Sinopsis :
Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian
bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata
apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Adzan Maghrib di bawah menara masjid
benar-benar terjadi. Itulah cuplikan cerita novel laris Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi yang menjadi topik Kick Andy kali ini.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak
percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera
Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti
yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak
salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang
yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai,
karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi
mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya
tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin
melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau
mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk
diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di
kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman
yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani,
Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian
berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias
Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore
mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara
masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka
melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti
benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula
lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.
Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima
santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan,
mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat
awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya.
Karena ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, dan juga
kampungan ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung
disiplin yang tinggi, sehingga membentuk para santri yang bertanggung jawab dan
komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak
gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata
mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.
”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih impiannya
untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk
bermimpi,”