Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arip Nur Ilham

Kelas : XII - MIPA 4


Merancang Novel
No. Keterangan Kajian
1 Tema Pendidikan
2 Judul Negeri 5 Menara
3 Tokoh & a. Alif
Penokohan > Penurut dan patuh, bukti : “selama ini aku anak penurut” – hal. 11
> Tidak konsisten terhadap pilihan yang telah diutuskan, bukti : “aku
sendiri belum yakin betul terhadap keputusan ini” – hal. 13
b. Baso
> orang yang agamis, bukti : “saya ingin mendalami agama islam
dan menjadi penghafal Al-Qur’an” – hal.46
> Orang yang sangat peduli, bukti : “.. merawat nenek dan pulang,
mungkin selamanya….” – hal. 362
> Berbakti kepada orangtua, bukti : “Motivasi besar menghafal Al-
Qur’an adalah pengabdian kepada orangtua” – hal. 363
c. Raja Lubis
> Percaya diri, bukti : “maju dengan penuh percaya diri” – hal.44
> Rajin membaca bukti : “hoby utamanya membaca buku” – hal. 45
> Mau Berbagi “….dia tidak pelit dengan informasi” – hal. 61
f. Said
> Berpikir dewasa, bukti : “dia yang paling dewasa diantara kami” –
hal.45
> Kurang Percaya diri, bukti : “dia memang tidak terlalu pede …. “
– hal. 206
g. Dulmajid
> Mandiri, bukti : “ tentu saya akan datang sendiri” – hal. 27
> Belajar, bukti : “ Animo belajarnya memang maut” – hal. 46
> setia kawan, bukti : “…. paling setia kawan yang aku kenal” – hal.
46
h. Atang
> Orang yang dapat menepati janji, bukti : “sesuai janji, Atang yang
membayari ongkos” – hal. 221
> Humoris, bukti : “memasukkan berbagai macam guyon sunda
yang membuat hadirin terpingkal-pingkal” – halaman 220
4 Alur/Plot Alur yang digunakan dalam novel ini adalah campuran
1). Eksposisi
Kisah dimulai dari seorang wartawan VOA, yang sedang berada di
Washington DC. Wartawan tersebut bernama ALif Fikri.
Tanpa disengaja ia mengecek laptopnya tiba-tiba ada pesan masuk
dari orang yang Batutah. Setelah berbalas-balas esan, ternyata ia
adalah teman lama Ali dari pesantren sekolah lamanya yaitu Pondok
Madani.
2). Intrik
Alif tak ingin besekolah di sekolah di madrasah ataupun pesantren,
sedangkan Amaknya tidak rela bila Alif masuk sekolah SMA umum,
karena Amaknya ingin anak laki-lakinya bersekolah agama, dan
menjadikan anaknya sebagai pemimpin agama di masa depan,
seperti Buaya Hamka.
3). Komplikasi
Baso bercerita kepada kawan-kawan shahibul menara, bahwa
sepertinya ia harus meninggalkan PM duluan dibanding dengan
kawan-kawan yang lain.
Karema ia harus merawat neneknya yang sedang sakit parah. Pada
akhirnya paman Latimbang menjemput Baso yang saat itu berada di
PM, dan Baso harus meninggalkan PM selamanya.
4). Klimaks
Uztad Torik begitu marah saat mendengar bahwa ada siswa yang
pergi dari PM tanpa izin terlebih dahulu, Mereka itu adalah Said,
Alif dan Atang.
Sebelum itu, merkea memnita izin ke Ponorogo untuk mencari
barang, namun barang itu tidak ada, dan merekapun harus pergi ke
Surabaya untuk mendapatkan barang tersebut. Pada Akhirnya
mereka bertiga diberikan hukuman, yaitu mencukur habis
rambutnya.
5). Antiklimaks
Semua siswa PM kelas 6, sudah berhasil menyelesaikan ulangan
akhir, untuk menentukan kelulusan mereka.
Kemudian mereka semuapun berpisah, begitu juga dengan shahibul
menara yang akan menempuh jalanya masing-masing untuk
menggapai impian mereka.
6). Resolusi
Shahibul menara telah mencapai impiannya masing-masing dan
berencana akan mengadakan reuninan setelah tidak bertemu selama
bertahun-tahun.
5 Latar 1). Tempat
> Pondok Madani ["selamat datang di pondok madani" (hlm : 30)]
> Aula ["murid-murid berbndong-bondong memenuhi aula" (hlm :
48)]
> Lapangan ["masing-masing melintasi lapangan besar..." (hlm :
62)]
> Kamar ["pintu kayu kamar bergetar-getar digedornya" (hlm : 84)]
> Menara ["Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu...."
(hlm : 94)]
> Kelas ["Ustad Salman masuk kelas..." (hlm : 105)]
> Bandung ["kami telah masuk Bandung..." (hlm : 218)]
2. Waktu
> Sore hari ["matahari telah tergelincir di ufuk..." (hlm : 62)]
> pagi hari ["rasanya udara pagi lebih segar...." (hlm : 127)]
> Malam hari [malam ini untuk pertama kalinya kami..." (hlm :
238)]
> Dini hari ["sekitar jam dua pagi..." (hlm : 244)]
3. Suasana
> Menegangkan ["kami mendengar suara orang berteriak dan bunyi
kaki berlarimendekat ke arah kami" (hlm : 246)]
> Bahagia ["kami senang bisa menangkap pencuri dan lebih senang
lagi lepas dari kewajiban jadi jasus" (hlm : 249)]
> Gelisah ["kegelisahanku yang naik turun..." (hlm : 369)]
6 Amanat Cerita Novel Negeri 5 menara ini memberikan kesan dan pesan
moral pendidikan yang sangat dalam. kita harus bersungguh-
sungguh dan bekerja keras untuk meraih apa yang kita impikan. tapi
ingatlah dibalik kesuksessan tersebut ada orangtua yang selalu
mendoakan kita, jadi kita juga harus serta-merta menghormati,
menyayangi dan berbakti kepada orang tua.
Jangan pernah meremehkan impian walu setinggi apapun, Tuhan
sungguh Maha mendengar. Man Jadda Wajada siapa yang
bersungguh-sungguh dapatlah ia.
7 Nilai yang 1). Nilai agama
terkandung Novel ini menceritakan tentang kehidupan sekitar dunia pesantren
sehingga banyak mengajarkan nilai agama yang jarang di dapat
dalam novel-novel lain.
2). Nilai Moral
Kebersamaan Sahibul menara dalam menghadapi kerasnya dunia
pendidikan di pesantren mengajarkan bahwa sebagai penuntut ilmu,
kita harus sabar dan tidak mudah menyerah untuk menuntaskan apa
yang telah dimulai
8 Sudut Pandang Dalam novel Negeri 5 menara karya Ahmad Fuadi ini, si penulis
menggunakan orang pertama pelaku utama, karena menggunakan
kata ganti “Aku”.

Sinopsis :

Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian
bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata
apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Adzan Maghrib di bawah menara masjid
benar-benar terjadi. Itulah cuplikan cerita novel laris Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi yang menjadi topik Kick Andy kali ini.

Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak
percaya bisa menjadi seperti sekarang ini. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera
Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti
yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak
salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang
yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama.

“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai,
karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi
mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.

Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya
tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin
melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau
mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk
diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di
kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman
yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani,
Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian
berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias
Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.

Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore
mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara
masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka
melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti
benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula
lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa.

Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima
santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan,
mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat
awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.

Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya.
Karena ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, dan juga
kampungan ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung
disiplin yang tinggi, sehingga membentuk para santri yang bertanggung jawab dan
komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak
gampang menyerah. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata
mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.

”Siapa mengira jika Fuadi yang anak kampung kini sudah berhasil meraih impiannya
untuk bersekolah dan bekerja di Amerika Serikat? Untuk itu, jangan berhenti untuk
bermimpi,”

Anda mungkin juga menyukai