Anda di halaman 1dari 36

STUDI HUBUNGAN BATUAN DASAR DENGAN DISTRIBUSI

UNSUR SCANDIUM (Sc) PADA ZONA LATERIT PT. VALE


INDONESIA Tbk, SOROAKO

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Derajat Sarjana (S1) pada
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Universitas
Halu Oleo

OLEH

HUSNI RAHIM
R1C116069

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KENDARI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Scandium adalah salah satu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki

lambang Sc dengan nomor atom 21. Skandium berupa logam transisi yang lembut

dan warnanya putih keperakan merupakan mineral yang langka pertama kali

dideskripsikan di Skandinavia dan kadang di klasifikasikan berama yttrium dan

lantanida sebagai elemen mineral langka (Wikipedia Indonesia).

Gambar 1. Tabel periodik unsur skandium


Mendelev telah memprediksi keberadaan unsur ekaboron berdasarkan prinsip

sistem periodik yang ditemukannya. Unsur ini diperkirakan memiliki berat atom
antara 40 (kalsium) dan 48 (tittanium). Elemen skandium ditemukan oleh Nilson

pada tahun 1878 di dalam mineral-mineral euxenite dan gadolinite, yang belum

pernah ditemukan dimanapun kecuali di Skandinavia. Dengan memproses 10 Kg

mineral euxenite dan hasil sampingan mineral langka lainnya Nilson berhasil

memproduksi 2 gram skandium oksida murni. Imuwan-imuwan berikutnya

kemudian menunjukkan bahwa skandium yang ditemukkan Nilson sama dengan

ekaboronnya Mendelev. Skandium ditemukan dalam proporsi kecil, umumnya

kurang dari 0,2 persen di banyak bijih lantania berat dan dalam banyak bijih timah,

uranium dan tungsten. Thorveitite (silikat skandium) adalah satu-satunya mineral

yang mengandung sejumlah besar skandium sekitar 34 persen, tapi sayangnya

mieral ini cukup langkah dan bukan merupakan sumber penting dari skandium.

Meskipun hanya menempati peringkat ke-50 elemen yang paling berlimpah di

Bumi, Skandium merupukan elemen paling melimpah ke-23 di Matahari.

Skandium yang mmiliki kepadatan rendah dan titik lebur tinggi

menunjukkan kegunaanya sebagai agen paduan logam ringan untuk aplikasi militer.

Kegunaan utama skandium adalah sebagai aditif paduan-paduan berbasis

aluminium untuk barang olahraga dan lampu halida logam intensitas tinggi. Ketika

dipadukan dengan aluminium dan paduan berbasis aluminium, skandium

membatasi pertumbuhan butir suhu tinggi. Sekitar 20 Kg skandium (Sc2O3)

sekarang ini digunakan setiap tahun di Amerika untuk memproduksi lampu

intensitas tinggi dan isotop radioaktif 46.

Skandium lebih banyak ditemukan di matahari dan beberapa bintang

lainnya (terbanyak ke-23) dibandingkan di bumi (terbanyak ke-50). Elemen ini


tersebar banyak di bumi, terkandung dalam jumlah yang sedikit di dalam banyak

mineral (sekitar 800an spesies mineral). Warna biru pada beryl (satu jenis makhluk

hidup laut) disebutkan karena mengandung skandium. Ia juga terkandung sebagai

komponen utama mineral thortveitite yang terdapat di Skandinavia dan Malagasi.

Unsur ini juga ditemukan dalam hasil sampingan setelah ekstrasi tungsten dari

Zinwald wolframite dan di dalam wiikite dan bazzite. Di alam, skandium ada dalam

bentuk satu isotop stabil yaitu scandium -45. Di antara 25 (tidak termasuk isomer

nuklir) isotop radioaktif dengan massa antara 36 sampai 61, yang paling stabil

adalah skandium-46 (paruh 83,79 hari), dan yang paling stabil adalah skandium-39

(waktu paruh kurang dari 300 nanodetik ).

Sejumlah kecil Sc telah dihasilkan dari berbagai endapan bijih di dunia

sebagai produk sampingan, dan beberapa studi sebelumnya membahas mineralisasi

Sc ekonomi kecuali pegmatit. Dalam beberapa tahun terakhir, Sc diperkirakan akan

diproduksi dari simpanan Ni laterit di beberapa negara. Batuan ultramafik

membentuk laterit nikel oleh pelapukan di wilayah lintang tinggi (mis., Indonesia),

karena banyak data penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Ni 2+ umumnya

dimasukkan ke dalam mineral mafik di magma dan bahwa batuan tersebut mudah

diubah oleh tanah atau air tanah. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa Sc 3+ juga

terkandung dalam mineral mafik seperti piroksen, amfibol dan magnetit, tetapi

secara signifikan lebih sedikit Sc yang terkandung dalam olivin.


Nikel laterit dapat dibagi menjadi bijih saprolit dan bijih limonit. Bijih

saprolit dengan tingkat ekonomi Ni dicirikan oleh garnierit dan smektit, sedangkan

bijih limonit yang kaya Fe oksihidroksida mengandung lebih sedikit Ni. Skandium

kurang lebih kaya akan bijih saprolit dan limonit, namun mineral yang mengandung

Sc dalam laterit ini tidak dipahami dengan baik. Data geokimia Whole-rock dari

laterit menunjukkan bahwa Sc kemungkinan ada pada Fe oksida, Fe oksihidroksida,

Ti oksida, Al hidroksida dan serpentin. Skandium tidak mungkin teradsorpsi pada

mineral dan bahan amorf di laterit. Skandium lebih terdistribusi dalam piroksen dan

amfibol daripada olivin dalam magma mafik karena nilai koefisien skandium

disimpan dalam ortopiroksen dan klinopiroksen. Sangat mungkin bahwa laterit Ni

kadar rendah mungkin kaya akan Sc (Maulana, 2014).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untu mengetahui kandungan

unsur skandium pada zona laterit, dengan judul “STUDI HUBUNGAN BATUAN

DASAR DENGAN DISTRIBUSI UNSUR SCANDIUM (Sc) PADA ZONA

LATERIT PT. VALE INDONESIA Tbk, SOROAKO”

1.2 Rumusan Masalah


- Bagaimana karakteristik batuan dasar pada daerah penelitian?
- Bagaimana kandungan unsur tanah jarang pada daerah penelitian?
- Bagaiman pengruh batuan dasar terhadap kehadiran unsur tanah jarang pada
daerh penelitian?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah unutk mengetahui pengaruh unsur skandium
terhadap batuan dasar dan unsur-unsur jarang lainnya berdasarkan data bor yang
ada pada PT. Vale Indonesia Tbk, Soroako.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah,

- Sebagai pembuktian kebenaran atas teori tentang unsur sandium dan


mineral jarang lainnya pada zona laterit.
- Menjadi referensi untuk peneitian lanjutan tentang skandium.

1.5 Batasan Masalah

Pada penelitian yang dilakukan, penulis membatasi masalah yang diangkat


yaitu pada hasil analisis data skandium pada korelasi endapan nikel laterit hanya
berdasarkan data pemboran.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.1.1 Geomorfologi Regional

Tinjauan mengenai geomorfologi regional yang meliputi daerah penelitian

dan sekitarnya dapat dibagi dalam daerah pegunungan, daerah perbukitan, daerah

krast dan daerah pedataran (Simandjuntak, dkk, 1991).

Daerah pegunungan menempati bagian barat dan tenggara. Di bagian barat

terdapat dua rangkaian pegunungan yakni Pegunungan Tineba dan Pegunungan

Koroue ( 700-3.016 m ) yang memanjang dari baratlaut-tenggara dibentuk oleh

batuan granit dan malihan. Sedang bagian tenggara ditempati Pegunungan

Verbeek dengan ketinggian 800-1.346 meter di atas permukaan laut disusun oleh

batuan basa, ultrabasa dan batugamping.

Daerah perbukitan menempati bagian tenggara dan timurlaut dengan

ketinggian 200- 700 meter dan merupakan perbukitan agak landai yang terletak

diantara daerah pegunungan dan daerah pedataran. Perbukitan ini dibentuk

oleh batuan vulkanik, ultramafik dan batupasir. Dengan puncak tertinggi adalah

Bukit Bukila (645m)

Daerah karst menempati bagian timurlaut dengan ketinggian 800–1700 m

dan dibentuk oleh batugamping. Daerah ini dicirikan oleh adanya dolina dan sungai

bawah permukaan. Puncak tertinggi adalah Bukit Wasopute (1.768 m).


Daerah pedataran menempati daerah selatan dan dibentuk oleh endapan

aluvium seperti Pantai Utara Palopo dan Pantai Malili sebelah timur. Pola aliran

sungai sebagian besar berupa pola rektangular dan pola dendritik. Sungai-sungai

besar yang mengalir di daerah ini antara lain Sungai Larona dan Sungai Malili yang

mengalir dari timur ke barat serta Sungai Kalaena yang mengalir dari utara ke

selatan. Secara umum sungai-sungai yang mengalir di daerah ini bermuara ke Teluk

Bone.

2.1.2 Stratigrafi Regional

Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan biostratigrafi, secara regional

Lembar Malili termasuk Mandala Geologi Sulawesi Timur dan Mandala Geologi

Sulawesi Barat dengan batas Sesar Palu-Koro yang membujur hampir utara-selatan.

Mandala Geologi Sulawesi Timur dapat dibagi ke dalam lajur batuan malihan dan

lajur ofiolit Sulawesi Timur yang terdiri dari batuan ultramafik dan batuan sedimen

pelagis Mesozoikum (Simandjuntak, dkk, 1991).

Mandala geologi Sulawesi Barat dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen

dan Neogen, intrusi Neogen dan sedimen flysch Mezosoikum yang diendapkan di

pinggiran benua (Paparan Sunda).

Di Mandala Geologi Sulawesi Timur, batuan tertua adalah batuan ofiolit

yang terdiri dari ultramafik termasuk dunit, harzburgit, lherzolit, piroksenit

websterit, wehrlit dan serpentinit, setempat batuan mafik termasuk gabro dan

basal. Umurnya belum dapat dipastikan, tetapi dapat diperkirakan sama dengan
ofiolit di Lengan Timur Sulawesi yang berumur Kapur Awal-Tersier

(Simandjuntak, 1991).

Pada Mandala ini dijumpai kompleks batuan bancuh (Melange

Wasuponda) terdiri atas bongkahan asing batuan mafik, serpentinit, pikrit,

rijang, batugamping terdaunkan sekis, ampibolit dan eklogit (?) yang

tertanam dalam massa dasar lempung merah bersisik. Batuan tektonika ini

tersingkap baik di daerah Wasuponda serta di daerah Ensa, Koro Mueli,

dan Patumbea, diduga terbentuk sebelum Tersier (Simandjuntak, 1991).

Daerah Sorowako dan sekitarnya merupakan bagian Mandala Sulawesi Timur yang

tersusun oleh kompleks ofiolit, batuan metamorf, kompleks melange dan batuan

sedimen pelagis.

Kompleks ofiolit tersebut memanjang dari utara Pegunungan Balantak ke

arah tenggara Pegunungan Verbeek, tersusun oleh dunit, harzburgit, lerzolit,

serpentinit, werlit, gabro dan diabas, basal dan diorit (Simandjuntak, 1991). Sekuen

ini tersingkap dengan baik di bagianutara, sedangkan dibagian tengah dan selatan,

komplek ofiolit ini umumnya tidak lengkap lagi dan telah terombakkan /

terdeformasi.

Batuan yang merupakan anggota lajur ofiolit Sulawesi Timur berupa batuan

ultrabasa (MTosu) yang terdapat disekitar danau Matano terdiri dari dunit,

harzburgit, lherzolit, wehrlit, websterit, serpentinit dan . Dunit berwarna hijau pekat

kehitaman, padu dan pejal, bertekstur faneritik, mineral penyusunnya adalah olivin,

piroksen, plagioklas, sedikit serpentin dan magnetit, berbutir halus sampai sedang.

Mineral utama olivine berjumlah sekitar 90%. Tampak adanya penyimpangan dan
pelengkungan kembaran yang dijumpai pada piroksen, mencirikan adanya gejala

deformasi yang dialami oleh batuan ini. Di beberapa tempat dunit terserpentinkan

kuat yang ditunjukkan oleh struktur seperti jarring dan barik-barik mineral olivine

dan piroksen, serpentin dan talkum sebagai mineral pengganti. Harzburgit

memperlihatkan kenampakan fisik berwarna hijau sampai kehitaman, holokristalin,

padu dan pejal. Mineralnya halus sampai kasar terdiri atas olivin, (60%), dan

piroksen (40%). Pada beberapa tempat menunjukkan struktur perdaunan. Hasil

penghabluran ulang pada mineral piroksin dan olivin mencirikan batas masing-

masing kristal bergerigi.

Lherzolit berwarna hijau kehitaman, holokristalin, padu dan pejal. Mineral

penyusunnya ialah olivin (45%), piroksin (25%) dan sisanya epidot, yakut, dan bijih

dengan mineral berukuran halus sampai kasar.

Serpentinit berwarna biru tua, tekstur lepidoblastik, struktur “schistosity”,

bentuk mineral hypidioblastik. Mineral utama yang menyusun batuan ini adalah

mineral serpentin, sedikit olivin dan piroksin. Umumnya memperlihatkan

persekisan yang setempat terlipat, dan dapat dilihat dengan mata telanjang.

Batuan serpentinit merupakan hasil ubahan batuan ultramafik. Ketebalan sulit

diperkirakan, berdasarkan penampang ketebalan sekitar 1000 m. Hubungan

sekitarnya berupa persentuhan tektonik.

Diatas ofiolit diendapkan tidak selaras Formasi Matano yang terbagi bagian

atas berupa batugamping kalsilutit, rijang, argilit dan batulempung napalan,

sedangkan bagian bawah dicirikan oleh rijang radiolaria dengan sisipan kalsilutit

yang semakin banyak ke bagian atas. Berdasarkan kandungan fosil formasi ini
menunjukan umur Kapur. Endapan termuda di daerah Lengan Timur Sulawesi

adalah endapan danau yang terdiri atas lempung, pasir, kerikil dan sebagian

berupa konglomerat yang terdapat di daerah sekitar Danau Matano, Danau

Towuti dan Danau Mahalona. Sedang endapan-endapan aluvial dapat ditemui di

sekitar daerah aliran sungai (Simandjuntak, 1981dalam Simandjuntak, 1991).

2.1.3 Struktur Geologi Regional

Struktur geologi Lembar Malili memperlihatkan ciri kompleks tumbrukan

dari pinggiran benua yang aktif. Berdasarkan struktur, himpunan batuan,

biostratigrafi dan umur, daerah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok yang sangat

berbeda, yaitu Alohton yang terdiri dari ofiolit dan malihan, sedangkan Autohton

terdiri dari batuan gunungapi dan pluton Tersier dari pinggiran Sunda land, serta

kelompok Molasa Sulawesi (Simandjuntak, dkk, 1991)..

Struktur – struktur geologi yang penting di daerah ini adalah sesar, lipatan

dan kekar. Secara umum sesar yang terdapat di daerah ini berupa sesar naik, sesar

sungkup, sesar geser, dan sesar turun, yang diperkirakan sudah mulai terbentuk

sejak Mesozoikum. Beberapa sesar utama tampaknya aktif kembali. Sesar Matano

dan Sesar Palu Koro merupakan sesar utama berarah baratlaut - tenggara dan

menunjukkan gerak mengiri. Diduga kedua sesar itu masih aktif sampai sekarang,

keduanya bersatu di bagian baratlaut. Diduga pula kedua sesar tersebut terbentuk

sejak Oligosen dan bersambungan dengan Sesar Sorong sehingga merupakan suatu

system sesar transform. Sesar lain yang lebih kecil berupa tingkat pertama dan atau

kedua yang terbentuk bersamaan atau setelah sesar utama tersebut.


Pada Kala Oligosen, Sesar Sorong yang menerus ke Sesar Matano dan Palu

Koro mulai aktif dalam bentuk sesar transcurrent. Akibatnya mikro kontinen

Banggai Sula bergerak ke arah barat dan terpisah dari benua Australia. Lipatan

yang terdapat di daerah ini dapat digolongkan ke dalam lipatan lemah, lipatan

tertutup dan lipatan tumpang-tindih, sedangkan kekar terdapat dalam hampir semua

jenis batuan dan tampaknya terjadi dalam beberapa periode.

Pada Kala Miosen Tengah, bagian timur kerak samudera di Mandala

Sulawesi Timur yakni Lempeng Banggai Sula yang bergerak ke arah barat

tersorong naik (terobduksi). Di bagian barat lajur penunjaman dan busur luar

tersesarsungkupkan di atas busur gunungapi, mengakibatkan ketiga Mandala

tersebut saling berhimpit.

Kelurusan Matano sepanjang 170 km dinamakan berdasarkan nama danau

yang dilaluinya yakni danau Matano. Analog dengan sesar Palu Koro sesar Matano

ini merupakan sesar mendatar sinistral, membentang membelah timur Sulawesi dan

bertemu kira-kira disebelah utara Bone, pada kelurusan Palu-Koro. Sesar-sesar

sistem Riedel berkembang dan membentuk sistem rekahan umum. Sepanjang sesar

mendatar ini terdapat juga cekungan tipe pull apart. Yang paling nyata adalah

Danau Matano dengan batimetri sekitar 600 m dan dikontrol oleh sesar -

sesar normal yang menyudut terhadap kelurusan Matano. Medan gaya yang

diamati di lapangan memperlihatkan bahwa tekanan umumnya horizontal dan

berarah tenggara - baratlaut didampingi tarikan timurlaut-baratdaya. Sesar

Matano bermuara di Laut Banda pada cekungan dan teluk Losoni sebagai pull apart

basin dan menerus ke laut sampai ke utara anjakan bawah laut Tolo
2.2 Geologi Daerah Soroako

Bijih nikel yang terdapat di bagian Tengah dan Timur Sulawesi tepatnya di

daerah Soroako termasuk ke dalam jenis laterit nikel dan bijih nikel silikat

(garnerit). Bijih nikel tersebut akibat pelapukan dan pelindihan (leaching) batuan

ultrabasa seperti peridotit dan serpentinit dari rombakan batuan ultrabasa.

Ada beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai proses tektonik dan

geologi daerah Sorowako, antara lain adalah Sukamto (1975) yang membagi pulau

Sulawesi dan sekitarnya terdiri dari 3 Mandala Geologi yaitu :

1. Mandala Geologi Sulawesi Barat, dicirikan oleh adanya jalur gunung api

Paleogen ,

2. Intrusi Neogen dan sedimen Mesozoikum. Mandala Geologi Sulawesi Timur,

dicirikan oleh batuan Ofiolit yang berupa batuan ultramafik peridotite,

harzburgit, dunit, piroksenit dan serpentinit yang diperkirakan berumur kapur.

3. Mandala Geologi Banggai Sula, dicirikan oleh batuan dasar berupa batuan

metamorf Permo-Karbon, batuan batuan plutonik yang bersifat granitis

berumur Trias dan batuan sedimen Mesozoikum.

Daerah Soroako dan sekitarnya menurut (Sukamto, 1975, 1982 &

Simandjuntak, 1986) adalah termasuk dalam Mandala Indonesia bagian Timur yang

dicirikan dengan batuan ofiolit dan Malihan yang di beberapa tempat tertindih oleh

sedimen Mesozoikum.
Gambar 2.1 Geologi umum dan Tektonik Sulawesi
(Hamilton 1972 dalam Golightly 1979).

Menurut Hamilton (1972), Mandala Geologi banggai Sula merupakan

mikro kontinen yang merupakan pecahan dari lempeng New Guinea yang bergerak

ke arah barat sepanjang sesar sorong (Gambar 2.1)

Melange yang berumur Miocene – post Miocene menempati central dan

lengan North-East sulawesi. Uplift terjadi sangat intensif di daerah ini, diduga

karena desakan kerak samudera Banggai Craton. Kerak benua dengan density yang

rendah menyebabkan terexpose-nya batuan-batuan laut dalam dari kerak samudera

dan mantel. Pada bagian Selatan dari zona melange ini terdapat kompleks batuan
ultramafik Soroako-Bahodopi yang pengangkatannya tidak terlalu intensif.

Kompleks ini menempati luas sekitar 11,000 km persegi dengan stadia geomorfik

menengah, diselingi oleh blok-blok sesar dari cretaceous abyssal limestone dan

diselingi oleh chert.

Golightly (1979) membagi geologi daerah Soroako menjadi tiga bagian,

yaitu :

1. Satuan batuan sedimen yang berumur kapur, terdiri dari batu gamping laut

dalam dan rijang. Terdapat dibagian barat Soroako dan dibatasi oleh sesar naik

dengan kemiringan kearah barat.

2. Satuan batuan ultrabasa yang berumur awal tersier, umumnya terdiri dari jenis

peridotit, sebagian mengalami serpentinisasi dengan derajat yang bervariasi dan

umumnya terdapat dibagian timur. Pada satuan ini juga terdapat intrusi-intrusi

pegmatit yang bersifat gabroik dan terdapat dibagian utara.

3. Satuan alluvial dan sedimen danau (lacustrine) yang berumur kuarter,

umumnya terdapat dibagian utara dekat desa Soroako.

Golightly (1979) juga mengemukakan bagian Timur Sulawesi tersusun dari

2 zona melange subduksi yang terangkat pada pre – dan post-Miocene (107 tahun

lalu). Melange yang paling tua tersusun dari sekis yang berorientasi kearah

Tenggara dengan disertai beberapa tubuh batuan ultrabasa yang penyebarannya

sempit dengan stadia geomorfik tua. Sementara yang berumur post Miocene telah

mengalami pelapukan yang cukup luas sehingga cukup untuk membentuk endapan

nikel laterite yang ekonomis, seperti yang ada di daerah Pomalaa.


Gambar 2.2 Geology daerah Soroako (Golightly 1979)

Sesar besar disekitar daerah ini menyebabkan relief topografi sampai 600 m

dpl dan sampai sekarang aktif tererosi. Sejarah tektonik dan geomorfik di kompleks

ini sangat penting untuk pembentukan nikel Laterite yang bernilai ekonomis.
Gambar 2.2 Geology daerah Soroako (Golightly 1979)
Matano fault yang membuat topographic liniament yang cukup kuat adalah sesar

aktif left-lateral strike slip fault dan menggeser Matano limestone dan batuan

lainnya sejauh 18 km kearah barat pada sisi Utara. Danau Matano yang mempunyai

kedalaman sekitar 600 m diperkirakan adalah graben yang terbentuk akibat efek

zona dilatasi dari sesar tersebut. Danau Towuti pada sisi Selatan dari sesar

diperkirakan merupakan pergeseran dari lembah Tambalako akibat pergerakan

sesar Matano. Pergerakan sesar ini memblok aliran air ke arah Utara sepanjang

lembah dan membentuk danau Towuti dan aliran airnya beralih ke barat menuju

sungai Larona. Danau-danau yang terbentuk akibat dari “damming effect” dari
sesar ini merupakan bendungan alami yang menahan laju erosi dan membantu

mempertahankan deposit nikel laterit yang terbentuk di daerah Soroako dan sekitar

kompleks danau. (Gambar 2.3)

TAM BALAKO VA LLEY GULF OF TOLO


AXIS

GULF
OF
BONE
DISPLACED TERTIARY
EXT ENTION OF
TAM BALA KO VALLEY

Gambar 2.3 Struktur Geologi Danau Matano – Soroako


dan sekitarnya (Golightly 1979)

2.3 Endapan Nikel Laterit

Gambar 2.2 Geology daerah Soroako (Golightly 1979)


Laterit berasal dari bahasa latin yaitu later, yang artinya bata. Kata ini

pertama kali diperkenalkan oleh Buchanon Hamilton, 1907 terhadap tanah besi

keras sebagai material dalam membuat bata untuk bahan bangunan yang digunakan

oleh orang-orang India bagian tengah (Ahmad, 2001). Saat ini, istilah terebut
diterapkan pada tanah yang kaya akan besi dan aluminium, terbentuk akibat

pengaruh pelapukan kimia dengan kondisi air tanah tertentu.

Endapan nikel laterit merupakan endapan hasil proses pelapukan lateritic

batuan induk ultrabasa yang mengandung Ni dengan kadar tinggi, agen pelapukan

tersebut beruap air hujan, suhu, kelembaban, topografi, dan lain-lain. Hasil

pelapukan terkonsentrasi di suatu tempat dan tidak mengalami transportasi atau

insitu. Umumnya pembentukan endapan nikel laterit terjadi di daerah tropis atau

sub-tropis.

Laterisasi adalah proses penguraian mineral-mineral primer yang

mengakibatkan unsur-unsur terbawa dalam larutan kemudian akan terpresipitasi

pada tempat tertentu. Proses ini berjalan dinamis dan perlahan, dan dari perlapisan

yang terlihat seperti pada gambar 3.1, maka tampak bahwa profil laterit

sesungguhnya merupakan kilasan dari perkembangan tahap-tahap laterisasi.

Lapisan paling bawah merefleksikan tahap awal dari pelapukan batuan dasar

(bedrock), dan setiap lapisan ke atas masing-masing mewakili proses transformasi

dari apa yang ada di bagian bawahnya, menampilkan perkembangan tahapan proses

laterisasi secara progresif. Pada bagian bawah profil (saprock), pelapukan terjadi

pada kontak antara mineral-mineral dan pada batas-batas fraktur batuan dan

terdapat batuan fresh yang melimpah serta hanya sedikit produk alterasi.

Semakin ke atas dari profil, proporsi dari mineral-mineral primer yang

bertahan akan semakin sedikit, dan lebih banyak lagi terbentuknya fraktur-fraktur

batuan yang mengakibatkan berkembangnya boulder-boulder batuan yang

‘mengapung’ dalam bentuk percampuran antara mineral-mineral primer dan


mineral-mineral ubahannya, dimana fabrik batuan induk masih cukup terlihat baik

(saprolit). Pada lapisan yang lebih tinggi lagi, sudah berupa mineral-mineral

ubahan, dan ditandai oleh hilangnya fabrik primer batuan induknya. Zona ini berupa

zona limonit, penamaannya berasal dari kandungan dominan mineraloginya

(goethite dan hematite) pada laterit oksida.

2.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Profil Laterit

Proses-proses dan kondisi yang mengatur dan mengendalikan laterisasi dari

batuan ultramafik begitu banyak dan beragam, akibatnya kondisi alamiah dari tiap

profil berbeda secara detail dari satu tempat ke tempat lainnya dalam hal ketebalan,

kimiawi, komposisi mineralogi dan perkembangan relatif dari zona profil secara

individu (Ellias, 2002). Faktor – faktor utama yang mempengaruhi efisiensi dan

kinerja dari pelapukan kimia, berdampak pada model alamiah profil, antara lain

iklim, topografi, drainase, tektonik, tipe batuan induk, struktur, stabilitas mineral

(struktur kristal, titik lebur), reaksi potensial (Reduksi / Oksidasi), ukuran butir dan

bukaan batuan (Porositas), kondisi pH, tingkat pemindahan suatu unsur ke arah

vertical, klimaks (temperatur, curah hujan, naik-turunnya muka air tanah), peran

permukaan air di bawah tanah, dan waktu .

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat sebaran secara horisontal

endapan lateritik (de Chetelat, dalam Boldt, 1967), yaitu :

 Adanya proses pelapukan yang relatif merata walaupun berbeda tingkat

intensitasnya, sehingga endapan lateritik terbentuk dan tersebar secara merata.


 Topografi / morfologi yang tidak curam tingkat kerengannya, sehingga

endapan laterit masih mampu untuk ditopang oleh permukaan topografi

sehingga tidak terangkut semua oleh proses erosi ataupun ketidakstabilan lereng

(gambar 3.2).

 Adanya tumbuhan penutup yang berfungsi untuk mengurangi tingkat

intensitas erosi endapan lateritik, sehingga endapan laterit tersebut relatif tidak

terganggu.

Faktor-faktor tersebut saling terkait secara kompleks. Ketika batuan

terekspose ke permukaan, secara gradual akan mengalami dekomposisi. Proses

kimia dan mekanik yang disebabkan oleh udara, air, panas dan dingin akan

menghancurkan batuan tersebut menjadi soil dan clay.

Gambar 2.4Penampang skematik endapan nikel laterit secara general


terhadap relief topografi (menurut de Chetelat, dalam Boldt,
1967)

Gambar 2.2 Geology daerah Soroako (Golightly 1979)


2.5 Geokimia Endapan Nikel Laterit

Proses kimia dimulai pada batuan peridotit. Pada umumnya pelapukan ini

terdiri dari beberapa tingkat, yaitu :

1. Pelarutan.

2. Transportasi

3. Dan pengendapan kembali mineral.

Pada pelarutan, faktor yang terpenting adalah pH dan kestabilan mineral

(Golightly,1979), sedangkan pada transportasi dan pengendapan kembali faktor

yang berpengaruh adalah iklim, topografi dan morfologi. Hasil pelapukan akan

ditransportasikan, kemudian diendapkan kembali. Proses ini hanya akan terjadi

pada permukaan tanah yang landai, keadaan morfologi dan topografi yang tidak

terlalu curam. Hasil pelapukan akan ditransportasikan oleh air tanah atau air hujan.

Unsur-unsur dengan mobilitas kecil akan terakumulasi di zona gossan.

Mobilitas unsur dipengaruhi oleh berat jenis unsur, media transportasi, topografi

dan lain-lain. Unsur-unsur dengan mobilitas besar mengalami proses pencucian

(leaching) dan migrasi, akhirnya terakumulasi pada zona oksidasi dan reduksi.

Mobilitas unsur yang umumnya ditemukan pada batuan mafik dan

ultramafik dapt diklasifikasikan sebagai :

- Larut tinggi (Highly soluble) dan mobilitas tinggi (Highly mobile). Mudah

tercuci pada profil pelapukan dan larut tinggi pada air tanah pada kondisi tropis

(agak asam) seperti Ca, Na, Mg, K, dan Si.


- Tidak larut (non-soluble) dan tidak mobile (non-mobile). Tidak larut pada air

tanah, dan menjadi unsur penting pada tanah residu meliputi unsur Al, Fe+++,

Cr, Al, Ti, Mn, dan Co

- Melarut terbatas (Limited soluble) dan mobilitas terbatas (limited mobility).

Sebagian larut pada air tanah yang bersifat asam meliputi unsur Ni, dan Fe++.

Endapan nikel laterit berasal dari hasil pelapukan batuan ultramafik

Data penentuan zona saprolit dibatasi oleh material yang memiliki kadar

10 < Fe <35 %dan 5 < MgO < 30% dan 10 < SiO2 < 40% serta dikompilasikan

dengan deskripsi logging.

dengan komposisi mineral utama adalah olivin (~0,3 % Ni) dan piroksin

(~0,15% Ni). Pada daerah yang beriklim tropis, intensitas pelapukan cukup tinggi

terutama secara kimia. Proses pelapukan kimia ini dapat terjadi melalui empat cara

(Ahmad, 2001) yaitu hidrolisis, oksidasi, hidrasi dan pelarutan.

Hidrolisis adalah proses kimia di mana mineral utama terurai menjadi

komponen yang lebih stabil akibat pengaruh air sebagai agen pelapukan.

Penguraian secara kimia dapat dijelaskan berdasarkan beberapa kriteria berikut :

- Menurut aturan Pauling, jumlah muatan negatif dan positif harus seimbang

dalam kristal.

- Atom-atom atau ion pada permukaan kristal mempunyai valensi yang tidak

jenuh, sehingga menjadi bermuatan.


- Kontak dengan air menyebabkan hidrasi permukaan melalui gaya tarik molekul

air terhadap permukaan yang bermuatan.

- Gaya tarik yang kuat menyebabkan polarisasi air sehingga mengalami disosiasi

menjadi hydrogen (H+) dan hidroksil (OH-).

- Ion hidroksil kemudian mengikat kation yang tersedia, sedangkan ion hydrogen

mengikat oksigen dan ion negatif lainnya.

- Konsekuensi dari hidrolisis adalah ion hidrogen akan bertambah dan

menghasilkan hidroksida. Oleh sebab itu larutan menjadi lebih bersifat basa.

Dalam konteks kimia, oksidasi didefinisikan sebagai suatu proses yang

mengakibatkan hilangnya satu elektron atau lebih dari dalam zat (atom, ion atau

molekul). Bila suatu unsur dioksidasi, maka keadaan oksidasinya berubah ke harga

yang lebih positif. Pada saat oksidasi berlangsung, maka di lain pihak juga akan

terjadi reduksi, sehingga proses ini biasanya disebut reaksi redoks (reduksi

– oksidasi).

Hidrasi adalah peristiwa di mana suatu zat mengalami penambahan kadar

air. Dengan adanya gugus hidroksil (OH-), maka oksida-oksida yang baru saja

terbentuk akibat penguraian mineral, akan dikonversi dalam bentuk hidroksida.

Pada tanah lateritik, sebagian besar mineral penyusunnya terdiri dari senyawa-

senyawa hidroksida misalnya goethit (Fe2O3.H2O), limonit (2Fe2O3.3H2O), gibsit

(Al2O3.3H2O), dan brusit (MgO.H2O). Beberapa terdapat beberapa mineral-mineral

mafik baru yang bisa terbentuk akibat proses hidrasi, seperti serpentin

(Mg3Si2O5(OH)4), talk (Mg3Si4O10(OH)2), dan klorit (Mg5Al2Si3O10(OH)8).

Hidrasi juga dapat menghasilkan mineral lempung yang mempunyai kandungan ion
hidroksil yang tinggi seperti kaolinit (Al2Si2O5(OH)4), illit (KAl3Si3O10(OH)2), dan

nontronit (Fe2Si4O10(OH)2).

Apabila pelapukan kimia berlanjut, maka semua komponen dalam mineral

primer akan terurai dan keluar dari sistem dalam bentuk larutan. Unsur-unsur yang

larut akan terbawa melalui perkolasi air tanah yang umumnya bergerak dari atas ke

bawah pada suatu profil. Air tanah tersebut, bersama unsur yang larut tadi akan

mengalir ke sungai, danau atau laut.

Mekanisme pembentukan endapan nikel laterit sendiri dimulai dengan

adanya air hujan yang kaya akan CO2 dari udara meresap ke bawah sambil melindi

(leaching) mineral-mineral primer seperti olivin, piroksin dan serpentin. Air tanah

meresap secara perlahan-lahan dari atas ke bawah sampai pada batas antara zona

limonit dan zona saprolit, kemudian mengalir secara lateral dan selanjutnya lebih

banyak didominasi oleh transportasi larutan secara horisontal (Valeton, 1967,

dalam Darijanto, 2000), (Gambar 3.3). Unsur Mg, Si dan Ni terlindih lalu terbawa

bersama larutan sehingga memungkinkan terbentuknya mineral baru

(neoformation) melalui pengendapan kembali unsur-unsur yang larut sebelumnya.

Selama proses pelapukan, Olivin (forsterit, dan fayalit) akan terdekomposisikan

membentuk mineral seperti saponit, goethit dan kuarsa (Golightly, 1979). Reaksi -

reaksi kimia yang bisa terjadi adalah :

4 Mg2SiO4 + 10H+ Mg3 Si4O10(OH)2 + 5 Mg2+ + 4 H2O

(forsterite) (saponite)
4 Fe2SiO4 + 8 H+ + 4 O2 Fe2Si4O10(OH)2 + 6 FeO(OH)

(fayalite) (Fe-smectite) (goethite)

Mg2SiO4 + 2 H+ SiO2 + 2 Mg2+ + H2O

(fosterite) (quartz)

Fe2SiO4 + 2H+ + O2 SiO2 + 2 FeO(OH)

(fayalite) (quartz) (goethite)

Peridotit yang banyak mengandung olivin, magnesium silikat dan besi

silikat (umumnya mengandung 0,3% Ni), mengalami proses pelapukan secara

kimiawi dan dipengaruhi oleh air tanah yang kaya akan CO2 dari udara luar atau

tumbuh-tumbuhan mengubah olivin, menyebabkan sangat menurunnya kadar Al

dan Ca yang terlarut oleh air hujan. Pelarutan itu menyebabkan kadar Fe, Ni, Cr,

Co semakin tinggi (terjadi pengayaan). Oksidasi yang terbentuk ,bereaksi dengan

air membentuk limonite yang terakumulasi pada zona oksidasi.

Akibat pengaruh peredaran air tanah terjadi migrasi unsur-unsur yang

mobile. Unsur Fe mempunyai mobilitas relatif kecil (0,01-0,03), maka akan

terakumulasi pada zona limonite sebagai pengayaan residu. Si dengan derajat

mobilitas (0,5 – 1,0) dan Mg (1,0) mengalami proses pencucian (leaching).

Sedangkan Ni sendiri dengan derajat mobilitas (0,03 – 0,12) mengalami proses

pengayaan sekunder dan terakumulasi pada zona saprolite. Si dan Mg yang

mengalami proses pencucian dan migrasi, akan mengikat Ni membentuk Ni –

Silikat (Garnierit)
6(Ni, Mg) O + 4 SiO2 + 4 H2O (Ni,Mg)2SiO10 (OH)8 (Garnierit)

2.6 Penyebaran dan Penampang Endapan Nikel Laterite

Secara horisontal penyebaran Ni tergantung dari arah aliran air tanah yang

sangat dipengaruhi oleh bentuk kemiringan lereng (topografi). Air tanah bergerak

dari daerah – daerah yang mempunyai tingkat ketinggian ke arah lereng, yang mana

sebagian besar dari air tanah pembawa Ni, Mg dan Si yang mengalir ke zona

pelindian atau zona tempat fluktuasi air tanah berlangsung. Pada tempat-tempat

yang banyak mengandung rekahan-rekahan Ni akan terjebak dan terakumulasi di

tempat-tempat yang dalam sesuai dengan rekahan-rekahan yang ada, sedangkan

pada lereng dengan kemiringan landai sampai sedang adalah merupakan tempat

pengkayaan nikel.

Air tanah berfungsi sebagai larutan pembawa Ni pada saat berlangsungnya

proses pelindian. Pada dasarnya proses pelindian ini dapat dikelompokkan menjadi

proses pelindian utama yang berlangsung secara vertikal yang meliputi proses

pelindian celah di zona saprolit serta proses pelindian yang terjadi di waktu musim

penghujan di zona limonit (Golightly, 1979).

Profil (penampang) laterit dapat dibagi menjadi beberapa zona. Profil nikel

laterit tersebut dideskripsikan dan diterangkan oleh daya larut mineral dan kondisi

aliran air tanah. MenurutGolightly, 1979 profil lateritdibagimenjadi 4 zonasi, yaitu:


1. Zona Limonit (LIM)

Zona ini berada paling atas pada profil dan masih dipengaruhi aktivitas

permukaan dengan kuat. Zona ini tersusun oleh humus dan limonit. Mineral-

mineral penyusunnya adalah goethit, hematit, tremolit dan mineral-mineral lain

yang terbentuk pada kondisi asam dekat permukaan dengan relief relatif datar.

Secara umum material-material penuyusun zona ini berukuran halus (lempung-

lanau), sering dijumpai mineral stabil seperti spinel, magnetit dan kromit.

2. Zona Medium Grade Limonite (MGL)

Sifat fisik zona Medium Grade Limonite (MGL) tidak jauh berbeda dengan zona

overburden. Tekstur sisa batuan induk mulai dapat dikenali dengan hadirnya

fragmen batuan induk, yaitu peridotit atau serpentinit. Rata-rata berukuran antara

1-2 cm dalam jumlah sedikit. Ukuran material penyusun berkisar antara lempung-

pasir halus. Ketebalan zona ini berkisar antara 0-6 meter. Umumnya singkapan zona

ini terdapat pada lereng bukit yang relatif datar. Mineralisasi sama dengan zona

limonite dan zona saprolit, yang membedakan adalah hadirnya kuarsa, lihopirit, dan

opal.

3. Zona Saprolit

Zona saprolit merupakan zona bijih, tersusun atas fragmen-fragmen batuan

induk yang teralterasi, sehingga mineral penyusun, tekstur dan struktur batuan

dapat dikenali. Derajat serpentinisasi batuan asal laterit akan mempengaruhi

pembentukan zona saprolit, dimana peridotit yang sedikit terserpentinisasi akan

mmeberikan zona saprolit dengan init batuan sisa yang keras, pengisian celah oleh

mineral – mineral garnierit, kalsedon-nikel dan kuarsa, sedangkan serpentinit akan


menghasilkan zona saprolit yang relatif homogen dengan sedikit kuarsa atau

garnierit.

4. Zona batuan induk (Bedrock zone)

Zona batuan induk berada pada bagian paling bawah dari profil laterit. Batuan

induk ini merupakan batuan yang masih segar dengan pengaruh proses-proses

pelapukan sangat kecil. Batuan induk umumnya berupa peridotit, serpentinit, atau

peridotit terserpentinisasi.

2.7 Aplikasi Umum Scandium (Sc)

Kegunaan utama untuk skandium berada pada sel bahan bakar oksida padat

(SOFCs), kekuatan tinggi paduan aluminium, intensitas tinggi lampu halida logam,

elektronik, dan penelitian laser.

Solid Oxide Fuel Cells (SOFC) - Scandium dapat menggantikan yttria

sebagai bahan stabilisasi untuk elektrolit padat (biasanya zirconia) dalam sel bahan

bakar. substitusi memungkinkan reaksi terjadi pada suhu yang lebih rendah,

memperpanjang umur komponen dan meningkatkan kepadatan kekuatan unit.


Metalurgi - Scandium mudah berpadu dengan aluminium dan memodifikasi

struktur butir logam gabungan, secara dramatis meningkatkan kekuatan tanpa

mengorbankan ketahanan korosi.

Elektronik - Scandium digunakan dalam penyusunan bahan laser

Gd3Sc2Ga3O12, gadolinium skandium gallium garnet (GSGG). garnet ini ketika

diolah dengan baik Cr dan Nd ion dikatakan 3 1/2 kali seefisien banyak digunakan

Nd didoping laser yang yttrium aluminium garnet.

Pencahayaan - Scandium digunakan dalam uap merkuri lampu intensitas

tinggi untuk menciptakan cahaya alami. Skandium memiliki spektrum emisi luas

yang menghasilkan efek 'daylight' diinginkan untuk penerangan kamera, film dan

studio televisi lampu.

Phosphorus / Display - senyawa Skandium memiliki aplikasi sebagai host

untuk fosfor atau sebagai ion aktivator di TV atau monitor komputer. Sc2O3 dan

ScVO4 adalah bahan host khas, sementara ZnCdS2, diaktifkan dengan campuran

perak dan skandium, fosfor luminescent cocok untuk digunakan dalam display

televisi.
BAB III

METODE DAN TAHAPAN PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Pada penelitian yang dilakukan adalah pemetaan korelasi endapan nikel laterit

unsur-unsur bawah permukaan dengan menggunakan data hasil pengeboran

danggkal. Metode penelitian mencakup dua hal, yaitu metode pada pengambilan

ata dan metode pada pengolahan data.

3.1.1 Metode Pengambilan Data

Metode ini yaitu dengan melakukan penelitian secara langsung di lapangan

mencakup pengambilan data – data geomorfologi seperti foto bentang alam daerah

penelitian, serta hal – hal yang dianggap perlu. Selain data geomorfologi dilakukan

pula pengambian data permukaan dan data pengeboran dari perusahaan.

Pengambilan data geologi permukaan yaitu dengan melakukan pengmbilan contoh

batuan dan melakukan deskripsi berupa komposisi mineral secara megaskopis

untuk jenis batuannya. Untuk mendukung hal tersebut diatas maka dilakukan pula

deskripsi hasil pengeboran berupa coring dalam hal ini yaitu bottom core, serta

pengambilan foto sampel core.

3.1.2 Metode Pengolahan Data

Menganalisis karakter daerah penelitian yaitu data hasil pemboran, yang

selanjutnya sampel tersebut dianalisis di laboratorium dengan menggunakan X-Ray


Flourensence sehingga didapatkan presentase kandungan unsur untuk tiap interval

dalam satu lubang bor menghasilkan data geokimia yang kemudian diolah dan

divalidasi, menghasilkan data final yang berisi kadar dan berat jenis dari unsur-

unsur tersebut. Serta memuat koordinat titik bor,elevasi, top bottom, dan nomor

titik bor.

Setelah didapatkan data final tiap lubang bor daerah penelitian, kemudian

dilakukan lagi anaisis data bor untuk menentukan lapisan antar bijih, waste dan

bedrock, selanjutnya melakukan korlasi model sebaran bijih dengan menggunakan

software Micromine versi 2020 sehingga dapat diketahui model sebaran bijihnya.

Dan unntuk pendistribusian bijih, data bor yang telah dibedakan antara lapisa

saprolit dan lapisan limonit sesuai standar perusahaan dengan asumsi sebagai

berikut Ni > 1.5%, Fe > 30%, unsur SiO2< 10%, unsur MgO < 5 % dan saprolit Ni

> 1.5%, Fe antara 10% - 30%, unsur SiO2antara 10 % – 40 %. Kemudian dilakukan

pemodelan distribusi bijih dengan menggunakan software Micromine versi 2020,

untuk mengetahui distribusi serta ketebalan bijih pada daerah penelitian.

3.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan pada lokasi penelitian di PT. Vale

Indonesia Tbk, Kolaka, meliputi tahap persiapan, tahap pengambilan data, tahap

pengumpulan dan pengolahan data serta tahap penyusunan laporan.

Tahapan Persiapan
Pada penelitian kali ini, tahapan persiapan yang dilakukan meliputi :

1. Persiapan administrasi yang dilakukan pengajuan proposal penelitian pada

tingkat Universitas dan PT. Vale Indonesia Tbk.Kolaka.

2. Melengkapi seluruh peralatan lapangan yang akan digunakan dalam

penelitian.

3. Studi Pendahuluan, meliputi pemahaman mengenai endapan laterit nikel,

studi literatur mengenai geologi regional daerah penelitian. Hal ini

dilakukan agar dapat memberikan gambaran umum mengenai kondisi

daerah penelitian.

3.2.2 Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data lapangan dilakukan pada lokasi titik bor yang meliputi

pendiskripsian cutting dan inti bor pada log bor skala yang telah ditentukan.

3.2.3 Tahapan Pengolahan Data

Setiap data yang telah diambil dari lokasi penelitian dikumpulkan dan

dilakukan pengolahan data yaitu pengamatan megaskopis lapangan pada setiap

conto lapisan endapan laterit nikel hasil coring.

3.2.4 Tahapan Penyusunan Laporan

Setelah semua data yang telah dianalisis baik analisis lapangan maupun

analisis laboratorium, maka dilakukan penyusunan laporan Tugas Akhir.


Mulai

Persiapan

Studi Pendahuluan :
Pemahaman tentang Administasi dan
endapan nikel laterit,
perlengkapan
unsur skandium, dan
geologi regional

Pengumpulan Data

Pendeskripsian
lapangan pada setiap Sample Sampling
contoh batuan

Analisis Data

Pengmatan Megaskopis Perhitungan Ketebalan


Pengamatan Petrografis

Penyusunan Laporan

Selesai

Gambar 3.1 Bagan alir tahapan penelitian tugas akhir pada PT. Vale
Indonesia Tbk.Soroako
BAB IV

PENUTUP

Demikian proposal ini disusun untuk menjadi acuan pelaksanaan penelitian

di daerah penelitian. Proposal ini diajukkan sebagai bahan pertimbangan agar

terlaksananya penelitin pada daerah yang ditentukan oleh perusahaan dan semoga

mendapat dukungan dari semua pihak.


DAFTAR PUSTAKA

Maulana, A., 2014, Studi Keberadaan Logam Logam Penting (Critical Metal)
Dan Logam Tanah Jarang (Rare Earth Element) Di Sulawesi: Suatu
Peluang Dan Tantangan Dalam Dunia Eksplorasi, Univeritas
Hassanudin, Makassar.

Ahmad, W., 2001, Laterite Nickel, a Manual Training, PT. International Nickel
Indonesia, Sorowako.

Suratman, 2002, Geologi dan Endapan Ni-Laterit Sorowako Sulawesi Selatan,


PT. International Nickel Indonesia, Sorowako

Sufriadin, 2003, Geokimia dan Karakteristik Endapan Nikel Laterit, Studi


Kasus : Blok G, Petea Area, Sorowako, (Intern Report), PT
Internasional Nickel Indonesia – Universitas Hasanuddin, Sorowako

Leonard A. Cole., 1930 Element of Risk : The Politics of Scandium ( American


Association for the Advancement of Science press) a scholary source
critical of U.S. and EPA domestic skandium policy

Ahmad, Z., 2003. The properties and application of scandium-reinforced


aluminum. J. Electron. Mater. 55, 35–39.

Wang, T., Wang, J., Ebner, A.D., Ritter, J.A., 2008. Reversible hydrogen
storageproperties of NaAlH4 catalyzed with scandium. J. Alloys
Compd. 450, 293– 300.

Kuzvart, M., 1984. Industrial Minerals And Rocks, Development in Economic


Geology 18, Elsevier, Amsterdam.

Sukamto, Rabb., 1975. Geologi Daerah Soroako, melakukan penelitian tentang


geologi daerah soroako

Sukamto, 1975, 1982 dan Simandjuntak, 1986., Melakukan penelitian tentang


Mandala Indonesia Bagian Timur
Hamilton., 1972. Geologi Umum dan Tektonik Sulawesi, Golightly 1979

Anda mungkin juga menyukai