Anda di halaman 1dari 15

1.

Pendahuluan
Traumatic brain injury atau yang lebih familiar disebut cidera otak traumatis adalah
sebuah fenomena yang saat ini sering terjadi tidak hanya di Indonesia bahkan secara
global. Cidera otak ini diakibatkan oleh terpaparnya bagian kepala dengan suatu
kejadian trauma seperti kecelakaan lalu lintas, terpukul benda keras, korban
pengeroyokan dan lainnya. Secara global, terjadi sekitar 1,7 juta orang mengalami cidera
otak traumatis dan menyebabkan 1 juta kunjungan ke rumah sakit setiap tahunya
(Washington State Department of Health, 2017). Cidera kepala traumatis juga
mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian per tahun akibat manajemen perawatan yang
kurang tepat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Washington pada tahun 2017 menyebutkan bahwa mayoritas cidera otak traumatis
terjadi akibat cidera tumpul, kecelakaan kendaraan bermotor, cidera olahraga dan
rekreasi.
Saat di ruang gawat darurat, penanganan pasien dengan cidera otak traumatis
berfokus kepada penyelamatan hidup yang meliputi airway, breathing dan circulation.
Setelah kondisi pasien stabil, biasanya pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan
intensive untuk dilakukan perawatan lanjutan. Menurut pengalaman peneliti selama
proses residensi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menemukan bahwa pasien
yang dirawat dengan cidera otak traumatis selalu mengalami poliuria dan
ketidakseimbangan elektrolit khususnya natrium. Cerebral Salt Wasting Syndrome
(CSWS) dan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) merupakan
kondisi yang paling sulit dikendalikan dan menjadi penyebab terjadinya hiponatremia
dan poliuria pada pasien dengan cidera otak traumatis (Taylor et al., 2017).
Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS) merupakan sebuah kondisi yang
ditunjukan dengan konsentrasi natrium yang rendah dan dehidrasi sebagai respon dari
cidera otak traumatis (Amechi et al., 2018). Berbeda dengan Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone (SIADH), merupakan sindrom yang mempengaruhi
keseimbangan air dan mineral pada tubuh khususnya sodium dimana ADH adalah
substansi yang diproduksi secara alami oleh hipotalamus dan dikeluarkan oleh kelenjar
ptiutary yang mengontrol jumlah air dalam tubuh yang akan dibuang melalui urin
(Dholke, Campos, Reddy, & Panigrahi, 2016).
Berdasarkan definisi pada paragraf sebelumnya jelas bahwa cidera pada kepala yang
dibebabkan oleh trauma akan mempengaruhi hipotalamus yang berfungsi mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien. Pengamatan yang peneliti lakukan

1
beberapa waktu ini menemukan bahwa penanganan pada pasien dengan cidera otak
traumatis di ruang perawatan intensive yaitu menggunakan terapi penggantian cairan
dan obat untuk menurunkan tekanan intrakranial. Terapi cairan yang digunakan adalah
cairan ringerfundin dan manitol sebagai obat untuk mencegah terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial. Meskipun begitu, peneliti masih menemukan dengan pengobatan
yang telah diberikan belum memberikan hasil yang baik kepada pasien terkait dengan
keseimbangan cairan pasien.
Berdasarkan temuan ini, maka peneliti tertarik membuat kajian literatur untuk
mencari manajemen cairan yang tepat pada pasien dengan cidera otak traumatis. Tujuan
kajian literatur ini kami buat adalah untuk meninjau literatur yang berkaitan dengan
manajemen cairan pada pasien dengan cidera otak traumatis, waktu terjadinya CSWS,
perbedaan antara CSWS dan SIADH agar memberikan informasi terbaru mengenai
penanganan yang terbaik pada pasien dengan cidera otak traumatis.

2. Analisis Jurnal
2.1. Konsep Keperawatan
Setiap kelas cedera otak memiliki patofisiologi yang unik, respons setiap
pasien terhadap terapi dapat bervariasi dan harus dioptimalkan oleh beberapa
prinsip panduan. Namun, bahkan untuk kondisi neurologis kritis yang relatif umum
seperti cedera otak traumatis (TBI), subarachnoid hemorrhage (SAH), dan stroke
iskemik, praktik klinis yang diterapkan didasarkan pada pedoman masyarakat yang
berasal dari sejumlah kecil uji klinis berkualitas tinggi. Strategi koheren untuk
manajemen cairan pada pasien dengan gangguan neurologis sangat sulit dipahami.
Status volume adalah penentu utama perfusi dan oksigenasi otak, dan strategi
manajemen cairan yang dipertimbangkan dengan baik sangat penting untuk pasien
dengan penyakit neurologis yang kritis (Heifets, Tanaka & Burbridge, 2018).
Pada pasien dengan TBI berat, dysnatremia ditemukan pada hingga 40%
pasien dan merupakan gangguan elektrolit yang paling umum pada kelompok ini.
Perkembangan hiponatremia sangat berkorelasi dengan peningkatan angka
kematian, skor Glasgow Coma Scale yang memburuk, adanya edema serebral, dan
adanya fraktur tengkorak basalis. Penyebab umum hiponatremia disebabkan oleh,
sindrom sekresi Anti Diuretik Hormon (SIADH) yang tidak sesuai, CSW,
hipopituitarisme and tidak adekuatnya intake garam (Rajagopal, et al., 2017).

2
2.2. Metode
Studi literatur ini dilakukan menggunakan metode literatur review/scoping
review. Pencarian literatur dilakukan menggunakan database Google Scholar,
Pubmed, Science Direct dan Mendeley. Untuk memastikan relevansi pada studi ini,
artikel yang digunakan dibatasi untuk artikel yang dipublikasikan 10 tahun terakhir
dari tahun 2008-2018. Artikel yang didapat berjumlah 6.585 artikel dengan
menggunakan kata kunci “traumatic brain injury, polyuria dan fluid management”.
Kriteria inklusi studi ini adalah penelitian kualitatif, kuantitatif, laporan kasus, full
teks dan ditulis menggunakan bahasa Inggris. setelah dilakukan penyortiran
didapatkan 9 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Artikel yang masuk ke dalam
kriteria inklusi selanjutnya dibaca secara intensif dan kemudian dilakukan analisis
pada kontennya. Detail alur pencarian disajikan pada tabel 1 dan diagram 1.

Tabel 1. Hasil Pencarian Literatur

Temuan artikel Artikel yang Artikel yang masuk


Database
menurut keyword didapat kriteria inklusi
Google Schoolar 6.570 18 6
Pubmed 4 12 1
Science Direct 11 5 2
Total 6.585 25 9

3
Identifikasi Hasil identifikasi pada database
(n = 6.585)
Penyortiran

Hasil penyortiran Dikeluarkan


(n = 25) (n = 15)
Diambil

Artikel yang masuk kriteria


inklusi
(n = 9)

Diagram 1. Bagan Alur Pencarian Literatur

4
2.3. Hasil

Research Method/Data
Authors, Year Goals Country Results
design/sample Analysis
Lohani & Mengidentifikasi Kathmandu Prospective, Semua pasien berusia 1. Dari 40 pasien, 33 dilakukan analisis.
Devkota, (2011) etiologi, insidensi, dan waktu descriptive, and lebih dari 20 tahun Hiponatremia terlihat pada 9 (27,2%) pasien,
terjadinya hyponatremia analytical study dengan TBI berat dan pada 6 orang pasien terjadi dalam minggu
pada pasien dengan TBI, n=40 orang sedang dan yang pertama. Sehingga durasi kejadian
termasuk korelasinya dengan ringan dengan hiponatremia adalah 1,78 hari.
tingkat keparahan awal dan kelainan CT. Kadar 2. 5 orang pasien memiliki peningkatan CVP
hasil akhir. natrium harian konsisten dengan SIADH, sedangkan 3 orang
dipantau selama 14 memiliki CVP rendah konsisten dengan CSWS
hari. Tekanan vena dan 1orang menunjukkan tanda yang tidak
sentral (CVP) diukur jelas.
untuk penilaian status 3. Pengukuran FEUA tidak menunjukkan pola
volume. Ekskresi yang konsisten untuk menunjukkan perbedaan
fraktal asam urat biokimia.
(FEUA) diukur pada 4. Ada 33,3% masing-masing ringan dan sedang,
semua pasien dengan dan 16,6% TBI berat di antara pasien
hiponatremia, baik hiponatremia.
sebelum dan sesudah 5. Hiponatremia terlihat pada skor CT Rotterdam
koreksi I sampai IV dalam meningkatkan insidensi
hiponatremia, sedangkan kejadian
hiponatremia tidak memiliki korelasi signifikan
dengan GCS awal.
6. Kesimpulan: Hiponatremia karena SIADH
lebih sering terjadi pada TBI. Pengukuran
FEUA tidak cukup konsisten untuk membuat
perbedaan antara SIADH dan CSWS.
Keparahan CT scoring lebih prediktif terhadap
kejadian hiponatremia daripada GCS awal.
(Younas, Sabir, Untuk mengatasi New Iqbal Case Report 1. Penegakkan diagnosis dapat ditegakkan melalui
Baig, & Tarif, kebingungan dalam Park, Lahore data volume, CVP rendah, poliuria,
2015) membedakan CSW dan Cantt hiponatremia.
SIADH yang timbul akibat 2. Manajemen terapi membutuhkan normal saline
gangguan elektrolit. yang mengandung fludrocortisone.

5
Wu, et al. Untuk menginformasikan China 11 pasien yang Retrospective case 1. Presentasi klinis yang paling khas adalah
(2015) pencapaian hasil yang lebih memiliki DI dan CSW series review polyuria massif, refrakter terhadap vasopressin
menguntungkan dalam pada TBI saja tetapi responsive terhadap vasopressin
menentukan diagnostic yang ditambah cortison asetat.
berbeda dan manajemen 2. Presentasi lainnya adalah CVC rendah, tingkat
yang tepat tentang CSW precursor peptide natriuretikotak tinggi tanpa
pasien TBI disfungsi jantung, ekskresi natrium urin tinggi
24 jam dan hipovolemia, dan osmolaritas urin
jauh lebih tinggi daripada osmolaritas serum,
kadar natrium serum normal dan bj urin normal.
3. Infusan natrium klorida yang tepat waktu dan
memadai adalah kunci dalam pengobatan.
4. Lima dari 11 memiliki prognosis yang baik 3
bulan kemudian (dengan outcome GCS (GOS-
E> 6), satu memiliki GOS-E 4, 2 meninggal di
RS dengan hernia otak, dan 3 orang pada stutus
vegetatif
Kalita, Singh & Melaporkan frekuensi, India 100 pasien dengan Retrospective case 1. 43% mengalami hiponatremia, 6% mengalami
Misra (2016) keparahan dan penyebab stroke : 47% iskemic series review hypernatremia dan 4% memiliki keduanya.
hiponatremia pada pasien stroke dan 53% 2. Hiponatremia disebabkan oleh CSW (44,2%),
dengan stroke dan efeknya intracerebral hemoragi. SIADH (7%) dan penyebab lainnya (32,6%)
pada hasil jangka pendek dan indeterminate (16,3%).
3. Durasi rawat inap adalah predictor independen
hiponatremia dan CSW.
4. 14 pasien meninggal sedangkan 15 memiliki
hasil yang baik( mRS skor <= 2) dan 71
memiliki hasil yang buruk ( skor mRS 3-5).
5. Hipernatremia terjadi terkait dengan kematian
yang tinggi dibandingkan dengan eunatremia
dan hiponatremia
(Fukuoka, Untuk mengidentifikasi Japan Case Report 1. CSW ditandai dengan hilangnya natrium melalui
Tsurumi, & kondisi hiponatremia akibat ginjal karena gangguan pada intrakranial,
Tsurumi, 2017) sindrom CSW yang sehingga menyebabkan hiponatremia dan
disebabkan cidera kepala hipovelmia.
ringan. 2. CSWS biasanya terjadi setelah cidera kepala
yang berat atau akibat proses pembedahan.

6
3. ANP dan BNP memberikan efek biologis yang
dapat menyebabkan CSWS.
4. Waktu munculnya CSWS bervariasi antara 2 hari
hingga 2 bulan pasca cidera kepala.
5. CSWS tidak mungkin terjadi tanpa adanya
kerusakan otak yang parah.
6. Membedakan antara CSWS dan SIADH sangat
penting untuk ketepatan pengobatan
hiponatremia.
7. Apabila penanganan hiponatremia tidak tepat,
akan meningkatkan resiko kecacatan atau
kematian.
8. Perbedaan utama CSWS dan SIADH adaah
volume darah menurun atau meningkat.
9. Pada kasus ini, konsentrasi Na, osmolaritas,
ANP, BNP, ADH, turgor kulit, berat badan
mengalami penurunan dan terjadi natriuresis
berkepanjangan.
10. CSWS umumnya disebabkan oleh cidera kepala
yang parah atau penyakit serebrovaskular berat.
11. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
adalah CT scan dan MRI.
(Taylor et al., Untuk mendeskripsikan UK Case Report 1. Diagnosis CSW membutuhkan indeks
2017) kasus CSW yang berat dan kecurigaan yang tinggi agar dapat membedakan
membutuhkan dosis dari SIADH sehingga pengobatan untuk
hipertonic salin yang tinggi pencegahan hiponatremi berat tepat diberikan.
dan penambahan 2. Tanda CSW yang besar adalah hiponatremia,
fludrocortisone. volume berkurang dan kehilangan natrium dari
ginjal.
3. Volume substansial larutan hipertonik saline
diperlukan untuk memperbaiki defisit volum
dan defisit natrium dalam jangka panjang.
4. Fludrocortisone memiliki peran dalam
manajemen CSW karena dapat mengurangi
dosis hipertonik salin dan dapat
mempertahankan kadar natrium.

7
Arieff, Gabbai, Untuk menentukan nilai Los Angeles Retrospective study Semua pasien 1. Baik pasien dengan CSWS maupun SIADH
& Goldfine ekskresi Na pasien CSWS, 45 orang pasien dengan diperiksakan volume mengalami peningkatan osmolalitas urin 24
(2017) dan untuk membandingkan Cerebral salt wasting urin 24 jam dan jam (diatas 350 mOsm/kg).
hasil pengukuran dengan syndrome (CSWS) dan ekstresi Na di hitung 2. Pasien dengan CSWS, sekresi Na mencapai
kelompok kontrol dan dibandingkan dengan 394 ± 369 mmol/24 jam, dan volume urinnya
dengan pasien SIADH. 60 orang adalah 2603 ± 996 ml/24 jam. Kedua parameter
normonatremic (grup di atas secara signifikan lebih besar
kontrol), dan 28 pasien dibandingkan dengan grup kontrol (p<0.01).
dengan Syndrome of 3. Berbeda pada pasien dengan SIADH, Sekresi
Inappropriate Secretion Na hanya 51 ± 25 mmol/24 jam dan volume
of Antidiuretic urine 729 ± 488 ml/24 jam; Secara signifikan
Hormone (SIADH) hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan
pasien dengan CSWS (p<0.01).
4. CSWS didiagnosis pada pasien dengan lesi
serebral yang memiliki:
a. Hiponatremia simtomatik
b. Eksresi Na urine di atas grup kontrol
c. Peningkatan volume urin.
5. Pasien dengan SIADH juga memiliki gejala
hiponatremia tetapi, berbeda dengan pasien
CSWS, mereka mengalami eksresi Na dan
volume urin lebih rendah.
6. Ekskresi Na urine dan volume sangat penting
untuk mendiagnosis penyebab hiponatremia
pada pasien dengan lesi serebral.
Pasilan & Jr, Filipina Case Report (1 1. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa
( 2017) orang) CSWS menjadi penyebab hyponatremia yang
36 tahun dengan Sub sering ditemukan pada kasus SAH namun
arachnoid penelitian retrospektif terkini menyatakan
Hemorragic (SAH) bahwa SIADH menjadi penyebab tersering
hyponatremia pada kasus SAH
2. Pasien yang menunjukkan adanya konsenstrasi
urine yang tidak sesuai, dengan latar belakang
hipoosmolar, hyponatremia tidak selalu dengan
diagnosis SIADH namun cenderung dan lebih
kompatibel dengan keduanya baik SIADH dan
CSWS. Namun, karena keadaan klinis

8
euvolemik yang jelas pada pasien, maka
diagnose SIADH dan treatment pembatasan
cairan dimulai.
3. 7 hari retreksi cairan pasien menunjukkan
peningkatan sodium urin tapi pada hari ke 8
pasien mengalami dispasia dan agnosia,
hipotensi, hemodinamik tidak stabil sehingga
identifikasi dan managemen yang tepat sangat
diperlukan mengingat SIADH dan CSWS
sangat sulit untuk dibedakan (tanda dan gejala
yang muncul mirip)
4. Satu-satunya perbedaan utama antara CSWS
dan SIADH adalah adanya defleksi volume
ekstra seluler yang merupakan karakteristik
dari CSWS dimana tanda klinis yang muncul
seperti kelemahan, pusing, dan sinkop; dan
temuan fisik yang termasuk hipotensi
ortostatik, membran mukosa kering, dan
takikardia. Namun tanda diatas juga memiliki
sensitivitas dan spesifikasi yang rendah.
5. Persistent polyuria, negative fluid balance, dan
adanya hipotensi disertai dengan nilai CVP
yang rendah (<4), dapat dijadikan parameter
dalam mempertimbangkan diagnosa CSWS
6. Manajemen dalam CSWS dilakukan dengan
penggantian natrium yang agresif untuk
mengkompensasi kehilangan natrium dengan
menggunakan infus saline isotonik atau
hipertonik. Pemantauan keseimbangan natrium
dan cairan yang teratur, serta pengukuran berat
badan harian sangat penting untuk
memperkirakan perubahan cairan tubuh
7. Strategi pengobatan lain yang dapat digunakan
melibatkan pemberian kortikosteroid seperti
fludrocortisone, (mineralokortikoid kuat yang
bekerja pada tubulus distal, merangsang
reabsorpsi natrium dan air, yang mengarah ke
ekspansi cairan ekstraseluler).

9
8. Kesimpulan: Diferensiasi CSWS versus
SIADH yang terjadi setelah gangguan otak akut
dapat menjadi tantangan karena tumpang tindih
di antara mereka. Penilaian akurat dari status
volume dengan parameter klinis dan obyektif
sangat penting untuk membuat diagnosis yang
benar dan dengan demikian menghindari
konsekuensi klinis yang tidak diinginkan
(Amechi et al., Mengamati perbandingan USA Case Report 1. Pendiagnosisan CSW dan SIADH harus dibuat
2018) faktor yang muncul pada spesifik dan sedini mungkin untuk membatasi
pasien yang mengalami morbiditas dan mortalitas pasien.
CSW dan SIADH. 2. Pasien dengan hiponatremia akut mengalami
poliuri dan CSW pada saat bersamaan.
3. Manajemen pengobatan beralih ke pembatasan
cairan dan NaCl 0,9% untuk mencegah
penipisan volume dan hipotensi.
4. Penipisan volume, hipovolemia karena poliuri
bukan faktor yang menyebabkan CSWS.

10
3. Pembahasan
3.1. Waktu terjadinya dan Penyebab Hiponatremia
Hiponatremia merupakan gejala yang sering muncul pada pasien dengan
traumatic brain injury (TBI). Dari hasil penelitian diskriptif prosfektif yang
dilakukan oleh Lohani dan Devkota (2011) sebagian besar kejadian hiponatremia
muncul pada minggu pertama yang dapat terjadi pada pasien dengan TBI ringan,
sedang, maupun berat. Fukuoka, Tsurumi, dan Tsurumi ( 2017) mendapatkan bahwa
hiponatremia akibat CSWS pada cedera kepala ringan dapat terjadi dari bervariasi
antara 2 hari hingga 2 bulan pasca cidera kepala. Hiponatremia yang terjadi pada
pasien dengan TBI lebih sering disebabkan karena SIADH dibandingkan CSWS.
Berbeda dengan hasil review case report pasien stroke yang dilakukan oleh Kalita,
Singh, dan Misra (2017), bahwa 44,2% hiponatremia disebabkan oleh CSWS, 7%
kasus hyponatremia disebabkan oleh SIADH dan 32,6% penyebab lainnya serta
16,3% indeterminate (tidak diketahui penyebabnya).
Meskipun kedua penyebab diatas menimbulkan gejala yang mirip seperti
terjadinya peningkatan produksi urin, peningkatan ekskresi natrium dan peningkatan
osmolalitas urin, tetapi masing-masing penyebab memiliki patomekanisme yang
berbeda sampai munculnya gejala. Pada SIADH, saat terjadinya cedera kepala saat
terjadinya peningkatan tekanan intracranial akan merangsang sistem homeostatis
yang di atur oleh hipotalamus.

3.2. Perbedaan tanda dan gejala SIADH dan CSWS


Membedakan antara CSWS dan SIADH sangat penting untuk ketepatan
pengobatan hiponatremia (Fukuoka, Tsurumi, & Tsurumi, 2017; Taylor et al., 2017;
Amechi et al., 2018). Penegakkan diagnosis CSWS dapat ditegakkan melalui data
volume, CVP rendah, poliuria, hiponatremia (Younas, Sabir, Baig, & Tarif, 2015;
Fukuoka, Tsurumi, & Tsurumi, 2017). Hal ini didukung oleh Wu et al. ( 2016)
dimana presentasi klinis yang muncul pada pasien dengan CSWS adalah poliuria
massif, refrakter terhadap vasopressin saja tetapi responsif terhadap vasopressin
ditambah cortison asetat, CVC rendah, tingkat precursor peptide natriuretikotak
tinggi tanpa disfungsi jantung, ekskresi natrium urin tinggi 24 jam dan hipovolemia,
dan osmolaritas urin jauh lebih tinggi daripada osmolaritas serum, kadar natrium
serum normal dan bj urin normal. Arieff, Gabbai, & Goldfine (2017) dalam
penelitiannya menemukan bahwa pasien dengan CSWS, sekresi Na lebih banyak

11
jika dibandingkan dengan pasien SIADH dimana mencapai 394 (± 369 mmol/24
jam). Begitu juga dengan volume urinnya mencapai 2603 (± 996 ml/24 jam).
Berbeda pada pasien dengan SIADH, secara signifikan hasilnya lebih rendah
dibandingkan dengan pasien dengan CSWS. Pernyataan arieff et al., (2017)
diperkuat oleh laporan kasus Pasilan & Jr, ( 2017) Satu-satunya perbedaan utama
antara CSWS dan SIADH adalah adanya defleksi volume ekstra seluler yang
merupakan karakteristik dari CSWS. Persistent polyuria, negative fluid balance, dan
adanya hipotensi disertai dengan nilai CVP yang rendah (<4), dapat dijadikan
parameter dalam mempertimbangkan diagnosa CSWS. Dari paparan diatas, dapat
ditarik kesimpuan bahwa pada kasus CSWS ditandai dengan adanya poliuri yang
ekstrem/massif, osmolaritas urin jauh lebih tinggi daripada osmolaritas serum,
hyponatremia, hypovolemia ( CVP rendah, kelemahan, pusing, dan sinkop, hipotensi
membran mukosa kering, dan takikardia), negatif fluid balance.
Untuk pemeriksaan penunjang yang dapat dijadikan parameter dalam
menegakkan CSWS adalah pengukuran fractional excretion of uric acid (FEUA)
meskipun tidak menunjukkan pola yang konsisten untuk menunjukkan perbedaan
biokimia (Lohani & Devkota, 2011). Pemeriksaan ANP dan Brain Natriuretic
Peptide (BNP) dimana pada CSWS cenderung terjadi peningkatan, konsentrasi Na,
osmolaritas, ADH (Fukuoka, Tsurumi, & Tsurumi, 2017).

3.3. Penanganan CSWS


Manajemen dalam CSWS dilakukan dengan penggantian natrium yang agresif
untuk mengkompensasi kehilangan natrium dengan menggunakan infus saline
isotonik atau hipertonik. Volume substansial larutan hipertonik saline diperlukan
untuk memperbaiki defisit volum dan defisit natrium dalam jangka panjang.
Fludrocortisone memiliki peran dalam manajemen CSWS karena dapat mengurangi
dosis hipertonik salin dan dapat mempertahankan kadar natrium (mineralokortikoid
kuat yang bekerja pada tubulus distal, merangsang reabsorpsi natrium dan air, yang
mengarah ke ekspansi cairan ekstraseluler) (Younas, Sabir, Baig, & Tarif, 2015;
Taylor et al., 2017; Pasilan & Jr, 2017). Pemberian cairan natrium klorida yang tepat
waktu dan memadai adalah kunci dalam pengobatan (Wu, et al. 2015). Pemantauan
keseimbangan natrium dan cairan yang teratur, serta pengukuran berat badan harian
sangat penting untuk memperkirakan perubahan cairan tubuh (Pasilan & Jr, 2017).

12
Monitoring status volume cairan sangat direkomendasikan. Indikator status
volume yang paling mudah dikuantifikasi - denyut jantung, tekanan darah (BP),
output urin - berubah sebagai respons terhadap banyak faktor pasien dan tidak
spesifik untuk hipovolemia pada pasien sakit kritis. Tekanan vena sentral (CVP)
pada satu waktu dianggap sebagai indeks preload yang menjanjikan, namun secara
konsisten telah terbukti menjadi prediktor yang buruk dari volume darah dan respon
cairan. Variasi tekanan nadi arteri (PPV) adalah prediktor yang menjanjikan untuk
respon cairan. Target terapi cairan adalah status hemodinamik, yaitu output urin,
tekanan arteri, atau CVP (Heifets, Tanaka & Burbridge, 2018).

4. Simpulan dan Saran


Berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pasien yang
mengalami cidera otak traumatis akan mengalami perubahan kompleks pada
keseimbangan tubuhnya. Hiponatremia dan poliuria merupakan gejala yang muncul
pada pasien dengan cidera otak traumatis. Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS)
merupakan salah satu penyebab ketidakseimbangan elektrolit terutama natrium dan
Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) merupakan salah satu
penyebab terjadinya poliuria pada pasien dengan cidera otak traumatis.
Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS) tidak akan terjadi apabila tidak terjadi
cidera otak traumatis yang berat pada pasien dan waktu munculnya CSWS bervariasi
antara 2 hari hingga 2 bulan setelah terjadinya trauma.
Pendiagnosisan yang tepat merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam
penanganan pada pasien dengan cidera otak traumatis yang mengalami CSWS dan
SIADH.
Penelitian dan kajian literatur lebih lanjut serta pengetahuan yang luas diperlukan
untuk menentukan manajemen penanganan yang tepat pada pasien dengan cidera otak
traumatis agar menhasilkan perawatan yang baik bagi pasien.

13
5. Lampiran

(ARTIKEL TERLAMPIR)

14
DAFTAR PUSTAKA

Amechi, M., Onuigbo, C., Agbasi, N., Amadi, E. J., Okeke, C., & Khan, A. (2018).
Sequential cerebral salt wasting complicating SIADH in a patient following head
trauma, d(1), 49–52. https://doi.org/10.15171/jrip.2018.12

Arieff, A. I., Gabbai, R., & Goldfine, I. D. (2017). Cerebral Salt-Wasting Syndrome:
Diagnosis by Urine Sodium Excretion. American Journal of the Medical Sciences,
354(4), 350–354. https://doi.org/10.1016/j.amjms.2017.05.007

Dholke, H., Campos, A., Reddy, C. N. K., & Panigrahi, M. K. (2016). Cerebral salt wasting
syndrome, 205–210. https://doi.org/10.4103/2348-0548.190065

Fukuoka, T., Tsurumi, Y., & Tsurumi, A. (2017). Case Report Cerebral Salt-Wasting
Syndrome Caused by Minor Head Injury, 2017.

Lohani, S., & Devkota, U. P. (2011). Hyponatremia in patients with traumatic brain injury:
Etiology, incidence, and severity correlation. World Neurosurgery, 76(3–4), 355–360.
https://doi.org/10.1016/j.wneu.2011.03.042

Pasilan, R. M. F., & Jr, P. L. E. (2017). Case Report Cerebral Salt Wasting Syndrome in a
Patient with Subarachnoid Hemorrhage : A Case Report, 25(1).

Taylor, P., Dehbozorgi, S., Tabasum, A., Scholz, A., Bhatt, H., Stewart, P., … Davies, S.
(2017). Cerebral salt wasting following traumatic brain injury, (April).
https://doi.org/10.1530/EDM-16-0142

Washington State Department of Health. (2017). Trauma Clinical Guideline Initial


Management of Traumatic Brain Injury.

Younas, H., Sabir, O., Baig, I., & Tarif, N. (2015). Cerebral Salt Wasting : A Report of Three
Cases, 25(Table I), 73–75.

15

Anda mungkin juga menyukai