
kehilangan ruang untuk mengambil keputusan bebas dan
menjamin proses pengambilan keputusan menjadi hak dari
warga desa. Permendes tersebut hanya sebatas memberikan
pagar program untuk 4 bidang utama (pembangunan
infrastruktur, kegiatan ekonomi, pelayanan sosial dasar, dan
pemberdayaan), sementara desa bebas untuk mengambil
pilihan. Berikutnya, pengambilan keputusan dilakukan via
Musyawarah Desa (Musdes) yang menyertakan perangkat
desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan warga desa.
Sementara itu, pengendalian DD disusun secara
sistematis dengan mengoptimalisasikan fungsi dari BPD,
pendamping desa, supervisi dari kecamatan dan Dinas
PMD Kabupaten, Inspektorat Kabupaten, dan BPK. Di
luar itu, Kemendes secara aktif berkoordinasi dengan
KPK, BPKP, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk bersama-
sama melakukan pengawalan pemanfaatan DD tersebut.
Lapis pengendalian ini diperkuat dengan keterlibatan
x ******

masyarakat sipil (LSM), Universitas, dan warga desa sendiri


sehingga ruang penyimpangan penggunaan DD sudah
amat kecil. Sampai saat ini, meskipun aneka kekurangan
masih terjadi, namun dalam hal penyimpangan DD sangat
kecil dibandingkan dengan jumlah dana yang disalurkan
maupun banyaknya jumlah desa yang sekarang mencapai
74.910 desa.
Pada 2017 ini fokus tersebut sudah dapat digeser
dengan lebih banyak menyantuni aspek pendalaman
program. DD diharapkan tidak hanya dipakai untuk
membangun infrastruktur, namun mesti diimbangi dengan
program-program peningkatan kesejahteraan ekonomi,
pembukaan akses pelayanan sosial dasar (pendidikan dan
kesehatan), dan pemberdayaan. Desa-desa mesti memiliki
perspektif yang utuh terhadap pembangunan sehingga
pilihan program koheren dengan kebutuhan warga. Tepat
pada titik inilah kehadiran buku ini menjadi penting karena
memandu desa dan pemangku kepentingan lain untuk
memikirkan kerangka pendalaman pembangunan dan
pemberdayaan desa. Semoga aset pengetahuan ini dapat
dimanfaatkan oleh publik dengan riang gembira.
Yogyakarta, 16 Mei 2017
Ahmad Erani Yustika
Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) dan
Plt. Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa (PPMD), Kemendes
Daftar Isi

Kata Pengantar Edisi II : Dr Ardan Adiperdana


Kata Pengantar Edisi I : Prof Dr Ahmad Erani Yustika
Iqra Penyunting
Daftar Isi

1. DESA PINGGIRAN DALAM PEMERATAAN


PEMBANGUNAN (M Misbakhun)
2. TANTANGAN PENGELOLAAN KEUANGAN
DESA ( Gatot Darmasto)
3. KEBIJAKAN AFIRMATIF UU
DESA: PENINGKATAN EFEKTIVITAS
PEMERINTAHAN DESA DAN KEPUASAN
MASYARAKAT (Dr. H. Nata Irawan, SH, M.Si)
4. DEMOKRASI LOKAL ALA NAGARI (Faisal Andri
Mahrawa)
5. INFRASTRUKTUR PERDESAAN DALAM
NAWACITA: BISNIS ATAUKAH TRADISI ? (
Taufik Kurniawan)
6. DESA GLOBAL DALAM DUNIA MAYA (Rezha
Nata Suhandi, SE)
7. ANCAMAN DIGITAL DIVIDE BAGI

xi
xii ******

E-COMMERCE (Harryadin Mahardika)


8. PEREMPUAN PENGUBAH WAJAH DESA (R.
Yando Zakaria)
9. PERAN BADAN PERWAKILAN DESA (Ahan
Syahrul Arifin)
10. KOPERASI PERDESAAN : TANTANGAN DAN
PELUANG (Romi Pernando, SE)
11. PENGELOLAAN KEUANGAN DESA TALAGO
SARIAK BERBASIS PARTISIPASI (Ramadanus
Weri, S.Pd)
12. MEMBANGUN DESA BISNIS : KOMPARASI
JEPANG, EROPA DAN INDONESIA (Berly
Martawardaya dan Wisnu S. Nugroho)
13. PENGEMBANGAN DESA WISATA
DAN POTENSINYA DI KABUPATEN
PANGANDARAN (Anang Muftiadi)
14. REVOLUSI MENTAL DAN REZIM PERDESAAN
(Indra J. Piliang)
Desa Pinggiran
dalam Pemerataan
Pembangunan

Misbakhun
Anggota DPR RI

Pendahuluan
Narasi kesejahteraan masyarakat dan peran aktif negara
merupakan artefak yang sejak dahulu diperdebatkan oleh
para filosof, negarawan dan cendekiawan. Negara adalah
institusi formal yang menaungi penduduk dalam suatu
wilayah. Hanya saja, peran negara mengalami dekadensi
manakala pemahaman mengenai pasar dan kapitalisme
merebak pasca revolusi industri di Inggris. Indonesia
sebagai sebuah negara yang berdaulat, baru memahami ini
sebagai gagasan yang mengambang. Walaupun ditopang
dengan konstitusi, landasan negara dan dasar negara yang
kuat, namun konsep kesejahteraan seperti hanya gurauan
para pemangku kebijakan ketika mulai mendekati masa
pergantian rezim kekuasaan.

1
2 ******

Kesejahteraan adalah akumulasi dari tindakan-


tindakan yang mempengaruhi, salah satunya berupa upaya
untuk mengembangkan peradaban. Namun kesejahteraan
sebetulnya tidak begitu mudah didefinisikan ketika berkaitan
dengan angka-angka perhitungan secara kumulatif. Aspek
kesejahteraan itu membuat tindakan-tindakan yang
mempengaruhi terkesan abstrak, sekalipun dapat diukur
dalam bentuk angka-angka.
Mengapa?
Karena pembangunan tidak memiliki arah dalam
pengaplikasiannya. Atau, pembangunan hanya memberikan
titik berat kepada pasar bebas. Sehingga yang terjadi justru
kerancuan: apakah pembangunan mampu atau tidak
dalam menumbuhkan kesejahteraan? Atau jangan-jangan
pembangunan justru menimbulkan kesenjangan sosial
ekonomi.
Dalam buku yang ditulis oleh Amartya Sen dengan
judul Development As Freedom (1999), saya menemukan
definisi yang strategis untuk menggambarkan apa
sebenarnya itu pembangunan. Pembangunan acapkali
didefinisikan sebagai sebuah entitas tunggal untuk
mencapai kesejahteraan suatu masyarakat. Namun,
Amartya Kumar Sen, figur ekonom pertama di Asia yang
menjadi peraih hadiah nobel dalam Ilmu Ekonomi (1998),
menyajikan sebuah definisi meyakinkan mengenai apa itu
pembangunan. Pembangunan menurut Sen adalah upaya
untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati
oleh rakyat. Dalam konsep tersebut, perluasan kebebasan
dipandang sebagai tujuan utama pembangunan.
Desa Millenium Ketiga: 3
Prospek & Tantangan Bisnis

Sen tidak menitik beratkan pola pembangunan hanya


dengan indikator yang bersifat materiil, dapat diperhitungkan
ataupun dapat diukur, namun juga indikator-indikator
lain yang lebih bersifat intrinsik (kebebasan manusia) dari
sebuah pembangunan. Karena itu, pandangan tersebut agak
sedikit bertolak belakang dengan pandangan konvensional
yang melihat pembangunan dari kacamata pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDB), industrialisasi, peningkatan
pendapatan atau bahkan modernisasi sosial.
Pandangan Sen mengenai pembangunan juga diulas
oleh seorang ekonom cerdas Indonesia, Thee Kian Wie.
Menurut Thee, sebagai peluasan kebebasan secara substantif,
pembangunan juga mengharuskan berbagai sumber utama
non kebebasan disingkirkan, yaitu kemiskinan dan tirani,
minimnya peluang ekonomi, penelantaran sarana umum
dan campur tangan rezim represif yang berlebihan. Masih
menurut ulasan Thee Kian Wie, dalam upaya peningkatan
kebebasan manusia sebagai fundamental pembangunan, ada
sebuah ide dasar yang tidak bisa tidak, harus diaplikasikan
dalam proses pembangunan, yakni redistribusi aset, baik
fisik maupun non fisik1.
Oleh sebab itu, cita-cita pembangunan menjadi
sebuah hal yang niscaya kala dilakukan secara berkelanjutan
(sustainable), merata, bertumbuh dan memiliki prinsip
persamaan dalam kesempatan (equality in rights). Semua hal
yang menjadi keniscayaan dalam pembangunan tersebut,
harus diupayakan oleh negara sebagai pemegang mandat

1
Thee Kian Wie, Pembangunan, Kebebasan dan “Mukjizat” Orde
Baru, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), hlm. 4.
4 ******

untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Negara harus


bertanggung jawab atas segenap kehidupan rakyatnya, tidak
hanya mewujudkan ekonomi yang bertumbuh, namun
negara juga harus mengatur pertumbuhan ekonomi yang
merata kepada seluruh masyarakat.
Maka implikasi berdasarkan teori yang dipaparkan
Sen bagi kehidupan masyarakat Indonesia secara khusus
sebetulnya memiliki kaitan yang positif. Indonesia pasca
reformasi sedang sangat giat melakukan pembangunan,
melanjutkan pembangunan yang sudah dilakukan pada era
sebelumnya. Namun seperti yang telah kita ketahui bersama,
pembangunan seringkali terpusat di perkotaan. Padahal
jika kita menilik lebih jauh, desa sebagai entitas terkecil
dari sebuah pemerintahan di Indonesia menjadi soko guru
pembangunan di perkotaan. Kita dapat melihat secara
gamblang jika segala macam bahan baku perindustrian
datang dari desa, bahkan kebutuhan pangan perkotaan juga
datang dari desa. Namun pembangunan pedesaan masih
dirasa minim dan tidak cukup untuk menunjang kebebasan,
termasuk kebebasan ekonomi masyarakat desa seperti yang
dimaksud Sen sebagai simbol pembangunan.
Kondisi perekonomian masyarakat desa masih jauh dari
harapan, kontras jika kita membandingkan dengan kondisi
ekonomi perkotaan. Atas dasar itu, sebetulnya dibutuhkan
formulasi yang dapat menjawab tantangan pemerataan
ekonomi secara integral bagi Indonesia dalam bentuk
kebijakan yang mendukung pemerataan pembangunan
kawasan pedesaan. Kita tidak bisa acuh terhadap hal ini,
apalagi tantangan terbesar Indonesia adalah permasalahan
geografis yang terdiri dari luas sepertiga daratan yang
Desa Millenium Ketiga: 5
Prospek & Tantangan Bisnis

tersebar pada duapertiga lautan yang berjauhan, termasuk


keberadaan desa-desa di pelosok terpencil dalam wilayah
geografis Indonesia.

Desa dan Upaya Pemerataan Pembangunan


Lalu bagaimanakah peran negara dalam hal ini
pemerintah dalam upayanya melakukan distribusi
pembangunan yang merata agar dapat dirasakan oleh
seluruh rakyat Indonesia?
Keberhasilan pembangunan sangat berkaitan dengan
kebijakan atau regulasi yang dibuat oleh pemerintah,
bentuknya berupa peraturan perundangan. Pemerintah
harus menciptakan kebijakan pembangunan yang tepat
dalam upaya meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi,
sekaligus menciptakan pemerataan pembangunan.
Peningkatan laju ekonomi tidak selalu dibarengi dengan
pemerataan. Kemiskinan tidak dapat dihilangkan dengan
hanya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.
Ada tiga permasalahan umum yang menyangkut
kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan permasalahan
pemerataan pembangunan yaitu:
1. Sumber dana pembangunan.
2. Alokasi dana pembangunan.
3. Efektivitas dan efisiensi penggunaan dana
pembangunan.2
Ketiga permasalahan itu ditangkap oleh para

2
Yohan Naftali, “Upaya Pemerataan Pembangunan”, http://
www.yohanli.com/upaya-pemerataan-pembangunan.html, hlm. 1.
6 ******

pemangku kebijakan sebagai suatu hal yang harus diatasi.


Caranya adalah dengan memberikan rumusan dalam aturan
perundang-undanga. Kesepakatan yang berhasil diraih
adalah dengan menjadikan desa sebagai unit terkecil dari
lembaga pemerintahan. Desa tidak lagi dianggap sebagai
bagian yang samar dalam prioritas pembangunan. Malahan,
desa justru dapat dijadikan sebagai objek nyata yang
menjadi prioritas dalam menentukan arah pembangunan di
Indonesia.
Pemikiran-pemikiran itulah yang melatarbelakangi
kelahiran UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-undang ini memiliki redaksi yang lebih rigid
dengan lebih mengutamakan perihal peraturan teknis
terkait penumbuhan kebebasan masyarakat pedesaan.
Undang-undang inipun berhasil mengubah pandangan
dan harapan mengenai masyarakat pedesaan yang identik
dengan paradigma terbelakang, tradisional dan juga kurang
berdaya.
UU Nomor 6/2014 tentang Desa menjadi tonggak
perubahan paradigma kawasan pedesaan sekaligus menjadi
senjata pemerintah dalam mengupayakan pemerataan
ekonomi hingga pelosok desa. Undang-undang ini sekali
lagi telah mengisyaratkan bahwa desa tidak lagi dianggap
sebagai objek pembangunan, melainkan ditempatkan
menjadi subjek dan ujung tombak pembangunan dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
pemerintahan, dengan mengedepankan kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat
Desa Millenium Ketiga: 7
Prospek & Tantangan Bisnis

desa.

Melalui UU Nomor 6/2014, kedudukan desa telah


diperkuat kewenangannya dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dengan paradigma seperti itu, desa menjadi unit
pemerintahan yang keberadaannya sangatlah fundamental,
Pemerintahan Desa adalah level pemerintahan ketiga
setelah Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Bahkan desa memiliki legitimasi hukum yang lebih kuat
dibanding dengan Pemerintahan Provinsi, karena memiliki
legitimasi sebagai level pemerintahan tersendiri.3 Sementara
provinsi hanyalah wakil pemerintahan pusat di daerah-
daerah otonom.

3
Taufik Kurniawan, dkk, Desa Milenium Ketiga, (Jakarta: Sang
Gerilya Indonesia, 2016), Cet. I, hlm. 81.
8 ******

Dalam pembangunan, atau tata kelola ekonomi, kita


mengenal sumber daya modal sebagai bahan baku primer
untuk terus menjalankan pembangunan. Namun, sumber
daya modal (capital) yang ada juga harus mampu dinakar
secara efektif dan efisien agar pembangunan yang dijalankan
dapat tepat guna. Atas dasar hal tersebut, kemampuan akses
sumber daya modal untuk pembangunan harus semakin
didekatkan pada subjek yang dirasa mengerti mengenai
diskursus masalah-masalah sosial ekonomi di wilayahnya.
Kita mengenal dua prinsip yang juga menjadi acuan,
mengapa akses sumber daya modal menjadi perhatian yang
utama dari regulasi UU Desa. Kedua prinsip itu adalah prinsip
money follows function (modal mengikuti fungsi) dan money
follows program (modal mengikuti program). Pertimbangan
utama adalah bagaimana suatu wilayah dapat dengan
aktif dan partisipatif mengubah wajah ketertinggalan
menjadi wajah yang produktif, jikalau kebutuhan primer
akan akses permodalan sulit didapatkan. Apalagi jika
kita mempertimbangkan mengenai permasalahan yang
bersifat lokal. Artinya program Pemerintah Pusat dianggap
tidak memiliki akses yang cukup untuk menjangkau
permasalahan tersebut. Dengan cara itu diisyaratkan bahwa
bahwa pembangunan harus dilaksanakan secara langsung
oleh pemangku kepentingan daerah terkakit, dalam hal
ini desa sebagai institusi pemerintahan yang memahami
permasalahan pada tataran lokal pedesaan.
Sementara itu menurut Kasryno (1983), kegiatan
sektor perekonomian dalam masyarakat pedesaan sangat
sulit untuk dipisahkan. Penyebabnya adalah satu keluarga
mempunyai berbagai sumber mata pencaharian. Hal itu
Desa Millenium Ketiga: 9
Prospek & Tantangan Bisnis

kemudian menyebabkan sumber dana, sumber daya dan


tenaga kerja yang dikuasai rumah tangga dialokasikan untuk
berbagai sektor perekonomian dan tidak bisa ditentukan
apakah modal dari sektor yang utama (pertanian) dapat
membantu sektor lain diluar sektor utama. Pendayagunaan
sumber daya dan sumber dana yang ganda ini didorong
oleh penguasaan tanah yang sempit dan produktifitas yang
rendah.4
Sejak dulu permasalahan yang ada di pedesaan ruang
lingkupnya cukup luas. Permasalahan itu tidak hanya
terpapar pada bagaimana pendapatan ekonomi rumah
tangga dapat meningkat dengan sumber daya yang seadanya.
Namun juga mencakup variabel yang multi dimensi dalam
sektor ekonomi, seperti minimnya infrastruktur, daya
kelola, basis pendidikan warga masyarakat dan hal lainnya.
Atas dasar tersebut, UU No 6/2014 mengisyaratkan
bahwa desa juga diberikan sumber pendapatan yang
memadai agar dapat mengelola potensi yang dimilikinya
sendiri guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Selain diperkuat kewenangannya, desa juga
diberikan sumber-sumber pendapatan. Sebagaimana
termaktub dalam UU No 6/2014 Pasal 72 ayat (1),
pendapatan desa bersumber dari:
1. Pendapatan Asli Desa: Hasil usaha, hasil aset,
swadaya dan partisipasi, gotong-royong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa.

4
Faisal Kasryno, Prospek Ekonomi Pedesaan Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983), hlm. 21.
10 ******

2. Dana Desa dari APBN.


3. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota (paling sedikit 10%).
4. Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan bagian
dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/
Kota (minimal 10% dari Dana Bagi Hasil dan Dana
Alokasi Umum).
5. Bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD
Kabupaten/Kota.
6. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
7. Lain-lain pendapatan desa yang sah.

Dana Desa (DD) yang juga menjadi instrumen dari


kebutuhan yang disyaratkan aturan perundangan untuk
ekonomi masyarakat pedesaan, diberikan pemerintah
pusat kepada daerah di seluruh Indonesia. Hal tersebut
merupakan salah satu program pemerintah untuk
membangun kemajuan dari desa dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa. Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dengan komitmen serta visi pembangunannya
melakukan upaya maksimal pada proyek padat karya
besar-besaran melalui dana desa di tahun 2018. Selain
bertujuan untuk melakukan peningkatan infrastruktur yang
akan menjadi utilitas jangka panjang desa-desa, program
tersebut juga dilakukan dalam upaya meningkatkan daya
beli masyarakat serta menciptakan lapangan pekerjaan di
desa-desa sehingga mengurangi pengangguran dan jumlah
orang miskin.
Apa yang dilakukan pemerintah pada pembangunan
masyarakat desa sejalan dengan Nawacita Presiden Jokowi
Desa Millenium Ketiga: 11
Prospek & Tantangan Bisnis

butir ke tiga yang menyatakan bahwa Indonesia akan


dibangun dari pinggiran. Dengan upaya tersebut, desa
yang selama ini tertinggal diharapkan dapat meningkatkan
ekonomi masyarakat desa dan juga memperkuat daerah-
daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Dengan
kebijakan dana desa, saat ini Presiden Jokowi menunjukkan
komitmen besarnya untuk ‘Membangun Indonesia dari
Pinggiran’. Salah satu program prioritas adalah melalui
kebijakan cash for work atau padat karya tunai yang merupakan
skema baru dalam pengalokasian Dana Desa. Padat karya
tunai dimaksudkan agar dana desa dapat dikelola sendiri
oleh masyarakat bersama perangkat desa (swakelola)
sehingga warga desa akan terlibat aktif didalamnya, entah
dalam bentuk aspirasi pembangunan maupun giat warga.
Cash for Work adalah pola pelaksanaan Dana Desa
dengan bentuk padat karya yang nantinya diharapkan bisa
menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kebijakan
padat karya tunai dampaknya akan terukur terhadap
pengangguran juga pengurangan kemiskinan. Diluar itu,
program padat karya berpengaruh terhadap peningkatan
produktivitas nasional dan untuk meningkatkan daya saing
Indonesia dari sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM). Di tengah keterbatasan infrastruktur, kualitas
sumber daya manusia, dan teknologi, kelak tentunya
kita bisa bertarung di pasar global dari hasil UMKM
masyarakat pedesaan maupun yang telah diberdayakan
dengan program-program pemerintah. Padat karya tidak
membutuhkan teknologi canggih atau modal besar untuk
memberdayakan sumber daya manusia.
12 ******

Padat karya tunai merupakan skema baru dalam


pengalokasian Dana Desa. Dalam pengaplikasiannya
dana desa memiliki mekanisme swakelola atau dalam
artian warga desa akan terlibat aktif sebagai pekerja dalam
beberapa proyek desa dan langsung mendapatkan upah
pekerjaan. Padat karya tunai merupakan perbaikan dari pola
atau mekanisme penyaluran Dana Desa pada tahun-tahun
sebelumnya. Dengan adanya mekanisme seperti itu, bukan
saja tercipta infrastruktur penunjang bagi aktifitas sosial
masyarakat, namun juga akan terjadi peningkatan taraf
ekonomi masyarakat desa. Seperti yang telah diketahui,
Presiden Jokowi menetapkan kebijakan Dana Desa sejak
tahun 2015 sebesar Rp. 20,67 Triliun. Jumlah ini terus
meningkat pada setiap tahunnya. Untuk tahun 2016, Dana
Desa meningkat menjadi Rp. 46,98 Triliun, sedangkan
pada tahun 2017 meningkat secara signifikan sebesar Rp.
60 Triliun.

Pemerintah telah menyalurkan dana desa sebesar Rp.


127 Triliun dalam tiga tahun terakhir. Dalam APBN 2018
Dana Desa ditetapkan sebanyak Rp. 60 Triliun dan dana
transfer daerah sebesar Rp. 706,2 Triliun. Untuk tahun
2018 ini dana sebesar Rp. 60 Triliun juga siap digelontorkan
dengan konsep yang berbeda. Pemerintah menetapkan pola
baru dalam pemanfaatan dana desa dengan cara memberikan
Desa Millenium Ketiga: 13
Prospek & Tantangan Bisnis

pengalokasian dana desa yang akan difokuskan pada sektor


Padat Karya.
Dengan dana yang telah digelontorkan sejak tahun
2015, output yang dihasilkan dari semua itu sangat
signifikan, terutama pada perhitungan jumlah orang
miskin di pedesaan. Jumlah orang miskin di pedesaan telah
turun sebanyak 1,58 juta jiwa dalam tiga tahun terakhir.
Hal ini mengisyaratkan jika program pemerintah melalui
pemberlakuan Dana Desa sangat efektif untuk terus
dijalankan pada tahun-tahun mendatang. Namun juga perlu
dikaji lebih mendalam mengikuti dinamika zaman perihal
penggunaan Dana Desa, baik secara fungsi, manfaat maupun
output yang dihasilkan, juga mekanisme penyaluran. Terkait
mekanisme penyaluran dan penggunaan dana desa, hal ini
telah memicu polemik di masyarakat. Lembaga rasuah
Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai
menggali kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan
yang dilakukan aparatur desa dari dana desa. Sejumlah
aparatur penyelenggara negara, seperti kepala daerah dan
aparat penegak hukum, bahkan mulai ditetapkan sebagai
tersangka ketika terjadi komgkalikong dalam penggunaan
dana desa.
Sedangkan mengenai outcome dari penggunaan
dana desa yang digelontorkan pemerintah selama 3 tahun
terakhir telah banyak menciptakan kapasitas dan kualitas
pedesaan di Indonesia dari berbagai aspek, terutama aspek
infrastruktur yang berfungsi sebagai perantara akses bagi
penggunaan fungsi lainnya. Sejak tahun 2015, Dana Desa
telah banyak berkontribusi membangun puluhan ribu desa.
Terhitung hingga realisasi tahap I tahun 2017, pemerintah
14 ******

telah berhasil membangun:


- 121.709 KM jalan desa.
- 41.739 saluran irigasi.
- 21.357 lembaga pendidikan PAUD.
- 1.690 KM jembatan penghubung.
- 13.973 unit Posyandu.
- 82.356 MCK.

Jika kita melihat data tersebut, maka outcome yang


dapat dihitung berupa infrastruktur dapat kita tampilkan
dan lihat bersama. Hal itu belum termasuk faktor cateris
paribus lain yang fungsinya juga meningkatkan kesejahteraan
atau kebebasan ekonomi masyarakat desa. Pemberdayaan
masyarakat desa melalui akses permodalan dana desa pasti
juga akan meningkatkan secara kumulatif produktifitas dan
interaksi perekonomian masyarakat pedesaan.
Sementara itu, untuk tahun anggaran 2018,
pengalokasian Dana Desa dan transfer belanja daerah yang
berada dalam UU APBN 2018 telah disahkan dalam Rapat
Paripurna DPR RI dan menyepakati target pendapatan
negara sebesar Rp. 1.894,7 triliun dengan pagu belanja
negara Rp. 2.220,7 triliun. Angka tersebut di dalamnya
terdapat angka untuk transfer ke daerah dan alokasi Dana
Desa senilai Rp. 766,2 Triliun. Alokasi Dana Desa dan
transfer ke daerah memiliki fokus utama untuk:
1. Meningkatkan pemerataan keuangan antar daerah.
2. Meningkatkan kualitas dan mengurangi ketimpangan
layanan publik daerah.
3. Meningkatkan dan menciptakan lapangan kerja.
Desa Millenium Ketiga: 15
Prospek & Tantangan Bisnis

4. Mengentaskan kemiskinan yang dalam penyalurannya


menggunakan basis kerja bersama.

Kita harus apresiasi bersama tentang apa yang telah


diupayakan Pemerintahan Jokowi-JK selama masa 3 tahun
bekerja. Indonesia merupakan negara yang terdiri atas
ribuan pulau-pulau, di atasnya berdiri ribuan pula institusi
pemerintahan yang bertugas untuk menjadi perantara
layanan kepada masyarakat. Kesulitan utama yang dihadapi
adalah bagaimana membuka akses publik terhadap segala hal
yang berkaitan dengan program pemerintah, baik itu berupa
layanan administratif maupun program pemberdayaan.
UU Desa hadir guna menjangkau keterbatasan itu semua,
sehingga distribusi anggaran dan program dapat dipangkas
dan bisa langsung dinikmati masyarakat pada tataran lokal.
Untuk tahun 2018, pemerintah harus tetap
melanjutkan program pengadaan infrastruktur dan juga
harus konsisten melakukan upaya-upaya sistematis dalam
usaha mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan,
tentu fokus utamanya ada pada masyarakat desa. Dana
Desa ditingkatkan jumlahnya menjadi Rp 60 triliun, dan
subsisdi dirancang agar lebih tepat sasaran kepada kegiatan-
kegiatan unggulan untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Sepertiga Dana Desa diharapkan dapat digunakan untuk
pembangunan infrastruktur desa dengan memanfaatkan
sumber daya yang ada di masing- masing desa. Dan perlu
dilakukan akselerasi kegiatan dengan melakukan percepatan
penyaluran Dana Desa ditahun 2018 dan dilakukan secara
terintegrasi agar menggerakkan perekonomian di pedesaan
secara berkelanjutan.
16 ******

Dalam APBN 2018 prioritas Dana Desa fokus


digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan
ketertinggalan geografis juga demografis melalui:
1. Pemberian afirmasi kepada Desa tertinggal dengan
jumlah penduduk miskin tinggi.
2. Penurunan alokasi yang dibagi merata dan peningkatan
alokasi formula.
3. Dan pemberian bobot yang lebih besar kepada jumlah
penduduk miskin dan pengangguran.
Alokasi Dana Desa yang dahulu bersifat merata dalam
hal jumlah untuk seluruh desa akan berubah pada tahun
2018. Fokus dan titik berat untuk pengentasan kemiskinan
menjadikan desa-desa dengan penduduk miskin dan
pengangguran tertinggi akan mendapatkan porsi prioritas
Dana Desa yang lebih tinggi, yaitu sekitar 20 - 35 persen.
Hal tersebut selaras dengan idiom keadilan yang selama
ini diperdebatkan pada tataran sosial kemasyarakatan. Adil
bukan berarti sama rata dalam hal kuantitas, namun adil
disini adalah sesuai dengan takaran dan porsinya. Jika kita
menerapkan keadilan dengan sama rata pada semua elemen
dan bagian, justru hal itu memperlihatkan bahwa pemerintah
tidak adil dalam melakukan upaya menumbuhkan sekrup
Desa Millenium Ketiga: 17
Prospek & Tantangan Bisnis

ekonomi masyarakat.
Misalnya jika setiap desa di Indonesia diberikan jatah
anggaran yang sama yakni sebesar 1 milyar rupiah pertahun,
maka sebuah desa di sebuah kabupaten yang sudah
berkembang dan memiliki anggaran daerah di kisaran 5
trilyun, porsi kebutuhan, prioritas penggunaan dan manfaat
dana desa bagi desa yang berada di pelosok Pulau Papua
tentu akan sangat berbeda. Kita tidak bisa melakukan
azas sama rata bagi kedua desa yang sebetulnya memiliki
kebutuhan berbeda dalam pengalokasiannya. Desa di Papua
akan memiliki lebih banyak kebutuhan anggaran karena
kondisi ekonomi yang belum berkembang, sementara desa
di Kabupaten Bekasi misalnya hanya membutuhkan sedikit
dari alokasi anggaran untuk memberdayakan masyarakat
desa. Hal ini dilatar belakangi oleh berbagai faktor,
seperti faktor kemampuan penunjang anggaran daerah,
kondisi demografis masyarakat, pendapatan masyarakat,
ketersediaan sumber-sumber ekonomi atau lapangan
pekerjaan, tingkat inflasi daerah, jumlah uang beredar
maupun akses publik terhadap infrastruktur penunjang.
Apa yang dilakukan pemerintah mengenai
pemberlakuan prioritas dana desa sudah mencakup prinsip
keadilan dalam pembangunan. Hal ini sesuai dengan teori
sosialistis yang menjadi cabang pemikiran dari Sonny
Keraf (1998) mengenai keadilan distributif. Keadilan
sosialistis memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai
dasar pemikirannya, seperti yang diungkapkan oleh Louis
Blanc (1811-1882), seorang filsuf sosialisme asal Prancis.
Menurut teori ini, kehidupan masyarakat dapat dikatakan
adil jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti
18 ******

kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan. Secara


konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah
pekerjaan bagi kaum buruh dalam konteks industrialisasi.
Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua
prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yang berat
harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan
dari semua warga masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang
baik untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan.5
Keadilan yang menitik beratkan pada kebutuhan
atau kondisi sosial masyarakat juga terejawantahkan pada
nilai-nilai Pancasila terutama sila ke-5, ‘Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Hal ini pun memberi
arti secara eksplisit jika apa yang Presiden Jokowi lakukan
melalui program-program pemberdayaan ekonomi
masyarakat, sangatlah Pancasila-is. Tidak mengherankan
memang, karena buah pemikiran mengenai Nawacita juga
mengadopsi kerangka pemikiran Trisakti yang disampaikan
oleh Soekarno sebagai The Founding Fathers Bangsa
Indonesia.

Pengelolaan Dana Desa


Dana desa adalah mandat UU Desa yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya
masyarakat pedesaan. Dalam bentuknya, dana desa bukan
merupakan dana hibah semata yang keberadaannya tidak
memiliki beban pertanggung jawaban, dana desa yang
digelontorkan oleh Pemerintah Pusat merupakan hasil dari

5
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2000), hlm. 99.
Desa Millenium Ketiga: 19
Prospek & Tantangan Bisnis

beban pajak masyarakat dan juga sumber pendapatan negara


lainnya. Oleh sebab itu, dalam pengelolaannya, dana desa
wajib memiliki sistem yang terpadu agar penggunaannya
tepat sasaran dan tidak diselewengkan oleh oknum pengerat
anggaran.
Undang-Undang yang baru saja dikeluarkan tentang
Desa pada tahun 2014 yaitu, Undang-Undang No.6 tahun
2014. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa desa nantinya
pada tahun 2015 akan mendapatkan kucuran dana sebesar
10% dari APBN. Dimana kucuran dana tersebut tidak
akan melewati perantara. Dana tersebut akan langsung
sampai kepada desa. Tetapi jumlah nominal yang diberikan
kepada masing-masing desa berbeda tergantung dari
geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian.
Alokasi APBN yang sebesar 10% tadi, saat diterima oleh
desa akan menyebabkan penerimaan desa yang meningkat.
Penerimaan desa yang meningkat ini tentunya diperlukan
adanya laporan pertanggungjawaban dari desa. Laporan
pertanggungjawaban itu berpedoman pada Permen No.
113 tahun 2014.6
Pengelolaan dan juga pemanfaatan dana desa sebagai
bagian dari upaya melaksanakan percepatan pembangunan
melalui pemerataan tentu sangat riskan dengan berbagai
kemungkinan penyelewengan dalam tataran penggunaan
maupun keluaran kebijakan. Oleh sebab itu, dana
desa sebagai salah satu sum6ber pendapatan desa yang
keberadaannya merupakan mandat UU dan amanat rakyat

6
V.Wiratna Sujarweni, Akuntansi Desa: Panduan Tata Kelola
Keuangan Desa, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015), hlm. 16.
20 ******

tentu harus memiliki landasan moral atau azas etika yang


positif. Pun begitu dengan pengelolaannya yang dilakukan
dalam kerangka pengelolaan keuangan desa. Keuangan
desa sendiri dikelola dengan menerapkan azas-azas:
• Transparan, yaitu prinsip keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat mengetahui dan mendapat
akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan desa.
• Akuntabel, yaitu perwujudan kewajiban untuk
mempertanggung jawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya juga pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan
yang ditetapkan.
• Partisipatif, yaitu penyelenggaraan pemerintahan desa
yang mengikut sertakan kelembagaan desa dan unsur
masyarakat desa.
• Tertib dan disiplin anggaran, yaitu pengelolaan
keuangan desa harus mengacu pada aturan atau
pedoman yang melandasinya.

Dalam ketentuan umum UU No 32 Tahun 2004


tentang pemerintah daerah menyatakan, desa atau yang
disebut nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.7

7
Wikipedia, “Undang-Undang Desa”, https://id.wikipedia.
org/wiki/Undang-Undang_Desa, ketentuan umum, hlm. 1.
Desa Millenium Ketiga: 21
Prospek & Tantangan Bisnis

Desa merupakan unit terkecil pemerintahan pada


suatu kawasan atau wilayah, perekonomian masyarakat desa
bisa dikatakan masih bersifat homogen. Kehidupan politik
masyarakat desa juga masih sangat tradisional, UU No.6
Tahun 2014 mengisyaratkan jika desa dengan keberadaannya
diberikan hak otonomi khusus sesuai dengan kearifan lokal
dimana desa tersebut berada. Pada pengaplikasiannya ujung
tombak administrasi maupun pengambil kebijakan tertinggi
pemerintahan di tingkatan desa itu berada pada Kepala
Desa (Kades). Kades dipilih langsung oleh masyarakat desa
dengan menerapkan sistem pemilihan yang demokratis.
Namun ada di sebagian tempat yang menggunakan sistem
urun rembuk atau bermusyawarah antara pihak terkait
untuk menentukan siapa yang menjadi Kades.
Berdasarkan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun
2014 Pasal 72, dijelaskan mengenai wewenang kepala desa.
Kepala desa berwenang untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur
penerimaan yang merupakan pendapatan desa masing-
masing. Namun demikian, diharapakan para kepala desa
menjalankan semua semua tugasnya tanggung jawab yang
lebih besar atas kewenangan yang diberikan.8
Kades pada era kini, ketika dihadapkan pada pilihan
UU untuk melakukan percepatan pembangunan dengan
digelontorkannya dana desa, fungsinya tidak hanya
sekedar sebagai jabatan publik yang melakukan pelayan

8
Endra M. Yusuf, “Pengertian Undang-Undang Desa dan
Keistimewaannya”, http://www.keuangandesa.com/2017/03/
pengertian-undang-undang-desa-dan-keistimewaanya/, hlm. 1.
22 ******

administratif, namun juga mencakup tugas-tugas yang


dapat menentukan kebijakan, road map pembangunan
maupun blueprint pengembangan desa. Bisa dikatakan
kewenangan yang ada pada Kades diperluas. Sehingga
Kades juga harus mampu memahami mekanisme dan
sistem pelaporan, sistem akuntabilitas juga bagaimana
menyusun rancangan anggaran dengan baik. Kapabilitas
dan moral yang dimiliki Kades sebagai pemangku jabatan
sekaligus pemegang mandat dana pembangunan harus
cakap dan sesuai kapabilitas yang dibutuhkan. Jangan
sampai karena Kades belum/tidak memahami prosedur
administrasi yang ditetapkan, kemudian masuk penjara
karena disebabkan berbagai hal, seperti kesalahan dalam
penyampaian pelaporan pertanggungjawaban penggunaan
dana ataupun hal lainnya.
Dalam mengelola keuangan ataupun sebuah lembaga,
walaupun itu adalah lembaga pemerintahan dan berada pada
unit terkecil, namun tetap saja membutuhkan kemampuan
manajerial yang baik dalam praktiknya. Menurut James. F
Stoner, sebuah organisasi untuk dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan memerlukan proses perencaan,
pengorganisasian, leadership, serta pengendalian upaya
dari anggota organisasi tersebut serta penggunaan sumber
daya yang tersedia di organisasi tersebut. Desa secara
kelembagaan merupakan organisasi yang formal dan
bertugas untuk melayani masyarakat.9

9
James. A.F. Stoner, “ Definisi Manajemen Menurut Para Ahli”,
http://rocketmanajemen.com/20-definisi-manajemen-menurut-
para-ahli/, hlm. 1.
Desa Millenium Ketiga: 23
Prospek & Tantangan Bisnis

Atas dasar itulah proses perencanaan, pengorganisasian,


leadership, serta pengendalian atau yang dapat kita ringkas
sebagai mekanisme organisasi diperlukan oleh desa secara
kelembagaan. Apalagi jika mengingat bahwa dana desa
membutuhkan pengelolaan yang profesional, mulai dari
hulu hingga hilir keberadaan dana tersebut ketika hendak
dimanfaatkan.
Dalam pengaplikasiannya pengelolaan keuangan desa
meliputi perencanaan, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggung jawaban. Mekanisme manajerial yang harus
diterapkan oleh sebuah desa dalam pengelolaan dana desa
mewajibkan Sekdes untuk menyusun Raperdes (Rancangan
Peraturan Desa), tentang APBDesa yang akan dibahas dan
disepakati antara Kades dan BPD (Badan Permusyawaratan
Desa); lalu APBDesa disampaikan kepada Bupati atau
Walikota melalui Camat paling lambat pada bulan Oktober
tahun berjalan; kemudian APBDesa dievaluasi oleh Bupati/
Walikota selama maksimal 20 hari kerja untuk dilakukan
disposisi atau persetujuan mengenai persyaratan dan
ketentuan yang berlaku dan jika APBDesa dinyatakan oleh
Raperdesa tidak sesuai maka Kades bersama Sekdes harus
melakukan penyempurnaan selama 7 hari; dan Prioritas
penggunaan Dana Desa ditetapkan dalam musyawarah desa
antara BPD, perangkat desa, dan unsur masyarakat terkait.
Sementarai itu, Bendahara Desa sebagai pihak
yang menjadi pintu masuk dan keluarnya dana desa
wajib melakukan pencatatan setiap penerimaan dan
pengeluaran dari transaksi yang melibatkan dana desa
dan anggaran lainnya; melakukan tutup buku setiap akhir
bulan; mempertanggungjawabkan uang melalui laporan;
24 ******

lalu kemudian laporan disampaikan setiap bulan kepada


Kades paling lambat tanggal 10 pada bulan berikutnya; dan
menggunakan sarana umum sebagai pencatatan aktifitas
transaksi seperti, buku kas umum, buku kas pembantu
pajak, dan buku bank.
Pengeluaran dan penerimaan dana desa dilaksanakan
melalui pintu rekening kas desa atau sesuai ketetapan
pemerintah kab/kota masing-masing desa berada, dengan
dukungan bukti yang lengkap dan sah secara administrasi
maupun hukum; pemdes dilarang melakukan pungutan
selain yang ditetapkan dalam Perdes; bendahara dapat
menyimpan uang dalam kas desa yang besarannya ditetapkan
oleh Perbup/Perwal (Peraturan Bupati/Walikota), jika tidak
sesuai maka bisa dikatakan ada penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan, karena tidak memiliki landasan hukum yang
menguatkan kebijakan; dan penggunaan biaya tak terduga
harus dibuat rincian RAB (Rancangan Anggaran dan Biaya)
sebelumnya, dan disahkan Kades.
Untuk mekanisme pelaporan penggunaan anggaran
dana desa, Kades harus menyampaikan laporan keuangan
kepada bupati/walikota melalui camat yang terdiri dari
laporan realisasi pelaksanaan APBDesa semester pertama
dan semester kedua. Laporan pertanggungjawaban realisasi
pelaksanaan APBDesa disampaikan pada setiap akhir
tahun anggaran yang terdiri dari pendapatan, belanja, dan
pembiayaan, dimana hal-hal tersebut ditetapkan dengan
Perdes dan dengan menggunakan lampiran format laporan
sebagai berikut:
• Pertanggungjawaban realisasi Pelaksanaan APBDesa
Desa Millenium Ketiga: 25
Prospek & Tantangan Bisnis

T.A. berkenaan;
• Kekayaan Milik Desa per 31 Des. T.A. berkenaan; dan
• Program Pemerintah & Pemda yang masuk ke Desa.

Karena penggunaan dana desa sejak awal


keberadaannya riskan dengan penyelewengan ataupun
penyalahgunaan anggaran. Maka selain menetapkan pola
mekanisme manajerial administratif yang profesional
dan bahkan sudah melalui sistem terpadu, diperlukan
juga sebuah formulasi untuk menegaskan prinsip tepat
guna dan tepat sasaran pengelolaan dana desa. Formulasi
tersebut tentunya juga harus melibatkan lembaga negara
lainnya, hal ini penting adanya mengingat transformasi
keilmuan dalam pengelolaan keuangan terutama dana desa
sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi aspek transparansi,
akuntabilitas, partisipatif dan tertib.
Lembaga negara yang berhak secara konstitusi
melakukan upaya preventif tindak penyelewengan anggaran
dan pembinaan mengenai cara tata kelola keuangan negara
adalah BPK. Selain dapat melakukan tindakan pemeriksaan
terhadap akuntabilitas penggunaan keuangan negara, BPK
juga berhak melakukan pengawasan dan pembinaan secara
sistematis terhadap subjek pengguna anggaran negara.
Sistem pengawasan dan pemeriksaan merupakan bagian dari
sistem pengelolaan keuangan negara yang berperan untuk
memastikan bahwa keuangan negara telah dilaksanakan
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dengan mentaati
peraturan perundangan yang berlaku.
Tugas utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah
26 ******

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan


negara serta menyerahkan semua hasil pemeriksaan
tersebut kepada lembaga perwakilan untuk mendorong
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan keuangan
negara sebagai hal utama dalam demokrasi ekonomi dan
politik yang sesungguhnya.10
Dalam kasus dana desa, BPK perlu melakukan
pemeriksaan dana desa secara berkelanjutan, selain itu juga
BPK dapat melakukan pembinaan terhadap kepala desa
mengenai bagaimana pengelolaan sistem keuangan negara
agar tidak terjadi kesalahan dalam pengaplikasiannya, sebab
tidak semua kepala desa memahami tata kelola keuangan
negara. Sistem dan mekanisme dana desa dengan melalui
sistem transfer daerah ke kas daerah masing-masing
kabupaten dan begitu masuk ke dalam kas daerah, maka
mereka masuk menjadi bagian dari APBD membuat
distribusi anggaran rawan terjadi penyalahgunaan. Atas
sebab itu, BPK berkewajiban secara aktif melakukan
pemeriksaan terhadap penyelenggaraan keuangan negara
di daerah. Hal ini sesuai dengan Tupoksi atau peran
BPK seperti yang diamanatkan UU Nomor 15 Tahun
2006 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara. Dalam UU tersebut dijelaskan
jika BPK berperan aktif untuk turut mendorong proses
penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran negara
yang transparan dan akuntabel. Hal yang dimaksud juga

10
NN, “Peran Bpk Dalam Pemeriksaan Dan Pengawasan
Pengelolaan Keuangan Negara”, https://oneclubaplikom.wordpress.
com/2010/11/21/peran-bpk-dalam-pemeriksaan-dan-pengawasan-
pengelolaan-keuangan-negara/, Hlm. 1.
Desa Millenium Ketiga: 27
Prospek & Tantangan Bisnis

termaktub dalam paket ketiga UU tentang keuangan negara


tahun 2003-2004.
TANTANGAN
PENGELOLAAN
KEUANGAN DESA

Gatot Darmasto
Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan
Penyelenggaraan Keuangan Daerah

Transformasi pemerintahan merupakan suatu


keniscayaan. Tuntutan perkembangan zaman dan
perubahan sosial baik skala lingkup lokal, nasional
maupun global membuat pemerintah harus mampu
men-deliver pelayanan kepada masyarakat lebih cepat dan
lebih baik. Tantangan pengelolaan pemerintahan pun
semakin beragam dengan semakin rumit dan kompleksnya
permasalahan, menyebabkan infrastruktur yang canggih
serta mutakhir menjadi salah satu pilihan transformasi
pelayanan. Pemerintah dituntut untuk secara inovatif dan
kreatif menjawab kebutuhan zaman dengan teknologi
terkini agar akuntabilitas tetap terjaga.
Namun, di sisi lain terdapat tantangan yang berkebalikan.
Sejak diterbitkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, desa telah menjadi trending topic yang selalu dibicarakan
28
Desa Millenium Ketiga: 29
Prospek & Tantangan Bisnis

dan terus mendapat perhatian. Desa yang saat ini berjumlah


sebanyak 74.958 desa mendapat kucuran dana yang sangat
besar. Karakteristik ‘sederhana’ yang melekat pada desa
menjadi tantangan tersendiri untuk menjelaskan kepada orang
desa bagaimana tata kelola keuangan yang baik diterapkan di
desa. Kita semua sangat tidak mengharapkan tentunya, dengan
kebijakan besarnya alokasi dana yang mengalir ke desa ini
malah menjadi bencana bagi desa karena ketidaktahuan dalam
pengelolaan keuangan desa. Sementara tujuan penyaluran
dana tersebut adalah desa menjadi sejahtera dan mandiri.
Desa -atau yang disebut dengan nama lain, seperti gampong
di Aceh, nagari di Sumatera Barat, kampung di Papua- sesuai
pengertian yang tercantum dalam UU Nomor 6 Tahun
2014 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa merupakan penggabungan antara fungsi ”self
governing community” dengan “local self government”, yaitu suatu
komunitas yang mengatur dirinya sendiri dan mengurus
kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial
budaya setempat. Secara umum, bisa dibilang pemerintahan
desa ‘mirip’ seperti pemerintahan daerah (miniatur pemda).
Berikut beberapa perbandingan antara pemerintah desa
dan pemerintah daerah (kabupaten/kota):
30 ******

Perbandingan antara Pemerintah Daerah dan Desa


Uraian Pemerintah Daerah Desa
Pemilihan Langsung PILKADA PILKADES
Eksekutif Gub/Bupati/ Kepala Desa
Walikota
Legislatif DPRD Badan
Permusyawaratan
Desa (BPD)
Perencanaan RPJM Daerah RPJM Desa
Menengah
Perencanaan RKPD RKP Desa
Tahunan
Sumber Pendapatan DAU, DAK, Dana Desa, ADD,
Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Pajak/
Retribusi Retribusi
Pendapatan Asli Pendapatan Asli
Daerah Desa
Badan Usaha BUMD BUM Des
Anggaran APBD APB Des
Laporan Tahunan LPPD, LRA-APBD LPP Des, LRA-APB
Des
Laporan Kekayaan Neraca Lap. Kekayaan Milik
Desa
Skala kewenangan-lah yang membedakan antara desa
dengan pemerintah kabupaten/kota. Terdapat 3 (tiga)
hal yang menjadi tantangan utama yang harus mendapat
perhatian bersama dalam implementasi UU Desa dari
semua stakehloder yaitu tata kelola (governance), pembangunan
(development) dan pemberdayaan (empowerment).1

1
Sutoro Eko dkk, Desa Membangun Bangsa”, Australian
Community Development and Civil Society Strengthening Scheme, Cetakan
Desa Millenium Ketiga: 31
Prospek & Tantangan Bisnis

Tata Kelola Pemerintahan Desa (Village


Governance)
Tata Kelola Pemerintahan Desa mencakup
penyelenggaraan pemerintahan desa, tugas dan fungsi serta
peran penyelenggara pemerintahan desa, administrasi desa
dan lain-lain termasuk di dalamnya terkait pengelolaan
keuangan dan aset desa.
Dengan disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, desa diberikan kesempatan yang besar untuk
mengurus tata pemerintahannya sendiri serta melaksanakan
pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat desa. Desa mendapat kucuran
dana yang begitu besar. Di Tahun 2015 telah dialokasikan
Dana Desa oleh pemerintah pusat sebesar Rp20,7 triliun,
Tahun 2016 telah dianggarkan 2x lipat menjadi sebesar
Rp46,9 triliun, Tahun 2017 dan 2018 masing-masing Rp60
triliun yang diperuntukkan bagi semua desa yang tersebar
seluruh Indonesia. Pendapatan Dana Desa ini merupakan
salah satu sumber pendapatan keuangan desa, selain itu
masih terdapat pendapatan desa yang lain seperti Alokasi
Dana Desa, Dana Bagi Hasil Pajak/Retribusi Daerah
dan/atau Bantuan Keuangan dari pemerintah provinsi/
kabupaten/kota. Dana Desa ini akan terus bertambah
bahkan diperkirakan akan mencapai lebih dari Rp1 miliar per
desa. Sebagai ilustrasi, Desa Dalung yang berada di wilayah
Bali tepatnya di Kabupaten Badung telah memiliki APB Des
dengan total anggaran hingga mencapai Rp 20 miliar.

Pertama, Februari 2014.


32 ******

Dengan dana yang dikelola sangat besar, pemerintah


desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan desa, dimana semua akhir
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat desa
sesuai dengan ketentuan sehingga terwujud tata kelola
pemerintahan desa yang baik (Good Village Governance).
Untuk dapat menerapkan prinsip akuntabilitas tersebut,
diperlukan berbagai sumber daya dan sarana pendukung,
diantaranya sumber daya manusia yang kompeten serta
dukungan sarana teknologi informasi yang memadai dan
dapat diandalkan.
Namun demikian, dilihat dari kondisi SDM Desa dan
sarana yang belum memadai, banyak pihak mengkhawatirkan
dalam implementasi UU Desa ini. Terdapat risiko-risiko
yang yang harus diantisipasi agar tidak terjadi apa yang
dikhawatirkan tersebut. Aparatur Pemerintah Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) harus memiliki
pemahaman atas peraturan perundang-undangan dan
ketentuan lainnya, serta memiliki kemampuan untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan desa.
Istilah “Korupsi Masuk Desa” jangan sampai menjadi
kenyataan. Pencegahan penyalahgunaan keuangan ini
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi titik-titik kritis
pengelolaan desa mulai proses perencanaan, penganggaran,
penatausahaan keuangan, pelaporan, pertanggungjawaban
serta pengawasan. Terhadap titik kritis tersebut dilakukan
pengawalan agar pengelolaan keuangan desa berjalan
dengan baik sesuai dengan regulasi yang ada dan pelaksanaan
pembangunan desa tidak menemui hambatan. Peningkatan
Desa Millenium Ketiga: 33
Prospek & Tantangan Bisnis

kompetensi aparat desa merupakan suatu keharusan yang


menjadi prioritas.

Pembangunan Desa (Village Development)


Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia
serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
Dalam UU Desa dijelaskan konsep pembangunan
desa dan pembangunan kawasan perdesaan. Pembangunan
Desa adalah pembangunan untuk suatu desa sedangkan
pembangunan kawasan perdesaan adalah perpaduan
pembangunan antar-desa dalam satu kabupaten/kota.
Dalam penjelasan UU desa disebutkan 2 (dua) pendekatan
yaitu “Membangun Desa” dan “Desa Membangun”.2
Membangun Desa merupakan kewenangan pemerintah
supra desa (Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota).
Prinsip “Membangun Desa” adalah seluruh pihak di luar
pemerintahan desa yang telah mempunyai atau berinisiatif
melaksanakan program berbasis desa. Sumber dananya bisa
dari Dana Kementerian/Lembaga, Dana Dekonsentrasi,
Dana Alokasi Khusus dan Dana CSR. Paradigma ini

2
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan kebudayaan Republik Indonesia, “Pedoman Umum Gerakan
Desa (Gerakan Pembangunan Desa Semesta) Berbasis Kawasan Untuk
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan”, Maret 2015.
34 ******

cenderung menjadikan desa sebagai objek pembangunan,


tanpa melibatkan peran aktif dari desa setempat.
Kegiatan “Desa Membangun” merupakan upaya
partisipatoris dengan melibatkan warga masyarakat desa
dalam perencanaan pembangunan di desanya. Desa
Membangun merupakan kewenangan desa, sehingga
dalam pelaksanaannya sumber pendanaan menggunakan
APB Desa. Teknisnya adalah pemerintah desa bersama-
sama dengan masyarakat menyusunan perencanaan
pembangunan (RPJM Desa dan RKP Desa) secara
partisipatif, yang selanjutnya akan dituangkan dalam APB
Desa. APB Desa merupakan dasar dalam pelaksanaan
kegiatan yang telah ditetapkan. Konsep ini menjadikan
desa sebagai subjek pembangunan desa, perencanaan
pembangunan dilakukan dengan melibatkan masyarakat
dan partisipasi masyarakat juga dituntut dalam pelaksanaan
pembangunan. Konsep ini lebih memberdayakan desa.
Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah kedua
konsep pembangunan ini tidak berjalan secara terpisah.
Konsep “Membangun Desa” tetap perlu dilakukan untuk
melakukan percepatan pembangunan desa. Perpaduan
konsep “membangun desa” dan “desa membangun” akan
menghasilkan pembangunan desa yang lebih efektif dan
bermanfaat bagi masyarakat desa setempat.
Salah satu kekuatan desa yang luar biasa adalah
bagaimana desa mampu untuk mengoptimalkan potensi yang
ada di desanya dimana setiap desa memiliki produk-produk
unggulan sehingga menjadi sentra-sentra produksi. Konsep
‘one village one product’ memberikan suatu keanekaragaman dan
variasi produk yang memperkaya Indonesia.
Desa Millenium Ketiga: 35
Prospek & Tantangan Bisnis

Pemberdayaan Masyarakat Desa


Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan
dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan
dan keterbelakangan/kesenjangan/ ketidakberdayaan.
Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan oleh banyak
elemen: pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, pers, partai politik, lembaga donor, aktor-
aktor masyarakat sipil, atau oleh organisasi masyarakat
lokal sendiri. Proses pemberdayaan bisa berlangsung
lebih kuat, komprehensif dan berkelanjutan bila berbagai
unsur tersebut membangun kemitraan dan jaringan yang
didasarkan pada prinsip saling percaya dan menghormati.3
Pemberdayaan masyarakat sangat penting melihat
pengalaman pembangunan sebelumnya. Sebelumnya,
proyek/program pemerintah dilakukan untuk mendorong
pembangunan perekonomian masyarakat pedesaan.
Proyek/program tersebut dilakukan masing-masing
kementerian. Kegiatan dilakukan berupa pemberian
bantuan fisik kepada masyarakat, antara lain berupa
sarana irigasi, bantuan saprotan, mesin pompa, dan
pembangunan sarana air bersih. Kenyataannya, ketika
proyek berakhir maka keluaran proyek tersebut sudah
tidak berfungsi atau bahkan hilang. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kegagalan proyek tersebut antara lain,
yaitu: (1) ketidaktepatan antara kebutuhan masyarakat dan

3
Cholisin, “Pemberdayaan Masyarakat”, Disampaikan Pada
Gladi Manajemen Pemerintahan Desa Bagi Kepala Bagian/Kepala
Urusan Hasil Pengisian Tahun 2011 Di Lingkungan Kabupaten
Sleman, Desember 2011.
36 ******

bantuan yang diberikan; (2) paket proyek tidak dilengkapi


dengan ketrampilan yang mendukung; (3) tidak ada kegiatan
monitoring yang terencana; dan (4) tidak ada kelembagaan
di tingkat masyarakat yang melanjutkan proyek.
Belajar dari berbagai kegagalan tersebut, generasi
selanjutnya kegiatan/proyek mulai dilengkapi dengan aspek
lain seperti pelatihan untuk ketrampilan, pembentukan
kelembagaan di tingkat masyarakat, keberadaan petugas
lapangan, melibatkan Lembaga Kemasyarakatan Desa, atau
dengan kata lain beberapa proyek dikelola dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat. Dibandingkan dengan generasi
sebelumnya, hasil proyek lebih lama dimanfaatkan oleh
masyarakat bahkan berkembang memberikan dampak positif.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam
pemberdayaan masyarakat antara lain:4

Pertama, aspek sumber daya manusia


Pelatihan di tingkat masyarakat ditekankan pada aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang merupakan
proses aksi refleksi untuk pembelajaran bersama. Sumber
daya manusia kreatif dan terampil akan lebih mandiri
untuk membuka peluang usaha serta tidak tergantung
pada pihak lain.

Kedua, aspek kelembagaan masyarakat


Kelembagaan masyarakat berkaitan dengan wadah
yang digunakan untuk proses pemberdayaan masyarakat.

4
MG Ana Budi Rahayu, “Pembangunan Perekonomian
Nasional Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa”, tanpa tahun.
Desa Millenium Ketiga: 37
Prospek & Tantangan Bisnis

Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan


masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian
pembangunan. Tenaga pemberdaya harus melebur dalam
kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat.

Ketiga, aspek teknologi dan modal


Kebutuhan masyarakat desa akan teknologi yang sesuai
dan modal untuk melakukan usaha sudah disampaikan pada
berbagai pihak. Teknologi tepat guna yang diberikan kepada
masyarakat desa dilengkapi dengan proses sosialisasi,
penggunaan yang tepat, perawatan apabila rusak agar tidak
hilang begitu saja ketika proyek berakhir.
Monitoring dan evaluasi juga tetap dilakukan untuk
melihat perkembangan baik dari sisi output, manfaat dan
dampaknya. Salah satu kesulitan pelaku usaha di pedesaan
adalah keterbatasan modal usaha. Walaupun terdapat lembaga
keuangan seperti Bank BRI, mereka masih sulit mengakses
karena keterbatasan agunan. Keberadaan Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) dapat menjawab masalah ini, karena LKM
dengan sistemnya telah teruji mendorong pengembangan
perekonomian masyarakat melalui kredit mikro yang diberikan.
Peran pemerintah untuk mendorong kegiatan
LKM ini adalah memberikan kebijakan keuangan mikro
yang berorientasi pada dinamika masyarakat yang dapat
menciptakan insentif bagi pihak lain untuk terlibat di
bidang keuangan mikro dari sektor swasta dan pasar
keuangan mikro.
Keterlibatan aktif masing-masing stakeholder akan
mempercepat pertumbuhan perekomian masyarakat.
38 ******

Karena masing-masing stakeholder dapat memberikan


kontribusi sesuai dengan sumber daya masing-masing.
Keterpaduan dan kesinergisan dapat terjadi apabila ada
forum yang memfasilitasi pertemuan rutin untuk saling
bertukar informasi, sehingga menjadi gerakan bersama
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa.
Satu hal penting lainnya yang perlu diperhatikan
adalah terkait Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). BUM
Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan
guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. BUM
Desa dimiliki dan dimanfaatkan baik oleh pemerintah desa
dan masyarakat desa secara keseluruhan. BUM Desa adalah
usaha kolektif yang bersifat unik. Salah satu keunikan yang
menonjol adalah bahwa BUM Desa bukan hanya bisnis
ekonomi semata, tetapi juga mengandung bisnis sosial.
Sejauh ini bahkan manfaat ekonomi BUM Desa relatif
lebih kecil daripada manfaat sosial BUM Desa.
Terdapat beberapa tipe atau jenis BUM Desa antara
lain: 5

• Tipe Serving (Pelayanan) seperti penyediaan air bersih,


• Tipe Banking berupa pelayanan simpan pinjam,
• Tipe brokering dan renting berupa penyediaan jasa
pembayaran dan penyewaan,

5
Sutoro Eko dkk, Desa Membangun Bangsa”, Australian
Community Development and Civil Society Strengthening Scheme, Cetakan
Pertama, Februari 2014.
Desa Millenium Ketiga: 39
Prospek & Tantangan Bisnis

• Tipe trading berupa penyediaan kebutuhan pokok, dan


• Tipe holding berupa konsolidasi usaha lokal yang terkait
dengan wisata.
Salah satu tantangan yang mucul adalah bagaimana
melakukan transformasi BUM Desa menjadi ‘milik
desa’ bukan “proyek pemerintah”. Konsep ‘milik desa’
mengandung modal sosial, demokrasi yang lekat dalam
sistem desa maupun masyarakat.

Sistem Keuangan Desa (Siskeudes)


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
192 Tahun 2014 telah diberi mandat untuk melakukan
pengawalan terhadap akuntabilitas keuangan dan
pembangunan nasional. Pengawalan terhadap akuntabilitas
pengelolaan keuangan desa merupakan implementasi
pengawalan prioritas pembangunan nasional. BPKP
turut berpartisipasi dan mendukung penuh upaya
seluruh Pemerintah Desa untuk dapat menyelenggarakan
akuntabilitas keuangan. Wujud partisipasi BPKP tersebut
baik dalam bentuk pemberian bimbingan dan konsultasi
pengelolaan keuangan desa maupun dengan bentuk
dukungan sistem informasi pengelolaan keuangan desa
serta melakukan koordinasi dan sinergi dengan stakeholders
terkait.
BPKP telah melakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan
secara nasional. Langkah koordinasi dan sinergi juga
dilakukan dengan Kementerian Dalam Negeri selaku
stakeholders pembuat kebijakan berupa Nota Kesepahaman
40 ******

untuk mengembangkan aplikasi pengelolaan keuangan desa


yang selanjutnya diberi nama Aplikasi Sistem Keuangan
Desa (Siskeudes).
Aplikasi Siskeudes telah mampu menatausahakan
seluruh sumber dana secara komprehensif, bukan hanya
Dana Desa yang diterima dari APBN. Melalui aplikasi
Siskeudes ini maka kesulitan akuntansi dan pengelolaan
keuangan desa dapat diatasi oleh program aplikasi. Desa
memperoleh kemudahan dan kesederhanaan dalam proses
pengelolaan keuangan desa karena Aplikasi Siskeudes
mampu menghasilkan berbagai dokumen perencanaan
(RPJM Desa dan RKP Desa), dokumen penganggaran
(APB Des), dokumen penatausahaan (SPP, BKU, Buku
Bank dll), dan laporan (Laporan Realisasi APB Desa,
Laporan Kekayaan Milik Desa, Laporan Realisasi per
Sumber Dana) secara cepat dan mudah. Aplikasi ini
diharapkan bisa membantu aparat di desa untuk mengelola
keuangannya dengan lebih berakuntabilitas.
Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo dalam
acara Peresmian Pembukaan Rakornas Pengawasan Intern
Pemerintah pada tanggal 18 Mei 2017 di Istana Negara,
seluruh desa diharapkan menggunakan aplikasi Siskeudes.
Arahan Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan percepatan
implementasi Siskeudes dalam pengelolaan keuangan desa,
sehingga terjadi peningkatan dari semula 33% menjadi
sebesar 87,33% per 31 Januari 2018 dari jumlah desa yang
ada.
Desa Millenium Ketiga: 41
Prospek & Tantangan Bisnis

Penutup
Pengembangan aplikasi Siskeudes selalu menyesuaikan
dengan perkembangan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sebagai contoh, dengan terbitnya
Permenkeu Nomor 50/PMK.07/2017 yang mengharuskan
laporan keuangan desa menampilkan output kegiatan,
kemudian Permenkeu Nomor 225/PMK.07/2017 yang
menambahkan informasi dalam laporan keuangan desa
berupa ‘tenaga kerja, durasi, dan upah’.
Sebagai penutup marilah kita merenungi sebuah lagu
indah tentang desa.. Semoga kenangan kita akan masa kecil..
memberi tekad kuat yang membara.. untuk memberikan
kontribusi yang terbaik bagi desa..

“... desaku yang kucinta.. pujaan hatiku..


.. tempat ayah dan bunda..
dan handai taulanku..
..Tak mudah kulupakan.. tak mudah bercerai..
..Selalu kurindukan desaku yang permai..”
KEBIJAKAN
AFIRMATIF UU DESA:
PENINGKATAN
EFEKTIVITAS
PEMERINTAHAN
DESA DAN KEPUASAN
MASYARAKAT

Dr. H. Nata Irawan, SH, M.Si.


Direktur Jenderal Bina Pemeritahan Desa,
Kementerian Dalam Negeri

Pembangunan bersifat diskriminatif terhadap wilayah


desa, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Program-
program pembangunan hanya disampaikan kepada 31%
desa pada Tahun 2008. Upaya peningkatan pembangunan
desa dilakukan melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) sejak Tahun 2007, tetapi hanya mampu
mencakup 54% desa pada Tahun 2011 (Agusta,2015).
Program PNPM yang diarahkan oleh kebijakan
pembangunan desa sesuai peraturan presiden Nomor
5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
42
Desa Millenium Ketiga: 43
Prospek & Tantangan Bisnis

Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, sekaligus


diarahkan oleh kebijakan penanggulangan kemiskinan
sesuai Peraturan Presiden No 15 Tahun 2010 tentang
percepatan penanggulangan kemiskinan, ternyata hanya
memiliki efektivitas yang rendah. Hasil PNPM yang
dimanfaatkan golongan miskin hanya dominan pada 14%
Tahun 2011, kemudian menurun menjadi 11% Tahun
2014. Konsekuensinya, persentase kemiskinan di pedesaan
juga lebih tinggi daripada di perkotaan selama periode
1993-2016. Pada September 2016 kemiskinan di pedesaan
mencapai 13,96%, padahal di perkotaan hanya 7,73%.
Diskriminasi terhadap desa pada berbagai bidang
pembangunan juga berkonsekuensi pada ketertinggalan
wilayah pedesaan. Pada Tahun 2014 hanya terdapat 3,92%
yang tergolong Desa Mandiri, sementara yang tergolong
Desa Tertinggal sebanyak 27,22% dan yang tergolong desa
berkembang sebanyak 68,86% (Bappenas dan BPS, 2015).
Untuk menanggulangi diskriminasi terhadap desa
diterbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Dalam Undang-undang tersebut, afirmasi kepada
desa ditunjukkan dengan asas rekognisi dan subsidiaritas.
Melalui asas rekognisi, keberadaan desa diakui sesuai hak
asal-usul, termasuk pengakuan terhadap desa adat. Asas
subsidiaritas menghormati kewenangan lokal di desa seluas-
luasnya sesuai asal-usul maupun adat yang masih berlaku.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,
perubahan terhadap pemerintah desa seharusnya mencakup
aspek penyelenggaraan, pemerintah desa dan pelaksanaan
pembangunan desa. Perubahan terhadap partisipasi dan
44 ******

kesejahteraan masyarakat desa seharusnya berasal dari


pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa. Namun, setelah disahkan pada Tahun
2014, kebijakan afirmatif tersebut dinilai berpeluang
menciptakan hasil yang berlawanan, yaitu memandirikan
desa atau, sebaliknya, memperparah kondisi desa saat ini.

Peluang Positif: Kemandirian Desa


Arah menuju kemandirian desa diindikasikan dengan
afirmasi yang sangat besar. Pertama, cakupan kebijakan
sangat luas, dimana pengakuan terhadap desa dan
wewenang luas pada desa berlaku ke seluruh 74.958 desa.
Implementasi yang bercakupan luas tersebut memberikan
dorongan yang kuat untuk mengubah pola pemerintahan
desa dan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, Undang-undang mengamanatkan penyaluran
dana ke seluruh desa sebesar 10% dari transfer keuangan
pusat ke daerah. Pada Tahun 2015 Dana Desa tersebut baru
mencapai Rp20,7 triliun, tetapi nilai inipun sudah setara
dengan pendapatan seluruh desa di Tahun 2013 (BPS,
2014). Pada Tahun 2016 Dana Desa meningkat menjadi
Rp46,9 triliun, dan meningkat lagi menjadi Rp60,0 triliun
pada Tahun 2017 dan Tahun 2018.
Ketiga, struktur pengelolaan desa diperkuat melalui
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi, serta koordinasi pengelolaan desa secara
resmi dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Keuangan, dan Bappenas. Dalam Undang-undang Nomor
6 Tahun 2014 tentang Desa bahkan urusan desa secara
Desa Millenium Ketiga: 45
Prospek & Tantangan Bisnis

resmi juga dikelola oleh pemerintah daerah tingkat provinsi


dan kabupaten/kota.
Keempat, pelatihan dilaksanakan sejak pertengahan
Tahun 2015, dan mencakup aparat di seluruh desa. Sejak
akhir Tahun 2014, telah dirancang pelatihan sekaligus
sosialisasi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa kepada aparat pemerintah desa. Pelatihan
dilaksanakan untuk setiap tiga orang aparat pemerintah
desa di seluruh Indonesia. Pelatihan peningkatan kapasitas
aparat pemerintah desa mencakup manajemen pemerintah
desa, perencanaan pembangunan desa, perencanaan
pembangunan partisipatif, pengelolaan keuangan desa,
dan penyusunan peraturan di desa. Pada Tahun Anggaran
2016 pelaksanaan pelatihan peningkatan kapasitas aparat
pemerintah desa juga dilakukan kepada dua aparat desa
lainnya.
Kegiatan pelatihan kepada aparat pemerintah desa
untuk seluruh desa di Indonesia dapat menjadi pangkal
perubahan sosial penting, mengingat selama ini mereka
hanya mendapatkan pelatihan secara minimal. Pelatihan
hanya diberikan pada 35% desa di Tahun 2011-2014.
Pemerintah desa juga kurang mendapat informasi sebagai
panduan penyelenggaraan pemerintahan. Hanya sekitar
56% desa yang memiliki panduan selama Tahun 2011
sampai Tahun 2014.
Sesuai dengan substansi pelatihan tersebut pada
aspek internal organisasi diharapkan aparat pemerintah
mampu mengelola pemerintahan desa, termasuk dalam
perencanaan pembangunan, pengelolaan keuangan
46 ******

desa, dan penyusunan peraturan di tingkat desa. Ketika


berhubungan dengan masyarakat, diharapkan proses
pembangunan desa berlangsung secara partisipatif
dan deliberatif, mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, sehingga pelayanan pemerintah desa tersebut
memuaskan masyarakat.

Peluang Negatif: Memperparah Kondisi Desa


Sementara itu, peluang arah implementasi UU Nomor
6/2014 memperparah kondisi desa ditunjukkan oleh 3
(tiga) hal. Pertama, berbagai diskriminasi terhadap desa
masih memberikan dampak hingga saat ini. Walaupun
berbagai peraturan perundangan semakin menegaskan
pentingnya posisi pemerintah desa, terdapat kesangsian
dari berbagai pihak terhadap kapasitas aparat desa untuk
mengimplementasikan UU 6/2014 menuju pencapaian
tujuan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (Petege,
2008). Persyaratan kedudukan kepala desa berpendidikan
SLTP dipandang hanya menghasilkan tingkat pendidikan
formal kepada desa yang rendah. Ini dinilai sebagai penyebab
tata kelola desa yang rendah. Sejak reformasi Tahun 1998,
pemerintah desa juga dilarang berpartisipasi dalam proses
program-program pemberdayaan sehingga pengalaman
dan kapasitas untuk menjalankan pembangunan desa
diperkirakan menurun. Tambahan pendapatan desa melalui
Dana Desa dan Alokasi Dana Desa jauh lebih besar daripada
yang biasa dikelola setiap tahun (mencapai sekitar 60% dari
APBdesa) sehingga diperkirakan kapasitas untuk mengelola
hingga melaporkan penggunaan dana tersebut rendah.
Peningkatan wewenang desa, perubahan peran Badan
Desa Millenium Ketiga: 47
Prospek & Tantangan Bisnis

Permusyawaratan Desa (BPD), Rukun Tetangga (RT),


dan Rukun Warga (RW), dan penambahan organisasi baru
seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) diperkirakan
membutuhkan manajerial baru bagi aparat pemerintah desa
untuk mengimplementasikan UU 6/2014 tentang Desa.
Kedua, ketegangan antar instansi pemerintah,
sehingga berpotensi menurunkan keharmonisan regulasi
turunan UU Nomor 6/2014. Perubahan nomenklatur
Kementerian pada pemerintah baru pada Tahun 2014
sempat menimbulkan ketegangan perihal kewenangan
pembinaan desa. Penyelesaian ketegangan melalui
pembagian kewenangan secara resmi untuk pembinaan
desa pada akhirnya menegaskan pentingnya pemerintah
desa mengimplementasikan kebijakan afirmatif yang besar
ini. Dalam UU Nomor 6/2014 terdapat 10 bab perihal
pemerintah desa dan 4 bab perihal pembangunan desa.
Pembedaan tersebut ditegaskan secara resmi pada Peraturan
Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian
Dalam Negeri yang mengurus pembinaan pemerintahan
desa dan kelembagaan desa. Sementara, Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
mengurus pembinaan desa dan pemberdayaan. Perubahan
peraturan pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Operasionalisasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015
semakin menegaskan perbedaan wewenang tersebut.
Terdapat 23 pasal berkenaan dengan urusan Kementerian
Dalam Negeri untuk membina pemerintah desa, sementara
hanya 3 pasal yang berkaitan dengan Kementerian Desa,
48 ******

Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tentang


pembangunan desa.
Ketiga, terjadi pertandingan antar pihak dalam
menyusun regulasi turunan Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014. Setelah dikeluarkannya PP 47 Tahun 2015,
terdapat Peraturan Menteri yang saling bertanding,
contohnya Permendagri 44 Tahun 2016 dan Permendesa
PDTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewenangan Desa,
Permendagri 114 Tahun 2014 dan Permendesa PDTT
Nomor 2 Tahun 2015 berkaitan dengan musyawarah desa.

Implementasi Kebijakan: Top Down dan


Bottom Up
Diantara peluang hasil kebijakan yang saling
berlawanan tersebut, berbagai pihak sepakat bahwa upaya
untuk mendapatkan manfaat terbesar dari Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tertuju pada implementasi di
lapangan. Hubungan antar struktur yang diharapkan UU
6/2014 Tentang Desa dan implementasi sesuai kapasitas
aparat pemerintah desa dapat dianalisis menurut proses
penyaluran kebijakan.
Arah hubungan yang dimulai dari penetapan UU 6/2014
tentang Desa menuju implementasi di lapangan tergolong
pendekatan top down. Dalam UU tersebut, aspek pemerintahan
ditetapkan sebagai kaidah local self-government, yaitu struktur
pemerintahan terbawah. Pada aspek pembangunan disusun
kaidah membangun desa, yaitu serangkaian inisiatif penataan
dan pembangunan desa yang berasal dari pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota.
Desa Millenium Ketiga: 49
Prospek & Tantangan Bisnis

Sementara itu, setelah mendapatkan pelatihan


diharapkan aparat pemerintah desa mampu
mengimplementasikan peraturan perundangan tentang desa
yang terbaru. Kemampuan aparat pemerintah desa untuk
menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan menunjukkan
prakarsa pembangunan dari desa. Bagian penjelasan pada
UU 6/2014 tentang Desa menyebutkan meningkatnya
wewenang pemerintah desa untuk berinisiatif dinyatakan
sebagai kaidah self-governing community. Melalui wewenang
tersebut, desa dapat berinisiatif memutuskan kegiatan dan
anggaran pembangunan atau pada Undang-undang dikenal
sebagai kaidah desa mambangun. Kaidah tersebut menjelaskan
pendekatan bottom up dalam analisis implementasi kebijakan.

Analisis Kebijakan Afirmatif


Mengingat kebijakan afirmatif yang sangat besar,
seperti Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 berpeluang
memberikan perubahan besar kepada pemerintah desa dan
masyarakat di seluruh Indonesia maka dibutuhkan analisis
implementasi kebijakan publik. Analisis dipusatkan pada
manfaat dari upaya implementasi yang penting, berupa
efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa. Di samping
itu, UU 6/2014 juga bertujuan meningkatkan pelayanan
publik kepada masyarakat, sehingga analisis juga perlu
diarahkan kepada kepuasan pelayanan masyarakat desa.
Analisis implementasi kebijakan berkembang dari
model rasional (pendekatan top down), menuju kritik dari
pendekatan bottom up, dan terakhir berupa pendekatan
hibrida atau sintesis yang berupaya memadukan
pendekatan top down dan bottom up. Sesuai dengan
50 ******

keterpaduan kaidah penyelenggaraan desa berupa local self-


government dan desa membangun yang bersifat bottom up dan
self-governing community dan membangun desa yang bersifat
top down dalam UU 6/2014, analisis proses penyaluran
kebijakan lebih tepat menggunakan pendekatan hibrida
yang menggunakan bersama-sama kedua pendekatan
tersebut. Dari pendekatan top down, peraturan perundangan
dan kebijakan pemerintah serta pemerintah daerah dapat
dipandang sebagai struktur kebijakan yang hendak diuji
dalam efektivitas penyelenggaraan pemerintah desa. Sesuai
paradigm new publik management, kebijakan diarahkan pada
implementasi pelayanan publik, pemberdayaan melalui
deliberasi demokratis, dan peningkatan kesejahteraan guna
meningkatkan kepuasan masyarakat.
Rumusan analisis di atas mengerucut untuk menjawab
pertanyaan yaitu 1) Apakah implementasi kebijakan
afirmatif UU Desa berpengaruh positif terhadap efektifitas
pemerintah desa?, serta 2) Apakah efektivitas pemerintah
desa berpengaruh positif terhadap kepuasan masyarakat?

Efektifitas Pemerintahan Desa


Sejak reformasi Tahun 1998, wewenang aparatur
pemerintah desa tidak diperoleh sepenuhnya, karena
program-program pemberdayaan masyarakat melarang
pemerintah desa turut serta dalam proses pembangunan
tersebut (Agusta, 2014). Peran pembinaan dalam program
pemberdayaan masyarakat ditangani oleh konsultan
pendamping dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi, dan nasional. Wewenang pemerintah desa dalam
pembangunan muncul kembali sesuai dengan UU 6/2014.
Desa Millenium Ketiga: 51
Prospek & Tantangan Bisnis

Pemerintah desa menjadi pengelola keuangan desa dan


program pembangunan. Di samping itu, pemerintah desa
juga melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
UU 6/2014 juga meningkatkan kapasitas pemerintah desa
dalam kepemimpinan dan pelayanan kepada masyarakat.
Salah satu kemandirian yang khas yang ditekankan dalam
kebijakan tentang desa adalah menguatkan pemerintah desa
maupun pemerintahan adat setempat.
Dalam gambaran umum UU 6/2014 tentang Desa,
telah dijelaskan tugas dan fungsi pemerintahan desa.
Pemerintah desa mendapatkan pengaruh dari lingkungan
berupa peraturan dan kebijakan, sumberdaya dan teknologi
lokal. Masukan untuk pelaksanaan pemerintahan desa
berupa program pembangunan dan pendanaan. Proses
pelayanan urusan pemerintahan di tingkat desa dilaksanakan
oleh pemerintah desa dan lembaga lokal, atau dengan
pendampingan dari pihak di luar desa. Proses tersebut
dilaksanakan menurut norma yang dikenalkan dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.
Hasil yang diharapkan berupa batas desa dan kawasan
yang jelas, hasil sarana dan prasarana, pemenuhan kebutuhan
primer atau dasar, hasil-hasil usaha ekonomi, perguliran dana,
bantuan sosial dan hibah untuk orang miskin, pelayanan
pemerintah desa, berbagai kegiatan kemasyarakatan yang
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
masyarakat. Manfaat yang bisa diambil dari hasil tersebut
berupa peningkatan efektivitas pemerintah desa untuk
mempercepat dan meningkatkan akses maupun kualitas
pelayanan pemerintah desa kepada masyarakat, percepatan
pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, pembinaan
52 ******

kelembagaan masyarakat, serta kestabilan keamanan dan


ketertiban. Manfaat yang berkelanjutan menghasilkan
dampak yang diharapkan berupa peningkatan kualitas
hidup, kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, serta
pengurangan kemiskinan, juga tercapainya kemandirian,
pendapatan desa dan daya saing desa.
Jawaban atas pertanyaan pertama menunjukkan,
kebijakan afirmatif UU 6/2014 tentang Desa berpengaruh
positif terhadap efektivitas pemerintahan desa. Hal
ini ditunjukkan oleh peningkatan efektivitas organisasi
pemerintahan desa, efektivitas pelayanan publik oleh
pemerintah desa, dan efektivitas deliberasi musyawarah
desa. Diantara aspek-aspek untuk mewujudkan efektivitas
pemerintah, ternyata di desa sudah dalam kondisi
berkualitas secara merata untuk aspek pemahaman tujuan
kebijakan yang jelas dan konsisten. Ternyata organisasi
pemerintah desa, pelayanan publik, dan musyawarah desa
sudah efektif.
Peningkatan efektivitas organisasi pemerintah desa,
dipengaruhi oleh peningkatan efektivitas pelatihan
pemerintah desa, peningkatan kapasitas aparat pemerintah
desa, peningkatan ketersediaan sumber daya, peningkatan
dukungan lingkungan sosio-ekonomi, dan peningkatan
organisasi di dalam desa. Peningkatan efektivitas pelayanan
publik dipengaruhi oleh peningkatan efektivitas pelatihan,
peningkatan kapasitas aparat pemerintahan desa,
peningkatan ketersediaan sumber daya, dan peningkatan
dukungan lingkungan sosio-ekonomi. Peningkatan
efektivitas deliberasi musyawarah dipengaruhi oleh
peningkatan kapasitas aparat pemerintah desa, peningkatan
Desa Millenium Ketiga: 53
Prospek & Tantangan Bisnis

ketersediaan sumber daya, peningkatan dukungan


lingkungan sosio-ekonomi, dan peningkatan dukungan
organisasi di dalam desa.

Kepuasan Mayarakat Desa


Tantangan dari pendekatan top down terhadap desa-desa
di Indonesia ialah meningkatnya kepuasan atas pemenuhan
kebutuhan dasar sesuai denga makna yang dikembangkan
oleh masyarakat, bukan oleh elite desa (Tjondronegoro,
1978). Kepuasan masyarakat menjadi faktor penting dalam
menilai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Pemerintah perlu memiliki empati terhadap kebutuhan
masyarakat.
Jawaban atas pertanyaan kedua menunjukkan bahwa
ada pengaruh positif efektivitas pemerintahan desa dalam
memuaskan masyarakat. Efektivitas pemerintah desa
dalam pelayanan publik, deliberasi musyawarah desa, dan
efektivitasnya dalam peningkatan kesejahteraan dalam
rumah tangga ternyata berpengaruh positif terhadap
peningkatan kepuasan masyarakat. Kepuasan masyarakat
terperinci menurut kepuasan atas pelayanan publik,
musyawarah, dan pembangunan desa. Peningkatan kepuasan
atas pelayanan publik dipengaruhi oleh peningkatan
pelayanan publik dan kesejahteraan rumah tangga.
Peningkatan kepuasan atas musyawarah dipengaruhi oleh
peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan rumah
tangga. Peningkatan atas pembangunan desa dipengaruhi
oleh peningkatan pelayanan publik, deliberasi musyawarah
desa, dan kesejahteraan rumah tangga.
54 ******

Disamping enam aspek kebijakan top down untuk


menguji teori-teori implementasi kebijakan publik dengan
pendekatan hibrida terhadap kebijakan afirmasi wilayah
untuk meningkatkan kepuasan warga negara, ternyata
khusus untuk kebijakan afirmatif ditemukan tambahan
aspek berupa komitmen implementor yang berorientasi
kepada kepentingan masyarakat. Komitmen ini ditunjukkan
sebagai berikut:
− Pada tahap agenda kebijakan terhadap asas rekognisi
dan subsidiaritas dalam UU Nomor 6/2014 tentang
Desa. Asas rekognisi menguatkan identitas desa
sebagai kesatuan wilayah hukum yang diakui
pemerintah, sebagaimana diakui dalam Permendagri
Nomor 56/2015 tentang Kode dan Data Wilayah
Administrasi Pemerintahan. Asas subsidiaritas
menguatkan wewenang pada tingkat desa, sebagaimana
ditunjukkan oleh Permendagri Nomor 44/2016
tentang Kewenangan Desa.
− Pada tahap masukan (input) terdapat Dana Desa dan
pelatihan kepada aparat pada seluruh desa. Pada tahun
2016 dianggarkan Rp 46,9 triliun dana Desa (DD)
dan Rp 66 triliun alokasi dana Desa (ADD). Sejak
tahun 2015 pelatihan aparat desa diselengarakan untuk
74.958 desa.
− Pada tahap proses (process) terdapat fasilitator bagi
desa. Contohnya pendampingan pendamping teknis
pemerintah desa (PTPD oleh aparat kecamatan).
Diperkirakan terdapat 32.000 fasilitator pada tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional.
Desa Millenium Ketiga: 55
Prospek & Tantangan Bisnis

Kolaborasi di Semua Tingkatan


Berbagai teori pada pendekatan bottom up menyatakan
pentingnya kolaborasi dengan tokoh masyarakat. Hal
tersebut dikonfirmasi bahkan lebih jauh menemukan
pentingnya kolaborasi pada tingkatan nasional, daerah,
lapisan atas desa, dan masyarakat desa.
Pada tingkat Nasional, kebijakan afirmatif
membutuhkan kolaborasi atas kementerian dan lembaga,
sebagaimana ditunjukkan dalam pembagian wewenang
dalam mengurus desa:
1. Kementerian Dalam Negeri, sesuai PP 43/2014, dan
RPJMN 2015-2019.
2. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi sesuai PP 43/2014, PP 22/2014, dan
RPJMN 2015-2019.
3. Kementerian Keuangan sesuai PP 22/2014, dan
RPJMN 2015-2019.
4. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sesuai PP
43/2014, dan RPJMN 2015-2019.
5. Terdapat 19 Kementerian dan lembaga lain yang
memberikan program dan anggaran ke desa sesuai
RPJMN 2015-2019.

Pada tingkat daerah, juga telah menunjukkan pembagian


wewenang dalam mengurus program dan anggaran ke
desa, baik bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah
kabupaten. Pada tingkat lapisan atas desa, kolaborasi Badan
Permusyawaratan Desa dan tokoh masyarakat menunjukkan
manfaat dengan aparat pemerintah desa. Pada tingkat
56 ******

masyarakat, menunjukkan kolaborasi masyarakat dalam


musyawarah desa dan pembangunan desa mempengaruhi
kepuasan kepada pemerintah desa.
Sebagai penutup, pola pemerintahan desa saat ini telah
efektif tetapi masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan:
1. Kesesuaian substansi peraturan perundangan desa
dengan pengalaman kerja aparat pemerintah desa;
2. Komunikasi aparat pemerintah desa dengan pelatih
topik perencanaan pembangunan desa;
3. Komunikasi aparat pemerintah desa dengan pelatih
pengelola keuangan desa;
4. Aset Desa;
5. Alokasi penyediaan bahan ATK;
6. Ketersediaan peralatan pemerintahan desa;
7. Buku penunjangn manajemen pemerintahan desa;
8. Dukungan kelembagaan BPD;
9. Dukungan tokoh masyarakat;
10. Masyarakat terentaskan dari kemiskinan.

Warga desa sebagai WNI telah mendapatkan kepuasan


dari pemerintahan desa. Namun kepuasan warga desa
dapat ditingkatkan melalui peningkatan antara lain jumlah
pelayanan publik, aset rumah tangga, jaringan organisasi
yang diikuti oleh masyarakat dan manfaat musyawarah desa
dan pembangunan desa.

sumber:
Buku: Tata Kelola Pemerintahan Desa Era UU Desa, 2017.
Nata Irawan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Politik di Desa:
Demokrasi Lokal Ala
Nagari

Faisal Andri Mahrawa


Dosen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan
Desa merupakan kesatuan organisasi penting sebagai
bagian dari kesatuan organisasi pemerintahan. Desa menjadi
tumpuan karena desa menghadirkan pelbagai aktifitas
masyarakat yang seringkali menghidupi kota. Di desa juga
ditemukan aktifitas masyarakat yang mengedepankan
aspek sosio-kultural. Selain itu di desa pula isu seputar nilai
kearifan lokal (local wisdom) dan isu yang berkaitan dengan
lingkungan dan perlindungan kelestarian alam diwujudkan
dalam bentuk kegiatan yang khas.
Undang-undang yang mengatur mengenai
Pemerintahan Desa terus mengalami perubahan, sejak
diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 32 Tahun 2004

57
58 ******

tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah


No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa, serta yang terakhir dan
belum lama ini disahkan adalah Undang – Undang yang
khusus mengatur regulasi dan pemberian kewenangan lebih
terhadap Pemerintahan Desa yakni UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa. Perubahan regulasi ini juga menyebabkan
perubahan struktur dan pola pemerintahan pada level desa.1
Pada dasarnya keberadaan Sistem Pemerintahan
terendah dengan bentuk selain desa telah diakui
keberadaannya seperti yang dijelaskan Pasal 18 Undang
Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa “ Dalam
teritori Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250
“Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”,
seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun
dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah
itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara
yang mengenai daerah daerah itu akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya
wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan
hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.2

1
Untuk lebih jelasnya baca Undang – Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, tersedia di : www.kemendagri.go.id/
dmdocumentsUU_6_2014_Desa.pdf;
2
Penjelasan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014, lihat
www.budimansudjatmiko.net/uudesa
Desa Millenium Ketiga: 59
Prospek & Tantangan Bisnis

Pada bagian berikutnya, tulisan ini akan menjelaskan


tentang Politik di Desa, sebuah keinginan untuk memahami
Politik Indonesia melalui Demokrasi Lokal ala Nagari.

Desa dan Politik di Desa


Secara etimologis, istilah “desa” berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti “tanah air, tanah asal atau tanah
kelahiran” (Soeparmo, 1977:15). Selain itu definisi yang
dikemukakan oleh Kartohadikoesoemo (1984:16) tentang
desa sebagai suatu kesatuan hukum, dimana bertempat
tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan
pemerintahan sendiri. Desa menurut Eko (2007) dapat
dibedakan menjadi dua makna, yaitu tempat (place) dan
sebagai ruang (space). Sebagai tempat (place), desa memiliki
wilayah, kekuasaan, tata pemerintahan, tata ruang,
sumberdaya lokal, identitas lokal dan komunitas. Desa
pada mulanya terbentuk karena adanya kearifan lokal
dan adat lokal dalam suatu kelompok masyarakat untuk
mengatur serta mengurus pengelolaan sumberdaya lokal
seperti kebun, sungai, tanah, hutan, dan sebagainya yang
diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat komunal.
Atas dasar inilah kemudian konstitusi dan regulasi negara
memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat
adat atau desa. Sebagai ruang (space), tetrsedianya arena
perencanaan pembangunan, social capital, penyelenggaraan
pelayanan publik, gerakan sosial, pemberdayaan, partisipasi,
dan lain-lain. Kondisi demikian tentu harus terus dipelihara
agar tatanan kehidupan masyarakat desa dapat tetap
bertahan sesuai dengan semangat hadirnya sebuah desa
dalam kehidupan masyarakat lokal.
60 ******

Selain desa, ada kelurahan yang juga digunakan dalam


konteks tata pemerintahan Indonesia. Sehingga perlu
kiranya dipahami konseptualisasi antara kedua lembaga
tersebut yang dapat kita lihat melalui konsep self-governing
community dan local state government yang coba dijelaskan
sebagai berikut:

Self Governing Community


Kata self-governing community diambil dari istilah
masyarakat Eropa, yang dalam bahasa perundang-undangan
kita dimaksudkan sebagai “kesatuan masyarakat hukum”
(Eko, 2005). Sesungguhnya konsep demikian tersebut
sering digunakan dalam memahami “otonomi”, dimana
otonomi dalam konteks daerah juga dipahami sebagai hak
dan wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri
serta masyarakat didaerah tersebut.
Sebenarnya otonomi jika dilihat dari sisi yang lain
terdiri dari tiga unsur penting. Pertama, keleluasaan lokal
untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatur rumah
tangganya sendiri atau kepentingan masyarakatnya sesuai
kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat
tersebut. Kedua, Kekebalan dari “campur tangan” (intervensi)
pemerintah yang bisa mengganggu keleluasaan dan
menmghambat kemandirian lokal. Makna kekebalan disini
bukan berarti berdaulat dan dapat berbuat sesuka hati tanpa
dapat dibatasi. Dalam konteks otonomi lokal, pemerintahan
yang lebih tinggi tidak dibenarkan “campur tangan” yang
dapat merusak otonomi itu sendiri, akan tetapi memberikan
“uluran tangan’ yang berarti memfasilitasi daerah untuk
meningkatkan kemandirian dan kemampuannya, diantaranya
Desa Millenium Ketiga: 61
Prospek & Tantangan Bisnis

dalam bentuk pembagian kewenangan, alokasi dana, dan


pengawasan. Ketiga, Kemampuan (kapasitas) lokal untuk
mengurus serta mengatur rumah tangganya sehingga
tercapai tujuan peningkatan kesejahteraan, kemandirian,
pemerintahan yang baik, serta kemampuan dalam
pemberdayaan masyarakat.
Dengan adanya otonomi tersebut, maka kemudian
gagasan otonomi harus didukung dengan adanya
desentralisasi. Desentralisasi merupakan pelimpahan
wewenang, tanggungjawab, kekuasaan, dan sumber
daya dari pemerintah pusat ke daerah termasuk
pemerintahan desa. Ketika otonomi dipahami sebagai
kesatuan masyarakat hukum (self-governing community) maka
desentralisasi merupakan bentuk kebijakan negara untuk
mengakui keberadaan masyarakat hukum ditingkat lokal
yang sekaligus membentuk pemerintahan lokal (local-self
government) Pada pemerintahan Indonesia, desentralisasi
inilah yang menjadi “ruh” terhadap keberadaan pemerintah
daerah otonom atau otonomi daerah.

Local Government
Local government mengandung tiga arti (Hoeesein,
2001:3), yaitu Pertama, berarti pemerintahan lokal. Kedua,
berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah.
Ketiga, berarti daerah otonom. Dalam arti yang pertama
merujuk pada lembaga/organnya, sehingga local government
adalah organ/badan/lembaga pemerintah di tingkat daerah.
Istilah local government kemudian dikenal dengan istilah
local authority (United Nation:1961). Kedua istilah tersebut
kemudian merujuk pada council dan mayor yang rekrutmen
62 ******

pejabatnya melalui proses election. Dalam konteks Indonesia,


istilah ini merujuk pada kepala daerah dan DPRD.
Dalam arti yang kedua, local government bermakna
sebagai fungsi/kegiatannya, yang berarti pemerintahan
daerah. Terdapat perbedaan antara pemerintah daerah
dengan pemerintahan daerah, dimana pemerintah daerah
adalah organisasinya yang berbentuk pasif, sementara
pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya. Dengan
demikian pemerintahan daerah adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam pengertian
ketiga, local government dimaknai sebagai daerah otonom,
yang definisinya diberikan oleh The United Nation of
Public Administration, yaitu subdivisi politik nasional
yang diatur oleh hukum dan secara substansial memiliki
kontrol atas urusan-urusan lokal. Badan pemerintahan ini
keseluruhannya dibentuk oleh dengan ditunjuk atau dipilih
secara lokal (United Nation : 1961).
Dari aspek politik, pemerintahan desa yang berbasis
budaya lokal sebagai perwujudan dari self-governing community
dan local government dalam pengertian sebagai wilayah
otonom yang diatur oleh hukum dan secara substansial
memiliki kontrol atas urusan-urusan lokal. Kemampuan
dan keberadaan pemerintahan desa yang berbasis budaya
lokal dalam mengurus rumah tangganya sendiri harus
difasilitasi dan dilegalisasi keberadaannya oleh negara.

Kembali Bernagari
Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan nagari
dihapus di Minangkabau. Kebijakan ini menegaskan bahwa
Pemerintahan terendah yang berlaku disebut sebagai Desa.
Desa Millenium Ketiga: 63
Prospek & Tantangan Bisnis

Hal ini ditegaskan melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun


1979. Pemerintahan Desa adalah salah satu di antara bentuk
campur tangan negara yang merusak tatanan komunitas asli
di Indonesia (Saad dkk, 2002:27-53). Dijelaskan pula bahwa
konsekuensi yang ditimbulkannya adalah tatanan di tingkat
komunitas yang mendua, yaitu tatanan adat yang hidup
secara turun temurun dan tatanan negara.
Setelah keluarnya undang-undang yang berkenaan
dengan pemerintahan Desa, beberapa tahun kemudian
pemerintahan tersebut telah diterapkan di semua wilayah
Minangkabau. Kenyataan ini sesungguhnya memporak
porandakan struktur sosial dan sistem pemerintahan
masyarakat yang telah ada dalam bentuk nagari yang sesuai
dengan sistem sosial budaya Minangkabau. Implikasi dari
dilaksanakannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 di
Sumatera Barat tersebut telah melumpuhkan sendi-sendi
pemerintahan nagari, seperti kurangnya peran ninik mamak atau
pemuka adat sebagai pemimpim dalam kaumnya, rendahnya
partisipasi masyarakat, rendahnya pemahaman adat yang
bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah.
Keberadaan pemerintahan nagari sebagai pemerintahan
terendah sangatlah strategis dalam memberdayakan
masyarakat dan menumbuhkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Hal ini lebih disebabkan karena
pemerintahan nagari telah memiliki landasan yang kokoh
sebagai kesatuan masyarakat adat yang otonom dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Karena
sesungguhnya dengan bernagari akan dapat diterapkan pola
pembangunan yang partisipatif dan bergerak dari bawah
(bottom up).
64 ******

Secara adat, suatu nagari sebagai kesatuan masyarakat


dan teritorial yang memiliki sistem pemerintahan dan adat-
istiadat tersendiri tentunya merupakan jiwa yang tidak dapat
dipisahkan dari raganya Minangkabau. Kembali bernagari
seperti saat ini seakan-akan menyatukan kembali jiwa yang
telah tercabut dari raganya. Keutuhan masyarakat nagari
sebagai suatu kesatuan, baik dalam hubungan kekerabatan,
kebersamaan dalam berbagai kepentingan, maupun juga
dalam kesatuan adat, terjalin utuh kembali. Demikian juga
halnya dengan para perantau Minangkabau yang tetap
terikat dengan kampung halamannya dalam konteks nagari,
bukan terikat dengan desa.
Nagari minimal terdiri dari empat suku (kelompok satu
keturunan berdasarkan garis ibu) dengan syarat kelengkapan
lainnya yakni: memiliki balai adat dan mesjid (sarana dan
prasarana sosial), memiliki jalan dan tempat mandi (sarana
dan prasarana fisik), memiliki sumber pangan dan produksi
(sarana ekonomi/konsumtif produktif), memiliki garis
keturunan dan ulayat (jelas silsilah adat dan kepemilikan
atas ulayat), serta memiliki lahan pekuburan (jelas tempat
berkubur yang diakui komunal) (Saad dkk, 2002:27-53).
Hidup kembali bernagari ini telah semakin kokoh dan
seakan-akan tidak tergoyahkan lagi, apapun godaannya.
Wacana yang bergulir tentang adanya bantuan terhadap
pemerintahan terendah (desa) sebesar 1 (satu) milyar
tidak akan mengubah ketetapan dalam kehidupan dan
berpemerintahan nagari, sebagaimana kesepakatan
masyarakat yang diekspresikan dalam forum Wali Nagari.
Nagari tidak akan dipecah-pecah lagi hanya untuk
kepentingan mendapat bantuan tersebut.
Desa Millenium Ketiga: 65
Prospek & Tantangan Bisnis

Pemerintahan nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari


yang dipilih langsung oleh masyarakat di nagarinya melalui
suatu pemilihan umum. Seorang calon Wali Nagari tentunya
harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan yang salah
satunya adalah harus anak nagari. Anak nagari adalah
penduduk asli dari suatu nagari, baik menetap di dalam
maupun di luar nagari tersebut. Dengan demikian, jabatan
Wali Nagari merupakan jabatan politis, bukan jabatan karir.
Penetapan dan pengangkatan Wali Nagari dilakukan oleh
Bupati.
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, seorang
Wali Nagari dibantu oleh Perangkat Nagari yang terdiri dari
Sekretaris, Kepala Urusan (Kaur) atau Kepala Seksi (Kasi),
Bendahara, dan Kepala Jorong. Susunan organisasi pemerintah
nagari ini ditegaskan melalui peraturan daerah pada masing-
masing kabupaten. Sekretaris nagari berkedudukan sebagai
unsur staf yang memimpin sekretariat nagari. Sedangkan
Kepala Jorong berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas
Wali Nagari dalam wilayah kerjanya. Kepala Jorong diangkat
dan ditetapkan dengan keputusan Wali Nagari berdasarkan
hasil kesepakatan atau pilihan masyarakat dari jorong yang
bersangkutan dan dilaporkan kepada Badan Perwakilan
Nagari (BPN).

Lembaga Demokrasi Ala Nagari


Lembaga lembaga demokrasi hadir di nagari melalui
lembaga-lembaga yang terkait dengan sistem pemerintahan.
Pada nagari terdapat tiga lembaga, lembaga pemerintah
nagari yang terdiri dari Wali Nagari dan Perangkat Nagari,
lembaga Badan Perwakilan Nagari atau di Nagari Bukik
66 ******

Kanduang disebut sebagai Badan Musyawarah Nagari atau


BMN, serta lembaga lainnya yang terdiri dari Kerapatan
Adat Nagari atau KAN dan lembaga kemasyarakatan yang
disebut dengan Majelis Tungku Tigo Sajarangan atau MTTS
maupun lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang
dibutuhkan dalam pembangunan nagari.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan nagari, Wali
Nagari melaksanakannya bersama-sama dengan Badan
Perwakilan Nagari atau BPN yang di masing-masing nagari
berbeda penamaannya.
Badan Perwakilan Nagari ibarat DPR-nya nagari. Badan
perwakilan ini terdiri dari 5 (lima) unsur yakni: ninik mamak,
alim ulama, cerdik pandai, bundo kanduang, dan pemuda atau
kepemudaan. Ninik mamak merupakan perwakilan dari
tokoh-tokoh adat atau para penghulu. Alim ulama perwakilan
dari tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan agama
dan telah diakui kapasitas ilmu agamanya. Cerdik pandai
sebagai perwakilan dari masyarakat yang dianggap pintar,
memiliki ilmu pengetahuan, cendekiawan, arif bijaksana
baik disebabkan pendidikan formal maupun karena
pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan informal.
Bundo kanduang perwakilan dari ibu-ibu di nagari. Sedangkan
tokoh pemuda mewakili kalangan kepemudaan.
Badan Perwakilan Nagari atau BPN merupakan
cerminan perwakilan dari unsur-unsur yang ada
dalam konteks keminangkabauan. Hal ini menjelaskan
keterkaitannya dengan adat dan Islam sebagai identitas
Minangkabau. Tiga unsur yang lebih dulu yakni ninik
mamak, alim ulama, dan cerdik pandai merupakan tiga
Desa Millenium Ketiga: 67
Prospek & Tantangan Bisnis

serangkai yang dalam adat atau budaya Minangkabau


disebut sebagai Tungku Tigo Sejarangan atau tiga tungku satu
jerangan. Ketiga unsur tersebut diakui kepemimpinannya
dalam masyarakat Minangkabau dari dulu hingga saat ini.
Istilah Tungku Tigo Sajarangan berasal dari apa yang
terdapat dalam tambo alam Minangkabau yang berbunyi
“Tuan Kadhi di Padang Gantiang, Angku Indomo di Saruaso, Tuan
Gadang di Batipuh”. Ketiga tokoh tersebut adalah orang yang
ahli dalam bidangnya masing-masing. Tuan Kadhi di Padang
Gantiang adalah seorang yang ahli di bidang keagamaan yang
akhirnya menyimbolkan kelompok alim ulama. Angku Indomo
di Saruaso adalah orang yang ahli dan memahami adat istiadat
yang menyimbolkan ninik mamak. Sedangkan Tuan Gadang di
Batipuh merupakan seorang cerdik pandai dan mengetahui
mengenai seluk beluk di pemerintahan yang disimbolkan
sebagai kelompok cerdik pandai. Ketiga tokoh ini akhirnya
menjadi lambang kepemimpinan masyarakat Minangkabau
yang dipopulerkan dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan.
Melalui peraturan daerah, ketiga unsur tersebut
ditetapkan sebagai suatu majelis yakni Majelis Tungku
Tigo Sajarangan. Majelis ini mempunyai tugas dan fungsi
memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari
supaya tetap konsisten dalam memelihara penerapan adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah di nagari. Pertimbangan
tersebut diberikan oleh Majelis Tungku Tigo Sajarangan baik
diminta atau tidak diminta oleh Pemerintah Nagari.
Bunda Kanduang atau kaum ibu (perempuan) sebagai
salah satu unsur di dalam BPN bukanlah merupakan
sesuatu yang baru atau tidak mempunyai dasar adat atau
68 ******

budaya Minangkabau. Sebagaimana diketahui bahwa bundo


kanduang merupakan tokoh sentral dalam adat atau budaya
Minangkabau. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat
yang bergaris keturunan matrilineal. Suatu masyarakat yang
bersuku-suku yang diturunkan menurut garis keturunan ibu.
Berbeda dengan seluruh masyarakat Indonesia lainnya
dimana garis keturunan dihitung dari garis ayah.
Mekanisme komunikasi informasi dan pengambilan
keputusan yang digunakan dalam musyawarah kerapatan
adat nagari adalah keterbukaan (Saad dkk, 2002:27-53).
Lebih lanjut dijelaskan Saad bahwa secara adat keterbukaan
tersebut diistilahkan dengan “bersaksi matahari bergelanggang
mata orang banyak” yang artinya seluruh kebijakan yang
diambil berkaitan dengan pemecahan masalah dalam nagari
disosialisasikan kepada anak nagari secara tuntas.
Tak ada konflik yang tidak selesai. Suatu masalah
diselesaikan dahulu secara adat, jika tidak selesai atau
kurang puas maka dibawa ke pengadilan hukum positif.
Proses perembukan secara adat disebutkan melalui pepatah
yang berbunyi “pandang jauh dilayangkan, pandang dekat
ditukikkan, bila sudah bulat boleh digolongkan, pipih
boleh dilayangkan”. Artinya bahwa bila telah dicapai kata
mufakat, baru diambil keputusan.
Sebagai suatu pemerintahan yang otonom,
pemerintahan nagari juga harus mampu mengeluarkan
peraturan sendiri yang disebut dengan peraturan nagari
atau disingkat dengan pernag. Suatu nagari minimal harus
mengeluarkan 1 (satu) peraturan nagari sebagai suatu
keharusan yakni peraturan nagari yang berkenaan dengan
anggaran pendapatan dan belanja nagari.
Desa Millenium Ketiga: 69
Prospek & Tantangan Bisnis

Penutup
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan
batas-batas wilayah yang jelas, mempunyai harta kekayaan
sendiri dan memiliki kelengkapan, serta berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan kembalinya
bernagari berarti masyarakat Minangkabau menegakkan
adat lamo pusako usang dalam konteks kekinian. Artinya
masyarakat Minangkabau kembali menjalankan sistem
pemerintahan berbasis adat atau budaya Minangkabau
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal tersebut dapat dilihat dari keberadaan pemerintahan
nagari sebagai pemerintahan terendah yang berkoordinasi
dengan pemerintahan di atasnya dalam menyelenggarakan
pemerintahannya. Artinya, pemerintahan nagari saat ini tidak
lepas berdiri sendiri tanpa memperdulikan pemerintahan di
atasnya. Wali Nagari yang tadinya berasal dari pucuk adat,
saat ini dapat dipegang oleh siapa pun yang memenuhi
syarat dan memenangkan proses pemilihan.
Di samping itu, unsur-unsur kepemimpinan
Minangkabau tetap dilibatkan dan bersama-sama dengan
Wali Nagari dalam menjalankan pemerintahan nagari. Unsur
kepemimpinan tersebut bergabung dalam suatu Badan
Perwakilan Nagari atau BPN. Suatu badan yang tadinya
tidak termaktub dalam adat atau budaya Minangkabau.
Keputusan-keputusan Wali Nagari, BPN, maupun
keputusan kerapatan adat nagari tetap berpedoman atau
tidak bertentangan dengan berbagai Perda kabupaten,
propinsi maupun peraturan pemerintah dan undang-
undang yang terkait.
70 ******

Memahami Politik Desa melalui pemahaman terhadap


demokrasi lokal yang bersumber pada nilai budaya asli
Indonesia adalah bagian dari upaya kita untuk memahami
Indonesia secara utuh. Bahwa demokrasi yang ingin kita
bangun dan jalankan di negeri ini adalah demokrasi asli
Indonesia, bukan demokrasi barat yang belum tentu sama
konteks dalam pelaksanaannya.

Referensi
Eko, Sutoro, Menggantang Asap: Kritik dan Refleksi Atas
Gerakan Kembali ke Nagari, 2005.
Frans dan Keebet von Benda-Beckmann, 2009. “Identitas-
identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-
komunitas Politik Minangkabau” dalam Henk
Schulte Nordholt dkk (Editor). Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor
Indonesia.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, Desa, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1984.
Kumpulan Tulisan Pemberdayaan Masyarakat Adat Di
Indonesia, Yogyakarta: IRE.
Mahmoed IA, Sutan. 2008. Nagari Limo Kaum. Pusat Bodi
Caniago Minangkabau. Limo Kaum: Yayasan Mesjid
Raya Limo Kaum.
Navis, AA. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Pustaka
Grafitipers.
Desa Millenium Ketiga: 71
Prospek & Tantangan Bisnis

Nomba, Anton, dkk, Kembali ke Akar: Kembali ke


Konsep Otonomi Masyarakat Asli, Jakarta: Forum
Pengembangan Aspirasi Masyarakat, 2002.
Ronidin. 2006. Minangkabau di Mata Anak Muda. Padang:
Andalas University Press.
Saad, Zukri dkk. 2002. “Kembali Bernagari Kabupaten
Solok Sumatera Barat” dalam Kembali Ke Akar.
Kembali Ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Jakarta:
Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
Soeparmo, Mengenal Desa: Gerak dan Penelolaannya, Jakarta:
PT. Intermasa, 1977.
United Nation, Decentralization For National and Local
Development, New York: UN Publisher, 1961.
Wolf, Eric R. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis.
Rajawali Press. Jakarta.

Profil Nagari Bukik Kanduang Tahun 2010


Infrastruktur
Perdesaan dalam
Nawacita:
Bisnis ataukah
Tradisi?

Taufik Kurniawan
Doktor lulusan Universitas Diponegoro. Sekarang
menjadi Wakil Ketua DPR RI.

Pendahuluan
Dewasa ini, pemerintahan Ir Joko Widodo dan Drs
Jusuf Kalla (2014-2019) sangat giat mengembangkan
infrastuktur daerah dan perdesaan. Selama dua dekade,
terutama sejak reformasi politik melanda tahun 1998,
Indonesia memang lebih banyak terfokus kepada penataan
kelembagaan demokrasi lewat amandemen konstitusi dan
kegiatan lainnya.1 Penataan kelembagaan demokrasi itu

1
Amanda Savirani & Olle Tornquist (Penyunting). Mei 2016.
Reclaiming The State: Mengatasi Problem Demokrasi di Indonesia Pasca-
Soeharto. Yogyakarta: POLGOV & PCD Press.

72
Desa Millenium Ketiga: 73
Prospek & Tantangan Bisnis

terjadi akibat tekanan dari luar dan dalam, akibat mudahnya


sentimen negatif melanda bidang ekonomi ketika isu-isu
politik melanda. Persetujuan yang dilakukan oleh Presiden
Soeharto dengan International Monetary Fund (IMF) yang
terkait dengan komitmen penyelesaian krisis, mau tidak mau
menyentuh aspek-aspek di luar ekonomi moneter. Fajar
demokratisasi menyingsing dan langsung memanggang
teriknya bumi tropis Indonesia.
Selama proses awal itu juga, pembangunan
infrastruktur kurang diperhatikan, mengingat biaya
yang tidak sedikit. Sekalipun produk kendaraan murah
memasuki pasar Indonesia, sama sekali tak diikuti
dengan pembangunan jalan nasional atau provinsi dalam
jarak yang memadai. Segera saja, dalam waktu singkat,
Indonesia menjadi negara yang terburuk dalam hal
kemacetan lalu lintas. Berdasarkan data dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, akibat kemacetan di DKI Jakarta
saja merugikan negara sebesar Rp. 670 Trilyun pertahun.
Bisa dibayangkan berapa trilyun lagi akibat kemacetan di
daerah-daerah lain. Pemerintah pascakrisis lebih banyak
menghabiskan anggaran guna mengurangi jumlah rumah
tangga miskin di Indonesia. Utang-utang pemerintah
selama krisis ekonomi membutuhkan biaya pengembalian
yang besar. Pertumbuhan ekonomi di pelbagai negara juga
tak banyak membantu, mengingat hanya sedikit negara
yang membukukan pertumbuhan positif, akibat krisis
global. Sisanya, banyak negara masih berada dalam lautan
lumpur krisis ekonomi berkepanjangan, termasuk negara-
negara di Eropa.
74 ******

Di tengah situasi yang sulit itu, bangsa Indonesia


sedang mengalami musim semi demokrasi. Secara perlahan,
Indonesia tumbuh sebagai kekuatan demokratis terbesar
ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat, sekaligus
juga kekuatan ekonomi yang tergabung dalam negara-
negara G-20. Walau dari sisi indeks kebebasan yang disusun
oleh Freedom House, nasib Indonesia masih turun naik
antara negara bebas dengan negara setengah bebas, tetap
saja jauh lebih baik dari negara-negara lain yang kembali
jatuh ke dalam pelukan rezim otoritarian, konflik, hingga
perang berkepanjangan.2 Kelajuan itu tentunya didukung
oleh perhatian yang semakin baik kepada aspek-aspek
ekonomi, ketimbang politik semata. Tanpa ada kemajuan
di bidang ekonomi, tak mungkin bangunan demokrasi bisa
dijaga dengan baik untuk tak kembali runtuh.
Era otonomi daerah juga telah membuat sejumlah
daerah berkembang melebihi daerah-daerah lain.
Kemunculan daerah-daerah strategis baru itu bukan saja
akibat kemampuan keuangan pada masing-masing daerah
itu, melainkan juga dengan keberadaan kepala-kepala
daerah yang memiliki visi moderen berdasarkan daya saing
dan keunggulan masing-masing. Kompetisi antar daerah
berlangsung dengan baik, termasuk kehadiran kepala-
kepala daerah yang populer di publik. Sebagaimana kita
tahu, Presiden RI Ir Joko Widodo, misalnya, sebelumnya
adalah Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, lalu maju

2
Buku bacaan paling berpengaruh menyangkut topik
demokrasi ini terdapat dalam Guillermo O’Donnel, Philippe C
Schmitter & Laurence Whitehead (Editor). Februari 1993. Transisi
Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES.
Desa Millenium Ketiga: 75
Prospek & Tantangan Bisnis

ke pemilihan Presiden RI. Keberhasilan tokoh-tokoh (lokal)


itu pada gilirannya mendapatkan apresiasi publik yang luas.
Dapat disimpulkan, dengan adanya otonomi daerah,
terdapat sumberdaya manusia di bidang politik dan
pemerintahan yang lebih banyak. Cadangan kepemimpinan
yang lebih banyak itu membuat politik lebih stabil. Hampir
tak ada lagi kekhawatiran betapa lapisan baru kepemimpinan
nasional di Indonesia masih sedikit. Beragam profesi terjun
ke dalam politik praktis, mulai dari birokrat dan mantan
birokrat, militer dan mantan militer, pengusaha, aktivis,
artis, hingga kalangan intelektual kampus. Hanya saja,
warga semakin kritis dalam menilai kualitas kepemimpinan
seseorang. Kualitas tidak hanya dilihat dari bibit, bobot dan
bebet, melainkan karya-karya keberhasilan apa yang sudah
dibuat ketika melakukan tugas-tugas di pemerintahan.3
Karya itu terutama terkait dengan infrastruktur yang
dibangun, baik berupa jalan, jembatan, irigasi, hingga
yang lainnya. Keberhasilan demi keberhasilan itulah yang
membawa sosok seseorang menjadi kian dipercaya ataupun
sebaliknya.
Semakin masyarakat terbebaskan dari keterbelakangan,
keterisolasian, semakin kuat dukungan yang diberikan
kepada kepala daerah yang sedang memimpin atau
ingin memimpin lagi. Sebaliknya, apabila masyarakat
menganggap sama sekali tak ada kemajuan yang didapatkan
selama pemerintahan seseorang, akan sulit bagi orang

3
R Siti Zuhro (Editor). April 2007. Profesionalitas dan Netralitas
Birokrasi Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah: Studi di Empat Provinsi.
Jakarta: The Habibie Center dan Hans Siedel Foundation.
76 ******

itu untuk terpilih lagi. Walaupun keadaan ini sama sekali


bukanlah gambaran yang umum, tetap saja pembangunan
infrastruktur menjadi indikator utama sukses atau gagalnya
kepemimpinan seorang kepala daerah. Desentralisasi
pemerintahan ternyata menjadi jalur utama bagi
desentralisasi infrastruktur pembangunan di daerah-daerah.
Sederhananya, terdapat tiga tahapan penguatan intitusi
pemerintahan di Indonesia.
Tahap pertama, penguatan institusi Pemerintahan
Pusat, yakni antara tahun 1945 hingga tahun 1998. Dalam
tahapan ini, jatuh bangunnya Kabinet Parlementer (1945 –
1959) yang dipimpin oleh Perdana Menteri sebagai Kepala
Pemerintahan, pemberlakuan Demokrasi Terpimpin (1959
– 1965) selama Presiden Sukarno, hingga perjalanan apa
yang dikenal sebagai Demokrasi Pancasila (1965-1998)
dalam masa Presiden Soeharto adalah bagian penting
dari pembentukan, perampingan, hingga pada gilirannya
penataan beragam institusi pemerintahan Pusat. Dalam
dua masa kepemimpinan Presiden Sukarno dan Presiden
Soeharto terjadi konsolidasi serius dalam apa yang
dinamakan sebagai “proyek nation-state”.4 Tentunya dalam
fase itu terdapat pembangunan infrastruktur berskala
nasional, baik untuk kepentingan pembangunan secara
keseluruhan, hingga hanyas sebagai bentuk dari simbolisasi
kebangsaan dan kenegaraan. Namun, berdasarkan
kemampuan masing-masing daerah, sedikit sekali yang
berhasil mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD),

4
Taufik Abdullah. 2001. Nasionalisme dan Sejarah. Bandung:
Satya Historika.
Desa Millenium Ketiga: 77
Prospek & Tantangan Bisnis

sedikit sekali yang mampu membiayai diri sendiri akibat


ketimpangan pemerataan ekonomi.5
Tahap kedua adalah pemberlakuan UU Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Era ini mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 2001. Artinya, pelaksanaan otonomi
daerah sudah mencapai angka 16 tahun atau dua windu.
Berbagai kelemahan dalam pelaksanaan otonomi daerah
langsung diperbaiki dengan cara merevisi undang-undang.
Semula, kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).6 Namun, akibat ada persoalan
saling sandera antara kepala daerah dengan DPRD, sistem
pemilihan langsung kepala daerah diberlakukan via gugatan
judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.7 Kewenangan
yang semula ditempatkan pada level kabupaten dan kota,
seperti kelautan, kembali dialihkan kepada provinsi.
Perubahan demi perubahan itu membawa kompetisi yang
semakin baik antar daerah. Indikator untuk mengukur
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan otonomi daerah
semakin mampu dilakukan banyak pihak.

5
Lihat Hermawan Sulistyo, “Negara dan Masyarakat Lokal:
Studi mengenai Otonomi Daerah, Pemda, dan Kapasitas Masyarakat
Lokal”, dalam Didik J Rachbini (Penyunting). 1995. Negara dan
Kemiskinan di Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
6
Bambang Yudoyono. 2001. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan
Pengembangan SDM Aparatur PEMDA dan Anggota DPRD. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
7
Edward Aspinall & Greg Fealy (Ed). 2003. Local Power and
Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation. ISEAS & CSIS:
Singapore.
78 ******

Tahap ketiga adalah pemberlakuan UU Nomor 6 tahun


2014 tentang Desa. Dengan pemberlakuan UU ini, selesai
sudah tahap pembangunan infrastruktur pemerintahan
yang berjenjang naik, bertangga turun, yakni Pemerintahan
Pusat, Pemerintahan Daerah (Provinsi dan Kabupaten atau
Kota) dan Pemerintahan Desa. Upaya ini juga sekaligus
menggali potensi-potensi yang sesuai berdasarkan
kekuatan masyarakat asli di perdesaan.8 Setiap tahun, terjadi
peningkatan jumlah Dana Desa yang dikeluarkan melalui
transfer daerah. Misalnya, untuk tahun 2015 terdapat
anggaran sebesar Rp. 20,7 Trilyun atau sebesar 3 persen
dari transfer daerah. Selanjutnya, pada tahun 2016 terdapat
angka sebesar Rp. 46,9 Trilyun atau 6 persen dari transfer
daerah. Selanjutnya, pada tahun 2017 terdapat angka Rp. 89
Trilyun. Jika dihitung secara rata-rata, maka setiap desa bisa
mendapatkan anggaran sebesar Rp 1 Milyar lebih (Kompas
Cyber Media, 20 April 2016). Peningkatan itu menunjukan
besaran kesempatan pembangunan infrastruktur desa.
Tiga jenjang pemerintahan itu juga sudah menjalankan
pola pemilihan kepala pemerintahan masing-masing secara
demokratis, dalam arti lewat pemilihan langsung. Indonesia
betul-betul sudah menjadi negara yang paling berkembang,
berurat dan berakar dalam menjalankan demokrasi. Bukan
saja level kepala pemerintahan pusat dan daerah yang
dipilih secara langsung, melainkan juga level pemerintahan
desayang tersebar dari pantai, hutan, gunung, hingga area-

8
Budi Baik Siregar & Wahono (Penyunting). 2002. Kembali
ke Akar: Kembali ke Konsep Masyarakat Asli. Jakarta: Forum
Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
Desa Millenium Ketiga: 79
Prospek & Tantangan Bisnis

area perbatasan dengan negara lain. Luas dan dalamnya


praktek demokrasi ini menunjukkan betapa tak ada lagi
warga negara yang tak tersentuh demokrasi.
Persoalan utamanya, apakah demokrasi seperti itu
cukup? Sebab, demokrasi selalu saja disatu-nafaskan
dengan kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Demokrasi
tanpa kesejahteraan bakal menyimpan bom waktu guna
disalahkan, bahkan diruntuhkan, guna kepentingan
kelompok-kelompok yang nyaman dengan model
negara otoriter.9 Dengan menyalahkan demokrasi yang
seperti itu, terbuka peluang guna membalikkan lapisan
zaman, yakni kembali kepada model pengangkatan atau
penunjukkan dalam proses pencarian kepala pemerintahan.
Penyelewengan data dan informasi bakal berjalan kembali,
bahkan mungkin dengan cara yang semakin hebat.

Nawacita dalam Infrastruktur Desa


Dalam perjalanannya, Ir Joko Widodo sudah
mencanangkan Nawacita sebagai program unggulan
pembangunan Indonesia dalam naskah yang diberikan
kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja, guna
mendapatkan dukungan menyeluruh dari seluruh elemen
pemerintahan, apa yang tercantum dalam Nawacita perlu
dimasukkan kedalam revisi undang-undang, pun beragam
peraturan perundangan lainnya. Hal ini mengingat
Indonesia tidak lagi mengenal Garis-Garis Besar Haluar
Negara. Tidak hanya itu, sosialisasi menyeluruh terhadap

9
Jack Snyder. November 2003. Dari Pemungutan Suara ke
Pertumpahan Darah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
80 ******

Nawacita perlu dilakukan sebagai langkah strategis guna


memantapkan visi, misi dan program ini supaya berlangsung
secara serasi, selaras dan seimbang.
Visi besar yang dikembangkan selama tahun 2014-
2019 dalam naskah Nawacita adalah terwujudnya
Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
berlandaskan gotong royong. Tiga kata kunci ada di
dalamnya, yakni Indonesia yang berdaulat, Indonesia
yang mandiri dan Indonesia yang berkepribadian. Ketiga
kata kunci itu ada dalam landasan atau fundamen gotong-
royong. Ketiga kata kunci itu yang dikenal sebagai Trisakti.
Konseptornya tentulah Ir Sukarno, Presiden RI pertama
dan sekaligus Proklamator kemerdekaan Republik
Indonesia bersama dengan Drs Mohammad Hatta. Tentu,
banyak nama yang bisa disebut, terkait dengan kehadiran
gagasan tentang Trisakti dan Gotong Royong.
Desa Millenium Ketiga: 81
Prospek & Tantangan Bisnis

Secara singkat, bisa dikatakan betapa Nawacita


sebetulnya bukanlah gagasan yang sama sekali baru. Hanya
saja, terasa baru tatkala kita sedang memasuki era milenium
ketiga dengan presiden yang terpilih dalam pemilihan
langsung yang juga ketiga kalinya. Presiden Jokowi secara
sengaja memunculkan gagasan Nawacita, sebagai bagian
dari evaluasi atas perjalanan bangsa ini. Nawacita sebagai
napak tilas perjalanan sejarah, sesungguhnya berakar dalam
kehidupan bangsa Indonesia sendiri.
Di dalam Nawacita terdapat sembilan program. Tulisan
ini tidak menyanggupi untuk menukil seluruhnya. Hanya
saja, bagian yang hendak diungkapkan adalah program
ketiga yang terkait dengan desentralisasi, baik di bidang
politik, ekonomi, hingga pemerintahan. Dalam bagian yang
memberikan koreksi terhadap perjalanan pemerintahan
daerah inilah terdapat bagian yang juga disertakan, yakni
pelaksanaan UU tentang Desa. Pemberian peranan yang
memadai, bahkan kuat, kepada pemerintahan pusat terasa
sekali. Program-program itu adalah:
Pertama : Membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan.
Kedua : meletakkan dasar-dasar bagi dimulainya
desentralisasi asimateris untuk (a)
melindungi kepentingan nasional Indonesia
di kawasan-kawasan perbatasan, (b)
memperkuat daya saing ekonomi Indonesia
secara global, dan (c) membantu daerah-
daerah yang kapasitas berpemerintahannya
belum cukup memadai dalam melakukan
82 ******

pelayanan publik.
Ketiga : mensinergikan tata-kelola pemerintahan
Indonesia sebagai satu kesatuan sistem yang
tidak terfragmentasi dengan memperlakukan
rezim desentralisasi sebagai ujung tombak
menggantikan rezim sektoral dan rezim
keuangan.
Keempat : Melakukan reformasi tata hubungan
keuangan pusat dan daerah dengan cara
pengaturan sistem distribusi keuangan
nasional .
Kelima : Melakukan pemerataan pemerataan
pembangunan antar wilayah: Jawa – Luar
Jawa, Indonesia Barat – Indonesia Timur;
serta Kota – Desa.
Keenam : Menata pembentukan daerah otonom
baru yang lebih berorientasi kesejahteraan
dengan perubahan kebijakan Dana Alokasi
Umum (DAU).
Ketujuh : Mendorong daerah dalam melakukan
pengurangan overhead cost (biaya rutin)
dan mengalokasikan lebih banyak untuk
pelayanan publik.
Kedelapan : Melakukan reformasi pelayanan publik
melalui penguatan desa, kelurahan dan
kecamatan sebagai ujung tombak, serta
implementasi UU tentang Desa secara
sistematis, konsisten dan berkelanjutan
dengan fasilitasi, supervisi dan
pendampingan.
Desa Millenium Ketiga: 83
Prospek & Tantangan Bisnis

Kesembilan : Meningkatkan kapasitas pemerintahan


nasional untuk lebih menjalankan fungsi
pembinaan dan pengawasan, termasuk
dalam hal pengelolaan keuangan dan
pelayanan bagi daerah otonom secara lebih
maksimal.
Kesepuluh : Mendorong kemungkinan bagi adanya
penggabungan atau penghapusan daerah
otonom setelah melalui proses pembinaan,
monitoring dan evaluasi yang terukur dalam
waktu yang memadai.

Kesepuluh program ini menunjukkan betapa desa sudah


menjadi prioritas dalam menjalankan pola desentralisasi
asimetris yang tidak hanya sekadar pemerataan. Pola-pola
keseragaman dan penyeragaman terlihat sangat dihindari,
guna menghindari duplikasi program atau usulan program.
Sekaligus kesepuluh program itu memberikan paling tidak
lanskap atau panorama Indonesia dalam periode 2014-
2019. Konsistensi pemerintahan terlihat sekali dengan
pelaksanaan minimal dua tahun terakhir ini. Kapasitas
pemerintahan dan warga desa meningkat dengan baik.
Sejumlah tokoh atau aktor lokal memberikan pengaruh
kepada kebangkitan daerah ini, baik dari pengetahuan atau
pengalaman personal, maupun dari hasil kerjasama dengan
elemen-elemen pemerintahan pusat.10

10
R Siti Zuhro. 2009. Demokrasi Lokal: Peran Aktor dalam
Demokratisasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
84 ******

Hanya saja, terdapat bagian yang terasa sekali baru kala


terdapat usaha untuk meningkatkan daya saing ekonomi
Indonesia secara global. Bagian ini paling menarik,
mengingat Indonesia yang dimaksud tentu bukanlah negara
sentralistik yang terpusat,11 melainkan negara yang sudah
mengalami proses desentralisasi selama lebih dari dua belas
tahun. Dan bukan hanya itu, Indonesia yang dimaksudkan
tentunya juga bangunan pemerintahan di tingkat desa.
Bagian inilah yang belum banyak digali, padahal sangat
menentukan dalam mengukur kegagalan atau keberhasilan
daya saing Indonesia di tingkat global. Apabila desa-
desa kita ditembusi oleh produk-produk yang berasal
dari kawasan global, mulai dari kuaci, ikan asin, hingga
buah-buahan, maka dengan sendirinya Indonesia kalah
dalam persaingan. Sebaliknya, apabila desa-desa menjadi
produktif dan mampu melakukan kegiatan ekspor lewat
kegiatan ekonomi yang berbasis sistem perbankan maupun
teknologi informasi, berarti Indonesia semakin kompetitif
dan mampu bersaing.

Orientasi Bisnis atau Publik


Persoalannya, apakah infrastruktur yang dikembangkan
selama ini mendorong kepada kebangkitan ekonomi suatu
daerah atau tidak? Apakah infrastuktur itu masih merupakan
infrastruktur dasar yang berarti adalah fasilitas umum dan
fasilitas sosial? Ataukah infratruktur itu merupakan fasilitas

11
Mohamad Ikhsan, Chris Manning & Hadi Soesastro. Juni
2002. Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru: 80 Tahun Mohammad Sadli.
Jakarta: Penerbit Kompas.
Desa Millenium Ketiga: 85
Prospek & Tantangan Bisnis

bisnis yang tujuannya untuk memicu persaingan ekonomi


antar daerah, bahkan dalam jaringan antar desa yang
tersusun rapi? Dalam persaingan global dewasa ini, tatkala
warga manca negara bisa mengetahui setiap jengkal tanah
dan air di dunia dengan bermodalkan Google Map, apakah
fasilitas yang disediakan langsung ditujukan kepada warga
dunia atau hanya warga masyarakat daerah saja?
Persoalan ini layak diungkapkan mengingat Indonesia
bukanlah negara yang sudah melalui tahapan negara maju,
sebagaimana dengan Singapura, Jepang atau Korea Selatan.
Bahkan, dibandingkan dengan negara Malaysia, Indonesia
masih menata keseimbangan antara sistem politik
berdasarkan demokrasi yang dianut dengan sistem ekonomi
berbasis kerakyatan yang diungkap.12 Sistem multipartai
dan pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia
ternyata belum mengedepankan kepentingan publik secara
luas. Masyarakat masih terjebak dengan pavoritisme yang
berbau pengkultusan seseorang, dengan sedikit sekali
mengambil intisisari dari keberhasilan program-program
yang diajukan. Jargon bebas biaya pendidikan dan bebas
biaya kesehatan masih mengemuka, sekalipun anggaran
negara memang disediakan dan ditingkatkan untuk itu
setiap tahunnya. Sloganisme ternyata tak banyak berisi
pendidikan politik yang baik dari para politikus.
Padahal, cetak biru pelaksanaan otonomi daerah sudah
banyak ditulis, dibicarakan, bahkan diputuskan dalam jangka

12
Secara keseluruhan, persoalan ekonomi dalam perubahan
konstitusi di Indonesia dalapat dibaca dalam Jimly Asshiddique.
Januari 2010. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
86 ******

menengah dan panjang. Daerah-daerah yang bergejolak dan


menginginkan terpisah dari lindungan Burung Garuda dan
Sang Saka Merah Putih bahkan tak terdengar lagi. Indonesia
sudah menjadi contoh yang tepat tentang kesesuaian antara
konsep demokrasi dengan Islam. Manakala negara-negara
lain di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
masih terjebak dalam perang saudara ataupun antar negara,
Indonesia malahan melepaskan diri dari serangkaian
serangan kaum teroris atau adu-domba kalangan apapun.
Dengan suasana keamanan yang kondusif ini, Indonesia
sudah dalam ruang dan waktu yang tepat guna mengejar
ketertinggalan di bidang ekonomi, tidak lagi semata-mata
tersandera dengan persoalan pangan, sandang dan papan.
Pertanyaannya, apakah dalam situasi yang serba
memberi tempat yang nyaman ini – termasuk dengan bonus
demografi yang jarang sekali dialami, yakni ketika penduduk
berusia muda jauh lebih banyak dari penduduk berusia
tua – Indonesia justru masih menyibukkan diri dengan
pengulangan demi pengulangan model-model pembangunan
yang ditempuh? Apakah warga negara Indonesia tidak cukup
bisa menjadikan halaman rumah mereka di perdesaan sebagai
unit-unit ekonomi yang produktif? Di Tanah Jawa, misalnya,
pertanyaan mendasar tentang apakah orang Jawa bisa,
mampu dan menang dalam berbisnis sudah bisa dijawab?13
Tanpa arahan yang tepat, bukan tidak mungkin jawaban atas
pertanyaan itu tetap dihindari.

13
Francois Raillon, “Dapatkah Orang Jawa Menjalankan
Bisnis?: Bangkitnya Kapitalis Pribumi di Indonesia”, dalam Hans
Antlov dan Sven Cederroth. 2001.Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 223-258.
Desa Millenium Ketiga: 87
Prospek & Tantangan Bisnis

Begitu juga dalam pengembangan infrastruktur


di perdesaan, tersedia dua pilihan utama, yakni apakah
pemenuhan infrastruktur itu merupakan kebutuhan
publik ataukah infrastruktur itu langsung ditujukan
bagi kepentingan bisnis? Dari kesepuluh program yang
dicanangkan dalam Nawacita, terlihat sekali tingginya titik
tekan kepada kebutuhan (dasar) publik. Bahkan, terdapat
upaya supervisi dalam membantu daerah-daerah yang
sama sekali kesulitan guna memenuhi kapasitas dasarnya.
Padahal, terdapat “ancaman” yang lumayan serius, yakni
daerah-daerah berkapasitas rendah bisa saja digabungkan
kembali atau bahkan dihapus sama sekali. Artinya lagi,
daerah-daerah itu bakal kembali ke kondisi semula, dari
aspek pemerintahan dan wilayah. Walau belum terdapat
parameter yang jernih atas model-model penilaian yang
tepat menyangkut kapasitas daerah-daerah yang (terlanjur)
dimekarkan atau dinaikkan statusnya menjadi daerah
otonom, pemerintah pusat perlu sesekali melaksanakan
“ancaman” tersebut sebagai bagian dari program yang
sudah dicanangkan.
Di sisi lain, diperlukan kluster-kluster baru yang tidak
hanya semata-mata bertumpu kepada pelayanan publik
dan pemenuhan kebutuhan dasar. Bagi daerah-daerah
yang sudah melewati atau melompati tahapan itu, perlu
definisi yang lebih akurat sebagai peta jalan ekonomi dan
bisnis di masa datang.14 Shanghai dan Hongkong di China,
misalnya, tentunya langsung dikenali oleh masyarakat bisnis

14
Eka Sastra. 2007. Agar Negara Kaya Raya: Entrepreneurship
untuk Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta: Merdeka Book.
88 ******

sebagai tujuan yang baik guna menanamkan investasi,


mengembangkan jaringan bisnis, hingga merekrut
sumberdaya manusia yang mumpuni. Di Indonesia,
misalnya, apakah Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan
cukup memadai disebut sebagai kota-kota yang sudah
“seharusnya” menjadi kota bisnis yang terkemuka?
Dalam kerangka seperti itulah, desa-desa juga
disiapkan parameternya. Diperlukan upaya yang simultan
dengan keterlibatan pemerintahan pusat guna menentukan
desa-desa yang disiapkan sebagai desa-desa industri, desa-
desa bisnis, desa-desa sumberdaya manusia, hingga desa-
desa yang sanggup menerima teknologi tinggi dipandang
dari sudut kesiapan sumberdaya manusia dan infrastruktur
perdesaan lainnya. Salah satunya, dengan membangun
kemandirian di bidang energi.15 Sehingga desa tak lagi
dipandang sebagai tempat untuk pulang kampung dalam
cita-cita kekeluargaan di Indonesia...

Daftar Pustaka:
1. Amanda Savirani & Olle Tornquist (Penyunting). Mei
2016. Reclaiming The State: Mengatasi Problem Demokrasi
di Indonesia Pasca-Soeharto. Yogya: POLGOV & PCD
Press.
2. Bambang Yudoyono. 2001. Otonomi Daerah:
Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur PEMDA
dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

15
Rama Prihandana. 2006. Menuju Desa Mandiri Energi. Jakarta:
Proklamasi Publishing House.
Desa Millenium Ketiga: 89
Prospek & Tantangan Bisnis

3. Budi Baik Siregar & Wahono (Penyunting). 2002.


Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Masyarakat Asli.
Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
4. Edward Aspinall & Greg Fealy (Ed). 2003. Local Power
and Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation.
ISEAS & CSIS: Singapore.
5. Eka Sastra. 2007. Agar Negara Kaya Raya: Entrepreneurship
untuk Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta: Merdeka
Book.
6. Guillermo O’Donnel, Philippe C Schmitter &
Laurence Whitehead (Editor). Februari 1993. Transisi
Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta:
LP3ES.
7. Hans Antlov dan Sven Cederroth. 2001. Kepemimpinan
Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
8. Hermawan Sulistyo, “Negara dan Masyarakat Lokal:
Studi mengenai Otonomi Daerah, Pemda, dan
Kapasitas Masyarakat Lokal”, dalam Didik J Rachbini
(Penyunting). 1995. Negara dan Kemiskinan di Daerah.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
9. Jack Snyder. November 2003. Dari Pemungutan Suara
ke Pertumpahan Darah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
10. Jimly Asshiddique. Januari 2010. Konstitusi Ekonomi.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
11. Mohamad Ikhsan, Chris Manning & Hadi Soesastro.
Juni 2002. Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru: 80
Tahun Mohammad Sadli. Jakarta: Penerbit Kompas.
90 ******

12. R Siti Zuhro (Editor). April 2007. Profesionalitas dan


Netralitas Birokrasi Menuju Daya Saing Ekonomi Daerah:
Studi di Empat Provinsi. Jakarta: The Habibie Center dan
Hans Siedel Foundation.
13. R Siti Zuhro. 2009. Demokrasi Lokal: Peran Aktor dalam
Demokratisasi. Yogya: Penerbit Ombak.
14. Rama Prihandana. 2006. Menuju Desa Mandiri Energi.
Jakarta: Proklamasi Publishing House.
15. Taufik Abdullah. 2001. Nasionalisme dan Sejarah.
Bandung: Satya Historika.
Dunia Maya:
Gerbang Desa Menuju
Pasar Global

Rezha Nata Suhandi, SE.

Pendahuluan
Pada era globalisasi, informasi begitu cepat hilir mudik
mengisi keseharian kehidupan kita. Dalam hitungan detik,
informasi mengenai apa yang terjadi di Amerika Serikat
misalnya, dapat diketahui dan menjadi perbincangan
di belahan bumi lain seperti Indonesia. Era globalisasi
menuntut kita dalam kondisi yang serba cepat dalam
penguasaan tekhnologi informasi. Tertinggal satu detik saja
maka kita akan kalah dalam kompetisi berdasar system yang
menjadi pakem dunia global saat ini. Hal tersebut berakibat
pada semakin tajamnya kompetisi dan persaingan pada
beberapa aspek kehidupan. Ekonomi, social, kesehatan,
keamanan, ketahanan nasional, politik dan berbagai hal
lainnya. Kompetisi yang ada tanpa dibatasi dimensi ruang
dan waktu, hanya terbatas pada genggaman tangan anda.

91
92 ******

Dalam tagline salah satu perusahaan telekomunikasi


terbesar di Indonesia, yang berbunyi “The World In
Your Hand” atau “Dunia dalam Genggaman Anda”
mendeskripsikan tentang keadaan dan situasi yang
menuntut kita menjadi makhluk global, “Go Globalization”.
Hal tersebut juga dapat diartikan jika dunia yang amat
besar mampu dibuat tak berbatas, disederhanakan dan
terlihat kecil melalui perangkat aplikasi canggih yang kita
sebut internet. Internet yang dalam penggunaannya hanya
menggunakan tangan entah melalui PC Computer atau smart
phone sebagai instrument pengguna menjadi dasar dari
tercetusnya tagline tersebut.
Pada rentang tahun 60-an, seorang pakar
telekomunikasi barat pernah menuliskan dalam bukunya
mengenai fenomena informasi dalam era globalisasi.
Adalah Marshall McLuhan dalam buku yang bertajuk,
“Understanding Media: Extension Of A Man” mencoba
memaparkan tentang konsep Global Village. Global Village
adalah konsep mengenai perkembangan tekhnologi
komunikasi dengan menganalogikan dunia sebagai sebuah
desa yang sangat besar. Ketika kita menelaah apa yang
menjadi kerangka dari pemikiran McLuhan pada bukunya
dengan menganologikan dunia adalah sebuah desa, kita
akan dapat memahami karakteristik desa dalam arti yang
sebenarnya pada sebuah konsep terminologi mengenai
komunikasi.
Di desa yang secara luas wilayah merupakan unit
terkecil dalam sebuah pemerintahan maka akan kita
temukan komunikasi antar penduduk yang berlangsung
cepat. Berlangsung cepat disini dalam artian, tersebarnya
Desa Millenium Ketiga: 93
Prospek & Tantangan Bisnis

satu buah informasi melalui interaksi pembicaraan antar


warga desa sehingga sebuah informasi, agar dapat diketahui
seluruh warga desa tidak akan memakan waktu lama pada
prosesnya. Pola interaksi yang memuat informasi pun
beragam caranya, mulai dari pembicaraan antar individu
atau pemberitahuan satu arah antara desa sebagai perangkat
pemerintahan dengan warganya. Faktor keluasan wilayah
desa yang tidak terlalu luas membuat informasi dari satu
penduduk ke penduduk lain menjadi cepat tersebar.
Pemikiran inilah yang mendasari konsep Global Village,
hingga disebutkan pada analogi, dunia sebagai sebuah desa
yang sangat besar.
Marshall McLuhan mengkonseptualisasikan
“global village” yang dimaknai sebagai sebuah proses
homogenisasi akibat dari kesuksesan sistem komunikasi
secara keseluruhan. Karakteristik homogenitas dalam
kependudukan juga merupakan karakter penduduk desa.
Jika global village memiliki arti sebagai dunia yang dipersempit
pemaknaannya pada istilah desa, maka bukan satu hal
yang mustahil pula jika makna global village dapat membuat
desa memperluas makna sempitnya lantas keluar dari
kungkungan paradigma dan ikut menikmati modernisasi di
era globalisasi yang tanpa batas dalam bidang tekhnologi
informasi.
Jika merujuk pada karakteristik desa secara general,
wilayah pedesaan pada umumnya masih diasosiasikan
sebagai daerah yang berlokasi di daerah pedalaman, jauh
dari lingkungan perkotaan dan memiliki keterikatan yang
kuat terhadap kehidupan tradisional. Dalam masyarakat
desa berlaku keteraturan kehidupan sosial yang mencakup
94 ******

kegiatang-kegiatan ekonomi, keagamaan, politik dan hokum


yang sesuai dengan lingkungan hidup setempat.
Lebih khusus, Soerjono Soekanto (1982) menjelaskan
beberapa karakteristik social masyarakat desa, antara lain
sebagai berikut: Warga masyarakat pedesaan memiliki
hubungan kekerabatan yang kuat karena umumnya berasal
dari satu keturunan (homogen); corak kehidupannya bersifat
gemeinschaft yaitu diikat oleh system kekeluargaan yang kuat
dan biasanya antar sesama warga saling mengenal; cara
hidup yang masih bersifat tradisional; dan masyarakatnya
masih memegang norma agama yang cukup kuat.
Oleh sebab itu, dengan karakteristik yang demikian
adanya, kungkungan keadaan yang sedemikan rupa tentang
kondisi desa, membuat desa seolah sulit untuk berkembang
dan cenderung tertutup pada dunia luar guna melindungi
karakteristik yang telah ada. Namun pergeseran zaman telah
membuat desa mau tak mau harus mengikuti gerak maju
peradaban tanpa meninggalkan karakteristik desa. Desa harus
bisa meng-global dalam segala aspek kehidupannya. Desa
harus memiliki dan mengambil peran yang signifikan karena
memiliki keuntungan materil karena jika melihat sumber
atau asal bahan baku produksi pada perusahaan manufaktur
biasanya didatangkan dari pedesaan secara kumulatif.
Berbicara lebih lanjut tentang proses dan manfaat
globalisasi terhadap setidaknya beberapa jalur atau saluran
yang dapat dijadikan sebagai sarana globalisasi, yaitu
jalur tekhnologi dan informasi, perdagangan atau bisnis
internasional (e-commerce), pendidikan, kesehatan, dan aspek
lainnya.
Desa Millenium Ketiga: 95
Prospek & Tantangan Bisnis

Maka pertanyaannya kemudian adalah bagaimana


desa-desa di Indonesia dapat mengikuti trend global
dalam bidang tekhnologi informasi guna menunjang
kemajuan kawasan pedesaan? Lalu manfaat apa saja yang
dapat dinikmati warga pedesaan secara ekonomis dan
bisnis terhadap pemanfaatan tekhnologi informasi? Dan
bagaimana pula dasar aturan atau hukum yang mengatur
penggunaan tekhnologi informasi di desa? Pembahasan
berikut akan coba menelaah lebih jauh tentang desa dan
internet dalam merengkuh era globalisasi khususnya pada
pemanfaatan terhadap pemberdayaan ekonomi desa.

E-Commerce, Kesempatan Ekonomi Tanpa


Batas
Pengertian e-commerce menurut Laudon & Laudon
(1998), “e-commerce adalah suatu proses membeli dan
menjual produk-produk secara elektronik oleh konsumen
dan dari perusahaan ke perusahaan dengan menggunakan
computer sebagai perantara transaksi bisnis”. e-commerce
atau yang biasa disebut juga dengan istilah Ecom atau
EC merupakan pertukaran bisnis yang rutin dengan
menggunakan transmisi Elektronik Data Interchange (EDI),
email, electronic bulletin boards, mesin faksimili, dan electronic
funds transfer yang berkenaan dengan transaksi belanja di
internet shopping.
E-commerce secara sederhana dapat diartikan sebagai
sebuah aplikasi tekhnologi informasi yang menunjang segala
bentuk aktifitas transaksi ekonomi dan bisnis. E-commerce
dalam penggunaannya dapat diakses oleh siapa saja dan
96 ******

dimana saja guna mempermudah seseorang, komunitas


bisnis maupun kelompok melakukan aktifitas ekonomi.
Dalam hal ini tak terkecuali kawasan pedesaan.
Prinsip yang ada pada tekhnologi informasi berbasis
internet menjadikan sebuah instrument menjadi inklusif
atau lebih terbuka terhadap penerimaan maupun pemberian
informasi. Aspek bisnis yang diterapkan pada internet
ini mencakup segala hal, pada perusahaan trans nasional
membangun brand image di internet adalah sebuah keharusan
sebagai upaya menjaga public trust. E-commerce memiliki
system yang lebih lengkap pada web-nya, tidak sekedar
informasi namun juga memuat interaksi dan komunikasi 2
arah antara pemilik web dengan penggunanya. Pengertian
dan definisi web sendiri adalah fasilitas hypertext untuk
menampilkan data berupa text, gambar, suara, animasi dan
data multimedia lainnya yang diantara data tersebut saling
berhubungan satu sama lain.
Pemanfaatan e-commerce di desa dapat menjadi
alternatif baru guna menjangkau dunia luar dengan lebih
cepat, mudah, efektif dan efisien. Tentu, kita tidak bisa
menyandingkan satu unit perusahaan besar dengan aktifitas
pedesaan dalam aspek ekonominya. Untuk itu dibutuhkan
keunggulan absolut atau ciri khas dari satu desa yang dapat
dijadikan potensi ekonomi desa tersebut.
Sebagai contoh adalah penggunaan e-commerce pada
desa wisata di Desa Sawarna, Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten. Penggunaan e-commerce menjadi keharusan sebagai
sarana promosi wisata atas keunggulan absolut desa
tersebut. Desa Sawarna pada rentan waktu 10 tahun terakhir
Desa Millenium Ketiga: 97
Prospek & Tantangan Bisnis

menjadi primadona wisata di kawasan Jawa bagian barat.


Penggunaan e-commerce pada aktifitas ekonomi warganya
yang menggunggulkan keindahan pantai Sawarna sebagai
salah satu destinasi atau tujuan wisata membuat pantai
Sawarna dikenal oleh seluruh dunia. Ketika kita mengakses
internet dan melakukan pencarian pada tab search lantas
mengetik Desa Sawarna, yang muncul adalah penawaran-
penawaran homestay juga paket wisata berlibur di kawasan
tersebut.
Informasi yang dimuat pada web-web desa atau pantai
Sawarna juga lengkap, mulai dari informasi tempat yang
bisa dikunjungi, foto panorama tempat yang dikunjungi,
akses transportasi, denah wilayah, informasi harga,
informasi kontak untuk booking tempat, cara pembayaran,
hingga jadwal kegiatan jam per jam wisatawan yang akan
berkunjung ke pantai Sawarna dengan didampingi guide
wisata. Hal tersebut mempermudah para wisatawan yang
akan berkunjung ke lokasi tanpa harus melakukan survey
lokasi yang akan memakan biaya dan waktu tentunya. Atau
datang secara mendadak tanpa mengetahui informasi di
tempat tujuan, berbagai resiko akan menanti kita. Mulai dari
perjalanan yang mungkin akan sulit karena tidak mengetahui
arah, medan jalan dan waktu tempuh sampai dengan tidak
adanya tempat penginapan yang sesuai dengan keinginan
kita sebagai konsumen.
Penggunaan e-commerce secara ekonomi dan dunia
bisnis memiliki banyak manfaat, diantaranya, dapat
meningkatkan market exposure (pangsa pasar) karena tak ada
batasan mengenai akses informasi yang tersedia, artinya
dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja; meningkatkan
98 ******

customer loyalty (loyalitas pelanggan) ini disebabkan


karena system e-commerce menyediakan informasi secara
lengkap dan informasi tersebut dapat diakses setiap waktu
bahkan konsumen dapat memilih sendiri produk yang dia
inginkan; dan meningkatkan supply management, transaksi
e-commerce yang menghubungkan langsung antara konsumen
dan pemilik produksi menyebabkan adanya pemangkasan
jalur penawaran sehingga membuat produksi dan aktifitas
ekonomi yang dilakukan kedua belah pihak menjadi efisien.
(Onno W Purbo dan Aang Arif Wahyudi, “Mengenal
E-Commerce”, 2001)
E-commerce dalam penggunaannya tidak hanya
bermanfaat pada desa wisata, pada desa-desa lain yang
tidak memiliki keunggulan dalam pariwisata pun bisa
memanfaatkannya. Poin utamanya adalah keunggulan
absolut, ciri khas atau nilai tambah terhadap barang produksi
desa tersebut, sehingga memunculkan nilai ekonomis. Tak
jadi masalah jika yang terjadi adalah hanya ada keunggulan
komparatif terhadap barang produksi, biasanya konsumen
akan melihat faktor cateris paribus lain agar menjatuhkan
pilihan untuk melakukan pembelian. Keunggulan harga,
cara pelayanan, kemudahan akses informasi dan sebagainya
menjadi faktor lain yang tak bisa diperhitungkan pada
kompetisi mendapatkan pasar potensial.
Instrument yang ada pada e-commerce tidak melulu soal
web atau portal informasi. Pada perkembangannya, publik
lebih gemar menggunakan media sosial pada internet
dalam hal apapun, termasuk mempromosikan barang
produksi dan melakukan aktifitas ekonomi. Berbagai
aplikasi media sosial pun bermunculan dan terus berinovasi
Desa Millenium Ketiga: 99
Prospek & Tantangan Bisnis

untuk memanjakan publik atas interaksi dan keinginannya.


Trend online shop (belanja online) pun menjadi booming
pada era sekarang. Masih dalam manfaat e-commerce, media
sosial lantas bermutasi menjadi arena besar untuk meraih
pasar dan konsumen. Jumlah pengguna yang besar dan
kemudahan dalam menggunakannya menjadi tawaran yang
menggiurkan bagi para pelaku usaha dan bisnis untuk
berekspansi melakukan promosi ke media sosial. Namun
biasanya media sosial hanya sebagai instrument penghantar
yang akan terhubung pada web utama pelaku ekonomi.
Jumlah pengguna yang besar dan interaksi yang hampir
tanpa henti pada media sosial menjadikan aplikasi-aplikasi
ini memiliki peminat tertinggi dalam mengakses internet.
Sebut saja facebook, twitter, Instagram, path, linkedin, dan
aplikasi lainnya. Pada komunitas pelaku ekonomi, mereka
lebih suka media sosial yang juga dapat menjadi mini blog
atau mini web bagi kelengkapan informasi barang produksi
mereka. Seperti Instagram yang dapat menyajikan gambar
dengan caption kalimat sebagai deskripsi gambar. Dan
juga facebook yang masih menjadi primadona sebagian
masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial.
Alasannya karena mudah dalam menggunakan dan
mayoritas pengguna internet Indonesia pasti memiliki
facebook.
Jumlah pangsa pasar yang amat besar membuat
Indonesia menjadi tujuan berbagai aktifitas para pelaku
ekonomi, namun sayang, sejak era millennium global hingga
saat ini, Indonesia masih menjadi sasaran pasar atau target
market dari aktifitas ekonomi global. Karakteristik yang
konsumtif dari masyarakat Indonesia membuka peluang
100 ******

bagi para pelaku ekonomi dunia menjadikan Indonesia


target market yang potensial.
Melihat kesempatan yang masih besar dan persaingan
yang begitu bebas ini, peluang bagi desa untuk mendapat
tempat bahkan merebut pangsa pasar di negeri sendiri amatlah
terbuka. Penggunaan e-commerce apapun instrumennya
menjadi sangat urgent dewasa ini. Jika enggan bergelut
dengan globalisasi dan kecepatan informasi maka desa tetap
akan hanya menjadi penonton dikala dunia sudah berlari
dengan kecepatan super sonic. Desa harus mampu berdaya
dan mengambil peran sekecil apapun dalam era global.
Menjadi desa yang meng-global tentu bukanlah mimpi dan
harapan kosong semata. Semua bisa terjadi jika berbagai
pihak mau turun tangan dalam hal sekecil apapun dan desa
mau membuka diri dari kungkungan tradisionalisme tanpa
melepas adat dan budaya yang menjadi karakter asli desa.

Aspek Hukum dan Dukungan Pemerintah


Kesempatan ekonomi yang terbuka lebar seperti pada
pembahasan mengenai e-commerce diatas tidak akan berjalan
dengan baik tanpa kehadiran pemerintah dan peran
seluruh masyarakat pedesaan di Indonesia. Persaingan dan
kompetisi capital yang begitu cepat membuat ekonomi
pedesaan harus tumbuh dalam persaingan pasar yang
absolut dan beradaptasi secepat mungkin guna menangkap
potensi ekonomi. Termasuk dalam bidang cyber, internet
ataupun e-commerce.
Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang
menopang hal itu merupakan hak bagi desa dan menjadi
Desa Millenium Ketiga: 101
Prospek & Tantangan Bisnis

tanggung jawab penuh pemerintah, pusat maupun


daerah. Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang desa
mengamanatkan demikian. Disadari bersama bahwa
pemberdayaan masyarakat desa pada umumnya masih
memerlukan uluran tangan pemerintah, secara materil
maupun moril.
Lebih jauh ketersediaan akses internet di pedesaan pun
diamanatkan UU Desa dalam pasal 86 ayat (1) sampai ayat
(3), bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib mengadakan
ketersediaan jaringan internet di desa. UU tersebut
sebenarnya secara eksplisit diperuntukkan bagi pemerintahan
desa guna menjalankan amanat UU Desa Pasal 82 dan
86 tentang pemerintahan desa yang wajib menyediakan
pelaporan anggaran desa dan dapat diakses oleh siapa saja
juga darimana saja. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU
No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Namun hal tersebut tidak menutup akses publik
(masyarakat desa) untuk memanfaatkan ketersediaan
jaringan internet yang ada di desanya. Lebih jauh lagi, desa
sebagai institusi pemerintahan dapat bekerja sama dengan
masyarakat desa dalam hal pemberdayaan masyarakat
di bidang ekonomi dengan memanfaatkan ketersediaan
jaringan internet di pedesaan.
Artinya, kesempatan masyarakat desa berdaya secara
ekonomi dan kedepankan aspek bisnis dalam penggunaan
internet di desa didukung penuh oleh undang-undang dan
harus dijalankan oleh negara. Tinggal menjalankan system
yang sudah ada dan terbangun, maka masyarakat desa siap
menatap hari cerah dengan berdaya bersama.
102 ******

Daftar Pustaka
http://desamembangun.id/kelengkapan-implementasi-
pasal-82-dan-86-uu-des_a/
Marshall, Mcluhan, Understanding Media: The Extensing
of Man, The MIT Press,1964.
Soekanto, Sarjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali
Pers, 2008.
Onno W. Purbo dan Aang Arif, Mengenal E-Commerce,
Elex Media Komputindo, 2001
Laudon, Kenneth C, E-Commerce: Business, Technology,
Society (4th Edition), Upper Saddle River, New
Jersey: Pearson Education, 2008.
Ancaman Digital
Divide bagi
E-Commerce

Harryadin Mahardika
Kepala Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Univesitas Indonesia

Para pemain e-commerce mulai menyadari bahwa


perbedaan kualitas jaringan internet di perkotaan dan
pedesaan, atau yang sering disebut digital divide, dapat
mengancam hilangnya potensi pertumbuhan mereka di
masa depan. Saat ini saja, lebih dari 80 persen transaksi
e-commerce dilakukan oleh penjual maupun pembeli yang
tinggal di perkotaan. Sementara baru kurang dari 20 persen
yang dilakukan oleh penjual dan pembeli yang tinggal di
daerah pedesaan.
Padahal dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah,
daerah pedesaan seharusnya bisa menyumbang jumlah dna
nominal transaksi yang lebih besar lagi. Lalu bagaimana
bentuk kerjasama yang perlu dilakukan oleh pemerintah
dan pemain e-commerce untuk mengurangi kesenjangan

103
104 ******

akibat digital divide ini? Selain itu, strategi apa saja yang
dapat digunakan oleh e-commerce untuk sementara waktu
dengan kondisi infrastruktur jaringan internet seperti
sekarang ini?

Kesenjangan Digital
Jaringan internet berkecepatan tinggi dan gadget
yang mumpuni saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok
masyarakat, tak terkecuali masyarakat pedesaan. Selain
sebagai sumber informasi, internet juga bisa memiliki
manfaat lain yang sangat diperlukan masyarakat desa,
yaitu manfaat ekonomi. Sebagian besar populasi pedesaan
di Indonesia bekerja sebagai petani dan nelayan, yang
menghasilkan berbagai macam komoditas bahan makanan.
Kesenjangan digital dalam konteks wilayah pedesaan
(dan daerah terpencil) di Indonesia umumnya terjadi karena
empat faktor berikut:
Pertama karena tidak adanya infrastruktur jaringan
internet. Pemerintah dan swasta memiliki keterbatasan
dalam berinvestasi membangun jaringan ke seluruh sudut
Indonesia. Faktor geografis Indonesia yang terdiri dari
banyak kepulauan dan dipenuhi dataran tinggi pegunungan,
membuat skala ekonomi dari investasi yang dilakukan
sulit dicapai. Diperkirakan 10 persen dari total populasi
Indonesia mengalami isolasi digital secara temporer
maupun permanen.
Penyebab kesenjangan kedua adalah ketersediaan
gawai yang mampu mengakomodasi perkembangan
teknologi internet terbaru. Karena keterbatasan akses
Desa Millenium Ketiga: 105
Prospek & Tantangan Bisnis

dan daya beli, masyarakat pedesaan umumnya memiliki


gawai dengan teknologi yang sudah tertinggal. Hal ini
menyebabkan mereka tidak bisa mengakses situs, aplikasi
maupun platform digital yang dirancang untuk teknologi
terbaru. Sehingga meskipun secara jaringan internet ada,
namun penggunaannya tidak bisa dimaksimalkan.
Kesenjangan ketiga disebabkan lebih mahalnya harga
layanan voice dan data di daerah terpencil, luar Jawa dan
pedesaan pada umumnya, dibandingkan di kota-kota besar.
Perbedaan harga ini membuat akses internet menjadi barang
yang masih eksklusif bagi masyarakat pedesaan. Hanya
sedikit saja yang memiliki daya beli. Sisanya hanya bisa
mengakses layanan media sosial yang sejauh ini seringkali
diberikan secara cuma-cuma oleh provider telepon seluler.
Keempat, terjadi kesenjangan akibat kurangnya
edukasi cara memanfaatkan internet secara optimal. Banyak
masyarakat pedesaan dan daerah terpencil yang memerlukan
pendampingan untuk menggunakan internet untuk tujuan
yang positif dan produktif. Kondisi ini diperkuat akibat
adanya rasa skeptis masyarakat desa tentang internet dan
dunia digital. Sebagian masih melihat internet dari sisi yang
negatif, dan karena itu cenderung menutup diri untuk
belajar tentang internet dan dunia digital lebih lanjut.
Penelitian oleh Sri Aryanti dari Kementerian Kominfo
memberikan gambaran tentang indeks kesenjangan digital
di berbagai provinsi di Indonesia. Dalam penilitian tersebut,
indeks kesenjangan dibagi dalam beberapa kompartemen.
Misalnya untuk indeks network, provinsi dengan
kesenjangan terkecil adalah DKI Jakarta, kemudian
106 ******

berturut-turut Kepulauan Riau, D.I Yogyakarta, Bali,


Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau,
Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Jawa Barat.
Kesenjangan digital juga bisa diukur menggunakan
infostate suatu propinsi. Sampai dengan saat ini propinsi
DKI Jakarta dijadikan acuan untuk perhitungan digital
divide karena nilai infostate paling tinggi. Sementara Papua
adalah provinsi dengan nilai kesenjangan digital yang paling
tinggi di Indonesia, disusul oleh propinsi Nusa Tenggara
Timur. Data ini cukup intuitif, dalam artian pembangunan
infrastruktur internet di kedua provinsi tersebut memiliki
kendala yang besar. Rendahnya pembangunan infrastruktur
internet dan digital, terutama infrastruktur wireless yaitu
Base Transceiver Station (BTS) untuk teknologi 2G, 3G
maupun 4G, adalah penyebab utamamya.
Sementara itu, selain Jakarta, provinsi D.I Yogyakarta
juga paling sedikit mengalami kesenjangan digital. Selain
karena infrastruktur yang sudah sangat baik, ternyata status
Yogyakarta sebagai kota pelajar juga berperan besar dalam
mengurangi indeks kesenjangan. Sebagaimana diketahui,
jumlah mahasiswa yang banyak dapat memberi multiplier
effects yang besar dan cepat. Ini merupakan bukti bahwa
edukasi dan skill dalam menggunakan internet sangat
penting sekali dalam mengurangi kesenjangan.
Desa Millenium Ketiga: 107
Prospek & Tantangan Bisnis

Bagaimana E-commerce Menyikapi Digital


Divide?
Fakta tentang terjadinya kesenjangan digital membuat
e-commerce perlu mencari cara yang lebih elegan untuk
menggarap pasar pedesaan dan wilayah terpencil. Tiga
strategi yang mungkin bisa dilakukan untuk konteks
Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, membangun kerjasama dengan pengusaha
lokal atau kantor pos untuk membangun tempat dengan
koneksi internet yang mumpuni agar masyarakat desa bisa
melakukan pembelian online. Saya menyebutnya Pusat
Belanja Online Masyarakat (Pusbelonmas). Di tempat
tersebut disediakan perangkat, gawai, jaringan internet dan
kasir pembayaran. Disediakan staf khusus untuk membantu
proses pembelian dan pembayaran. Barang yang dibeli akan
dikirimkan ke tempat tersebut untuk mengurangi biaya
logistik. Konsumen mengambil barang di Pusbelonmas
setelah diberikan pemberitahuan.
Kedua, membangun ekosistem rantai pasokan yang
bersifat lokal. Strategi ini khusus untuk produk-produk
yang bisa dihasilkan di tingkat lokal, seperti oleh-oleh,
makanan khas, hasil kerajinan dan sebagainya. E-commerce
perlu memiliki tim business development di sentra-sentra
produksinya, yang bertugas untuk memberikan pelatihan
dan pendampingan selama pembentukan ekosistem
tersebut. Ini akan mendorong penjual-penjual online akan
tumbuh di daerah pedesaan.
Terakhir, e-commerce bisa membangun sinergi dengan
perusahaan kurir dan logistik untuk membuka jalur reverse
108 ******

logistic dengan membawa produk-produk lokal untuk


mengisi kapasitas reverse logistic yang belum dioptimalkan.
Model bisnisnya terintegrasi dengan strategi kedua, yaitu
ekosistem rantai pasokan baru yang bersifat lokal.
Demikian tiga strategi jangka panjang yang bisa
mulai diterapkan pemain e-commerce di tanah air untuk
mengoptimalkan potensi masyarakat pedesaan yang selama
ini memngalami kesenjangan digital. Investasi di tiga strategi
ini cukup penting dilakukan karena pasar perkotaan akan
segera mengalami saturasi di beberapa tahun ke depan.
Perempuan
yang mengubah
wajah desa:
UU 6/2014 dan
pembangunan yang
inklusif di Indonesia 1

R. Yando Zakaria2

Pengantar
Meski tidak menjadi bagian pendorong awal dalam
gerakan advokasi UU Desa yang baru (Vel, Zakaria, dan
Bedner, 2016), gerakan perempuan menjadi salah satu
pihak yang aktif dalam proses legislasi UU Desa. Lebih

1
Makalah yang dipresentasikan pada lokakarya “New Law,
New Villages? Changing rural Indonesia”. Leiden, 19 – 20 May 2016.
Diselenggarakan oleh KITLV bekerjasama dengan Van Volenhoven
Institute, Leiden University, Program Asian Modernities and
Traditions (AMT), dan the Norwegian Centre for Human Rights,
University of Oslo (NCHR).
2
Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan
Agraria (KARSA), Yogyakarta; dan pengajar tamu pada Jurusan Ilmu
Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM.

109
110 ******

dari itu, diawali pada saat-saat menjelang penetapan, dan


terlebih lagi pada masa pasca-penetapan kebijakan baru
itu, berbagai organisasi organisasi masyarakat sipil yang
peduli dengan persoalan perempuan (dan anak) dapat
dikatakan menjadi pihak yang paling aktif dalam upaya
mengoptimalkan keberadaan kebijakan baru itu sebagai
intrumen pencapaian tujuan gerakannya, yakni proses
pembangunan yang pro pada pendekatan inklusi sosial;
bahkan sebelum Pemerintah sendiri belum siap dengan
berbagai instrumen kebijakan turunan lainnya (Simarmata
& Zakaria, 2016).3
Meski capaiannya minimalis (Koalisi Perempuan
Indonesia, 2014; PP Aisyiah, 2015; Simarmata & Zakaria,
2016), perspektif baru yang ditawarkan gerakan perempuan
itu akhirnya diadopsi juga dalam UU Desa. Bagi sebagian
organisasi dan/ataupun jaringan kerja masyarakat sipil yang
peduli dengan masalah perempuan dan anak di perdesaan,
Kebijakan baru itu dirasa cukup memberikan harapan baru

3 Sejauh ini cara untuk mendefinisikan inklusi sosial (social


inclusion) adalah dengan mengacu pada definisi eksklusi sosial (social
exclusion). Nabin Rawal, dengan mengutip P. Francis, mendefiniskan
eksklusi sosial sebagai suatu proses yang membuat individu
atau kelompok tertentu tidak dapat berpartisipasi sebagian atau
sepenuhnya, dalam kehidupan sosial mereka. Dengan membalikkan
definisi tersebut, maka inklusi sosial dapat diartikan sebagai suatu
proses yang memungkinkan individu atau kelompok tertentu untuk dapat
berpartisipasi sebagian atau seluruhnya dalam kehidupan sosial mereka.
Alasan mengapa inklusi sosial didefinisikan dengan cara seperti itu
tidak lepas dari kaitannya dengan eksklusi sosial. Keduanya dilihat
sebagai dua sisi dari satu mata uang. Eksklusi sosial adalah counterpart
bagi inklusi sosial, dan sebaliknya. inklusi sosial secara gradual
berangkat dari akses, partisipasi dan pemberdayaan (Rawal, 2008; Gidley,
et al. 2010).
Desa Millenium Ketiga: 111
Prospek & Tantangan Bisnis

bagi perubahan wajah desa ke depan (Institute Mosintuwu


dan Sekolah Perempuan Poso, 2013; dan Program MAMPU,
2014).
Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan pokok tentang
apa kekuatan dan kelemahan norma-norma hukum tentang
iklusi sosial yang terkandung dalam UU Desa jika dibandingan
dengan paraturan perundang-undangan yang juga
mempromosikan pendekatan inklusi sosial? Apakah norma-
norma hukum yang pro-inklusi sosial itu dapat membantu
para pihak yang concern lebih leluasa dalam mendorong
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang
lebih inklusif? Apa saja kendala yang dihadapi?
Pada akhirnya, tulisan ini juga mempertanyakan apakah
peluang pendekatan inklusi sosial yang terkandung dalam
UU Desa yang baru ini mampu memperbaharui konstelasi
sosial-politik dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa?
Kebijakan-kebijakan baru apa yang dibutuhkan agar cita-
cita inklusi sosial dalam UU Desa menjadi kenyataan di
tingkat lapangan?

UU Desa dan pembangunan yang inklusif di


Indonesia
Program pembangunan yang inklusif bukanlah
barang baru dalam pendekatan pembangunan (perdesaan)
di Indonesia. Namun sejauh ini capaiannya masih belum
menggembirakan. Program-program yang ada selama ini
nyatanya (a) belum mampu menggapai kelompok-kelompok
yang ‘paling marjinal; (b) mutu partisipasi rendah yang masih
112 ******

rendah (75% peserta forum deliberative hanya datang untuk


mendengarkan; keputusan yang diambil menguntungkan
kelas atas di desa; (c) program-program dengan single target
group pun belum mampu menggapai kelompok yang paling
rentan (misalnya kepala keluarga perempuan yang miskin);
(d) ada program dengan special single target group yang sanggup
menggapai kelompok termarjinal itu namun pengaruhnya pada
keputusan di arena politik formal relatif masih terbatas; dan (e)
maka secara umum, struktur sosial yang tidak adil tidak/belum
banyak berubah (Gibson and Woolcock, 2005; McLaughlin,
Satu, & Hoppe, 2007; Voss, 2008; AKATIGA, 2010; SMERU,
2010, Soehendera, 2010; dan John F. McCarthy, et.al. in press.).
Dalam situasi yang demikian para pendukung UU
Desa setidaknya berhasil menyorongkan tiga bentuk inklusi
sosial dalam UU Desa. Masing-masing dalam bentuk
(a) pengakuan atas susunan asli masyarakat hukum adat
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang didasarkan
pada hak asal-usul; (b) pemberian kesempatan secara
khusus kepada perempuan untuk turut berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (ketewakilan
pada BPD); dan (c) inklusi sosial yang dialamatkan kepada
semua warga desa, termasuk kelompok marginal, untuk
berpartisipasi dalam penataan desa, perencanaan desa,
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Berdasarkan uraian mengenai perbandingan
kandungan kualitas inklusi sosial dalam UU Desa dengan
beberapa UU lainnya (Simarmata & Zakaria, 2016),4

Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah UU mengatur


4

mengenai pelayanan publik atau organisasi yang menyelenggarakan


Desa Millenium Ketiga: 113
Prospek & Tantangan Bisnis

dapat dikatakan bahwa, pertama, sama seperti beberapa


UU lainnya, UU Desa meneruskan tradisi inklusif
dalam sistem legislasi nasional. Bila yang menjadi ukuran
adalah partisipasi warga maka hampir semua UU memiliki
ketentuan mengenai hal tersebut. Berbagai UU di bidang
pengelolaan sumberdaya alam mewajibkan pemerintah
untuk menyertakan masyarakat dalam pengurusan hutan,5
penyusunan perencanaan perkebunan (nasional dan
daerah),6 pengelolaan perikanan,7 pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil,8 dan dalam penyelenggaraan
penataan ruang.9
Kedua, jika berbicara mengenai partisipasi, yang
merupakan tingkatan kedua inklusi sosial, UU Desa
relatif lebih maju. Bila empat dari lima UU terkait lainnya
menentukan partisipasi hanya dalam bentuk memberikan

pelayanan publik, dan perencanaan pembangunan. Undang-undang


yang terkait dengan pelayanan publik atau organisasi pelayanan
publik adalah (1) UU Pemerintahan Daerah, (2) UU Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
(3) UU Pelayanan Publik, (4) UU Aparatur Sipil Negara, dan UU
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
5
Pasal 68 s/d Pasal 70 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
6
Pasal 8 dan Penjelasannya UU No. 18/2004 tentang
Perkebunan.
7
Pasal 6 Ayat (2) dan Penjelasan Umum.
8
Pasal 60 & Pasal 61 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah oleh
UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
9
Pasal 65 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
114 ******

masukan maka UU Desa sudah sampai pada bentuk mengambil


keputusan. Partisipasi dalam bentuk tersebut ada pada
ketentuan yang mewajibkan adanya wakil unsur perempuan
dan masyarakat miskin di dalam musyawarah desa, serta
wakil perempuan dalam keanggotaan BPD. Dalam soal
ini hanya UU Pemerintahan Daerah yang sama dengan
UU Desa yang menentukan bahwa masyarakat ikut serta
dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan aset
dan/atau sumber daya alam daerah. Jika dikaitkan dengan
tingkatan tertinggi inklusi sosial, yaitu pemberdayaan, UU
Desa bahkan terlihat sangat maju dibandingkan dengan
UU terkait lainnya. UU Desa memiliki ketentuan mengenai
pemberdayaan baik sebagai tugas pemerintahan desa
maupun hak masyarakat desa. Sekali lagi, dalam hal ini UU
Desa hanya bisa disamai oleh UU Pemerintahan Daerah,
UU Kehutanan,10 UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil,11 dan UU Perikanan.12
Ketiga, cara UU Desa untuk inklusif tidak hanya dengan
memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua
warga negara, termasuk kelompok marginal, melainkan
juga dengan ‘perlakuan khusus’. Perlakuan khusus tersebut
tampak dalam ketentuan yang mensyaratkan keberadaan
unsur atau perwakilan kelompok marginal dalam forum
atau lembaga tertentu. Namun dalam hal ini UU Desa masih
belum semaju UU Pelayanan Publik yang mengharuskan
penyelenggara pelayanan publik untuk memberikan

10
Pasal 67 Ayat (1) huruf c.
11
Pasal 63.
12
Pasal 60 s/d Pasal 64.
Desa Millenium Ketiga: 115
Prospek & Tantangan Bisnis

perlakuan khusus kepada kelompok masyarakat rentan


tanpa adanya biaya tambahan.
Jadi, bila dibandingkan dengan kelima UU terkait dan
beberapa UU di bidang pengelolaan sumberdaya alam,
kandungan inklusi sosial dalam UU Desa relatif lebih punya
kualitas karena: (i) menaikan tingkat partisipasi ke ikut serta
mengambil keputusan; (ii) mendorong inklusi sosial ke
tingkatan pemberdayaan, dan (iii) memastikan kelompok
marginal mendapatkan hak dan kesempatan yang sama
dengan memberikan perlakuan khusus. Namun, dalam
hal-hal tertentu, kandungan inklusi sosial dalam UU Desa
masih di bawah kandungan UU lain karena UU lain sudah
lebih eksplisit dalam melindungi kelompok marginal.13

Respons organisasi masyarakat sipil


Sejak UU Desa ditetapkan pada akhir 2013 lalu,
berbagai organisasi dan proyek yang bekerja untuk isu
sosial inklusi berusaha merespon pemberlakuan UU
Desa. Respon tersebut ada yang berbentuk reaktif (jangka
pendek) namun ada juga yang sudah dirancang sedemikian
rupa (jangka panjang). Respon yang bersifat reaktif
seluruhnya berupa kegiatan sosialisasi/diseminasi UU
Desa. Dari segi pengelolaan, kegiatan sosialisasi/diseminasi
dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan sosialisasi/
diseminasi sebagai kegiatan selingan atau materi tambahan

13
Kajian Simarmata dan Zakaria (2016) terhadap perangkat
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terkait
implementasi UU Desa menunjukkan bahwa dua peraturan
pemerintah dan beberapa peraturan setingkat menteri juga lebih
maju jika dibandingkan dengan beberapa UU sektoral lainnya.
116 ******

dalam sebuah pertemuan, dengan durasi waktu selama


satu sampai dua jam. Kedua, menyelenggarakan sosialisasi/
diseminasi sebagai kegiatan tersendiri dengan memakan
waktu satu atau 2 hari.
Adapun respon yang bersifat terencana terjadi apabila
organisasi dan proyek memiliki program baru yang dilahirkan
setelah pemberlakuan UU Desa. Sekedar menyebut
contoh adalah Hibah Inovasi MAMPU yang mendukung
2 LSM untuk menguatkan partisipasi perempuan dalam
perencanaan dan pembuatan aturan desa. Contoh lainnya
adalah kursus sehari mengenai UU Desa yang dilakukan
oleh KARSA (Yogyakarta). Kursus sehari tersebut tidak
dipungut biaya. Selain dari bentuk atau cara merespon,
inisiatif organisasi dan proyek dalam rangka menjadikan
UU Desa sebagai arena mempromosikan perspektif inklusi
sosial juga bisa dicermati dengan melihat program dan
kegiatan yang dikembangkan dan diselenggarakan. Secara
garis besar program dan kegiatan tersebut berkenaan
dengan sosialisasi/diseminasi dan implementasi.
Program dan kegiatan implementasi terbilang
kompleks karena mencakup berbagai isu dan kegiatan.
Implementasi dapat diurai lagi ke dalam isu dan kegiatan-
kegiatan (a) Mengawal penyusunan rancangan peraturan;
(b) Mengawal pelaksanaan; (c) Meningkatkan Partisipasi
warga desa; dan (d) Pengembangan ekonomi desa.
Mengawal penyusunan rancangan peraturan mencakup
kegiatan menyusun dan menyiapkan masukan-masukan
terhadap rancangan peraturan yang disiapkan oleh pihak
lain (pemerintah), dan terlibat dalam penyusunan rancangan
Desa Millenium Ketiga: 117
Prospek & Tantangan Bisnis

peraturan. Pandangan kritis dan masukan atas Rancangan


Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Desa, yang
disusun oleh 50 perwakilan organisasi perempuan pada
Mei 2014 lalu, merupakan contoh dari menyusun masukan
terhadap rancangan peraturan yang disiapkan oleh lembaga
lain.14 Di tingkat Kabupaten, Institute Mosintuwu berupaya
menghasilkan rekomendasi bagi UU Desa dan aturan-
aturan pelaksanaannya melalui Kongres Perempuan
Poso yang diseleggarakan pada 25 – 27 Maret 2014, yang
melibatkan sekitar 1.000 perempuan dari 70 desa yang ada di
Kabupaten Poso. Dalam Rekomendasi Hasil Kongres yang
berisikan 10 rekomendasi, antara lain disebutkan “dalam
Peraturan Pemerintah harus ditegaskan bahwa Pemerintah
Desa berkewajiban melibatkan perempuan dalam setiap
lembaga-lembaga pemerintahan desa minimal 50%”;
“Pemerintah Desa berkewajiban menganggarkan kegiatan
pemberdayaannperempuan minimal 50% dalam APBDes
dan 30% dalam program pembanguna kabupaten”;
“Pemerintah Kabupaten berkewajiban membuat Peraturan
Daerah tentang keterlibatan perempuan minimal 50% dalam
perencanaan di musyawarah desa dan dalam pelaksanaan
dan pengawasan pembangunan desa’.15

14
Judul lengkap dokumen rumusan masukan tersebut adalah
Pandangan Kritis dan Masukan dari Gerakan Perempuan Indonesia
untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Desa.
15
Rekomendasi Kongres Perempuan Poso untuk Tim Perumus
Peraturan Pemerintah untuk UU Desa.
118 ******

Pengalaman dari Poso


Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA)
adalah salah satu jaringan kerja masyarakat sipil yang
memang didirikan untuk mengadvokasi kebijakan yang
berkaitan dengan pembaruan desa dan agraria, dengan
berbagai perpektif, termasuk perspektif kesetaraan jender.
Salah seorang pendri KARSA, Kamala Chandrakirana,
yang kemudian juga menjadi Sekretaris Jenderal Komisi
Nasional Hak Asasi Perempuan, dengan cara kerjanya
sendiri mempromosikan peluang yang dibuka oleh, ketika
itu masih Rancangan Undang-Undang Desa, bagi kemajuan
upaya pembelaan hak-hak perempuan (dan anak) di tingkat
komunitas. Gayung pun bersambut. Saya, selaku salah satu
Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia diundang sebagai pembicara
dalam rapat tahunan Program Mampu (Nasional) dan
Kongres Perempuan (Kabupaten) Poso yang diinisiasi
oleh Institut Mosintuwo, sebuah organisasi masyarakat
sipil lokal. Sebagaimana telah disinggung, kedua kegiatan
ini melahirkan masukan yang lebih komprehensif bagi
penyempurnaan UU Desa.16

16
Seiring dengan perjalanan waktu KARSA juga dilibatkan
dalam mengembangkan kurikulum dam materi Sekolah Perempuan
yang diinisiasi oleh YSKK, SOLO, di mana, sebagaimana yang sudah
terjadi di Kabupaten Poso, UU Desa sebagai materi ajar yang dikaji
secara intesif. Pada masa berikut, HIVOS, sebuah lembaga donor
dari Negeri Belanda juga tertarik untuk mengoptimalisasi UU Desa
bagi kemajuan program yang berkaitan dengan hak-hak perempuan
dan anak di 3 (tiga) kabupaten lainnya. Masing-masing Kabupaten
Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dan kabupaten Kutai Barat dan
Mahakam Hulu di Kalimantan Timur. Proses evaluasi di empat
wilayah belajar yang ditemani oleh KARSA ini silahkan taut ke
Desa Millenium Ketiga: 119
Prospek & Tantangan Bisnis

Beberapa tahun sebelum proses legislasi RUU Desa


bergulir Intitute Mosintuwu telah memiliki program
pengembangan partisipasi perempuan di tingkat desa dalam
menciptakan dan melestarikan perdamaian pasca-konflik
antar-kelompok yang cukup masif dan sepertinya belum
akan usai tuntas (Komnas HAM, 2005; Alganih, 2014;
Rendi, 2014; dan Manna, 2014)17 Asumsi dasarnya adalah
perdamaian hanya akan abadi jika para warga di tingkat akar
rumput memahami konteks konflik yang terjadi itu sendiri.
Asumsi ini berangkat dari temuan Lian Gogali, pendiri
Institute Mosintuwu dan pencetus ide Sekolah Perempuan,
sewaktu terlibat dalam berbagai upaya untuk menciptakan
perdamaian yang diselenggarakan oleh pemerintah,
lembaga donor, maupun berbagai jaringan kerja organisasi
masyarakat sipil. Pengalaman Lian itu menunjukkan
bahwa seringkali pihak korban yang sesungguhnya dari
konflik yang terjadi itu tidak memahami benar tetang apa
sesungguhnya yang terjadi.
Melalui Sekolah Perempuan, Institute Mosintuwu ingin
membangun kesadaran kritis warga masyarakat di daerah
konflik itu, khususnya kaum perempuan. “Karena kaum
perempuanlah yang paling menderita dalam konflik ini.
Dalam kondisi normal saja kaum perempuan tersingkirkan,
apalagi dalam keadaan yang tidak normal ini,” jelas Lian
suatu ketika. Melalui Sekolah Perempuan kaum perempuan

https://www.youtube.com/watch?v=54gJX7AN_p0
17
Lihat juga http://www.arrahmah.com/
news/2016/03/22/operasi-tinombala-kontak-tembak-di-poso-2-
tewas.html
120 ******

yang berasal dari berbagai desa yang ada di Kabupaten


Desa diajak berdiskusi dan memahami masalah-masalah
ketidak-adilan yang diderita oleh kaum perempuan, dan
pada tingkat selanjutnya, nilai-nilai universal seperti HAM
dan gerakan anti-kekerasan, yang perlu dihayati dalam
menciptakan kehidupan ke depan yang aman, damai dan
sejahtera.
Lalu mengapa pula UU Desa menjadi bahan belajar
yang cukup intens dipelajari dalam 2 tahun terakhir ini?
Kutipan-kutipan berikut mungkin bisa menjelaskannya “Di
setiap desa, perempuan itu ada. Setiap saat perempuan yang
ada di desa,” suara ibu Yarlin nampak bergetar. “Tapi kami
tidak pernah dilibatkan. Dianggap tidak ada. Sekarang tidak
bisa begitu lagi. Makanya kami disini. Kaum perempuan
hadir untuk sama-sama membangun di desa,” seru ibu
Yarlin. Pernyataan ibu Yarlin disambut tepuk tangan meriah
dan teriakan “hidup perempuan Poso” dari beberapa sudut
ruangan berstruktur bambu pagi hari itu. Selain ibu Yarlin
yang berasal dari Desa Didiri, hadir pula 60 perempuan
lainnya dari 39 desa di Kabupaten Poso dan dari dua
kecamatan di Kabupaten Morowali termasuk kurang lebih
50 perwakilan pemerintah desa termasuk BPD dan LPM.
Kehadiran mereka mewakili semangat bersama masyarakat
di desa untuk menyambut dan mengimplementasikan UU
Desa dengan mengikuti workshop Langkah Bersama UU
desa.18
Seperti yang disampaikan ibu Yarlin, Institut Mosintuwu

18
http://perempuanposo.com/2014/11/10/perempuan-
membangun-indonesia-dari-desa-di-poso/
Desa Millenium Ketiga: 121
Prospek & Tantangan Bisnis

yang menyelenggarakan kegiatan ini mempercayai bahwa


membangun desa tanpa melibatkan perempuan bukan saja
tidak adil tetapi akan membuat pembangunan tersebut
berjalan timpang. Kehadiran UU Desa telah memberikan
harapan yang penting bagi masyarakat desa untuk kembali
berdaulat dalam mengelola desa. Namun sayangnya,
kelompok perempuan adalah pihak yang paling terakhir
mendapatkan informasi mengenai UU Desa. Pengetahuan
selama ini dimonopoli oleh para pejabat yang sebagian besar
adalah laki-laki. Oleh karena itu memberikan informasi
mengenai UU Desa kepada kelompok perempuan adalah
bagian penting untuk membangun sistem pengetahuan
bersama yang adil sehingga selanjutnya bisa bersama-sama
dapat dilibatkan dalam pembangunan di desa.19
Pada kesempatan lain tercatat pula pernyataan berikut:
“Pengalaman perempuan terhadap sering diabaikannya hak
layanan masyarakat dalam desa menjadi salah satu motivasi
anggota Sekolah Perempuan yang bergabung di tim layanan
masyarakat melakukan kampanye dan advokasi pemenuhan
hak layanan masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan.
Tujuannya agar masyarakat miskin dan marginal di dalam
desanya mengenal dan memahami hak-nya terutama
mendapatkan pelayanan publik yang seharusnya dan yang
disediakan.”20
Penyelenggaraan Sekolah Perempuan dalam

19
http://perempuanposo.com/2014/11/10/perempuan-
membangun-indonesia-dari-desa-di-poso/
20
http://perempuanposo.com/2016/02/04/perempuan-
poso-memimpin-pembaharuan-desa/
122 ******

mengoptimalisasi UU Desa, jika dapat dikatakan begitu,


dilakukan secara bertingkat. Tahap pertama, kegiatan
memperajari UU Desa dan proses Sekolah Perempuan
itu dimaksudkan untuk menghasilkan ‘calon pelatih’ yang
nantinya akan menggulirkan diskusi-diskusi seputar peluang
dan tantangan penerapan UU Desa ke depan. ‘Pelatihan
untuk pelatih’ ini, jika dapat dikatakan begitu dilakukan
secara bertahap, yang mencakup tidak kurang dari 70
(tujuhpuluh) orang peserta Sekolah Perempuan. Tahap
pertama lebih banyak membicarakan hal-hal yang bersifat
menyeluruh dan umum tentang UU Desa; tahap kedua lebih
menekankan masalah perencanaan dan pengganggaran
pembanguna di desa; dan tahap tiga pengulangan beberapa
materi yang belum terlalu jelas dalam pengalaman belajar
pada dua tahap sebelumnya.
Pelatihan tahap pertama, agar proses belajar lebih fokus,
pesertanya secara khusus adalah perempuan yang selama
ini memang sudah mengikuti Sekolah Perempuan. Namun,
berdasar pengalaman pasca-pelatihan tahap pertama, dirasa
perlu juga melibatkan komponen-komponen pemerintahan
ataupun masyarakat lainnya pada proses-proses belajar
pada tahap berikut. Kebutuhan ini juga muncul dari aparat
pemerintah desa sendiri yang merasa ‘tertinggal’, karena
pada saat itu pemerintah daerah setempat belum melakukan
sosialisasi UU Desa. Agar rencana-rencana perubahan
di tingkat desa bisalebih efektif maka kegiatan-kegiatan
memperlajari UU Desa padat tahap berikutnya perlu juga
melibatkan para pihak lain yang ada di tingkat desa. Dan
itu dilaksanakan pada Pelatihan untuk pelatih Tahap Kedua
dan Tahap Ketiga. Setiap selesai melakukan pelatihan pada
Desa Millenium Ketiga: 123
Prospek & Tantangan Bisnis

setiap tahapnya para peserta memiliki pekerjaan rumah


untuk menyapaikan pengetahuannya kepada peserta
Sekolah Perempuan di tingat desa. Sekurang-kurangnya,
pada tingkat desa, ada sekitar 30 orang yang mengikuti
proses Sekolah Desa itu.
Kristalisasi kurikulum dan materi ‘sekolah desa’
berdasarkan kegiatan di Poso, dan kemudian diikuti oleh
inisiatif di empat kabupaten lainnya, adalah sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel berikut.

Untuk kebutuhan belajar bersama, pada tahap


berikutnya, para alumni ‘sekolah desa’ yang diselenggrakan
oleh Sekolah Perempuan Poso dan Institute Mosintuwu
124 ******

ini membangun jejaring yang mereka sebut sebagai


“Forum Belajar UU Desa”. Salah satu agenda bersama
mereka, untuk pertama kalinya adalah menyusun sebuah
dokumen yang mereka sebut sebagai ‘Buku Pintar tentang
UU Desa”. Pada tahap selanjutnya, baik melalui “Forum
Belajar UU Desa” ataupun melalui Sekolah Perempuan
Poso, para alumni ‘sekolah desa’ ini aktif melakukan
advokasi tentang perlunya segera Pemerintah Daerah Poso
mempersiapkan peraturan-perundangan yang diperlukan
bagi penerapan UU Desa di Kabupaten Poso. Selain itu,
mereka kemudian juga telah menyusun agenda advokasi
yang bertujuan untuk memperbesar manfaat UU Desa bagi
gerakan perempuan di Kabupaten Poso melalui penyusuan
Rencana Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa
dan Badan Permusyawaratan; Rencana Peraturan Daerah
tentang Perencanaan dan Pelaksanaan Pembanguna Desa;
dan Rencana Peraturan Daerah tentang Penguatan dan
Perluasan Partisipasi Perempuan. Ketiga rencana kebijakan
daerah itu tentu saja diusulkan menjadi kebijakan yang pro-
kepenting perempuan. Untuk tujuan-tujuan advokasinya,
bekerjasama dengan KARSA, gerakan masyarakat sipil
di Kabupaten Poso ini sudah pula menyusun semacam
nasakah akademik yang diperlukan, lengkap dengan
rumusan pasal-pasal pengaturan yang dibutuhkan.
Melihat perkembangan yang sedemikian rupa menarik
minat salah satu calon kepala daerah yang akan bertarung
pada arena pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 lalu.
Jaringan kerja “Forum Belajar UU Desa” ini, lebih khusus
lagi Sekolah Perempuan Poso dan Institute Mosintuwu untuk
melakukan kerjasama, dengan ‘kontrak politik’, jika sang
Desa Millenium Ketiga: 125
Prospek & Tantangan Bisnis

calon memenangi proses pemilihan, para ‘alumni sekolah


desa’ ini akan menjadi partner utama dalam penyusunan
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan
dengan implementasi UU Desa di kabupaten itu. Terlebih
lagi program-program pembangunan pembangunan yang
menyangkut kepentingan kaum perempuan dan anak.21
Menyongsong perkembangan mutakhir, Institute
Mosintuwu, Sekolah Perempuan Poso, dan mira kerjanya
telah pula menyusun langkah-langkah persiapan. Antara
lain dengan melakukan
kegiatan perencaan
strategis. Kegiatan ini
menghasilkan rencana
kerja ke depan, yang
ruang lingkupnya
adalah sebagaimana
yang ditunjukkan oleh
Diagram 1 berikut.

Adapun kegiatan-kegiatan bersama yang akan


dilakukan dan dinegosiasikan dengan pemerintah daerah
terpilih ataupun dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

21
Koalisi ini pada akhirnya memenangi pemilihan kepala daerah
di daerah yang bersangkutan. Saat ini jaringan gerkan masyakat
sipil yang terlibat dalam “forum belajar UU Desa” dan Sekolah
Perempuan Poso ini sedang terlibat dalam proses penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten
Poso yang memang menjadi kaharusan bagi setiap kepala daerah
yang baru; disamping juga tetap terlibat dalam proses legislasi untuk
ketiga rencana peraturan daerah yang telah disepakati dengan pihak
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso.
126 ******

setempat adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1


berikut.

Penutup: Beberapa pelajaran


Meski terhitung minimalis, UU Desa masih dilihat oleh
beberpa pihak sebagai instrumen kebijakan yang menjanjikan
perbaikan situasi kehidupan kelompok-kelompok marjinal.
Di tengah kritik tentang berbagai kekurangannnya,
terutama soal potensi korupsi dan kelemahan sumberdaya
manusia pemerintah desa, gerakan perempuan di beberpa
kabupaten secara serius memanfaatkan kesempatan yang
terbuka.
Berbeda dengan umumnya organisasi masyarakat
sipil, beberapa organisasi yang concern dengan masalah
perempuan dan anak ini lebih realistis, dengan memberikan
perhatian yang serius pada pelaksanaan UU Desa di tingkat
lapangan. Mereka percaya bahwa peluang dan hambatan
sesungguhnya ada di tingkat desa. Fakta, partisipasi
perempuan efektif dalam mendorong perubahan di
Desa Millenium Ketiga: 127
Prospek & Tantangan Bisnis

tingkat akar rumput karena masalah yang senyatanya ada


di perdesaan adalah permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh kaum perempuan dan anak.
Dalam pada itu, sebuah proses pendidikan yang
intensif tentang peluang dan tantangan pelaksanaan
UU Desa adalah suatu keniscayaan untuk mendorong
perubahan di tingkat akar rumput itu. Tanpa proses yang
intensif itu (bisa memakan waktu 2 – 3 tahun) niscaya
upaya-upaya perubahan di tingkat akar rumput itu akan
mudah hilang tanpa bekas.
Pengalaman dari Poso ini juga menunjukkan bahwa
pembuatan kebjakan yang pro-pendekatan pembangunan
yang inklusif dimungkinkan terjadi di tingkat daerah.
Penguatan program pembangunan yang inklusif di tingkat
akar rumput tidak melulu harus menunggu kebijakan yang
lebih baik di tingkat Nasional.
Betapapun, proses pembuatan hukum adalah
proses politik juga. Melakukan aliansi strategis dengan
berbagai kekuatan politik di parlemen dan proses suksesi
kepemimpinan (Pusat: Vel, Zakaria, Bedner, 2016) dan
daerah adalah ruang strategis yang harus dioptimalisasi oleh
gerakan sosial untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak
kepadanya. Tetapi, seperti halnya di tingkat Nasional
(Vel, Zakaria, Bedner, 2016), proses implementasi pasca
legislasi tetap diwarnai ketidak-pastian. Moda hubungan
yang lebih pasti antara gerakan sosial dengan institusi-
institusi demokrasi secara formal yang mampu mengontrol
pelaksanaan implementasi kebijakan baru yang telah
dihasilkan masih harus dicari bentuknya.
128 ******

Bahan bacaan
Akatiga, 2010. Kelompok Marjinal dalam PNPM-Perdesaan.
Bandung: Akatiga.
Alganih, Igneus, 2014. Konflik Poso (Kajian Historis Tahun
1998-2001), Universitas Pendidikan Indonesia.
Decentralisation Support Facility, 2007. Gender Review and
PNPM Strategy Formulation. Mission Report. Working
Paper on the Findings of Joint Donor and Government
Mission.
Gidley, J, et al. 2010. “Social inclusion: Context, theory and
practice”, dalam The Australasian Journal of University-
Community Engagement, Vol. 5, No. 1, pp. 6-36.
GTZ- SfDM, Support for Decentralization Measures.
Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module
C: Supplementary Information and References. SfDM
Report 2005-4 (2005).
Institute Mosintuwu dan Sekolah Perempuan Poso, 2013.
“Rekomendasi Kongres Perempuan Poso untuk Tim
Perumus Peraturan Pemerintah untuk UU Desa”.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, 2005. Poso, Kekerasan
yang Tak Kunjung Usai. Refleksi 7 Tahun Konflik
Poso, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Juliantara, Dadang. 2003. Pembaruan Desa, Bertumpu pada yang
Terbawah’. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
2013. “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju
Perlindungan Sosial yang Inklusif ” (http://
www.bappenas.go.id/files/6914/2865/6850/
Desa Millenium Ketiga: 129
Prospek & Tantangan Bisnis

M a s y a r a k a t _ A d a t _ d i _ I n d o n e s i a - M e nu j u _
Perlindungan_Sosial_yang_Inklusif.pdf).
Laksono, et.al. 2014. Etos Kerja Masyarakat Maluku Tenggara.
Laporan Penelitian. Kerjasama Pemerintah
Kabupaten Maluku Tenggara & Pusat Studi Asia
Pasifik, Universitas Gadjah Mada.
Manna, Zulkifli Hi., 2014. Strategi Pemerintah Kabupaten
Poso Periode 2010 – 2015 dalam Mengahadapi
Konflik Sosial, Tesis Magister pada Program
Studi Magister Ilmu Pemeritahan, Universitas
Muhammadiyah, Yogyakarta
Program MAMPU, 2014. “Pandangan Kritis dan
Masukan dari Gerakan Perempuan Indonesia
untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Desa”.
Rawal, Nabin. 2008. “Social Inclusion and Exclusion: A
Review”, dalam Dhaulagiri Journal of Sociology and
Anthropology, Volume 2, hal. 161-180.
Rendi, Muhammad, 2014. Konflik SARA di Kabupaten
Poso Tahun 1998 – 2001. Skripsi pada Jurusan
Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Hassanudin, Makassar.
Simarmata, Rikardo, dan R. Yando Zakaria, 2016. “Perpektif
Inklusi Sosial dalam UU 6/2014: Kebijakan dan
Tantangan Implementasinya,” forth coming.
Vel, Jaqueline, R. Yando Zakaria, Adriaan Bedner.
2016. “Power to the people? Multi-stakeholder
engagement in creating a new Village Law in
Indonesia”. Forth coming.
Peran Badan
Perwakilan Desa

Ahan Syahrul Arifin

Sejarawan Prancis, Denys Lombard dalam “Nusa


Jawa- Silang Budaya” menyebutkan dinamika desa selalu
naik turun. Lombard mencatat selama masa kejayaan
Majapahit di abad 14, pada awal abad ke 17 dan akhir
abad 18 di bawah Mataram, setelah pertengahan abad 19
d bawah pemerintahan Hindia Belanda, dan sejak tahun
1970 di bawah orde baru. Posisi desa tunduk patuh
pada aturan-aturan yang dibuat oleh kekuasaan pusat.
Sebaliknya setiap waktu negara lemah yaitu pada abad
15 dan 16 dan menjelang abad 17 dan awal abad 18 pada
saat Perang Jawa, selama perang kemerdekaan dan zaman
Soekarno, kemungkinan besar kebaliknya yang terjadi,
yaitu bahwa desa menjadi pengambil inisiatif dan berdikari.
Bahkan dalam Negarakertama disebutkan adanya desa-
desa mandiri yang disebut dapur dengan dipimpin sejumlah
rama; yaitu kepala keluarga, yang dipimpin oleh tetua-tetua
yang disebut buyut.

130
Desa Millenium Ketiga: 131
Prospek & Tantangan Bisnis

Posisi desa dalam pembangunan memang kerap


dianaktirikan, dipandang sebelah mata daripada
pembangunan perkotaan. Namun, dengan lahirnya UU
No 6/2014 tentang Desa, posisi desa dalam konteks
pembangunan menjadi sangat strategis. Melalui anggaran
dana desa, pemerintahan desa dapat merencanakan,
mengorganisasi dan melakukan pembangunan sesuai
dengan kultur, potensi dan impian warganya. Instrumen-
instrumen dalam UU Desa memberikan ruang bagi
desa untuk meningkatkan sumber daya manusia desa,
membangun lumbung-lumbung ekonomi desa yang kreatif,
membuat BUM-Des hingga merencanakan pembangunan
sendiri dengan pola partisipasi dari warganya.
Oleh karena itu, konsep pembangunan desa harus
digerakkan dengan gagasan dan visi yang tidak boleh
menanggalkan warisan budaya lokal. Desa dapat dibangun
dalam kerangka kemodernan dengan tetap berbasis pada
pengembangan sektor-sektor pertanian, peternakan,
perikanan darat dan lokalitas yang menjadi potensi
desa. Desa menjadi maju, cerdas dan modern tanpa
meninggalkan tipe masyarakat desa yang gemainschaft,
community, guyub, rukun, kekeluargaan, rural community,
gotong royong dengan karakteristiknya afektivitas, orientasi
kolektif, partikularisme, askripsi dan diffuseness. Bukan
berganti seperti kota yang bercirikan masyarakat kota
yang gesselchaft, society, societas, patembayan, urban
community, civil society dengan karakteristiknya adalah
netrali afektif, orientasi diri, universalisme, prestasi, dan
specifitas. (Lexie M. Giroth, 2004 : 188).
132 ******

Artinya, pola pembangunan desa dengan prinsip one


plan, one village bukan menanggalkan makna, nilai, norma dan
hakekat kehidupan desa. Menjadi modern bukan dengan
membangun desa dengan beton-beton, tembok-tembok
tinggi, mendatangkan perusahaan apalagi tenaga kerja dari
luar. Tetapi bagaimana memberdayakan warga desa dengan
pola pembangunan yang sesuai dengan karakter dan budaya
desa. Desa kini tentunya bukan lagi sebuah gambaran
Kuntowijoyo tentang komunitas agraris yang tertutup,
berbudaya homogen, ikatan tradisi yang kental, feodal dan
setengah kolonial. Desa juga bukanlah sebuah komunitas
masyarakat yang mudah dieksplotasi untuk kepentingan
tuan tanah atau pemodal. Meskipun, situasi yang demikian
juga masih banyak terjadi di seantero desa-desa di tanah
air. Karena itu penting memaknai hakikat pengertian desa
yang diungkapkan (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984)
suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu
masyarakat dengan pemerintahan tersendiri. Dimana
didalamnya terdapat perwujudan geografis, sosial, ekonomi,
politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah),
dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik
dengan daerah lain. UU Desa dalam konteks ini merupakan
harapan dan imajinasi tentang desa-desa mandiri yang
menyejahterakan.

Desentralisasi Desa
UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
dapat dijadikan titik pangkal penataan pemerintahan yang
terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi. Kewenangan-
kewenangan yang selama ini berada di pusat, pasca
Desa Millenium Ketiga: 133
Prospek & Tantangan Bisnis

lahirnya UU ini bergerak diambil-alih oleh daerah dalam


hal ini Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintahan
desa sebetulnya juga sudah diatur dalam undang-undang
yang menguatkan pembangunan berdasarkan kebudayaan
lokal. Pola-pola pemerintahan desa secara implisit dan
filososif diatur dalam UU ini. Prakarsa pembangunan
yang menitikberatkan pada unsur-unsur lokalitas tersebut
membawa semangat besar bagi daerah untuk memekarkan
dirinya. Pemekaran daerah tak dapat dibendung, mereka
yang bersemangat memiliki harapan besar desentralisasi
akan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Pengelolaan dan manajemen pemerintahan sendiri
diharapkan dapat lebih cepat menentukan masa depanya,
setelah sebelumnya terkukung oleh aturan pusat.
UU No. 22/1999 selain menjadi pemantik pengelolaan
pemerintahan lokal juga memberikan porsi dalam mengatur
tata kelola pemerintahan desa. Desa mendapatkan
kewenangan dan keleluasaan dalam mengembangkan
proses demokratisasi dan pembangunanya. Porsi yang
diberikan oleh UU No 22/1999 untuk desa terbilang
cukup besar, desa diberikan kesempatan dalam mengatur
pemerintahanya sendiri. Undang-Undang ini tentang
kewenangan Desa yang mencakup: a) kewenangan yang
sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b) kewenangan
yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku
belum dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan pemerintah
pusat; dan c) tugas pembantuan dari pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/
kota. Meskipun UU No. 22/1999 belum mengatur posisi
Desa dalam hubunganya dengan pemerintah ditingkat
134 ******

kabupaten/kota. Posisi desa dengan atribut kewenanganya


cukup sentral. Namun sayangnya pula UU No 22/1999 ini
mengibiri kepala desa dengan kontrol yang begitu besar
dari Badan Perwakilan Desa (BPD). BPD bahkan memiliki
kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap kepala
desa. Peran yang menjadi akar bagi konflik-konflik antara
kepala desa dengan BPD.
Posisi BPD yang begitu deterministik berubah dengan
hadirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menggantikan UU No. 22/1999 yang memosisikan
pemerintah Desa sebagai bagian dari pemerintah
kabupaten/kota, sehingga kedudukan desa dalam UU No.
32/2004 berimplikasi pada kewenangan yang dimiliki Desa.
Dalam konteks ini desa hanya menjadi kepanjangan tangan
dari struktur pemerintahan diatas, segala hal diatur dari
atas. Pembangunan desa tidak ditentukan oleh kebutuhan
desa. BPD-pun diubah menjadi Badan Permusyawaratan
Desa yang lagi lagi memiliki kuasa representasi dan kontrol
terhadap aktivitas kepala desa.
UU No 6/2014 tentang Desa sejatinya sedang
berupaya memperkuat eksistensi desa dengan mendorong
segala urusan yang selama ini menjadi kewenangan baik
itu pusat dan daerah dialihkan langsung ke desa. Tata
pengelolaan desa tersebut berangkat dari asas rekognisi
dan subsidiaritas. Asas yang memberikan penghargaan,
penghormatan serta kewenangan secara lokal kepada desa
untuk mengelola pembangunan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat desa. Kewenangan tersebut diharapkan mampu
membangun kemandirian desa. Oleh sebab itu, desa
diberikan tanggung jawab dalam mengatur pembangunan
Desa Millenium Ketiga: 135
Prospek & Tantangan Bisnis

desa dengan diberikan anggaran tersendiri. Artinya, desa


akan jadi subjek yang mengatur pembangunannya sendiri.
Kekhawatiran banyak pihak yang melihat desa akan jadi
sentrum baru korupsi serta raja-raja kecil wajar. Mengingat
desa, utamanya kepala desa akan memiliki wewenang dan
kuasa yang besar dalam mengatur jalannya pemerintahan.
Tetapi, apakah sebetulnya jika ditilik lebih jauh tata kelola
pemerintahan desa lebih kompleks dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Dalam konteks kemasyarakatan,
melakukan tindak korupsi dan penyelewengan ditingkat
desa. Sama artinya, pejabat desa membunuh generasinya
sendiri hingga lebih dari tujuh turunan. Dosa yang mereka
lakukan, akan diwariskan secara turun-temurun. Apalagi
dalam konteks UU No 6/2014. Ruang untuk menjadi
“raja desa” maupun melakukan korupsi baik kewenangan
maupun dana desa nyaris tanpa ruang.
Posisi desa menjadi sangat penting pasca lahirnya
UU No 6/2014 tentang Desa. Keberadaan desa, dalam
peraturan perundangan nasional, paling tidak, dapat dirunut
mulai dari ditetapkannya UU No 22 Tahun 1948 tentang
Pokok Pemerintahan Daerah; UU No 1 Taun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; UU Nomor 18 Tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; UU
No. 19 tentang Desapraja; dan UU No 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Lalu sejak
itu pengaturan mengenai desa termaktub dalam: UU No.
5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melahirkan
PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
136 ******

Pengaturan tentang desa semakin detail dan rinci


dengan lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa. UU ini
secara garis besar mencakup tema-tema sentral yang
antara lain adalah : Pemaknaan tentang Desa; Hak dan
Kewenangan Desa; Pembangunan Desa; Keuangan, Aset,
dan BUM Desa; Pembangunan Kawasan Perdesaan;
Kerja Sama Antardesa; Lembaga Kemasyarakatan
Desa. Kerangka dasar tentang UU ini juga didasarkan
pada semangat yang tercermin pada pengakuan atas
keberadaan desa (prinsip rekognisi), keharusan Pemerintah
memfasilitasi desa (prinsip Subsidiaritas), yakni kedudukan
dan peran desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Artinya, desa akan menjadi ujung
tombak kesejahteraan karena kedaulatan dan kewenangan
yang dimilikinya. Ironisnya, Ditengah strategisnya peran
desa, kita dihadapkan kenyataan jika sebagian besar desa
di Indonesia dengan kapasitas desa dalam mengelola
sumberdaya yang dimiliki. Sebab selama ini, pengembangan
kapasitas desa belum memperoleh perhatian yang serius
dari/oleh pemerintah. Sehingga wajar bila wajah desa selalu
identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kekurangan,
diskriminasi hingga bukan tempat yang tepat untuk berkarir
apalagi tempat untuk menggantungkan masa depan.
Stigma tersebut muncul karena desa dianggap anaktiri
dalam pembangunan, selain keterbatasan anggaran, selama
ini ini tak adanya rencana pengembangan kapasitas desa
bisa jadi penyebab desa selalu dianggap tertinggal dari
kota. Kondisi itu memantulkan problem mendasar yang
dihadapi sebagaian terbesar desa di Indonesia, yaitu
rendahnya kapasitas desa untuk mengaktualisasikan peran
Desa Millenium Ketiga: 137
Prospek & Tantangan Bisnis

dan fungsinya sebagai kesatuan masyarakat hukum yang


berhak mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
Maka jika implementasi UU Desa tanpa disertai dengan
prakarsa dan partisipasi maka kreasi pembangunan akan
cenderung dikooptasi oleh kepala desa. Implementasi UU
Desa yang salah akan dapat membawa dampak kurang
baik. Misalnya selain terjadi monopoli oleh kepala desa,
akan terjadi ketergantungan terhadap kepada kepala desa;
agenda pembangunan berjalan atas semua preferensi kepala
desa; melemahkan prakarsa dan partisipasi masyarakat; dan
pada akhirnya kekuasaan kepala desa yang tak terkontrol
akan dapat menjadikan otoriter dan korup.
Pada akhirnya, implementasi UU Desa tidak akan
membawa perubahan fundamental jika tidak disertai
dengan pengembangan kapasitas desa baik itu perangkat
pemerintah desa maupun masyarakatnya. Untuk menjamin
implementasi UU Desa berjalan dengan baik diperlukan
kesanggupan pelaku, khususnya pelaku masyarakat
dan aparat pemerintahan lokal untuk terus mengawal
dan mengembangkan praksis pembangunan berbasis
pemberdayaan masyarakat dalam mode pembangunan.
Keberlanjutan itu juga harus ditopang oleh kesanggupan
lembaga-lembaga masyarakat lokal sebagai sarana
memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
seiring dinamika yang berkembang. Pengawasan terhadap
penggunaan dana desa yang meningkatkan setiap tahun
harus dijaga efektivitasnya. Perencanaan, penggunaan,
dan penyaluran dana desa adalah salah satu indikator
implementasi UU Desa.
138 ******

Oleh karena itu, salah satu faktor yang juga sangat


penting dalam perwujudan UU Desa adalah kepemimpinan
kepala desa. Kepemimpinan kepala desa pada hakekatnya
menjadi salah satu faktor penting dalam pemerintahan
desa. Kepala desa bukanlagi kepanjangan tangan negara
dalam proses pembangunan. Tetapi pemimpin masyarakat
yang memiliki visi besar dalam membangunan desa sesuai
kebuthan dan potensi masyarakat. Pelindung dan pengayom
bagi kesejahteraan. Asas rekognisi dan subsidiaritas telah
memberikan hak yang begitu besar kepada kepala desa
untuk mengatur jalanya roda pemeritahan. Integritas
kepala desa menjadi titik krusial yang tak kalah pentingnya,
karena itu karakter pemimpin yang inovatif – progresif
yang mampu membangun keterlibatan warga dalam
pembanguna, mendorong transparansi, akuntabilitas dan
inovasi bagi desa sangat dibutuhkan. Kepala desa memilik
peranan yang sangat penting dalam memimpin, mengayomi,
melayani, melindungi sekaligus mengarahkan kemana roda
pemerintahan desa. Kepala desa memang bukanlah yang
berhak sepenuhnya menentukan arah desa, tetapi kepala
desa adalah sentral pembangunan yang menentukan jejak
langkah desanya. Kecerdasan kepala desa dalam mendorong
tindak aktif warganya dalam pembangunan desa menjadi
penyokong utama keberhasilan UU Desa. Kepala desa
akan jadi ujung tombak bagi tumbuhnya lapangan kerja,
peningkatan pelayanan kesehatan, kemajuan SDM. Ditengah
polemik dan pola baru pembangunan desa, pemimpin desa
yang visioner juga sangat dibutuhkan. Kepala desa cerdas,
BPD kuat, budaya gotong royong yang tumbuh serta
kontrol langsung dari masyarakat , kebangkitan desa akan
jadi harapan baru bagi Indonesia jaya.
Desa Millenium Ketiga: 139
Prospek & Tantangan Bisnis

Demokrasi Desa
Demokrasi secara konsep, teori dan praktek telah
berkembang sedemikian rupa. Demokrasi banyak dipilih
sebagai konsep pemerintahan karena dianggap yang
paling representatif diantara sistem-sistem yang lain.
Namun demikian, demokrasi bukan sistem yang tak ada
kekurangannya, celah dan kelemahan. Banyak prasyarat
dan kondisi agar demokrasi benar-benar dapat tampil
secara sempurna. Demokrasi pada bentuk yang paling
awal dilakukan di Athena, sebuah komunitas kecil. Dalam
perkembanganya demokrasi dimaknai sebagai pemeritahan
dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat atau masyarakat adalah
domain paling penting dalam perwujudan daerah atau
wilayah yang demokratis. Penekanan pada kata rakyat
menegaskan bahwa pemerintahan demokratis berpusat pada
rakyat. Sebuah bentuk pemerintahan yang dibentuk oleh
rakyat, dikelola dan dipantau secara terus menerus. Rakyat
adalah aktor yang paling aktif dalam proses pemeritahan
yang demokratis. Penekanan pada rakyat merupakan sintesis
dari bentuk pemerintahan absolut yang bersumber dari
model pemerintahan kerajaan. Pemerintahan yang sumber
otoritasnya berlaku secara turun-temurun dan membatasi
partisipasi dari masyarakat umum.
Sistem demokrasi sesungguhnya juga membawa
dampak yang besar serta menyentuh hal-hal yang mendasar
dalam relasi kekuasaan. Konsep demokrasi mensyarakat
hadirnya sebuah relasi-relasi kekuasaan yang bebas, merdeka
dan setara. Konsepsi pemerintahan demokratis artinya akan
dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat ketika pola-pola
140 ******

hubungan kekuasaan yang bersifat top-down dapat berganti


dengan pola hubungan mutualisme yang elaborasi dengan
pola hubungan yang bottom-up. Masyarakat memiliki hak
dan kewajiban dalam relasi kekuasaan, masyarakat tak hanya
dituntut untuk menunaikan kewajibanya saja, melainkan
juga diberikan ruang akselerasi dalam menyampaikan hak-
haknya. Kesetaraan dalam relasi kekuasaan kepemimpinan
demokratis tak menjadi seolah pemimpin sebagai sosok
tunggal yang berkuasa penuh atas segala sesuatu. Tetapi
pemimpin harus mau dan mampu mendengarkan
aspirasi dari masyarakat untuk mengagregasikan semua
kepentingan dalam kebijakan-kebijakan yang membawa
kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat. Dalam
konteks ini, demokrasi akan membawa sebuah sikap untuk
saling percaya, saling menjaga, saling mengawasi dan saling
mengontrol. Pemimpin tidak bisa sewenang-wenang dalam
menentukan kebijakanya, rakyat pun tak bisa sepenuhnya
menyerahkan kebijakan pemimpin tanpa mengawasi
implementasinya.
Studi-studi demokrasi pada periode 1960-1970-an
memperlihatkan meluasnya kepercayaan bahwa demokrasi
hanya mungkin menghasilkan sebuah sistem politik yang
stabil melalui sejumlah kondisi dan persyaratan. Martin
Lipset, Gabriel Almond, Sydney Verba, dan Robert Dahl
adalah pendukung utama dari gagasan yang menekankan
prakondisi untuk lahirnya demokrasi dalam sebuah
masyarakat. Dalam perkembangannya sampai dengan
dekade 80-an, studi tentang demokrasi diwarnai terutama
oleh upaya untuk memahami dinamika dari transisi
demokratis dan konsolidasi. Memasuki dekade 90-an,
Desa Millenium Ketiga: 141
Prospek & Tantangan Bisnis

wacana menyentuh tema yang berhubungan dengan peran


para pemimpin politik dan elite strategis lainnya dalam
proses demokrasi. Banyak temuan yang menyebutkan,
utamanya pada negara-negara berkembang faktor
perubahan politik lebih sering dilakukan oleh elit-elitnya.
Itu artinya konsolidasi dan transisi proses demokratis
terjadi pada kalangan cerdik pandai bukan pada gerakan
politik yang berbasis pada massa. Dalam konteks inilah,
demokrasi rawan dibajak untuk kepentingan-kepentingan
aktor politik dan pemodal.
Menurut Larry Diamond, Juan J. Linz dan Seymour
Martin Lipset dalam Democracy in Developing Countries:
Resistance, Failure and Renewal memahami demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan terdapat persyaratan yang harus
dipenuhi yakni (1) kompetisi yang sungguh-sungguh
dan meluas di antara individu dan kelompok organisasi
(terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-
jabatan pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif,
dalam suatu periode tertentu/tetap dan teratur serta tidak
melibatkan penggunaan daya pemaksa (coercive force); (2)
partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin
warga negara (tanpa memperdulikan ras, etnis, suku, kelas,
dan jenis kelamin) dalam pemilihan pemimpin atau proses
pembuatan kebijakan, atau sekurang-kurangnya terlihat
dalam pemilihan umum yang diselenggarakan secara
teratur, adil, dan bebas, sehingga tidak satupun individu
atau kelompok masyarakat (warga negara dewasa) merasa
dikucilkan; dan (3) adanya jaminan atau penghargaan
terhadap tegaknya kebebasan sipil dan politik, yakni
kebebasan untuk menyatakan pendapat, kebebasan pers,
142 ******

kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam


organisasi (misalnya organisasi massa atau partai politik)
yang menjamin integritas kompetisi dan partisipasi
politik. Kompetisi yang fair, setara, dan kompetitif
menjadi persyaratan bagi terbentuknya pemerintahan yang
demokratis. Namun yang paling penting dari pemerintahan
yang demokratis adalah partisipasi politik. Partisipasi politik
adalah bagian yang esensial dalam demokrasi. Robert Dahl
menyebut partisipasi politik merupakan bagian penting
dalam sistem politik demokratis. Partisipasi menurutnya
mencakup bagaimana kebebasan sipil dan politik, kompetisi
dan partisipasi menjadi pondasi bagi demokrasi. Tanpa hal
tersebut demokrasi akan berubah menjadi democrazy.
Perihal yang tak kalah penting dari proses pemerintahan
yang demokratis adalah aktivitas partisipasi politik.
Partisipasi dapat dimengerti sebagai sebuah aktivitas
individu maupun kelompok secara sukarela ikut aktif
dalam dinamika politik. Proses partisipasi politik di mulai
dari terbentuknya pemerintahan yang demokratis hingga
kontrol terhadap pemerintahan baik yang dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi
kebijakan pemerintahan. Miriam Budiardjo dalam buku
Partisipasi dan Partai Politik (Ed., 1998) menyebutkan
partisipasi mencakup berbagai bentuk pelibatan (engagement)
seperti misalnya dalam memberikan suara dalam pemilihan
umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu
partai politik atau kelompok kepentingan, mengadakan
hubungan dengan pejabat pemerintah atau parlemen,
mencalonkan diri menjadi anggota parlemen, pejabat
publik dan seterusnya. Dalam konteks yang lebih jauh,
Desa Millenium Ketiga: 143
Prospek & Tantangan Bisnis

partisipasi politik juga harus dimengerti sebagai bagian dari


pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap kebijakan-
kebijakan yang digagas oleh pemerintah. Partisipasi
masyarakat dalam konsep demokrasi akan membuat
sistem menjadi sangat bermakna. Filosofi dari, oleh dan
untuk rakyat akan sangat mengena jika proses demi proses
tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan sepenuhnya
masyarakat. Demokrasi akan sangat bermakna. Pencapaian
demokrasi pada akhirnya tidak juga dilihat sebatas hasil-
hasil pembangunan yang ditandai dengan modernisasi,
pembangunan jembatan, rusunawa, ruko atau betonisasi.
Bukanpula ukuran kemakmuran yang ditandai dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi, kurangnya angka kemiskinan
dan pengangguran. Melainkan juga dapat dilihat dari
seberapa jauh interaksi-interaksi sosial politik yang
berkembang dalam masyarakat. Pengaturan-pengaturan
strategis di antara para elite, pilihan-pilihan sadar atas
berbagai bentuk konstitusi dan undang-undang demokratis,
serta sistem-sistem pemilihan umum dan kepartaian,
hingga partisipasi dalam perencanaan pembangunan
menjadi ukuran yang paling nyata melihat seberapa jauh
dampak demokrasi dalam masyarakat. Gambaran yang
demikian sejatinya menjadi pola dasar yang harus dapat
diejawantahkan dalam demokrasi di tingkat desa.

Alat Kontrol
UU No 6/2014 tentang desa memberikan
kewenangan yang besar bagi desa dalam mengatur jalannya
pemerintahan. Akan tetapi pola dan jalanya pemerintahan
desa diatur dengan skema demokratis dengan hadirnya
144 ******

Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD memang


bukan sebagaimana parlemen atau lembaga legislatif tetapi
ia merupakan lembaga perwakilan yang dapat menjadi
penyeimbang bagi pembangunan di desa. BPD dalam
rezim UU No 6/2014 bukanlah sebagai lembaga yang bisa
mengeksekusi program tetapi lebih tepat sebagai lembaga
representatif, kontrol dan deliberasi bagi masyarakat desa.
Secara politik peranan BPD sangat strategis karena
mengatur musyawarah desa yang didalamnya harus dihadiri
BPD, Pemerintah Desa dan Unsur Masyarakat. Dalam
pasal 1 ayat 5, musyawarah desa atau disebut dengan nama
lain adalah musyawarah antara BPD, Pemerintah Desa
dan unsur masyarakat yang diselenggarakan BPD. BPD
dengan demikian memiliki peran yang sangat penting
dalam mengawal proses pembangunan desa. Tak hanya
memiliki representasi kontrol terhadap kinerja kepala desa,
BPD juga bukan hanya lembaga yang menampung aspirasi
masyarakat, melainkan juga berhak dalam menentukan
peraturan desa (Pasal 55). Pelaksanaan musyawarah desa
yang bertujuan menelurkan kebijakan-kebijakan strategis
tersebut sepenuhnya menjadi wewenang dari BPD. Dalam
Pasal 54 ayat (2) disebutkan pula hal-hal yang bersifat
strategis dari kebijakan desa antara lain :
1. Penataan desa
2. Perencanaan desa
3. Kerja sama desa
4. Rencana investasi masuk desa
5. Pembentukan BUM Desa
6. Penambahan dan pelepasan aset desa
7. Kejadian luar biasa
Desa Millenium Ketiga: 145
Prospek & Tantangan Bisnis

Kewenangan yang besar tersebut membuat posisi


kontrol yang dilakukan oleh BPD sangat kuat dan
signifikan. Melalui musyawarah desa, legitimasi bagi
kepala desa untuk melakukan program juga sangat kuat.
Tetapi semua terbatas dalam bekerjanya fungsi politik dari
BPD. BPD dan kekuatan rakyat yang kuat dengan ampuh
dapat menjaga rencana, visi dan misi pemerintahan desa
dari penyelewengan yang tidak diinginkan. Perencanan
pembangunan yang bersifat partisipatif melalui
musyawarah desa yang merupakan tanggung-jawab BPD
adalah kontrol terhadap kewenangan pemeritahan desa.
Fungsi check and balance dapat dilakukan dengan baik
jika BPD dan kepala desa bekerja sesuai dengan tugas dan
fungsinya. Akuntabilitas dan transparansi akan terjadi jika
hubungan kemitraan terjadi dengan baik antara BPD dan
kepala desa. Manakala hubungan dominatif yang terjadi,
baik itu dominasi kepala desa ataupun BPD yang lebih
besar konfliktual pembangunan desa akan dengan sendiri
membuat pembangunan tidak akan berjalan dengan baik.
Tentunya kita juga tidak berharap pola kolutif antara BPD
dan kepala desa membuat perencanaan pembangunan dan
aplikasinya hanya menguntungkan kelompok yang sedang
berkuasa.
Peran BPD memang cukup penting dalam pelaksanaan
UU ini, namun juga patut dipahami, BPD dalam versi UU
No 6/2014 bukanlah Lembaga Musyawarah Desa (LMD)
yang personalnya ditunjuk oleh kepala desa. Dimana kepala
desa juga merupakan ketua LMD (IRE-Ford Foundation,
2001). Tetapi lembaga demokrasi mirip legislatif yang dipilih
secara demokratis berfungsi sebagai lembaga pemerintahan.
146 ******

BPD ala UU Desa bukan pula Badan Perwakilan Desa (BPD)


dalam UU No 22/1999 yang sangat powerfull fungsinya hingga
sampai berwenang mengatur dan mengurus desa termasuk
melakukan pemakzulan kepada kepala desa. Demokrasi desa
ala UU No 6/2014 juga memberikan hak kepada masyarakat
untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan
(Pasal 68). Hak berpartisipasi tersebut tidak hanya menuntut
laporan perkembangan pembangunan, tetapi berinisiatif
menelurkan gagasan secara inovatif mengenai kemajuan
desa. Pola partisipasi dapat dibangun secara berkelompok
melalui organisasi-organisasi mandiri yang independen oleh
masyarakat. Artinya, tolok ukur demokrasi sebagaimana
disebutkan Alexis de Tocqueville dengan tiga kriteria yaitu
pertama, kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan proses
pemilihan kepala desa maupun BPD yang harus demokratis;
kedua, ruang partisipasi berupa hak untuk dipilih hingga
keterlibatan masyarakat menentukan arah kebijakan dan
ketiga, pelibatan publik untuk mendapatkan kekuasaan
terelaborasi dalam UU Desa. Namun, juga perlu diingat,
cara pemilihan anggota BPD yang juga menggunkan
pola pemilihan langsung demokratis dapat menimbulkan
hubungan yang bersifat konfliktual antara BPD dan kepala
desa jika BPD banyak diisi oleh kelompok yang bukan
mendukung pemenangan kepala desa. Situasi ini tentunya
harus mendapatkan perhatian besar, sehingga peran
masyarakat sebagai pengawas jalanya pemerintahan menjadi
sangat penting.
Optimisme terhadap model pemerintahan desa
sebetulnya juga harus dicanangkan setinggi-tingginya
sebab, budaya demokrasi desa yang disebut Hatta dengan
Desa Millenium Ketiga: 147
Prospek & Tantangan Bisnis

3 substansi masih hidup dalam desa. 3 substansi tersebut


adalah yaitu pengambilan keputasan bersama (musyawarah
desa); demokrasi sosial ( gotong royong membangun
desa) dan demokrasi ekonomi ( pengelolaan tanah secara
komunal). Di desa, budaya tersebut hidup dalam tradisi yang
kuat dan hakiki. Jadi, otonomi desa berserta kewenangan
yang melingkupi, tak perlu ditakutkan akan melahirkan
raja kecil yang korup dan kolutif. Kehadiran Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai penggati Lembaga
Musyawarah Desa (LMD), sebagaimana diamanat UU No
22/1999 tentang Pemerintahan daerah memberikan rasa
dan warna baru terhadap pemerintahan desa.
Dalam UU No 6/2014 tentang Desa, kehadiran
BPD karena semangat untuk menjaga keseimbangan
pemerintahan desa. Apalagi selama ini peran LMD yang
seharusnya sebagai lembaga kontrol dan penyalur aspirasi
masyarakat desa nyata-nyata hanya jadi alat legitimasi dan
justifikasi kepentinga kepala desa. Hal ini karena, posisi
LMD ditunjuk oleh kepala desa bukan dipilih secara
demokratis oleh masyarakat. Kepala desa biasanya memilih
anggota LMD dengan referensi bahwa yang bersangkutan
adalah tokoh masyarakat dikampung, tokoh yang dihormati.
IRE-Ford Foundation (2001) melihat selama ini posisi
ketua dan sekretaris LMD bahkan dijabat oleh kepala desa
dan sekretaris desa (ex officio). Sehingga, meskipun posisi
kepala desa dan LMD sejajar, akan tetapi institusi LMD
sendiri tidak bisa menjadi alat kontrol yang efektif terhadap
kinerja kepala desa, sebab kepala desa berada dalam sistem
yang memiliki peran yang sangat vital.
148 ******

Kondisi ini diperparah dengan bentuk pertanggung-


jawaban LMD yang keatas, kepada kepala desa, bukan
kepada masyarakat. Sehingga, masyarakatpun mengalami
kesulitan untuk mengakses LMD sebagai institusi yang
harus menjadi kontrol kinerja kepala desa. Fungsi LMD
yang kemudian berganti menjadi BPD dalam UU No
6/2014 diperbaharui sehingga seperti menjadi semacam
badan legislatif. Fungsi ini bertujuan agar pemerintahan
desa bisa berjalan dengan demokratis, partisipatif dan
memberdayakan masyarakat desa. Apalagi, dalam UU
Desa, fungsi pembangunan desa berangkat dari bagaimana
kualitas dan visi desa membangun potensinya.
Desa diberikan kewenangan strategis untuk mengelola
pembangunan desa dengan anggaran tersendiri. Anggaran
yang secara lokal menjadi kewenangan desa untuk
mengaturnya. Sesuai dengan amanat Psl 80 ayat 4 UU
No 6/2014 prioritas, program, kegiatan dan kebutuhan
pembangunan desa setelah melalui proses musyawarah
desa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dasar
masyarakat meliputi :
a. Peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan
dasar;
b. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan
lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan
sumber daya lokal yang tersedia;
c. Pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
d. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna
untuk kemajuan ekonomi;
e. Peningkatan kualitas ketertiban dan ketentraman
masyarakat desa berdasarakan kebutuhan masyarakat.
Desa Millenium Ketiga: 149
Prospek & Tantangan Bisnis

Atas dasar semangat kebersamaan, kekeluargaan dan


kegotongroyongan pembangunan desa ditempatkan untuk
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan
sosial (Psl 78 ayat 3). Maka proses pembangunan haruslah
ditopang dengan organisasi dan pengelolaan yang matang.
Proses demokratisasi akan terjadi dengan baik apabila fungsi-
fungsi pemerintahan, dalam hal ini kepala desa sebagai
eksekutif dan BPD sebagai legislatif mampu menjalankan
roda aspirasi masyarakat. Pembanguan desa pada akhirnya,
berangkat dari kebutuhan masyarakat, inisiatif bersama dan
inovasi yang berlandaskan kebersamaan. BPD kemudian
menjadi alat kepanjangan aspirasi masyarakat yang sangat
penting. Peran aktif BPD adalah kunci bagi pembangunan,
secara fungsi BPD memiliki fungsi tidak hanya sebagai
kanal penyambung aspirasi masyarakat dan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan desa dan kepala desa. BPD
juga memiliki tugas untuk melakukan musyawarah desa.
Sejatinya peran BPD sebagaimana diatur dalam UU
No 6/2014 jika dibandingkan dengan kedudukanya pada
UU No 32/2004 memperkukuh fungsinya sebagai badan
legislatif. Hal ini karena fungsi BPD yang terlibat langsung
dalam fungsi pemerintahan bukan lagi penyelenggaran
pemerintahan sebagai UU No 32/2004. Peranserta dari
BPD juga sangat penting sebagai alat penyeimbang karena
pemerintahan desa, dalam hal ini kepala desa mendapatkan
porsi yang besar dalam kewenangan mengatur, mengelola,
merencanakan dan mengeksekusi pembangunan desa.
Dengan demikian penguatan peran BPD menjadi mutlak
dilakukan, agar seluruh kepentingan serta kebutuhan
masyarakat desa. Penguatan BPD, juga dimaksudkan agar
150 ******

terjadi check and balances terhadap pemerintahan desa.


Penguatan peran BPD juga ditujukan agar hubungan antara
BPD dan kepala desa terjadi hubungan yang dominatif
diantara satu dan yang lain, kolutif maupun konfliktual,
sehingga menganggu kepentingan masyarakat.

Penutup
Proses penting dari implementasi UU No 6/2014
adalah melakukan institusionalisasi demokrasi desa. Budaya
partisipasi mau tak mau harus jadi sumber penguatan bagi
pembangunan desa. Desenteralisasi yang terjadi di desa
harus dapat melibatkan semua aspek dan lapisan masyarakat.
Penekanan pada proses desentralisasi desa harus juga
dimengerti oleh masyarakat, sehingga masyarakat paham
dengan berbagai nilai-nilai lokal serta aturan main dalam
proses desentralisasi desa tersebut. Sosialisasi terhadap
aturan-aturan tersebut menjadi sangat penting untuk dan
agar nilai-nilai lokal yang tumbuh berkembang dalam
masyarakat tidak tergerus bahkan hilang dengan budaya baru
yang hendak dikembangkan dari undang-undang tersebut.
Pelibatan komponen masyarakat secara luas, LSM, kampus,
pers, ormas dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan
keagaman akan sangat penting mendorong institusionalisasi
bagi demokrasi desa. Hegemoni yang dapat terjadi akibat
penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala desa hanya akan
dapat dilawan oleh dan apabila masyarakat memiliki mimpi
dan kehendak dalam menggapai kemakmuranya.
Pada titik ini, selanjutnya kepemimpinan desa menjadi
krusial dalam mengelola dan mengatur jalannya pemerintahan
desa. Desa dapat berkembang pesat sebagaimana cita-cita
Desa Millenium Ketiga: 151
Prospek & Tantangan Bisnis

yang hendak dihadirkan UU ketika pemimpinya memiliki


cara pandang pembangunan dari urbanisasi menjadi ruralisasi.
Program kembali ke desa yang pernah digalakkan dapat
menjadi program penting mendorong pertumbuhan desa.
Faktor SDM dan sarjana-sarjana yang banyak menganggur
dapat dijadikan pemimpin di tingkatan lokal. Pendayagunaan
sarjana-sarjana lokal yang gagal di kota-kota besar dapat
menjadi arus balik ketika kepemimpinan di level desa mampu
membaca dan menangkap maksud tersebut. Potensi SDM
tersebut, tentunya akan sangat berdayaguna bagi desa dalam
mengisi berbagai jabatan-jabatan maupun posisi strategis
di desa. Mereka tidak hanya didorong sebagai kepala desa
tetapi juga penggerak dan pendorong desa dalam berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat. Mereka yang telah diberikan
pemahaman dan pelatihan dapat dijadikan sebagai penggerak
perekonomian, olahraga, kesenian, juga potensi desa lainnya.
Oleh karena itu pula, desentralisasi desa harus mengarah
kepada otonomi di tingkatan masyarakat, ketimbang
otonomi instansi. Penguatan desentralisasi di tingkatan
pemerintahan desa harus beriiringan dengan penguatan
dan pengayaan masyarakat. Tujuan utama desentralisasi
desa sejatinya penguatan kemasyarakatan yang dilanjutkan
dengan penguatan rezim pemerintahan desa. Dalam konteks
pemerintahan desa, peran serta BPD yang kuat, dinamis,
dan responsif dalam mengagregasi seluruh kepentingan
masyarakat akan jadi kunci utama membangun desa
yang kuat. Desa yang kuat dengan otomatis memberikan
penguatan kepada fundamental ekonomi, politik dan budaya
yang hidup dinamis di tengah-tengah masyarakat. BPD
menjadi bagian nyata dari revolusi pembangunan desa.
152 ******

Daftar Pustaka
Arifin, Ahan Syahrul, dkk. 2014. Membangun Desa,
Membangun Bangsa. PBHMI Publishing-Jakarta.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition,
Yale University Press-New Haven.
Eko. Sutoro dkk, 2014. Desa Membangun Indonesia. Forum
Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)-
Yogyakarta.
Eko. Sutoro, 2005. Manifesto Pembaharuan desa. APMD
Press-Yogyakarta.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1984. Desa. Jakarta: Balai
Pustaka.
L. Diamond, J. Linz dan S. Lipset, Eds. 1989. Democracy in
Developing Countries: Resistance, Failure and Renewal.
Lynne Riener Publishers and the National
Endowment for Democracy- New York.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya. Gramedia-
Jakarta dalam Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris (Buku 3).
M. Lipset, M. Throw and J. Coleman. 1959. Union Democracy.
The Free Press-Boston.
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial Perspektif
Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Diperta
Islam Depag RI-Jakarta.
Miriam Budiardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik,Yayasan
Obor Indonesia- Jakarta.
PNPM mandiri (2000). Modul pemetaan sosial untuk fasilitator.
Dirjen Cipta Karya-Jakarta.
S. Huntington, 1991. The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century. University of Oklahoma Press.
SP, Varma. 1999. Teori Politik Modern. Raja Grafindo
Perkasa-Jakarta.
Koperasi Pedesaan:
Tantangan dan
Peluang

Romi Pernando, SE

Ketidakstabilan kondisi ekonomi yang melanda dunia


termasuk di Indonesia perlu ditingkatkan pemerataan
pengembangan ekonomi di Indonesia terutama di tingkat
pedesaan. Melihat sifat dan kondisi ekonomi saat ini serta
berbagai pemikiran mengenai usaha untuk keluar dari
ketidakstabilan ekonomi tersebut, maka pengembangan
koperasi pedesaan memiliki arti yang strategis pada
masa yang akan datang. Mengembangkan perekonomian
masyarakat desa yang bertumpu pada pertanian dan
perkebunan dalam rangka memperkuat perekonomian
nasional.
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan
peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat
dan intensitasnya berbeda. Koperasi dipandang sebagai
lembaga yang menjalankan kegiatan usaha keuangan,
penyediaan kebutuhan dan penjualan produk pertanian
dan pelayanan kebutuhan konsumsi yang mana kegiatan

153
154 ******

tersebut diperlukan oleh masyarakat. Anggota koperasi


sebagai pemilik dan pengguna jasa menjadi faktor utama
yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada masa-
masa sulit dengan mengandalkan loyalitas anggota dan
kesediaan secara bersama-sama menghadapi masa-masa
sulit tersebut. Koperasi dan UMKM secara meyakinkan
telah membuktikan mampu bertahan dan menyelamatkan
Indonesia ketika mengalami krisis moneter pada tahun
1997 dan 1998.
Koperasi diterjemahkan dari cooperative, berasal dari
kata co-operation yang berarti bekerjasama diantara dua pihak
atau lebih. Kerjasama di dalam bentuk koperasi secara
universal di asosiasikan sebagai kerjasama didalam kegiatan
ekonomi. Tetapi tidak semua organisasi kerjasama ekonomi
dapat disebut koperasi. Koperasi merupakan asosiasi
dari sekelompok individu yang dilembagakan kedalam
bentuk usaha formal. Koperasi lebih tepat disebut sebagai
kumpulan kegiatan, atau kepentingan ekonomi yang
sama, dari sejumlah individu yang bergabung didalamnya.
Homogenitas kegiatan atau kepentingan ekonomi dari
semua individu, akan menjadi pertimbangan awal berdirinya
suatu koperasi di pedesaan.

Tantangan Koperasi Pedesaan


Masih banyaknya koperasi yang tidak mendapatkan
apresiasi dari masyarakat akibat dari ketidakmampuan
pengurus dan manajemen menjalankan fungsi dan
perannya sebagaimana diharapkan dan banyak melakukan
penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan
masyarakat. Masih banyaknya koperasi hanya ada plang
Desa Millenium Ketiga: 155
Prospek & Tantangan Bisnis

namun hanya aktif menerima dana hibah dari pemerintah


atau CSR dari perusahaan namun tidak memiliki aktivitas
nyata ditengah-tengah masyarakat kondisi ini menambah
sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan. Di masa
lalu banyaknya KUD yang pengelolaannya tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai dan tujuan koperasi masih
menjadi catatan kelam bagi masyarakat desa.
Begitu banyak tantangan dan permasalahan yang
dihadapi koperasi pedesaan untuk mewujudkan koperasi
sebagai soko guru perekonomian di Indonesia. Pertama,
tantangan untuk memperbaiki dan meluruskan citra
koperasi yang tidak sesuai dengan jatidirinya selama ini.
Citra yang kurang apresiatif tersebut tentunya memberikan
indikasi kesalahan pengembangan koperasi pada masa lalu.
Kedua, tantangan untuk terus menyebarluaskan dan
mengembangkan pemahaman atas prinsip koperasi. Prospek
dan potensi pengembangan kegiatan usaha pertanian dan
pedesaan dapat dengan mudah menjadi suatu bentuk
potensi bisnis dalam mekanisme persaingan yang terbuka,
sehingga pada gilirannya potensi tersebut justru tidak
dinikmati oleh masyarakat pedesaan sendiri. Kemungkinan
lain adalah terjadinya pengembangan koperasi yang hanya
menggunakan nama koperasi tetapi tidak menjalankan
prinsip koperasi, sehingga terjebak menjadi koperasi fiktif.
Ketiga, tantangan heterogenitas komunitas masyarakat
yang dihadapkan pada tradisi penerapan prinsip
homogenitas kebutuhan dalam pengembangan koperasi.
Dalam masyarakat yang terus berkembang, aspek keragaman
menjadi hal yang tidak dapat dielakkan, bahkan telah menjadi
156 ******

konsekwensi logis dari perkembangan itu sendiri. Hal ini


menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan koperasi
yang selama ini mengandalkan pada hubungan emosional
anggotanya sebagai basis untuk membangun usaha atas
azas kebutuhan bersama. Semakin heterogen kegiatan
dan kepentingan ekonomi anggota, semakin mempersulit
manajemen koperasi untuk menjalankan tugas-tugasnya.
Heterogenitas kepentingan anggota menjadi
berlawanan dengan konsep skala ekonomi. Sebab potensi
gabungan akan dipecah kembali kedalam skala kegiatan
ekonomi lebih kecil, sehingga tujuan peningkatan efesiensi
menjadi lebih sulit dicapai. Akhirnya, penguatan posisi
tawar (bargaining power) yang seharusnya dibangun
melalui organisasi koperasi, diperlemah kembali karena
adanya pemecahan kegiatan kedalam pengelolaan produk
yang beragam dan mungkin berada pada skala yang tidak
ekonomis.
Keempat, tantangan kepemimpinan dan inisiatif
dalam proses pengembangan koperasi. Sebagai ide
pranata, koperasi perlu diintroduksikan kemudian
ditumbuh-kembangkan dalam masyarakat. Untuk itu
dibutuhkan kepemimpinan dan inisiatif dalam berbagai
jenjang dan lingkup kegiatan sampai pada tahapan
operasional dilapangan tentang praktek koperasi. Selama
ini tampaknya aspek keberuntungan adanya pemimpin
lokal yang memiliki inisiatif bagi pengembangan koperasi
masih mendominasi perkembangan koperasi di pedesaan.
Sistematika pengembangan kepemimpinan tersebut perlu
dicermati agar tidak terjadi ketergantungan pada seorang
pemimpin saja, yang pada beberapa kasus koperasi justru
Desa Millenium Ketiga: 157
Prospek & Tantangan Bisnis

menjadi kelemahan sekaligus menjadi penyebab tidak


berkembangnya koperasi di pedesaan.
Kelima, tantangan bersinergi dengan pemerintah
untuk pengembangan koperasi untuk memungkinkan
koperasi dapat berkembang. Peran pemerintah sebagai
pembuat peraturan (regulatory) dan sebagai pengelola
pembangunan harus dapat diwujudkan secara optimal
dalam kerangka pengembangan koperasi di pedesaan masa
yang akan datang. Campur tangan pemerintah yang terlalu
besar justru akan mengkerdilkan proses pengembangan
prinsip koperasi. Sebaliknya pemerintah yang tidak peduli
juga akan menghambat pengembangan koperasi. Peran
pemerintah dalam pembangunan koperasi sebagai bagian
dari seluruh proses reformasi pembangunan sosial ekonomi
masyarakat.

Eksistensi dan Peran Koperasi Pedesaan


Prospek pengembangan koperasi sangat terkait dengan
peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap kelembagaan
ekonomi yang memiliki ciri seperti koperasi. Partisipasi
anggota dan pengurus dapat menjadi faktor fundamental
yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi di
pedesaan. Faktor-faktor berikut sebagai eksistensi dan
peran koperasi di pedesaan.
Pertama, koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan
kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk
memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraannya atau
mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat
158 ******

bagi keberadaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi


motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau
secara ‘bottom up’. Faktor kuncinya adalah menumbuhkan
kesadaran kolektif dan kemandirian dengan demikian
masyarakat harus memahami kemampuan yang ada pada
diri mereka sendiri sebagai modal awal mengembangkan
diri.
Kedua, koperasi akan berkembang jika terdapat
kebebasan (independensi) dan otonomi untuk
berorganisasi. Koperasi pada dasarnya merupakan suatu
cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip dasar.
Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasi sangat
ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya. Format
organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu
proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan
diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang
dilakukan paling sesuai dengan kebutuhan anggotanya.
Ketiga, keberadaan koperasi akan ditentukan oleh
proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain
adalah bahwa koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip
yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar
dalam organisasi lain. Pemahaman atas nilai dasar koperasi
; keterbukaan, demokratis, partisipasi, kemandirian,
kerjasama, pendidikan dan peduli pada masyarakat yang
merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu
koperasi. Salah satu faktor fundamental bagi keberadaan
dan keberhasilan koperasi adalah jika nilai dasar dan
prinsip-prinsip koperasi dapat dipahami dan diwujudkan
dalam kegiatan organisasi. Masih banyaknya koperasi yang
Desa Millenium Ketiga: 159
Prospek & Tantangan Bisnis

belum dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggotanya


dan masyarakat lebih disebabkan karena masih minimnya
pemahaman terhadapan pelaksanaan prinsip-prinsip
koperasi oleh para pengurus dan pengelola koperasi. Masih
banyaknya penipuan yang berkedok koperasi adalah lebih
dikarenakan tidak dijelaskannya pemahaman prinsip-prinsip
koperasi kepada calon anggota koperasi. Membangun
pemahaman nilai-nilai koperasi tidak dapat terjadi dalam
‘semalam’, tetapi melalui suatu proses pengembangan
yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama
dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi.
Keempat, koperasi akan semakin dirasakan peran
dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada
umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal
keanggotaan koperasi. Hal ini secara khusus mengacu pada
pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak
dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan
menjadi anggota dengan tidak menjadi anggota koperasi.
Kejelasan tentang manfaat menjadi anggota koperasi akan
meningkatkan loyalitas anggota unuk melakukan transaksi
terhadap usaha-usaha koperasi. Insentif yang didapatkan
oleh anggota koperasi dari setiap transaksi yang dilakukan
pada gilirannya akan menimbulkan kesadaran kolektif dan
loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan
menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.
Kelima, koperasi akan eksis jika mampu
mengembangkan kegiatan usaha sesuai dengan potensi
yang dimiliki oleh masing-masing desa. Kegiatan usaha
yang luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota
berorientasi pada pengembangan sejalan dengan usaha
160 ******

anggota, pemberian pelayanan bagi anggota, biaya


transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan
dengan biaya lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi
dan mampu mengembangkan modal yang ada di dalam
kegiatan koperasi dan anggota sendiri. Salah satu indikator
utama kegiatan usaha koperasi adalah jika usaha anggota
berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi.
Jika pengurus koperasi desa telah menyadari pentingnya
keterkaitan usaha antara anggota koperasi itu sendiri
dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar
yang harus dikembangakan oleh koperasi adalah untuk
pengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam
satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada
berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana
faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu
indikator utama koperasi.
Keenam, usaha koperasi harus dikelola sebagai sebuah
perusahaan secara profesional. Mekanisme usaha koperasi
yang didasarkan pada nilai, norma dan prinsip-prinsip
koperasi harus secara operasional dituangkan kedalam
aturan-aturan kerja koperasi untuk dilaksanakan, ditaati
dan dievaluasi secara kontinyu. Sistem kerja koperasi, biasa
disebut manajemen koperasi berisikan tentang perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian harus
menggambarkan mekanisme kerja yang sesuai dengan ciri-
ciri koperasi. Selain memberikan pelayanan yang prima
bagi anggota, koperasi juga harus mampu mengikuti
perkembangan teknologi dalam memberikan pelayanan
pada anggota.
Desa Millenium Ketiga: 161
Prospek & Tantangan Bisnis

Koperasi memerlukan jenis manajemen untuk menjadi


pejuang yang memiliki keunggulan dan kemampuan untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai koperasi dan memimpin
berdasarkan nilai-nilai tersebut. Koperasi membutuhkan
manajemen sebagai orang-orang yang dapat menghadapi
lingkungan yang menantang, menerobos kekakuan
organisasi dan lembaga serta memotivasi karyawan. Manajer
koperasi harus seorang yang inovatif dalam manajemen
perubahan, tetapi juga orang yang bertanggungjawab untuk
mengembangkan strategi dalam rangka melaksananakan
seluruh nilai-nilai dan tujuan koperasi.

Peluang Pengembangan Koperasi Pedesaan


Penyatuan kegiatan ekonomi individu kedalam kegiatan
yang diwadahi oleh koperasi, antara lain dalam upaya
menciptakan efek sinergi (Eschenburg, 1994). Peluang
pengembangan koperasi pedesaan melalui efek sinergis
dapat diwujudkan misalnya melalui upaya pencapaian skala
kegiatan yang ekonomis (economies of scale) serta penguatan
posisi tawar (bargaining position) di pasar. Jelas sekali maknanya
bahwa upaya berkoperasi merupakan upaya kelompok
untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara
bersama-sama dan karena itu asas self-help dijadikan prinsip
koperasi yang berlaku secara universal. Koperasi adalah
usaha yang didirikan, dimodali, dibiayai dan dikendalikan
oleh para anggotanya, menunjukan posisi anggota adalah
pemilik koperasi. Pada sisi lain, anggota memanfaatkan
layanan-layanan ekonomi yang diselenggarakan oleh
koperasi dalam rangka meningkatkan kondisi ekonomi
anggota itu sendiri. Dalam hal ini berarti anggota berada
162 ******

pada posisi sebagai pelanggan dari koperasi. Hal di atas


menunjukkan bahwa anggota adalah pemilik sekaligus
pelanggan koperasi (member is owner is also customer).
Koperasi di pedesaan berfungsi untuk mengatasi
sistem ijon atau lintah darat yang selama ini merugikan
masyarakat desa. Dengan adanya koperasi maka dapat
melindungi anggotanya dari pemerasan yang dilakukan
oleh lintah darat. Koperasi bisa memperbaiki harga dalam
mengusahakan terwujudnya stabilitas harga pertanian atau
produk kreatif yang dimiliki masyarakat desa sehingga
menguntungkan bagi semua pelaku ekonomi. Dengan
berkoperasi dapat memperkuat pemaduan permodalan
dengan cara menggalang kekuatan anggota melalui
tabungan anggota ataupun mengakses kepada sumber
permodalan seperti perbankkan.
Konsep koperasi pedesaan adalah agar mampu menjadi
penopang perekonomian masyarakat baik sebagai pembeli
produksi masyarakat desa maupun untuk menopang
kebutuhan konsumsi serta kebutuhan keuangan masyarakat
desa. Koperasi harus mampu membeli atau mengumpulkan
produk masyarakat baik dari sektor pertanian, perkebunan
dan industri rumah tangga masyarakat desa dengan
harga yang bersaing sehingga menghindarkan masyarakat
desa dari para tengkulak. Koperasi juga harus mampu
menyediakan alat-alat pertanian, alat perkebunan, alat
industri rumah tangga dan kebutuhan konsumsi mayarakat
desa dengan harga yang wajar. Keberadaan koperasi adalah
untuk menghindarkan anggota atau masyarakat desa dari
kerugian menjual produksinya dan kerugian dari membeli
barang-barang kebutuhannya.
Desa Millenium Ketiga: 163
Prospek & Tantangan Bisnis

Koperasi di sektor keuangan berperan agar masyarakat


desa terhindar dari para rentenir. Kebutuhan modal yang
dibutuhkan oleh masyarakat desa untuk usaha ataupun
kebutuhan peralatan pertanian sampai masa panen, kebutuhan
modal unuk produksi rumah tangga dapat diperoleh melalui
koperasi sektor keuangan dengan beban bunga yang lebih
ringan tentunya. Koperasi sektor keuangan menghasikan
manfaat-manfaat didalam perbedaan tingkat bunga, biaya dan
persyaratan administrasi, kecepatan pelayanan dan lainnya.
Kunci keberhasilan koperasi di dalam memberikan
manfaat ekonomis kepada anggota, dalam hal bentuk
efesiensi biaya dan perbaikan harga, tergantung kepada
faktor margin harga yang diambil oleh koperasi. Dampak
perbaikan harga lebih meningkat lagi bilamana koperasi
berhasil menjual produk masyarakat desa pada tingkat harga
lebih tinggi dari pada harga pasar setempat, misalnya karena
koperasi mampu menembus pasar ekspor dan menerima
harga jual yang cukup tinggi. Begitu pula bila misalnya
koperasi mampu memproduksi sendiri input-input yang
dibutuhkan oleh anggota sehingga harga pokok produksi
persatuan input lebih rendah dari harga yang ditetapkan
oleh pemasok input di pasar. Keuntungan yang diperoleh
koperasi dalam bentuk Sisa hasil usaha akan dikembalikan
kepada anggota setelah dikurangi dana cadangan, dana
pendidikan dan dana sosial sesuai dengan kesepakatan rapat
anggota tahunan koperasi. Sisa hasil usaha yang diperoleh
masing-masing anggota koperasi sesuai dengan besaran
transaksi yang dilakukan anggota tersebut di koperasi dan
bagi hasil terbatas atas modal yang disetor anggota tersebut
kepada koperasi.
164 ******

Penutup
Dalam kerangka implementasi pendemokrasian
ekonomi di pedesaan, maka persoalan yang masih perlu
dipecahkan adalah mencari upaya untuk lebih memampukan
pelaku-pelaku ekonomi di pedesaan yang melibatkan
masyarakat banyak. Pengembangan koperasi sebagai wadah
berhimpun bagi masyarakat desa secara langsung ataupun
tidak langsung akan memberikan sumbangan terhadap ciri
pembangunan ekonomi yang lebih merata dan lebih adil
sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
Beberapa keberhasilan dalam program produksi
pertanian di pedesaan tidak terlepas dari kelembagaan usaha
di desa yaitu kelompok tani dan koperasi. Sektor pertanian,
usaha skala kecil menengah (waserda, toko, swalayan dan
coop mart) dan koperasi menunjukkan keunggulan dan
ketahanan terhadap krisis perekonomian. Oleh karena itu
perlu menata kembali koperasi dipedesaan sebagai motor
penggerak perekonomian nasional, karena sangat kuat
mengakar pada sumberdaya lokal atau domestik yang
tidak terpengaruh pada gejolak eksternal. Koperasi harus
kuat dan harus terus berkembang dengan pembangunan
pertanian dan usaha pertanian harus diberdayakan bukan
dibiarkan tersisih agar mampu berkembang memenuhi
pasar yang terus berubah secara dinamis.
Ketepatan di dalam memilih bentuk koperasi antara
lain didasarkan kepada pemahaman yang utuh terhadap
makna kehidupan berkoperasi, bukan sekedar ikut-ikutan
atau demi memperoleh bantuan dan fasilitas yang disediakan
oleh pihak lain semata-mata. Bantuan dan fasilitas dari
Desa Millenium Ketiga: 165
Prospek & Tantangan Bisnis

pemerintah mungkin saja diperlukan oleh koperasi tetapi


sifatnya hanya merupakan salah satu faktor di antara sekian
banyak faktor-faktor yang menentukan koperasi didalam
mencapai tujuannya. Prinsip koperasi yang universal
adalah self help, berarti sasaran untuk membangun swadaya
kelompok harus dijadikan landasan kerja kelompok yang
berkoperasi. Koperasi mengajarkan anggotanya untuk
berdaya barsama-sama secara ekonomi dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan bersama yang berkeadilan.

Dafar Pustaka,
Arifin, Ramudi. 2013. Koperasi Sebagai Perusahaan. IKOPIN
PRESS. Bandung
Davis, Peter. 2010. Membangun Keunggulan Koperasi. LSP2I-
ADOPKOP Indonesia. Jakarta.
Djohan, Djabaruddin dkk. 2000. Membangun Koperasi
Pertanian Berbasis Anggota. LSP2I. Jakarta.
Eschenburg, Rolf. 1994. Theory of Cooperative Cooperation.
Dalam International Handbook of Cooperative
Oeganizations. Vandenhoeck & Ruprecht.
Gottingen.
Ikopin. 1992. Pokok-pokok Pikiran Tentang Pembangunan
Koperasi. Bandung
Muslimin Nasinion. 1990. Keragaan Koperasi Unit Desa Sebagai
Organisasi Ekonomi Pedesaan. Disertasi Fakultas
Pasca Sarjana IPB
Soedjono, Ibnoe. 2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam
Koridor Jatidiri. LSP2I-ISC. Jakarta.
166 ******

Romi Pernando SE, adalah staf peneliti di Sang


Gerilya Institute, lahir di Bunga Tanjung Mahat, 15 Januari
1985, menyelesaikan Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
di UNP tahun 2008. Romi aktif sebagai Ketua Bidang
Koperasi dan UKM DPP KNPI 2015-2018, Sekretaris
umum Koperasi Pemuda Indonesia 2014-2017, Ketua
Umum Badan Komunikasi Pemuda Koperasi 2015-2020.
PENGELOLAAN
KEUANGAN DESA
TALAGO SARIAK
BERBASIS PARTISIPASI

Ramadanus Weri, S.Pd

Sistem Keuangan Desa merupakan bagian penting


dari keberhasilan suatu Desa, dengan hadirnya Undang-
Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 menuntut seluruh
Desa di Indonesia untuk Mengelola Sistem Keuangan dan
Tata kelola Pembangunannya secara mandiri. Implementasi
UU Nomor 6 tentang Desa ini selaras dengan Program
Pembangunan Nasional yang tertuang dalam RPJM
Nasional 2015-2019 yaitu “Membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan DESA
dalam kerangka NKRI”. Dana Desa yang relatif besar
memberi tantangan tersendiri bagi Desa dalam Pengelolaan
Keuangannya. Selain Dana Desa yang bersumber dari
Pemerintah Pusat, Desa juga mengelola Alokasi Dana

167
168 ******

Desa hasil Dana Perimbangan dari Pemerintahan Kota/


Kabupaten yang jumlahnya tidak jauh berbeda dengan
Dana Pemerintah Pusat. Jika mendalami sistem keuangan
desa di salah satu desa yang ada di Indonesia, Desa Talago
Sariak misalnya, Desa Talago Sariak merupakan salah satu
desa yang ada di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Secara
prinsip dan kultur budaya Desa Talago Sariak merupakan
bagian dari wilayah Minangkabau yang dikenal dengan
Adat dan Budayanya yang sangat kental, sehingga di Desa
Talago Sariak tidak dapat terlepas dari peran berbagai unsur
Adat yang berlaku di Minangkabau. Misalnya, peran Ninik
Mamak, Penghulu, Kapalo Mudo, Alim Ulama. Selain
beberapa lembaga yang bekerja sebagai mitra pemerintah
desa tentunya masing-masing lembaga tersebut memiliki
peran penting didalam Tata Kelola Pembangunan dan
Sistem Keuangan Desa seperti Badan Permusyaratan Desa
(BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Karang
Taruna dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Unsur Adat
dan Unsur Pemerintahan memiliki kaitan yang sangat erat
dalam mewujudkan Asas Pengelolaan Keuangan Desa yang
telah dijelaskan dalam Permendagri 113 Tahun 2014 Pasal 2
ayat 1 yaitu “Keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas
Transparan, Akuntabel, Partisipatif serta dilakukan dengan
tertib dan disiplin anggaran”. Secara teori pengelolaan
keuangan desa merupakan serangkaian proses Keuangan
yang meliputi Perencanaan, Pelaksanaan, Penatausahaan,
Pelaporan dan Pertanggungjawaban. Fenomena ini
menuntut Kepala Desa mampu memanajemen dan
memberi batasan peran masing-masing unsur yang ada
di Desa, agar semua proses pengelolaan keuangan desa
Desa Millenium Ketiga: 169
Prospek & Tantangan Bisnis

tersebut dapat berjalan dengan baik.


Dalam perencanaan misalnya, Peran Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan Permusyawatan
Desa (BPD) dan unsur Masyarakat sangat menentukan.
Terlepas dari itu Rencana Pembangunan Desa Talago Sariak
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kota Pariaman, Ini merupakan modal
dasar Kepala Desa Talago Sariak dalam menyusun RPJM
Desa untuk 6 (Enam) tahun masa jabatan, selanjutnya
secara bersama-sama LPM, BPD dan unsur masyarakat
Desa Talago Sariak melakukan pembahasan dalam
musyawarah desa untuk menetapkan RPJMDesa. RPJM
Desa merupakan pondasi awal dalam pembangunan desa,
dimana setiap tahunnya dilakukan penentuan skala prioritas
pembangunan berdasarkan RPJM Desa yang dituangkan
dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa)
tahun berjalan, setelah RKPDesa ditetapkan dilakukan
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDesa).
Secara prinsip, Perencanaan yang berkualitas
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki spesifikasi
keahlian dibidangnya, ini merupakan nilai tambah
dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa
Talago Sariak karena LPM Desa Talago Sariak diisi
sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kota Pariaman
yang ahli pada bidangnya masing-masing, diantaranya
pegawai Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan
dan Aset (DPPKA) Kota Pariaman, yang mengurus
urusan Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah Kota Pariaman, pegawai Badan Perencanaan
170 ******

Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Pariaman, yang


mengurus urusan Perencanaan Pembangunan Daerah,
pegawai Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan
(Koperindag) Kota Pariaman, yang mengurus bidang
Koperasi, Perindustrian dan Perdangan di Kota Pariaman.
Terlepas dari itu semua, Perencanaan Pembangunan yang
sesungguhnya adalah ketika setiap program dan kegiatan
yang disusun dapat mewakili harapan dan keinginan
masyarakat dan sesuai dengan Visi dan Misi Kepala Desa.
Visi Desa Talago Sariak adalah “Mewujudkan Desa Talago
Sariak sebagai Desa Wisata dan Budaya”, hal ini terlihat
jelas dalam RKP dan APB Desa Talago Sariak Pada Tahun
2016 yang tertuang dalam Peraturan Kepala Desa Talago
Sariak Nomor 3 Tahun 2016. Ada 3 (Tiga) Program
dengan 33 Kegiatan, menempatkan pembinaan masyrakat
dan pemberdayaan masyarakat sebagai prioritas utama,
dengan 24 kegiatan Pembinaan masyarakat dalam bidang
kebudayaan dan kearifan lokal minangkabau diantaranya
Pembinaan Permainan Anak Nagari, Pembinaan Gandang
Tasa, Pembinaan Silek dan Pelatihan Petatah Petitih untuk
kalangan Generasi Muda Desa Talago Sariak. 3 (Tiga)
kegiatan pada bidang pemberdayaan masyarakat. Serta 6
(enam) Kegiatan pada bidang pembangunan infrastruktur
Desa.
Perencanaan yang berkualitas tentu tidak akan ada
hasilnya jika tidak dilaksanakan dengan ketentuan dan
aturan yang ada. Di Desa Talago Sariak, Kepala Desa
memberi porsi pada setiap unsur masyarakat dalam
memberi perannya di Desa, dengan menempatkan Generasi
Muda sebagai Eksekutor atau Ujung Tombak dalam setiap
Desa Millenium Ketiga: 171
Prospek & Tantangan Bisnis

kegiatan tujuannya meningkatkan swadaya dan rasa memiliki


Generasi Muda terhadap Desanya. Peran Niniak Mamak/
Urang Tuo sebagai tempat Kepala Desa berkoordinasi dan
meminta pendapat agar setiap keputusan dan kebijakan yang
dibuat tidak bertentangan dengan Adat dan Budaya yang
ada. Selain itu, Kepala Desa Talago Sariak mampu memberi
peran kepada Urang Sumando sebagai Ketua Tim Pengelola
Kegiatan (TPK), intinya di Minangkabau yang disebut Urang
Sumando adalah Suami dari seorang perempuan dimana si
perempuan adalah warga asli dari daerah/desa tersebut.
Menurut kebiasaan Urang Sumando memiliki peran yang
sangat sempit di Desa. Kenyataannya dengan memberi
peran Urang Sumando untuk berkiprah di Desa Talago Sariak
memberi permasalahan/konflik tersendiri. Secara prinsip
Kepala Desa Talago Sariak membuka kesempatan pada
setiap warga termasuk Urang Sumando untuk berkiprah di
Desa tentunya dengan bidang keahlian yang dimiliki untuk
bersama-sama memajukan Desa. Ini merupakan komitmen
Kepala Desa dalam meningkatkan partisipasi masyarakat
di Talago Sariak tanpa ada diskriminasi dan pengecualian,
karena semua warga desa sudah seharusnya mendapatkan
hak dan kewajiban yang sama.
Pariaman sebagai Kota yang pertama menerapkan
Penggunaan Aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes)
di Sumatera Barat untuk Penatausahaan, Pelaporan dan
Pertanggungjawabab. Aplikasi Siskeudes adalah Aplikasi
terobosan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) yang telah diprogram dengan kebijakan akuntansi
pemerintah serta aturan dan prinsip pengelolaan keuangan
Desa. Dengan adanya aplikasi Siskeudes memberi
172 ******

Kemudahan kepada Bendahara Desa, Sekretaris Desa


dan Kepala Desa di Talago Sariak dalam hal Pelaporan
dan penyampaian Laporan Realisasi Anggaran kepada
Masyrakat, karena dengan Aplikasi yang sudah diprogram
dengan baik Pemerintah Desa dapat menyampaikan
Laporan Realisasi Anggaran kepada Masyarakat dengan
cepat. Selain Siskeudes, Pemerintahan Desa juga didukung
dengan Peraturan Wali Kota (Perwako), misalnya Perwako
Nomor 15 Tahun 2016 tentang standar Honorarium
Dubalang, Petugas Kebersihan, Tenaga Pendidik PAUD
dan Guru Mengaji. Serta Perwako Pariaman Nomor 16
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan APBDesa
dan Standar Biaya Umum Desa, atau perwako lain yang
membidangi Desa. Hal tersebut memberi aturan yang jelas
dan kesamaan pengeluaran untuk bidang akun yang sama
untuk jumlah yang sama pada setiap Desa yang ada di Kota
Pariaman.
Pada UU Nomor 6 Tahun 2016 dijelaskan bahwa
dalam hal Pengawasan dan Pembinaan. Kementerian
atau Pemerintah Pusat memiliki tugas dan fungsi
Memberikan koordinasi antar Kementerian/Lembaga
yang berkepentingan khususnya sinkronisasi peraturan
dan petunjuk pelaksanaannya, Memberikan petunjuk
pelaksanaan atas UU No. 6 tahun 2014, misal Perpajakan
dan Pengadaan Barang/Jasa. Selain itu, Memberikan
perbaikan atas peraturan atau petunjuk pelaksanaan UU
No. 6 tahun 2014. Sedangkan Pemerintah Provinsi memiliki
Peran untuk Melakukan pengawasan dan pembinaan dalam
hal Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota  yang
mengatur Desa, Penetapan RAPBD Kabupaten/Kota
Desa Millenium Ketiga: 173
Prospek & Tantangan Bisnis

dalam pembiayaan Desa, Pemberian dan Penyaluran Dana


Desa, ADD, dan Dana bagi hasil Pajak dan Rertibusi Daerah
dari Kabupaten/Kota kepada Desa, Peningkatan kapasitas
Kepala Desa dan perangkat Desa,  BPD, dan lembaga
kemasyarakatan. Untuk Pemerintahan Kota melakukan
pengawasan dan pembinaan dalam hal Sosialisasi Peraturan-
peraturan terkait Pengelolaan Keuangan Desa, Penyusunan
Tatacara Penyaluran Dana Desa, Penyusunan Pengadaan
Barang/Jasa Desa, Penyusunan Pengelolaan Keuangan
Desa.
Intinya Desa Talago Sariak mewujudkan Asas
Pengelolaan Keuangan Desa dengan menitikberatkan pada
peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam pengelolaan
keuangan desa mulai dari tahap Perencanaan Pembangunan
Desa sampai pada tahap Pelaksanaan/Realisasi Rencana
Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa) yang tertuang
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
tentunya pengelolaan yang sesuai dengan Aturan dan
Undang-Undang yang berlaku. Ketika masyarakat Desa
ikut berpartisipasi dengan Sistem Pemerintah Desa
dengan sendirinya Kesadaran Masyarakat untuk menuntut
Transparansi Keuangan Desa akan terwujud, tentunya
dengan sifat keterbukaan Kepala Desa serta Perangkat
Desa yang ada.
Membangun
Desa Bisnis:
Komparasi Jepang,
Eropa, dan Indonesia

Berly Martawardaya 1dan Wisnu S. Nugroho2

1. Pengantar
Indonesia mengalami proses pertumbuhan ekonomi
yang sangat baik semenjak krisis ekonomi 1998, secara rata-
rata setiap tahun perekonomian Indonesia tumbuh diatas
5%. Sebuah capaian yang bahkan sulit dilakukan negara
maju. Namun pertumbuhan ekonomi yang baik tidak selalu
bermuara pada pembangunan yang baik. Data statistik lain
justru menunjukkan bahwa pertumbuhan yang tinggi itu
tidak terdistribusi secara merata. Koefisien gini Indonesia
dalam periode yang sama meningkat hingga mencapai
0.42 pada 2014. Hal ini menunjukkan pembangunan tidak

1
Dosen FEB UI, Ekonom INDEF dan Ketua PP ISNU
2
Alumnus FEB-UI dan Presidium HMI Cabang Depok

174
Desa Millenium Ketiga: 175
Prospek & Tantangan Bisnis

diikuti dengan distribusi yang adil. Tidak hanya koefisien


gini, pengentasan kemiskinan juga lebih banyak terjadi di
perkotaan. Dari sebanyak 27.76 juta penduduk miskin di
Indonesia per september 2016, sebanyak 62.24% atau 17.28
juta orang berada di pedesaan. Padahal distribusi penduduk
yang tinggal di kota tidaklah terlalu jauh dengan penduduk
desa. Dari 82.000 desa di Indonesia, 50% diantaranya belum
teraliri listrik. Pengentasan kemiskinan dan pembangunan
yang belum selaras inilah yang menjadi tantangan Indonesia
ke depan.
Tantangan masyarakat Indonesia yang terpisah
antara desa dan kota adalah hal yang tidak dapat terhindarkan
dalam proses pembangunan. Pemerintah Indonesia sendiri
mencoba menangani masalah ini melaui Undang-Undang
No.6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa). Pada pokoknya,
melalui undang-undan ini pemerintah menyalurkan dana
secara langsung ke tingkat desa. Pada tahun 2015, sekitar
Rp 21.7 trilun dana disalurkan langsung ke pemerintah desa.
Angka ini meningkat menjadi Rp 46.9 triliun pada 2016
dan dianggarkan sebesar Rp 60 triliun pada 2017. Dana
ini kemudian dapat digunakan untuk kegiatan apapapun
di tingkat desa melalui proses musyawarah desa. Melalui
dana desa ini diharapkan, mesin pendorong pertumbuhan
Indonesia di masa yang akan datang dapat dimulai dari
tingkat desa, dengan mengoptimalkan Badan Usaha Milik
Desa, ataupun juga pengembangan kewirausahaan. Karena
perlu disadari, niatan pemerintah untuk memajukan
pedesaan melalui dana desa yang tertuang dalam UU
6/2014 tidaklah cukup. Perlu ada peningkatan semangat
kewirausahaan sebagai faktor pendukung.
176 ******

Faktor-faktor penunjang pertumbuhan ekonomi sudah


sejak lama diperbincangkan dalam diskusi ilmiah di seluruh
dunia. Solow (1965) dan Swan (1956) mengungkapkan
bahwa modal, tenaga kerja, dan produktifitas adalah
faktor yang krusial dalam usaha mengejar pertumbuhan
ekonomi. Sementara pada tahun 1980an, faktor eksternal
seperti peningkatan teknologi, lembaga dan institusi, serta
kewirausahaan dan kebudayaan mulai dipertimbangkan
dalam menjelaskan faktor penunjang pertumbuhan
ekonomi. Secara khusus Zoltan (1986) mengungkapkan
selain faktor sumber daya ekonomi seperti modal dan
tenaga kerja, faktor kewirausahaan menjadi hal yang
signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia sendiri kewirausahaan sudah tidak
menjadi istilah asing dalam diskusi ilmiah. Namun dalam
praktiknya, jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai
1,65% dari total penduduk, sementara negara lain di Asia
Tenggara sudah melebihi 2%, sebut saja Singapura (7%),
Malaysia (5%), dan Thailand (4%). Program pemerintah
yang ditujukan untuk meningkatka jumlah wirausahawan
juga telah banyak dilaksanakan, antara lain Kredit Usaha
Rakyat (KUR), dana desa, dan beragam pembinaan
oleh lembaga terkait namun hal ini belum dapat juga
meningkatkan jumlah pengusaha secara signifikan (Ciputra,
2009).
Selama ini jumlah pengusaha selalu lebih banyak
di perkotaan, sementara jumlah pengusaha di pedesaan
cenderung lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena
infrastruktur penunjang yang timpang antara kota dan desa
di Indonesia. Sebagai gambaran saja, untuk kelistrikan,
Desa Millenium Ketiga: 177
Prospek & Tantangan Bisnis

separuh dari seluruh desa di Indonesia belum dialiri listrik.


Jika listrik saja sulit, apalagi infrastruktur penunjang lainnya
seperti akses informasi dan internet. Maka menjadi wajar
jika jumlah pengusaha di kota lebih banyak dibandingkan
di pedesaan. Namun ada pengecualian, beberapa negara di
dunia berhasil mengembangkan kewirausahaan di pedesaan.
Studi ini menganalisa dan membandingkan beberapa desa
bisnis di tiga benua serta pelajaran yang dapat diambil bagi
Indonesia.

2. Kewirausahaan
Kewirausahaan berasal dari dua kata yaitu wira dan
usaha. Dimana wira berarti berani atau memiliki keberanian,
sementara usaha berarti bisnis. Maka kewirausahaan
dapat diartikan sebagai sebuah sikap mental untuk berani
memulai dan membangun bisnis sendiri (Ciputra, 2009).
Proses memulai dan membangun bisnis atau usaha ini
diwujudkan dalam bentuk inovasi dengan memanfaatkan
berbagai sumber daya yang ada. Kewirausahaan merupakan
sikap mental dan sifat jwa yang selalu aktif dalam usaha
untuk memajukan karya baktinya dalam rangka upaya
meningkatkan pendapatan di dalam kegiatan usahanya.
Selain itu kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan
inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk
mencari peluang menuju sukses. Sedangkan menurut
Menurut Peggy A. Lambing & Charles R. Kuehl dalam
buku Entrepreneurship (1999), kewirausahaan adalah suatu
usaha yang kreatif yang membangun suatu value dari yang
belum ada menjadi ada dan bisa dinikmati oleh orang
banyak. Di dunia sendiri berbagai jenis wirausaha sudah
178 ******

berkembang mengikuti zaman, jika pada masa setelah


perang dunia kedua hingga periode 1980an yang menjadi
lahan untuk dunia wirausaha adalah sektor perdagangan,
maka semenjak akhir 1980, kewirausahaan dengan basis
internet menjadi semarak. Hingga mencapai puncaknya
pada periode 2000an.
Untuk menjadi seorang wirausahawan, sesorang perlu
mengetahui apa tujuan usaha yang akan dibangun. Tujuan ini
menjadi penting karena inilah yang kemudian akan menjadi
alur yang mengarahkan proses pembangunan usahanya di
kemudian hari. Hal lain yang perlu menjadi faktor utama
suksesnya berwirausaha adalah prinsip kehati-hatian dan
pandai memanfaatkan peluang. Menurut Hendro (2011) ada
beberapa faktor yang menyebabkan wirausaha berhasil adalah:
• Faktor Peluang
• Faktor SDM
• Faktor Keuangan
• Faktor Organisasional
• Faktor Perencanaan
• Faktor Pengelolaan usaha
• Faktor Pemasaran dan Penjualan
• Faktor Administrasi
• Faktor Peraturan Pemerintah, Politik, Sosial, dan
Budaya Lokal
• Catatan Bisnis
Selain faktor diatas, faktor lain yang sekiranya perlu
dimiliki wirausaha adalah kemampuan beradaptasi dalam
menghadapi tantangan zaman. Tidak hanya faktor penyebab
keberhasilan wirausaha, ada pula beberapa faktor yang
menyebabkan kegagalan dalam berwirausaha. Menurut
Desa Millenium Ketiga: 179
Prospek & Tantangan Bisnis

Zimmerer (2003) ada beberapa faktor yang menyebabkan


wirausaha gagal dalam menjalankan usahanya:
Tidak kompeten Tidak kompeten atautidak memiliki kemampuan dan
dalam manajerial pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor
penyebab utama yang membuat perusahaan kurang
berhasil.
Kurang Mengkoordinasikan, ketrampilan mengelola SDM,
berpengalaman maupun kemampuan mengintegrasikan operasi
perusahaan.
Kurang dapat Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik factor
mengendalikan yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara
keuangan aliran kas. Yaitu mengatur pengeluaran dan penerimaan
secara cermat.
Gagal dalam Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan,
perencanaan sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan.
Lokasi yang kurang Lokasi usaha yang strategis merupakan factor yang
memadai menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak
strategis dapat mengakiatkan perusahaan sukar
beroperasi karena kurang efisien.
Kurangnya Pengawasan erat hubungannya dengan efisiensi
pengawasan dan efektifitas. Kurang pengawasan mengakibatkan
peralatan penggunaan alat tidak efisien dan efektif.
Sikap yang kurang Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan
sungguh-sungguh mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan
gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal
menjadi besar.
Ketidakmampuan Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan
dalam melakukan melaksanakan perubahan, tidak akan menjadi
transisi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam
kewirausahaan berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani
mengadakan perubahan dan mampu membuat
peralihan setiap waktu.
Sumber: Zimmerer (2003)
180 ******

Faktor penentu keberhasilan dan kegagalan wirausaha


ini tentu saja tidak mutlak berlaku pada seluruh wirausaha.
Perbedaan jenis dan latar belakang dari wirausahawan
juga menentukan apakah sebuah usaha akan sukses atau
tidak. Satu hal yang dapat dipastikan adalah usaha untuk
mengembangkan bisnis di pedesaan biasanya lebih sulit
dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini disebabkan karena
pada umumnya infrastruktur pedesaan yang biasanya tidak
semaju kota, serta minimalnya akses informasi di pedesaan.
Untuk dapat mengetahui perbedaan karakteristik
wilayah dan masyarakat maka akan kita lihat bagaimana
bisnis pedesaan dapat dibangun di tiga tempat berbeda.
Pertama ialah desa bisnis Ogawa di Jepang, yang kedua
adalah desa bisnis pariwisata Buggiano di Italia, serta desa
bisnis lokal Indonesia yang menjadi desa percontohan
nasional Panggungharjo.

3. Desa Bisnis Ogawa di Jepang


Ogawa adalah sebuah kota di Perfektur Saitama,
sekitar satu jam perjalanan menggunakan kereta dari Tokyo.
Ogawa dikaruniai keindahan alam, dikelilingi bukit dan
pegunungan, dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa.
Sebagian besar penduduknya adalah petani sayuran organik,
sementara sebagian lainnya adalah peternak dan penenun.
Produk pertanian dan peternakan ogawa kemudian
dipasarkan ke kota besar seperti Tokyo dan Kanagawa.
Pertanian memang menjadi sangat lekat dengan Ogawa,
sejarah kota kecil ini menjadi begitu lekat dengan pertanian.
Masyarakat Ogawa terbiasa mengkonsumsi makanan yang
dihasilkan dari ladang pertanian mereka sendiri.
Desa Millenium Ketiga: 181
Prospek & Tantangan Bisnis

Semenjak tahun 1980 masyarakat dan pemangku


kebijakan di Ogawa sadar bahwa model produksi yang
berkelanjutan adalah kunci dari kesuksesan produksi dan
kelestarian alam. Kini, hampir seluruh petani Ogawa
memproduksi hasil pertanian organik, seperti beras, jagung,
dan kedelai. Tidak mudah memang untuk melakukan
transisi menjadi petani organik, sebelumnya Ogawa adalah
daerah pertanian biasa. Menghasilkan sayuran dengan
menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Ialah buku
“Limits to Growth” oleh Club of Rome yang menjadikan
masyarakat Ogawa sadar bahwa jika populasi dunia dan
ekonomi terus bertumbuh pada tingkat yang sama (Sakai,
2007), dan lingkungan akan terus dirusak, maka manusia
akan menghadapi ketidak seimbangan pertumbuhan.
Atas dasar itulah petani desa Ogawa mengembangan
pertanian yang mandiri dan organik. Mandiri disini berarti
untuk dapat menjalankan proses bertani seperti menanam,
memberi pupuk, dan pengolahan limbah pertanian, petani
Ogawa tidak tergantung pada proses yang ada di luar
wilayah Ogawa. Sebagai contoh, untuk menanam sayuran,
saluran irigasi dan pengairan dibangun sedemikian rupa
agar ketersediaan air terjamin. Ketika proses pemupukan,
kotoran ternak dari para yang dijadikan pupuk. Giliran
pertanian sudah sampai pada masa panen, maka sisa olahan
hasil pertanian dapat digunakan sebagai tambahan pakan
ternak. Itu sebabnya kebanyakan petani di Ogawa juga
memelihara ternak sebagai usaha sampingannya.
Tidak selamanya cerita mengenai Ogawa adalah hal
baik. Bertani secara organik, sangat tergantung sekali
dengan kondisi alam seperti cuaca. Oleh karena itu,
182 ******

volume produksi tidak dapat diprediksi dengan baik,


dan ukuran serta bentuk dari produk sangat beragam.
Untuk mendukung kegiatan tani organik, dan memajukan
perekonomian kota. Masyarakat Ogawa mulai membentuk
koperasi sekitar tahun 1988. Dimulai dengan produk sake
alamiah yang diproduksi dari beras organik dan dipasarkan
bekerjasama dengan pengolah sake lokal. Kelompok tani
atau koperasi ini kemudian mulai memproduksi produk
olahan dari hasil pertanian Ogawa, seperti kecap, mie kering,
dan juga tahu. Hal lain yang perlu dijadikan contoh
adalah bagaimana masyarakat Ogawa mampu membentuk
komunitas yang terkait satu sama lain. Tidak hanya terkait,
komunitas ini juga saling menunjang satu sama lain. Tidak
hanya hasil pertanian dan produk olahannya, Ogawa adalah
juga desa yang mandiri dalam hal pengelolaan limbah dan
produksi gas. Ogawa Natural Energy Association adalah sejenis
koperasi yang mengolah limbah ternak menjadi biogas, dan
kemudian didistribusikan pada masyarakat Ogawa.
Jika kita melihat proses berkembangnya indusutri
pertanian organik di Ogawa, dapat kita simpulkan bahwa
pendorong utama dari inovasi kegiatan pertanian di Ogawa
adalah berasal dari masyarakat Ogawa sendiri. Sedikit sekali
faktor dari luar yang menjadikan perkembangan pertanian
organik begitu besar di Ogawa. Menurut Monica Diochon
(2006) ada 5 faktor yang menyebabkan inisiatif internal
masyarakat dapat berkembang yaitu:
• Terbatasnya dana pemerintah.
• Kondisi alam yang semakin tidak dapat diprediksi.
• Banyak industri besar yang merubah kebijakannya, dan
melibatkan masyarakat sekitar.
Desa Millenium Ketiga: 183
Prospek & Tantangan Bisnis

• Adanya persepsi bahwa kebijakan normal tidak


memberikan dampak nyata.
• Tidak adanya pilihan lain untuk menyesuaikan keadaan.

Untuk kasus penduduk Ogawa, setidaknya tiga faktor


telah terpenuhi, yaitu (i) kondisi alam yang semakin tidak
dapat diprediksi, (ii) masyarakat tidak merasakan kebijakan
normal selama ini, serta (iii) tidak ada pilihan lain untuk
mneghadapi keadaan. Hal inilah yang kemudian menjadikan
masyarakat Ogawa secara mandiri mengembangkan
bisnis pertanian organik. Hal ini pulalah yang kemudian
menjadikan Ogawa sebagai kota yang berhasil menerapkan
proses produksi yang berkelanjutan.

4. Desa Bisnis Buggiano di Italia


Buggiano adalah sebuah daerah di Provinsi Pistoia
Italia, terletak sekitar 45 kilometer sebelah barat laut kota
Florence dan sekitar 15 kilometer sebelah barat daya Pistoia.
Desa indah di perbukitan Italia ini sudah terkenal akan
keindahan pemandangan alam dan bangunan klasiknya.
Namun tidak hanya itu, ternyata sekitar 8000 penduduk
desa Buggiano juga menggantungkan hidupnya pada
pertanian dan peternakan. Berbeda dengan masyarakat
Ogawa yang secara swadaya membentuk koperasi dan
institusi daerahnya untuk mencapai proses pembangunan
berkelanjutan. Buggiano adalah salah satu desa binaan Uni
Eropa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya pertanian di
Uni Eropa mendapatkan perhatian yang sangat khusus dan
184 ******

spesial. Tidak kurang dari 59 miliar euro atau sekitar 850


trilliun rupiah dana dialokasikan untuk sektor pertanian di
Eropa (Gutierrez, 2000). Dana ini digunakan untuk subsidi
pertanian, pinjaman produk pertanian, pendampingan
petani, serta juga untuk memasarkan hasil produk
pertanian eropa ke seluruh dunia. Buggiano sendiri adalah
desa yang menerima manfaat dari besarnya alokasi dana
dari Uni Eropa untuk pertanian. Masyarakat Buggiano
selain mengelola pertanian juga mendapatkan pelatihan
untuk diversikasi usaha, tidak hanya bertani, kebanyakan
masyarakat Buggiano juga berternak, membuka motel dan
restauran, serta membuka lahan dan peternakannya untuk
kepentingan pariwisata.
Dengan keindahan alam yang sudah menjadi karunia
Buggiano maka pariwisata adalah sektor lain yang bisa
dijalankan bersamaan dengan aktivitas pertanian. Hal ini
ditunjang pula oleh wilayah eropa yang terdapat pada sebuah
daratan luas, serta kebijakan bebas lalu lintas masyarakatnya.
Menyebabkan pemasaran produk hasil Buggiano relatif
lebih mudah. Tidak bisa dipungkiri, kawasan Uni Eropa
adalah layaknya sebuah pasar yang sangat besar, kemudahan
lalu lintas orang dan barang juga menjadikan fleksibilitas
akses antar negara yang begitu tinggi. Berbeda dengan
Ogawa, bisnis pedesaan di Buggiano mendapatkan banyak
sekali bantuan dan akses dari pihak luar.
Bisa dibandingkan dengan kota Ogawa yang
penduduknya secara swadaya mengembangkan bisnisnya,
di Eropa dan khususnya Buggiano pertumbuhan dan
perkembangan bisnisnya dimotori oleh subsidi dan
campurtangan pemerintah. Tidak bisa dibandingkan mana
Desa Millenium Ketiga: 185
Prospek & Tantangan Bisnis

yang akan lebih berkelanjutan dimasa yang akan datang,


sebab kedua model pengembangan bisnis pedesaan hingga
saat ini terbukti masih berjalan baik di kedua tempat
berbeda.

5. Desa Bisnis Panggungharjo di Bantul


Di Indonesia sendiri terdapat desa yang dikelola
dengan manajerial yang sangat baik. Panggungharjo,
sebuah desa di Bantul, sudah memiliki fasilitas layanan
administrasi berbasi internet, ketika sebiagian besar desa di
Indonesia untuk sekedar memberikan layanan administrasi
saja memerlukan proses yang rumit dan waktu yang tidak
singkat. Tidak hanya layanan administrasi. Panggungharjo
juga memiliki Badan Usaha Milik Desa yang bergerak di
banyak bidang.seperti pengelolaan sampah dan pemasaaran
produk desa. Berbeda dengan model pengembangan desa
di Ogawa yang hampir seluruhnya adalah proses swadaya
masyarakat. Ataupun juga pengembangan desa model
Buggiano di Eropa yang mendapatkan banyak fasilitas.
Panggungharjo adalah gabungan kedua model tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
No.6 tahun 2014 mengenai Desa, mencoba memberikan
akses pendanaan bagi desa-desa di sleuruh Indonesia. Yang
dimana dana pemberian pemerintah ini dapat dikelola
secara bebas oleh aparat desa melalui proses musyawarah
tingkat desa. Termasuk pula Panggungharjo, desa ini
juga merupakan desa yang memperoleh dana desa dari
pemerintah pusat. Namun kemandirian dan kemajuan
Panggungharjo tidak semata mata karena adanya dana desa
dari pemerintah pusat. Panggungharjo mulai membangun
186 ******

sejak 2011, sebelum undang-undang desa disahkan.


Selain masalah pengembangan usaha dan
pembangunan desa, yang menjadikan Panggungharjo
sebagai desa percontohan nasional adalah berhasilnya
pembangunan komunitas di wilayah ini. Hubungan antara
aparat desa dan masyarakat desa tidak lagi hanya sebatas
urusan administratif saja, namun juga nuansa semangat
kolegial untuk membangun desa secara gotong royong. Hal
inilah yang dilakukak Wahyudi Anggoro Hadi, selaku kepala
desa panggungharjo yang mulai menjabat semenjam 2011.
Menurutnya, penyesuaian tata kelembagaan pemerintah
desa adalah sebuah prasayarat pertama pembangunan desa
yang berkelanjutan, setelah itu, membangun hubungan yang
dekat antara aparat desa dengan masyarakata desa serta
sesama masyarakat adalah hal lain yang perlu dilakukan.
Setelah itu, baru proses pembangunan desa baik melalui
lembaga usaha milik desa ataupun pengembangan usaha di
tingkat masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik.
Jika kita membandingkan Panggungharjo dengan
Ogiwa atau Buggino, maka ada beberpa perbedaan yang
sistematis. Pertama, Panggungharjo adalah desa yang
menerima dana desa dari pemerintah pusat melalui UU
6/2014, sehingga secara langsung sumber pembangunan
panggungharjo masih terkait dengan wilayah luar desa
(dalam hal ini adalah pemerintah pusat). Model seperti ini
mirip sekali dengan model subisidi usaha tani di Eropa,
namun sedikit berbeda karena untuk kasus dana desa, dana
tidak terbatas hanya dapat digunakan untuk memajukan
usaha pertanian, namun juga dapat digunakan untuk
keperluan lain yang dibutuhkan oleh desa. Panggung
Desa Millenium Ketiga: 187
Prospek & Tantangan Bisnis

harjo berbeda sekali dengan Ogiwa yang seluruh kegiatan


pengembangan pertanian pedesaannya berasal dari swadaya
masyarakatnya.
Kedua, Panggungharjo memiliki kesamaan dengan
Ogiwa dalam hal pengelolaan aset dan fasilitas desa. Dalam
pembangunan pedesaan, keduanya berdasarkan hubungan
kolegial antar penduduk desa. Dimana hal ini tercermin
dari adanya musyawarah desa untuk menentukan kebijakan
yang akan diambil terkait dengan pembangunan desa. Hal
ini berbeda dengan model pendekatan pembangunan desa
di Buggiano yang dimana dana pemberdayaan desa tidak
diberikan secara kolektif namun lebih kepada individu yang
kemudian diiringi dengan pendampingan dan pemberian
akses penjualan.
Ketiga, Panggungharjo memiliki aparat pengurus
desa yang bertanggung jawab atas berlangsungnya proses
pembangunan desa. Sementara di Ogawa ataupun Buggino,
cenderung lebih dilaksanakan oleh pihak swasta tanpa
pengurus desa, kalaupun ada, peran mereka sangat sedikit
atau tidak sebesar di Panggungharjo. Hal ini menarik bahwa
sesungguhnya proses pembangunan yang bersumber dari
majunya atau bergeraknya pedesaan dapat dilaksanakan di
Indonesia. Meskipun tentu ada prasyarat dan hal-hal lain
yang perlu disesuaikan mengingat begitu beragamnya jenis
dan kultur desa di Indonesia.
Kita dapat memelajari bahwa tiap desa di seluruh
belahan dunia memiliki karakteristik yang khas, sehingga
model pembangunannya pun tidak bisa disamakan antara
yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik masyarakat
188 ******

sebagai objek pembangunan desa tidak bisa begitu saja


diabaikan. Ogawa yang masyarakatnya sebagian besar
adalah petani dan peternak, maka pembangunan yang
sesuai adalah dengan memajukan usaha di sektor pertanian
dan peternakan. Sementara itu Buggino yang merupakan
desa dengan latar belakang pertanian dan memiliki potensi
wisata, maka pengembangan usaha agro-wisata perlu
dilakukan untuk mendorong terjadinya diversifikasi usaha.
Kultur budaya masyarakat juga perlu diperhatikan
dalam rangka melakukan desain program pembinaan
dan pengembangan masyarakat desa. Jika di Ogawa
masyarakatnya memang sudah mandiri dan memiliki ikatan
sosial yang kuat, maka model swadaya kelompoklah yang
memang tepat dikembangkan. Sementara di Buggino,
karena model masyarakatnya adalah petani dengan skala
ekonomi besar maka pendekatan individu yang dapat
diterapkan. Begitu juga dengan Panggungharjo yang
masyarakatnya memiliki modal sosial yang kuat, namun
semangat kerjasama untuk mencapai skala ekonomi masih
cenderung rendah, maka model campur tangan pemerintah
melalui aparat desa adalah yang sesuai dengan kultur
masyarakat Panggungharjo.

6. Menuju 72 Ribu Desa Bisnis di Indonesia


Menurut data resmi BPS terdapat sekitar 81.000 desa
di seluruh Indonesia, dan hampir 50% penduduk Indonesia
tinggal di pedesaan. Semantara itu jumlah masyarakat miskin
sebesar hampir 70% berada di pedesaan. Mengingat begitu
luas dan beragamnya desa dan struktur masyarakat desa di
Indonesia maka model pembangunan local custom yang saat
Desa Millenium Ketiga: 189
Prospek & Tantangan Bisnis

ini dilakukan pemerintah melaui UU 6/2014 adalah sesuai


dengan usaha memajukan pedesaan Indonesia. Namun hal
ini tidak dapat begitu saja selesai hanya dengan mengirimkan
uang dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintahan
desa. Perlu ada model yang mengiringi agar pelaporan
penggunaan dana desa dapat dipertanggungjawabkan dan
memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan
kemakmuran masyarakat pedesaan.
Dari perbandingan model pembangunan pedesaan
di Ogawa, Buggino, dan Panggungharjo maka dapat
disimpulkan bahwa ada 4 hal penting yang perlu diperhatikan
dalam usaha pembangunan wilayah pedesaaan. Pertama
kondisi sosial masyarakat. Kondisi sosial masyarakat perlu
sekali untuk diketahui sebelum program pembangunan
pedesaan dilaksanakan, masyarakat kolegial seperti Ogawa
cocok untuk menerapkan sistim kerjasama dan gotong-
royong untuk proses pembangunan kawasan pedesaan.
Sementara masyarakat yang cenderung individualis seperti
Buggino lebih kepada pemberian akses permodalan dan
penjualan secara individu, tentu dengan memberikan
pendampingan dan konsultasi yang perlu.
Kedua, adanya dana pembangunan desa yang cukup.
Mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah pusat dan
daerah untuk terjun langsung ke tingkat desa dalam usaha
pembangunan. Maka pemerintah desa adalah institusi
terdekat pada masyarakat untuk dapat melaksanakan
pembangunan. Oleh sebab itu maka perlu ada dana yang
cukup agar proses pembangunan desa ini berlangsung
secara berkelanjutan hingga desa dapat mandiri dan
mampu melaksanakan pembangunannya secara swadaya.
190 ******

Perlu diingat bahwa negara-negara maju di Eropa pun


hingga saat ini untuk memajukan sektor pertaniaan di
pedesaan masih memberikan subsidi agar produknya dapat
bersaing di pasar global. Maka negara berkembang seperti
Indonesia sudah sewajarnya pula memberikan akses dan
pendampingan proses pembangunan di pedesaan.
Ketiga, perlu ada institusi yang secara profesional
mampu mensinergiskan antara misi pembangunan dengan
budaya dan kearifan lokal. Masyarakat desa cenderung
memiliki nilai kultural dan sosial yang berbeda dengan
masyarakat kota. Oleh sebab itu, maka pembangunan di
tingkat desa tidak bisa sama caranya dengan pembangunan
kota. Instansi pedesaan tidak hanya harus mampu
melaksanakan proses pembangunan dengan baik, namun
juga harus menyesuaikan pembangunan ini dengan nilai
sosial dan kultural yang ada di pedesaan. Oleh sebab itulah
maka partisipasi masyarakat desa dalam menentukan
pembangunan melalui rapat desa perlu dilaksanakan.
Keempat, masyarakat desa perlu memiliki kesadaran
dan rasa memiliki atas pembangunan desanya. Hal inilah
yang sesungguhnya menjadi motor utama pembangunan
desa. Masyarakat desa yang aktif dalam proses
pembangunan desa, secara sadar akan berpartisipasi
dan peduli pada masa depan desanya. Masyarakat desa
dengan penuh kesadaran juga akan menyiapkan generasi
selanjutnya untuk melanjutkan pembangunan pedesaan,
tidak selalu mendorong untuk kemudian tinggal di kota.
Dengan adanya rasa memiliki dan merasa terbangun di desa
maka masyarakat desa akan senang dan ingin membangun
desanya sendiri. Kesadaran masyarakat desa ini juga
Desa Millenium Ketiga: 191
Prospek & Tantangan Bisnis

akan menjadi alat kontrol langsung proses pembangunan


pedesaan, ini juga akan menjadi langkah awal terbangunnya
model demokrasi yang sehat. Karena masyarakat pada level
pemerintahan terkecil pun sudah sadar akan fungsi dan
peranannya dalam proses pembangunan.
Perjalanan Indonesia untuk mencapai pembangunan
masyarakat desa yang berkelanjutan dan meningkatkan
jumlah wirausaha atau usaha milik desa masih sangatlah
jauh. Namun dengan langkah awal pemerintah melalui UU
6/2014, setidaknya niatan itu sudah menjadi sedikit lebih
dekat. Panggungharjo adalah contoh bahwa sesungguhnya
masyarakat Indonesia bahkan di tingkat pedesaan pun
memiliki kesadaran dan mampu melaksanakan proses
pembangunan yang berkelanjutan. Harapan untuk memulai
pembangunan nasional dari tingkat desa tidak mustahil
untuk bisa dilaksanakan. Tentu dengan usaha-usaha lain yang
perlu juga disertakan. Model pengawasan dan monitoring
serta evaluasi mutlak perlu disiapkan, jangan sampai dana
desa tidak digunakan untuk memajukan masyarakat desa.
Program penyusul pun perlu dipikirkan, agar jangan sampai
desa menjadi tergantung dengan transfer dari pemerintah
pusat. Perlu ada exit route karena tidak mungkin dana desa
diberikan selama-lamanya, tujuan utama kemandirian desa
harus dijaga dan dijadikan panduan.
Dengan kultur masyarakat yang kolektif kolegial,
serta adanya niat baik dan sumberdaya dari pemerintah
pusat, didorong dengan model pembangunan yang sesuai,
maka pembangunan desa Indonesia melalui peningkatan
kewirausahaan desa serta Badan Usaha Milik Desa niscaya
akan terwujud.
192 ******

Referensi
Acs, Z. (1986). Entrepreneurship and Economic Growth.
Ciputra. (2009). Menumbuhkan Kepekaan dan Pemberdayaan
dalam Pendidikan Entrepreneurship.
Diochon, M. (2006). A longitudinal study of the
characteristics, business creation process and
outcome differences of Canadian entrepreneurs.
The International Entrepreneurship and Management
Journal, 2(4), 441-453.
European Union: Commision on Agriculture. (2010).
Nurturing Aggricultural competitiveness and
Entrepreneurship. EU Rural Review.
Gutierrez, L. (2000). Convergence in US and EU agriculture.
European Review of Agricultural Economics, 27(2),,
187-206.
Hendro. (2011). Dasar-Dasar Kewirausahaan. Panduan bagi
Mahasiswa untuk Mengenal, Memahami, dan Memasuki
dunia Bisnis. Jakarta.
Lambing, C. R. (19999). Small Business Management. Dryden
Press.
Sakai, K. (2007). Analysis of Japan government intervention
on domestic agriculture market. Journal of Agricultulr
and Economics, 382(1), 330-335.
Solow. (1965). Economic growth in an aggregative model
of capital accumulation. The Review of Economic
Studies, 32(3), 233-240.
Swan, T. (1956). Economic growth and capital accumulation
. Economic Record 332(2),, 334-361.
Desa Millenium Ketiga: 193
Prospek & Tantangan Bisnis

Yamamoto, T. (2007). Entrepreneurial farming village in


Japan. Business and Economic History (vol.5,).
Zimmerer. (2003). A longitudinal study of the impact of
intrapreneurial programs in fortune 500. Journal of
Management Research, 3(1): 11.
PENGEMBANGAN
DESA WISATA DAN
POTENSINYA
DI KABUPATEN
PANGANDARAN

Anang Muftiadi
Prodi. Adbis FISIP Universitas Padjadjaran

Ekonomi Wisata Kabupaten Pangandaran


Kabupaten Pangandaran dibentuk pada Tahun 2013,
sebagai pemekaran dari Kabupaten Ciamis, bagian selatan
dan berbatas sisi Utara dengan Kabupaten Ciamis, bagian
barat dengan Kabupaten Tasikmalaya, bagian selatan
dengan Samudera Hindia dan bagian timur dengan
Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
Pangandaran dikenal menjadi daerah tujuan wisata pantai
penting di Jawa Barat dan bahkan Jakarta dan Jawa
Tengah sisi barat. Kabupaten Pangandaran terdiri dari 10

194
Desa Millenium Ketiga: 195
Prospek & Tantangan Bisnis

kecamatan dengan 81 desa dan 12 kelurahan. Jumlah desa


ini relatif paling sedikit bila dibandingkan kabupaten lain
di Jawa Barat. Jumlah penduduknya relatif sedikit di Jawa
Barat, yaitu sekitar 390.000 jiwa, demikian pula dengan
tingkat kepadatan penduduknya juga jauh lebih rendah dari
Jawa Barat.

Tabel 1. Penduduk dan Wilayah


Rerata Kab/Kota
Kab. Pangandaran
di Jawa Barat
 
2014 2015 2014 2015

Penduduk (jiwa) 1.704.800 1.729.985


388.300 390.500
Kepadatan
Penduduk (jiwa/km2) 418 420 1.301 1.320
Luas wilayah (km2)    
930 1.311
Sumber : BPS (data diolah)
Kegiatan ekonomi di Kabupaten Pangandaran pada
Tahun 2014-2015 cukup khas di Jawa Barat maupun
Indonesia. Kontribusi sektor terbesar dari sektor tersier
(57,9%) yang berada pada tingkat lebih tinggi dari
kabupaten/kota di Jawa Barat (36,3%) dan kabupaten/kota
di Indonesia pada umumnya (45,6%). Kontribusi sektor
industri pengolahan dan sektor pertambangan-galiannya
pada ekonomi relatif tidak berkembang seperti kabupaten/
kota lain di Jawa Barat maupun Indonesia dan kontribusi
sektor pertaniannya relatig lebih besar daripada kabupaten/
kota lain di Jawa Barat dan Nasional. Kombinasi sektor
tersier dan pertanian yang terjadi secara bersamaan ini
196 ******

menjadikan kekhasan Kabupaten Pangandaran sebagai


kabupaten yang relatif baru di Indonesia. Kedua kondisi
ini dapat menjadi keunggulan yang berkelanjutan dan dapat
saling diperkuat kaitannya oleh Pemerintah Kabupaten
Pangandaran.

Tabel 2. Kontribusi Sektor PDRB (%)


Pertambangan Industri
  Pertanian Tersier
Galian Pengolahan
Kab. Pangandaran 27,9 0,8 13,4 57,9
Rerata Kab/Kota di
8,7 2,4 52,6 36,3
Jawa Barat
Rerata Kab/Kota
13,4 8,7 32,2 45,6
Nasional
Sumber : BPS (data diolah)

Sebagai kabupaten baru, fokus publik biasanya ialah


pada tingkat pendapatan asli daerahnya. Kabupaten
Pangandaran memiliki PAD sekitar Rp.53,6 milyar pada
tahun 2015, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
kabupaten/kota lain di Jawa Barat atau hanya 10% dari
daerah lainnya. Demikian pula dengan pajak daerah,
rasionya hanya 7% dari rata-rata pajak daerah kabupaten/
kota di Jawa Barat. Namun demikian, Retribusi Daerah
nilainya relatif hampir sama dengan kabupaten/kota
lain di Jawa Barat. Kondisi yang menarik pada Kab.
Pangandaran adalah quotient atau rasio pajak dan retribusi
daerahnya terhadap seluruh PAD dan dibandingkan
dengan kabupaten/kota lain di Jawa Barat menunjukkan
Desa Millenium Ketiga: 197
Prospek & Tantangan Bisnis

bahwa Retribusi Kab. Pangandaran selalu menonjol, yaitu


quotient lebih dari 1 dan bahkan mencapai angka 6,01
tahun 2015. Artinya Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Pangandaran lebih menonjol dari sumber retribusi daerah
daripada pajak daerah. Bila dipahami bersama, pendapatan
retribusi dikenakan atas suatu pelayanan tertentu, tidak
seperti pajak yang dikenakan berdasarkan otoritas. Karena
itu karakteristik Pendapatan Asli Daerah Kab. Pangandaran
ini tergolong “berstruktur bagus” karena berbasis
pada pelayanan. Penerimaan Retribusi Daerah ini pada
umumnya, secara langsung maupun tidak langsung banyak
berkaitan dengan keberadaan sektor pariwisata di Kab.
Pangandaran yang terus berkembang hingga kini. Dengan
demikian, semakin besar kegiatan pariwisata, maka potensi
retribusinya juga akan semakin meningkat.
Potensi PAD di Kabupaten Pangandaran saat ini
relatif masih tinggi. Bila dilihat perbandingan rasionya
terhadap PDRB sebagai proksi basis pajak (tax base), maka
rasionya hanya 0,55% dari PDRB. Rasio ini jauh lebih
rendah daripada rasio kab/kota lain di Jawa Barat dan
bahkan nasional.
198 ******

Tabel 3. Kinerja Pendapatan Asli Daerah


Kab/Kota

Kab. Pangandaran di Jawa Barat


2014 2015 2014 2015
Pendapatan Asli Daerah
(Rp.M) 32,5 53,6 521,2 541,6

Pajak Daerah (Rp.M) 20,6 22,2 288,5 314,9


Quontient Pajak Daerah 1,15 0,71

Retribusi Daerah (Rp.M) 8,3 24,5 47,1 41,2


Quontient Retribusi
Daerah 2,83 6,01

PDRB (Rp.M) 7.276 8.170 51.346 56.487


Sumber : BPS (data diolah)

Tabel 4. Rasio Basis PAD Kabupaten Pangandaran


2014-22015 (%)
PAD/

  PDRB
Kab. Pangandaran 0,55
Rerata Kab/Kota di Jawa Barat 0,94
Rerata Kab/Kota Nasional 0,71
Sumber : BPS (data diolah)

Potensi Wisata dan Peran Desa Wisata


Obyek wisata di Kabupaten Pangandaran basis
utamanya adalah wisata alam pesisir pantai yang panjang.
Desa Millenium Ketiga: 199
Prospek & Tantangan Bisnis

Struktur geologi yang cukup banyak berupa karst, sehingga


banyak terdapat gua. Kegiatan wisata eksisting dan potensial
di daerah ini tergolong sangat banyak. Wisata pantai sudah
menjadi pilihan penting sejak dahulu dan menjadi faktor
pengait (anchor) bagi muncul obyek wisata lain di sekitarnya.
Karena itu keunggulan dari pengembangan wisata tersebut
adalah faktor kedekatan (proximity) bagi para pengunjung.
Kedekatan antar lokasi wisata menjadi pilihan menarik bagi
para wisatawan untuk menikmati beberapa lokasi wisata
dengan mudah.
Survey DMO Pangandaran dilakukan oleh Dinas
Pariwisata dan Budaya Kabupaten Pangandaran, pada
periode April –Agustus 2011 pada 306 responden, yang
terdiri dari 109 wisatawan mancanenegara dan 197
wisatawan domestik. Sebagian besar para wisnus berasal
dari kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta (14.72%)
dan Bandung (43.65%) juga dari wilayah sekitarnya, seperti
Garut, Banjar, Tasikmalaya, dan Pangandaran sendiri
(23.86%). Wisatawan mancanegara sebagian besar berasal
dari Eropa, yaitu Belanda= 51.04% dan Inggris=13.54%).
Pengunjungnya rata-rata berpendidikan tinggi, yaitu wisnus
63.96% sarjana dan wisman 79,82%. Masa-masa libur
panjang jumlah pengunjung meningkat. Lama tinggal dalam
berwisata 2-3 hari pada wisatawan nusantara (68,53%) dan
mancanegara (79,82%). Sebagian wisatawan nusantara
yang tidak menginap. Dari 173 hotel yang diwawancara,
sekitar 74,46% menyatakan pegawai umumnya berasal dari
penduduk setempat. Cukup banyak pekerja pariwisata yang
memiliki lebih dari 1 jenis pekerjaan, misalnya sehari-hari
sebagai nelayan dan pada waktu lain bekerja paruh waktu
200 ******

sebagai ojeg perahu (pesiar), menyewakan alat snorkeling, dan


juga sebagai pemandu. Berdasarkan tempat menginap,
tampak bahwa pilihan utama wisatawan adalah hotel non
bintang, karena jumlah paling banyak dan biaya terjangkau
oleh wisatawan nusantara ataupun mancanegara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa wisata utama


Pangandaran adalah pantai yang berjumlah banyak dan
dominan serta berfungsi sebagai penarik utama (anchor).
Kemudian jenis obyek wisata berkembang menjadi
wisata lembah/sungai, curug (air terjun), goa dan lain
sebagainya. Wisata-wisata buatan sifatnya juga mengikuti
kecenderungan market dan atau mengangkat kembali
peninggalan-peninggalan budaya-budaya yang sudah ada
sebelumnya namun belum dipandang penting sebagai
obyek wisata. Demikian juga dengan event budaya, karena
sifatnya sifatnya khusus dan hanya ditampilkan pada waktu
tertentu serta hampir sama juga dengan daerah lain, maka
wisata ini belum berkembang. Desa wisata yang jumlahnya
masih sedikit, ada yang sudah dikenal baik para wisatawan,
yaitu Desa Wisata Selasari. Desa wisata ini memanfaatkan
potensi wisata alam di wilayahnya, seperti gua, sungai, lahan
pertanian dan lain sebagainya, atau desa wisata lebih pada
manajemen obyek wisata atau tidak disebut sebagai obyek
wisata secara fungsional. Namun demikian, mengingat
banyak obyek wisata yang belum dikembangkan, maka
potensi desa wisata sebagai manajemen obyek wisata sangat
pontensial dan menjadi ruang kreatif warga masyarakat
yang patut difasilitasi oleh pemerintah.
Desa Millenium Ketiga: 201
Prospek & Tantangan Bisnis

Tabel 5. Profil Desa Wisata Selasari dan Wonoharjo


JENIS WISATA Kalipucang Pangandaran Parigi Jumlah
ALAM
Pantai 5 5 4 14
Lembah/Sungai 1 3 8 12
Goa 5 14 3 21
Curug (air terjun) 9 7 4 20
Danau/Bendung 2 - 2 4
Konservasi Alam 11 2 1 14
BUATAN
Buatan Modern 1 2 - 3
Buatan Sejarah 6 3 5 14
Event Budaya 5 34 15 54
DESA WISATA 1 4 5
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (data diolah)

Diantara destinasi wisata di Pangandaran antara lain,


Pantai Pangandaran, Pantai Batu Karas, Pangandaran Water
Park, Santirah River Tubing, Green Valley Citumang, Cukang
Taneuh/Green Canyon, Pantai Lembah Putri, Curug Bojong,
Saung Muara, Gua Sumur Mudal, Pantai Keusik Luhur,
Pantai Karapyak, Pantai Karang Nini, Pantai Batu Hiu,
Pantai Madasari, Pantai Karang Tirta, Desa Wisata Selasari
dan Cagar Alam Pananjung.
202 ******

Gambar 1. Sebaran dan Jenis Wisata Utama di


Pangandaran

Berdasarkan situasi dan kondisi wisata, bentang alam


dan mata pencaharian penduduk, Desa Wisata Dalam hal
pengembangan Desa Wisata, walaupun potensinya sangat
besar, namun secara faktual hanya ada 5, diantaranya adalah
Desa Wisata Selasari dan Wonoharjo dengan profil sebagai
berikut;

Tabel 6. Profil Desa Wisata Selasari dan Wonoharjo


Desa Wisata Selasari Desa Wisata Wonoharjo
Obyek Wisata 8 goa dan goa lain Kerajinan (kerang,
yang belum dieksplorasi campernik dan sapu lidi
sudah ekspor)
Wisata sungai arung jeram
Pertunjukan (wayang kulit,
Pemandangan alam dan kuda lumping,
pertanian
Pembuatan gula kelapa
Desa Millenium Ketiga: 203
Prospek & Tantangan Bisnis

Pengunjung Sekitar 5000-an pengunjung Tidak tercatat, namun


per tahun jumlah pengunjung relatif
sangat sedikit.
Informasi banyak menyebar
di internet. Informasi di internet
sangat terbatas.
Pengelola Masyarakat desa dan sudah Tokoh masyarakat
melatih 100 pemuda untuk
pengelola dan pemandu. Mata pencaharian belum
termasuk kategori
Mata pencaharian ganda pariwisatanya.

Dari kedua desa wisata tersebut, tampak bahwa Desa


Wisata Selasari lebih berkembang bila dibandingkan dengan
Desa Wisata Wonoharjo. Perbedaan keduanya pertama
pada obyek wisatanya, yaitu Desa Selasari memiliki obyek
wisata alam yang spesifik, sehingga tidak dapat direplikasi
di daerah lain bila kondisi dasarnya tidak terpenuhi.
Sebaliknya Desa Wonoharjo tidak memiliki obyek wisata
alam yang spesifik, namun hanya berbentuk kerajinan dan
pertunjukkan. Karena itu upaya penggerakan masyarakat
di Desa Selasari mendapat respon dari masyarakat dan
perkembangan wisatanya relatif kasat mata.

Konsep Pengembangan Desa Wisata di Kab.


Pangandaran
Pengembangan pariwisata perlu dikembangkan
berdasarkan sistem yang kuat agar berkembang dan
berkesinambungan. Menurut Moddleton dalam Mason
and Chayene (2003:11), bahwa sistem dalam pariwisata
terdiri dari lima sektor yang saling berpengaruh yaitu (1)
204 ******

akomodasi, yang menyediakan fasilitas penginapan bagi


wisatawan (2) aktraksi, berbagai jenis tempat yang menjadi
tujuan wisata (3) transportasi, fasilitas yang memberikan
kemudahan bagi para wisatawan dalam melakukan
kunjungan (4) travel agen, yang memberikan kemudahan
wisatawan dalam penyediaan fasilitas pariwisata dan (5)
organisasi pariwisata, organisasi yang membantu kegiatan
pariwisata. Diantara faktor tersebut, pada dasarnya tidak
setara, karena terdapat faktor utama yang dalam pariwisata
tetap pada atraksi sebagai tujuan wisata, sedangkan yang
lainnya sifatnya adalah jejaring pendukung.
Berdasarkan pertimbangan (1) bentang alam yang
didominasi lahan pertanian, perkebunan, hutan, pesisir
pantai dan tanah karst berkapur (2) mata pencaharian dan
kegiatan ekonomi umumnya sektor tersier dan pertanian (3)
sudah memiliki obyek wisata ternama yang dapat menjadi
anchor kedatangan wisatawan, maka pengembangan Desa
Wisata adalah langkah penting bagi peningkatan kegiatan
ekonomi masyarakat dan upaya peningkatan pendapatan
masyarakat. Keberadaan Desa Wisata juga akan berperan
bagi pemerataan pendapatan. Kegiatan pariwisata ini dapat
menjadi dual-income bagi warga masyarakat.
Secara teoritis, pengembangan usaha pariwisata berbasis
ekonomi kerakyatan relatif sesuai untuk pengembangan
Desa Wisata di Pangandaran. Pola pengembangan usaha
tersebut, menurut Thamrin B Bahri (2002: 6-7), harus
dapat mencapai :
1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia
2. Peningkatan sumber daya dan modal yang dimiliki
Desa Millenium Ketiga: 205
Prospek & Tantangan Bisnis

masyarakat
3. Peningkatan kualitas pengetahuan manajemen
4. Peningkatan pemahaman dan persepsi penduduk
setempat atas pentingnya kepariwisataaan dan usaha
pariwisata
5. Pengembangan sistem pembinaan dan fasilitas
pemerintah kepada masyarakat

Terkait dengan upaya pengembangan Desa Wisata di


Pangandaran, agar Desa Wisata tersebut efektif berfungsi,
berkembang dan berkelanjutan, maka diperlukan dasar-
dasar komponen pada Desa Wisata, yaitu;
• Desa Wisata harus memiliki obyek wisata spesifik
atau tidak replikatif dengan daerah lain (misalnya goa,
sungai, danau, perkebunan dan alam perdesaan yang
khas, pantai dan lain sebagainya).
• Desa Wisata yang tidak memiliki kekhasan obyek
wisata, pengembangannya perlu dikaitkan dengan
wisata anchor terdekat yang sudah ada dan cukup dikenal
di Pangandaran. Bagi desa seperti ini, prosesnya dapat
dilakukan dengan membangun keterkaitan (linkage)
dengan desa wisata lain atau anchor wisata utama
di lokasi tersebut. Pengkaitan prosesnya dilakukan
dengan cara mengisi acara-acara atau eksibisi yang
dilakukan pada obyek wisata anchor.
• Pemerintah memberikan dukungan prasarana dan
sarana publik, membangun jejaring forum wisata dan
memberikan stimulasi dan fasilitasi pengembangan
melalui program kompetisi untuk menjadi kesungguhan
partisipasi masyarakat.
Referensi:
BPS (2015), Statistik Keuangan Kabupaten – Kota Tahun
2013-2015.
BPS (2015), Statistik Keuangan Provinsi di Indonesia
Tahun 2013-2015.
Mason, P. And Cheyene, J. 2003, Resident’s Attitudes to
Proposed Tourism Development, Annuals of
Tourism Research, 27 (2), 391-411.
http://dispar.pangandarankab.g o.id/profil-pariwisata-
kabupaten-pangandaran/[ didownload pada 25
Februari 2017)

206
Revolusi Mental,
Rezim Pedesaan dan
Reposisi Stakeholders

Indra J Piliang
Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

Pendahuluan
Pergantian pemerintahan selalu saja berdampak
kepada cara pandang yang berbeda. Pergantian itu dianggap
sebagai patahan dari aliran air dalam sungai besar. Bahkan,
pendapat umum yang mencuat adalah betapa pergantian
berarti pembalikan. Warna yang semula biru, diubah menjadi
merah atau kuning, tetapi jarang yang kelabu. Perbedaan
program dianggap sebagai bentuk permusuhan. Padahal,
pemerintahan tak pernah benar-benar berhenti dan beku,
sekalipun rezim politik baru menggantikan rezim politik
lama. Yang terjadi hanya rotasi sejumlah manusia dalam
keseluruhan sistem yang berjalan itu. Pemerintahan tetap
bergerak sesuai dengan sistem dan peraturan perundangan
yang berlaku. Sehingga, apabila ada pihak yang menuduh
bahwa rezim lama lebih tiran – atau sebaliknya --, tentulah

207
208 ******

perlu disigi pada aspek yang lebih detil dan teknis.1 Satu
sapuan besar dalam kuas sejarah tentulah tidak lagi tepat.
Guna mendapatkan nuansa seperti itu, puisi “Tirani”
yang ditulis oleh Bur Rasuanto dan diterbitkan dalam
kumpulan Mereka Telah Bangkit pada tahun 1967 ini bisa
memberikan gambaran:

Tirani adalah kata


Yang melahirkan banyak pengertian
Yang tak berkata

Tirani adalah pikiran


Yang dipindahkan ke dalam slogan
Yang merantai pikiran

Tirani adalah kebebasan


Di tengah padang tandus tak bertepi
Yang melumpuhkan kebebasan

Tirani adalah kekuasaan


Yang bertahta di atas segala penggelapan
Yang menimbun kekuasaan

Pergantian rezim politik bisa saja hanya bersifat


sloganistik, ketika perangkat-perangkat pemerintahan sama
sekali bekerja tak sesuai dengan norma baru yang hendak

1
Victor Silaen (Editor). 2003. Dari Presiden ke Presiden: Pikiran-
Pikiran Reformasi yang Terabaikan. Jakarta: Universitas Kristen
Indonesia Press.
Desa Millenium Ketiga: 209
Prospek & Tantangan Bisnis

dijalankan. Ketika tuduhan tiran dituduhkan kepada rezim


lama, benih-benih tiran baru sedang tumbuh. Norma baru
yang dipakai sebagai doktrin pemerintahan, jangan-jangan
hanya pengulangan dari norma masa lalu yang diucapkan
oleh rezim politik yang sedang berkuasa. Sesuatu yang tetap
(statis) bakal terus-menerus berhadapan dengan sesuatu
yang bergerak (dinamis). Kemunduran bakal dibenturkan
dengan kemajuan. Begitulah seterusnya, sampai dicapai
satu titik kemapanan yang baru. Dalam bingkai negara
demokrasi yang paling mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan, Indonesia menyediakan area penelitian yang
kaya ilmu dan pengetahuan.

Tentang Rezim Pedesaan


Sekalipun pemerintahan desa sudah dikenal jauh
sebelum kemerdekaan, bahkan masuk sebagai bagian dari
bentuk demokrasi asli di sebagian besar wilayah Indonesia,
pelibatan penuh dalam penyelenggaraan pemerintahan
baru dilakukan dewasa ini. Hanya sedikit kota yang berhasil
muncul ke permukaan, dalam masa sebelum dan setelah
rezim-rezim kolonial berkuasa. Jakarta, Surabaya, Bandung,
Medan, Semarang, hingga Bukittinggi, adalah bagian kecil
dari kota-kota bentukan kolonial itu. Di arena perkotaan
itu, muncul benteng-benteng yang kokoh, kantor-kantor
pemerintahan, hingga pasar-pasar yang tidak lagi tradisional.
Waktu berputar lebih cepat di area perkotaan itu, seakan
ingin menggiling manusia-manusia di dalamnya menjadi
noktah-noktah hitam dalam lubang hisap yang bernama
supernova. Modernitas dipancurkan ke area sekitarnya,
seakan menjadi acuan untuk menjadi idealita yang ingin
210 ******

dicapai oleh setiap manusia dan kelompoknya.


Sementara desa tertatih-tatih dalam roda pedati zaman,
ketika kota sudah bergerak di arena balapan berbentuk jalan
bebas hambatan, sirkuit, jembatan layang, kereta api cepat,
hingga gemuruh pesawat udara dalam kecepatan cahaya.
Komunitas-komunitas pedesaan berpindah hidup ke
perkotaan sebagai imigran dan urbanis, tetapi dalam gerak
yang tak mampu bersaing dalam skala modal dan teknologi.2
Sekalipun sejumlah negara sudah mengembalikan kota
menjadi hutan rimba, akibat polusi yang memburuk,
Indonesia ternyata masih mengejar kelajuan gerak
perkotaan. Jumlah kaum tani menyusut, begitu juga
jumlah lahan, terutama akibat polarisasi kaum tani sendiri
dalam memperjuangkan kepentingan diri dan keluarga.3
Diferensiasi meluas, akibat masuknya berbagai kepentingan
dari kalangan pemodal, terutama para pedagang.4 Padahal,
ketika kota bergerak terlalu cepat, industrialisasi terjadi,
bakal terbentuk lagi kelompok-kelompok baru yang dikenal
sebagai buruh, selain majikan yang menjadi pemilik industri-
industri itu. Padahal, di masa lalu, kaum kolonialis sudah
sangat diuntungkan dengan keberadaan kuli yang bekerja di
sektor-sektor perkebunan dan industri.5 Sementara, aspek

2
Ahmad Sahur, Dkk. 1988. Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial.
Jakarta: PT Pustaka Grafita Kita.
3
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik
Agraria di Indonesia, Insist Press: Yogyakarta, 1999, hal 143.
4
Frans Husken. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan
Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
5
Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada
Desa Millenium Ketiga: 211
Prospek & Tantangan Bisnis

pendidikan sama sekali belum menjadi bagian penting


dari pemberdayaan masyarakat desa, akibat pusat-pusat
pendidikan masih berada di perkotaan.6
Wajah perkotaan yang kian laju, membawa pengaruh
kepada berantakannya area pedesaan. Pengaruh involusi
pertanian begitu serius dalam mengubah wajah pedesaan.7
Daripada tercecer di belakang, terdapat upaya politik
yang serius guna menjadikan desa sebagai barisan baru
yang disusun sebagai organ pemerintahan moderen. Desa
dilibatkan penuh secara eksistensial yuridis, ketimbang
hanya menjadi ornamen demokrasi awal yang tak banyak
disentuh oleh kebijakan dan anggaran negara. Pelibatan
itu tidak terlepas dari pelaksanaan Undang-Undang (UU)
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan UU itu,
desa mendapatkan perhatian penuh dari penyelenggara
negara. Sebelum UU itu berlaku, pemerintahan desa hanya
bagian dari perangkat terbawah pemerintahan daerah, tetapi
tanpa entitas yang jelas. Perubahan status sekretaris desa –
di satu sisi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), di sisi lain
sebagai perwakilan politik desa – dalam UU adalah bentuk
dari kebimbangan pembuat UU.
Dengan UU Nomor 6/2014 itu pula, Pemerintahan
Desa adalah level pemerintahan ketiga setelah Pemerintahan

Awal Abad ke-20, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.


6
Louis Malassis. 1981. Dunia Pedesaan: Pendidikan dan
Perkembangan. Jakarta: PT Gunung Agung.
7
Clifford Geertz, Agricultural Revolution: The Processes of
Ecological Change in Indonesia, Berkeley, Los Angeles, and New
York: University of California Press, 1963.
212 ******

Pusat dan Pemerintahan Daerah. Artinya, Pemerintahan


Desa lebih kuat legitimasi hukumnya sebagai level
pemerintahan tersendiri, ketimbang Pemerintahan Provinsi.
Sebagai pemerintahan teritorial, dengan status wilayah dan
penduduk yang jelas, Pemerintahan Desa bakal menguatkan
Indonesia sebagai negara yang terbentuk dari elemen
“federasi desa”. Indonesia sedang memulai untuk melindungi
kepentingan masayarakat desa, akibat penguasaan sejak era
kolonial, terutama atas tanah.8 Sementara Pemerintahan
Provinsi sama sekali tak mendapatkan keistimewaan
seperti itu, mengingat asal kelahirannya terutama berasal
dari kepentingan nasional, bukan tumbuh atau sudah ada
dari awal. Belum lagi ketentuan yang menyebut gubernur
sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah.
Sebagai konsekuensi dari pengesahan UU itu, alokasi
Anggaran Desa mengalami peningkatan sejak pertama
kali diberikan, yakni hanya Rp. 9 Trilyun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Untuk tahun
anggaran 2017, pagu Anggaran Desa berjumlah Rp 60
Trilyun, bertambah sekitar 27,7% dibandingkan Anggaran
Desa tahun 2016 yang hanya Rp. 47 Trilyun. Peningkatan
itu juga terjadi dari jumlah desa yang mendapatkan alokasi,
yaitu dari 74.754 desa pada tahun 2016 menjadi 774.954
desa pada tahun 2017. Sebelumnya, Anggaran Desa hanya
menjadi bagian dari Anggaran Nasional atau Anggaran
Daerah yang tak menonjol sebagai mata anggaran tersendiri

8
Kondisi ini terutama terjadi di wilayah-wilayah perkebunan
luas, sebagaimana di Sumatera Utara. Lihat Karl J Pelzer. 1985.
Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Desa Millenium Ketiga: 213
Prospek & Tantangan Bisnis

dalam APBN.
Namun, seiring dengan itu, terdapat persoalan yang
serius ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI
melakukan operasi tangkap tangan terhadap Inspektorat
Jenderal Kementerian Desa dan Pembangunan Daerat
Tertinggal (PDT) Sugito. Sugito diketahui melakukan
upaya penyuapan kepada pejabat Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) RI Rochmadi Saptogiri dan auditornya
guna mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
terhadap laporan keuangan Kementerian Desa dan PDT.
Penangkapan itu menunjukkan belum terlaksananya
kaidah-kaidah penyelenggaran pemerintahan yang baik
(good governance). Selain itu, terdapat juga OTT terhadap
aparat Kejaksaan Tinggi di Kabupaten Pamekasan, Madura.
Belakangan, KPK juga ikut membawa Bupati Pamekasan
sebagai tersangka bersama aparat kejaksaan dalam kaitannya
dengan penyimpangan penggunaan Alokasi Dana Desa.
Di luar itu, pertanyaan ulang layak terus diberikan,
apakah operasionalisasi konsep “Revolusi Mental” sudah
berjalan? Revolusi Mental adalah doktrin politik yang paling
tajam diingat dari sosok Presiden Joko Widodo.
Kalau ditelusuri, tulisan Joko Widodo berjudul
Revolusi Mental itu muncul di harian Kompas (10 Mei
2014). Tulisan yang singkat itu belum berhasil memberikan
perspektif yang layak dipertimbangkan sebagai “Jalan
Baru” dalam menyehatkan penyelenggara negara ketika
menjalankan tugas dan kewajibannya. Bukan hanya kurang
berhasil menjelaskan apa yang dimaksud dengan revolusi
mental yang otentik versi Joko Widodo, malahan terlihat
214 ******

usaha untuk mensimplifikasinya semata-mata hanya sebagai


Trisaktinya Bung Karno.
Diluar itu, Joko Widodo dengan eksplisit menyebutkan
betapa hulu dari persoalan-persoalan negatif dan buruk
bangsa Indonesia selama reformasi adalah Orde Baru.
Padahal, Orde Baru juga dikenal memiliki sejumlah cara
dalam menjalankan shock therapy kepada aparat negara
ataupun warga negara. Dari sinilah terlihat, agar revolusi
mental memiliki akar yang kuat, upaya menjelaskan secara
lebih akademik terasa penting. Tentunya upaya ini diluar
dari pelaksanaan konsep Revolusi Mental yang sudah
dibebankan ke dalam APBN lewat kementerian terkait.
Setidaknya, terdapat tiga kalimat penting yang terasa
dominan dalam tulisan Joko Widodo itu, yakni:

Pertama, “Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi


atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam
represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang,
mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat
kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan
menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah,
pelecehan hukum, dan sifat oportunis,” tulis Joko Widodo.

Kedua, “Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan


budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya
segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama
dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai
sekarang,” tulis Joko Widodo.
Desa Millenium Ketiga: 215
Prospek & Tantangan Bisnis

Ketiga, “Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat


menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan
Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga
pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”,
”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia
yang berkepribadian secara sosial-budaya”,” tulis Joko
Widodo.

Tentang Mentalitas
Sekalipun tidak begitu jelas, penelusuran yang lebih
objektif tentu bisa diberikan. Kutipan pertama, misalnya,
mencampur-baurkan antara tradisi dengan budaya. Mana
yang tradisi, mana yang budaya, tidak dipertegas. Lalu,
stigma langsung diberikan bahwa seluruh “tradisi atau
budaya” yang negatif itu muncul “di alam represif Orde
Baru”. Padahal, upaya menjelaskan bagian-bagian paling
negatif dari rezim Orde Baru itu perlu dilakukan, agar bisa
ditutupi dengan koreksi yang baik di masa pemerintahan
berikutnya. Belum lagi yang dinamakan tradisi atau budaya
tidak bisa dikait-kaitkan dengan satu babakan sejarah,
apalagi satu rezim pemerintahan, semata. Tradisi atau
budaya melewati bentang lebih dari satu generasi manusia.
Apa yang disebut sebagai “alam represif ” juga muncul
pada era pemerintahan Presiden Sukarno, bahkan sebelum
pidato Trisakti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan
nama pemerintahan. Setelah muncul Dekrit Presiden 5
Juli 1959, Mohammad Hatta menulis risalah dengan judul
“Demokrasi Kita” pada tahun 1960. Risalah itu dimuat
dalam majalah Panji Masyarakat. Apa yang terjadi? Risalah
216 ******

itu dilarang beredar dan baru kemudian bisa ditemukan


kembali pada masa Orde Baru. Contoh yang lebih besar
adalah penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang kemudian
menjadi Pahlawan Nasional, termasuk Sutan Sjahrir yang
meninggal dalam status sebagai tahanan, Muhammad
Natsir, Buya HAMKA dan banyak lagi yang lainnya.
Alam represif bukan hanya terkait dengan rezim yang
sedang berkuasa dan menjalankan roda pemerintahan.
Alam represif terbangun dalam sistem hukum, sistem
politik dan aturan perundang-undangan hingga konstitusi
yang berlaku. Aparatur penyelenggara negara hanya satu
bagian saja dari satu mata-rantai jejaring yang menebarkan
jala ketakutan, kelaparan dan penderitaan. Sistem yang baik
belum tentu melahirkan aparatur penyelenggara negara
yang baik pula. Tetapi jauh lebih berbahaya, apabila sistem
yang buruk terus-menerus dipelihara sebagai bagian dari
tatakelola pemerintahan. Sistem seperti itu bisa berakibat
kepada upaya untuk memisahkan diri.9
Lalu, apa yang disebut sebagai “tradisi atau budaya”
yang bersifat negatif itu, sudah lama juga disebut
oleh Mohammad Hatta. Hatta bahkan dikenal sebagai
pengemuka diksi “korupsi telah menjadi budaya” yang
menjadi polemik intelektual. Hatta bahkan sempat menjadi
semacam Panitia Negara dalam upaya pemberantasan
korupsi di awal Orde Baru. Sekalipun Hatta dikenal sebagai
pribadi yang sederhana, hemat, bahkan “pelit”, tetap saja
mentalitas pribadi itu tak bisa langsung ditularkan menjadi

9
Larry Diamond & Marc F Plattner (Penyunting), Nasionalisme,
Konflik Etnik dan Demokrasi, Bandung: Penerbit ITB, 1998.
Desa Millenium Ketiga: 217
Prospek & Tantangan Bisnis

mentalitas kolektif. Reputasi pribadi bukanlah sistem yang


mampu mendapatkan sanksi hukum, misalnya.
Belum lagi sifat negatif manusia Indonesia, juga sudah
pernah disampaikan oleh Mochtar Lubis10 (yang juga
dipenjarakan pada masa Presiden Sukarno) pada tahun 1977
dengan menyebut enam ciri manusia Indonesia, yakni (1)
hipokrit alias munafik, (2) enggan bertanggung jawab atas
perbuatan dan keputusannya, (3) berjiwa feodal, (4) percaya
takhayul, (5) artistik , dan (6) berwatak lemah. Keenam
ciri manusia Indonesia bahkan terus melaju sampai abad
milenium dan digital sekarang. Aparat hukum, misalnya,
lebih mudah menangkap pelaku penyeberan berita atau
pendapat hoax di kalangan rakyat biasa, ketimbang sosok-
sosok yang dinekal sebagai selebritas media sosial.

Tentang Orde Baru


Jadi, ketika Joko Widodo menyampaikan betapa
“praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama
dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai
sekarang”, patut muncul satu pertanyaan: dimana letak
Angkatan 1966 dalam peta sejarah bangsa Indonesia dalam
konteks itu? Bukankah Angkatan 66 yang gegap gempita
itu – walau diketahui juga merupakan bagian dari kerjasama
dengan elemen-elemen dalam tubuh Angkatan darat – yang
melancarkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang jelas-jelas
membongkar keburukan-keburukan era sebelumnya?

10
Mochtar Lubis. 1982. Budaya, Masyarakat dan Manusian
Indonesia: Himpunan ‘Catatan Kebudayaan’ Mochtar Lubis dalam majalah
Horison. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
218 ******

Bagaimana kiprah mereka, ketika ikut “tumbuh


kembang” selama Orde Baru, bahkan terus mekar hingga
dewasa ini? Apakah “praktik-praktik yang buruk” itu bisa
dilepaskan dari individu-individu yang menjadi bagian dari
rezim lama hingga rezim kontemporer?
Baiklah, tidak perlu menggunakan Angkatan 66,
melainkan Sukarno sendiri. Bukankah dengan Dekrit
Presiden Sukarno 5 Juli 1959 sudah menunjukkan bahwa
ada yang salah, banyak yang keliru, dari “praktik-praktik
yang buruk yang sudah lama dibiarkan tumbuh kembang”
itu? Praktik demokrasi liberal dengan sistem parlementer
berdasarkan UUD Sementara 1950 ternyata menjauhkan
cita-cita ideal Proklamasi 1945. Sukarno kemudian
mengambil alih, dengan cara membubarkan Dewan
Konstituante, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) Sementara dan Dewan Perwakilan Agung (DPA)
Sementara. Dekrit Presiden itu jelas-jelas adalah koreksi
atas perjalanan pemerintahan, terutama dalam sistem
parlementer yang tak lepas dari skandal korupsi di kalangan
politisi lintas partai. Sukarno melakukan koreksi dan revisi
atas sistem yang berjalan dalam era kepresidenannya sendiri.
Terlihat sekali betapa berangnya Joko Widodo kepada
Orde Baru – paling tidak dalam konteks tulisan itu --
sehingga dengan mudah memberikan seluruh penilaian
negatif sebagai “tradisi atau budaya” Orde Baru itu.
Padahal, dalam babakan sejarah Orde Baru itu juga seorang
Joko Widodo menamatkan kuliah di kampus Universitas
Gajah Mada (UGM), dari orang tua yang bekerja sebagai
tukang kayu. Di masa Orde Baru itu juga Joko Widodo kecil
sering memancing ikan di sungai, dekat rumah kontrakan
Desa Millenium Ketiga: 219
Prospek & Tantangan Bisnis

orangtuanya. Minimal, itu gambaran yang bisa didapat,


ketika menonton sinetron Jokowi di stasiun SCTV. Orang-
orang kecil seperti orang tua Jokowi ternyata mampu
membangun harapan yang lebih tinggi, yakni menamatkan
bangku pendidikan tinggi bagi anaknya.

Tentang Desa Suka Maju


Orde Baru tentu adalah cerita buruk bagi sebagian
orang, walau bagi yang lain tidak semuanya dan selamanya
buruk. Orde Baru adalah cerita tentang Desa Suka Maju
dengan posisi: Ini Budi | Ini Ibu Budi | Ini Bapak Budi
| Ibu pergi ke pasar | Bapak membaca koran. Orde Baru
adalah cerita sebuah desa yang maju, sederhana, alamiah,
namun berada di zona antah berantah. Orde Baru dalam
ingatan kanak-kanak adalah kisah si Budi yang melihat
tupai, dekat dengan penggembala kerbau, dan terpenuhi
kebutuhan dasarnya. Desa si Budi jelas berbeda dengan
suasana kota si Unyil atau kampung si Upin Ipin.
Penokohan si Budi dalam Desa Suka Maju adalah
upaya modernisasi dan sekaligus penyeragaman imajinatif
pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden
Soeharto kepada kalangan pelajar. Cerita si Budi ini masuk
ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia anak-anak
Sekolah Dasar. Sama sekali tak tergambarkan tentang
keberadaan elite-elite di pedesaan, baik dalam artian sosial,
keagamaan, ataupun ekonomi dan adat.11 Sekalipun tidak

11
Tentang pengaruh elite-elite sosial di pedesaan Aceh dan
Janeponto (Sulawesi Selatan), bisa dilihat dalam M Mansyur Amin,
dkk. 1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jakarta:
220 ******

berlanjut pada jenjang Sekolah Menengah Pertama, sikap


dan “mentalitas” si Budi ini sudah tertanam dalam diri
peserta didik. Lingkungan pedesaan yang muncul dalam
kisah itu sekaligus memberikan pesan kuat sebagai negara
agraris yang belum beranjak menjadi negara industri yang
hendak dicapai dalam era Tinggal Landas.
Hanya saja, kondisi administratif penyelenggaraan
pemerintahan desa di Desa Suka Maju sama sekali belum
tergambarkan dalam kisah si Budi. Padahal, apabila
dijelaskan, terasa sekali ada idealisasi atas konsepsi
pemerintahan desa. Ketiadaan kisah lanjutan atas si Budi
inilah yang membuka ruang-ruang kosong penafsiran
atas apa yang disebut sebagai pemerintahan desa.
Praktek-praktek buruk pemerintahan sama sekali belum
tergambarkan, sekalipun lagu kanak-kanak di masa itu juga
menonjolkan kondisi anak-anak desa yang tumbuh di era
itu.
Sebagai gambaran, lagu dengan judul “Anak Desa”
yang populer dinyanyikan oleh penyanyi cilik Ade Putra
pada tahun 1980-an ini bisa memberikan gambaran:

Aku anak desa, lulusan SMA


Punya cita-cita membangun negara
Kusingsingkan lengan, ku pergi ke kota
Cari pengalaman, menambah diploma

Pustaka Grafika Kita.


Desa Millenium Ketiga: 221
Prospek & Tantangan Bisnis

Semangat menyala dalam dada


Melamun aku dalam kereta
Ingin aku menyumbang tenaga
Pasti aku kan membangun desa

Sesampainya di kota, banyak pengalaman


Hampir tak percaya, ini Indonesia
Mobil dan bis kota, baris di jalanan
Penuh rasa bangga, dan terharu pula.

Ku hanya sempat baca di koran


di kota banyak kejahatan
mencuri uang juta-jutaan
Korupsi menghambat pembangunan

Dalam lubuk hati akupun berjanji


bila saat nanti, ku dapat berbakti
membangun desaku, dengan mental tinggi
Tuhan Maha Kuasa, semoga merestui

Yang namanya pungli aku anti


Segala korupsi aku benci
Indonesia makin jadi rapi
Ayo membangun Negeri sendiri.

Begitulah, ketika Jokowi memberikan jawaban atas


masalah-masalah “yang tumbuh subur dan berkembang
di alam represif Orde Baru” itu, muncullah istilah
revolusi mental. Apa itu revolusi mental? Secara singkat,
222 ******

sebagaimana kutipan ketiga di atas,  yakni “konsep Trisakti


yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun
1963.” Terus terang, belum begitu jelas dalam judul pidato
mana Bung Karno menggunakan konsep itu, sekalipun
banyak sekali istilah Trisakti muncul yang dikaitkan dengan
Sukarno. Pidato Bung Karno pada tahun 1963 notabene
berada pada era kebangkitan Partai Komunis Indonesia,
peminggiran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia,
serta kasak kusuk Perang Dingin yang mempengaruhi
posisi Presiden Sukarno sendiri di dunia internasional.
Tetapi, kalau benar angka tahunnya, berarti istilah itu
sendiri sudah membentur kenyataan sejarah. Kedaulatan di
bidang politik dan kemandirian di bidang ekonomi justru
terjadi dalam arus deras kritik yang kemudian dicoba
dibungkam di tahun-tahun itu. Apa yang dikenal sebagai
“proyek-proyek mercusuar” juga terjadi, termasuk apa yang
dikenal sebagai Poros Jakarta-Peking dan beragam istilah
lainnya. Konsep Trisakti tidak berada dalam ruang yang
vakum, melainkan memiliki rona dan warna, ketika konsep
itu lahir dari seorang Presiden RI yang sedang menjabat,
termasuk dengan sejumlah “jabatan” lain, seperti Panglima
Besar Revolusi.
Seperti dua sisi dalam satu mata uang yang sama,
begitulah sejarah dipandang oleh seseorang. Pelajaran
tentang perspektif ilmu sejarah yang paling sederhana
adalah ketika seseorang memandang potret bersama yang
ada di dalam album keluarga atau perkawanan. Apa yang
dilakukan oleh yang memandang? Pastilah yang dicari
potret sendiri di dalam sebuah acara sekolah atau reunian,
misalnya. Potret itu tentu tidak bisa menggambarkan
Desa Millenium Ketiga: 223
Prospek & Tantangan Bisnis

dengan persis apa yang terjadi, kecuali kita harus belajar


sama sekolah sihir Harry Potter, dimana potret bisa
bercerita dan bicara. Sejarah bukanlah seperti memasukkan
kepala ke dalam ruang dan waktu yang berbeda, sementara
bagian badan yang lain tertanam di masa kini.
Darimana datangnya konsep “Indonesia yang
berkepribadian secara sosial-budaya” yang muncul dalam
kutipan Trisaksi Bung Karno? Bukankah yang sering
disebut hanya berkepribadian di bidang budaya atau katakanlah
berkepribadian secara kebudayaan? Tidak ada sama sekali kata
“sosial-budaya” dalam versi Trisakti yang asli, minimal
yang saya bisa lacak di internet. Trisakti versi siapakah yang
memasukkan unsur berkepribadian secara sosial-budaya
itu? Objektifikasi menjadi penting guna melihat keseriusan
dari nukilan-nukilan yang diambil. Dengan keberadaan UU
tentang Desa, secetulnya terdapat jalan dan daya upaya untuk
menumbuhkan kepribadian secara sosial-budaya di tingkat
pedesaan. Penguatan organisasi masyarakat di pedesaan
adalah bagian penting dari itu, sembari membandingkan
dengan organisasi di pedesaan negara-negara lain yang
lebih sejahtera masyarakat desanya.12
Terlepas dari itu, upaya memberikan jarak terhadap
masa lalu tentu dimaksudkan untuk memeriksa seberapa
banyak terjadi perubahan di masa kini. Dari sinilah peranan
yang dimainkan oleh pemerintahan yang terbentuk pasca
pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2014.

12
Budi Winarno. 2003. Komparasi Organisasi Pedesaan dalam
Pembangunan: Indonesia vis a vis Taiwan, Thailand, dan Filipina.
Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo.
224 ******

Salah satunya adalah memberikan kerangka yang lebih


menyeluruh terkait revolusi mental yang sudah menjadi
bagian dari program pemerintahan. Pemahaman yang
subjektif perlu dipinggirkan, lalu dicarikan saripati makna
yang lebih objektif bagi kepentingan yang luas. Revolusi
mental dalam makna itu tentunya mengandung signifikansi
yang melebihi pertarungan antar rezim politik semata.

Tentang Revolusi Mental


Gagasan revolusi mental sudah menjadi bagian penting
dalam penyusunan Rencana Strategis pemerintahan baru.
Gagasan ini sebetulnya ada di kalangan masyarakat sipil
dan kaum pergerakan, pada saat reformasi bergemuruh.
Tetapi bentuknya bukan revolusi mental, melainkan
revolusi sosial.13 Tidak mudah untuk menubuhkan gagasan
ini di dalam pemerintahan yang sudah dan sedang berjalan.
Tetapi, paling tidak, usaha itu perlu terus dilakukan, guna
memberikan kesempatan kepada setiap pemerintahan
(baru) menjalankan agenda-agendanya. Gagasan revolusi
mental paling tidak bakal mewarnai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2014-2019, sebagian bagian dari
mandat resmi yang sudah diberikan oleh publik.
Masalahnya, banyak pertanyaan yang diajukan tentang
apa yang disebut sebagai revolusi mental itu. Bahkan,
sebagian pihak mulai menuduh bahwa revolusi mental

13
Lihat Indra J Piliang, “Kanvas Revolusi dalam Sketsa Buram
Indonesia,” dalam Victor Silaen (Editor). 2003. Dari Presiden ke
Presiden: Pikiran-Pikiran Reformasi yang Terabaikan. Jakarta: Universitas
Kristen Indonesia Press, halaman 114-138.
Desa Millenium Ketiga: 225
Prospek & Tantangan Bisnis

hanyalah jargon politik yang berulang, sebagaimana hadir


dalam setiap pemerintahan dan rezim. Apabila gagasan
ini tidak dielaborasi dengan baik, revolusi mental tinggal
sebagai frase kampanye yang tidak memiliki dasar pijakan.
Padahal, gagasan ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan
dalam fase pemerintahan Ir Joko Widodo dan Drs
Muhammad Jusuf Kalla dalam mengarungi tahun 2014
hingga 2019. Demokrasi memberikan kesempatan kepada
pihak yang mendapatkan mandat guna menjalankan visi,
misi dan program yang sudah disampaikan kepada publik.
Birokrasi – termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
terlibat dalam Operasi Tangkap Tangan KPK RI – adalah
mata rantai yang ikut serta menyusun dan menjalankan
konsep revolusi mental itu. Seperti sebuah bangunan
raksasa, setiap mata rantai birokrasi adalah sedimen yang
dibentuk oleh sistem pemerintahan. Sementara program
yang disusun oleh rezim politik yang menjalankan adalah
warna atau cat yang dioleskan guna memberikan perbedaan
dengan rezim politik terdahulu. Bangunan raksasa yang
bernama negara itu tentu tak bakal bisa diubah, apalagi
dalam kapasitas sebagai eksekutif.
Paling tidak, dalam kaitannya dengan birokrasi,
terdapat catatan-catatan sebagai berikut, terkait dengan
revolusi mental.
Pertama, reformasi yang dilaksanakan di Indonesia baru
sebatas perombakan yang bersifat institusional,
belum menyentuh paradigma, mindset, atau
budaya politik kita dalam rangka pembangunan
bangsa (nation building). Sehingga, perlu
226 ******

dilakukan perombakan terhadap manusianya atau


sifat mereka yang menjalankan sistem ini.
Kedua, berkembangnya korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin
menang sendiri, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan
hukum, dan sifat oportunis.
Ketiga, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya
politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya
segala praktik-praktik yang buruk yang sudah
terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang.
Keempat, Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih,
andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja
melayani kepentingan rakyat dan mendukung
pekerjaan pemerintah yang terpilih.

Empat poin itu berasal dari artikel yang ditulis oleh Ir


Joko Widodo di Harian Kompas, pada tanggal 10 Mei 2014
itu. Berikutnya, ada catatan-catatan di bawah ini, sebagai
bagian dari pidato pelantikan Presiden Ir Joko Widodo
pada tanggal 20 Oktober 2014:
Pertama, beban sejarah yang mahaberat ini akan dapat
kita pikul bersama dengan persatuan, dengan gotong
royong, dengan kerja keras.
Kedua, pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk
memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air
merasakan pelayanan pemerintahan.
Ketiga, untuk membangun Indonesia menjadi negara besar,
negara yang kuat, negara yang makmur, kita harus
memiliki jiwa cakrapatih samudra, jiwa pelaut yang
Desa Millenium Ketiga: 227
Prospek & Tantangan Bisnis

berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak


yang menggulung.

Dua naskah itu setidaknya bisa memandu untuk


menemukan apa yang disebut sebagai revolusi mental,
terutama dalam kaitannya dengan birokrasi. Kalau diurut-
urut, letaknya adalah pada perubahan mentalitas manusia
yang menjalankan pemerintahan. Perubahan itu dimulai
dari paradigma (kerangka pemikiran), mindset (pola pikir)
dan semangat gotong royong dalam bekerja. Di luar itu,
dari sisi psikologis, jiwa yang dikembangkan adalah jiwa
pelaut yang berani menghadapi tantangan.

Tentang Pelayanan Publik


Paradigma seperti apa? Paradigma pelayanan publik,
sesuai dengan UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Paradigma pelayanan publik bisa ditunjukkan
dengan kehadiran penyelenggara negara dalam isu-isu
publik. Sebagai pelayan publik, aparatur pemerintahan
tidak menempatkan dirinya sebagai atasan dari masyarakat,
melainkan justru sebagai “pesuruh” publik, sesuai dengan
nomenklatur masing-masing. Birokrasi tidak hadir untuk
diri sendiri atau hanya sekadar kumpulan orang-orang
yang dipenuhi oleh tanda pangkat, fasilitas dan jabatan,
melainkan membaur di tengah publik guna memikul
tanggungjawabnya masing-masing.
Dengan kerangka pemikiran seperti itu, birokrasi tidak
boleh lagi membuat jarak dengan publik. Sebagai pelayan
publik, wajah birokrasi tentulah terlihat berkeringat,
ketimbang terus-menerus dalam posisi bersafari yang jarang
228 ******

terkena matahari. Birokrasi yang bergerak kemana-mana,


dengan sigap melayani publik yang paling membutuhkan
pertolongan, di manapun dan kapanpun, dengan sikap
welas asih. Birokrasi yang meruntuhkan benteng-benteng
di dalam diri sendiri, akibat salah kaprah paradigma lama
sebagai wujud dari penguasa dan priyayi.
Seiring dengan perubahan kerangka pemikiran itu,
tentu juga diikuti dengan perubahan pola pikir. Pola pikir
itu berupa menjalankan kewajiban yang dibebankan,
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, lalu
menghilangkan budaya lama yang sudah usang. Pola pikir
mencari keuntungan untuk diri sendiri perlu dihilangkan
sama sekali, karena lambat laun akan menyebabkan
masyarakat tidak lagi memiliki apa-apa. Masyarakat yang
dikuras atau terkuras kemampuan dirinya, bisa membebani
pembangunan karakter bangsa, serta pada gilirannya
memicu perasaan tidak aman di mana-mana dalam bentuk
konflik.

Tentang Aparatur Sipil Negara


Beberapa studi sudah dilakukan guna mengukur
seberapa besar pengaruh seorang aktor di dalam birokrasi
bagi publik yang dilayani. Secara teoritis, belum terdapat
keseimbangan antara jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN)
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang dilayani,
yakni sekitar 2,4 ASN per 100 penduduk. Seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk, jumlah ASN perlu
ditambah, agar satu tangan bisa menyentuh lebih banyak
penduduk. Inilah mindset lama itu.
Desa Millenium Ketiga: 229
Prospek & Tantangan Bisnis

Masalahnya, apakah rasio itu benar-benar sudah


diimplementasikan? Apakah di antara 100 penduduk yang
dilayani, benar-benar sudah menemui sebanyak 2,4 ASN
yang melayani itu? Jangan-jangan, ASN lebih banyak
bersalaman di antara mereka sendiri, baik selama jam kerja
ataupun diluar jam kerja, terutama tenaga administratif.
Dari sini, perubahan pola pikir pada gilirannya bergerak
kepada pola kerja, yakni semakin banyak tenaga birokrasi
yang bergerak di lapangan, dibandingkan dengan tenaga-
tenaga administratif yang berada di belakang meja. Rasio
seperti itu perlu diukur lagi secara lebih presisi, terutama
dari sisi penduduk yang benar-benar berhubungan dengan
birokrasi.
Di luar itu, penjiwaan sebagai pelaut penting
dijadikan sebagai catatan. Pelaut yang mengarungi badai,
ombak dan gelombang. Ada situasi turbulensi yang terus-
menerus datang, dalam perjalanan pemerintahan. Seorang
pelaut, apalagi dalam posisi sebagai nahkoda, tidak akan
meninggalkan kapal dalam keadaan apapun, apalagi ketika
diterjang gelombang. Seorang pelaut lebih memprioritaskan
penumpang yang selamat, ketimbang dirinya sendiri,
apabila musibah datang. Semangat pengorbanan inilah
yang dituntut dari birokrasi di Indonesia, guna mengubah
kembali pandangan publik yang telanjur negatif dalam
urusan-urusan yang mudah menjadi rumit, yang cepat
menjadi lama, lalu budaya sogok-menyogok yang koruptif.
Pengabaian pada aspek pelayanan, lambat laun bakal
memicu pembangkangan oleh publik dalam memberikan
pajak. Pengurangan pendapatan dari pajak menghambat,
bahkan bisa menghentikan, roda pemerintahan. Bukan
230 ******

tak mungkin Indonesia bakal mengalami penutupan


pemerintahan (government shutdown) seperti yang terjadi
di Amerika Serikat pada 1 Oktober 2013. Dalam era
pemerintahan moderen dengan jumlah kelas menengah
yang semakin besar, bukan tidak mungkin bakal terjadi
kampanye dari para pembayar pajak untuk mengurangi
belanja pemerintah di bidang kepegawaian. Aspirasi seperti
itu sudah terjadi di negara-negara yang lebih maju secara
ekonomi. Tingkat pendidikan warga negara yang semakin
tinggi, tidak hanya bebasiskan sekolah menengah seperti
di Indonesia, juga bakal memancing perbedaan-perbedaan
pandangan dengan pemerintah.
Dari sisi penamaan, Aparatur Sipil Negara memiliki
tugas yang jauh lebih penting dari sekadar ornamen
penting pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. ASN
berada dalam ruang sivilisasi (civilization), yakni ruang
peradaban. ASN sebagai pihak yang paling depan dalam
menjalankan roda pemerintahan adalah para kreator
peradaban di dalam ruang kenegaraan. Keberadaan
ASN ini sekaligus menunjukkan bahwa tugas-tugas
pendidikan kewarganegaraan (civic education) juga bagian
dari eksistensinya. Dengan kerangka seperti ini, rezim
politik manapun bakal dihadapkan dengan tembok besar
pekerjaan-pekerjaan makro dan jangka panjang, ketimbang
hanya memenangkan pemilu, misalnya.

Tentang Legislator Daerah


Bagaimana juga wujudnya dalam kerja-kerja yang
dilakoni oleh anggota-anggota legislatif daerah? Dalam
pemilu 2014 lalu, terdapat 243.084 calon anggota legislatif
Desa Millenium Ketiga: 231
Prospek & Tantangan Bisnis

yang memperebutkan 20.389 kursi legislator di tingkat


pusat, provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata satu kursi
diperebutkan duabelas orang. Jumlah yang sebetulnya tak
banyak, tetapi seperti hendak mengoyak Indonesia setiap
lima kali setahun. Satu orang calon anggota menghabiskan
anggaran sebesar Rp. 834.000.000,- jika anggaran yang
dihitung hanya Rp 17 Trilyun APBN yang digunakan untuk
itu. Jika dikalikan dengan jumlah anggaran yang dipakai
oleh masing-masing partai politik dan perseorangan,
katakan saja rata-rata dikalikan dua, maka ada sekitar Rp
1.668.000.000,- uang yang dibelanjakan secara resmi atau
tidak resmi oleh masing-masing calon.
Bahkan, ada calon yang membelanjakan sampai Rp
70 Milyar guna mendapatkan satu kursi di DPR RI. Orang
mengira, bahwa dana itu ditujukan untuk mendapatkan
keuntungan secara material setelah menjadi anggota
legislatif. Padahal, dari banyak sekali anggota parlemen yang
bisa ditemui, rata-rata merasa tidak bisa mengembalikan
jumlah dana yang mereka telah belanjakan itu, dengan
penghasilan sebagai anggota legislatif. Kenapa? Karena
pada prinsipnya, setelah pemilu, justru yang menghidupi
partai politik mayoritas terdiri dari anggota-anggota
legislator terpilih ini. Artinya, apabila hanya satu kursi
legislator yang didapatkan oleh partai, sementara calon
yang diikut-sertakan sebanyak dua-belas orang, otomatis
beban sebelas orang lagi akan berpindah kepada yang satu
orang selama lima tahun.
Alangkah nelangsanya, apabila selama duduk di
legislatif, sang legislator mendapatkan tuduhan yang sama
sekali tak enak, dikirimin berbagai tagihan atas nama partai,
232 ******

konstituen ataupun kelompok-kelompok kepentingan yang


lain. Pun, apabila menghadapi persaingan yang tak sehat di
dalam partai, bisa sewaktu-waktu terlempar dari posisi yang
empuk di komisi-komisi basah. Apa dasar dari “lempar-
lempar komisi” itu? Bukan keunggulan komparatif masing-
masing legislator, bukan kualitas pribadi sebagai “tukang
bicara”, apalagi juga bukan sebagai kritikus yang hebat
atas kebijakan-kebijakan pemerintah (baik pemerintah
itu berasal dari partai sendiri ataupun partai orang lain),
melainkan hanya semata-mata salah dalam mengambil
posisi perebutan ketua umum partai politik kala pemilihan
diadakan.
Dan salah dalam pengertian ini adalah diam, tak
mengangguk, tak menggeleng, ataupun suatu ketika terlihat
sedang nongkrong di sebuah kafe bersama “Tim Sukses
Caketum Yang Lain”. Begitulah, partai yang idealnya
makin dewasa, arif dan bijaksana, serta makin antisipatif
menghadapi gejolak-gejolak domestik, kawasan dan
manca-negara, justru diihinggapi oleh penyakit-penyakit ala
nenek sihir dalam kisah Oki dan Nirmala di majalah kanak-
kanak. Ironisnya, hampir semua partai tidak berupaya
untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ala nenek sihir
ini. Perseteruan dan permusuhan bahkan dikoar-koarkan
dan dikibar-kibarkan, di satu sisi. Di sisi sebaliknya: amanat
penderitaan rakyat, revolusi mental, hingga nawacita dan
jubah-jubah relegius digunakan ketika masanya tiba demi
kesejatian dan kesucian perjuangan.
Akibat yang kian terasa, kendali politik tak lagi ada di
dalam tubuh legislatif sendiri. Pasar politik berpindah ke
ruang-ruang maya dan sejak pemilu 2014 digantikan oleh
Desa Millenium Ketiga: 233
Prospek & Tantangan Bisnis

media sosial.Forum-forum warga juga makin terbengkalai,


digantikan dengan adu trending topic di media sosial.14
Ksatria-ksatria elok rupa malah berbentuk akun-akun
anonim yang bahkan tak diketahui siapa pemiliknya. Saking
tak ada lagi para ksatria dalam ranah nyata, bahkan ada
seorang calon gubernur yang bersedia dibuatkan buku
oleh akun anonim dengan nama anonim yang tentu saja
seluruh ceritanya tak bisa dirujuk referensinya. Saking tak
berdayanya, pemerintah malahan bersibuk ria bersama
parlemen untuk mengendalikan gunjingan di media sosial
dengan merevisi UU Nomor 12 tahun 2011 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang bahkan
langsung diberlakukan tanpa disosialisasikan. Padahal, jika
lebih banyak orang bersikap ksatria dan terbuka atas segala
sesuatu yang ada dalam pikirannya, serta bertanggungjawab
atas apa yang ia tuliskan, akan sulit sekali menemukan
manusia-manusia yang merasa lebih baik berlindung dibalik
keanonimannya itu.
Di sinilah peran penting revolusi mental kalangan
legislator daerah. Saya tidak memiliki data, seberapa banyak
anggota legislatif daerah yang bisa terpilih untuk kedua-
kalinya, atau lebih. Tetapi, masing-masing partai politik
sudah melakukan pembatasan, maksimal dalam dua periode
dalam kedudukan dan posisi yang sama. Artinya, hanya
maksimal sepuluh tahun jejak langkah dan rekam juang
masing-masing anggota legislator itu yang secara maksimal
bisa dijalankan. Selebihnya, memang ada juga yang bisa

14
Fahmi Wibawa (Editor). 2006. Forum Warga: Strategi Politik
Ekstra Parlementer. Jakarta: Kemitraan & Bina Swagiri – FITRA.
234 ******

terpilih lebih dari itu, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan


biasanya menduduki posisi puncak dalam tubuh partai
politik yang bersangkutan. Dengan jatah waktu sepuluh
tahun itu, sudahkah diukur bentuk-bentuk perjuangan apa
saja yang layak dicatat di bidang legislasi, bidang anggaran,
hingga bidang pengawasan?
Revolusi mental kalangan legislator daerah sangat
ditentukan kepada sejauh mana keikhlasan masing-masing
anggota tentang zaman yang semakin cepat bergerak, waktu
yang kian tak bisa dibaikan, serta masalah-masalah yang tak
lagi sama dengan waktu-waktu sebelumnya pada waktu
kampanye dihelat. Memberikan perhatian kepada generasi
baru adalah juga bagian penting dari proses revolusi mental
itu. Diluar itu, seiring dengan pergeseran rezim politik dari
otoritas pusat ke otoritas daerah hingga pedesaan, peranan
legislator daerah kian penting. Dalam hal ini, termasuk
pengawasan hingga pengelolaan perusahaan-perusahaan
nasional yang berada di daerah.15

Penutup
Sekalipun revolusi mental belum bergaung menjadi
elan politik baru, namun tetap mampu memberikan
perbedaan dengan rezim sebelumnya. Terutama sejak
pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta,
terdapat polarisasi di antara kalangan elite, dalam hal ini
antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

15
Yoyok Widoyoko dan Edi Indrizal (Penyunting), Politik
Penguasaan BUMN di Daerah: Kasus Privatisasi PT Semen Padang,
Depok: Cirus, 2002.
Desa Millenium Ketiga: 235
Prospek & Tantangan Bisnis

Di antara keduanya, Prabowo Subianto menjadi tokoh


yang ikut mempengaruhi. Dalam sejumlah pernyataan
yang diberikan, terdapat upaya untuk membedakan
antara apa yang dilakukan oleh pemerintahan SBY (2004-
2009 s/d 2009-2014) dengan pemerintahan Jokowi yang
masih berlangsung (2014-2019). Di media sosial, terjadi
pertarungan yang tak pernah berhenti antara pendukung
SBY dengan pendukung Jokowi.
Di antara perdebatan itu adalah pembangunan
infrastruktur, perjalanan ke luar negeri, pelibatan keluarga,
penghinaan kepala negara, dan sebagainya. Isu-isu itu terus
menyeruak sepanjang hari di masing-masing gadset yang
dipakai oleh warga negara. Di negara demokrasi yang
tingkat kebebasan dalam menggunakan media sosialnya
paling tinggi seperti Indonesia, keadaan itu bakal terus
berlangsung. Seluruh stakeholders yang ada seyogianya
menjadikan isu-isu di media sosial itu sebagai musik
kehidupan dalam lalu-lalang kendaraan politik. Setiap kali
terdapat warga yang memberikan informasi negatif, hitam
atau hoax, bakal terdapat warga negara lain yang melakukan
klarifikasi ataupun mempertanyakan informasi yang ada.
Keseimbangan informasi dengan tingkat pemerataan yang
tinggi adalah kunci dari mengelola demokrasi dalam era
kebebasan penggunaan teknologi informasi.
Dengan intensitas penggunaan media sosial itu pula,
terdapat banyak informasi yang disebarkan masyarakat
sendiri. Apabila stakeholders pedesaan memanfaatkan
informasi itu dengan baik, justru akan menjadi energi positif
bagi Indonesia. Selama ini, warga negara Indonesia dikenal
memiliki kepedulian tinggi atas orang lain, pemurah dalam
236 ******

memberikan informasi, serta percaya kepada pemerintah.


Stabilitas politik yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari dukungan yang selalu tersedia dari warga negara kepada
penyelenggara negara. Sehingga, tidak ada alasan lagi untuk
menghindarkan diri dari kemajuan bersama, guna mencapai
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bibliografi

Akatiga. 2010. Kelompok Marjinal dalam PNPM-Perdesaan.


Bandung: Akatiga.
Alganih, Igneus. 2014. Konflik Poso: Kajian Historis Tahun
1998-2001. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Arifin, Ahan Syahrul, dkk. 2014. Membangun Desa,
Membangun Bangsa. Jakarta: PBHMI Publishing.
Arifin, Ramudi. 2013. Koperasi Sebagai Perusahaan. Bandung:
IKOPIN PRESS.
Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Keuangan Kabupaten –
Kota Tahun 2013-2015.
---------------------------. 2015. Statistik Keuangan Provinsi di
Indonesia Tahun 2013-2015.
Ciputra. 2009. Menumbuhkan Kepekaan dan Pemberdayaan
dalam Pendidikan Entrepreneurship. Jakarta.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition,
Yale University Press-New Haven.
Davis, Peter. 2010. Membangun Keunggulan Koperasi. LSP2I-
ADOPKOP Indonesia. Jakarta.
Decentralisation Support Facility. 2007. Gender Review and

237
238 ******

PNPM Strategy Formulation. Mission Report. Working


Paper on the Findings of Joint Donor and Government
Mission.
Diochon, M. 2006. A longitudinal study of the
characteristics, business creation process and
outcome differences of Canadian entrepreneurs.
The International Entrepreneurship and Management
Journal, 2 (4).
Djohan, Djabaruddin dkk. 2000. Membangun Koperasi
Pertanian Berbasis Anggota. Jakarta: LSP2I.
Eko, Sutoro dkk. 2014. Desa Membangun Indonesia.
Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD).
----------------. 2005. Manifesto Pembaharuan desa. Yogyakarta:
APMD Press.
----------------. 2005. Menggantang Asap: Kritik dan Refleksi
Atas Gerakan Kembali ke Nagari.
Eschenburg, Rolf. 1994. Theory of Cooperative Cooperation.
Dalam International Handbook of Cooperative
Oeganizations. Gottingen: Vandenhoeck &
Ruprecht.
European Union: Commision on Agriculture. (2010).
Nurturing Aggricultural competitiveness and
Entrepreneurship. EU Rural Review.
Frans dan Keebet von Benda-Beckmann. 2009. “Identitas-
identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-
komunitas Politik Minangkabau” dalam Henk
Schulte Nordholt dkk (Editor). Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor
Desa Millenium Ketiga: 239
Prospek & Tantangan Bisnis

Indonesia.
Gidley, J, et al. 2010. “Social inclusion: Context, theory
and practice”, dalam The Australasian Journal of
University-Community Engagement.
GTZ- SfDM. 2005. Support for Decentralization Measures.
Guidelines on Capacity Building in the Regions. Module
C: Supplementary Information and References. SfDM
Report 2005-4.
Gutierrez, L. 2000. Convergence in US and EU agriculture.
European Review of Agricultural Economics.
Hendro. (2011). Dasar-Dasar Kewirausahaan. Panduan bagi
Mahasiswa untuk Mengenal, Memahami, dan Memasuki
dunia Bisnis. Jakarta.
Ikopin. 1992. Pokok-pokok Pikiran Tentang Pembangunan
Koperasi. Bandung
Institute Mosintuwu dan Sekolah Perempuan Poso, 2013.
“Rekomendasi Kongres Perempuan Poso untuk
Tim Perumus Peraturan Pemerintah untuk UU
Desa”.
Juliantara, Dadang. 2003. Pembaruan Desa, Bertumpu pada yang
Terbawah’. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
2013. “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju
Perlindungan Sosial yang Inklusif ”.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia. 2005. Poso, Kekerasan
240 ******

yang Tak Kunjung Usai: Refleksi 7 Tahun Konflik


Poso. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
L. Diamond, J. Linz dan S. Lipset, Eds. 1989. Democracy in
Developing Countries: Resistance, Failure and Renewal.
New York: Lynne Riener Publishers and the
National Endowment for Democracy.
Laksono, et.al. 2014. Etos Kerja Masyarakat Maluku Tenggara,
Laporan Penelitian. Kerjasama Pemerintah
Kabupaten Maluku Tenggara & Pusat Studi Asia
Pasifik, Universitas Gadjah Mada.
Lambing, C. R. (19999). Small Business Management. Dryden
Press.
Laudon, Kenneth C, E-Commerce: Business, Technology,
Society (4th Edition), Upper Saddle River, New
Jersey: Pearson Education, 2008.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa : Silang Budaya. Gramedia-
Jakarta dalam Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris (Buku 3)
M. Lipset, M. Throw and J. Coleman. 1959. Union Democracy.
The Free Press-Boston.
Mahmoed IA, Sutan. 2008. Nagari Limo Kaum. Pusat Bodi
Caniago Minangkabau. Limo Kaum: Yayasan Mesjid
Raya Limo Kaum.
Manna, Zulkifli Hi., 2014. Strategi Pemerintah Kabupaten
Poso Periode 2010 – 2015 dalam Mengahadapi
Konflik Sosial, Tesis Magister pada Program
Studi Magister Ilmu Pemeritahan, Universitas
Muhammadiyah, Yogyakarta
Marshall, Mcluhan, Understanding Media: The Extensing
Desa Millenium Ketiga: 241
Prospek & Tantangan Bisnis

of Man, The MIT Press,1964.


Mason, P. And Cheyene, J. 2003. Resident’s Attitudes to
Proposed Tourism Development, Annuals of
Tourism Research.
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial Perspektif
Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta:
Diperta Islam Depag RI.
Miriam Budiardjo. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Muslimin Nasinion. 1990. Keragaan Koperasi Unit Desa Sebagai
Organisasi Ekonomi Pedesaan. Disertasi Fakultas
Pasca Sarjana IPB
Navis, AA. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru. Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT. Pustaka
Grafitipers.
Nomba, Anton, dkk, Kembali ke Akar: Kembali ke
Konsep Otonomi Masyarakat Asli, Jakarta: Forum
Pengembangan Aspirasi Masyarakat, 2002.
Onno W. Purbo dan Aang Arif, Mengenal E-Commerce,
Elex Media Komputindo, 2001
PNPM mandiri (2000). Modul pemetaan sosial untuk fasilitator.
Jakarta: Dirjen Cipta Karya.
Profil Nagari Bukik Kanduang Tahun 2010
Program MAMPU, 2014. “Pandangan Kritis dan
Masukan dari Gerakan Perempuan Indonesia
untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Desa”.
Rawal, Nabin. 2008. “Social Inclusion and Exclusion: A
242 ******

Review”, dalam Dhaulagiri Journal of Sociology and


Anthropology, Volume 2, hal. 161-180.
Rendi, Muhammad, 2014. Konflik SARA di Kabupaten
Poso Tahun 1998 – 2001. Skripsi pada Jurusan
Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Universitas Hassanudin, Makassar.
Ronidin. 2006. Minangkabau di Mata Anak Muda. Padang:
Andalas University Press.
S. Huntington, 1991. The Third Wave: Democratization in the
Late Twentieth Century. University of Oklahoma
Press.
Saad, Zukri dkk. 2002. “Kembali Bernagari Kabupaten
Solok Sumatera Barat” dalam Kembali Ke Akar.
Kembali Ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Jakarta:
Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.
Sakai, K. (2007). Analysis of Japan government intervention
on domestic agriculture market. Journal of Agricultulr
and Economics, 382(1), 330-335.
Simarmata, Rikardo, dan R. Yando Zakaria, 2016. “Perpektif
Inklusi Sosial dalam UU 6/2014: Kebijakan dan
Tantangan Implementasinya,” forth coming.
Soedjono, Ibnoe. 2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam
Koridor Jatidiri. LSP2I-ISC. Jakarta.
Soekanto, Sarjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali
Pers, 2008.
Soeparmo, Mengenal Desa: Gerak dan Penelolaannya, Jakarta:
PT Intermasa, 1977.
Solow. (1965). Economic growth in an aggregative model
Desa Millenium Ketiga: 243
Prospek & Tantangan Bisnis

of capital accumulation. The Review of Economic


Studies, 32(3), 233-240.
SP, Varma. 1999. Teori Politik Modern. Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa.
Swan, T. (1956). Economic growth and capital accumulation
. Economic Record 332(2),, 334-361.
United Nation, Decentralization For National and Local
Development, New York: UN Publisher, 1961.
Vel, Jaqueline, R. Yando Zakaria, Adriaan Bedner.
2016. “Power to the people? Multi-stakeholder
engagement in creating a new Village Law in
Indonesia”. Forth coming.
Wolf, Eric R. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis.
Rajawali Press. Jakarta.
Yamamoto, T. (2007). Entrepreneurial farming village in
Japan. Business and Economic History (vol.5,).
Zimmerer. (2003). A longitudinal study of the impact of
intrapreneurial programs in fortune 500. Journal of
Management Researc

Anda mungkin juga menyukai