Anda di halaman 1dari 107

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum


Dalam suatu perencanaan bangunan sipil dibutuhkan suatu tinjauan tentang
bangunan tersebut yang dapat digunakan sebagai acuan dari perencanaan agar dapat
terwujud bangunan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pada bab
ini disajikan dasar teori, seta faktor-faktor yang berpengaruh dalam perencanaan yang
berasal dari berbagai sumber. Hal ini bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan
maupun sebagai dasar untuk menggunakan rumus-rumus tertentu dalam perencanaan
suatu konstruksi.

2.2 Pelabuhan
2.2.1 Definisi
Pelabuhan (port) adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang,
yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga, dimana kapal dapat
bertambat untuk bongkar muat barang, crane untuk bongkar muat barang, gudang laut
(transito) dan tempat-tempat penyimpanan dimana kapal membongkar muatannya,
dan gudang-gudang dimana barang-barang dapat disimpan dalam waktu yang lebih
lama selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau pengapalan. (Triatmodjo,
2009)

2.2.2 Pelabuhan Perintis


Pelabuhan perintis merupakan pelabuhan yang melayani rute pelayaran antar
daerah atau pulau terpencil yang masih tertinggal dan belum terlayani oleh moda
transportasi lain karena belum menguntungkan.
Pelabuhan Perintis memerlukan keadaan yang tenang terhadap gangguan
gelombang, arus maupun kombinasi dari arus dan gelombang, sehingga sebagian besar
pelabuhan berada di tepi sungai, teluk ataupun pantai yang secara alami terlindung
terhadap gangguan gelombang (misal : pantai yang berada di belakang suatu pulau-
pulau yang berfungsi sebagai pemecah gelombang atau breakwater alami). Pelabuhan
perintis mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat untuk melakukan
kegiatan menaik-turunkan penumpang, bongkar-muat barang, pengisian bahan bakar

II-1
dan air tawar, reparasi, pengadaan perbekalan, dan lain sebagainya. Pelabuhan perintis
juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pemecah gelombang, dermaga, peralatan
tambatan, peralatan bongkar-muat barang, gudang, halaman untuk menimbun barang,
perkantoran baik untuk pengelola pelabuhan maupun untuk maskapai pelayaran,
perlengkapan pengisian bahan bakar dan penyediaan air bersih, dan lain sebagainya.
Kapal-kapal yang bisa singgah di pelabuhan perintis merupakan kapal-kapal
yang tidak terlalu besar. Namun pelabuhan perintis tetap memegang peranan penting
dalam rute pelayaran karena hampir semua barang dalam jumlah besar, dapat angkutan
dengan kapal yang memerlukan waktu lebih singkat, tenaga kerja lebih sedikit, dan
biaya lebih murah dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Oleh karena itu,
mempelajari tentang pelabuhan perintis sangat penting karena merupakan prasarana
untuk menunjang kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan/keamanan,
budaya antar pulau kecil dan sekitarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414 Tahun 2013
tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional, disebutkan bahwa di
Kabupaten Yapen direncanakan akan terdapat 13 pelabuhan, di antaranya adalah
Pelabuhan Kurudu yang mempunyai hierarki sebagai pelabuhan pengumpan lokal
(PL). Menurut PP No. 61 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 6, Pelabuhan Pengumpan
adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan
pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan dalam provinsi.
Rencana lokasi dan hierarki pengembangan pelabuhan/terminal di Kabupaten
Kepulauan Yapen berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414
Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

II-2
Tabel 2. 1 – Lokasi dan hierarki pengembangan pelabuhan (Kemenhub, 2013)
Hieraki
Kabupaten/Kota Pelabuhan/Terminal Pelabuhan/Terminal KET
2011 2015 2020 2030
1228 84 Yapen Ambai PL PL PL PL
1229 85 Yapen Ampimori PL PL PL PL
1230 86 Yapen Angkaisera PL PL PL PL
1231 87 Yapen Ansus PL PL PL PL
1232 88 Yapen Dawai PP PP PP PP
1233 89 Yapen Koweda PL PL PL PL
1234 90 Yapen Kurudu PL PL PL PL
1235 91 Yapen Owe PL PL PL PL
1236 92 Yapen Papurna PL PL PL PL
1237 93 Yapen Poom PL PL PL PL
1238 94 Yapen Samberbada PL PL PL PL
1239 95 Yapen Serui PP PP PP PP
1240 96 Yapen Wainapi PL PL PL PL

Keterangan :
PL = Pelabuhan Lokal
PP = Pelabuhan Pengumpul

2.3 Hidro-Oceanografi
Perencanaan pelabuhan harus memperhatikan beberapa aspek, salah satunya
adalah aspek hidro-oseanografi. Pada aspek ini terdapat tiga faktor yang harus
diperhitungkan, yaitu angin, pasang surut, dan gelombang.
2.3.1 Angin
Angin merupakan sirkulasi udara yang relatif sejajar dengan permukaan bumi.
Gerakan udara ini disebabkan oleh perubahan temperatur pada atmosfer. Perubahan
temperatur di atmosfer disebabkan oleh perbedaan penyerapan pana oleh tanah dan
air, atau perbedaan suhu pada belahan bumi bagian utara dan selatan karena adanya
perbedaan musim dingin dan panas (Triatmodjo, 2009).
Indonesia mengalami angin musim, yaitu angin yang berembus secara mantap
dalam satu arah pada satu periode dalam satu tahun. Pada periode yang lain arah angin
berlawanan dengan angin pada periode sebelumnya. Angin musim ini terjadi karena
adanya perbedaan musim dingin dan panas di Benua Asia dan Australia. Pada bulan
Desember, Januari dan Februari, belahan bumi bagian utara mengalami musim dingin,
sedangkan belahan bumi bagian selatan mengalami musim panas. Tekanan udara di
daratan Asia lebih tinggi dari daratan Australia, sehingga angin berembus dari Asia

II-3
menuju Australia. Tekanan udara di belahan bumi utara lebih tinggi dari belahan bumi
selatan, sehingga angin dari Samudra Pasifik yang basah berembus dari timur laut, dan
karena perputaran bumi, di khatulistiwa dibelokkan menjadi dari arah barat laut. Angin
tersebut dikenal dengan angin musim barat, dengan arah dari barat laut.
Sebaliknya pada bulan Juli, Agustus dan September di Australia bermusim
dingin dan Asia musim panas, sehingga angin dari daratan Australia yang kering
berembus dari tenggara, dan di khatulistiwa arah angin berubah karena perputaran
bumi, menjadi dari arah barat daya menuju timur laut. Di Indonesia angin ini dikenal
Angin Musim Timur
Kecepatan angin diukur dengan anemometer dan biasanya dinyatakan dalam
knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang
ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam.
2.3.1.1 Pembangkitan Gelombang Oleh Angin
Angin yang berembus di atas permukaan air yang semula tenang, akan
menyebabkan gangguan pada permukaan tersebut, dengan timbulnya riak
gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak
tersebut menjadi semakin besar, dan apabila angin berembus terus akhirnya akan
terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berembus, semakin
besar gelombang yang terbentuk. Tinggi dan periode gelombang yang
dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan angin (U), lama hembus angin (D), dan
fetch (F) yaitu panjang permukaan laut pada mana angin berembus.
Di dalam peramalan gelombang, perlu diketahui kecepatan rerata angin (U)
di permukaan air. Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal di
dalam rumus-rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan
adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi
dari data angin di daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas
permukaan laut. CERC (1984) merumuskan hubungan antara angin di atas laut
dan angin di daratan terdekat sebagai berikut :
RL = Uw / UL (2.1)
dimana :
Uw = kecepatan angin di darat, (m/s)
UL = kecepatan angin di laut, (m/s)
RL = tabel koreksi hubungan kecepatan angin di darat dan di laut

II-4
Gambar 2. 1 – Hubungan kecepatan angin di laut dan di darat (CERC, 1984)

Seperti terlihat di dalam Gambar 2.1. Gambar tersebut merupakan hasil


penelitian yang dilakukan di Great Lake, Amerika Serikat (CERC, 1984). Lama
hembus (durasi) angin dapat diperoleh dari data angin jam-jaman.
Rumus-rumus dan grafik-grafik pembangkitan gelombang mengandung
variabel UA, yaitu faktor tegangan angin yang dapat dihitung dari kecepatan
angin. Setelah dilakukan berbagai konversi kecepatan angin, kecepatan angin
dikonversikan pada faktor tegangan angin dengan menggunakan rumus berikut :
UA = 0,71.UW 1,23 (2.2)
(CERC, 1984)
dengan :
UA = faktor tegangan angin, (m/s)
Uw = kecepatan angin di darat, (m/s)

2.3.1.2 Mawar Angin (Wind Rose)


Jumlah data angin untuk beberapa tahun pengamatan sangat besar, untuk
itu data tersebut harus diolah dan disajikan dalam bentuk tabel (ringkasan) atau
diagram yang disebut dengan mawar angin (wind rose). Penyajian tersebut dapat
diberikan dalam bentuk bulanan, tahunan atau untuk beberapa tahun pencatatan.
Dengan tabel atau mawar angin tersebut maka karakteristik angin dapat dibaca
dengan cepat.

II-5
Penggolongan kecepatan angin pada tabel mengacu pada skala Beaufort
yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 berikut ini dengan anggapan bahwa kecepatan
0 – 7 merupakan angin tenang (calm – gentle breeze).

Tabel 2. 2 – Skala Beaufort (wikipedia.en.org)


Beaufort Description term Wind Speed Wave height
number Wind Wave Knots m/s probable maximum
0 Calm - <1 0 – 0.2 - -
1 Light air Ripples 1-3 0.3 – 1.5 0.1 0.1
2 Light breeze Small wavelets 4-6 1.6 – 3.3 0.2 0.3
3 Gentle breeze Large wavelets 7-10 3.4 – 5.4 0.6 1
4 Moderate breeze Small waves 11-16 5.5 – 7.9 1 1.5
5 Fresh breeze moderate waves 17-21 8.0 – 10.7 2 2.5
6 Strong breeze large waves 22-27 10.8 – 13.8 3 4
7 Near gale Large waves 28-33 13.9 – 17.1 4 5.5
8 Gale Moderately high waves 34-40 17.2 – 20.7 6 7.5
9 Strong Gale High waves 41-47 20.8 – 24.4 7 20
10 Storm Very high waves 48-55 24.5 – 28.4 9 12.5
11 Violent storm 56-63 28.5 – 32.6 11.5 16
12 Hurricane 64-71 32.7 – 36.9 14 >16
13 Hurricane 72-70 37.0 – 41.4 >14 >16
Exceptionally high
14 Hurricane 81-89 41.5 – 6.1 >14 >16
waves
15 Hurricane 90-99 46.2 – 50.9 >14 >16
16 Hurricane 100-109 51.0 – 56.0 >14 >16
17 Hurricane 109-118 56.1 – 61.2 >14 >16

Tabel 2.3 adalah contoh penyajian data angin dalam bentuk tabel dari
pencatatan angin di lapangan terbang Kemayoran selama 11 tahun (1974 –
1985). Sedang Gambar 2.2 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan
data dalam Tabel 2.3. Tabel dan gambar tersebut menunjukkan persentase
kejadian angin dengan kecepatan tertentu dari berbagai arah dalam periode
waktu pencatatan. Sebagai contoh, persentase kejadian angin dengan kecepatan
10 – 13 knot dari arah utara adalah 1,23 % dari 11 tahun pencatatan. Dalam
gambar tersebut garis-garis radial adalah arah angin dan tiap lingkaran
menunjukkan persentase kejadian angin dalam periode waktu pengukuran.

II-6
Tabel 2. 3 – Data presentasi kejadian angin di Kemayoran tahun 1974 – 1985
(Triatmodjo, 1999)

Gambar 2. 2 – Wind rose (Triatmodjo, 1999)

2.3.1.3 Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana angin berembus dengan kecepatan
dan arah yang konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch
dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan
gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan
arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Panjang fetch
adalah panjang laut yang dibatasi oleh pulau-pulau pada kedua ujungnya.
Gambar 2.3 menunjukkan cara untuk mendapatkan fetch efektif. Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut.

Feff   Xi cos (2.3)
cos
(Triatmodjo, 1999)

II-7
dimana :
Feff = fetch rerata efektif
Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke
ujung akhir fetch
α = deviasi pada kedua sisi arah angin, dengan menggunakan penambahan 6°
sampai sudut sebesar 42° pada kedua sisi dari arah angin.

Gambar 2. 3 – Fetch (Triatmodjo, 2009)

2.3.2 Gelombang
Gelombang merupakan faktor penting di dalam perencanaan pelabuhan.
Gelombang di laut bisa dibangkitkan oleh angin (gelombang angin), gaya tarik
matahari dan bulan (pasang surut), letusan gunung berapi atau gempa di laut (tsunami),
kapal yang bergerak, dan sebagainya (Triatmodjo, 2009).
Di antara beberapa bentuk gelombang tersebut yang paling penting dalam
perencanaan pelabuhan adalah gelombang angin (untuk selanjutnya disebut
gelombang) dan pasang surut.
Tsunami adalah gelombang yang sangat besar yang apabila sampai di pantai akan
bisa menghancurkan kehidupan di daerah tersebut, misalnya tsunami yang disebabkan
oleh letusan gunung Krakatau pada tahun 1883 yang menewaskan 36.000 orang.
Meskipun akibat yang ditimbulkan sangat besar, namun kejadiannya sangat jarang.
Periode ulang terjadinya bisa lebih dari 100 tahun. Oleh karena itu, bangunan
pelabuhan tidak direncanakan berdasarkan tsunami. Perencanaan bangunan dengan
memperhitungkan tsunami akan memberikan dimensi bangunan yang sangat besar,
sehingga pekerjaan menjadi sangat mahal. Gelombang digunakan untuk

II-8
merencanakan bangunan-bangunan pelabuhan seperti pemecah gelombang, studi
ketenangan di pelabuhan, dan fasilitas-fasilitas pelabuhan lainnya. Gelombang
tersebut akan menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pelabuhan. Selain
itu gelombang juga bisa menimbulkan arus dan transpor sedimen di daerah pantai. Tata
letak layout pelabuhan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga sedimentasi di
pelabuhan dapat dikurangi/dihindari.

Gambar 2. 4 – Definisi gelombang (Triatmodjo, 2009)

Beberapa notasi yang digunakan adalah :


d = jarak antara muka air rerata dan dasar laut
η(x,t) = fluktuasi muka air terhadap muka air diam
a = amplitudo gelombang
H = tinggi gelombang = 2a
L = panjang gelombang
T = periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh partikel air untuk
kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya.
C = kecepatan rambat gelombang (L / T)
k = angka gelombang (2π / L)
σ = frekuensi gelombang (2π / T)

Dalam Gambar 2.4 tersebut gelombang bergerak dengan cepat rambat C di air
dengan kedalaman d. Dalam hal ini yang bergerak (merambat) hanya bentuk (profil)
muka airnya. Tidak seperti dalam aliran air di sungai di mana partikel (massa) air
bergerak searah aliran, pada gelombang partikel air bergerak dalam satu orbit tertutup
sehingga tidak bergerak maju ke arah sumbu x. Suatu pelampung yang berada di laut
hanya bergerak naik turun mengikuti gelombang dan tidak berpindah (dalam arah

II-9
penjalaran) dari tempatnya semula. Posisi partikel setiap saat selama gerak orbit
tersebut diberikan oleh koordinat horizontal (ξ) dan vertikal (ε) terhadap pusat orbit.
Komponen kecepatan vertikal pada setiap saat adalah u dan v, dan elevasi muka air
terhadap muka air diam (sumbu x) di setiap titik adalah η.
Pada umumnya bentuk gelombang sangat kompleks dan sulit digambarkan
secara matematis karena ketidaklinieran, tiga dimensi dan bentuknya yang random.
Ada beberapa teori yang menggambarkan bentuk gelombang yang sederhana dan
merupakan pendekatan dari alam. Teori yang paling sederhana adalah teori gelombang
linear. Menurut teori gelombang linier, gelombang berdasarkan kedalaman relatifnya
dibagi menjadi tiga yaitu deep water, transitional, shallow water. Klasifikasi dari
gelombang tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2.4 berikut :

Tabel 2. 4 – Klasifikasi gelombang menurut teori gelombang linier (CERC, 1984)


Klasifikasi 𝑑/𝐿 2𝜋𝑑/𝐿 tanℎ (2𝜋𝑑/𝐿)
Deep water > 1/2 >𝜋 ≈1
Transitional 1/25 𝑠/𝑑 1/2 1/25 𝑠/𝑑 1/2 tanℎ (2𝜋𝑑/𝐿)
Shallow water < 1/25 < 1/4 ≈ 2𝜋𝑑/𝐿

Sedangkan persamaan dari profil gelombang, cepat rambat gelombang, dan


panjang gelombang dari masing-masing gelombang diberikan pada Tabel 2.5. Masing-
masing penggunaan rumus harus disesuaikan dengan kriteria gelombang tersebut
apakah termasuk shallow water, transitional water, atau deep water.

II-10
Tabel 2. 5 – Persamaan gelombang (CERC, 1984)
Shallow Water Transitional Water Deep Water
Relative Depth 𝑑 1 1 𝑑 1 𝑑 1
< < < >
𝐿 25 25 𝐿 2 𝐿 2

𝐻 2𝜋𝑥 2𝜋𝑡 𝐻 𝐻 2𝜋𝑥 2𝜋𝑡 𝐻 𝐻 2𝜋𝑥 2𝜋𝑡 𝐻


Wave Profile 𝜂= 𝑐𝑜𝑠 [ − ] = 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝜂= 𝑐𝑜𝑠 [ − ] = 𝑐𝑜𝑠𝜃 𝜂= 𝑐𝑜𝑠 [ − ] = 𝑐𝑜𝑠𝜃
2 𝐿 𝑇 2 2 𝐿 𝑇 2 2 𝐿 𝑇 2

𝐿 𝐿 𝑔𝑇 2𝜋𝑑 𝐿 𝑔𝑇
Wave Celerity 𝐶= = 𝑡𝑎𝑛ℎ ( )
𝐶 = = √𝑔𝑑 𝑇 2𝜋 𝐿 𝐶 = 𝐶0 = =
𝑇 𝑇 2𝜋

𝑔𝑇2 2𝜋𝑑 𝑔𝑇2


Wave length 𝐿 = 𝑇√𝑔𝑑 𝐿= 𝑡𝑎𝑛ℎ ( )
2𝜋 𝐿 𝐿 = 𝐿0 = = 𝐶0𝑇
2𝜋

II-11
2.3.2.1 Peramalan Gelombang Laut Dalam
Berdasarkan faktor tegangan angin / wind stress faktor (UA) pada sub bab
2.3.1.1 dan panjang fetch pada subbab 2.3.1.3, dilakukan peramalan gelombang
di laut dalam dengan menggunakan bantuan peramalan gelombang yang
disajikan oleh Shore Protection Manual (SPM) 1984, sehingga didapat tinggi,
durasi, dan periode gelombang. Mengenai bentuk peramalan gelombang menurut
teori SPM 1984 (peramalan gelombang semi empiris) untuk lebih jelasnya akan
dijelaskan dengan flowchart pada Gambar 2.5 berikut :

Gambar 2. 5 – Flowchart peramalan gelombang (CERC, 1984)

II-12
dimana :
Hmo = tinggi gelombang signifikan, adalah tinggi rerata dari 33% nilai tertinggi
gelombang yang terjadi, (m)
Tmo = periode gelombang, (s)
Feff = panjang fetch efektif, (m)
UA = faktor tegangan angin, (m/s)
g = gravitasi, (m/s2)
t = waktu, (s)

Bangunan pelabuhan harus direncanakan untuk mampu menahan gaya-


gaya yang bekerja padanya. Untuk menghitung gaya-gaya gelombang maksimal
yang bekerja pada bangunan atau berat batu pelindung pemecah gelombang
diperlukan pemilihan tinggi dan periode gelombang rencana yang dapat
mempresentasikan spektrum gelombang selama kejadian ekstrem. Pemilihan
tinggi gelombang rencana tergantung pada kondisi lokasi bangunan, metode
pelaksanaan, bahan bangunan yang digunakan dan data-data lain yang tersedia.
Pemilihan tinggi gelombang rencana dengan memperhatikan apakah
bangunan kaku, semi kaku, atau fleksibel. Untuk bangunan kaku, seperti dinding
beton atau caison, di mana tinggi gelombang di dalam deretan gelombang dapat
menyebabkan runtuhnya seluruh bangunan, maka tinggi gelombang rencana
biasanya diambil H1%. Untuk bangunan semi kaku, seperti sel turap baja, tinggi
gelombang rencana dipilih antara H10% sampai H1%. Untuk bangunan fleksibel,
seperti bangunan dari tumpukan batu, tinggi gelombang rencana bervariasi dari
Hs sampai H5%. Kerusakan yang terjadi pada bangunan tumpukan batu, apabila
gelombang yang terjadi lebih besar dari gelombang rencana, tidak akan berakibat
fatal. Walaupun bangunan telah rusak tetapi masih bisa berfungsi, dan batu-batu
yang tergeser dari tempatnya akan mudah diperbaiki. Gambar 2.6 memberikan
gambaran penggunaan gelombang rencana untuk beberapa tipe bangunan.

II-13
Gambar 2. 6 – Pemilihan gelombang rencana berdasarkan tipe bangunan
(Triatmodjo, 2009)

2.3.2.2 Statistik Gelombang


Gelombang yang ada di alam adalah sangat kompleks yang terdiri dari
suatu deretan/kelompok gelombang di mana masing-masing gelombang di dalam
kelompok tersebut mempunyai tinggi dan periode berbeda. Gambar 2.7 adalah
suatu pencatatan gelombang sebagai fungsi waktu di suatu tempat. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa gelombang mempunyai bentuk yang tidak teratur,
dengan tinggi dan periode tidak konstan. Evaluasi terhadap gambar tersebut
menimbulkan pertanyaan berapakah tinggi dan periode gelombang tersebut,
mengingat terdapat lebih dari satu gelombang dengan tinggi dan periode berbeda.

Gambar 2. 7 – Pencatatan gelombang di suatu lokasi (Triatmodjo, 1999)

Dalam pengukuran gelombang seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.7,


absis adalah waktu dari dimulainya pencatatan. Ada dua metode untuk
menentukan gelombang yaitu zero upcrossing method dan zero downcrossing

II-14
method. Untuk menjelaskan metode tersebut, pertama kali ditetapkan elevasi
rerata dari permukaan air berdasarkan fluktuasi muka air pada waktu pencatatan.
Muka air tersebut didefinisikan sebagai garis nol. Kemudian kurva gelombang
ditelusuri dari awal sampai akhir. Pada metode zero upcrossing, diberi tanda titik
perpotongan antara kurva naik dan garis nol, dan titik tersebut ditetapkan sebagai
awal dari satu gelombang. Mengikuti naik-turunnya kurva, penelusuran
dilanjutkan untuk mendapatkan perpotongan antara kurva naik dan garis nol
berikutnya. Titik tersebut ditetapkan sebagai akhir dari gelombang pertama dan
awal dari gelombang kedua. Jarak antara kedua titik tersebut adalah periode
gelombang pertama (T1). Sedang jarak vertikal antara titik tertinggi dan terendah
di antara kedua titik tersebut adalah tinggi gelombang pertama (H1). Penelusuran
dilanjutkan lagi untuk mendapatkan gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Metode zero downcrossing mempunyai prosedur yang sama, tetapi titik yang
dicatat adalah pertemuan antara kurva turun dan garis nol (Triatmodjo, 1999).

2.3.2.2.1 Gelombang Representatif


Untuk keperluan perencanaan bangunan- bangunan pantai perlu
dipilih tinggi dan periode gelombang individu (individual wave) yang dapat
mewakili suatu spektrum gelombang. Gelombang tersebut dikenal dengan
gelombang representatif. Apabila tinggi gelombang dari suatu pencatatan
diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah atau sebaliknya, maka akan dapat
ditentukan tinggi Hn yang merupakan rerata dari n% gelombang tertinggi.
Dengan bentuk seperti itu akan dapat dinyatakan karakteristik gelombang
alam dalam bentuk gelombang tunggal. Misalnya, H10 adalah tinggi rerata
dari 10 persen gelombang tertinggi dari pencatatan gelombang. Bentuk
yang paling banyak digunakan adalah H33 atau tinggi rerata dari 33% atau
1/3 nilai tertinggi dari pencatatan gelombang yang juga disebut sebagai
tinggi gelombang signifikan Hs. Cara yang sama juga dapat digunakan
untuk periode gelombang. Tetapi biasanya periode signifikan didefinisikan
sebagai periode rerata untuk sepertiga gelombang tertinggi.

II-15
2.3.2.2.2 Distribusi Tinggi dan Periode Gelombang Individu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah data dalam setiap
kali pencatatan yang berlangsung selama 15 – 20 menit adalah cukup
banyak. Dalam satu hari bisa dilakukan pencatatan sebanyak 3 – 4 kali,
sehingga jumlah data dalam beberapa hari, bulan atau tahun menjadi sangat
banyak. Untuk mengetahui beberapa sifat statistik gelombang acak dibuat
distribusi gelombang tersebut. Misalnya dalam suatu pencatatan terdapat
100 gelombang individu. Seperti terlihat dalam Tabel 2.6 baris pertama
adalah tinggi gelombang yang dinyatakan dalam interval setiap 0,5 m. Baris
kedua adalah jumlah kejadian gelombang n untuk setiap interval tinggi
gelombang, dengan jumlah total gelombang adalah N = 100. Baris ketiga
menunjukkan probabilitas kejadian gelombang, yaitu perbandingan antara
jumlah kejadian gelombang dengan jumlah total gelombang n/N.

Tabel 2. 6 – Jumlah kejadian gelombang dengan interval tertentu (Triatmodjo, 1999)


H (m) 0,0-0,5 0,5-1,0 1,0-1,5 1,5-2,0 2,0-2,5 2,5-3,0 3,0-3,5 3,5-4,0 4,0-4,5
Jumlah
Gel. N
4 13 19 25 11 14 5 7 2

Probabilitas
n/N (N=100)
0,044 0,13 0,19 0,25 0,11 0,14 0,05 0,07 0,02

Kejadian gelombang seperti ditunjukkan dalam tabel tersebut


dinyatakan dalam bentuk Gambar 2.8, yang menunjukkan histogram dari
distribusi probabilitas (hubungan antara baris 1 dan 3). Dalam gambar
tersebut absis adalah tinggi gelombang yang dinyatakan dalam interval
setiap 0,5 m; sedang ordinat adalah probabilitas kejadian gelombang dalam
interval tinggi gelombang. dalam gambar tersebut probabilitas bahwa H
berada pada kelas 1,0 – 1,5 adalah 0,19. Jumlah dari semua probabilitas
gelombang adalah sama dengan 1.
Distribusi kumulatif, yang berkaitan dengan distribusi probabilitas
dari Gambar 2.8, ditunjukkan dalam Gambar 2.9. Dalam gambar tersebut,
probabilitas bahwa H kurang dari atau sama dengan kelas 1,0 – 1,5 m
adalah 0,36. Dimana nilai maksimum dari probabilitas distribusi kumulatif
adalah 1.

II-16
Histogram seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 mempunyai bentuk
yang tidak teratur. Hal ini disebabkan karena jumlah data yang sedikit.
Untuk mendapatkan distribusi tinggi gelombang yang lebih halus dapat
dilakukan dengan menggabungkan data dari beberapa pencatatan sehingga
jumlah data yang di analisa cukup banyak. Gambar 2.10 adalah contoh
histogram seperti pada Gambar 2.8 tetapi dengan jumlah data jauh lebih
banyak, dan memberikan bentuk histogram lebih teratur.

Gambar 2. 8 – Histogram distribusi probabilitas (Triatmodjo, 1999)

Gambar 2. 9 – Histogram distribusi kumulatif (Triatmodjo, 1999)

Gambar 2. 10 – Histogram distribusi probabilitas (Triatmodjo, 1999)

II-17
2.3.2.3 Periode Ulang Gelombang
Frekuensi gelombang-gelombang besar merupakan faktor yang
mempengaruhi perencanaan bangunan pantai. Untuk menetapkan gelombang
dengan periode ulang tertentu dibutuhkan data dalam jangka waktu pengukuran
cukup panjang (beberapa tahun). Data tersebut bisa berupa data pengukuran
gelombang atau data gelombang hasil prediksi (peramalan) berdasar data angin.
Dari setiap tahun pencatatan dapat ditentukan gelombang representatif, seperti
Hs, H10%, H1%, Hmaks dan sebagainya. Berdasarkan data representatif untuk
beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan gelombang yang diharapkan
disamakan atau dilampaui satu kali dalam periode T tahun, dan gelombang
tersebut dikenal dengan gelombang periode ulang T tahun atau gelombang T
tahunan. Misalnya apabila T = 50, gelombang yang diperkirakan adalah
gelombang 50 tahunan atau gelombang dengan periode ulang 50 tahun, artinya
bahwa gelombang tersebut diharapkan disamakan atau dilampaui rata-rata sekali
dalam 50 tahun. Hal ini tidak berarti bahwa gelombang 50 tahunan hanya akan
terjadi satu kali dalam setiap periode 50 tahun yang berurutan, melainkan
diperkirakan bahwa gelombang tersebut jika dilampau k kali dalam periode
panjang M tahun akan mempunyai nila k/M yang kira-kira sama dengan 1/50.
Terdapat dua metode untuk memprediksi gelombang dengan periode
tertentu, yaitu distribusi Gumbel (Fisher-Tippett Type 1) dan distribusi Weibull
(CERC, 1992). Dalam metode ini prediksi dilakukan untuk memperkirakan
tinggi gelombang signifikan dengan berbagai periode ulang. Tidak ada petunjuk
jelas untuk memilih salah satu dari kedua metode tersebut. Biasanya pendekatan
yang dilakukan adalah mencoba beberapa metode tersebut untuk data tersedia
dan kemudian dipilih yang memberikan hasil terbaik.
Langkah – langkah memprediksi tinggi gelombang dengan periode ulang
menggunakan metode Fisher-Tippett dan metode Weibull adalah sebagai berikut
1) Data masukan disusun dalam urutan besar ke kecil
2) Menentukan probabilitas untuk setiap gelombang sebagai berikut :
 Distribusi Fisher-Tippett
P(H  H )  1 m  0,44 (2.4)
NT  0,12
s sm

(CERC, 1992)

II-18
 Distribusi Weibull
0,27
m  0,2 
k
P(Hs  H sm )  1 (2.5)
0,23
N T  0,2 
k
(CERC, 1992)
dimana :
P(Hs ≤ Hsm) = probabilitas dari tinggi gelombang representatif ke-m yang
tidak dilampaui
Hsm = tinggi gelombang urutan ke-m
m = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1, 2, ….., N
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
3) Melakukan analisis regresi linear dari hubungan berikut :
𝐻𝑚 = 𝐴̂𝑦𝑚 + 𝐵̂ (2.6)
(CERC, 1992)
dengan ym diberikan oleh bentuk sebagai berikut :
 Distribusi Fisher-Tippett
𝑦𝑚 = − ln{− ln 𝐹 (𝐻𝑠 ≤ 𝐻𝑠𝑚)} (2.7)
𝑦𝑚 = − ln{− ln 𝑃} (2.8)
(CERC, 1992)
 Distribusi Weibull
𝑦𝑚 = [− ln{1 − 𝐹(𝐻𝑠 ≤ 𝐻𝑠𝑚)}]1/𝑘 (2.9)
𝑦𝑚 = [− ln{1 − 𝑃}]1/𝑘 (2.10)
(CERC, 1992)
dengan 𝐴̂ dan 𝐵̂ adalah perkiraan dari parameter skala dan lokal yang
diperoleh dari regresi linier

n (H sm  y m )  (H sm )  ( y m ) (2.11)


  2 2
n  ( ym )  ( ym)
𝐵̂= 𝐻
̅𝑠𝑚 − (𝐴̂∗ 𝑦̅𝑚 ) (2.12)
(Triatmodjo, 1999)
dimana :
̅ sm = rerata Hsm
𝐻
𝑌̅m = rerata ym

II-19
4) Menentukan tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang
dihitung dari fungsi probabilitas dengan rumus berikut ini :
𝐻𝑠𝑟 = 𝐴̂𝑦𝑟 + 𝐵̂ (2.13)
(CERC, 1992)
dimana yr diberikan oleh bentuk sebagai berikut :
 Distribusi Fisher-Tippett
  1   (2.14)
y r   ln  ln1   
   T r 
 

(CERC, 1992)
 Distribusi Weibull
𝑦𝑟 = {ln(𝜆 ∙ 𝑇𝑟)}1/𝑘 (2.15)
(CERC, 1992)
dimana :
Tr = periode ulang, (tahun)
λ = rerata jumlah kejadian per tahun (NT / k)
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
k = panjang data, (tahun)
Hsr = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang Tr tahun
5) Menghitung nilai σnr menggunakan rumus :
𝜎𝑛𝑟 = 1 [1 + 𝛼(𝑦𝑟 − 𝑐 + 𝜀 ln 𝑣)2]0,5 (2.16)
√𝑁
(CERC, 1992)
dimana :
σ = standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi gelombang signifikan
dengan periode ulang Tr
N = jumlah data tinggi gelombang signifikan

Nilai α dirumuskan sebagai berikut :


−1,3+(𝑘√−𝑙𝑛𝑣)
𝛼 = 𝛼1 ∗ 𝑒(𝛼2𝑁) (2.17)
(CERC, 1992)
dengan v = N / NT dan nilai α1, α2, e, ε, dan k merupakan koefisien empiris
untuk menghitung deviasi standar yang diberikan pada Tabel 2.7 berikut.

II-20
Tabel 2. 7 – Koefisien untuk menghitung standar deviasi (CERC, 1992)
Distribusi α1 α2 k c ε
FT-1 0,64 9,0 0,93 0,0 1,33
Weibull (k = 0,75) 1,65 11,4 -0,63 0,0 1,15
Weibull (k = 1,0) 1,92 11,4 0,00 0,3 0,90
Weibull (k = 1,4) 2,05 11,4 0,69 0,4 0,72
Weibull (k = 2,0) 2,24 11,4 1,34 0,5 0,54

Menghitung nilai σr menggunakan rumus sebagai berikut :


𝜎𝑟 = 𝜎𝑛𝑟 ∗ 𝜎𝐻𝑠 (2.18)
(CERC, 1992)
dimana :
σ = kesalahan standar dari tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
Tr tahun
𝜎𝐻𝑠 = deviasi standar dari data tinggi gelombang signifikan
𝜎𝐻𝑠 dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

(H sm  H sm )2
 Hs  (2.19)
N 1
(Triatmodjo, 1999)
Batas interval keyakinan terhadap Hsr dengan berbagai tingkat keyakinan
diberikan dalam Tabel 2.8.

Tabel 2. 8 – Tabel batas interval keyakinan tinggi gelombang signifikan ekstrem


(CERC, 1992)
Batas Interval Keyakinan Probabilitas Batas Atas
Tingkat keyakinan (%) terhadap Hsr Terlampaui (%)
80 ±1,28σr 10,0
85 ±1,44σr 7,5
90 ±1,65σr 5,0
95 ±1,96σr 2,0
99 ±2,58σr 0,5

II-21
2.3.2.4 Deformasi Gelombang
2.3.2.4.1 Gelombang Laut Dalam Ekuivalen
Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep
gelombang laut dalam ekuivalen. Pemakaian gelombang ini bertujuan
untuk menetapkan tinggi gelombang yang mengalami refraksi, difraksi dan
transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan deformasi
gelombang dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tinggi gelombang laut
dalam ekuivalen diberikan oleh bentuk :
H’0 = K’ . Kr . H0 (2.20)
(OCDI, 2009)
dengan :
H’0 = tinggi gelombang laut dalam ekuivalen
H0 = tinggi gelombang laut dalam
K’ = koefisien difraksi
Kr = koefisien refraksi

Konsep tinggi gelombang laut dalam ekuivalen ini digunakan untuk


analisis gelombang pecah, limpasan gelombang dan proses lain.

Gambar 2. 11 – Gelombang datang membentuk sudut terhadap celah (Triatmodjo,


1999)

2.3.2.4.2 Refraksi Gelombang


Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.
Di daerah di mana kedalaman air lebih besar dari setengah panjang
gelombang, yaitu di laut dalam, gelombang menjalar tanpa dipengaruhi
dasar laut. Tetapi di laut transisi dan dangkal, dasar laut mempengaruhi
gelombang. Di daerah ini, apabila ditinjau suatu garis puncak gelombang,

II-22
bagian dari puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan

II-23
menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian di air yang
lebih dalam. Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan
berusaha untuk sejajar dengan garis kedalaman laut. Garis ortogonal
gelombang, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis puncak gelombang
dan menunjukkan arah penjalaran gelombang, juga akan membelok; dan
berusaha untuk menuju tegak lurus dengan garis kontur dasar laut.
Gambar 2.12 menunjukkan contoh refraksi gelombang di daerah
pantai yang mempunyai garis kontur dasar laut dan garis pantai yang tidak
teratur. Suatu deretan gelombang yang di laut dalam mempunyai panjang
gelombang Lo dan garis puncak gelombang sejajar bergerak menuju pantai.
Terlihat dalam gambar bahwa garis puncak gelombang berubah bentuk dan
berusaha untuk sejajar garis kontur dan garis pantai. Garis ortogonal
gelombang membelok arah menuju tegak lurus garis kontur. Pada lokasi 1,
garis ortogonal gelombang menguncup sedang di lokasi 2 garis ortogonal
gelombang menyebar. Karena energi di antara dua garis ortogonal adalah
konstan sepanjang lintasan, berarti energi gelombang tiap satuan lebar di
lokasi 1 adalah lebih besar daripada di lokasi 2 (jarak antara garis ortogonal
di lokasi 1 lebih kecil daripada di laut dalam sedang di lokasi 2 jarak
tersebut lebih besar). Apabila akan direncanakan suatu pelabuhan di daerah
pantai tersebut, maka lokasi 2 adalah lebih cocok daripada lokasi 1, karena
bangunan-bangunan yang direncanakan akan menahan energi gelombang
yang lebih kecil.

Gambar 2. 12 – Refraksi gelombang (Triatmodjo, 1999)

II-24
Anggapan-anggapan yang digunakan dalam studi refraksi adalah
sebagai berikut :
1. Energi gelombang antara dua ortogonal adalah konstan
2. Arah penjalaran gelombang tegak lurus pada puncak gelombang, yaitu
dalam arah ortogonal gelombang
3. Cepat rambat gelombang yang mempunyai periode tertentu di suatu
tempat hanya tergantung pada kedalaman di tempat tersebut
4. Perubahan topografi dasar adalah berangsur-angsur
5. Gelombang mempunyai puncak yang panjang, periode konstan,
amplitudo kecil, dan monokromatik
6. Pengaruh arus, angin dan refleksi dari pantai dan perubahan topografi
dasar laut diabaikan
Persamaan cepat rambat gelombang adalah :
gL 2d
C 2  tanh (2.21)
2 L
Di laut dalam, persamaan tersebut menjadi : 

gL
C  (2.22)
2
2
0

(CERC, 1984)
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa C0 tidak tergantung pada
kedalaman, jadi laut dalam gelombang tidak mengalami refraksi. Di laut
transisi dan laut dangkal, pengaruh refraksi semakin besar.
Di laut transisi, kecepatan rambat dihitung dengan persamaan 2.22
sedangkan di laut dangkal persamaan tersebut menjadi :
𝐶 = √𝑔𝑑 (2.23)
(CERC, 1984)
Energi total gelombang tiap satu satuan lebar gelombang adalah :
  g  H 2 L
E (2.24)
8
(CERC, 1984)
Sedang tenaga gelombang :

n E
P (2.25)
T
(Triatmodjo, 1999)

II-25
Dipandang dua garis ortogonal yang melintas dari laut dalam menuju
pantai dan dianggap tidak ada energi gelombang yang keluar dari lintasan
tersebut. Tenaga yang terkandung di antara dua gari ortogonal dapat
dianggap konstan. Apabila jarak antara garis ortogonal adalah b, maka
tenaga gelombang di laut dalam dan di suatu titik di laut yang lebih dangkal
adalah :
n0  E0  b0 (2.26)
P0 
T0

nEb
P (2.27)
T
(Triatmodjo, 1999)

Gambar 2. 13 – Refraksi gelombang pada kontur lurus dan sejajar (Triatmodjo, 1999)

Proses refraksi gelombang adalah sama dengan refraksi cahaya


karena cahaya melintasi dua media perantara yang berbeda. Dengan
kesamaan tersebut, maka pemakaian hukum Snell pada optik dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah refraksi gelombang karena
perubahan kedalaman (Triatmodjo, 1999).

II-26
Gambar 2. 14 – Hukum Snell untuk refleksi gelombang (Triatmodjo, 1999)

Dalam Gambar 2.14 suatu deretan gelombang menjalar dari laut


dengan kedalaman d1 menuju kedalaman d2, dengan perubahan kedalaman
mendadak (seperti anak tangga) dan dianggap tidak ada refleksi gelombang
pada perubahan tersebut. Karena adanya perubahan kedalaman maka cepat
rambat dan panjang gelombang berkurang dari C1 dan L1 menjadi C2 dan
L2.
Analisis refraksi dapat dilakukan secara analitis apabila garis kontur
lurus dan saling sejajar dengan menggunakan hukum Snell secara langsung.
Apabila ditinjau gelombang di laut dalam dan di suatu titik yang ditinjau,
maka sesuai dengan hukum Snell berlaku :
C2 
sin( )  sin( ) (2.28)
2 C  1
 1 
dimana :
α1 = sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana
gelombang melintas
α2 = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi
kontur dasar berikutnya
C1 = kecepatan gelombang pada kedalaman kontur pertama
C2 = kecepatan gelombang pada kedalaman kontur kedua

II-27
Sehingga koefisien refraksi adalah :
cos 0
K r  (2.29)
cos
(CERC, 1984)
dimana :
Kr = koefisien refraksi
α0 = sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana
gelombang melintas
α = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi
kontur dasar berikutnya
Untuk air dangkal, maka kecepatan gelombang tergantung pada
kedalaman air dimana gelombang tersebut merambat. Di tempat yang
dalam, gelombang bergerak lebih cepat daripada di laut dangkal.
Untuk cepat rambat gelombang, persamaan umum yang digunakan
adalah sebagai berikut :

gT  2d  (2.30)
C  2 tanh  L 
(Triatmodjo, 1999)
Di laut dalam persamaan di atas menjadi : 

gT
C0  (2.31)
2
(Triatmodjo, 1999)
dimana :
C = cepat rambat gelombang, (m/s)
C0 = cepat rambat gelombang di laut dalam, (m/s)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
L = panjang gelombang, (m)
d = kedalaman laut, (m)
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa C0 tidak tergantung pada
kedalaman, jadi di dalam gelombang tidak mengalami refraksi, pada laut
transisi dan laut dangkal pengaruh refraksi akan semakin besar.
Di laut transisi, persamaan tersebut menjadi :
𝐿
𝐶 = = √𝑔𝑑 (2.32)
𝑇

II-28
Untuk menghitung tinggi gelombang yang terjadi, digunakan persamaan
sebagai berikut :
𝐻𝑠 = 𝐾𝑠 ∙ 𝐾𝑟 ∙ 𝐻0 (2.33)
dimana :
H1 = tinggi gelombang setelah mengalami refraksi, (m)
Ks = koefisien pendangkalan, (Ks bisa didapat langsung dari tabel fungsi
d/L untuk pertambahan nilai d/L0)
Kr = koefisien refraksi
H0 = tinggi gelombang sebelum mengalami refraksi, (m)

2.3.2.4.3 Difraksi Gelombang


Apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti
pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok
di sekitar ujung rintangan dan masuk di daerah terlindung di belakangnya;
seperti terlihat dalam Gambar 2.15. Fenomena ini dikenal dengan difraksi
gelombang. Dalam difraksi gelombang ini terjadi transfer energi dalam
arah tegak lurus penjalaran gelombang menuju daerah terlindung. Seperti
terlihat dalam Gambar 2.15, apabila tidak terjadi difraksi gelombang,
daerah di belakang rintangan akan tenang. Tetapi karena adanya proses
difraksi maka daerah tersebut terpengaruh oleh gelombang datang. Transfer
energi ke daerah terlindung menyebabkan terbentuknya gelombang di
daerah tersebut, meskipun tidak sebesar gelombang di luar daerah
terlindung. Garis puncak gelombang di belakang rintangan mempunyai
bentuk busur lingkaran. Dianggap bahwa kedalaman air adalah konstan.
Apabila tidak maka selain difraksi juga terjadi refraksi gelombang.
Biasanya tinggi gelombang berkurang di sepanjang puncak gelombang
menuju daerah terlindung. Pengetahuan tentang difraksi gelombang ini
penting di dalam perencanaan pelabuhan dan pemecah gelombang sebagai
pelindung pantai.

II-29
Gambar 2. 15 – Difraksi gelombang di belakang rintangan (Triatmodjo, 1999)

Pada rintangan (pemecah gelombang) tunggal, tinggi gelombang di


suatu tempat di daerah terlindung tergantung pada jarak titik tersebut
terhadap ujung rintangan r, sudut antara rintangan dan garis yang
menghubungkan titik tersebut dengan ujung rintangan β, dan sudut antara
arah penjalaran gelombang dan rintangan θ (Gambar 2.15). Perbandingan
antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah terlindung dan
tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.
𝐻𝐴 = 𝐾′ ∙ 𝐻𝑃 (2.34)
𝑟
𝐾′ = 𝑓(𝜃, 𝛽, ) (2.35)
𝐿
(CERC, 1984)
Dengan A adalah titik yang ditinjau di belakang rintangan dan P
adalah ujung pemecah gelombang. Nilai K' untuk θ, β, dan r/L tertentu
diberikan dalam Tabel 2.9 yang didasarkan pada penyelesaian matematis
untuk difraksi cahaya (Panny and Price, 1952; dalam Sorensen, 1978).
Difraksi gelombang air ini analog dengan difraksi cahaya, sehingga Tabel
2.9 juga dapat digunakan untuk memperkirakan pola garis puncak
gelombang dan variasi tinggi gelombang yang mengalami difraksi.

II-30
Tabel 2. 9 – Koefisien difraksi gelombang (K’) dari gelombang datang (Wiegel,
1964)

2.3.2.4.4 Refleksi Gelombang


Gelombang yang mengenai/membentur suatu bangunan akan
dipantulkan sebagian atau seluruhnya. Refleksi gelombang di dalam
pelabuhan akan menyebabkan ketidaktenangan di dalam perairan
pelabuhan. Fluktuasi muka air ini akan menyebabkan gerakan kapal-kapal
yang ditambat, dan dapat menimbulkan tegangan yang besar pada tali
penambat. Untuk mendapatkan ketenangan di kolam pelabuhan maka
II-31
bangunan-bangunan yang ada di pelabuhan harus bisa menyerap/
menghancurkan gelombang. Suatu bangunan yang mempunyai sisi miring
dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang lebih
banyak dibanding dengan bangunan tegak dan masif. Pada bangunan
vertikal, halus, dan dinding tidak elastis, gelombang akan dipantulkan
seluruhnya (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2. 16 – Profil muka air di depan bangunan vertikal (Triatmodjo, 1999)

Gambar 2.16 adalah bentuk profil muka air di depan bangunan


vertikal. Gelombang di depan bangunan vertikal disebut dengan gelombang
berdiri (standing wave). Besar kemampuan suatu benda memantulkan
gelombang diberikan oleh koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara
tinggi gelombang refleksi H, dan tinggi gelombang datang Hi.
H
X  r (2.36)
Hi
(CERC, 1984)
Koefisien refleksi bangunan di estimasi berdasarkan tes model.
Koefisien refleksi berbagai tipe bangunan diberikan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2. 10 – Koefisien refleksi (Triatmodjo, 1999)
Tipe Bangunan X
Dinding vertikal dengan puncak di atas air 0,7 – 1,0
Dinding vertikal dengan puncak terendam 0,5 – 0,7
Tumpukan batu sisi miring 0,3 – 0,6
Tumpukan blok beton 0,3 – 0,5
Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lubang) 0,05 – 0,2

II-32
Gerak gelombang di depan dinding vertikal yang dapat memantulkan
gelombang dengan sempurna yang mempunyai arah tegak lurus pada
dinding dapat ditentukan dengan superposisi dari dua gelombang yang
mempunyai karakteristik sama tetapi arah penjalarannya berlawanan.
Superposisi dari kedua gelombang tersebut menyebabkan terjadinya
standing wave atau gelombang berdiri. Untuk gelombang amplitudo kecil,
fluktuasi muka air :
H
  i cos(kx  t) (2.37)
i
2
(CERC, 1984)
dan gelombang refleksi
H
  i cos(kx t) (2.38)
r
2
(CERC, 1984)
Profil muka air di depan bangunan diberikan oleh jumlah ηi dan ηr
𝜂 = 𝜂 + 𝜂 = 𝐻𝑖 cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) + 𝑋 ∙ 𝐻𝑖 cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
𝑖 𝑟
2 2
Hi
 (1 x) cos(kx) cos(t) (2.39)
2
(CERC, 1984)
Apabila refleksi adalah sempurna maka X = l sehingga :
𝜂 = 𝐻𝑖 ∙ cos(𝑘𝑥) ∙ cos(σt) (2.40)
(CERC, 1984)
Persamaan tersebut menunjukkan fluktuasi muka air gelombang
berdiri (standing wave) yang periodik terhadap waktu (t) dan terhadap jarak
(x). Apabila cos(kx) = cos(σt) = 1 maka tinggi maksimum adalah 2Hi, yang
berarti bahwa tinggi gelombang di depan bangunan vertikal bisa mencapai
dua kali tinggi gelombang datang.
Tinggi gelombang di kolam pelabuhan harus cukup kecil sehingga
tidak mengganggu kapal yang sedang melakukan bongkar muat barang.
Untuk itu, bangunan pelabuhan dipilih sedemikian rupa sehingga
gelombang berdiri yang terjadi di kolam pelabuhan tidak besar, yaitu
dengan memilih material yang mempunyai koefisien refleksi kecil.

II-33
2.3.2.4.5 Gelombang Pecah
Gelombang yang merambat dari dalam laut menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.
Perubahan tersebut ditandai dengan puncak gelombang semakin tajam
sampai akhirnya pecah pada kedalaman tertentu. Di laut dalam profil
gelombang adalah sinusoidal, semakin menuju ke perairan yang lebih
dangkal puncak gelombang semakin tajam dan lembah gelombang semakin
datar selain itu kecepatan dan panjang gelombang berkurang secara
berangsur – angsur sementara tinggi gelombang bertambah.
Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu
perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Di laut dalam
kemiringan gelombang maksimum dimana gelombang mulai tidak stabil
diberikan oleh bentuk berikut :
H0 1
  0,142 (2.41)
L0 7
(CERC, 1984)
dimana :
H0 = tinggi gelombang laut dalam ekuivalen, (m)
L0 = panjang gelombang laut dalam, (m)
Pada kemurungan tersebut kecepatan partikel di puncak gelombang
sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam
dari batas maksimum tersebut menyebabkan kecepatan partikel di puncak
gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi
ketidakstabilan dan gelombang pecah.
Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan bata
tersebut tergantung pada kelaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m.
gelombang dari laut yang bergerak menuju pantai akan bertambah
kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman
tertentu yang disebut dengan kedalaman gelombang pecah (db), sedangkan
tinggi gelombang pecah diberi notasi Hb. Munk (1949), dalam Coastal
Engineering Research Center (CERC, 1984) memberikan persamaan untuk
menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut :

II-34
Hb  1 1/ 3
(2.42)
H 0'  H '
3,3   0 
 L0 
 (CERC, 1984)
dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
H0’= panjang gelombang di laut dalam, (m)
db
 1,28 (2.43)
hb
(CERC, 1984)
dimana :
db = kedalaman air pada saat gelombang pecah, (m)
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
Parameter Hb/H0’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah.
Pada grafik 2.17 menunjukkan hubungan antara Hb/H0’ dan H0’/gT2 untuk
berbagai kemiringan dasar laut. Sedangkan grafik 2.18 menunjukkan
hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk berbagai kemiringan dasar.

Gambar 2. 17 – Penentuan tinggi gelombang pecah (CERC, 1984)

II-35
dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
H0’ = panjang gelombang di laut dalam, (m)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)

Gambar 2. 18 – Penentuan kedalaman gelombang pecah (CERC, 1984)

dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
db = kedalaman air pada saat gelombang pecah, (m)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)
Untuk menghitung tinggi dan kedalaman gelombang pecah pada
kedalaman tertentu, dapat juga menggunakan rumus berikut ini :

db  1
Hb   a  Hb  (2.44)
b   
2 

 gT  
(CERC, 1984)

II-36
dimana :
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)
Dengan a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan
oleh persamaan berikut :
𝑎 = 43,75(1 − 𝑒−19𝑚) (2.45)

1,56
b (2.46)
(1  e 19,5m
)
(CERC, 1984)
Gelombang pecah dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan
pengaruh besarnya kemiringan sebagai berikut :
1. Spilling
Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan
kecil menuju ke pantai yang datar (kemiringan kecil). Gelombang mulai
pecah pada jarak yang cukup jauh dari pantai dan pecahnya terjadi
berangsur-angsur. Buih terjadi pada puncak gelombang selama
mengalami pecah dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak
yang cukup panjang. Gelombang pecah tipe spilling dapat dilihat pada
Gambar 2.19 berikut.

Gambar 2. 19 – Gelombang pecah tipe spilling (Svendsen, 1978)

2. Plunging
Apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah , gelombang
akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air
pada puncak gelombang akan terjun ke depan. Energi gelombang pecah
dihancurkan dalam turbulensi, sebagian kecil dipantulkan pantai ke
laut, dan tidak banyak gelombang baru terjadi pada air yang lebih
dangkal. Gelombang pecah tipe plunging dapat dilihat pada Gambar
2.20 berikut.

II-37
Gambar 2. 20 – Gelombang pecah tipe plunging (Svendsen, 1978)

3. Surging
Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang sangat besar
seperti yang terjadi pada pantai berkarang. Daerah gelombang pecah
sangat sempit, dan sebagian besar energi dipantulkan kembali ke laut
dalam. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan plunging, tetapi
sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah. Gelombang
pecah tipe surging dapat dilihat pada Gambar 2.21 berikut.

Gambar 2. 21 – Gelombang pecah tipe surging (Svendsen, 1978)

2.3.3 Fluktuasi Muka Air Laut


Elevasi muka air merupakan parameter sangat penting di dalam perencanaan,
periode gelombang angin. Beberapa proses alam yang terjadi pada waktu yang
bersamaan membentuk variasi muka air laut dengan periode panjang. Proses alam
tersebut meliputi tsunami, gelombang badai (storm surge), kenaikan muka air (wave
set-up), kenaikan muka air karena perubahan suhu global dan pasang surut. Di antara
beberapa proses tersebut fluktuasi muka air akibat badai dan tsunami (gempa) tidak
dapat ditentukan (diprediksi) kapan terjadinya, sedangkan pasang surut mudah
diprediksi dan diukur baik besar maupun waktu terjadinya (Triatmodjo, 1999).
2.3.3.1 Kenaikan Muka Air Karena Gelombang (Wave Set-up)
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi
muka air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah
akan terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di
sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana gelombang pecah
permukaan air rerata miring ke atas ke arah pantai. Turunnya muka air tersebut
disebut dengan wave set-down, sedangkan naiknya muka air disebut wave set-
up, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.22 berikut.

II-38
Gambar 2. 22 – Wave set-up dan wave set-down (Triatmodjo, 1999)

Wave set-up dan wave set-down di pantai dapat dihitung dengan


menggunakan teori Longuet-Higgins dan Stewart (CERC, 1984). Besar wave set-
up di daerah gelombang pecah menggunakan rumus :
𝑆𝑤 = Δ𝑆 − 𝑆𝑏 (2.47)
(CERC, 1984)
Sedangkan besar wave set-down di daerah gelombang pecah diberikan oleh :
0,536  H 2 / 3
Sb   b
(2.48)
g 1/ 2
T
(CERC, 1984)
Dengan ΔS = 0,15db dan dianggap bahwa db = 1,28H maka,
 Hb 

S w  0,19  1 2,82   Hb (2.49)
 gT 2

dimana :
Sb = set-down di daerah gelombang pecah, (m)
Sw = set-up di daerah gelombang pecah, (m)
ΔS = set-up di daerah gelombang pecah dan pantai, (m)
T = periode gelombang, (s)
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
db = kedalaman gelombang pecah, (m)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)

II-39
2.3.3.2 Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind Set-up)
Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut
bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika
badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Penentuan elevasi
muka air rencana selama terjadinya badai adalah sangat kompleks yang
melibatkan interaksi antara angin dan air, perbedaan tekanan atmosfer dan
beberapa parameter lainnya. Perbedaan tekanan atmosfer selalu berkaitan dengan
perubahan arah dan kecepatan angin, dan angin tersebut yang kemudian
menyebabkan fluktuasi muka air laut. Gelombang badai biasanya terjadi dalam
waktu yang bersamaan dengan proses alam lainnya seperti pasang surut.
Besarnya kenaikan muka air karena badai dapat diketahui dengan memisahkan
hasil pengukuran muka air laut selama terjadi badai dengan fluktuasi muka air
laut karena pasang surut. Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
F
h  i (2.50)
2
(Triatmodjo, 1999)
V
h  F  2

c
(2.51)
2gd
(Triatmodjo, 1999)
dimana :
Δh = kenaikan elevasi muka air karena badai, (m)
F = panjang fetch, (m)
i = kemiringan muka air
c = konstanta, (3,5×10-6)
V = kecepatan angin, (m/s)
D = kedalaman air, (m)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
Dalam memperhitungkan wind set-up di daerah pantai dianggap bahwa laut
dibatasi oleh sisi (pantai) yang impermeable (tidak dapat ditembus) dan hitungan
dilakukan untuk kondisi dalam arah tegak lurus pantai. Apabila arah angina dan
fetch membentuk sudut terhadap garis pantai, maka yang diperhitungkan adalah
komponen tegak lurus pantai

II-40
2.3.3.3 Fluktuasi Muka Air Laut Karena Pemanasan Global (Sea Level Rise)
Pemanasan Global atau Global Warming adalah fenomena naiknya suhu
rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Fenomena ini terjadi akibat
meningkatnya gas rumah kaca. Gas-gas rumah kaca uang paling penting, yang
menangkap panas di dalam atmosfer adalah uap air dan karbon dioksida. Gas lain
yang terdapat secara alami adalah metana, nitrat oksida, dan ozon. Selain itu gas
terdapat beberapa gas buatan, di antaranya adalah klorofluorkarbon (CFC) yang
berpengaruh besar terhadap efek rumah kaca. Efek dari pemanasan global ini
salah satunya yaitu meningkatnya volume air laut. Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, sedikit banyak akan merasakan
efek dari meningkatnya volume air laut tersebut.
Di dalam perencanaan bangunan pantai, kenaikan muka air karena
pemanasan global harus diperhitungkan. Besarnya kenaikan muka air laut dari
tahun 1990 sampai 2100 ditunjukkan oleh Gambar 2.23, gambar tersebut
berdasarkan anggapan bahwa suhu bumi meningkat seperti yang terjadi saat ini.

Gambar 2. 23 – Perkiraan kenaikan muka air laut karena pemanasan global


(Triatmodjo, 1999)

2.3.3.4 Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena
adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap
massa air laut di bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa
matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh
gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik
matahari. (Triatmodjo,1999)

II-41
Gambar 2. 24 – Kurva pasang surut (Triatmodjo, 1999)

Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air
pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berturutan. Periode pasang surut
adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rerata ke posisi
yang sama berikutnya. Periode pasang surut bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50
menit, yang tergantung pada tipe pasang surut. Periode pada mana muka air naik
disebut pasang, sedang pada saat air turun disebut surut. Variasi muka air
menimbulkan arus yang disebut dengan arus pasang surut, yang mengangkut
massa air dalam jumlah sangat besar. Arus pasang terjadi pada waktu periode
pasang dan arus surut terjadi pada periode air surut. Titik balik (slack) adalah
saat di mana arus berbalik antara arus pasang dan arus surut. Titik balik ini bisa
terjadi pada saat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat tersebut
kecepatan arus adalah nol.
Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama minimal 15 hari.
Dari data tersebut dibuat grafik sehingga didapat
1. HWL (High Water Level), yaitu muka air tertinggi yang dicapai pada saat air
pasang dalam suatu siklus pasang surut
2. LWL (Low Water Level), yaitu kedudukan air terendah yang dicapai pada
saat air surut dalam suatu siklus pasang surut
3. MHWL (Mean High Water Level), yaitu rata-rata dari muka air tinggi selama
19 tahun.
4. MLWL (Mean Low Water Level), yaitu rata – rata dari muka air rendah
selama 19 tahun.
5. HHWL (Lowest Low Water Level), yaitu muka air tertinggi pada saat pasang
surut purnama

II-42
6. LLWL (Lowest Low Water Level), yaitu muka air terendah pada saat pasang
surut purnama
7. MSL (Mean Sea Level), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-
rata dengan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi
untuk elevasi daratan.
Dalam pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup satu siklus
pasang surut yang meliputi pasang purnama dan perbani. Pengamatan yang lebih
lama akan memberikan data yang lebih lengkap.
Secara umum pasang surut di berbagai daerah di Indonesia dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
1) Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)
Yaitu pasang yang memiliki sifat dalam satu hari terjadi dua kali pasang
dan juga dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi
berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
Tipe pasang surut harian ganda dapat dilihat pada Gambar 2.25 berikut.

Gambar 2. 25 – Tipe pasang surut harian ganda (Nontji, 1987)

2) Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide)


Yaitu tipe pasang surut yang apabila dalam satu hari terjadi satu kali pasang
dan satu kali surut. Periode pasang surut ini adalah 24 jam 50 menit. Tipe pasang
surut harian tunggal dapat dilihat pada Gambar 2.26 berikut.

Gambar 2. 26 – Tipe pasang surut harian tunggal (Nontji, 1987)

II-43
3) Pasang surut campuran condong ke harian ganda (Mixed Tide Prevailling
Semidiurnal)
Yaitu pasang surut yang dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak
terdapat di perairan Indonesia Timur. Tipe pasang surut campuran condong ke
harian ganda dapat dilihat pada Gambar 2.27 berikut.

Gambar 2. 27 – Tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda (Nontji, 1987)

4) Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (Mixed Tide Prevealling


Diurnal)
Yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut,
tetapi kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut
dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini banyak
terdapat di perairan Selat Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat. Tipe pasang
surut campuran condong ke harian tunggal dapat dilihat pada Gambar 2.28
berikut.

Gambar 2. 28 – Tipe pasang surut campuran condong ke harian tunggal (Nontji,


1987)

Beberapa posisi yang penting untuk diketahui adalah:


1) Matahari, bulan, dan bumi terletak pada satu sumbu yang berupa garis lurus.
Pada posisi ini bumi menghadapi sisi bulan yang tidak kena sinar matahari
(sisi gelap), jadi bulan tidak dapat dilihat dari bumi. Karenanya keadaan
tersebut sering dikatakan “bulan mati”. Posisi seperti ini akan
mengakibatkan adanya gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi yang
saling menguatkan. Posisi saat “bulan mati” dapat dilihat pada Gambar 2.29.

II-44
2) Matahari–bumi–bulan terletak pada sumbu garis lurus
Pada posisi kedua ini, bulan sedang purnama, karena bulan dapat dilihat
penuh dari bumi, dan memberikan akibat pada pembangkitan pasang yang
sama dengan posisi pertama. Akibat posisi tersebut terjadi pasang tertinggi
dan surut terendah di belahan bumi yang berbeda. Pasang seperti ini dikenal
sebagai pasang surut purnama. Posisi ketika terjadi pasang surut purnama
dapat dilihat pada Gambar 2.29 berikut.

Gambar 2. 29 – Kedudukan bumi – bulan – matahari saat pasang purnama


(Triatmodjo, 1999)

3) Bulan terletak menyiku dari sumbu bersama matahari dan bumi.


Sedang pada sekitar tanggal 7 dan 21 (seperempat dan tiga perempat
revolusi bulan terhadap bumi) di mana bulan dan matahari membentuk sudut
siku-siku terhadap bumi (Gambar 2.30) maka gaya tarik bulan terhadap bumi
saling mengurangi. Dalam keadaan ini terjadi pasang surut perbani (pasang
kecil, neap tide) di mana tinggi pasang surut kecil di banding dengan hari-
hari yang lain.

Gambar 2. 30 – Kedudukan bumi – bulan – matahari saat pasang perbani


(Triatmodjo, 1999)

II-45
Salah satu metode yang biasa digunakan untuk mendapatkan Komponen
Pasang Surut Utama adalah dengan menggunakan metode Admiralty. Metode
Admiralty merupakan perhitungan yang digunakan untuk mencari harga
amplitudo (A), beda fase (g0), dan mean sea level (S0) yang sudah terkoreksi dari
data pengamatan selama 15 piantan (hari pengamatan) maupun selama 29
piantan di lokasi pekerjaan.
Tahap perhitungan Metode Admiralty menggunakan delapan kelompok
hitungan (skema) yang ditunjukkan oleh diagram berikut :

Gambar 2. 31 – Diagram pengolahan data pasang surut

II-46
Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Skema 1
Skema 1 berisi data pengamatan pasang surut tiap interval 1 jam yang
sudah terkoreksi. Data yang digunakan bisa data 15 atau 29 piantan dengan
satuan cm. Pada Skema 1 ditentukan tanggal pertengahan pengamatan,
bacaan tertinggi dan terendah. Bacaan tertinggi menunjukkan kedudukan
muka air tertinggi dan bacaan terendah menunjukkan kedudukan muka air
terendah.
2) Skema 2
Berisi nilai X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 yang dikelompokkan berdasarkan
nilai positif (+) dan negatif (-) untuk setiap hari pengamatan.
3) Skema 3
Berisi nilai X0, X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 dalam setiap hari pengamatan.
Kolom X0 berisi perhitungan mendatar dari hitungan X1 pada Skema 2 tanpa
memperhatikan tanda (+) dan (-). Kolom X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4
merupakan penjumlahan mendatar dari X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 pada Skema
2 dengan memperhatikan tanda (+) dan (-). Nilai X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4
ditambah dengan besaran B (kelipatan 100 atau kelipatan 1000) sehingga
untuk tiap kolom tidak ada nilai negatif.
4) Skema 4
Menghitung nilai X0, X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 yang ditambahkan
indeks kedua yaitu 0, 2, b, 3, c, 4, d misalnya:
 Indeks 0 untuk X1 berarti X10
 Indeks 2 untuk X2 berarti X22
Dalam skema 4, dihitung nilai perkalian untuk X0, X1, Y1, X2, Y2, X4
dan Y4 terhadap konstanta pengali untuk tiap indeks kedua dalam tiap hari
pengamatan yang dikelompokkan berdasarkan nilai positif dan negatif.
5) Skema 5 dan 6
Perhitungan pada kelompok ini sudah memperhatikan sembilan unsur
Utama pembangkit pasang surut (M2, S2, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4).
Untuk perhitungan kelompok hitungan 5 mencari nilai X00, X10, selisih X12
dan Y1b, selisih X13 dan Y1c, X20, selisih X22 dan Y2b, selisih X23 dan Y2c,
selisih X42 dan Y4b dan selisih X44 dan Y4d. Untuk perhitungan kelompok

II-47
hitungan 6 mencari nilai Y10, jumlah Y12 dan X1b, jumlah Y13 dan X1c, Y20,
jumlah Y22 dan X2b, jumlah Y23 dan X2c, jumlah Y42 dan X4d dan jumlah Y44
dan X4d.
6) Skema 7
Merupakan tahap akhir dari proses perhitungan komponen pasang surut
dengan Metode Admiralty. Akhirnya dari perhitungan ini didapatkan
besarnya amplitudo (A) dan beda fase (g°).
Adapun contoh hasil akhir dari Metode Admiralty disajikan dalam Tabel
2.11 sebagai berikut :

Tabel 2. 11 – Komponen utama pasang surut


Hasil A (cm) g (°)
Terakhir
S0 83.672 0
M2 10.686 256
S2 19.798 57
N2 1.119 226
K1 35.275 241
O1 6.959 150
M4 1.617 106
MS4 0.610 183
K2 5.345 57
P1 11.641 241

2.3.4 Design Water Level


Design water level (DWL) tergantung pada pasang surut, wave setup, wind setup,
tsunami dan pemanasan global. Namun dalam perencanaan bangunan pelabuhan laut,
tidak semua parameter tersebut digunakan. Hal ini mengingat bahwa kemungkinan
terjadinya semua parameter secara bersamaan adalah sangat kecil seperti yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa terjadinya tsunami sangat jarang. Oleh
karena itu elevasi muka air rencana tanya didasarkan pada pasang surut, wave set-up,
wind set-up, dan pemasaran global.

2.3.5 Run up Gelombang


Ketika gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang tersebut akan naik
(run-up) pada permukaan gelombang (Gambar 2.32). Elevasi (tinggi) bangunan yang
direncanakan tergantung pada run-up dan limpasan yang diizinkan. Run-up tergantung

II-48
pada bentuk dan kekasaran, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut
di depan bangunan, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan
bangunan, dan karakteristik bangunan. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh,
maka besarnya run-up sangat sulit ditentukan secara analitis.

Gambar 2. 32 – Run-up gelombang (CERC,1984)

Gambar 2.33 adalah hasil percobaan di laboratorium yang dilakukan oleh


Irribaren untuk menentukan besar run-up gelombang pada bangunan dengan
permukaan miring untuk berbagai tipe material, sebagai fungsi bilangan Irribaren
untuk jenis lapis lindung yang mempunyai bentuk berikut :

tg (2.52)
Ir 
(H / Lo )0,5
(Triatmodjo, 1999)
dengan :
Ir = bilangan Irribaren
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
H = tinggi gelombang di lokasi bangunan
L0 = panjang gelombang di laut dalam

II-49
Gambar 2. 33 – Grafik run-up gelombang

2.3.6 Topografi Bathimetri


Topografi merupakan data yang menyajikan bentuk permukaan bumi. Data ini
diperlukan dalam penentuan tipe dermaga dikarenakan gambaran yang terdapat dalam
data atau peta topografi ini menjadi acuan penggunaan tipe wharf atau jetty. Jika
bentuk topografi pada pantai tidak curam maka digunakan tipe jetty, jika bentuk
topografi pada pantai cenderung curam dan memiliki kedalaman yang cukup untuk
kapal, maka digunakan tipe wharf. Tujuan peta topografi ini juga untuk memberikan
informasi tentang keadaan lokasi dan jarak seperti lokasi penduduk, rute perjalanan
dan komunikasi. Sedangkan bathimetri adalah pengukuran kedalaman dari air lautan
dan danau. Peta bathimetri diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut di
sekitar lokasi pekerjaan. Peta ini digunakan untuk mengetahui kondisi gelombang di
lokasi pekerjaan.

II-50
Gambar 2. 34 – Peta bathimetri di sekitar Pulau Kurudu, Kab. Kepulauan Yapen,
Papua

2.4 Perencanaan Fasilitas Dasar Pelabuhan


2.4.1 Karakteristik Kapal
Tipe dan bentuk pelabuhan tergantung pada jenis dan karakteristik kapal yang
akan berlabuh. Kedalaman dan lebar alur pelayaran tergantung pada kapal terbesar
yang menggunakan pelabuhan. Kuantitas angkutan (trafik) yang diharapkan
menggunakan pelabuhan juga menentukan apakah alur untuk satu jalur atau dua jalur.
Luas kolam pelabuhan dan panjang dermaga sangat dipengaruhi oleh jumlah dan
ukuran kapal yang akan berlabuh.
Untuk keperluan perencanaan pelabuhan tersebut maka berikut ini diberikan
dimensi dan ukuran kapal secara umum, seperti terlihat dalam Tabel 2.12.

II-51
Tabel 2. 12 – Karakteristik kapal (Triatmodjo, 2009)

Sesuai dengan penggolongan pelabuhan dalam empat sistem pelabuhan, maka


kapal-kapal yang menggunakan pelabuhan tersebut juga disesuaikan, seperti terlihat
dalam Tabel 2.13.

II-52
Tabel 2. 13 – Dimensi kapal pada pelabuhan (Triatmodjo, 2009)

2.4.2 Alur Pelayaran


Alur pelayaran berfungsi untuk mengarahkan kapal-kapal yang akan keluar
masuk ke pelabuhan. Alur harus mempunyai kedalaman dan lebar yang cukup bisa
dilalui kapal-kapal yang direncanakan akan berlabuh. Penentuan dimensi (lebar dan
kedalaman) alur pelayaran dipengaruhi oleh :
 Karakteristik maksimum kapal yang akan menggunakan pelabuhan
 Mode operasional alur pelayaran satu arah/dua arah
 Kondisi bathimetri, pasang surut, angin dan gelombang yang terjadi
 Kemudahan bagi navigasi untuk melakukan gerakan manuver
Alur pelayaran ditandai dengan alat bantu navigasi yang dapat berupa pelampung
maupun suar.

II-53
2.4.2.1 Kedalaman Alur Pelayaran
Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal diperlukan kedalaman air
di alur masuk yang cukup besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air
terendah dengan kapal bermuatan penuh.
Kedalaman air ini ditentukan oleh berbagai faktor yang ditunjukkan dalam
Gambar 2.35. Kedalaman air total adalah :
H=d+G+R+P+S+K (2.53)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
d = draft kapal, (m)
G = gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat, (m)
R = ruang kebebasan bersih, (m)
Pantai pasir = 0,50 m
Karang = 1,00 m
P = ketelitian pengukuran, (m)
S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan, (m)
K = toleransi pengukuran, (m)

Gambar 2. 35 – Kedalaman alur pelayaran

Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi. Biasanya muka air
referensi ini ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari muka air surut terendah
pada saat pasang besar (spring tide) dalam periode panjang, yang disebut LLWS
(Lowest Low Water Spring).
II-54
1) Squat
Squat adalah penambahan draft kapal terhadap muka air yang disebabkan
oleh kecepatan kapal. Besar squat dapat dihitung menggunakan rumus
berikut yang didasarkan pada percobaan di laboratorium.

 F2
z  2,4  2 (2.54)
1 Fr
2
L pp
 r

 (Triatmodjo, 2009)
dengan :
Δ = L × B × T × Cb (2.55)
Nilai Cb menggunakan persamaan yang diberikan oleh Ayre :
v
Cb  1,06  0,68 (2.56)
gL
(Schmeekluth dan Bertram, 1998)
dimana :
Δ = volume air yang dipindahkan, (m3)
v = kecepatan, (m/s)
Lpp = panjang garis air, (m)

Fr = angka Fraude  v
2gh

g = percepatan gravitasi, (m/s2)
h = kedalaman air, (m)

2) Gerak kapal karena pengaruh gelombang


Kenaikan draft yang disebabkan oleh gerak tersebut kadang-kadang
sangat besar. Untuk kapal yang lebar, pengaruh rolling dapat cukup besar,
terutama bila frekuensi rolling kapal sama dengan frekuensi gelombang.
Penambahan draft pada gerak kapal akibat pengaruh gelombang adalah
sebesar, B / 2 sin(α), dengan α adalah sudut rolling kapal.

2.4.2.2 Lebar Alur Pelayaran


Lebar alur pelayaran biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau
pada kedalaman yang direncanakan. Lebar alur tergantung pada beberapa faktor,
yaitu :

II-55
 lebar, kecepatan, dan gerak kapal
 lalu lintas kapal, apakah alur direncanakan untuk satu atau dua jalur
 kedalaman alur
 apakah alur sempit atau lebar
 stabilitas tebing alur
 angin, gelombang, dan arus dalam alur
Tidak ada rumus yang memuat faktor-faktor tersebut secara eksplisit, tetapi
beberapa kriteria telah ditetapkan berdasarkan lebar kapal dan faktor-faktor
tersebut secara implisit. Pada alur untuk satu jalur (tidak ada simpangan), lebar
alur dapat ditentukan dengan mengacu Gambar 2.36, sedangkan jika kapal boleh
bersimpangan, lebar alur dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.37.

Gambar 2. 36 – Lebar alur satu jalur (Bruun, 1981)

Gambar 2. 37 – Lebar alur dua jalur (Bruun, 1981)

II-56
2.4.3 Kolam Pelabuhan
Kolam pelabuhan harus tenang, mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat
barang.
1) Kolam putar
Luas kolam putar yang digunakan untuk mengubah arah kapal minimum adalah
luasan lingkaran dengan jari-jari 1,5 kali panjang kapal total (Loa) dari kapal
terbesar yang menggunakannya. Apabila perputaran kapal dilakukan dengan
bantuan jangkar atau menggunakan kapal tunda, luas kolam putar minimum adalah
luas lingkaran dengan jari-jari sama dengan panjang total kapal (Loa).
2) Kedalaman kolam pelabuhan
Dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh alam seperti
gelombang, angin dan arus pasang surut, kedalaman kolam pelabuhan dapat
dihitung dengan pedoman nilai minimum underkeel clearance (Theoresen, 2014)
berikut :
a) Laut terbuka, untuk kapal dengan kecepatan tinggi dan tidak terlindung dari
gelombang yang besar, nilai clearance adalah sebesar 30% dari draft
maksimum.
b) Alur terbuka yang tidak terlindung dari gelombang besar, nilai clearance
adalah sebesar 25% dari draft maksimum.
c) Area pelabuhan terbuka yang tidak terlindung dari gelombang, nilai clearance
adalah sebesar 20% dari draft maksimum.
d) Area pelabuhan yang terlindung dari gelombang, nilai clearance adalah sebesar
15% dari draft maksimum.

2.5 Dermaga
2.5.1 Definisi
Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan
menambatkan kapal yang akan melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan
penumpang.
Konstruksi dermaga diperlukan untuk menahan gaya-gaya akibat tumbukkan
kapal dan beban selama bongkar muat. Dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan
ukuran kapal yang akan merapat dan bertambat pada dermaga tersebut. Dalam

II-57
mempertimbangkan ukuran dermaga harus didasarkan pada ukuran-ukuran minimal
sehingga kapal dapat bertambat dan meninggalkan dermaga maupun melakukan
bongkar muat dengan aman, cepat dan lancar.

2.5.2 Tipe Dermaga


Ditinjau dari bentuknya, dermaga dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu sebagai
berikut :
1) Memanjang / sejajar pada garis pantai (wharf)
Wharf adalah dermaga yang paralel dengan pantai dan biasanya berimpit
dengan garis pantai. Wharf juga dapat berfungsi sebagai penahan tanah yang ada
di belakangnya.
2) Menjorok ke laut (jetty)
Jetty adalah dermaga yang menjorok ke laut. Jetty ini biasanya sejajar dengan
pantai dan dihubungkan dengan daratan oleh jembatan yang biasanya membentuk
sudut 90º dengan jetty, sehingga jetty dapat berbentuk T dan L.
3) Menyerupai jari
Dermaga tipe ini biasanya dibangun bila garis kedalaman terbesar menjorok ke
laut dan tidak teratur. Khususnya dibangun untuk melayani kapal dengan muatan
umum.

2.5.3 Pemilihan Tipe Dermaga


Pemilihan tipe dermaga disesuaikan dengan kondisi-kondisi berikut :
1) Topografi daerah pantai
Di perairan yang dangkal dimana kedalaman yang cukup untuk kapal berada
agak jauh dari darat, penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan
pengerukan yang besar.
Sebaliknya di lokasi dimana kemiringan dasar cukup curam, pembuatan pier
dengan melakukan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak
praktis dan mahal sehingga lebih tepat dibangun wharf.

II-58
2) Jenis kapal yang dilayani
Dermaga yang melayani kapal minyak (tanker) dan barang curah mempunyai
konstruksi yang relatif ringan karena tidak memerlukan peralatan bongkar muat
(crane) yang besar, jalan kereta api, gudang, dsb. Untuk keperluan ini jetty lebih
cocok.
Dermaga yang melayani barang potongan dan peti kemas menerima beban
yang besar di atasnya seperti kran, barang yang dibongkar muat, peralatan
transportasi (kereta, truk). Untuk keperluan ini wharf lebih cocok.
3) Daya dukung tanah
Pada umumnya tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih
besar daripada tanah di dasar laut yang biasanya berupa endapan yang belum padat.
Dari sisi daya dukung tanah, wharf lebih menguntungkan, tetapi untuk dasar
pantai berupa karang, wharf akan mahal karena diperlukan pengerukan yang lebih
sulit.

2.5.4 Ukuran Dermaga


Ukuran dermaga dan perairan untuk bertambat tergantung pada dimensi kapal
terbesar dan jumlah kapal yang menggunakan dermaga.
2.5.4.1 Panjang Dermaga
Gambar 2.38 menunjukkan panjang dermaga untuk satu tambatan, yaitu
sama dengan panjang kapal terbesar yang menggunakan dermaga ditambah
masing-masing 10% kali panjang kapal di ujung hulu dan buritan kapal.

Gambar 2. 38 – Dimensi wharf (Triatmodjo, 2009)

Apabila dermaga digunakan oleh lebih dari satu tambatan kapal, di antara
dua kapal yang berjajar diberi jarak sebesar 10% kali panjang kapal terbesar yang
menggunakan pelabuhan (Gambar 2.39).

II-59
Gambar 2. 39 – Dimensi wharf (Triatmodjo, 2009)

Biasanya kapal yang masuk ke pelabuhan terdiri dari banyak ukuran. Untuk
itu dihitung panjang kapal rerata yang berlabuh di pelabuhan. Panjang dermaga
yang digunakan untuk merapat beberapa kapal didasarkan pada panjang kapal
rerata. IMO (International Maritim Organization) memberikan persamaan untuk
menentukan panjang dermaga, seperti diberikan oleh bentuk berikut ini :
LP  n  Loa  (n  1) 10%  Loa (2.57)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
LP = panjang dermaga, (m)
Loa = panjang kapal yang ditambat, (m)
n = jumlah kapal yang ditambat

2.5.4.2 Lebar Dermaga


Lebar dermaga direncanakan sesuai dengan kebutuhannya. Lebar dermaga
harus direncanakan sedemikian rupa agar mampu menunjang seluruh aktivitas
bongkar muat barang maupun penumpang pada kapal. Sehingga seluruh kegiatan
pada dermaga dapat berjalan secara cepat dan efisien. Perhitungan lebar dermaga
dilakukan dengan memperhitungkan jarak tepi dan kebutuhan manuver peralatan
yang berada di atas dermaga.

2.5.4.3 Elevasi Dermaga


Elevasi lantai dermaga direncanakan berdasarkan kondisi air pasang.
Berdasarkan Technical Standard and Commentaries for Port and Harbour
Facilities in Japan (2009), untuk perencanaan elevasi dermaga menggunakan
rumusan sebagai berikut :
Elevasi dermaga = HWS + W (2.58)

II-60
dimana :
HWS = high water spring (HHWL – LLWL), (m)
W = tinggi jagaan, (m)

2.6 Penyelidikan Data Tanah


Kondisi geoteknik, seperti kedalaman lapisan tanah keras dan kondisi tanah
lainnya, dibutuhkan untuk analisis dalam desain dan perencanaan konstruksi, misalnya
penentuan kedalaman pondasi. Tanah merupakan material yang karakteristiknya dapat
berubah seiring berjalannya waktu akibat proses konsolidasi. Sehingga perlu dilakukan
penyelidikan tanah untuk mendapat nilai daya dukung tanah.
Lokasi penyelidikan tanah adalah di sekitar rencana lokasi dermaga dan rencana
area fasilitas pendukung. Bor dilakukan mencapai tanah keras dimana pada setiap
kedalaman 2 m dilakukan SPT (Standard Penetration Test) dan pengambilan contoh
tanah. Data yang diperoleh di lapangan terutama dari hasil SPT diolah dan
digambarkan pada suatu grafik.
Pengujian Sondir dilakukan di darat sampai tekanan konus 200 kg/cm2. Hasil
penyelidikan Sondir di gambarkan dalam bentuk grafik hubungan antara kedalaman
sebagai ordinat dengan bacaan konus qc (kg/cm2) dan jumlah hambatan perekat JHP
(kg/cm) sebagai absis. Berdasarkan Braja M. Das (2009), hubungan penawaran konus
dan tingkat kekerasan tanah dapat diperkirakan sebagai berikut :
 qc < 20,4 (kg/m2) = sangat lunak atau gembur
 20,4 < qc < 40,8 (kg/m2) = lunak atau gembur
 40,8 < qc < 122,4 (kg/m2) = keras
 qc > 204 (kg/m2) = sangat keras

2.7 Perencanaan Pembebanan


Dalam perencanaan struktur dermaga, beban-beban yang bekerja pada struktur
dapat dibedakan menjadi beban vertikal, beban horizontal, dan beban kapal. Berikut
merupakan matriks pembebanan dalam perencanaan struktur dermaga.

II-61
Beban Mati

Beban Vertikal Beban Hidup

Beban Uplift

Beban Gelombang
Beban Horizontal
Beban Gempa

Beban Tumbukan
Beban Kapal Gaya Angin
Beban Tambat
Gaya Arus

Gambar 2. 40 – Matriks pembebanan (Kemenhub, 2015).

2.7.1 Beban Vertikal


Beban vertikal pada struktur dermaga terdiri dari beban mati (dead load), beban
hidup (live load) dan beban uplift.
2.7.1.1 Beban Mati (Dead Load)
Beban mati merupakan segala bentuk beban yang bersifat tetap, termasuk
dalam hal ini berat sendiri struktur dan komponen konstruksi lain yang melekat
permanen pada dermaga. Sebagai contoh adalah berat sendiri balok, pelat lantai,
pile cap, dan lain sebagainya.

2.7.1.2 Beban Hidup (Live Load)


Beban hidup adalah semua beban yang bersifat sementara atau beban yang
dapat berpindah-pindah (beban berjalan). Sebagai contoh adalah beban akibat
roda kendaraan, beban orang, beban peralatan untuk bongkar muat, dan lain
sebagainya.
Besarnya beban hidup pada dermaga sangat dipengaruhi oleh penggunaan
dan aktivitas yang terjadi di atas dermaga. OCDI membagi beban hidup pada
dermaga berdasarkan aplikasi dari dermaga tersebut. Berikut adalah penentuan
beban hidup yang bekerja pada dermaga berdasarkan kelasnya.

II-62
Tabel 2. 14 – Beban hidup (OCDI, 2009)
Beban Beban Terpusat
Kondisi beban
Kelas Merata (luas, mm) Aplikasi
antisipasi
(Q) S = spasi, m
Dermaga untuk
20 kN Beban pejalan kaki
tempat jalan
5 5 kPa (150 x 150) Kendaraan bermotor
penumpang pribadi
S = 1,8 ringan hingga 3T
dan umum
Tempat jalan umum
45 kN
Kendaraan darurat dengan akses untuk
10 10 kPa (350 x 150)
kecil kendaraan darurat
S = 1,8
dan kendaraan servis
Dermaga ringan dan
Kode desain jembatan jetty untuk industri
200 kN (Beban W7, W8, perikanan, industri
15 15 kPa (400 x 700) A160, T44) penyewaan kapal,
S = 4,0 Mobile crane kecil dermaga ferry,
hingga 20T aktivitas komersial
ringan
Dermaga kargo
Kode desain jembatan
500 kN umum pelabuhan
(SM1600 beban
25 25 kPa (700 x 700) sekunder.
platform besar).
S = 5,0 Pelabuhan sekunder
Mobile crane 50T SWL
Dermaga kargo umum
Kontainer forkift dan
1000 kN Dermaga kargo
peralatan mesin lain
40 40 kPa (1000 x 1000) umum untuk
untuk 40 ft kontainer.
S = 7,0 dermaga kontainer
Mobile crane 100T SWL
Kontainer forklift, reach
Pelabuhan utama,
1500 kN stalker dan peralatan
pintu gerbang
50 50 kPa (1000 x 1000) mesin lain untuk
terminal kontainer
S = 8,0 kontainer besar.
internasional
Mobile crane 150T SWL
2000 kN Dermaga
Mobile crane hingga
60 60 kPa (1000 x 1000) pemeliharaan
200T SWL
S = 9,0 dengan tugas berat

2.7.1.3 Beban Uplift


Untuk lantai dermaga yang terletak di dekat permukaan air, gaya dari
gelombang dapat berpengaruh pada bagian bawah lantai dermaga, tergantung
pada kondisi gelombang dan bentuk struktur lantai dermaga. Oleh karena itu,
gaya uplift pada lantai dermaga perlu diperhitungkan.

II-63
Gambar 2. 41 – Pengaruh gelombang terhadap lantai dermaga (uplift)
(Kementerian Perhubungan, 2015).

Besarnya gaya uplift akibat gelombang yang terjadi pada lantai dermaga
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
q  0 g  (1,6H  0,9S) (2.59)
(OCDI, 2009)
dimana :
q = beban uplift, (kN/m2)
ρ0 g = berat jenis air laut, (kN/m3)
H = tinggi gelombang, Hmax, (m)
S = jarak muka air dengan bagian dalam dermaga, (m)

2.7.2 Beban Horizontal


Beban horizontal yang bekerja pada struktur dermaga terdiri dari beban
gelombang dan beban gempa.

II-64
2.7.2.1 Beban Gelombang
Secara umum gaya gelombang yang diperhitungkan pada perencanaan
dermaga ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Beban Gelombang Pada Struktur Tiang

Gambar 2. 42 – Gaya gelombang pada elemen silinder tegak (CERC, 1984)

Morison et al. (1950) menyatakan bahwa gaya horizontal per unit panjang
pada tiang pancang silinder dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dari gaya
seret (drag force, fD) akibat kecepatan partikel air saat melewati tiang dan
gaya inersia (inertia force, fi) akibat percepatan partikel air. Gaya horizontal
tersebut dapat dinyatakan pada persamaan berikut :
D 2 du 1
f  fi  f D  CM      C D     Du | u | (2.60)
4 dt 2
dimana :
f = gaya / unit panjang, (N/m)
fD = gaya drag maksimum, (N)
fi = gaya inersia maksimum, (N)
CD = koefisien drag
CM = koefisien inersia
ρ = berat jenis air laut, (1025 kg/m3)
D = diameter tiang pancang, (m)
u = kecepatan partikel air, (m/s)
du/dt = percepatan partikel air, (m/s2)

II-65
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan persamaan Morison
adalah penentuan koefisien seret (CD) dan koefisien inersia (CM). Besarnya
nilai koefisien CD dan CM tergantung pada bilangan Reynold. Nilai bilangan
Reynold (Re) adalah sebagai berikut :

uD (2.61)
Re 
v
(CERC, 1984)
dimana :
u = kecepatan partikel air, (m/s)
D = diameter tiang pancang, (m)
v = viskositas kinematis, (untuk air laut : v = 1.83×10-6 m2/s)

Terdapat tiga kategori dari bilangan Re, yaitu :


 Subkritis : Re < 1×105 dimana nilai CD relatif konstan (≈ 1.2)
 Transisi : 1×105 < Re < 4×105 dimana nilai CD bervariasi
 Superkritis : Re > 4×105 dimana nilai CD relatif konstan (≈ 0.6 – 0.7)

Berikut adalah nilai untuk CM berdasarkan bilangan Reynold :


CM = 2.0 ketika Re < 2.5×105
Re
CM = 2.5  ketika 2.5×105 < Re < 5×105 (2.62)
5 10 5

CM = 1.5 ketika Re > 5×105


(CERC, 1984)

2) Beban Gelombang Pada Tepi Dermaga


Pada saat tertentu ada kemungkinan tinggi gelombang mencapai elevasi
dermaga, oleh karena itu perlu diperhitungkan gaya gelombang terhadap tepi
dermaga. Diasumsikan puncak gelombang berada pada sisi atas tepi dermaga.
Gaya gelombang pada tepi dermaga adalah sebagai berikut :
  g h
P sinh(k)  (h  s  t) sinh(k)  (h  (2.63)
s)
2k cosh(kh) (OCDI, 2009)

II-66
dimana :
P = gaya gelombang pada tepi lantai dermaga, (N/m)
ρ = berat jenis air laut, (kg/m3)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
h = kedalaman air laut, (m)
H = tinggi gelombang, (m)
 2 
k = bilangan gelombang 
 
 L 
L = panjang gelombang, (m)
S = elevasi – HWS – t, (m)
t = tebal pelat dermaga, (m)

2.7.2.2 Beban Gempa


Analisis pembebanan gempa yang digunakan adalah analisis dinamik yaitu
menggunakan respons spektrum yang dihitung secara tiga dimensi dengan
menggunakan program SAP 2000 versi 14.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya beban gempa antara lain :
1) Faktor Keutamaan Gempa (Ie)
Untuk berbagai risiko struktur bangunan gedung dan non gedung sesuai
dengan Tabel 2.16, pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan
dengan suatu faktor keutamaan Ie menurut Tabel 2.15.
Tabel 2. 15 – Faktor keutamaan gempa (SNI 1726-2012)
Kategori Risiko Faktor Keutamaan Gempa, Ie
I atau II 1.0
III 1.25
IV 1.5

II-67
Tabel 2. 16 – Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa
(SNI 1726-2012)
Kategori
Jenis pemanfaatan risiko
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain:
- Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
- Fasilitas sementara I
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko I,III,IV, termasuk,
tapi tidak dibatasi untuk:
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor
- Pasar
- Gedung perkantoran II
- Gedung apartemen / rumah susun
- Pusat perbelanjaan / mall
- Bangunan industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Penjara
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung, tidak termasuk ke dalam kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk
menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan
masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk: III
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk, tetapi tidak
dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat
pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang
mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak di mana jumlah kandungan
bahannya melebihi nilai batas yang disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup
menimbulkan bahaya bagi
masyarakat jika terjadi kebocoran.
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting, termasuk,
tetapi tidak dibatasi untuk:
- Bangunan-bangunan monumental
- Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi kendaraan darurat
- Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat perlindungan darurat
lainnya
IV
- Fasilitas kesigapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat
- Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat
- Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan bakar, menara
pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau
struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran ) yang disyaratkan untuk
beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain
yang masuk ke dalam kategori risiko IV.

II-68
2) Spektrum Respons Percepatan Desain (Sa)
Langkah-langkah dalam perhitungan spektrum respons percepatan desain
(Sa) adalah sebagai berikut :
 Klasifikasi Situs
Penetapan kelas situs dilakukan melalui penyelidikan tanah di lapangan
dan pengujian di laboratorium dengan mengukur secara independen dua
dari tiga parameter tanah yang tercantum dalam Tabel 2.17. Kelas situs
yang diberlakukan adalah kelas situs yang paling buruk dari hasil analisis.

Tabel 2. 17 – Klasifikasi situs (SNI 1726-2012)


Kelas situs v s (m/detik) N atau N ch s u (kPa)
SA (batuan keras) >1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras, sangat
350 sampai 750 >50 100
padat dan batuan lunak)
SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai100
SE (tanah lunak) < 175 <15 < 50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan
karateristik sebagai berikut :
1. Indeks plastisitas, PI > 20,
2. Kadar air, w ≥ 40%,
3. Kuat geser niralir su < 25 kPa
SF (tanah khusus, yang Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari
membutuhkan karakteristik berikut :
investigasi geoteknik - Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti
spesifik dan analisis mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
respons spesifik-situs - Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3 m)
yang mengikuti 6.10.0) - Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5m dengan
Indeks Plasitisitas PI > 75)
Lapisan lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan H > 35 m
dengan su < 50 kPa

 Parameter Percepatan Terpetakan


Parameter SS (percepatan batuan dasar pada periode pendek) dan S1
(percepatan batuan dasar pada periode 1 detik) ditetapkan berdasarkan
respons spektral percepatan 0,2 detik dan 1 detik dalam peta gerak tanah
seismik pada pasal 14 SNI 1726: 2012 dengan kemungkinan 2 persen
terlampaui dalam 50 tahun (MCER, 2 persen dalam 50 tahun), dan
dinyatakan dalam bilangan desimal terhadap percepatan gravitasi.

II-69
Gambar 2. 43 – Parameter percepatan batuan dasar pada periode pendek (SNI 1726-
2012)

Gambar 2. 44 – Parameter percepatan batuan dasar pada periode 1 detik (SNI 1726-
2012)

 Parameter Respons Spektral Percepatan Gempa


Untuk menentukan respons spektral percepatan gempa MCER di
permukaan tanah, diperlukan suatu faktor amplifikasi seismik pada
periode 0,2 detik dan periode 1 detik. Faktor amplifikasi meliputi faktor
amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran periode pendek (Fa)
dan faktor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili getaran periode
1 detik (Fv). Parameter spektrum respons percepatan pada periode

II-70
pendek (SMS) dan periode 1 detik (SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh
klasifikasi situs. Berdasarkan pasal 6.2 SNI 1726-2012 nilai SMS dan nilai
SM1 dihitung sebagai berikut :
SMS = Fa . SS (2.64)
SM1 = Fv . S1 (2.65)
Tabel 2. 18 – Koefisien situs, Fa (SNI 1726-2012)
Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada
Kelas situs perioda pendek, T = 0,2 detik, Ss
Ss ≤ 0.25 Ss = 0.5 Ss = 0.75 Ss = 1.0 Ss ≥ 1.25
SA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
SB 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
SC 1.2 1.2 1.1 1.0 1.0
SD 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0
SE 2.5 1.7 1.2 0.9 0.9
SF SSb

Tabel 2. 19 – Koefisien situs, Fv (SNI 1726-2012)


Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada
Kelas situs perioda 1 detik, S1
S1 ≤ 0.1 S1 = 0.2 S1 = 0.3 S1 = 0.4 S1 ≥ 0.5
SA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
SB 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
SC 1.2 1.6 1.5 1.4 1.3
SD 2.4 2.0 1.8 1.6 1.5
SE 3.5 3.2 2.8 2.4 2.4
SF SSb

 Parameter Percepatan Spektral Desain


Parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek, SDS dan pada
periode 1 detik, SD1. Berdasarkan pasal 6.3 SNI 1726-2012 nilai SDS dan
SD1 dihitung sebagai berikut:
SDS = 2/3 . SMS (2.66)
SD1 = 2/3 . SM1 (2.67)
 Kurva spektrum respons desain harus dikembangkan dengan mengacu
Gambar 2.45 dan mengikuti ketentuan di bawah ini :
- Untuk periode yang lebih kecil dari To, spektrum respons percepatan
desain, Sa berdasarkan pasal 6.4 SNI 1726-2012 diambil dari
persamaan-persamaan berikut :
 T
Sa  S  0,4  0,6   (2.68)
DS  
 To 

II-71
- Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan To dan lebih kecil
dari atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa,
sama dengan SDS ;
- Untuk periode lebih besar dari Ts, spektrum respons percepatan
desain, Sa, diambil berdasarkan persamaan :
SD1
Sa  (2.69)
T
Keterangan :
SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek;
SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik;
T = periode getar fundamental struktur.
S
To  0,2  D1 (2.70)
SDS
SD1
Ts  (2.71)
SDS

Gambar 2. 45 – Spektrum respons desain

3) Periode Getar Struktur


Mengacu pada SNI 1726-2012, periode getar pendekatan (Ta) dapat
ditentukan dengan persamaan berikut :

Ta  Ct
x
h (2.72)
n

dengan :

hn = ketinggian struktur, (m)


II-72
Tabel 2. 20 – Nilai parameter periode pendekatan Ct dan x (SNI 1726-2012)
Tipe Struktur Ct x
Rangka baja pemikul momen 0,0734 0,80
Rangka beton pemikul momen 0,0466 0,90
Semua sistem struktur lainnya 0,0488 0,75

Periode getar struktur Ta tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan
pada periode yang dihitung (Cu) dari Tabel 2.21 berikut ini.

Tabel 2. 21 – Koefisien untuk batas atas pada periode getar (T) yang dihitung
(SNI 1726-2012)
Parameter Percepatan Respons Spektra Desain Koefisien
Pada Periode 1 Detik (SD1) Cu
≥ 0,4 1,4
0,3 1,4
0,2 1,5
0,15 1,6
≤ 0,15 1,7

4) Gaya Geser Dasar Seismik


Mengacu pada SNI 1726-2012 gaya geser dasar seismik (V) dalam arah yang
ditetapkan harus sesuai dengan persamaan sebagai berikut.
V  Cs W (2.73)
dengan :
Cs = koefisien respons seismik
W = berat seismik efektif, (ton)

Koefisien respons seismik (Cs) harus ditentukan sesuai dengan


persamaan sebagai berikut :
SDS
Cs  (2.74)
R / Ie
dengan :
SDS = parameter percepatan spektrum respons desain dalam rentang periode
pendek
R = faktor modifikasi respons
Ie = faktor keutamaan gempa

II-73
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan 2.74 tidak perlu melebihi Cs
yang dihitung dengan persamaan berikut :

S
Cs max   D1
R  (2.75)
T  
 Ie 
Cs harus tidak kurang dari :
Cs = 0,044 SDS · Ie ≥ 0,01 (2.76)
dimana :
SD1 = parameter percepatan spektrum respons desain dalam periode sebesar
1,0 detik
R = faktor modifikasi respons
Ie = faktor keutamaan gempa
T = periode getar pendekatan (Ta)

5) Koefisien modifikasi respons (R)


Koefisien modifikasi respons (R) ditentukan pada Tabel 2.22 berikut :

Tabel 2. 22 – Faktor R, Cd dan Ωo untuk sistem penahan gaya gempa (SNI 1726-
2012)
Faktor Faktor Batasan sistem struktur dan
Koefisien
kuat- pembesa
modifikasi batasan tinggi struktur, hn (m) c
Sistem penahan gaya seismik lebih ran
respons, Kategori desain seismik
sistem, defleksi,
Ra g b
Ω0 Cd B C Dd Ed Fe
C. Sistem rangka pemikul momen
1. Rangka baja pemikul momen khusus 8 3 5.5 TB TB TB TB TB
2. Rangka batang baja pemikul momen khusus 7 3 5.5 TB TB 48 30 TI
h
3. Rangka baja pemikul momen menengah 4.5 3 4 TB TB 10 h,l
TI TIl
h h
4. Rangka baja pemikul momen biasa 3.5 3 3 TB TB TI TI TIl
5. Rangka beton bertulang pemikul momen
8 3 5.5 TB TB TB TB TB
khusus
6. Rangka beton bertulang pemikul momen
5 3 4.5 TB TB TI TI TI
menengah
7. Rangka beton bertulang pemikul momen biasa 3 3 2.5 TB TI TI TI TI
8. Rangka baja dan beton komposit pemikul
8 3 5.5 TB TB TB TB TB
momen khusus
9. Rangka baja dan beton komposit pemikul
5 3 4.5 TB TB TI TI TI
momen menengah
10. Rangka baja dan beton komposit terkekang
6 3 5.5 48 48 30 TI TI
parsial pemikul momen
11. Rangka baja dan beton komposit pemikul
3 3 2.5 TB TI TI TI TI
momen biasa
12. Rangka baja canai dingin pemikul momen
3.5 3 3.5 10 10 10 10 10
khusus dengan pembautan

II-74
2.7.3 Beban Kapal
Dalam menentukan jenis dan mendesain struktur dermaga, diperlukan analisis
terhadap gaya tumbukan kapal (berthing), gaya tambat kapal (mooring), dan gaya
reaksi fender yang digunakan. Analisis ini dilakukan terhadap kapal terbesar yang akan
dilayani dermaga.
2.7.3.1 Beban Tumbukan (Berthing)
Beban tumbukan (berthing) adalah beban yang diterima dermaga saat kapal
sedang bersandar ke dermaga. Beban tumbukan maksimum yang diterima
dermaga adalah pada saat kapal merapat ke dermaga dan membentur dermaga
pada sudut 10° terhadap sisi depan dermaga.
Beban tumbukan ini tidak diterima langsung oleh dermaga, tetapi
energinya diserap terlebih dahulu oleh fender pada dermaga. Beban tumbukan
kapal yang harus ditahan oleh struktur dermaga bergantung pada energi
tumbukan yang diserap oleh sistem fender yang dipasang pada dermaga. Beban
tumbukan bekerja secara horizontal dan dapat dihitung berdasarkan energi
tumbukan pada fender yang digunakan. Besar energi tersebut dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
W V 2
E  Cm  Ce  Cs  Cc (2.77)
2g
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
E = energi benturan, (ton.m)
V = komponen tegak lurus sisi dermaga dari kecepatan kapal saat membentur
dermaga, (m/s)
W = displacement (berat) kapal, (ton)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
Cm = koefisien massa
Ce = koefisien eksentrisitas
Cs = koefisien kekerasan (diambil 1)
Cc = koefisien bentuk dari tambatan (diambil 1)

II-75
Gambar 2. 46 – Kondisi berthing kapal

Kecepatan merapat kapal merupakan salah satu faktor penting dalam


perencanaan dermaga dan sistem fender, yang dapat ditentukan dari nilai
pengukuran atau pengalaman. Secara umum kecepatan merapat kapal diberikan
dalam Tabel 2.23 berikut ini.

Tabel 2. 23 – Kecepatan merapat kapal pada dermaga (Triatmodjo, 2009)


Kecepatan Merapat (m/s)
Ukuran Kapal (DWT)
Pelabuhan Laut Terbuka
Sampai 500 0,25 0,30
500 – 10.000 0,15 0,20
10.000 – 30.000 0,15 0,15
di atas 30.000 0,12 0,15

Koefisien massa (Cm) tergantung pada gerakan air di sekeliling kapal yang
dapat dihitung dengan persamaan berikut :
 d
Cm  1  (2.78)
2Cb B
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
Cb = koefisien blok kapal
d = draft kapal, (m)
B = lebar kapal, (m)
Lpp = panjang garis air, (m)
γo = berat jenis air laut, (ton/m³)

II-76
Koefisien eksentrisitas (Ce) adalah perbandingan antara energi sisa dan
energi kinetik kapal yang merapat, nilainya dapat dihitung dengan persamaan :
1
Ce  (2.79)
1  (l / r) 2
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
l = jarak sepanjang permukaan air dari pusat berat kapal sampai titik sandar
kapal, (m)
Dermaga : l = 1/4 Loa, (m)
Dolphin : l = 1/6 Loa, (m)
r = jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal pada permukaan air, (m)

Gambar 2. 47 – Jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal (Triatmodjo, 2009)

Koefisien softness (Cs) merupakan koefisien yang mempengaruhi energi


bentur yang diserap oleh lambung kapal. Nilai koefisien softness diambil sebesar
1 (OCDI).
Koefisien konfigurasi penambatan (Cc) adalah koefisien yang diambil dari
efek massa air yang terperangkap antara lambung kapal dan sisi dermaga. Cc =
1 untuk jenis struktur dermaga dengan pondasi tiang.
Gaya yang diteruskan ke dermaga tergantung pada tipe fender dan defleksi
fender yang diizinkan. Fender yang baik adalah yang bisa menyerap banyak
energi benturan (kinetik) dan akan meneruskan gaya reaksi yang kecil ke struktur
tambatan dan dinding kapal.

II-77
2.7.3.2 Beban Tambat (Mooring)
Mooring merupakan sistem penambatan kapal dengan tali atau kabel yang
diikatkan pada bollard. Hal ini bertujuan untuk mencegah gerakan yang
berlebihan pada kapal karena dapat mengganggu pada aktivitas bongkar muat
maupun lalu-lintas muatan kapal yang lainnya.
Pada prinsipnya beban tambat (mooring) merupakan gaya-gaya horizontal
yang disebabkan oleh angin dan arus. Sistem mooring ini dianalisis agar mampu
mengatasi gaya-gaya akibat kombinasi angin dan arus.
1) Gaya Akibat Angin
Angin yang berembus ke badan kapal yang ditambatkan akan
menyebabkan gerakan kapal yang bisa menimbulkan gaya terhadap dermaga.
Baik itu berupa gaya tekan pada dermaga ataupun gaya tarik pada alat
penambat. Besarnya gaya akibat angin tergantung pada arah embusan angin
dan dapat dihitung dengan persamaan yang berikut :
 Gaya longitudinal jika angin datang dari arah haluan
Rw  0,42  Qa  Aw (2.80)
(Triatmodjo, 2009)
 Gaya longitudinal jika angin datang dari arah buritan
Rw  0,5Qa  Aw (2.81)
(Triatmodjo, 2009)
 Gaya lateral jika angin datang dari arah lebar
Rw  1,1 Qa  Aw (2.82)
(Triatmodjo, 2009)
dengan :
Qa 0,063 V 2 (2.83)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
Rw = gaya akibat angin, (kg)
Qa = tekanan angin, (kg/m2)
V = kecepatan angin, (m/s)
Aw = proyeksi bidang yang tertiup angin, (m2)

II-78
2) Gaya Akibat Arus
Arus yang bekerja pada bagian kapal yang terendam air juga akan
menyebabkan gerakan kapal yang bisa menimbulkan gaya terhadap dermaga.
Besarnya gaya yang ditimbulkan oleh arus dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
 2 
Ra Cc   W  Ac Vc  (2.84)
 2g
 
 (Triatmodjo, 2009)
dimana :
Ra = gaya akibat arus, (kg)
Ac = luas tampang kapal yang terendam air, (m2)
γw = rapat massa air laut, (1025 kg/m3)
Vc = kecepatan arus, (m/s)
Cc = koefisien tekanan arus

Nilai Cc adalah faktor untuk menghitung gaya lateral dan memanjang.


Nilai Cc tergantung pada bentuk kapal dan kedalaman air di depan tambatan,
yang nilainya diberikan berikut ini.
Faktor untuk menghitung gaya arus melintang :
 Di air dalam, nilai Cc = 1,0 – 1,5
 Kedalaman air/draft kapal = 2, nilai Cc = 2,0
 Kedalaman air/draft kapal = 1,5, nilai Cc = 3,0
 Kedalaman air/draft kapal = 1,1, nilai Cc = 5,0
 Kedalaman air/draft kapal = 1, nilai Cc = 6,0
Faktor untuk menghitung gaya arus memanjang (longitudinal) bervariasi
dari 0,2 untuk laut dalam dan 0,6 untuk perbandingan antara kedalaman air dan
draft kapal mendekati 1.

2.7.4 Kombinasi Pembebanan


Setiap komponen pada struktur harus dirancang sedemikian rupa sehingga kuat
rencananya sama atau melebihi pengaruh beban-beban terfaktor. Struktur harus
dianalisis untuk semua kombinasi pembebanan yang mungkin terjadi pada dermaga.
Kondisi kosong adalah kasus dimana tidak ada kapal yang bersandar di dermaga.

II-79
Kondisi sandar adalah ketika kapal bertumbukan dengan dermaga. Kondisi tambat dan
labuh adalah saat kapal terikat ke dermaga. Kondisi gempa adalah saat terjadi gempa
dengan asumsi tidak ada kapal yang sedang bersandar. Kombinasi-kombinasi
pembebanan tersebut adalah sebagai berikut :
1) 1.4 DL
2) 1.2 DL + 1.6 LL
3) 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 B
4) 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 M
5) DL + 1.0 LL ± 1.0 (Ex/Ey)
6) 0.9 DL ± 1.0 W
7) 0.9 DL + 1.0 (Ex/Ey)
8) 0.9 DL + 1.0 U
dimana :
DL = Dead Load (Beban mati), (kN)
LL = Live Load (Beban hidup), (kN)
B = Berthing Load (Beban sandar), (kN)
M = Mooring Load (Beban tambat), (kN)
E = Seismic Load (Beban gempa), (kN)
W = Wave Load (Beban gelombang), (kN)
U = Beban Uplift, (kN)
Kombinasi beban di atas mengadopsi pada SNI 03-2847-2013, untuk
pembebanan gelombang arus merupakan gaya horizontal yang diperhitungkan
langsung dalam perencanaan struktur bawah.

2.8 Perencanaan Fasilitas Sandar dan Tambat


2.8.1 Fender
Fender adalah alat penyangga yang berfungsi sebagai sistem penyerap energi
akibat benturan kapal saat berlabuh di dermaga. Berdasarkan fungsinya, fender dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu :
1) Fender pelindung, berfungsi sebagai bantalan penyerap energi tekan yang terjadi
saat benturan kapal dengan dermaga.
2) Fender tekan, adalah fender yang didesain secara khusus untuk menyerap energi
benturan (tekan) yang terjadi saat kapal melakukan manuver untuk berlabuh.

II-80
Ada beberapa tipe fender yang umum dipakai mulai dari fender kayu, fender
karet, dan fender gravitasi. Namun fender karet adalah tipe yang paling banyak
digunakan sebagai pelindung pada dermaga, karena paling efektif menyerap energi,
mudah dipasang, murah dan lebih menguntungkan secara struktural.
Dalam perencanaan sistem fender pada dermaga ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1) Fender harus memiliki kemampuan penyerapan energi kinetik lebih besar
dibanding energi kinetik yang terjadi akibat tumbukan kapal ke fender.
2) Tekanan yang timbul dari sistem fender tidak boleh melebihi kemampuan menahan
tekanan dari lambung kapal (badan kapal).
3) Jenis dan penempatan fender harus dapat melindungi dan menyerap energi
benturan dari semua jenis dan ukuran kapal untuk berbagai elevasi muka air laut.
4) Jarak horizontal antara fender harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari kontak langsung antara kapal dan dinding dermaga saat bergerak
merapat ke dermaga.

Gambar 2. 48 – Posisi kapal terhadap fender (Triatmodjo, 2009)

Gambar 2. 49 – Posisi kapal saat membentur fender (Triatmodjo, 2009)

Jarak maksimum antar fender dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

L  2 r 2  (r  h)2 (2.85)
(Triatmodjo, 2009)

II-81
dimana :
L = jarak maksimum antara fender, (m)
r = jari-jari kelengkungan sisi haluan kapal, (m)
h = tinggi fender, (m)

Apabila data jari-jari kelengkungan sisi haluan kapal tidak diketahui, OCDI
(1991) memberikan jarak antara fender sebagai fungsi kedalaman air seperti diberikan
dalam Tabel 2.24 berikut.
Tabel 2. 24 – Jarak antar fender (OCDI, 1991)
Kedalaman Air (m) Jarak Antara Fender (m)
4–6 4–7
6–8 7 – 10
8 – 10 10 – 15

2.8.2 Alat Penambat


Alat penambat merupakan suatu konstruksi untuk mengikat kapal pada waktu
berlabuh agar tidak terjadi pergeseran atau gerak kapal yang disebabkan oleh
gelombang, arus dan angin. Hal ini bertujuan agar aktivitas bongkar muat tidak
terganggu.
Kapal yang berlabuh ditambatkan ke dermaga dengan mengikatkan tali-tali
penambat ke bagian haluan, buritan dan badan kapal. Tali-tali penambat tersebut
diikatkan pada alat penambat yang dikenal dengan bitt yang dipasang di sepanjang sisi
dermaga. Bitt dengan ukuran yang lebih besar disebut dengan bollard (corner mooring
post) yang diletakkan pada kedua ujung dermaga atau di tempat yang agak jauh dari
sisi muka dermaga.
Tabel 2. 25 – Penempatan bitt (OCDI, 2002)
Ukuran Kapal Jarak Jumlah Min.
(GRT) Maksimum (m) / tambatan
~ 2.000 10 – 15 4
2.001 – 5.000 20 6
5.001 – 20.000 25 6
2.0001 – 50.000 35 8
50.001 – 100.000 45 8

Perencanaan bollard dilakukan berdasarkan gaya terbesar di antara gaya akibat


angin dan arus pada kapal, serta gaya tarik dari kapal itu sendiri. Berikut adalah gaya
tambat yang bekerja pada bollard berdasarkan bobot kapal.
II-82
Tabel 2. 26 – Gaya tarik dari kapal (OCDI, 2002)
Berat kotor kapal Gaya reaksi yang bekerja Gaya reaksi yang
(ton) pada post mooring bekerja pada bollard
200 < GT ≤ 500 150 150
500 < GT ≤ 1000 250 250
1000 < GT ≤ 2000 350 250
2000 < GT ≤ 3000 350 350
3000 < GT ≤ 5000 500 350
5000 < GT ≤ 10000 700 500
10000 < GT ≤ 20000 1000 700
20000 < GT ≤ 50000 1500 1000

2.9 Perencanaan Causeway


Causeway berfungsi sebagai jalan yang menghubungkan antara trestle dengan
darat dan direncanakan memiliki dimensi panjang serta lebar yang disesuaikan dengan
kebutuhan elevasi dermaga dan untuk mengakomodasi lalu lintas kendaraan.
Konstruksi causeway direncanakan dari tumpukan batu untuk lapisan pelindung dan
urugan tanah/ sirtu pada lapisan inti dan diberi lapisan geotextile.
Perencanaan causeway meliputi perencanaan elevasi puncak causeway, berat
butir lapis pelindung, tebal lapis pelindung, jumlah batu pelindung, diameter batu
pelindung, serta pengecekan terhadap daya dukung tanah.
2.9.1 Run-up Gelombang
Ketika gelombang menghantam suatu bangunan, gelombang tersebut akan naik
(run-up) pada permukaan gelombang (Gambar 2.50). Elevasi (tinggi) bangunan yang
direncanakan tergantung pada run-up dan limpasan yang diijinkan. Run-up tergantung
pada bentuk dan kekasaran, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut
di depan bangunan, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan
bangunan, dan karakteristik bangunan. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh,
maka besarnya run-up sangat sulit ditentukan secara analitis.

II-83
Gambar 2. 50 – Run-up gelombang (CERC,1984)

Gambar 2.51 adalah hasil percobaan di laboratorium yang dilakukan oleh


Irribaren untuk menentukan besar run-up gelombang pada bangunan dengan
permukaan miring untuk berbagai tipe material, sebagai fungsi bilangan Irribaren
untuk jenis lapis lindung yang mempunyai bentuk berikut :
tg (2.86)
Ir 
(H / Lo )0,5
(Triatmodjo, 1999)
dengan :
Ir = bilangan Irribaren
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
H = tinggi gelombang di lokasi bangunan
L0 = panjang gelombang di laut dalam

Gambar 2. 51 – Grafik run-up gelombang

II-84
2.9.2 Stabilitas Batu Lapis Pelindung
Di dalam perencanaan pemecah gelombang sisi miring, ditentukan berat butir
batu pelindung, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Hudson.
 H3
W  KD (Sr b 1) 3cot (2.87)

(Triatmodjo, 2009)
dimana :
b
Sr =
s
W = berat butir batu pelindung, (ton)
γb = berat jenis batu, (ton/m3)
γs = berat jenis air laut, (ton/m3)
H = tinggi gelombang rencana, (m)
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang, (°)
KD = koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung (batu alam atau
buatan), kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antara butir,
keadaan pecahnya gelombang. Nilai KD untuk berbagai bentuk batu pelindung
diberikan dalam Tabel 2.27.

Tabel 2. 27 – Koefisien stabilitas KD untuk berbagai jenis butir (SPM, 1984)


Ujung (kepala)
Lengan bangunan
Bangunan Kemiringan
KD KD
Lapis Lindung n Penempatan
Gelomb. Gelomb.
Gelomb. Gelomb.
Tidak Tidak Cot θ
Pecah Pecah
Pecah Pecah
Batu pecah
-Bulat halus 2 Acak 1,2 2,4 1,1 1,9 1,5-3,0
-Bulat halus >3 Acak 1,6 3,2 1,4 2,3 *2
-Bersudut kasar 1 Acak *1 2,9 *1 2,3 *2
1,9 3,2 1,5
-Bersudut kasar 2 Acak 2,0 4,0 1,6 2,8 2,0
1,3 2,3 3,0
-Bersudut kasar >3 Acak 2,2 4,5 2,1 4,2 *2
-Bersudut kasar 2 Khusus*3 5,8 7 5,3 6,4 *2
-Paralelpipedum 2 Khusus*3 7,0-20,0 8,5-24,0 - -
5,0 6,0 1,5
Tetrapod dan
2 Acak 7,0 8,0 4,5 5,5 2,0
Quadripod
3,5 4,0 3,0

II-85
8,3 9,0 1,5
Tribar 2 Acak 9,0 10,0 7,8 8,5 2,0
6,0 6,5 4,0
8,0 16,0 2,0
Dolos 2 Acak 15,8 31,8
7,0 14,0 3,0
Kubus modifikasi 2 Acak 6,5 7,5 - 5,0 *2
Hexapod 2 Acak 8,0 9,5 5,0 7,0 *2
Tribar 1 Seragam 12,0 15,0 7,5 9,5 *2
Catatan:
n : Jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung
*1 : penggunaan n=l tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah
*2 : sampai ada ketentuan lebih lanjut tentang nilai K D, penggunaan KD dibatasi pada kemiringan
1:1,5 sampai 1:3
*3 : batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan bangunan

Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu luasan diberikan oleh rumus
berikut ini.
1/ 3
W
t  n  k      (2.88)
  b 
  
(Triatmodjo, 2009)
 P   b
2/3
N  A  n  k   1       (2.89)
 100   W  
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
t = tebal lapis pelindung (m)
n = jumlah lapis batu dalam lapis pelindung
kΔ = koefisien yang diberikan pada Tabel 2.28
A = luas permukaan (m2)
P = porositas rerata dari lapis pelindung (%) yang diberikan dalam Tabel 2.28
N = jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan
γb = berat jenis batu (ton/m3)

II-86
Tabel 2. 28 – Koefisien lapis
Koef. Lapis Porositas, P
Batu Pelindung n Penempatan
(KΔ) (%)
Batu alam (halus) 2 random (acak) 1,02 38
Batu alam (kasar) 2 random (acak) 1,15 37
Batu alam (kasar) >3 random (acak) 1,10 40
Kubus 2 random (acak) 1,10 47
Tetrapod 2 random (acak) 1,04 50
Quadripod 2 random (acak) 0,95 49
Hexapod 2 random (acak) 1,15 47
Tribard 2 random (acak) 1,02 54
Dolos 2 random (acak) 1,00 63
Tribar 1 seragam 1,13 47
Batu alam random (acak) 37

2.9.3 Daya Dukung Tanah


Daya dukung ultimit didefinisikan sebagai beban maksimum per satuan luas di
mana tanah masih dapat menopang beban tanpa mengalami keruntuhan. Daya dukung
ultimit memperhitungkan kohesi tanah, beban terbagi rata-rata, dan berat volume tanah
(qult = qc + qq + qγ) menggunakan persamaan Terzaghi berikut :
1
qult = c Nc + γ D Nq + B γ Nγ (2.90)
2
(Das, 2014)
dimana :
qult = daya dukung ultimit, (ton/m2)
c = kohesi tanah, (ton/m2)
γ = berat isi tanah, (ton/m3)
B = lebar fondasi atau timbunan, (m)
D = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah, (m2)
Nc = faktor daya dukung tanah akibat kohesi tanah
Nq = faktor daya dukung tanah akibat beban terbagi rata
Nγ = faktor daya dukung tanah akibat berat tanah

Nilai faktor faktor daya dukung tanah (Nc , Nq , Nγ) bergantung pada sudut geser
tanah  ditunjukkan pada Tabel 2.29 berikut.

II-87
Tabel 2. 29 - Faktor Daya Dukung (Das, 2014)

2.10 Perencanaan Struktur Dermaga


Struktur dermaga direncanakan menggunakan struktur beton bertulang dengan
sistem Deck on Pile. Perhitungan elemen struktur dermaga meliputi perhitungan balok
dan pelat lantai. Elemen-elemen struktur didesain berdasarkan peraturan pembebanan
dan peraturan perencanaan beton bertulang yang berlaku.
2.10.1 Pelat Dermaga
Pelat adalah elemen tipis struktur horizontal yang menahan beban-beban
transversal lalu menyalurkannya ke masing-masing tumpuan (balok) dari sistem
struktur. Berikut adalah langkah dalam perencanaan pelat lantai pada dermaga :
1) Menentukan dimensi pelat
Sistem pelat yang digunakan adalah pelat dua arah. Tebal pelat minimum
dalam perencanaan dermaga adalah sebesar 250 mm.
2) Menghitung momen pada pelat
Analisis momen pada pelat dilakukan dengan program SAP2000 sesuai dengan
kombinasi pembebanan yang sudah ditentukan.
3) Menghitung tinggi efektif (d) pelat
dx = h – p – ½ Ø tulangan arah X (2.91)
dy = h – p – Ø tulangan arah X – ½ Ø tulangan arah Y (2.92)
dengan :
dx = tinggi efektif penampang plat arah X, (mm)
dy = tinggi efektif penampang plat arah Y, (mm)
h = tinggi penampang plat, (mm)
p = tebal selimut beton, (mm)

II-88
Tebal selimut (p) yang disyaratkan untuk tulangan tidak boleh kurang dari
berikut ini :
Tabel 2. 30 – Tebal selimut beton minimum (SNI 2847-2013)
Selimut
Beton, mm
(a) Beton yang dicor di atas dan selalu berhubungan dengan tanah 75
(b) Beton yang berhubungan dengan tanah atau cuaca :
Batang tulangan D-19 hingga D-57 50
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih kecil 40
(c) Beton yang tidak berhubungan dengan cuaca atau berhubungan dengan
tanah :
Slab, dinding, balok usuk :
Batang tulangan D-44 dan D-57 40
Batang tulangan D-36 dan yang lebih kecil 20
Balok, kolom:
Tulangan utama, pengikat, sengkang, spiral 40
Komponen struktur cangkang, pelat lipat:
Batang tulangan D-19 dan yang lebih besar 20
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih 13
kecil

4) Menghitung luas tulangan perlu (As) pada plat


  0,65  ( t  0,002)(250 / 3) (2.93)
(SNI 2847-2013)
Mu
K (2.94)
 bd2
  
a 1  1  2  K  d (2.95)

 0,85  f 'c 
0,85  f 'c b  a
As  (2.96)
fy
Nilai As yang tersedia tidak boleh kurang dari nilai berikut :
f 'c
Asmin  b  d (2.97)
4 fy
1,4
dan tidak lebih kecil dari bd (2.98)
fy
(SNI 2847-2013)
5) Menghitung jarak antar tulangan (S)
1 
b    D2 
 
4
S   (2.99)
As

II-89
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 7.6.5, pada dinding dan slab lentur utama
harus berspasi tidak lebih jauh dari tiga kali tebal dinding atau slab, ataupun tidak
lebih jauh dari 450 mm.
6) Menghitung rasio tulangan (ρ) terpasang

As
 (2.100)
b d
Rasio tulangan terpasang harus memenuhi syarat berikut :
ρmin ≤ ρ ≤ ρmax
dimana :

min  1.4 (2.101)
fy

f 'c
min  (2.102)
4 fy
f 'c  0,003 
max  0,85   (2.103)
1  
fy 
 t  0,003 

Untuk beton dengan f’c di atas 28 MPa, 1  0,85  f 'c 28  0,05 (2.104)
7
(SNI 2847-2013)
dengan :
ϕ = faktor reduksi kekuatan
εt = regangan tarik neto baja tulangan tarik
K = faktor panjang efektif komponen struktur tekan, (MPa)
Mu = momen perlu, (N.mm)
b = lebar penampang plat, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
f'c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
β1 = faktor pembentuk blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen
D = diameter tulangan, (mm)

II-90
2.10.2 Balok Dermaga
Balok merupakan elemen struktur yang dominan dalam memikul gaya dalam
berupa momen lentur dan geser. Struktur balok berfungsi menyalurkan beban dari pelat
lantai ke kolom (tiang pancang).
Dalam perencanaan balok, perhitungan terhadap pengaruh dari momen lentur
dan gaya geser dilakukan secara terpisah. Perencanaan tulangan dibuat dalam dua
tahap, yaitu :
 Tulangan utama (longitudinal) untuk menahan momen lentur.
 Tulangan geser (sengkang) untuk menahan gaya lintang.
2.10.2.1 Dimensi Balok
Pada struktur yang menggunakan poer sebagai penyambung antara tiang
pancang dan balok, maka penentuan dimensi balok hanya mempertimbangkan
faktor kelangsingan bahan dan kebutuhan terhadap momen lentur dan gaya
lintang pada balok.
Tabel 2. 31 – Tebal minimum balok non-prategang atau pelat satu arah bila lendutan
tidak dihitung (SNI 2847-2013)

Menurut SNI 2847-2013, tebal minimum yang ditentukan dalam tabel


berlaku untuk konstruksi satu arah yang tidak menumpu atau tidak disatukan
dengan partisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak akibat lendutan
yang besar, kecuali bila perhitungan lendutan menunjukkan bahwa ketebalan
yang lebih kecil dapat digunakan tanpa menimbulkan pengaruh yang merugikan.

2.10.2.2 Gaya Dalam Balok


Analisis momen lentur dan gaya lintang balok dilakukan dengan program
SAP2000 v14.1 sesuai dengan kombinasi pembebanan yang sudah ditentukan.

II-91
2.10.2.3 Tulangan Utama

Gambar 2. 52 – Distribusi regangan dan tegangan pada balok (Asroni, 2010)

Perencanaan tulangan utama pada balok dilakukan dengan menggunakan


analisis tulangan tunggal. Berdasarkan SNI 2847-2013, untuk komponen struktur
lentur dengan beban aksial terfaktor kurang dari 0,10·f’c·Ag, nilai εt tidak boleh
kurang dari 0,004.
1) Menghitung tinggi efektif (d) balok
D
dhpØ (2.105)
2
D
d'pØ (2.106)
2
2) Menghitung luas tulangan perlu (As) pada balok
  0,65  ( t  0,002)(250 / 3) (2.107)
(SNI 2847-2013)
Mu
K (2.108)
bd2
  
a 1  1  2  K  d (2.109)

 0,85  f 'c 

0,85  f 'c b  a (2.110)


As  fy
Nilai As yang tersedia tidak boleh kurang dari nilai berikut :
f 'c
Asmin  b  d (2.111)
4 fy
1,4
dan tidak lebih kecil dari bd (2.112)
fy
(SNI 2847-2013)

II-92
As
N (2.113)
0,25    D 2

Ast  N  0,25   D2 (2.114)


3) Menghitung rasio tulangan (ρ) terpasang

As
 (2.115)
bd
Rasio tulangan terpasang harus memenuhi syarat berikut :
ρmin ≤ ρ ≤ ρmax

min 1.4
 fy (2.116)

f 'c
min  (2.117)
4 fy
f 'c  0,003 
max  0,85   (2.118)
1  
fy 
 t  0,003 

Untuk beton dengan f’c di atas 28 MPa, 1  0,85  f 'c 28  0,05 (2.119)
7
(SNI 2847-2013)
4) Menghitung momen nominal (Mn) penampang balok :

Ast  fy
a (2.120)
0.85  f 'c b
Mu
Mn  (2.121)

 a  Mu
Cc  d   (2.122)
 
 2  
 a  Mu
0,85  f ' a  b  d   (2.123)
c  
 2  
dimana :
d’ = jarak antara titik berat tulangan tarik dan tepi serat beton tarik, (mm)
h = tinggi penampang balok, (mm)
p = tebal selimut beton, (mm)
Ø = diameter tulangan sengkang, (mm)
D = diameter tulangan utama, (mm)
ϕ = faktor reduksi kekuatan

II-93
εt = regangan tarik neto baja tulangan tarik
K = faktor panjang efektif komponen struktur tekan, (MPa)
Mu = momen perlu, (N.mm)
b = lebar penampang balok, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
β1 = faktor pembentuk blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen

2.10.2.4 Tulangan Geser


Berdasarkan SNI 2847-2013, gaya geser desain (Ve) harus ditentukan dari
peninjauan kekuatan momen lentur yang mungkin (Mpr) bekerja pada muka-
muka joint dan bahwa komponen struktur dibebani dengan beban gravitasi
terfaktor sepanjang bentangnya.
Tulangan transversal di kedua ujung komponen struktur lentur sepanjang
2h dari muka komponen struktur penumpu, harus direncanakan untuk menahan
geser dengan mengasumsikan Vc = 0 bilamana gaya geser yang ditimbulkan
gempa mewakili setengah atau lebih dari kekuatan geser perlu maksimum dalam
panjang tersebut. (SNI 2847-2013)
 a
M  1,25  Ast  fy  d   (2.124)
pr  
 2 

M pr.1  M pr.2
Ve  (2.125)
l
dimana :
Ast = luas tulangan terpasang, (mm2)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
d = tinggi efektif penampang balok, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
l = panjang bentang balok, (mm)
Tulangan geser direncanakan untuk per 1 meter panjang balok sehingga
nilai S pada perhitungan adalah 1 m = 1000 mm. Beberapa rumus yang digunakan
sebagai dasar untuk perhitungan tulangan geser balok yang tercantum dalam SNI
2847-2013, yaitu sebagai berikut :

II-94
 Vn  Vu (2.126)
Vn  Vc Vs (2.127)
(SNI 2847-2013)
Besarnya gaya geser yang ditahan oleh beton (Vc) adalah sebagai berikut :
Vc  0,17    f 'c  b  d (2.128)
(SNI 2847-2013)
Sehingga gaya geser yang ditahan oleh sengkang (Vs) adalah sebesar :

Vs  Vu Vc (2.129)

Apabila Vs lebih besar dari 0,66  f 'c  b  d , maka ukuran penampang balok

harus diperbesar. (2.130)


(SNI 2847-2013)
Luas tulangan geser per meter yang diperlukan (Av), harus memenuhi tiga syarat
berikut, yaitu :

f 'c  b  S
Avmin  0,062  (2.131)
fyt
Avmin  0,35  b  S / fyt (2.132)

Av  Vs  S (2.133)
fy t  d
u

(SNI 2847-2013)
Spasi antar tulangan geser (s) dapat dihitung dengan persamaan berikut :
n 1/ 4    Ø2  S
s (2.134)
Av
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 11.4.5 spasi untuk tulangan geser harus
memenuhi syarat berikut ini :
 Jika Vs  0,33 f 'c b  d (2.135)

s ≤ d/2 dan s ≤ 600 mm


 Jika Vs  0,33 f 'c b  d (2.136)

s ≤ d/4 dan s ≤ 300 mm


(SNI 2847-2013)
dimana :
Vn = kuat geser nominal, (N)
Vu = gaya geser terfaktor pada penampang, (N)

II-94
λ = faktor modifikasi
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fyt = tegangan leleh baja tulangan transversal, (MPa)
b = lebar penampang balok, (mm)
ϕ = faktor reduksi kekuatan
Ø = diameter tulangan geser, (mm)

2.10.3 Pile Cap


Pile cap merupakan komponen struktur dermaga yang berfungsi mengikat balok
dermaga dengan tiang pancang dan mentransfer beban vertikal maupun horizontal ke
struktur tiang pancang. Belfroid (2015) menyatakan bahwa jenis sambungan yang
paling banyak digunakan dan cocok untuk menghubungkan tiang pancang baja dengan
pile cap beton adalah concrete plug connection atau sambungan beton pengisi.
2.10.3.1 Dimensi Pile Cap
Ukuran dari pile cap harus menyesuaikan jumlah tiang yang akan dipasang
di bawahnya. Ketebalan dari pile cap harus direncanakan agar penampang
kritisnya mampu menahan gaya geser yang bekerja secara dua arah.
Agar pile cap tidak mengalami kegagalan geser dua arah, maka syarat
 Vc  Vu harus dipenuhi.

Gambar 2. 53 – Ilustrasi keruntuhan geser pada pile cap

Untuk aksi dua arah, besarnya gaya geser yang ditahan oleh beton (Vc)
harus dipilih yang terkecil dari persamaan berikut.
 2 
Vc  0,17  1      f '  bo  d (2.137)
  
c

s 
Vc  0,083    2     f 'c  bo  d (2.138)
 bo 

II-95
Vc  0,33    f 'c  bo  d (2.139)

Namun tidak boleh diambil lebih besar dari 0,17    f 'c  bo  d (2.140)
(SNI 2847-2013)
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 11.11.1.2, perimeter keliling
penampang kritis (bo) tidak perlu lebih dekat dari d/2 tepi tiang pancang.
Sehingga diameter penampang kritis = Dp + d.

dimana :
β = rasio sisi panjang pile cap terhadap sisi pendek pile cap
λ = faktor modifikasi
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
bo = keliling penampang kritis, (mm)
d = tinggi efektif penampang, (mm)
αs = konstanta, kolom interior (40), kolom tepi (30), kolom sudut (20)
ϕ = faktor reduksi kekuatan
Vn = kuat geser nominal, (N)
Vu = gaya geser terfaktor pada penampang, (N)

2.10.3.2 Tulangan Pile Cap


Selain memperhitungkan kekuatan beton terhadap gaya geser, pile cap
harus direncanakan terhadap momen akibat beban terfaktor. Sehingga diperlukan
tulangan untuk menahan momen lentur tersebut. Perhitungan tulangan pile cap
menggunakan metode tulangan minimum seperti pada plat lantai.

2.10.3.3 Sambungan Beton Pengisi


Pada sambungan beton pengisi, bagian atas dari tiang pancang diisi dengan
beton dimana beban akan diterima. Beton tersebut akan menyalurkan beban ke
tiang pancang melalui ikatan alami (bond stress). Beton di dalam tiang pancang
tersebut diberi tulangan untuk alasan keamanan. (Belfroid, 2015)
Panjang minimal untuk sambungan beton pengisi adalah 2Dp atau lebih
besar dari 1200 mm, hal ini bertujuan untuk menyediakan panjang penyaluran
yang cukup bagi tulangan pile-to-cap. (Belfroid, 2015)

II-96
2.10.4 Fondasi
Dalam suatu perencanaan bangunan sipil baik itu gedung, jembatan, bendungan,
maupun dermaga harus mempunyai fondasi yang mendukungnya. Fungsi dari fondasi
adalah untuk menahan seluruh beban dari bangunan dan menyalurkannya ke lapisan
tanah keras. Fondasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu fondasi dangkal (shallow
foundation) dan fondasi dalam (deep foundation). Dalam perencanaan dermaga ini
digunakan fondasi dalam yakni fondasi tiang pancang.
Pemodelan struktur pada fondasi tiang pancang dilakukan dengan metode jepit
ekuivalen. Dimana permodelan tanah secara eksplisit tidak dilakukan dan tiang
pancang dijepit pada kedalaman tertentu dimana menghasilkan kekakuan dan
deformasi dermaga yang sesuai.

2.10.4.1 Kapasitas Dukung Aksial


Kapasitas dukung maksimum (Qu) pada tiang pancang terdiri dari kapasitas
dukung ujung tiang (Qp) dan kapasitas dukung selimut tiang (Qs).
Qu = Qp + Qs (2.141)
1) Kapasitas dukung ujung tiang
Perhitungan nilai Qp dengan data hasil Cone Penetration Test (sondir)
adalah sebagai berikut :
Mayerhof (1956) menyarankan bahwa qp ≈ qc sehingga,
Qp  Ap  qp  Ap  qc (2.142)
(Das, 2014)
dimana :
Qp = kapasitas dukung ujung tiang, (kN)
Ap = luas ujung tiang, (m2)
qp = tahanan ujung tiang, (kN/m2)
qc = tahanan konus, (kN/m2)

Berikut ini adalah perhitungan kapasitas dukung ujung tiang dengan


metode Mayerhof pada tanah pasir.
Qp  Ap  q p  AP  q'N q (2.143)

II-97
Nilai Qp tidak boleh melebihi dari :
Qp  AP  0,5 pa  N q  tan  ' (2.144)
(Das, 2014)
dimana :
q' = tegangan efektif vertikal pada ujung tiang, (kN/m2)
Nq* = faktor Nq* (Tabel 2.32)
pa = tekanan atmosfer (100 kN/m2)
ϕ' = sudut geser lapisan tanah, (°)

Tabel 2. 32 – Nilai interpolasi dari Nq* berdasarkan teori Mayerhof (Das, 2014)
Sudut geser tanah, ϕ (°) Nq*
30 56.7
31 68.2
32 81.0
33 96.0
34 115.0
35 143.0
36 168.0
37 194.0
38 231.0
39 276.0
40 346.0
41 420.0
42 525.0
43 650.0
44 780.0
45 930.0

Berikut ini adalah perhitungan kapasitas dukung ujung tiang dengan


metode Vesic pada tanah pasir.

Qp  Ap  qp  Ap  '0 N 
 (2. 145)
(Das, 2014)
dimana :
Nσ* = faktor kapasitas dukung (Tabel 2.33)
 '0 = rata-rata tegangan efektif normal tanah pada ujung tiang, (kN/m2)
1  2K0 
'  q' (2. 146)
 
0
3 
K0 = koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam  1  sin ' (2.147)

II-98

I rr Ir (2. 148)

1  I r  
(Das, 2014)
dimana :
Irr indeks kekakuan terkurangi dari tanah

Ir indeks kekakuan 
 Es
(2. 149)
2(1  s )  q' tan '
 '25  
μs = rasio Poisson tanah  0.1  0.3   (2. 150)

 
20 
Δ = rata-rata tegangan volumetrik pada zona plastis di bawah ujung tiang
  '25  
  0.005  1   (2. 151)
 
20 
Es = modulus elastisitas tanah
dengan :
Es
m (2. 152)
pa

100 𝑡𝑜 200 (𝑙𝑜𝑜𝑠𝑒 𝑠𝑜𝑖𝑙)


𝑚 = { 200 𝑡𝑜 500 (𝑚𝑒𝑑𝑖𝑢𝑚 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑒 𝑠𝑜𝑖𝑙)
500 𝑡𝑜 1000 (𝑑𝑒𝑛𝑠𝑒 𝑠𝑜𝑖𝑙)

II-99
Tabel 2. 33 – Faktor kapasitas dukung Nσ* berdasarkan teori Expansion of Cavities

2) Kapasitas dukung selimut tiang pada tanah pasir.


QS  K  '0  tan(0,8')  p  L (2.153)
(Das, 2014)
dimana :
Qs = kapasitas dukung selimut tiang, (kN)
K = koefisien tekanan tanah efektif
H-piles K = 1.65
Steel pipe tiles K = 1.26
Precast concrete piles K = 1.50
 '0 = tekanan efektif akibat tanah di atasnya, (kN/m2)
ϕ' = sudut geser lapisan tanah, (°)
p = keliling sisi tiang, (m)
Lp = panjang tiang, (m)

II-100
Gambar 2. 54 – Grafik hubungan nilai K dengan L/D (Das, 2014)

3) Kapasitas daya dukung ijin

Qall  Qu (2.154)
FS
(Das, 2014)
dimana :
Qu = kapasitas dukung maksimum, (kN)
Qall = kapasitas dukung ijin tiang, (kN)
FS = faktor keamanan (2,5 – 4)

2.10.4.2 Kapasitas Dukung Lateral


Perhitungan daya dukung lateral (Qg) fondasi tiang pancang didasarkan
pada kriteria daya dukung izin yang didapat melalui daya dukung batas dengan
memperhatikan mekanisme keruntuhan fondasi tiang. Selain faktor kekakuan
tiang, dalam analisis daya dukung lateral pada tiang juga diperhatikan jenis
ikatan pada kepala tiang.

II-101
Beban
Qg Mg Defleksi Momen Gaya Geser

Gambar 2. 55 – Karakteristik defleksi, momen, dan gaya geser pada elastic pile

Untuk mengetahui jenis tiang, dilakukan perhitungan karakteristik panjang


sistem tiang-tanah (T) sebagai berikut :

Ep  I p
Tp  5 (2.155)
nh
(Das, 2014)
dimana :
Tp = karakteristik panjang sistem tiang-tanah, (m)
Ep = modulus elastisitas tiang, (kN/m2)
Ip = momen inersia tiang, (m4)
nh = constant of modulus of horizontal subgrade reaction, (kN/m3)

Tabel 2. 34 – Nilai nh (Das, 2014)

II-102
Apabila L ≥ 5Tp, tiang termasuk dalam “long pile”. Jika L≤ 2Tp, tiang
termasuk dalam “rigid pile”.
Gambar 2.56 menunjukkan hasil analisis Brom untuk “long pile”. Untuk
menghitung momen leleh digunakan persamaan berikut :
My Sfy (2.156)
(Das, 2014)
dimana :
My = momen leleh tiang, (kN.m)
S = modulus penampang tiang, (m3)
fy = tegangan leleh tiang, (kN/m2)

Gambar 2. 56 – Grafik penyelesaian Brom untuk tahanan lateral pada “long pile”
pada tanah pasir (Das, 2014)

Defleksi lateral kepala tiang pancang pada saat menerima beban dapat
ditentukan dari Gambar 2.57. Nilai η dinyatakan pada persamaan berikut :

nh
 5 (2.157)
Ep  I p
(Das, 2014)

II-103
Gambar 2. 57 – Grafik penyelesaian Brom untuk memperkirakan defleksi kepala
tiang pancang pada tanah pasir (Das, 2014)

2.10.4.3 Virtual Fixed Point


Penentuan virtual fixed point sangat bergantung pada kondisi tanah di
lokasi. Virtual fixed point dari tiang pancang berada pada kedalaman 1/β di
bawah permukaan tanah. Nilai dari β dapat dihitung dengan persamaan berikut :

kh  Dp
 4 (2.158)
4Ep  I p

z = 1/β (2.159)
(OCDI, 2009)
dimana :
kh = koefisien reaksi tanah dasar, (kg/cm2)
Dp = diameter tiang, (cm)
Ep = modulus elastisitas tiang, (kg/cm2)
Ip = momen inersia tiang, (cm4)
z = kedalaman fixity point, (cm)

II-104
2.11 Pemodelan Arus dan Deformasi Gelombang dengan Mike 21
Kondisi hidro-oseanografi sangat penting di dalam menentukan tata letak suatu
pelabuhan. Perairan pelabuhan harus tenang terhadap gangguan gelombang dan arus
laut sehingga kapal dapat melakukan berbagai kegiatan seperti bongkar muat barang,
menaik turunkan penumpang dengan lancar dan aman (Triatmodjo, 2010).
Salah satu alternatif untuk mengkaji pola arus laut adalah dengan menggunakan
pendekatan model hidrodinamika memanfaatkan teknologi komputer, DHI Mike 21
merupakan salah satu perangkat lunak pemodelan hidrodinamika yang paling stabil
dan lengkap. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh DHI (Danish Hydrodynamic
Institute). Salah satu modul yang disediakan oleh DHI Mike 21 adalah modul Spectral
Wave (SW) yang merupakan modul pemodelan angin-gelombang (wind-wave).
Sedangkan untuk menyimulasikan pergerakan arus 2-D horizontal digunakan model
hidrodinamika MIKE 21 Flow Model (FM). Pemodelan arus ini dilakukan dengan dua
skenario, yaitu skenario pertama sebelum pengembangan pelabuhan dan skenario dua
sesudah pengembangan pelabuhan.
Data yang diperlukan untuk pemodelan ini meliputi data sekunder yang berasal
dari instansi terkait berupa data angin (BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Frans
Kaisiepo Biak, Papua), peta bathimetri Papua dengan skala 1:200000 (Dishidros TNI-
AL, 2000) dan hasil analisa pasang surut.
Analisa harmonik pasang surut diolah dengan menggunakan metode Admiralty.
Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mendapatkan konstanta harmonik pasang
surut yang meliputi Amplitudo (A), M2, S2, K1, O1, N2, K2, P1, M4, MS4. Setelah hasil
akhir diperoleh untuk setiap komponen pasang surut, maka ditentukan MSL, HHWL,
LLWL dan bilangan formzahl (Ongkosongo dan Suyarso, 1989).

2.12 Pemodelan Struktur Dermaga dengan SAP2000


Perhitungan struktur pada perencanaan dermaga ini menggunakan program
analisis struktur SAP2000. Prinsip utama penggunaan program ini adalah pemodelan
struktur, eksekusi analisis, dan pemeriksaan atau optimalisasi desain yang semuanya
dilakukan dalam satu langkah atau satu tampilan. Tampilan berupa model secara real
time sehingga memudahkan pengguna untuk melakukan pemodelan secara
menyeluruh dalam waktu singkat dengan hasil yang tepat.

II-105
Output yang dihasilkan juga dapat ditampilkan sesuai dengan kebutuhan baik
berupa model struktur, grafik, maupun spreadsheet. Analisis SAP2000 menggunakan
finite element method baik untuk static analysis maupun untuk dynamic analysis
(nonlinier analysis). Semuanya terintegrasi dalam satu paket yang dilengkapi dengan
beberapa database untuk keperluan analisis dan desain seperti database tampang
struktur untuk berbagai bentuk mulai dari yang simetris hingga asimetris.
Program SAP2000 digunakan untuk perhitungan portal pada perencanaan
dermaga kapal perintis pulau Kurudu. Portal akan direncanakan menerima berbagai
kombinasi pembebanan yang akan berpengaruh pada dermaga seperti beban kapal,
beban gelombang, dan beban gempa.

II-106

Anda mungkin juga menyukai