TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Pelabuhan
2.2.1 Definisi
Pelabuhan (port) adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang,
yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut meliputi dermaga, dimana kapal dapat
bertambat untuk bongkar muat barang, crane untuk bongkar muat barang, gudang laut
(transito) dan tempat-tempat penyimpanan dimana kapal membongkar muatannya,
dan gudang-gudang dimana barang-barang dapat disimpan dalam waktu yang lebih
lama selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau pengapalan. (Triatmodjo,
2009)
II-1
dan air tawar, reparasi, pengadaan perbekalan, dan lain sebagainya. Pelabuhan perintis
juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pemecah gelombang, dermaga, peralatan
tambatan, peralatan bongkar-muat barang, gudang, halaman untuk menimbun barang,
perkantoran baik untuk pengelola pelabuhan maupun untuk maskapai pelayaran,
perlengkapan pengisian bahan bakar dan penyediaan air bersih, dan lain sebagainya.
Kapal-kapal yang bisa singgah di pelabuhan perintis merupakan kapal-kapal
yang tidak terlalu besar. Namun pelabuhan perintis tetap memegang peranan penting
dalam rute pelayaran karena hampir semua barang dalam jumlah besar, dapat angkutan
dengan kapal yang memerlukan waktu lebih singkat, tenaga kerja lebih sedikit, dan
biaya lebih murah dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Oleh karena itu,
mempelajari tentang pelabuhan perintis sangat penting karena merupakan prasarana
untuk menunjang kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan/keamanan,
budaya antar pulau kecil dan sekitarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414 Tahun 2013
tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional, disebutkan bahwa di
Kabupaten Yapen direncanakan akan terdapat 13 pelabuhan, di antaranya adalah
Pelabuhan Kurudu yang mempunyai hierarki sebagai pelabuhan pengumpan lokal
(PL). Menurut PP No. 61 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 6, Pelabuhan Pengumpan
adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan
pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal
tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan
pelayanan dalam provinsi.
Rencana lokasi dan hierarki pengembangan pelabuhan/terminal di Kabupaten
Kepulauan Yapen berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414
Tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
II-2
Tabel 2. 1 – Lokasi dan hierarki pengembangan pelabuhan (Kemenhub, 2013)
Hieraki
Kabupaten/Kota Pelabuhan/Terminal Pelabuhan/Terminal KET
2011 2015 2020 2030
1228 84 Yapen Ambai PL PL PL PL
1229 85 Yapen Ampimori PL PL PL PL
1230 86 Yapen Angkaisera PL PL PL PL
1231 87 Yapen Ansus PL PL PL PL
1232 88 Yapen Dawai PP PP PP PP
1233 89 Yapen Koweda PL PL PL PL
1234 90 Yapen Kurudu PL PL PL PL
1235 91 Yapen Owe PL PL PL PL
1236 92 Yapen Papurna PL PL PL PL
1237 93 Yapen Poom PL PL PL PL
1238 94 Yapen Samberbada PL PL PL PL
1239 95 Yapen Serui PP PP PP PP
1240 96 Yapen Wainapi PL PL PL PL
Keterangan :
PL = Pelabuhan Lokal
PP = Pelabuhan Pengumpul
2.3 Hidro-Oceanografi
Perencanaan pelabuhan harus memperhatikan beberapa aspek, salah satunya
adalah aspek hidro-oseanografi. Pada aspek ini terdapat tiga faktor yang harus
diperhitungkan, yaitu angin, pasang surut, dan gelombang.
2.3.1 Angin
Angin merupakan sirkulasi udara yang relatif sejajar dengan permukaan bumi.
Gerakan udara ini disebabkan oleh perubahan temperatur pada atmosfer. Perubahan
temperatur di atmosfer disebabkan oleh perbedaan penyerapan pana oleh tanah dan
air, atau perbedaan suhu pada belahan bumi bagian utara dan selatan karena adanya
perbedaan musim dingin dan panas (Triatmodjo, 2009).
Indonesia mengalami angin musim, yaitu angin yang berembus secara mantap
dalam satu arah pada satu periode dalam satu tahun. Pada periode yang lain arah angin
berlawanan dengan angin pada periode sebelumnya. Angin musim ini terjadi karena
adanya perbedaan musim dingin dan panas di Benua Asia dan Australia. Pada bulan
Desember, Januari dan Februari, belahan bumi bagian utara mengalami musim dingin,
sedangkan belahan bumi bagian selatan mengalami musim panas. Tekanan udara di
daratan Asia lebih tinggi dari daratan Australia, sehingga angin berembus dari Asia
II-3
menuju Australia. Tekanan udara di belahan bumi utara lebih tinggi dari belahan bumi
selatan, sehingga angin dari Samudra Pasifik yang basah berembus dari timur laut, dan
karena perputaran bumi, di khatulistiwa dibelokkan menjadi dari arah barat laut. Angin
tersebut dikenal dengan angin musim barat, dengan arah dari barat laut.
Sebaliknya pada bulan Juli, Agustus dan September di Australia bermusim
dingin dan Asia musim panas, sehingga angin dari daratan Australia yang kering
berembus dari tenggara, dan di khatulistiwa arah angin berubah karena perputaran
bumi, menjadi dari arah barat daya menuju timur laut. Di Indonesia angin ini dikenal
Angin Musim Timur
Kecepatan angin diukur dengan anemometer dan biasanya dinyatakan dalam
knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang
ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam.
2.3.1.1 Pembangkitan Gelombang Oleh Angin
Angin yang berembus di atas permukaan air yang semula tenang, akan
menyebabkan gangguan pada permukaan tersebut, dengan timbulnya riak
gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak
tersebut menjadi semakin besar, dan apabila angin berembus terus akhirnya akan
terbentuk gelombang. Semakin lama dan semakin kuat angin berembus, semakin
besar gelombang yang terbentuk. Tinggi dan periode gelombang yang
dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan angin (U), lama hembus angin (D), dan
fetch (F) yaitu panjang permukaan laut pada mana angin berembus.
Di dalam peramalan gelombang, perlu diketahui kecepatan rerata angin (U)
di permukaan air. Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal di
dalam rumus-rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan
adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi
dari data angin di daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas
permukaan laut. CERC (1984) merumuskan hubungan antara angin di atas laut
dan angin di daratan terdekat sebagai berikut :
RL = Uw / UL (2.1)
dimana :
Uw = kecepatan angin di darat, (m/s)
UL = kecepatan angin di laut, (m/s)
RL = tabel koreksi hubungan kecepatan angin di darat dan di laut
II-4
Gambar 2. 1 – Hubungan kecepatan angin di laut dan di darat (CERC, 1984)
II-5
Penggolongan kecepatan angin pada tabel mengacu pada skala Beaufort
yang ditunjukkan pada Tabel 2.2 berikut ini dengan anggapan bahwa kecepatan
0 – 7 merupakan angin tenang (calm – gentle breeze).
Tabel 2.3 adalah contoh penyajian data angin dalam bentuk tabel dari
pencatatan angin di lapangan terbang Kemayoran selama 11 tahun (1974 –
1985). Sedang Gambar 2.2 adalah contoh mawar angin yang dibuat berdasarkan
data dalam Tabel 2.3. Tabel dan gambar tersebut menunjukkan persentase
kejadian angin dengan kecepatan tertentu dari berbagai arah dalam periode
waktu pencatatan. Sebagai contoh, persentase kejadian angin dengan kecepatan
10 – 13 knot dari arah utara adalah 1,23 % dari 11 tahun pencatatan. Dalam
gambar tersebut garis-garis radial adalah arah angin dan tiap lingkaran
menunjukkan persentase kejadian angin dalam periode waktu pengukuran.
II-6
Tabel 2. 3 – Data presentasi kejadian angin di Kemayoran tahun 1974 – 1985
(Triatmodjo, 1999)
2.3.1.3 Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana angin berembus dengan kecepatan
dan arah yang konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch
dibatasi oleh bentuk daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan
gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan
arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Panjang fetch
adalah panjang laut yang dibatasi oleh pulau-pulau pada kedua ujungnya.
Gambar 2.3 menunjukkan cara untuk mendapatkan fetch efektif. Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut.
Feff Xi cos (2.3)
cos
(Triatmodjo, 1999)
II-7
dimana :
Feff = fetch rerata efektif
Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke
ujung akhir fetch
α = deviasi pada kedua sisi arah angin, dengan menggunakan penambahan 6°
sampai sudut sebesar 42° pada kedua sisi dari arah angin.
2.3.2 Gelombang
Gelombang merupakan faktor penting di dalam perencanaan pelabuhan.
Gelombang di laut bisa dibangkitkan oleh angin (gelombang angin), gaya tarik
matahari dan bulan (pasang surut), letusan gunung berapi atau gempa di laut (tsunami),
kapal yang bergerak, dan sebagainya (Triatmodjo, 2009).
Di antara beberapa bentuk gelombang tersebut yang paling penting dalam
perencanaan pelabuhan adalah gelombang angin (untuk selanjutnya disebut
gelombang) dan pasang surut.
Tsunami adalah gelombang yang sangat besar yang apabila sampai di pantai akan
bisa menghancurkan kehidupan di daerah tersebut, misalnya tsunami yang disebabkan
oleh letusan gunung Krakatau pada tahun 1883 yang menewaskan 36.000 orang.
Meskipun akibat yang ditimbulkan sangat besar, namun kejadiannya sangat jarang.
Periode ulang terjadinya bisa lebih dari 100 tahun. Oleh karena itu, bangunan
pelabuhan tidak direncanakan berdasarkan tsunami. Perencanaan bangunan dengan
memperhitungkan tsunami akan memberikan dimensi bangunan yang sangat besar,
sehingga pekerjaan menjadi sangat mahal. Gelombang digunakan untuk
II-8
merencanakan bangunan-bangunan pelabuhan seperti pemecah gelombang, studi
ketenangan di pelabuhan, dan fasilitas-fasilitas pelabuhan lainnya. Gelombang
tersebut akan menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pelabuhan. Selain
itu gelombang juga bisa menimbulkan arus dan transpor sedimen di daerah pantai. Tata
letak layout pelabuhan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga sedimentasi di
pelabuhan dapat dikurangi/dihindari.
Dalam Gambar 2.4 tersebut gelombang bergerak dengan cepat rambat C di air
dengan kedalaman d. Dalam hal ini yang bergerak (merambat) hanya bentuk (profil)
muka airnya. Tidak seperti dalam aliran air di sungai di mana partikel (massa) air
bergerak searah aliran, pada gelombang partikel air bergerak dalam satu orbit tertutup
sehingga tidak bergerak maju ke arah sumbu x. Suatu pelampung yang berada di laut
hanya bergerak naik turun mengikuti gelombang dan tidak berpindah (dalam arah
II-9
penjalaran) dari tempatnya semula. Posisi partikel setiap saat selama gerak orbit
tersebut diberikan oleh koordinat horizontal (ξ) dan vertikal (ε) terhadap pusat orbit.
Komponen kecepatan vertikal pada setiap saat adalah u dan v, dan elevasi muka air
terhadap muka air diam (sumbu x) di setiap titik adalah η.
Pada umumnya bentuk gelombang sangat kompleks dan sulit digambarkan
secara matematis karena ketidaklinieran, tiga dimensi dan bentuknya yang random.
Ada beberapa teori yang menggambarkan bentuk gelombang yang sederhana dan
merupakan pendekatan dari alam. Teori yang paling sederhana adalah teori gelombang
linear. Menurut teori gelombang linier, gelombang berdasarkan kedalaman relatifnya
dibagi menjadi tiga yaitu deep water, transitional, shallow water. Klasifikasi dari
gelombang tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2.4 berikut :
II-10
Tabel 2. 5 – Persamaan gelombang (CERC, 1984)
Shallow Water Transitional Water Deep Water
Relative Depth 𝑑 1 1 𝑑 1 𝑑 1
< < < >
𝐿 25 25 𝐿 2 𝐿 2
𝐿 𝐿 𝑔𝑇 2𝜋𝑑 𝐿 𝑔𝑇
Wave Celerity 𝐶= = 𝑡𝑎𝑛ℎ ( )
𝐶 = = √𝑔𝑑 𝑇 2𝜋 𝐿 𝐶 = 𝐶0 = =
𝑇 𝑇 2𝜋
II-11
2.3.2.1 Peramalan Gelombang Laut Dalam
Berdasarkan faktor tegangan angin / wind stress faktor (UA) pada sub bab
2.3.1.1 dan panjang fetch pada subbab 2.3.1.3, dilakukan peramalan gelombang
di laut dalam dengan menggunakan bantuan peramalan gelombang yang
disajikan oleh Shore Protection Manual (SPM) 1984, sehingga didapat tinggi,
durasi, dan periode gelombang. Mengenai bentuk peramalan gelombang menurut
teori SPM 1984 (peramalan gelombang semi empiris) untuk lebih jelasnya akan
dijelaskan dengan flowchart pada Gambar 2.5 berikut :
II-12
dimana :
Hmo = tinggi gelombang signifikan, adalah tinggi rerata dari 33% nilai tertinggi
gelombang yang terjadi, (m)
Tmo = periode gelombang, (s)
Feff = panjang fetch efektif, (m)
UA = faktor tegangan angin, (m/s)
g = gravitasi, (m/s2)
t = waktu, (s)
II-13
Gambar 2. 6 – Pemilihan gelombang rencana berdasarkan tipe bangunan
(Triatmodjo, 2009)
II-14
method. Untuk menjelaskan metode tersebut, pertama kali ditetapkan elevasi
rerata dari permukaan air berdasarkan fluktuasi muka air pada waktu pencatatan.
Muka air tersebut didefinisikan sebagai garis nol. Kemudian kurva gelombang
ditelusuri dari awal sampai akhir. Pada metode zero upcrossing, diberi tanda titik
perpotongan antara kurva naik dan garis nol, dan titik tersebut ditetapkan sebagai
awal dari satu gelombang. Mengikuti naik-turunnya kurva, penelusuran
dilanjutkan untuk mendapatkan perpotongan antara kurva naik dan garis nol
berikutnya. Titik tersebut ditetapkan sebagai akhir dari gelombang pertama dan
awal dari gelombang kedua. Jarak antara kedua titik tersebut adalah periode
gelombang pertama (T1). Sedang jarak vertikal antara titik tertinggi dan terendah
di antara kedua titik tersebut adalah tinggi gelombang pertama (H1). Penelusuran
dilanjutkan lagi untuk mendapatkan gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Metode zero downcrossing mempunyai prosedur yang sama, tetapi titik yang
dicatat adalah pertemuan antara kurva turun dan garis nol (Triatmodjo, 1999).
II-15
2.3.2.2.2 Distribusi Tinggi dan Periode Gelombang Individu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah data dalam setiap
kali pencatatan yang berlangsung selama 15 – 20 menit adalah cukup
banyak. Dalam satu hari bisa dilakukan pencatatan sebanyak 3 – 4 kali,
sehingga jumlah data dalam beberapa hari, bulan atau tahun menjadi sangat
banyak. Untuk mengetahui beberapa sifat statistik gelombang acak dibuat
distribusi gelombang tersebut. Misalnya dalam suatu pencatatan terdapat
100 gelombang individu. Seperti terlihat dalam Tabel 2.6 baris pertama
adalah tinggi gelombang yang dinyatakan dalam interval setiap 0,5 m. Baris
kedua adalah jumlah kejadian gelombang n untuk setiap interval tinggi
gelombang, dengan jumlah total gelombang adalah N = 100. Baris ketiga
menunjukkan probabilitas kejadian gelombang, yaitu perbandingan antara
jumlah kejadian gelombang dengan jumlah total gelombang n/N.
Probabilitas
n/N (N=100)
0,044 0,13 0,19 0,25 0,11 0,14 0,05 0,07 0,02
II-16
Histogram seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 mempunyai bentuk
yang tidak teratur. Hal ini disebabkan karena jumlah data yang sedikit.
Untuk mendapatkan distribusi tinggi gelombang yang lebih halus dapat
dilakukan dengan menggabungkan data dari beberapa pencatatan sehingga
jumlah data yang di analisa cukup banyak. Gambar 2.10 adalah contoh
histogram seperti pada Gambar 2.8 tetapi dengan jumlah data jauh lebih
banyak, dan memberikan bentuk histogram lebih teratur.
II-17
2.3.2.3 Periode Ulang Gelombang
Frekuensi gelombang-gelombang besar merupakan faktor yang
mempengaruhi perencanaan bangunan pantai. Untuk menetapkan gelombang
dengan periode ulang tertentu dibutuhkan data dalam jangka waktu pengukuran
cukup panjang (beberapa tahun). Data tersebut bisa berupa data pengukuran
gelombang atau data gelombang hasil prediksi (peramalan) berdasar data angin.
Dari setiap tahun pencatatan dapat ditentukan gelombang representatif, seperti
Hs, H10%, H1%, Hmaks dan sebagainya. Berdasarkan data representatif untuk
beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan gelombang yang diharapkan
disamakan atau dilampaui satu kali dalam periode T tahun, dan gelombang
tersebut dikenal dengan gelombang periode ulang T tahun atau gelombang T
tahunan. Misalnya apabila T = 50, gelombang yang diperkirakan adalah
gelombang 50 tahunan atau gelombang dengan periode ulang 50 tahun, artinya
bahwa gelombang tersebut diharapkan disamakan atau dilampaui rata-rata sekali
dalam 50 tahun. Hal ini tidak berarti bahwa gelombang 50 tahunan hanya akan
terjadi satu kali dalam setiap periode 50 tahun yang berurutan, melainkan
diperkirakan bahwa gelombang tersebut jika dilampau k kali dalam periode
panjang M tahun akan mempunyai nila k/M yang kira-kira sama dengan 1/50.
Terdapat dua metode untuk memprediksi gelombang dengan periode
tertentu, yaitu distribusi Gumbel (Fisher-Tippett Type 1) dan distribusi Weibull
(CERC, 1992). Dalam metode ini prediksi dilakukan untuk memperkirakan
tinggi gelombang signifikan dengan berbagai periode ulang. Tidak ada petunjuk
jelas untuk memilih salah satu dari kedua metode tersebut. Biasanya pendekatan
yang dilakukan adalah mencoba beberapa metode tersebut untuk data tersedia
dan kemudian dipilih yang memberikan hasil terbaik.
Langkah – langkah memprediksi tinggi gelombang dengan periode ulang
menggunakan metode Fisher-Tippett dan metode Weibull adalah sebagai berikut
1) Data masukan disusun dalam urutan besar ke kecil
2) Menentukan probabilitas untuk setiap gelombang sebagai berikut :
Distribusi Fisher-Tippett
P(H H ) 1 m 0,44 (2.4)
NT 0,12
s sm
(CERC, 1992)
II-18
Distribusi Weibull
0,27
m 0,2
k
P(Hs H sm ) 1 (2.5)
0,23
N T 0,2
k
(CERC, 1992)
dimana :
P(Hs ≤ Hsm) = probabilitas dari tinggi gelombang representatif ke-m yang
tidak dilampaui
Hsm = tinggi gelombang urutan ke-m
m = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1, 2, ….., N
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
3) Melakukan analisis regresi linear dari hubungan berikut :
𝐻𝑚 = 𝐴̂𝑦𝑚 + 𝐵̂ (2.6)
(CERC, 1992)
dengan ym diberikan oleh bentuk sebagai berikut :
Distribusi Fisher-Tippett
𝑦𝑚 = − ln{− ln 𝐹 (𝐻𝑠 ≤ 𝐻𝑠𝑚)} (2.7)
𝑦𝑚 = − ln{− ln 𝑃} (2.8)
(CERC, 1992)
Distribusi Weibull
𝑦𝑚 = [− ln{1 − 𝐹(𝐻𝑠 ≤ 𝐻𝑠𝑚)}]1/𝑘 (2.9)
𝑦𝑚 = [− ln{1 − 𝑃}]1/𝑘 (2.10)
(CERC, 1992)
dengan 𝐴̂ dan 𝐵̂ adalah perkiraan dari parameter skala dan lokal yang
diperoleh dari regresi linier
II-19
4) Menentukan tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang
dihitung dari fungsi probabilitas dengan rumus berikut ini :
𝐻𝑠𝑟 = 𝐴̂𝑦𝑟 + 𝐵̂ (2.13)
(CERC, 1992)
dimana yr diberikan oleh bentuk sebagai berikut :
Distribusi Fisher-Tippett
1 (2.14)
y r ln ln1
T r
(CERC, 1992)
Distribusi Weibull
𝑦𝑟 = {ln(𝜆 ∙ 𝑇𝑟)}1/𝑘 (2.15)
(CERC, 1992)
dimana :
Tr = periode ulang, (tahun)
λ = rerata jumlah kejadian per tahun (NT / k)
NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
k = panjang data, (tahun)
Hsr = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang Tr tahun
5) Menghitung nilai σnr menggunakan rumus :
𝜎𝑛𝑟 = 1 [1 + 𝛼(𝑦𝑟 − 𝑐 + 𝜀 ln 𝑣)2]0,5 (2.16)
√𝑁
(CERC, 1992)
dimana :
σ = standar deviasi yang dinormalkan dari tinggi gelombang signifikan
dengan periode ulang Tr
N = jumlah data tinggi gelombang signifikan
II-20
Tabel 2. 7 – Koefisien untuk menghitung standar deviasi (CERC, 1992)
Distribusi α1 α2 k c ε
FT-1 0,64 9,0 0,93 0,0 1,33
Weibull (k = 0,75) 1,65 11,4 -0,63 0,0 1,15
Weibull (k = 1,0) 1,92 11,4 0,00 0,3 0,90
Weibull (k = 1,4) 2,05 11,4 0,69 0,4 0,72
Weibull (k = 2,0) 2,24 11,4 1,34 0,5 0,54
(H sm H sm )2
Hs (2.19)
N 1
(Triatmodjo, 1999)
Batas interval keyakinan terhadap Hsr dengan berbagai tingkat keyakinan
diberikan dalam Tabel 2.8.
II-21
2.3.2.4 Deformasi Gelombang
2.3.2.4.1 Gelombang Laut Dalam Ekuivalen
Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep
gelombang laut dalam ekuivalen. Pemakaian gelombang ini bertujuan
untuk menetapkan tinggi gelombang yang mengalami refraksi, difraksi dan
transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan deformasi
gelombang dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tinggi gelombang laut
dalam ekuivalen diberikan oleh bentuk :
H’0 = K’ . Kr . H0 (2.20)
(OCDI, 2009)
dengan :
H’0 = tinggi gelombang laut dalam ekuivalen
H0 = tinggi gelombang laut dalam
K’ = koefisien difraksi
Kr = koefisien refraksi
II-22
bagian dari puncak gelombang yang berada di air yang lebih dangkal akan
II-23
menjalar dengan kecepatan yang lebih kecil daripada bagian di air yang
lebih dalam. Akibatnya garis puncak gelombang akan membelok dan
berusaha untuk sejajar dengan garis kedalaman laut. Garis ortogonal
gelombang, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis puncak gelombang
dan menunjukkan arah penjalaran gelombang, juga akan membelok; dan
berusaha untuk menuju tegak lurus dengan garis kontur dasar laut.
Gambar 2.12 menunjukkan contoh refraksi gelombang di daerah
pantai yang mempunyai garis kontur dasar laut dan garis pantai yang tidak
teratur. Suatu deretan gelombang yang di laut dalam mempunyai panjang
gelombang Lo dan garis puncak gelombang sejajar bergerak menuju pantai.
Terlihat dalam gambar bahwa garis puncak gelombang berubah bentuk dan
berusaha untuk sejajar garis kontur dan garis pantai. Garis ortogonal
gelombang membelok arah menuju tegak lurus garis kontur. Pada lokasi 1,
garis ortogonal gelombang menguncup sedang di lokasi 2 garis ortogonal
gelombang menyebar. Karena energi di antara dua garis ortogonal adalah
konstan sepanjang lintasan, berarti energi gelombang tiap satuan lebar di
lokasi 1 adalah lebih besar daripada di lokasi 2 (jarak antara garis ortogonal
di lokasi 1 lebih kecil daripada di laut dalam sedang di lokasi 2 jarak
tersebut lebih besar). Apabila akan direncanakan suatu pelabuhan di daerah
pantai tersebut, maka lokasi 2 adalah lebih cocok daripada lokasi 1, karena
bangunan-bangunan yang direncanakan akan menahan energi gelombang
yang lebih kecil.
II-24
Anggapan-anggapan yang digunakan dalam studi refraksi adalah
sebagai berikut :
1. Energi gelombang antara dua ortogonal adalah konstan
2. Arah penjalaran gelombang tegak lurus pada puncak gelombang, yaitu
dalam arah ortogonal gelombang
3. Cepat rambat gelombang yang mempunyai periode tertentu di suatu
tempat hanya tergantung pada kedalaman di tempat tersebut
4. Perubahan topografi dasar adalah berangsur-angsur
5. Gelombang mempunyai puncak yang panjang, periode konstan,
amplitudo kecil, dan monokromatik
6. Pengaruh arus, angin dan refleksi dari pantai dan perubahan topografi
dasar laut diabaikan
Persamaan cepat rambat gelombang adalah :
gL 2d
C 2 tanh (2.21)
2 L
Di laut dalam, persamaan tersebut menjadi :
gL
C (2.22)
2
2
0
(CERC, 1984)
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa C0 tidak tergantung pada
kedalaman, jadi laut dalam gelombang tidak mengalami refraksi. Di laut
transisi dan laut dangkal, pengaruh refraksi semakin besar.
Di laut transisi, kecepatan rambat dihitung dengan persamaan 2.22
sedangkan di laut dangkal persamaan tersebut menjadi :
𝐶 = √𝑔𝑑 (2.23)
(CERC, 1984)
Energi total gelombang tiap satu satuan lebar gelombang adalah :
g H 2 L
E (2.24)
8
(CERC, 1984)
Sedang tenaga gelombang :
n E
P (2.25)
T
(Triatmodjo, 1999)
II-25
Dipandang dua garis ortogonal yang melintas dari laut dalam menuju
pantai dan dianggap tidak ada energi gelombang yang keluar dari lintasan
tersebut. Tenaga yang terkandung di antara dua gari ortogonal dapat
dianggap konstan. Apabila jarak antara garis ortogonal adalah b, maka
tenaga gelombang di laut dalam dan di suatu titik di laut yang lebih dangkal
adalah :
n0 E0 b0 (2.26)
P0
T0
nEb
P (2.27)
T
(Triatmodjo, 1999)
Gambar 2. 13 – Refraksi gelombang pada kontur lurus dan sejajar (Triatmodjo, 1999)
II-26
Gambar 2. 14 – Hukum Snell untuk refleksi gelombang (Triatmodjo, 1999)
II-27
Sehingga koefisien refraksi adalah :
cos 0
K r (2.29)
cos
(CERC, 1984)
dimana :
Kr = koefisien refraksi
α0 = sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana
gelombang melintas
α = sudut yang sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi
kontur dasar berikutnya
Untuk air dangkal, maka kecepatan gelombang tergantung pada
kedalaman air dimana gelombang tersebut merambat. Di tempat yang
dalam, gelombang bergerak lebih cepat daripada di laut dangkal.
Untuk cepat rambat gelombang, persamaan umum yang digunakan
adalah sebagai berikut :
gT 2d (2.30)
C 2 tanh L
(Triatmodjo, 1999)
Di laut dalam persamaan di atas menjadi :
gT
C0 (2.31)
2
(Triatmodjo, 1999)
dimana :
C = cepat rambat gelombang, (m/s)
C0 = cepat rambat gelombang di laut dalam, (m/s)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
L = panjang gelombang, (m)
d = kedalaman laut, (m)
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa C0 tidak tergantung pada
kedalaman, jadi di dalam gelombang tidak mengalami refraksi, pada laut
transisi dan laut dangkal pengaruh refraksi akan semakin besar.
Di laut transisi, persamaan tersebut menjadi :
𝐿
𝐶 = = √𝑔𝑑 (2.32)
𝑇
II-28
Untuk menghitung tinggi gelombang yang terjadi, digunakan persamaan
sebagai berikut :
𝐻𝑠 = 𝐾𝑠 ∙ 𝐾𝑟 ∙ 𝐻0 (2.33)
dimana :
H1 = tinggi gelombang setelah mengalami refraksi, (m)
Ks = koefisien pendangkalan, (Ks bisa didapat langsung dari tabel fungsi
d/L untuk pertambahan nilai d/L0)
Kr = koefisien refraksi
H0 = tinggi gelombang sebelum mengalami refraksi, (m)
II-29
Gambar 2. 15 – Difraksi gelombang di belakang rintangan (Triatmodjo, 1999)
II-30
Tabel 2. 9 – Koefisien difraksi gelombang (K’) dari gelombang datang (Wiegel,
1964)
II-32
Gerak gelombang di depan dinding vertikal yang dapat memantulkan
gelombang dengan sempurna yang mempunyai arah tegak lurus pada
dinding dapat ditentukan dengan superposisi dari dua gelombang yang
mempunyai karakteristik sama tetapi arah penjalarannya berlawanan.
Superposisi dari kedua gelombang tersebut menyebabkan terjadinya
standing wave atau gelombang berdiri. Untuk gelombang amplitudo kecil,
fluktuasi muka air :
H
i cos(kx t) (2.37)
i
2
(CERC, 1984)
dan gelombang refleksi
H
i cos(kx t) (2.38)
r
2
(CERC, 1984)
Profil muka air di depan bangunan diberikan oleh jumlah ηi dan ηr
𝜂 = 𝜂 + 𝜂 = 𝐻𝑖 cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡) + 𝑋 ∙ 𝐻𝑖 cos(𝑘𝑥 − 𝜎𝑡)
𝑖 𝑟
2 2
Hi
(1 x) cos(kx) cos(t) (2.39)
2
(CERC, 1984)
Apabila refleksi adalah sempurna maka X = l sehingga :
𝜂 = 𝐻𝑖 ∙ cos(𝑘𝑥) ∙ cos(σt) (2.40)
(CERC, 1984)
Persamaan tersebut menunjukkan fluktuasi muka air gelombang
berdiri (standing wave) yang periodik terhadap waktu (t) dan terhadap jarak
(x). Apabila cos(kx) = cos(σt) = 1 maka tinggi maksimum adalah 2Hi, yang
berarti bahwa tinggi gelombang di depan bangunan vertikal bisa mencapai
dua kali tinggi gelombang datang.
Tinggi gelombang di kolam pelabuhan harus cukup kecil sehingga
tidak mengganggu kapal yang sedang melakukan bongkar muat barang.
Untuk itu, bangunan pelabuhan dipilih sedemikian rupa sehingga
gelombang berdiri yang terjadi di kolam pelabuhan tidak besar, yaitu
dengan memilih material yang mempunyai koefisien refleksi kecil.
II-33
2.3.2.4.5 Gelombang Pecah
Gelombang yang merambat dari dalam laut menuju pantai mengalami
perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.
Perubahan tersebut ditandai dengan puncak gelombang semakin tajam
sampai akhirnya pecah pada kedalaman tertentu. Di laut dalam profil
gelombang adalah sinusoidal, semakin menuju ke perairan yang lebih
dangkal puncak gelombang semakin tajam dan lembah gelombang semakin
datar selain itu kecepatan dan panjang gelombang berkurang secara
berangsur – angsur sementara tinggi gelombang bertambah.
Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu
perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Di laut dalam
kemiringan gelombang maksimum dimana gelombang mulai tidak stabil
diberikan oleh bentuk berikut :
H0 1
0,142 (2.41)
L0 7
(CERC, 1984)
dimana :
H0 = tinggi gelombang laut dalam ekuivalen, (m)
L0 = panjang gelombang laut dalam, (m)
Pada kemurungan tersebut kecepatan partikel di puncak gelombang
sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam
dari batas maksimum tersebut menyebabkan kecepatan partikel di puncak
gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi
ketidakstabilan dan gelombang pecah.
Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan bata
tersebut tergantung pada kelaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m.
gelombang dari laut yang bergerak menuju pantai akan bertambah
kemiringannya sampai akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman
tertentu yang disebut dengan kedalaman gelombang pecah (db), sedangkan
tinggi gelombang pecah diberi notasi Hb. Munk (1949), dalam Coastal
Engineering Research Center (CERC, 1984) memberikan persamaan untuk
menentukan tinggi dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut :
II-34
Hb 1 1/ 3
(2.42)
H 0' H '
3,3 0
L0
(CERC, 1984)
dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
H0’= panjang gelombang di laut dalam, (m)
db
1,28 (2.43)
hb
(CERC, 1984)
dimana :
db = kedalaman air pada saat gelombang pecah, (m)
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
Parameter Hb/H0’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah.
Pada grafik 2.17 menunjukkan hubungan antara Hb/H0’ dan H0’/gT2 untuk
berbagai kemiringan dasar laut. Sedangkan grafik 2.18 menunjukkan
hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk berbagai kemiringan dasar.
II-35
dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
H0’ = panjang gelombang di laut dalam, (m)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)
dimana :
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
db = kedalaman air pada saat gelombang pecah, (m)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)
Untuk menghitung tinggi dan kedalaman gelombang pecah pada
kedalaman tertentu, dapat juga menggunakan rumus berikut ini :
db 1
Hb a Hb (2.44)
b
2
gT
(CERC, 1984)
II-36
dimana :
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
T = periode gelombang, (s)
Dengan a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan
oleh persamaan berikut :
𝑎 = 43,75(1 − 𝑒−19𝑚) (2.45)
1,56
b (2.46)
(1 e 19,5m
)
(CERC, 1984)
Gelombang pecah dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan
pengaruh besarnya kemiringan sebagai berikut :
1. Spilling
Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan
kecil menuju ke pantai yang datar (kemiringan kecil). Gelombang mulai
pecah pada jarak yang cukup jauh dari pantai dan pecahnya terjadi
berangsur-angsur. Buih terjadi pada puncak gelombang selama
mengalami pecah dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak
yang cukup panjang. Gelombang pecah tipe spilling dapat dilihat pada
Gambar 2.19 berikut.
2. Plunging
Apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah , gelombang
akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air
pada puncak gelombang akan terjun ke depan. Energi gelombang pecah
dihancurkan dalam turbulensi, sebagian kecil dipantulkan pantai ke
laut, dan tidak banyak gelombang baru terjadi pada air yang lebih
dangkal. Gelombang pecah tipe plunging dapat dilihat pada Gambar
2.20 berikut.
II-37
Gambar 2. 20 – Gelombang pecah tipe plunging (Svendsen, 1978)
3. Surging
Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang sangat besar
seperti yang terjadi pada pantai berkarang. Daerah gelombang pecah
sangat sempit, dan sebagian besar energi dipantulkan kembali ke laut
dalam. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan plunging, tetapi
sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah. Gelombang
pecah tipe surging dapat dilihat pada Gambar 2.21 berikut.
II-38
Gambar 2. 22 – Wave set-up dan wave set-down (Triatmodjo, 1999)
dimana :
Sb = set-down di daerah gelombang pecah, (m)
Sw = set-up di daerah gelombang pecah, (m)
ΔS = set-up di daerah gelombang pecah dan pantai, (m)
T = periode gelombang, (s)
Hb = tinggi gelombang pecah, (m)
db = kedalaman gelombang pecah, (m)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
II-39
2.3.3.2 Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind Set-up)
Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut
bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika
badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Penentuan elevasi
muka air rencana selama terjadinya badai adalah sangat kompleks yang
melibatkan interaksi antara angin dan air, perbedaan tekanan atmosfer dan
beberapa parameter lainnya. Perbedaan tekanan atmosfer selalu berkaitan dengan
perubahan arah dan kecepatan angin, dan angin tersebut yang kemudian
menyebabkan fluktuasi muka air laut. Gelombang badai biasanya terjadi dalam
waktu yang bersamaan dengan proses alam lainnya seperti pasang surut.
Besarnya kenaikan muka air karena badai dapat diketahui dengan memisahkan
hasil pengukuran muka air laut selama terjadi badai dengan fluktuasi muka air
laut karena pasang surut. Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung
dengan persamaan berikut:
F
h i (2.50)
2
(Triatmodjo, 1999)
V
h F 2
c
(2.51)
2gd
(Triatmodjo, 1999)
dimana :
Δh = kenaikan elevasi muka air karena badai, (m)
F = panjang fetch, (m)
i = kemiringan muka air
c = konstanta, (3,5×10-6)
V = kecepatan angin, (m/s)
D = kedalaman air, (m)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
Dalam memperhitungkan wind set-up di daerah pantai dianggap bahwa laut
dibatasi oleh sisi (pantai) yang impermeable (tidak dapat ditembus) dan hitungan
dilakukan untuk kondisi dalam arah tegak lurus pantai. Apabila arah angina dan
fetch membentuk sudut terhadap garis pantai, maka yang diperhitungkan adalah
komponen tegak lurus pantai
II-40
2.3.3.3 Fluktuasi Muka Air Laut Karena Pemanasan Global (Sea Level Rise)
Pemanasan Global atau Global Warming adalah fenomena naiknya suhu
rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Fenomena ini terjadi akibat
meningkatnya gas rumah kaca. Gas-gas rumah kaca uang paling penting, yang
menangkap panas di dalam atmosfer adalah uap air dan karbon dioksida. Gas lain
yang terdapat secara alami adalah metana, nitrat oksida, dan ozon. Selain itu gas
terdapat beberapa gas buatan, di antaranya adalah klorofluorkarbon (CFC) yang
berpengaruh besar terhadap efek rumah kaca. Efek dari pemanasan global ini
salah satunya yaitu meningkatnya volume air laut. Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, sedikit banyak akan merasakan
efek dari meningkatnya volume air laut tersebut.
Di dalam perencanaan bangunan pantai, kenaikan muka air karena
pemanasan global harus diperhitungkan. Besarnya kenaikan muka air laut dari
tahun 1990 sampai 2100 ditunjukkan oleh Gambar 2.23, gambar tersebut
berdasarkan anggapan bahwa suhu bumi meningkat seperti yang terjadi saat ini.
II-41
Gambar 2. 24 – Kurva pasang surut (Triatmodjo, 1999)
Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air
pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berturutan. Periode pasang surut
adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rerata ke posisi
yang sama berikutnya. Periode pasang surut bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50
menit, yang tergantung pada tipe pasang surut. Periode pada mana muka air naik
disebut pasang, sedang pada saat air turun disebut surut. Variasi muka air
menimbulkan arus yang disebut dengan arus pasang surut, yang mengangkut
massa air dalam jumlah sangat besar. Arus pasang terjadi pada waktu periode
pasang dan arus surut terjadi pada periode air surut. Titik balik (slack) adalah
saat di mana arus berbalik antara arus pasang dan arus surut. Titik balik ini bisa
terjadi pada saat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat tersebut
kecepatan arus adalah nol.
Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama minimal 15 hari.
Dari data tersebut dibuat grafik sehingga didapat
1. HWL (High Water Level), yaitu muka air tertinggi yang dicapai pada saat air
pasang dalam suatu siklus pasang surut
2. LWL (Low Water Level), yaitu kedudukan air terendah yang dicapai pada
saat air surut dalam suatu siklus pasang surut
3. MHWL (Mean High Water Level), yaitu rata-rata dari muka air tinggi selama
19 tahun.
4. MLWL (Mean Low Water Level), yaitu rata – rata dari muka air rendah
selama 19 tahun.
5. HHWL (Lowest Low Water Level), yaitu muka air tertinggi pada saat pasang
surut purnama
II-42
6. LLWL (Lowest Low Water Level), yaitu muka air terendah pada saat pasang
surut purnama
7. MSL (Mean Sea Level), yaitu muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-
rata dengan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan sebagai referensi
untuk elevasi daratan.
Dalam pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup satu siklus
pasang surut yang meliputi pasang purnama dan perbani. Pengamatan yang lebih
lama akan memberikan data yang lebih lengkap.
Secara umum pasang surut di berbagai daerah di Indonesia dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
1) Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)
Yaitu pasang yang memiliki sifat dalam satu hari terjadi dua kali pasang
dan juga dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi
berurutan secara teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.
Tipe pasang surut harian ganda dapat dilihat pada Gambar 2.25 berikut.
II-43
3) Pasang surut campuran condong ke harian ganda (Mixed Tide Prevailling
Semidiurnal)
Yaitu pasang surut yang dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak
terdapat di perairan Indonesia Timur. Tipe pasang surut campuran condong ke
harian ganda dapat dilihat pada Gambar 2.27 berikut.
Gambar 2. 27 – Tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda (Nontji, 1987)
II-44
2) Matahari–bumi–bulan terletak pada sumbu garis lurus
Pada posisi kedua ini, bulan sedang purnama, karena bulan dapat dilihat
penuh dari bumi, dan memberikan akibat pada pembangkitan pasang yang
sama dengan posisi pertama. Akibat posisi tersebut terjadi pasang tertinggi
dan surut terendah di belahan bumi yang berbeda. Pasang seperti ini dikenal
sebagai pasang surut purnama. Posisi ketika terjadi pasang surut purnama
dapat dilihat pada Gambar 2.29 berikut.
II-45
Salah satu metode yang biasa digunakan untuk mendapatkan Komponen
Pasang Surut Utama adalah dengan menggunakan metode Admiralty. Metode
Admiralty merupakan perhitungan yang digunakan untuk mencari harga
amplitudo (A), beda fase (g0), dan mean sea level (S0) yang sudah terkoreksi dari
data pengamatan selama 15 piantan (hari pengamatan) maupun selama 29
piantan di lokasi pekerjaan.
Tahap perhitungan Metode Admiralty menggunakan delapan kelompok
hitungan (skema) yang ditunjukkan oleh diagram berikut :
II-46
Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Skema 1
Skema 1 berisi data pengamatan pasang surut tiap interval 1 jam yang
sudah terkoreksi. Data yang digunakan bisa data 15 atau 29 piantan dengan
satuan cm. Pada Skema 1 ditentukan tanggal pertengahan pengamatan,
bacaan tertinggi dan terendah. Bacaan tertinggi menunjukkan kedudukan
muka air tertinggi dan bacaan terendah menunjukkan kedudukan muka air
terendah.
2) Skema 2
Berisi nilai X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 yang dikelompokkan berdasarkan
nilai positif (+) dan negatif (-) untuk setiap hari pengamatan.
3) Skema 3
Berisi nilai X0, X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 dalam setiap hari pengamatan.
Kolom X0 berisi perhitungan mendatar dari hitungan X1 pada Skema 2 tanpa
memperhatikan tanda (+) dan (-). Kolom X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4
merupakan penjumlahan mendatar dari X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 pada Skema
2 dengan memperhatikan tanda (+) dan (-). Nilai X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4
ditambah dengan besaran B (kelipatan 100 atau kelipatan 1000) sehingga
untuk tiap kolom tidak ada nilai negatif.
4) Skema 4
Menghitung nilai X0, X1, Y1, X2, Y2, X4 dan Y4 yang ditambahkan
indeks kedua yaitu 0, 2, b, 3, c, 4, d misalnya:
Indeks 0 untuk X1 berarti X10
Indeks 2 untuk X2 berarti X22
Dalam skema 4, dihitung nilai perkalian untuk X0, X1, Y1, X2, Y2, X4
dan Y4 terhadap konstanta pengali untuk tiap indeks kedua dalam tiap hari
pengamatan yang dikelompokkan berdasarkan nilai positif dan negatif.
5) Skema 5 dan 6
Perhitungan pada kelompok ini sudah memperhatikan sembilan unsur
Utama pembangkit pasang surut (M2, S2, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan MS4).
Untuk perhitungan kelompok hitungan 5 mencari nilai X00, X10, selisih X12
dan Y1b, selisih X13 dan Y1c, X20, selisih X22 dan Y2b, selisih X23 dan Y2c,
selisih X42 dan Y4b dan selisih X44 dan Y4d. Untuk perhitungan kelompok
II-47
hitungan 6 mencari nilai Y10, jumlah Y12 dan X1b, jumlah Y13 dan X1c, Y20,
jumlah Y22 dan X2b, jumlah Y23 dan X2c, jumlah Y42 dan X4d dan jumlah Y44
dan X4d.
6) Skema 7
Merupakan tahap akhir dari proses perhitungan komponen pasang surut
dengan Metode Admiralty. Akhirnya dari perhitungan ini didapatkan
besarnya amplitudo (A) dan beda fase (g°).
Adapun contoh hasil akhir dari Metode Admiralty disajikan dalam Tabel
2.11 sebagai berikut :
II-48
pada bentuk dan kekasaran, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut
di depan bangunan, kedalaman air pada kaki bangunan, kemiringan dasar laut di depan
bangunan, dan karakteristik bangunan. Karena banyaknya variabel yang berpengaruh,
maka besarnya run-up sangat sulit ditentukan secara analitis.
tg (2.52)
Ir
(H / Lo )0,5
(Triatmodjo, 1999)
dengan :
Ir = bilangan Irribaren
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang
H = tinggi gelombang di lokasi bangunan
L0 = panjang gelombang di laut dalam
II-49
Gambar 2. 33 – Grafik run-up gelombang
II-50
Gambar 2. 34 – Peta bathimetri di sekitar Pulau Kurudu, Kab. Kepulauan Yapen,
Papua
II-51
Tabel 2. 12 – Karakteristik kapal (Triatmodjo, 2009)
II-52
Tabel 2. 13 – Dimensi kapal pada pelabuhan (Triatmodjo, 2009)
II-53
2.4.2.1 Kedalaman Alur Pelayaran
Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal diperlukan kedalaman air
di alur masuk yang cukup besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air
terendah dengan kapal bermuatan penuh.
Kedalaman air ini ditentukan oleh berbagai faktor yang ditunjukkan dalam
Gambar 2.35. Kedalaman air total adalah :
H=d+G+R+P+S+K (2.53)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
d = draft kapal, (m)
G = gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat, (m)
R = ruang kebebasan bersih, (m)
Pantai pasir = 0,50 m
Karang = 1,00 m
P = ketelitian pengukuran, (m)
S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan, (m)
K = toleransi pengukuran, (m)
Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi. Biasanya muka air
referensi ini ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari muka air surut terendah
pada saat pasang besar (spring tide) dalam periode panjang, yang disebut LLWS
(Lowest Low Water Spring).
II-54
1) Squat
Squat adalah penambahan draft kapal terhadap muka air yang disebabkan
oleh kecepatan kapal. Besar squat dapat dihitung menggunakan rumus
berikut yang didasarkan pada percobaan di laboratorium.
F2
z 2,4 2 (2.54)
1 Fr
2
L pp
r
(Triatmodjo, 2009)
dengan :
Δ = L × B × T × Cb (2.55)
Nilai Cb menggunakan persamaan yang diberikan oleh Ayre :
v
Cb 1,06 0,68 (2.56)
gL
(Schmeekluth dan Bertram, 1998)
dimana :
Δ = volume air yang dipindahkan, (m3)
v = kecepatan, (m/s)
Lpp = panjang garis air, (m)
Fr = angka Fraude v
2gh
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
h = kedalaman air, (m)
II-55
lebar, kecepatan, dan gerak kapal
lalu lintas kapal, apakah alur direncanakan untuk satu atau dua jalur
kedalaman alur
apakah alur sempit atau lebar
stabilitas tebing alur
angin, gelombang, dan arus dalam alur
Tidak ada rumus yang memuat faktor-faktor tersebut secara eksplisit, tetapi
beberapa kriteria telah ditetapkan berdasarkan lebar kapal dan faktor-faktor
tersebut secara implisit. Pada alur untuk satu jalur (tidak ada simpangan), lebar
alur dapat ditentukan dengan mengacu Gambar 2.36, sedangkan jika kapal boleh
bersimpangan, lebar alur dapat ditentukan dengan menggunakan Gambar 2.37.
II-56
2.4.3 Kolam Pelabuhan
Kolam pelabuhan harus tenang, mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat
barang.
1) Kolam putar
Luas kolam putar yang digunakan untuk mengubah arah kapal minimum adalah
luasan lingkaran dengan jari-jari 1,5 kali panjang kapal total (Loa) dari kapal
terbesar yang menggunakannya. Apabila perputaran kapal dilakukan dengan
bantuan jangkar atau menggunakan kapal tunda, luas kolam putar minimum adalah
luas lingkaran dengan jari-jari sama dengan panjang total kapal (Loa).
2) Kedalaman kolam pelabuhan
Dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh alam seperti
gelombang, angin dan arus pasang surut, kedalaman kolam pelabuhan dapat
dihitung dengan pedoman nilai minimum underkeel clearance (Theoresen, 2014)
berikut :
a) Laut terbuka, untuk kapal dengan kecepatan tinggi dan tidak terlindung dari
gelombang yang besar, nilai clearance adalah sebesar 30% dari draft
maksimum.
b) Alur terbuka yang tidak terlindung dari gelombang besar, nilai clearance
adalah sebesar 25% dari draft maksimum.
c) Area pelabuhan terbuka yang tidak terlindung dari gelombang, nilai clearance
adalah sebesar 20% dari draft maksimum.
d) Area pelabuhan yang terlindung dari gelombang, nilai clearance adalah sebesar
15% dari draft maksimum.
2.5 Dermaga
2.5.1 Definisi
Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan
menambatkan kapal yang akan melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan
penumpang.
Konstruksi dermaga diperlukan untuk menahan gaya-gaya akibat tumbukkan
kapal dan beban selama bongkar muat. Dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan
ukuran kapal yang akan merapat dan bertambat pada dermaga tersebut. Dalam
II-57
mempertimbangkan ukuran dermaga harus didasarkan pada ukuran-ukuran minimal
sehingga kapal dapat bertambat dan meninggalkan dermaga maupun melakukan
bongkar muat dengan aman, cepat dan lancar.
II-58
2) Jenis kapal yang dilayani
Dermaga yang melayani kapal minyak (tanker) dan barang curah mempunyai
konstruksi yang relatif ringan karena tidak memerlukan peralatan bongkar muat
(crane) yang besar, jalan kereta api, gudang, dsb. Untuk keperluan ini jetty lebih
cocok.
Dermaga yang melayani barang potongan dan peti kemas menerima beban
yang besar di atasnya seperti kran, barang yang dibongkar muat, peralatan
transportasi (kereta, truk). Untuk keperluan ini wharf lebih cocok.
3) Daya dukung tanah
Pada umumnya tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih
besar daripada tanah di dasar laut yang biasanya berupa endapan yang belum padat.
Dari sisi daya dukung tanah, wharf lebih menguntungkan, tetapi untuk dasar
pantai berupa karang, wharf akan mahal karena diperlukan pengerukan yang lebih
sulit.
Apabila dermaga digunakan oleh lebih dari satu tambatan kapal, di antara
dua kapal yang berjajar diberi jarak sebesar 10% kali panjang kapal terbesar yang
menggunakan pelabuhan (Gambar 2.39).
II-59
Gambar 2. 39 – Dimensi wharf (Triatmodjo, 2009)
Biasanya kapal yang masuk ke pelabuhan terdiri dari banyak ukuran. Untuk
itu dihitung panjang kapal rerata yang berlabuh di pelabuhan. Panjang dermaga
yang digunakan untuk merapat beberapa kapal didasarkan pada panjang kapal
rerata. IMO (International Maritim Organization) memberikan persamaan untuk
menentukan panjang dermaga, seperti diberikan oleh bentuk berikut ini :
LP n Loa (n 1) 10% Loa (2.57)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
LP = panjang dermaga, (m)
Loa = panjang kapal yang ditambat, (m)
n = jumlah kapal yang ditambat
II-60
dimana :
HWS = high water spring (HHWL – LLWL), (m)
W = tinggi jagaan, (m)
II-61
Beban Mati
Beban Uplift
Beban Gelombang
Beban Horizontal
Beban Gempa
Beban Tumbukan
Beban Kapal Gaya Angin
Beban Tambat
Gaya Arus
II-62
Tabel 2. 14 – Beban hidup (OCDI, 2009)
Beban Beban Terpusat
Kondisi beban
Kelas Merata (luas, mm) Aplikasi
antisipasi
(Q) S = spasi, m
Dermaga untuk
20 kN Beban pejalan kaki
tempat jalan
5 5 kPa (150 x 150) Kendaraan bermotor
penumpang pribadi
S = 1,8 ringan hingga 3T
dan umum
Tempat jalan umum
45 kN
Kendaraan darurat dengan akses untuk
10 10 kPa (350 x 150)
kecil kendaraan darurat
S = 1,8
dan kendaraan servis
Dermaga ringan dan
Kode desain jembatan jetty untuk industri
200 kN (Beban W7, W8, perikanan, industri
15 15 kPa (400 x 700) A160, T44) penyewaan kapal,
S = 4,0 Mobile crane kecil dermaga ferry,
hingga 20T aktivitas komersial
ringan
Dermaga kargo
Kode desain jembatan
500 kN umum pelabuhan
(SM1600 beban
25 25 kPa (700 x 700) sekunder.
platform besar).
S = 5,0 Pelabuhan sekunder
Mobile crane 50T SWL
Dermaga kargo umum
Kontainer forkift dan
1000 kN Dermaga kargo
peralatan mesin lain
40 40 kPa (1000 x 1000) umum untuk
untuk 40 ft kontainer.
S = 7,0 dermaga kontainer
Mobile crane 100T SWL
Kontainer forklift, reach
Pelabuhan utama,
1500 kN stalker dan peralatan
pintu gerbang
50 50 kPa (1000 x 1000) mesin lain untuk
terminal kontainer
S = 8,0 kontainer besar.
internasional
Mobile crane 150T SWL
2000 kN Dermaga
Mobile crane hingga
60 60 kPa (1000 x 1000) pemeliharaan
200T SWL
S = 9,0 dengan tugas berat
II-63
Gambar 2. 41 – Pengaruh gelombang terhadap lantai dermaga (uplift)
(Kementerian Perhubungan, 2015).
Besarnya gaya uplift akibat gelombang yang terjadi pada lantai dermaga
dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
q 0 g (1,6H 0,9S) (2.59)
(OCDI, 2009)
dimana :
q = beban uplift, (kN/m2)
ρ0 g = berat jenis air laut, (kN/m3)
H = tinggi gelombang, Hmax, (m)
S = jarak muka air dengan bagian dalam dermaga, (m)
II-64
2.7.2.1 Beban Gelombang
Secara umum gaya gelombang yang diperhitungkan pada perencanaan
dermaga ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Beban Gelombang Pada Struktur Tiang
Morison et al. (1950) menyatakan bahwa gaya horizontal per unit panjang
pada tiang pancang silinder dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dari gaya
seret (drag force, fD) akibat kecepatan partikel air saat melewati tiang dan
gaya inersia (inertia force, fi) akibat percepatan partikel air. Gaya horizontal
tersebut dapat dinyatakan pada persamaan berikut :
D 2 du 1
f fi f D CM C D Du | u | (2.60)
4 dt 2
dimana :
f = gaya / unit panjang, (N/m)
fD = gaya drag maksimum, (N)
fi = gaya inersia maksimum, (N)
CD = koefisien drag
CM = koefisien inersia
ρ = berat jenis air laut, (1025 kg/m3)
D = diameter tiang pancang, (m)
u = kecepatan partikel air, (m/s)
du/dt = percepatan partikel air, (m/s2)
II-65
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan persamaan Morison
adalah penentuan koefisien seret (CD) dan koefisien inersia (CM). Besarnya
nilai koefisien CD dan CM tergantung pada bilangan Reynold. Nilai bilangan
Reynold (Re) adalah sebagai berikut :
uD (2.61)
Re
v
(CERC, 1984)
dimana :
u = kecepatan partikel air, (m/s)
D = diameter tiang pancang, (m)
v = viskositas kinematis, (untuk air laut : v = 1.83×10-6 m2/s)
II-66
dimana :
P = gaya gelombang pada tepi lantai dermaga, (N/m)
ρ = berat jenis air laut, (kg/m3)
g = percepatan gravitasi bumi, (m/s2)
h = kedalaman air laut, (m)
H = tinggi gelombang, (m)
2
k = bilangan gelombang
L
L = panjang gelombang, (m)
S = elevasi – HWS – t, (m)
t = tebal pelat dermaga, (m)
II-67
Tabel 2. 16 – Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa
(SNI 1726-2012)
Kategori
Jenis pemanfaatan risiko
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain:
- Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan
- Fasilitas sementara I
- Gudang penyimpanan
- Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko I,III,IV, termasuk,
tapi tidak dibatasi untuk:
- Perumahan
- Rumah toko dan rumah kantor
- Pasar
- Gedung perkantoran II
- Gedung apartemen / rumah susun
- Pusat perbelanjaan / mall
- Bangunan industri
- Fasilitas manufaktur
- Pabrik
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi
kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk :
- Bioskop
- Gedung pertemuan
- Stadion
- Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas penitipan anak
- Penjara
- Bangunan untuk orang jompo
Gedung dan non gedung, tidak termasuk ke dalam kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk
menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan
masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk: III
- Pusat pembangkit listrik biasa
- Fasilitas penanganan air
- Fasilitas penanganan limbah
- Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk, tetapi tidak
dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat
pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang
mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak di mana jumlah kandungan
bahannya melebihi nilai batas yang disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup
menimbulkan bahaya bagi
masyarakat jika terjadi kebocoran.
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting, termasuk,
tetapi tidak dibatasi untuk:
- Bangunan-bangunan monumental
- Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
- Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat
- Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garasi kendaraan darurat
- Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai, dan tempat perlindungan darurat
lainnya
IV
- Fasilitas kesigapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat
- Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat
- Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan bakar, menara
pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau
struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran ) yang disyaratkan untuk
beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain
yang masuk ke dalam kategori risiko IV.
II-68
2) Spektrum Respons Percepatan Desain (Sa)
Langkah-langkah dalam perhitungan spektrum respons percepatan desain
(Sa) adalah sebagai berikut :
Klasifikasi Situs
Penetapan kelas situs dilakukan melalui penyelidikan tanah di lapangan
dan pengujian di laboratorium dengan mengukur secara independen dua
dari tiga parameter tanah yang tercantum dalam Tabel 2.17. Kelas situs
yang diberlakukan adalah kelas situs yang paling buruk dari hasil analisis.
II-69
Gambar 2. 43 – Parameter percepatan batuan dasar pada periode pendek (SNI 1726-
2012)
Gambar 2. 44 – Parameter percepatan batuan dasar pada periode 1 detik (SNI 1726-
2012)
II-70
pendek (SMS) dan periode 1 detik (SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh
klasifikasi situs. Berdasarkan pasal 6.2 SNI 1726-2012 nilai SMS dan nilai
SM1 dihitung sebagai berikut :
SMS = Fa . SS (2.64)
SM1 = Fv . S1 (2.65)
Tabel 2. 18 – Koefisien situs, Fa (SNI 1726-2012)
Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada
Kelas situs perioda pendek, T = 0,2 detik, Ss
Ss ≤ 0.25 Ss = 0.5 Ss = 0.75 Ss = 1.0 Ss ≥ 1.25
SA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
SB 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
SC 1.2 1.2 1.1 1.0 1.0
SD 1.6 1.4 1.2 1.1 1.0
SE 2.5 1.7 1.2 0.9 0.9
SF SSb
II-71
- Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan To dan lebih kecil
dari atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa,
sama dengan SDS ;
- Untuk periode lebih besar dari Ts, spektrum respons percepatan
desain, Sa, diambil berdasarkan persamaan :
SD1
Sa (2.69)
T
Keterangan :
SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek;
SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik;
T = periode getar fundamental struktur.
S
To 0,2 D1 (2.70)
SDS
SD1
Ts (2.71)
SDS
Ta Ct
x
h (2.72)
n
dengan :
Periode getar struktur Ta tidak boleh melebihi hasil koefisien untuk batasan
pada periode yang dihitung (Cu) dari Tabel 2.21 berikut ini.
Tabel 2. 21 – Koefisien untuk batas atas pada periode getar (T) yang dihitung
(SNI 1726-2012)
Parameter Percepatan Respons Spektra Desain Koefisien
Pada Periode 1 Detik (SD1) Cu
≥ 0,4 1,4
0,3 1,4
0,2 1,5
0,15 1,6
≤ 0,15 1,7
II-73
Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan 2.74 tidak perlu melebihi Cs
yang dihitung dengan persamaan berikut :
S
Cs max D1
R (2.75)
T
Ie
Cs harus tidak kurang dari :
Cs = 0,044 SDS · Ie ≥ 0,01 (2.76)
dimana :
SD1 = parameter percepatan spektrum respons desain dalam periode sebesar
1,0 detik
R = faktor modifikasi respons
Ie = faktor keutamaan gempa
T = periode getar pendekatan (Ta)
Tabel 2. 22 – Faktor R, Cd dan Ωo untuk sistem penahan gaya gempa (SNI 1726-
2012)
Faktor Faktor Batasan sistem struktur dan
Koefisien
kuat- pembesa
modifikasi batasan tinggi struktur, hn (m) c
Sistem penahan gaya seismik lebih ran
respons, Kategori desain seismik
sistem, defleksi,
Ra g b
Ω0 Cd B C Dd Ed Fe
C. Sistem rangka pemikul momen
1. Rangka baja pemikul momen khusus 8 3 5.5 TB TB TB TB TB
2. Rangka batang baja pemikul momen khusus 7 3 5.5 TB TB 48 30 TI
h
3. Rangka baja pemikul momen menengah 4.5 3 4 TB TB 10 h,l
TI TIl
h h
4. Rangka baja pemikul momen biasa 3.5 3 3 TB TB TI TI TIl
5. Rangka beton bertulang pemikul momen
8 3 5.5 TB TB TB TB TB
khusus
6. Rangka beton bertulang pemikul momen
5 3 4.5 TB TB TI TI TI
menengah
7. Rangka beton bertulang pemikul momen biasa 3 3 2.5 TB TI TI TI TI
8. Rangka baja dan beton komposit pemikul
8 3 5.5 TB TB TB TB TB
momen khusus
9. Rangka baja dan beton komposit pemikul
5 3 4.5 TB TB TI TI TI
momen menengah
10. Rangka baja dan beton komposit terkekang
6 3 5.5 48 48 30 TI TI
parsial pemikul momen
11. Rangka baja dan beton komposit pemikul
3 3 2.5 TB TI TI TI TI
momen biasa
12. Rangka baja canai dingin pemikul momen
3.5 3 3.5 10 10 10 10 10
khusus dengan pembautan
II-74
2.7.3 Beban Kapal
Dalam menentukan jenis dan mendesain struktur dermaga, diperlukan analisis
terhadap gaya tumbukan kapal (berthing), gaya tambat kapal (mooring), dan gaya
reaksi fender yang digunakan. Analisis ini dilakukan terhadap kapal terbesar yang akan
dilayani dermaga.
2.7.3.1 Beban Tumbukan (Berthing)
Beban tumbukan (berthing) adalah beban yang diterima dermaga saat kapal
sedang bersandar ke dermaga. Beban tumbukan maksimum yang diterima
dermaga adalah pada saat kapal merapat ke dermaga dan membentur dermaga
pada sudut 10° terhadap sisi depan dermaga.
Beban tumbukan ini tidak diterima langsung oleh dermaga, tetapi
energinya diserap terlebih dahulu oleh fender pada dermaga. Beban tumbukan
kapal yang harus ditahan oleh struktur dermaga bergantung pada energi
tumbukan yang diserap oleh sistem fender yang dipasang pada dermaga. Beban
tumbukan bekerja secara horizontal dan dapat dihitung berdasarkan energi
tumbukan pada fender yang digunakan. Besar energi tersebut dihitung dengan
persamaan sebagai berikut :
W V 2
E Cm Ce Cs Cc (2.77)
2g
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
E = energi benturan, (ton.m)
V = komponen tegak lurus sisi dermaga dari kecepatan kapal saat membentur
dermaga, (m/s)
W = displacement (berat) kapal, (ton)
g = percepatan gravitasi, (m/s2)
Cm = koefisien massa
Ce = koefisien eksentrisitas
Cs = koefisien kekerasan (diambil 1)
Cc = koefisien bentuk dari tambatan (diambil 1)
II-75
Gambar 2. 46 – Kondisi berthing kapal
Koefisien massa (Cm) tergantung pada gerakan air di sekeliling kapal yang
dapat dihitung dengan persamaan berikut :
d
Cm 1 (2.78)
2Cb B
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
Cb = koefisien blok kapal
d = draft kapal, (m)
B = lebar kapal, (m)
Lpp = panjang garis air, (m)
γo = berat jenis air laut, (ton/m³)
II-76
Koefisien eksentrisitas (Ce) adalah perbandingan antara energi sisa dan
energi kinetik kapal yang merapat, nilainya dapat dihitung dengan persamaan :
1
Ce (2.79)
1 (l / r) 2
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
l = jarak sepanjang permukaan air dari pusat berat kapal sampai titik sandar
kapal, (m)
Dermaga : l = 1/4 Loa, (m)
Dolphin : l = 1/6 Loa, (m)
r = jari-jari putaran di sekeliling pusat berat kapal pada permukaan air, (m)
II-77
2.7.3.2 Beban Tambat (Mooring)
Mooring merupakan sistem penambatan kapal dengan tali atau kabel yang
diikatkan pada bollard. Hal ini bertujuan untuk mencegah gerakan yang
berlebihan pada kapal karena dapat mengganggu pada aktivitas bongkar muat
maupun lalu-lintas muatan kapal yang lainnya.
Pada prinsipnya beban tambat (mooring) merupakan gaya-gaya horizontal
yang disebabkan oleh angin dan arus. Sistem mooring ini dianalisis agar mampu
mengatasi gaya-gaya akibat kombinasi angin dan arus.
1) Gaya Akibat Angin
Angin yang berembus ke badan kapal yang ditambatkan akan
menyebabkan gerakan kapal yang bisa menimbulkan gaya terhadap dermaga.
Baik itu berupa gaya tekan pada dermaga ataupun gaya tarik pada alat
penambat. Besarnya gaya akibat angin tergantung pada arah embusan angin
dan dapat dihitung dengan persamaan yang berikut :
Gaya longitudinal jika angin datang dari arah haluan
Rw 0,42 Qa Aw (2.80)
(Triatmodjo, 2009)
Gaya longitudinal jika angin datang dari arah buritan
Rw 0,5Qa Aw (2.81)
(Triatmodjo, 2009)
Gaya lateral jika angin datang dari arah lebar
Rw 1,1 Qa Aw (2.82)
(Triatmodjo, 2009)
dengan :
Qa 0,063 V 2 (2.83)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
Rw = gaya akibat angin, (kg)
Qa = tekanan angin, (kg/m2)
V = kecepatan angin, (m/s)
Aw = proyeksi bidang yang tertiup angin, (m2)
II-78
2) Gaya Akibat Arus
Arus yang bekerja pada bagian kapal yang terendam air juga akan
menyebabkan gerakan kapal yang bisa menimbulkan gaya terhadap dermaga.
Besarnya gaya yang ditimbulkan oleh arus dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
2
Ra Cc W Ac Vc (2.84)
2g
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
Ra = gaya akibat arus, (kg)
Ac = luas tampang kapal yang terendam air, (m2)
γw = rapat massa air laut, (1025 kg/m3)
Vc = kecepatan arus, (m/s)
Cc = koefisien tekanan arus
II-79
Kondisi sandar adalah ketika kapal bertumbukan dengan dermaga. Kondisi tambat dan
labuh adalah saat kapal terikat ke dermaga. Kondisi gempa adalah saat terjadi gempa
dengan asumsi tidak ada kapal yang sedang bersandar. Kombinasi-kombinasi
pembebanan tersebut adalah sebagai berikut :
1) 1.4 DL
2) 1.2 DL + 1.6 LL
3) 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 B
4) 1.2 DL + 1.6 LL ± 1.2 M
5) DL + 1.0 LL ± 1.0 (Ex/Ey)
6) 0.9 DL ± 1.0 W
7) 0.9 DL + 1.0 (Ex/Ey)
8) 0.9 DL + 1.0 U
dimana :
DL = Dead Load (Beban mati), (kN)
LL = Live Load (Beban hidup), (kN)
B = Berthing Load (Beban sandar), (kN)
M = Mooring Load (Beban tambat), (kN)
E = Seismic Load (Beban gempa), (kN)
W = Wave Load (Beban gelombang), (kN)
U = Beban Uplift, (kN)
Kombinasi beban di atas mengadopsi pada SNI 03-2847-2013, untuk
pembebanan gelombang arus merupakan gaya horizontal yang diperhitungkan
langsung dalam perencanaan struktur bawah.
II-80
Ada beberapa tipe fender yang umum dipakai mulai dari fender kayu, fender
karet, dan fender gravitasi. Namun fender karet adalah tipe yang paling banyak
digunakan sebagai pelindung pada dermaga, karena paling efektif menyerap energi,
mudah dipasang, murah dan lebih menguntungkan secara struktural.
Dalam perencanaan sistem fender pada dermaga ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu :
1) Fender harus memiliki kemampuan penyerapan energi kinetik lebih besar
dibanding energi kinetik yang terjadi akibat tumbukan kapal ke fender.
2) Tekanan yang timbul dari sistem fender tidak boleh melebihi kemampuan menahan
tekanan dari lambung kapal (badan kapal).
3) Jenis dan penempatan fender harus dapat melindungi dan menyerap energi
benturan dari semua jenis dan ukuran kapal untuk berbagai elevasi muka air laut.
4) Jarak horizontal antara fender harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat
menghindari kontak langsung antara kapal dan dinding dermaga saat bergerak
merapat ke dermaga.
Jarak maksimum antar fender dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
L 2 r 2 (r h)2 (2.85)
(Triatmodjo, 2009)
II-81
dimana :
L = jarak maksimum antara fender, (m)
r = jari-jari kelengkungan sisi haluan kapal, (m)
h = tinggi fender, (m)
Apabila data jari-jari kelengkungan sisi haluan kapal tidak diketahui, OCDI
(1991) memberikan jarak antara fender sebagai fungsi kedalaman air seperti diberikan
dalam Tabel 2.24 berikut.
Tabel 2. 24 – Jarak antar fender (OCDI, 1991)
Kedalaman Air (m) Jarak Antara Fender (m)
4–6 4–7
6–8 7 – 10
8 – 10 10 – 15
II-83
Gambar 2. 50 – Run-up gelombang (CERC,1984)
II-84
2.9.2 Stabilitas Batu Lapis Pelindung
Di dalam perencanaan pemecah gelombang sisi miring, ditentukan berat butir
batu pelindung, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Hudson.
H3
W KD (Sr b 1) 3cot (2.87)
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
b
Sr =
s
W = berat butir batu pelindung, (ton)
γb = berat jenis batu, (ton/m3)
γs = berat jenis air laut, (ton/m3)
H = tinggi gelombang rencana, (m)
θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang, (°)
KD = koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu pelindung (batu alam atau
buatan), kekasaran permukaan batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antara butir,
keadaan pecahnya gelombang. Nilai KD untuk berbagai bentuk batu pelindung
diberikan dalam Tabel 2.27.
II-85
8,3 9,0 1,5
Tribar 2 Acak 9,0 10,0 7,8 8,5 2,0
6,0 6,5 4,0
8,0 16,0 2,0
Dolos 2 Acak 15,8 31,8
7,0 14,0 3,0
Kubus modifikasi 2 Acak 6,5 7,5 - 5,0 *2
Hexapod 2 Acak 8,0 9,5 5,0 7,0 *2
Tribar 1 Seragam 12,0 15,0 7,5 9,5 *2
Catatan:
n : Jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung
*1 : penggunaan n=l tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah
*2 : sampai ada ketentuan lebih lanjut tentang nilai K D, penggunaan KD dibatasi pada kemiringan
1:1,5 sampai 1:3
*3 : batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus permukaan bangunan
Tebal lapis pelindung dan jumlah butir batu tiap satu luasan diberikan oleh rumus
berikut ini.
1/ 3
W
t n k (2.88)
b
(Triatmodjo, 2009)
P b
2/3
N A n k 1 (2.89)
100 W
(Triatmodjo, 2009)
dimana :
t = tebal lapis pelindung (m)
n = jumlah lapis batu dalam lapis pelindung
kΔ = koefisien yang diberikan pada Tabel 2.28
A = luas permukaan (m2)
P = porositas rerata dari lapis pelindung (%) yang diberikan dalam Tabel 2.28
N = jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan
γb = berat jenis batu (ton/m3)
II-86
Tabel 2. 28 – Koefisien lapis
Koef. Lapis Porositas, P
Batu Pelindung n Penempatan
(KΔ) (%)
Batu alam (halus) 2 random (acak) 1,02 38
Batu alam (kasar) 2 random (acak) 1,15 37
Batu alam (kasar) >3 random (acak) 1,10 40
Kubus 2 random (acak) 1,10 47
Tetrapod 2 random (acak) 1,04 50
Quadripod 2 random (acak) 0,95 49
Hexapod 2 random (acak) 1,15 47
Tribard 2 random (acak) 1,02 54
Dolos 2 random (acak) 1,00 63
Tribar 1 seragam 1,13 47
Batu alam random (acak) 37
Nilai faktor faktor daya dukung tanah (Nc , Nq , Nγ) bergantung pada sudut geser
tanah ditunjukkan pada Tabel 2.29 berikut.
II-87
Tabel 2. 29 - Faktor Daya Dukung (Das, 2014)
II-88
Tebal selimut (p) yang disyaratkan untuk tulangan tidak boleh kurang dari
berikut ini :
Tabel 2. 30 – Tebal selimut beton minimum (SNI 2847-2013)
Selimut
Beton, mm
(a) Beton yang dicor di atas dan selalu berhubungan dengan tanah 75
(b) Beton yang berhubungan dengan tanah atau cuaca :
Batang tulangan D-19 hingga D-57 50
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih kecil 40
(c) Beton yang tidak berhubungan dengan cuaca atau berhubungan dengan
tanah :
Slab, dinding, balok usuk :
Batang tulangan D-44 dan D-57 40
Batang tulangan D-36 dan yang lebih kecil 20
Balok, kolom:
Tulangan utama, pengikat, sengkang, spiral 40
Komponen struktur cangkang, pelat lipat:
Batang tulangan D-19 dan yang lebih besar 20
Batang tulangan D-16, kawat M-16 ulir atau polos, dan yang lebih 13
kecil
II-89
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 7.6.5, pada dinding dan slab lentur utama
harus berspasi tidak lebih jauh dari tiga kali tebal dinding atau slab, ataupun tidak
lebih jauh dari 450 mm.
6) Menghitung rasio tulangan (ρ) terpasang
As
(2.100)
b d
Rasio tulangan terpasang harus memenuhi syarat berikut :
ρmin ≤ ρ ≤ ρmax
dimana :
min 1.4 (2.101)
fy
f 'c
min (2.102)
4 fy
f 'c 0,003
max 0,85 (2.103)
1
fy
t 0,003
Untuk beton dengan f’c di atas 28 MPa, 1 0,85 f 'c 28 0,05 (2.104)
7
(SNI 2847-2013)
dengan :
ϕ = faktor reduksi kekuatan
εt = regangan tarik neto baja tulangan tarik
K = faktor panjang efektif komponen struktur tekan, (MPa)
Mu = momen perlu, (N.mm)
b = lebar penampang plat, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
f'c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
β1 = faktor pembentuk blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen
D = diameter tulangan, (mm)
II-90
2.10.2 Balok Dermaga
Balok merupakan elemen struktur yang dominan dalam memikul gaya dalam
berupa momen lentur dan geser. Struktur balok berfungsi menyalurkan beban dari pelat
lantai ke kolom (tiang pancang).
Dalam perencanaan balok, perhitungan terhadap pengaruh dari momen lentur
dan gaya geser dilakukan secara terpisah. Perencanaan tulangan dibuat dalam dua
tahap, yaitu :
Tulangan utama (longitudinal) untuk menahan momen lentur.
Tulangan geser (sengkang) untuk menahan gaya lintang.
2.10.2.1 Dimensi Balok
Pada struktur yang menggunakan poer sebagai penyambung antara tiang
pancang dan balok, maka penentuan dimensi balok hanya mempertimbangkan
faktor kelangsingan bahan dan kebutuhan terhadap momen lentur dan gaya
lintang pada balok.
Tabel 2. 31 – Tebal minimum balok non-prategang atau pelat satu arah bila lendutan
tidak dihitung (SNI 2847-2013)
II-91
2.10.2.3 Tulangan Utama
II-92
As
N (2.113)
0,25 D 2
As
(2.115)
bd
Rasio tulangan terpasang harus memenuhi syarat berikut :
ρmin ≤ ρ ≤ ρmax
min 1.4
fy (2.116)
f 'c
min (2.117)
4 fy
f 'c 0,003
max 0,85 (2.118)
1
fy
t 0,003
Untuk beton dengan f’c di atas 28 MPa, 1 0,85 f 'c 28 0,05 (2.119)
7
(SNI 2847-2013)
4) Menghitung momen nominal (Mn) penampang balok :
Ast fy
a (2.120)
0.85 f 'c b
Mu
Mn (2.121)
a Mu
Cc d (2.122)
2
a Mu
0,85 f ' a b d (2.123)
c
2
dimana :
d’ = jarak antara titik berat tulangan tarik dan tepi serat beton tarik, (mm)
h = tinggi penampang balok, (mm)
p = tebal selimut beton, (mm)
Ø = diameter tulangan sengkang, (mm)
D = diameter tulangan utama, (mm)
ϕ = faktor reduksi kekuatan
II-93
εt = regangan tarik neto baja tulangan tarik
K = faktor panjang efektif komponen struktur tekan, (MPa)
Mu = momen perlu, (N.mm)
b = lebar penampang balok, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
β1 = faktor pembentuk blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen
M pr.1 M pr.2
Ve (2.125)
l
dimana :
Ast = luas tulangan terpasang, (mm2)
fy = tegangan leleh baja tulangan, (MPa)
d = tinggi efektif penampang balok, (mm)
a = tinggi blok tegangan beton tekan persegi ekuivalen, (mm)
l = panjang bentang balok, (mm)
Tulangan geser direncanakan untuk per 1 meter panjang balok sehingga
nilai S pada perhitungan adalah 1 m = 1000 mm. Beberapa rumus yang digunakan
sebagai dasar untuk perhitungan tulangan geser balok yang tercantum dalam SNI
2847-2013, yaitu sebagai berikut :
II-94
Vn Vu (2.126)
Vn Vc Vs (2.127)
(SNI 2847-2013)
Besarnya gaya geser yang ditahan oleh beton (Vc) adalah sebagai berikut :
Vc 0,17 f 'c b d (2.128)
(SNI 2847-2013)
Sehingga gaya geser yang ditahan oleh sengkang (Vs) adalah sebesar :
Apabila Vs lebih besar dari 0,66 f 'c b d , maka ukuran penampang balok
f 'c b S
Avmin 0,062 (2.131)
fyt
Avmin 0,35 b S / fyt (2.132)
Av Vs S (2.133)
fy t d
u
(SNI 2847-2013)
Spasi antar tulangan geser (s) dapat dihitung dengan persamaan berikut :
n 1/ 4 Ø2 S
s (2.134)
Av
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 11.4.5 spasi untuk tulangan geser harus
memenuhi syarat berikut ini :
Jika Vs 0,33 f 'c b d (2.135)
II-94
λ = faktor modifikasi
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
fyt = tegangan leleh baja tulangan transversal, (MPa)
b = lebar penampang balok, (mm)
ϕ = faktor reduksi kekuatan
Ø = diameter tulangan geser, (mm)
Untuk aksi dua arah, besarnya gaya geser yang ditahan oleh beton (Vc)
harus dipilih yang terkecil dari persamaan berikut.
2
Vc 0,17 1 f ' bo d (2.137)
c
s
Vc 0,083 2 f 'c bo d (2.138)
bo
II-95
Vc 0,33 f 'c bo d (2.139)
Namun tidak boleh diambil lebih besar dari 0,17 f 'c bo d (2.140)
(SNI 2847-2013)
Berdasarkan SNI 2847-2013 pasal 11.11.1.2, perimeter keliling
penampang kritis (bo) tidak perlu lebih dekat dari d/2 tepi tiang pancang.
Sehingga diameter penampang kritis = Dp + d.
dimana :
β = rasio sisi panjang pile cap terhadap sisi pendek pile cap
λ = faktor modifikasi
f’c = tegangan tekan beton yang disyaratkan pada umur 28 hari, (MPa)
bo = keliling penampang kritis, (mm)
d = tinggi efektif penampang, (mm)
αs = konstanta, kolom interior (40), kolom tepi (30), kolom sudut (20)
ϕ = faktor reduksi kekuatan
Vn = kuat geser nominal, (N)
Vu = gaya geser terfaktor pada penampang, (N)
II-96
2.10.4 Fondasi
Dalam suatu perencanaan bangunan sipil baik itu gedung, jembatan, bendungan,
maupun dermaga harus mempunyai fondasi yang mendukungnya. Fungsi dari fondasi
adalah untuk menahan seluruh beban dari bangunan dan menyalurkannya ke lapisan
tanah keras. Fondasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu fondasi dangkal (shallow
foundation) dan fondasi dalam (deep foundation). Dalam perencanaan dermaga ini
digunakan fondasi dalam yakni fondasi tiang pancang.
Pemodelan struktur pada fondasi tiang pancang dilakukan dengan metode jepit
ekuivalen. Dimana permodelan tanah secara eksplisit tidak dilakukan dan tiang
pancang dijepit pada kedalaman tertentu dimana menghasilkan kekakuan dan
deformasi dermaga yang sesuai.
II-97
Nilai Qp tidak boleh melebihi dari :
Qp AP 0,5 pa N q tan ' (2.144)
(Das, 2014)
dimana :
q' = tegangan efektif vertikal pada ujung tiang, (kN/m2)
Nq* = faktor Nq* (Tabel 2.32)
pa = tekanan atmosfer (100 kN/m2)
ϕ' = sudut geser lapisan tanah, (°)
Tabel 2. 32 – Nilai interpolasi dari Nq* berdasarkan teori Mayerhof (Das, 2014)
Sudut geser tanah, ϕ (°) Nq*
30 56.7
31 68.2
32 81.0
33 96.0
34 115.0
35 143.0
36 168.0
37 194.0
38 231.0
39 276.0
40 346.0
41 420.0
42 525.0
43 650.0
44 780.0
45 930.0
Qp Ap qp Ap '0 N
(2. 145)
(Das, 2014)
dimana :
Nσ* = faktor kapasitas dukung (Tabel 2.33)
'0 = rata-rata tegangan efektif normal tanah pada ujung tiang, (kN/m2)
1 2K0
' q' (2. 146)
0
3
K0 = koefisien tekanan tanah dalam keadaan diam 1 sin ' (2.147)
II-98
I rr Ir (2. 148)
1 I r
(Das, 2014)
dimana :
Irr indeks kekakuan terkurangi dari tanah
Ir indeks kekakuan
Es
(2. 149)
2(1 s ) q' tan '
'25
μs = rasio Poisson tanah 0.1 0.3 (2. 150)
20
Δ = rata-rata tegangan volumetrik pada zona plastis di bawah ujung tiang
'25
0.005 1 (2. 151)
20
Es = modulus elastisitas tanah
dengan :
Es
m (2. 152)
pa
II-99
Tabel 2. 33 – Faktor kapasitas dukung Nσ* berdasarkan teori Expansion of Cavities
II-100
Gambar 2. 54 – Grafik hubungan nilai K dengan L/D (Das, 2014)
Qall Qu (2.154)
FS
(Das, 2014)
dimana :
Qu = kapasitas dukung maksimum, (kN)
Qall = kapasitas dukung ijin tiang, (kN)
FS = faktor keamanan (2,5 – 4)
II-101
Beban
Qg Mg Defleksi Momen Gaya Geser
Gambar 2. 55 – Karakteristik defleksi, momen, dan gaya geser pada elastic pile
Ep I p
Tp 5 (2.155)
nh
(Das, 2014)
dimana :
Tp = karakteristik panjang sistem tiang-tanah, (m)
Ep = modulus elastisitas tiang, (kN/m2)
Ip = momen inersia tiang, (m4)
nh = constant of modulus of horizontal subgrade reaction, (kN/m3)
II-102
Apabila L ≥ 5Tp, tiang termasuk dalam “long pile”. Jika L≤ 2Tp, tiang
termasuk dalam “rigid pile”.
Gambar 2.56 menunjukkan hasil analisis Brom untuk “long pile”. Untuk
menghitung momen leleh digunakan persamaan berikut :
My Sfy (2.156)
(Das, 2014)
dimana :
My = momen leleh tiang, (kN.m)
S = modulus penampang tiang, (m3)
fy = tegangan leleh tiang, (kN/m2)
Gambar 2. 56 – Grafik penyelesaian Brom untuk tahanan lateral pada “long pile”
pada tanah pasir (Das, 2014)
Defleksi lateral kepala tiang pancang pada saat menerima beban dapat
ditentukan dari Gambar 2.57. Nilai η dinyatakan pada persamaan berikut :
nh
5 (2.157)
Ep I p
(Das, 2014)
II-103
Gambar 2. 57 – Grafik penyelesaian Brom untuk memperkirakan defleksi kepala
tiang pancang pada tanah pasir (Das, 2014)
kh Dp
4 (2.158)
4Ep I p
z = 1/β (2.159)
(OCDI, 2009)
dimana :
kh = koefisien reaksi tanah dasar, (kg/cm2)
Dp = diameter tiang, (cm)
Ep = modulus elastisitas tiang, (kg/cm2)
Ip = momen inersia tiang, (cm4)
z = kedalaman fixity point, (cm)
II-104
2.11 Pemodelan Arus dan Deformasi Gelombang dengan Mike 21
Kondisi hidro-oseanografi sangat penting di dalam menentukan tata letak suatu
pelabuhan. Perairan pelabuhan harus tenang terhadap gangguan gelombang dan arus
laut sehingga kapal dapat melakukan berbagai kegiatan seperti bongkar muat barang,
menaik turunkan penumpang dengan lancar dan aman (Triatmodjo, 2010).
Salah satu alternatif untuk mengkaji pola arus laut adalah dengan menggunakan
pendekatan model hidrodinamika memanfaatkan teknologi komputer, DHI Mike 21
merupakan salah satu perangkat lunak pemodelan hidrodinamika yang paling stabil
dan lengkap. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh DHI (Danish Hydrodynamic
Institute). Salah satu modul yang disediakan oleh DHI Mike 21 adalah modul Spectral
Wave (SW) yang merupakan modul pemodelan angin-gelombang (wind-wave).
Sedangkan untuk menyimulasikan pergerakan arus 2-D horizontal digunakan model
hidrodinamika MIKE 21 Flow Model (FM). Pemodelan arus ini dilakukan dengan dua
skenario, yaitu skenario pertama sebelum pengembangan pelabuhan dan skenario dua
sesudah pengembangan pelabuhan.
Data yang diperlukan untuk pemodelan ini meliputi data sekunder yang berasal
dari instansi terkait berupa data angin (BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Frans
Kaisiepo Biak, Papua), peta bathimetri Papua dengan skala 1:200000 (Dishidros TNI-
AL, 2000) dan hasil analisa pasang surut.
Analisa harmonik pasang surut diolah dengan menggunakan metode Admiralty.
Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mendapatkan konstanta harmonik pasang
surut yang meliputi Amplitudo (A), M2, S2, K1, O1, N2, K2, P1, M4, MS4. Setelah hasil
akhir diperoleh untuk setiap komponen pasang surut, maka ditentukan MSL, HHWL,
LLWL dan bilangan formzahl (Ongkosongo dan Suyarso, 1989).
II-105
Output yang dihasilkan juga dapat ditampilkan sesuai dengan kebutuhan baik
berupa model struktur, grafik, maupun spreadsheet. Analisis SAP2000 menggunakan
finite element method baik untuk static analysis maupun untuk dynamic analysis
(nonlinier analysis). Semuanya terintegrasi dalam satu paket yang dilengkapi dengan
beberapa database untuk keperluan analisis dan desain seperti database tampang
struktur untuk berbagai bentuk mulai dari yang simetris hingga asimetris.
Program SAP2000 digunakan untuk perhitungan portal pada perencanaan
dermaga kapal perintis pulau Kurudu. Portal akan direncanakan menerima berbagai
kombinasi pembebanan yang akan berpengaruh pada dermaga seperti beban kapal,
beban gelombang, dan beban gempa.
II-106