Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pelabuhan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2009 tentang
kepelabuhanan, pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat
barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
perpindahan intra moda dan antar moda transportasi. Wilayah perairan terdiri dari alur pelayaran,
kolam pelabuhan dan breakwater. Sedangkan wilayah daratan terdiri tempat kapal bersandar atau
bertambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar
muat barang.
Salah satu fasilitas yang ada di pelabuhan adalah dermaga atau tempat untuk kapal berlabuh
atau bertambat untuk melakukan bongkar muat barang dan/atau penumpang. Menurut tipe
konstruksinya, dermaga dibedakan menjadi dua tipe, yaitu dermaga konstruksi dinding tertutup (wharf
atau quay wall) dan dermaga konstruksi dinding terbuka (jetty atau open pier). Pemilihan tipe dermaga
sangat dipengaruhi oleh kebutuhan yang akan dilayani, ukuran kapal, arah gelombang dan angin, kondisi
topografi dan tanah dasar laut, dan tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang paling
ekonomis. Perencanaan dermaga pada tugas akhir ini adalah dermaga tipe jetty yang berada di wilayah
terminal khusus PT. Badak NGL. Terminal khusus adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas wilayah
perairan dan wilayah daratan yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan
Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan
sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

2.2 Data dan Analisis


2.2.1 Peta Batimetri
Peta batimetri merupakan peta yang menunjukkan kontur kedalaman dasar laut dari
posisi 0,00 mLWS. Data dari peta batimetri digunakan untuk mengetahui kedalaman dasar laut
atau dasar sungai sehingga perencanaan struktur dermaga dapat dilakukan secara tepat agar
kapal aman untuk bermanuver. Hasil dari pemetaan batimetri ini adalah susunan garis-garis
permukaan tanah.
Pembuatan peta batimetri ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan data kedalaman
dasar laut dengan metode penginderaan dari permukaan bumi, yang akan diolah untuk
menghasilkan relief dasar perairan, sehingga dapat digambarkan susunan dari garis-garis
kontur. Peralatan utama yang digunakan dalam pembuatan peta topografi adalah alat ukur jarak
yaitu teodolit dan alat ukur kedalaman echosounder (sonar). Alat sonar dipasang di sisi dari
suatu kapal kemudian gelombang dipancarkan. Waktu tempuh dari gelombang yang
dipancarkan dari permukaan, kemudian dipantulkan oleh dasar laut kemudian diterima kembali
dipermukaan digunakan untuk mengalkulasi kedalaman dari laut yang diukur.
Dalam perencanaan dermaga, peta batimetri ini berfungsi untuk:
Menentukan lokasi perencanaan dermaga dan fasilitas terminal lainnya secara tepat.
Merencanakan kedalaman perairan pelabuhan dan mengetahui daerah yang
berbahaya untuk dilalui kapal sehingga aman untuk dilalui kapal.
2.2.2 Arus
Pada umumnya arus yang terjadi di sepanjang pantai merupakan arus yang terjadi akibat
perbedaan muka air pasang surut antara satu lokasi dengan lokasi yang lainnya. Selain itu,
pergerakan arus laut juga dapat dipengaruhi oleh adanya perbedaan tekanan air pada lokasi satu
5

dengan lokasi lainya, perbedaan muka tanah dibawah air, perbedaan kerapatan air, dan arus
permukaan.
Dalam perencanaan dermaga, data arus ini digunakan untuk mengetahui tekanan arus
yang terjadi dan untuk menghindari pengaruh tekanan arus arah tegak lurus kapal sehingga
kapal dapat bermanuver secara cepat dan aman. Selain itu data arus juga di gunakan untuk
mengevaluasi stabilitas garis atau morfologi pantai (erosi atau sedimentasi). Sedangkan pada
dermaga yang berada di sungai, data arus digunakan untuk menghitung debit air, intrusi laut
dan juga sedimentasi.
Pengolahan data arus disusun berdasarkan kegunaan datanya. Pada umumnya yang
dibutuhkan adalah mengetahui frekuensi arah dan kecepatan arus terhadap pola aliran pasang
surut. Selain itu juga dilakukan analisa untuk mengetahui kecepatan dan arah arus maksimum
yang terjadi. Analisa data ini bertujuan untuk mengetahui tekanan arus serta kelayakannya
untuk kapal berlabuh.
2.2.3 Pasang Surut
Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air
laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari
benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan bulan terhadap bumi. Pengaruh gaya
gravitasi benda angkasa lainnya sangat kecil karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih
kecil daripada matahari dan bulan. Besarnya gaya gravitasi berbanding lurus dengan dengan
massa benda tetapi berbanding terbalik terhadap jarak kedua benda. Meskipun massa bulan
lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik
matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak
matahari ke bumi. Selain faktor astronomi tersebut, faktor non astronomi yang memengaruhi
pasang surut terutama di perairan semi tertutup seperti teluk adalah bentuk garis pantai dan
topografi dasar perairan. Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi.
Tinggi pasang surut diukur dengan menghitung jarak vertikal antara elevasi air tertinggi
(pasang) dan elevasi air terendah (surut) yang berurutan. Sedangkan periode pasang surut
dihitung dari lama waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rata - rata ke posisi
yang sama berikutnya. Periode pada muka air naik disebut pasang, sedang pada saat air turun
disebut surut. Periode pasang surut bisa 12 jam 25 menit atau 24 jam 50 menit, yang tergantung
pada tipe pasang surut. Dalam perencanaan pelabuhan, data pasang surut digunakan untuk
mengatahui elevasi tertinggi dan terendah. Umumnya nilai elevasi tertinggi atau elevasi muka
air pasang digunakan untuk menentukan tinggi dermaga atau breakwater. Sedangkan nilai
elevasi terendah atau muka air surut digunakan untuk menentukan alur kedalaman dalam
pelayaran.
Pada suatu daerah dapat terjadi sekali atau dua kali pasang surut dalam satu hari dengan
tipe pasang surut yang berbeda di tiap daerah. Bentuk dari pasang surut ini secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
Pasang surut harian tunggal (diurnal), bila terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dalam sehari sehingga dalam satu periode pasang surut berlangsung sekitar 24 jam
50 menit.
Pasang surut harian ganda (semi diurnal), bila terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dalam sehari sehingga dalam satu periode pasang surut berlangsung sekitar 12
jam 24 menit.
Pasang surut harian campuran (mixed), pada tipe ini terdapat dua kecenderungan
pasang surut, yaitu pasang surut yang lebih dominan pada tipe tunggal dan pasang
surut yang lebih dominan pada tipe ganda

Diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan data pasang surut karena elevasi
muka air laut selalu berubah ubah. Penetapan elevasi ini digunakan untuk pedoman dalam
perencanaan suatu pelabuhan. Elevasi penting yang perlu diketahui sebagai hasil analisis data
pasang surut yaitu:
LWS (Low water Spring) adalah hasil perhitungan elevasi muka air rata-rata terendah
yang dicapai pada saat air surut.
MSL (Mean Sea Level) adalah elevasi rata-rata muka air pada kedudukan
pertengahan antara muka air terendah dan tertinggi. Elevasi ini digunakan sebagai
referensi untuk elevasi di daratan.
HWS (High Water Spring) adalah elevasi rata-rata muka air tertinggi yang dicapai
pada saat air pasang.
2.2.4 Angin
Angin adalah sirkulasi udara yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi.
Gerakan udara ini terjadi karena perbedaan suhu dan tekanan udara. Saat udara menerima
panas, rapat massanya berkurang sehingga menyebabkan naiknya udara tersebut yang
kemudian digantikan oleh udara yang lebih dingin di sekitarnya lalu terbentuklah angin. Angin
merupakan unsur dominan yang membentuk gelombang. Angin dapat menyebabkan
permukaan air laut yang tenang mengalami gangguan sehingga menimbulkan riak gelombang
kecil. Komponen data angin mencakup distribusi arah dan kecepatan angin.
Data angin yang digunakan adalah minimal data angin lima tahun untuk dapat
mempelajari pola yang terjadi yang disajikan dalam bentuk tabel. Data dapat diperoleh dari
stasiun meteorologi terdekat yang berada di bandar udara, bila diperlukan pengukuran langsung
digunakan peralatan Anemometer. Data yang diperoleh biasanya sudah terklarifikasikan
sehingga pengolahan data lebih mudah dan data dibagi berdasarkan distribusi kecepatan dan
arah angin serta prosentasenya atau lebih dikenal dengan diagram mawar angin (wind rose).
Fungsi dari data angin tersebut diantaranya sebagai:
Analisis perhitungan gelombang.
Informasi distribusi kecepatan dan arah angin yang terjadi di lokasi perencanaan
pelabuhan.
Perencanaan beban horizontal pada kapal.
2.2.5 Gelombang
Gelombang di laut bisa dibangkitkan oleh angin (gelombang angin), gaya tarik terhadap
matahri dan bulan (pasang surut), letusan gunung berapi atau gempa di laut (tsunami), kapal
yang bergerak dan sebagainya. Diantara pembangkit gelombang tersebut yang paling penting
dalam perencanaan pelabuhan adalah gelombang akibat angin dan pasang surut. Selain
gelombang menghasilkan energi yang dapat mengenai bangunan pelabuhan, gelombang juga
bisa menimbulkan arus dan transpose sedimen di daerah pantai. Layout pelabuhan harus
direncanakan sedemikian rupa sehingga sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan di
wilayah pelabuhan dapat dihindari.
Gelombang merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan pelabuhan. Data
gelombang ini dibutuhkan untuk mengetahui tinggi gelombang di wilayah perairan pelabuhan,
sehingga dapat diputuskan perlu atau tidaknya ada konstruksi breakwater atau bangunan
pelindung pantai di daerah tersebut. Tinggi gelombang kritis untuk bongkar muat ditentukan
berdasarkan jenis kapal, ukuran dan kondisi bongkar muat, yang dapat diberikan dalam Tabel
2.1.

Tabel 2.1 Tinggi gelombang izin di pelabuhan


Ukuran kapal
Tinggi Hs untuk B/m
Kapal kecil (<500 GRT)
0,3 m
Kapal sedang (500 - 500.000 GRT)
0,5 m
Kapal besar (>500.000 GRT)
0,7 - 1,5 m
(sumber: Technical Standards for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002)
Salah satu penyebab terjadinya gelombang adalah karena angin yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Berdasarkan kedalaman relatif, yaitu perbandingan antara kedalaman air dan
panjang gelombang (d/L), gelombang dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu
gelombang di lauut dangkal, gelombang di laut transisi dan gelombang di laut dalam. Perbedaan
dari masing-masing gelombang dijelaskan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Parameter gelombang di laut dalam, transisi dan dangkal
Laut dalam Laut transisi Laut dangkal
1 1
1 1
1 1
Kedalaman relatif d/L0
>

<
25 2
25 2
25 2
gT
Cepat rambat (C)
1,56 T
tan k d
g d
2
g T2
tan k d
2
(sumber: Shore Protection Manual, 1984)

Panjang gelombang (L)

1,56 T2

g d T

Dimana :
G = Percapatan gravitasi, 9,81 m/dt
L = Panjang gelombang (m)
D = Kedalaman yang ditinjau (m)
T = Periode gelombang (dt)
2.2.6 Tanah
Dalam Perencanaan pelabuhan, survey data tanah digunakan untuk mengetahui kondisi
tanah yang akan gunakan untuk perencanaan struktur bawah dermaga. Data tanah ini dapat
diperoleh dengan melakukan pengeboran dengan mesin bor di beberapa titik yang ditinjau.
Selain itu dilakukan uji SPT, dimana dalam uji SPT ini didapatkan nilai N-SPT untuk
mengetahui lapisan-lapisan tanahnya.
2.2.7 Kapal
Data kapal digunakan untuk mengetahui jenis kapal dan dimensi yang berlabuh di
dermaga yang akan direncanakan. Pada umumnya data kapal yang digunakan adalah berat
kapal, panjang kapal (LOA), lebar kapal dan draft atau sarat penuh kapal.
2.2.8 Alat
Dalam Perencanaan pelabuhan data alat digunakan untuk mengetahui pembebanan yang
membebani struktur dermaga yang direncanakan.

2.3 Evaluasi Layout


Evaluasi layout meliputi evaluasi layout parairan dan daratan. Evaluasi layout perairan
berupa kedalaman kebutuhan perairan yang dibutuhkan, area penjangkaran, alur masuk,
kebutuhan kolam putar dan kolam dermaga. Sedangkan evaluasi layout daratan berupa evaluasi
kebutuhan dermaga, trestle serta causeway. Evaluasi ini bertujuan agar layout sesuai dengan
standar yang ada.
2.3.1 Layout Perairan
a. Area penjangkaran
Areal penjangkaran adalah lokasi kapal menunggu sebelum dapat bertambat atau
memasuki alur, baik karena menunggu cuaca membaik, atau karena jetty dan alur yang
akan digunakan masih terpakai, alasan karantina, atau oleh sebab yang lain. Kebutuhan
areal penjangkaran dapat ditentukan dengan menggunakan perumusan seperti pada
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kebutuhan areal penjangkaran
Tujuan penjangkaran
Dasar laut atau kecepatan angin
Jari - jari
Swingin
LOA + 6d
Penjangkaran baik
Multiple
LOA + 4,5 d
Menunggu atau inspeksi
muatan
Winging LOA + 6 d + 30 m
Penjangkaran jelek
Multiple LOA +4,5 d + 25 m
Kec. angin v = 20 m/s
LOA + 3 d +90 m
Menunggu cuaca baik
Kec. angin v = 30 m/s
LOA + 4 d +145 m
(sumber: Technical Standards for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002 )
b.

Alur masuk
Perhitungan alur masuk dimulai mulut alur sampai kapal mulai berputar, dimana
parameter-parameter yang diperlukan untuk penentuan alur masuk ini adalah kedalaman
alur masuk, lebar dan panjang alur masuk. Perumusan untuk kebutuhan panjang alur
masuk dapat dilihat dalam keputusan menteri perhubungan KM 54 tahun 2002 seperti
dibawah ini:
A=W.L
W = 9 . B + 30 meter
Dimana:
A
= Luas area alur
W
= Lebar alur
L
= Panjang Alur Pemandu & Penundaan didalam DLKR
B
= Lebar Kapal Maksimum
Untuk kedalaman alur masuk dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2.4 Kedalaman perairan
Penentuan draft kapal
Keterangan
1,15 draft kapal
Perairan tenang
1,2 draft kapal
Perairan terbuka bergelombang
(sumber: Technical Standards for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002 )

(2.1)
(2.2)

10

Untuk panjang alur masuk dapat di tentukan berdasarkan Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5 Panjang alur
Lokasi
Ukuran
Keterangan
7 * LOA 10.000 DWT, 16 knots
18 * LOA 200.000 DWT, 16 knots
Panjang alur (stopping distance) 1 * LOA
10.000 DWT, 5 knots
3 * LOA 200.000 DWT, 5 knots
5 * LOA
Kapal ballast/kosong
(sumber: Technical Standards for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002 )
c. Kolam putar
Kolam putar berada di ujung alur masuk atau dapat diletakkan di sepanjang alur bila
alurnya panjang. Kapal diharapkan dapat bermanuver dengan kecepatan rendah
(mendekati nol) atau dipandu. Area yang disediakan dibatasi dengan bentuk lingkaran
berdiameter Db. Sedangkan kedalaman perairan dapat disamakan dengan alur masuk.
Db = 2 . LOA (kapal bermanuver dengan dipandu)
Db = 4 . LOA ( kapal bermanuver tanpa bantuan pandu)

(2.3a)
(2.3b)

d. Kolam dermaga dan Kedalamannya


Kolam dermaga berada di depan dermaga dan luasan ini perlu ditentukan bila perlu
kedalaman perairan dilakukan pengerukan. Secara keseluruhan ukuran kolam dermaga
dapat ditentukan sebagai berikut:
Panjang = 1,25 . LOA (bila dengan dibantu kapal pandu)
Panjang = 1,50 . LOA (bila tanpa dibantu kapal pandu)
Lebar = 4 . B + 50 m, 1 dermaga berhadapan
Lebar = 2 . B + 50 m, > 1 dermaga berhadapan
Lebar = 1,25 . B, dermaga bebas

(2.4a)
(2.4b)
(2.5c)
(2.5b)
(2.5c)

Sedangkan kedalaman perairan yang direncanakan harus lebih dalam dari draft penuh
kapal terbesar, ditambah kedelaman untuk gerakan akibat gelombang dan angin maupun
arus serta squad dan trim sebagai konsekuensi pergerakan kapal, serta untuk
ketidakteraturan kedalaman perairan dan kondisi tanah dasar laut. Untuk kemudahan
penentuan dalam menentukan kedalaman perairan dapat digunakan persamaan sebagai
berikut:
Perairan Tenang = 1,1 . draft kapal
Perairan terbuka = 1,2 . draft kapal

(2.6a)
(2.6b)

2.3.2 Layout Daratan


a. Dermaga
Dalam perencanaan layout dermaga ada dua cara, yaitu Bulk Ship Loader (BSL) dan
Quadrant Arm Loader (QAL). Untuk perencanaan BSL, strukturnya bertipe wharf atau
strukturnya menempel pada garis pantai. Pada perencanaan QAL, strukturnya bertipe
jetty, yaitu struktur dermaganya menjorok ke arah lautan yang berfungsi untuk
mengurangi volume pengerukan. Pada tugas akhir kali ini, dalam perencanaan dermaga
dengan mengunakan kontruksi open pier. Perencanaan dermaga tipe open pier meliputi:

11

Panjang dermaga
Secara prinsip panjang dermaga dapat dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
Lp = 1,1 . LOA
Lp = n . LOA + (n - 1) . 15 +50

(2.7a)
(2.7b)

Lebar dermaga
Lebar dermaga disesuaikan dengan ruang operasional bongkar muat. Lebar apron
antara 15 sampai 50 m.
Elevasi dermaga
Penentuan elevasi dermaga (crown heights) sangat dipengaruhi oleh beda pasang
surut di lokasi dermaga, dimana elevasi dermaga harus lebih tinggi dari muka air
tertinggi (HWS). Sehingga penentuan elevasi dermaga dapat dihitung sengan rumus
berikut :
Elevasi dermaga = Beda pasang surut + (1 s/d 1,5 m)

(2.8)

b. Trestle
Trestle adalah bagian dari struktur jetty yang berfungsi untuk menghubungkan jetty
dengan daratan apabila jetty terletak jauh dari tepi pantai. Panjang Trestle ditentukan
oleh panjang yang dibutuhkan untuk menghubungkan jetty sampai ke darat. Sedangkan
lebar trestle ditentukan berdasarkan lalu lintas apa saja yang lewat di atasnya dan
fasilitas yang akan dipasang di atasnya.
2.4 Perhitungan Fasilitas Pendukung
2.4.1 Fender
Fender merupakan salah satu aksesoris jetty yang berfungsi sebagai peredam energi
tumbukan kapal yang berlabuh. Untuk mentukan ukuran fender, harus dihitung terlebih dahulu
besarnya Ef. Dimana Ef, merupakan energi kinetik yang timbul pada waktu kapal merapat.
Rumus untuk menemukan Ef diturunkan dari rumus Energi Kinetik yang disesuiakan dengan
kondisi sistem merapat kapal, yaitu adanya faktor C:
Ef = C . (

1
. W . V2) / g
2

Ef = CH . CE . CC . CS . (

1
. Ws . V2) / g (ton-m)
2

(2.9a)
(2.9b)

Dimana:
2D
CH = Koefisien massa hidrodinamis = 1 +
i2 + r2 . cos2

CE = Koefisien eccentricity =
i2 + r2
CC = Configuration Coefficient = 1 untuk jetty, open pier
CS = Softness Coefficient = 1,0 (tidak ada deformasi)
V = Kecepatan kapal waktu merapat
WS = Displacement Tonage
Energi yang diserap fender dan jetty ditetapkan 0,5Ef, setengah energi yang lain diserap
oleh kapal dan air dan kerja yang dilakukan oleh jetty adalah:
1
= 2 . .
(2.10)

12

Energi yang yang membentur jetty adalah 0,5E. Akibat benturan tersebut, fender
memberikan reaksi F. Apabila d adalah defleksi fender maka terdapat hubungan dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
1
2

E=

1
2

F=

Fd
E
d

(2.11a)
(2.11b)

Dimana:
F = gaya bentur yang diterima sistem fender (ton)
d = defleksi fender (m)

Gambar 2.1 Benturan kapal pada jetty


Pemasangan fender arah horisantal langsung ditempatkan pada breasting dolphin karena
dermaga berupa fasilitas dolphin sedangkan pemasangan fender vertikal ditentukan dengan
memperhatikan bahwa kapal rencana bisa mengenai sisterm feender tersebut.

2.4.2 Bollard
Bollard merupakan konstruksi untuk mengikat kapal pada tambatan. Bollard harus
mampu menerima gaya tarikan akibat kapal yang menambatkan talinya pada bollard tersebut.
Gaya tarik bollard yang dipakai disesuaikan dengan berat kapal sedangkan diameter bollard
ditentukan dari gaya tarik tersebut. Gaya tarik bollard dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Gaya tarikan kapal
Gross tonnage (GT) of
Tractive force acting on a Tractive force acting on a
vessel (tons)
mooring post (kN)
bollard (kN)
200 < GT < 500
150
150
<
GT
<
500
1000
250
250
1000 < GT < 2000
350
250
2000 < GT < 3000
350
350
3000 < GT < 5000
500
350
5000 < GT < 10000
700
500
10000 < GT < 15000
1000
700
15000 < GT < 20000
1000
700
20000 < GT < 50000
1500
1000
50000 < GT < 100000
2000
1000
(Sumber : Technical Standard for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002)

13

DWT adalah perbedaan bobot atau tonase antara keadaan kosong dan keadaan isi
dimana bobot keadaan kosong adalah massa dari badan kapal, mesin, peralatan dan
item lain yang dibutuhkan untuk pengoperasian normal. Bobot penuh adalah massa
kapal dalam keadaan terisi penuh oleh beban termasuk kargo, awak kapal dan
perlengkapan lain. Terisi penuh berarti bahwa kapal terbenam sampai batas garis
summer draught nya. Dengan kata lain DWT menunjukkan massa dari muatan,
bahan bakar, kru, penumpang, air tawar, perbekalan dan sebagainya.
NRT adalah total seluruh ruang yang digunakan untuk menyimpan barang (kargo),
dikonversikan dalam unit 2,83 m3. Jadi NRT adalah sama dengan BRT dikurangi
ruang akomodasi awak kapal, workshop, ruang mesin dll. BRT disebut juga sebagai
GRT (Gross Registered Tonnage), biasanya digunakan sebagai dasar untuk
menentukan tarif masuk pelabuhan.
Kapal General Cargo : DWT = 1,5 x BRT = 2,5 x NRT
Kapal Tanker Besar : DWT = 2,0 x BRT = 2,6 x NRT

(2.12a)
(2.12b)

Gaya tarikan kapal pada bollard selain bekerja horizontal juga bekerja vertical sebesar
dari nilai yang tercantum di Tabel 2.6. Gaya tarikan pada bitt untuk berbagai ukuran seperti
yang tercantum dalam Tabel 2.6 bekerja dalam semua arah. Gaya tarikan kapal dengan ukuran
yang tidak tercantum dalam tabel tersebut (kapal dengan bobot kurang dari 200 ton dan lebih
dari 100000 ton) dan fasilitas tambatan pada cuaca buruk harus ditentukan dengan
memperhatikan cuaca dan kondisi laut, konstruksi alat penambat dan data pengukuran gaya
tarikan.
Kontrol kekuatan sambungan baut bollard menggunakan metode ultimate (LRFD).
Metode ini mengambil anggapan bahwa akibat momen yang terjadi, tegangan tekan dipikul
oleh pelat dan tegangan tarik dipikul oleh baut. Prosedur perencanaan sambungan bollard
meliputi:
Menghitung momen lentur (Mu)
Mu = Pu . e

(2.13)

Pu = gaya tarik
E = jarak antara gaya dan dasar pelat
Menghitung gaya geser yang dipikul tiap baut
Vu =

Pu
n

(2.14)

Kontrol geser baut


Tegangan geser baut: fuv = Vu / Ab
Kontrol geser
fuv < . f . 0,5 . fub
f = 0.75
fub = tegangan putus baut
Menghitung gaya tarik baut (T)
Beban tarik (interaksi geser dan tarik)

(2.15)

14

Td = f . ft . Ab ft = (1,3 . fub 1,5 . fuv) < fuv


Td baut = . 0,75 . Ab . fub, diambil nilai Td yang terkecil

(2.16a)
(2.16b)

(Dicek terhadap spesifikasi baut yang terdapat brosur bollard)


Mecari garis netral (a)
Garis netral didapat dari keseimbangan gaya yang terjadi yaitu gaya tekan sama
dengan gay tarik.
Gaya tekan = gaya tarik
fyp . a . b = T

(2.17a)
(2.17b)

Dimana:
fyp = teganga leleh pelat
T
= tegangan tarik baut
a
= lebar sambungan (tegak lurus gaya tarik)
T
a
= f . b ; a < S (jarak baut)
yp

Kontrol momen
Momen rencana yang dipikul sambungan:
n

0,9 . fyp . a2 . b
Mn =
+ T.di
2

(2.18)

i=1

di = jarak baut k garis netral


Mu < Mn
Menentukan panjang pengangkuran (l)
Panjang pengangkuran dapat dicari dengan rumus:
l=

0,8 T
d b

(2.19)

Jarak pemasangan bollard


Jarak pemasangan bollard mengikuti panjang struktur dermaga.
2.5 Pembebanan Dermaga
2.5.1 Beban Vertikal
Beban vertikal dermaga terdiri dari:
a. Beban mati (beban sendiri konstruksi)
Beban mati adalah berat sendiri dari komponen struktur yang secara permanen dan
konstan membebani selama waktu hidup konstruksi. Komponen-komponen tersebut
diantaranya balok, poer, fender, bollard dan fasilitas fasilitas lainya.
b. Beban hidup merata akibat muatan
Beban hidup merupakan beban yang terjadi akibat muatan yang dianggap merata di atas
dermaga. Beban hidup terbagi rata bisa berupa beban air hujan dan beban pangkalan.
c. Beban hidup terpusat
Beban hidup terpusat yang terjadi pada struktur dermaga merupakan beban akibat alat
yang besarnya ditentukan berdasarkan peralatan yang akan digunakan di atas dermaga

15

tersebut dan harus diposisikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan kondisi


pembebanan yang paling kritis.
2.5.2 Beban Horizontal
Beban vertikal dermaga terdiri dari:
a. Gaya akibat tumbukan kapal (gaya fender)
Gaya fender yang terjadi saat kapal sedang merapat berupa gaya pukul kapal pada
fender akibat kecepatan pada saat merapat, serta akibat pergoyangan kapal oleh
gelombang dan angin. Energi ini kemudian diabsorbsi dan ditransfer menjadi gaya
horizontal tekan yang harus mampu ditahan oleh bangunan dermaga. Hubungan antara
gaya dan energi benturan tergantung pada tipe fender yang digunakan.
b. Gaya tarikan kapal
Gaya tarik yang bekerja pada saat kapal sedang bertambat sangat berpengaruh pada
stabilitas struktur dermaga karena adanya gaya yang cukup besar. Beban tarik ini akan
ditahan oleh struktur bollard yang didisain untuk menahan gaya tarikan akibat kapal,
angin dan arus. Gaya tarik bollard diambil yang terbesar dari:
Kekuatan bollard yang dipakai yang besarnya ditentukan oleh ukuran kapal yang
bertambat (lihat pada pembahasan bollard).
Total dari gaya angin dan gaya arus yang bekerja pada badan kapal.
c. Gaya akibat arus
Tekanan akibat arus pada kapal yang tertambat
Cc x c x Ac x V2c
Pc =
2xg
Dimana :
C
= Berat jenis air laut (1,025 t/m3)
AC
= Luasan kapal di bawah permukaan air (m2)
VC
= Kecepatan arus (m/dt)
CC
= Koefisien arus
= 1-1,5 (untuk perairan dalam)
= 2 (untuk kedalaman perairan = 2 x draft kapal)
= 3 (untuk kedalaman perairan = 1,5 x draft kapal)
= 6 (kedalaman perairan mendekati draft kapal)
Nilai CC juga bisa diperoleh dari grafik pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Koefisien kuat arus


(sumber: Technical Standard for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002)

(2.20)

16

d. Tekanan angin
Tekanan angin pada badan kapal yang ada di atas air dihitung dengan rumus:
V2w
Pw = Cw (Aw sin + Bw cos )
1600

(2.20)

Dimana :
PW
= Tekanan angin pada kapal yang bertambat
CW
= Koefisien tekanan angin
Cw = 1,3 untuk angin melintang
Cw = 0,8 untuk angin dari belakang
Cw = 0,9 untuk angin dari depan
Nilai CW juga bisa diperoleh dari grafik pada Gambar 2.3.
AW
= Luasan proyeksi arah memanjang (m2)
BW
= Luasan proyeksi arah muka (m2)

= Sudut arah datangnya angin terhadap centerline


VW
= Kecepatan angin (m/s)

Gambar 2.3 Koefisien tekanan angin


(sumber: Technical Standard for Port and Harbour Facilities in Japan, 2002)
e. Beban gempa
Dengan menggunakan program bantu SAP2000 perhitungan beban gempa dilakukan
secara dinamis dengan menggunakan respon spektrum menurut SNI 03-1726-2012.
2.6 Perhitungan Struktur Dermaga
2.6.1 Struktur Atas
Pada perencanaan bangunan atas meliputi perencanaan pelat, balok memanjang serta
balok melintang. Perencanaan struktur jetty menggunakan program bantu SAP2000 V14.0 dan
penulangan memakai peraturan PBI 71 dengan alasan:
Pada struktur di daerah pantai harus dihindari adanya retak agar tidak terjadi
pengkaratan pada tulangan yang akan berakibat fatal pada kerusakan struktur.
Pada bangunan pelabuhan sering terjadi beban berlebih akibat beban luar baik berupa
arus, gelombang, gempa dan lain-lain.

17

a. Pelat
Momen pelat
Pada perhitungan pelat diasumsikan terjepit penuh karena kekakuan balok dianggap
jauh lebih besar dari kekakuan pelat sehingga pada tumpuan tidak terjadi perputaran.
Menurut PBI 71 tabel 13.3.1 momen tumpuan dan momen lapangan menggunakan
persamaan berikut:
Ml = 0,001 . q . lx2 . X
Mt = -0,001 . q . lx2 . X

(2.21a)
(2.21b)

Dimana :
Ml = momen lapangan pelat (tm)
Mt = momen tumpuan pelat (tm)
q
= beban terbagi rata pelat (t/m)
lx = panjang bentang pendek pelat (m)
X = koefisien dari tabel 13.3.1
Penulangan pelat
Pada pelat dipakai tulangan rangkap dengan asumsi bahwa struktur adalah statis
tertentu, metode penulangan pelat meliputi :
- Menentukan besarnya momen ultimate (Mu) pada pelat
- Menentukan perbandingan antara luas tulangan tarik dengan tulangan tekan ().
Pada pelat dianggap tidak memerluakn tulangan tekan sehingga = 0
- Menghitung nilai Ca dengan persamaan:
Ca =

h
n.M

b .

(2.22)

Dimana :
h
= tinggi manfaat penampang
b
= lebar penampang (untuk pelat = 1000 mm)
M
= momen ultimate
Ea
n
= angka ekivalensi baja beton ( )
Es
a
= tegangan ijin baja (tabel 10.4.1 PBI71 )
- Mencari nilai , , dan dari tabel
Dari Tabel Perhitungan Lentur dengan Cara-n disesuaikan kepada Peraturan Beton
Bertulang Indonesia 1971 oleh Ir. WIratman W, didapat nilai:
> 0 =

.a
. ' . 100 . n .
(n . ,b )

(2.23)

b = tegangan tekan beton akibat lentur tanpa atau dengan gaya normal (tabel 4.2.1
PBI 71)
- Mencari kebutuhan tulangan
As = x b x h

(2.24)

18

Kontrol retak
Berdasarkan PBI 1971 pasal 10.7.1b lebar retak yang diijinkan adalah 0.1 mm. Untuk
koefisien dapat dilihat pada Tabel 2.6 lebar retak dihitung dengan rumus :
Tabel 2.6 Koefisien-koefisien p, C3, C4, C5
Uraian
p
C3
C4 C5
A
Balok persegi dan balok T mengalami lentur murni
1,05 0,04 7,5
b.h
A
Balok persegi dan balok T mengalami lentur murni dengan gaya
1,05 0,07 12
normal tekan
b(h.y)
A
Bagian bagian konstruksi yang mengalami tarik aksial
1,05 0,16 30
Bt
(sumber: PBI 1971)
= (3 . + 4 .

5
) ( ) . 106

(2.25)

Dimana:
c = tebal penutup beton (cm)
d = diameter batang polos atau pengenal (cm)
a = tegangan baja yang bekerja ditempat yang retak (kg/cm2)
A = luas tulanagan tarik (cm2)
b = lebar balok (cm)
h = tinggi manfaat balok (cm)
y = jarak garis netral terhadap sisi yang tertekan (cm)
Bt = luas penampang beton yang tertarik (cm2)
= koefisien yang bergantung pada jenis batang tulangan (1,2 untuk batang
polos dan 1 untuk batang yang diprofilkan).
b. Balok dan poer
Pembebanan
Distribusi beban pada pelat dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini :

Gambar 2.4 Distribusi beban pada pelat


- beban pelat q (t/m2)
P=
- beban segitiga
qeq =

1
. q . lx
2

2
1
. P = . q . lx
3
3

(2.26)

(2.27)

19

- beban trapesium
1 lx 2
1
1 lx 2
qeq = P . (1 - . 2 ) = . q . lx . (1 - . 2 )
3 ly
2
3 ly

(2.28)

Penulangan
Penulangan balok dihitung dengan menggunakan perhitungan lentur n. Untuk
perhitungan tulangan, poer dianalisis sebagaian besar sama dengan balok jika
perbandingan antara tebal poer dan lebar poer < 0,4. Metode perhitungan tulangan
utama balok dan poer seperti pada pelat yaitu:
- Menentukan besarnya momen ultimate (Mu) yang bekerja pada balok dari hasil
analisis SAP2000.
- Menentukan perbandingan antar luas tulangan tarik dengan tulangan tekan ().
Nilai diambil mulai dari 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,25; 1,67 sampai 2,50.
- Menghitung nilai Ca:
- Mencari nilai , , dan dari tabel
- Menghitung luas tulangan tarik dan tekan
A=.b.h
As = . A

(2.29)
(2.30)

Untuk balok dengan tinggi lebih dari 90 cm perlu dipasang tulangan samping sebesar
minimum 10% dari tulangan tariknya (PBI 71 Pasal 9.3(5)).
Kontrol terhadap retak
Perhitungan retak pada balok sama dengan perhitungan retak pada pelat
Menentukan tulangan geser
Metode perhitungan tulangan geser balok dan poer:
- Menentukan besarnya gaya lintang yang bekerja pada tumpuan.
- Menghitung tegangan beton ijin berdasarkan PBI 71 tabel 10.4.2 akibat geser
oleh lentur dengan puntir, dengan tulangan geser:
Untuk pembebanan tetap: bm-t = 1,35 . bk
Untuk pembebanan sementara: bm-s = 2,12 . bk

(2.31a)
(2.31b)

- Menghitung tegangan geser lentur beton akibat beban kerja di tengah-tengah


tinggi penampang dengan rumus sebagai berikut:
b =

D
b.

7
8

.h

(2.32)

Dimana :
b = tegangan geser beton
D = gaya lintang
Diperlukan tulangan geser jika b < bm-t
- Untuk perhitungan tulangan geser lentur-puntir ini, tegangan geser puntir dapat
dianggap seolah-olah memperbesar tegangan geser lentur pada seluruh lebar
balok, yang besarnya dapat diambil menurut rumus sesuai PBI 71 Pasal 11.8.6
berikut ini:

20

''b =

Mt
b . Ft

Dimana :
Mt
= T = Momen Torsi akibat beban batas
Ft
= luas penampang balok
Disyaratkan dalam PBI 1971 Pasal 11.8.(4)
s b +b "
- Menghitung jarak tulangan sengkang:
As . a
as =
s . b

(2.33)

(2.34)

2.6.2 Struktur Bawah


Type material untuk tiang pancang meliputi: kayu, beton precast, beton prestress, pipa
baja bulat maupun kotak dengan atau tanpa sepatu tiang, baja pita yang dibentuk pipa, rofil baja
bentuk I atau H dengan atau tanpa selimut beton, tiang ulir baja, dsb. Daya dukung tiang pada
masing-masing kedalaman menggunakan perumusan yang ada misal dari Meyerhoff, Terzaghi,
Luciano Decourt dan sebagainya sehingga dihasilkan grafik kurva daya dukung untuk beberapa
ukuran dan type tiang.
Kontrol kekuatan internal bahan dilakukan dengan mengecek besarnya tegangan yang
terjadi akibat beban luar harus lebih rendah dari tegangan ijin bahan, dan momen yang terjadi
harus lebih kecil dari kekuatan momen ultimate atau momen crack dari bahan. Tiang juga perlu
dicek kekuatannya pada saat berdiri sendiri, khususnya terhadap frekuensi gelombang.
Frekuensi tiang harus lebih besar dari frekuensi gelombang supaya tiang tidak bergoyang dan
patah.
a. Daya Dukung Tanah
Pada perhitungan daya dukung tanah menggunakan metode Luciano Decourt
QL = QP + QS

(2.35)

Dimana :
QL = daya dukung tanah maksimum (ton)
QP = resistance ultime di dasar pondasi (ton)
QS = resistance ultime akibat lekatan lateral (ton)
Qp = qp . Ap = (Np . k) . Ap .

(2.36)

Dimana :
= base coeficcient (terdapat pada Tabel 2.7)
Np = harga rata-rata SPT sekitar 4B diatas dan 4B dibawah dasar tiang. Letak nilai N
dapat dilihat pada Gambar 2.5
Catatan: Apabila tanah dalam kondisi terendam/dibawah muka air tanah maka harga N p
harus dikoreksi, N = 15 + 0,5(N-15)

21

Gambar 2.5 Letak dari nilai nilai N dalam perhitungan Np


K = koefisien karakteristik tanah
K = 12 t/m2 untuk lempung
K = 20 t/m2 untuk lanau berlempung
K = 25 t/m2 untuk lanau berpasir
K = 40 t/m2 untuk pasir
Ap = luas penampang dasar tiang (m2)
Qp = tegangan ujung tiang (t/m2)
Qs= qs . As = (Ns / 3+1) . As .

(2.37)

Dimana:
= shaft coefficient (terdapat pada Tabel 2.7)
qs = tegangan akibat lekatan lateral (t/m2)
Ns = harga N rata sepanjang tiang tertanam, dengan batasan 3<N<50
As = luas selimut tiang yang terbenam (m2)
Tabel 2.7 Nilai base coefficient (dan shaft coefficient

Clay
Intermediate soil Sands

Driven pile
1
1
1
1
1
1
Bore pile
0,85 0,8
0,6
0,65
0,5 0,5
Injected pile
1
3
1
3
1
3
(sumber: Decourt and Quaresma, 1978:Decourt et al., 1996)
Pile/soil

b. Kalendering
Perhitungan kalendering saat pemancangan berguana untuk mengetahui daya dukung
tiang sehingga bisa diketahui kapan pemancangan dihentikan. Final set adalah nilai
penetrasi tiang pancang tiang tiap pukulan yang diperoleh dari hasil kalendering. Untuk
kalendering digunakan rumus Alfred Hilley Formula.
. W . H W + n2 . Wp
Qu =
.
S + 0,5 . C
W + Wp
Dimana :
Qu
= bearing capacity of pile (ton)

= efisiensi hammer
= 2,5 untuk hydraulic hammer
= 1,0 untuk diesel hammer

(2.38)

22

W
Wp
H
n

= 0,75 untuk drop hammer


= berat hammer (K25 = 2,5 T ; K35 = 3,5 T)
= weight of pile (ton)
= tinggi jatuh hammer (1,9 m s/d. 2 m untuk kondisi normal). Untuk kondisi
khusus seperti diesel hammer, nilai H dikalikan 2 (2.H)
= Coeffisien of restitusion
n = 0,25 untuk tiang kayu/beton
n = 0,4 untuk tiang beton tanpa cap
n = 0,55 untuk tiang baja tanpa cushion
= pile penetration for last blow (cm/blow)

Pengamatan biasanya dilakukan rata rata di 3 set terakhir dengan 10 pukulan setiap
setnya.
C
= total temporary compression (mm)
C
= C1 + C2 + C3
C1
= kompresi sementara dari cushion yang mana menurut BSP adalah :
C1 = 3mm untuk Hard cushion
C1 = 5mm untuk Hard cushion + packing, soft cushion
C1 = 7mm untuk Soft cushion + packing
Qu . L
C2
= kompresi sementara dari tiang = Ap . E
pile

Untuk tiang beton:


400 od = 9mm s/d 12mm
500 od = 10mm s/d 14mm
Untuk tiang baja:
500 od = 7mm s/d 11mm
600 od = 8mm s/d 12mm
C3
= kompresi sementara dari tanah, dimana nilai nominal = 2,5 mm
C3 = 0-1 mm untuk tanah keras (SPT > 50)
C3 = 2-3 mm untuk tanah sedang (SPT 20-30)
C3 = 4-5mm untuk tanah lunak (SPT 10-20)
Berdasarkan pengalaman yang sudah ada, harga C dari diesel hammer K35 adalah:
Bila S > 1cm
maka C =1cm
Bila S = 0,6 1 cm maka C = 1,2 1,8 cm
Bila S = 0,2 0,5 cm maka C = 1,6 2,2 cm
c. Kontrol kekuatan tiang
Apabila digunakan tiang pancang dari beton pratekan, maka menurut standar
perhitungan tiang pancang dari WIKA, kontrol dari kekuatan bahan adalah sebagai
berikut :
Kontrol Kekuatan Terhadap Gaya Aksial
Tegangan tekan yang terjadi akibat beban kerja harus lebih kecil dari kapasitas tekan
yang diijinkan sebagai berikut:
f=

P
fizin
A

(2.39)

Di mana :
F = tegangan yang terjadi akibat beban baik itu aksial maupun momen (kg/cm2)

23

fijin = tegangan ijin lentur dari material beton bertulang


P = gaya tekan kerja yang terjadi (kg)
A = luas penampang tiang (cm2)
Adapun tegangan ijin dari penampang tiang pancang beton pratekan adalah sebagai
berikut:
fizin = fc 0,27 fpe
(2.40)
di mana :
fc = tegangan ijin lentur beton (kg/cm2)
fpe = tegangan pratekan efektif (kg/cm2)
Kontrol kekuatan terhadap gaya horisontal
Momen yang terjadi pada titik jepit tiang akibat gaya horisontal harus lebih kecil dari
momen retak, Mcr tiang sesuai dengan spesifikasi pabrikan yang ada. Adapun
momen yang terjadi akibat gaya horisontal dengan kondisi fixed headed pile adalah
sebagai berikut :
M=

H . (e + Zf )
2

(2.41)

Di mana :
M = Momen yang terjadi
e = posisi gaya horizontal dari permukaan tanah
Zf = posisi titik jepit tiang dari permukaan tanah
H = gaya horizontal yang terjadi
Defleksi maksimum
Defleksi keseluruhan sisi bawah struktur atas dari hasil analisa struktur dengan
defleksi bagian atas tiang pancang besarnya disyaratkan maksimum 4 mm. Untuk
mendapatkan besarnya defleksi horizontal (Y) dari tiang vertikal (untuk fixedheaded pile) dapat menggunakan rumus :
. ( + )3
=
12 . .

(2.41)

Dimana :
H = beban lateral
e = jarak lateral load dengan dengan muka tanah
Zf = posisi titik jepit tanah terhadap sebuah tiang pondasi dapat diliihat pada
Gambar 2.6.

24

Gambar 2.6 Posisi titik jepit tiang pancang


(sumber: Decourt and Quaresma, 1978:Decourt et al., 1996)

Anda mungkin juga menyukai