Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

ILMU PESISIR DAN KEPULAUAN

“Penentuan
Wilayah dan Identifikasi Prioritas Masalah
Kesehatan di Wilayah Pesisir dan Kepulauan”

Kelompok 3 :
DIAN SAFITRI (J1A119022)
ENDANG (J1A119026)
ESTI WULANDARI (J1A119028)
FITRIANI (J1A119031)
FITRIYANI (J1A119032)
GISRI MAYA SARI (J1A119034)
HASNI (J1A119035)
ALSOFIAN (J1A119091)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Ilmu Pesisir Dan Kepulauan.
Tidaklah akan terwujud dan terlaksana penulisan ini tanpa adanya
kebijaksanaan dan bantuan dari pihak-pihak lain, oleh karena itu kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan makalah. Ucapan terima kasih kami berikan kepada :
1. Dr. Yusuf Sabilu, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro.
2. Dr. Suhadi, S.KM., M.Kes selaku Dosen Mata Kuliah Ilmu Pesisir Dan
kepulauan.
3. Orang Tua yang senantiasa mendukung dan mendoakan.
4. Teman-teman Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo.
5. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, adanya kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam ilmu kesehatan
masyarakat.

Kendari, 21 Oktober 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang………………………………………………………
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………………….
1.3. Tujuan………………………………………………………………..
1.4. Manfaat……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wilayah Pesisir dan Kepulauan…………………………
2.2 Metode Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan di Pesisir dan
Kepulauan…………………………………………………………….
2.3 Masalah-Masalah Kesehatan di Pesisir dan Kepulauan………………
2.4 Faktor-Faktor Masalah Kesehatan di Pesisir dan Kepulauan…………
2.5 Cara Mengatasi Masalah Kesehatan Yang Ada di Pesisir dan
Kepulauan……………………………………………………………
2.6 Layanan Kesehatan Utuk Masyarakat Pesisir………………………..
2.7 Peningkatan Kesehatan Masyarakat Pesisir…………………………..
2.8 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah………………………………
2.9 Pendekatan Kesehatan Masyarakat……………………………………
2.10 Ancaman Perubahan Iklim Di Kawasan Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil…………………………………………………………………..
2.11 Peranan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Pesisir………………

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan……………………………………………………………
3.2. Saran…………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah Negara yang memiliki lautan yang lebih luas dari daratan. Dua
pertiga wilayah Indonesia adalah perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas,
teluk dan selat. Secara fisik, dia punya panjang garis pantai mencapai 81.000 km
dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 pulau. Luas daratan 1,9 juta
kilometer persegi, sementara luas perairan 3,1 juta kilometer persegi. Luas wilayah
laut termasuk didalamnya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mencapai 5,8 km2 atau
sekitar ¾ dari luas keseluruhan wilayah Indonesia.
Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah perairan tiga kali
luas seluruh wilayah daratan. Oleh karena itu negara Indonesia memiliki potensi
perikanan yang tinggi, wilayah Indonesia letaknya sangat strategis ditinjau dari
berbagai sudut pandang geologi, oceanografi, dan klimatologi. Dengan potensi
demikian maka pembangunan kelautan di Indonesia dewasa ini diarahkan pada
pendayagunaan sumberdaya laut dan dasar laut serta pemanfaatan fungsi wilayah laut
nasional, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif sacara serasi dan seimbang dengan
memperhatikan daya dukung kelautan dan kelestariannya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013, wilayah laut dan
pesisir Indonesia memiliki kekayaan ekosistem seperti hutan mangrove, terumbu
karang, dan padang lamun. Sepanjang wilayah pesisir ini terdapat sumber daya hayati
maupun non hayati, sumber daya buatan dan jasa lingkungan yang sangat berpotensi
dan mendukung bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir khususnya, dan potensi
perikanannya sangat besar.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, kondisi geografis Indonesia yang
memiliki garis pantai panjang serta potensi kelautan, perikanan dan pesisir yang
besar, pada dasarnya harus mampu memberi kontribusi signifikan bagi masyarakat
1
yang bertempat tinggal di sekitarnya, Besarnya potensi kekayaan ekosistem di tanah
air yang melimpah tersebut, ternyata belum termanfaatkan secara optimal.
Wilayah pesisir yang merupakan wilayah yang secara administratif jauh pusat
kota memungkinkan terjadinya masalah kesehatan disebabkan oleh akses dan sarana
prasarana tidak memadai karena kondisi geografis yang terdiri dari gugusan pulau
yang dipisahkan oleh laut.
Masyarakat pesisir secara geografis merupakan masyarakat yang berdomisili
di pesisir pantai & umumnya mempunyai plurarisme budaya. Masyarakat kawasan
pesisir cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka,
keluarga nelayan mudah diprovokasi (dipengaruhi), dan salah satu kebiasaan yang
jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan
mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki karakter
yang keras dan tidak mudah diatur. Dilihat dari aspek demografi, umumnya
merupakan penduduk yang mempunyai pekerjaan sebagai pelaut (Kusnadi,2002,36).
Lebih lanjut Kusnadi mengemukakan masyarakat pesisir cenderung lebih memikirkan
kebutuhan ekonomi, memenuhi kebutuhan sandang dan pangan keluarga. Anak-anak
usia sekolah banyak yang putus sekolah dasar dan umumnya jarang menamatkan
sekolah menengah pertama.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian atau definisi wilayah pesisir dan kepulauan?
b. Apa saja metode penentuan prioritas masalah kesehatan di pesisir dan
kepulauan?
c. Apa saja masalah-masalah kesehatan yang ada di pesisir dan kepulauan?
d. Apa saja faktor-faktor masalah kesehatan di peisir dan kepulauan?
e. Bagaimana cara mengatasi masalah kesehatan yang ada di pesisir dan
Kepulauan?
f. Bagaimana layanan kesehatan untuk masyarakat pesisir ?

2
g. Bagaimana peningkatan kesehatan masyarakat pesisir ?
h. Apa saja managemen penyakit berbasis wilayah ?
i. Bagaimana pendekatan kesehatan masyarakat ?
j. Apa ancaman perubahan iklim di kawasan pesisir dan pulau-pulau ?
k. Bagaimana peranan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pesisir ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian atau definisi dari wilayah pesisir dan
kepulauan.
b. Untuk mengetahui metode penenruan prioritas masalah kesehatan di
pesisir dan kepulauan.
c. Untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan di pesisir dan kepulauan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor masalah kesehatan di pesisir dan
kepulauan.
e. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah kesehatan yang ada di pesisir
dan kepulauan.
f. Untuk mengetahui layanan kesehatan masyarakat pesisir
g. Untuk mengetahui peningkatan kesehatan masyarakat pesisr
h. Untuk mengetahui manajemen penyakit berbasis wilayah
i. Untuk mengetahui pendekatan kesehatan masyarakat
j. Untuk mengetahui ancaman perubahan iklim dikawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil
k. Untuk mengetahui peranan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pesisir

1.4 Manfaat
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan
pengetahuan tentang Penentuan Wilayah Dan Identifikasi Prioritas Masalah
Kesehatan di Wilayah Pesisir dan Kepulauan.

3
Selain dapat menambah wawasan,pengetahuan,pengalaman dan kemampuan
bagi kami,kami juga berharap penelitian bisa bermafaat bagi beberapa pihak
diantaranya,yaitu:
1 Memberikan informasi dan memperkaya pengetahuan mengenai perubahan
orientasi mata pencaharian yang terjadi dipesissir kepulauan.
2 Sebagai bahan masukan bagi instasi terkait dalam pengembangan perekonomian
nelayan yaitu pemerintah.
3 Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan yang berbeda bagi peneliti
selanjutnya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir dan Kepulauan


Wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, di
mana bagian-bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional.
Pada konsep wilayah nodal, wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup yang mengandung
inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi
tenaga kerja, lokasi industri dan jasa serta pasar bahan mentah, sedangkan plasma
adalah wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja,
pemasok bahan mentah serta pasar dari industri dan jasa.
Menurut definisi, pengembangan wilayah merupakan program yang
menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya
yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah. Rustiadi et al.
menyatakan skala prioritas diperlukan dalam suatu perencanaan pembangunan karena
keterbatasan sumber daya yang tersedia. Pengembangan wilayah menempatkan
pemerintah daerah, masyarakat, dan stakeholderlainnya sebagai subyek utama
pembangunan.
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke
arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-prose alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan.
Sebagian besar wilayah Indonesia adalah terdiri dari lautan dan memiliki
potensi kelautan cukup besar, dengan potensi yang dimiliki tersebut seharusnya dapat
mensejahterakan kehidupan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup pada
potensi kelautan (maritim) tersebut.

5
Namun kenyataannya, kehidupan masyarakat nelayan senantiasa dilanda
kemiskinan, bahkan kehidupan nelayan sering diidentikkan dengan
kemiskinan.Tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan (nelayan) pada saat ini
masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor pertanian agraris. Nelayan
(khususnya nelayan buruh dan nelayan tradisional) merupakan kelompok masyarakat
yang dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin diantara kelompok
masyarakat lain di sektor pertanian atau manusia di darat seperti penggundulan hutan.
Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang
pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas
sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebutdapat mengakibatkan
perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan
air tawar dan air laut yang menghasilkan ekosistem yang khas. Ditinjau dari aspek
kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya
sering memiliki sifat terbuka cemaran.

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir yaitu bahwa sebagian besar


pada umumnya masyarakat pesisir bermata pencaharian di sektor kelautan seperti
nelayan, pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Dari segi
tingkat pendidikan masyarakat pesisir sebagian besar masih rendah. Serta kondisi
lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata
dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relative berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam masyarakat pesisir.
jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar guna
pemenuhan kebutuha
Wilayah pesisir diartikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan
lautan yaitu batas kearah daratan meliputi wilayah-walayah yang tergenang air
maupun yang tidak tergenang air yang masih terpengaruh oleh proses laut seperti
pasang surut,angin laut,dan intrusi garam.

6
Kay dan alder mengatakan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang
merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang mana
proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunana lahan masih mempengaruhi
proses dan fungsi kelautan.
Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang
digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, nelayan
harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan
masyarakat nelayan hidup dalam suasana alamyang keras dimana selalu diliputi oleh
adanya ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
Kawasan pesisir mempunyai potensi pembangunan yang sangat tinggi, potensi
tersebut antara lain:

1) sumber daya yang dapat diperbaharui (hutan mangrove, terumbu karang,


padang lamun dan rumput laut dan sumber daya perikanan laut);
2) sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, terdiri atas sumber daya
mineral dan geologis; jasa–jasa lingkungan misalnya environmental
service (kawasan perlindungan dan sistem penyangga kehidupan),
pariwisata, transportasi, dan sumber energi. Perencanaan pengembangan
pesisir dan pembangunan wilayah pesisir memerlukan perhatian yang
cukup serius agar kerusakan wilayah pesisir sebagai contoh akibat
pembukaan lahan untuk budi daya udang di tambak secara intensif
dengan membuka hutan mangrove seperti di wilayah pantai utara Jawa
tidak terulang lagi (Harahab, 2010).
Pentingnya wilayah pesisir yaitu:
a. Sumberdaya pesisir (SDP) terdiri dari sumberdaya hayati (ikan, karang,
mangrove), non hayati (mineral) dan jasa kelautan.

7
b. Pusat keanekaragaman tropis dunia (> 70 genus dari karang, 18% terumbu
karang dunia ada di Indonesia)
c. 30% hutan bakau dunia ada di Indonesia
d. 90% hasil tangkapan ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil dari pantai
e. SDP mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang
besar, beraneka ragam dan laut dan laut tropis yang terkaya.
f. 140 juta penduduk (60%) Indonesia tinggal diwilayah pesisir.
g. 80% tergantung kepada pemanfaatan SDP memberikan kontribusi ekonomi
sebesar 24,5%.
h. 42 kota dan 290 Kabupaten berada di pesisir sebagai tempat pusat pertumbuhan
ekonomi

Kata kepulauan berasal dari bahasa Yunani Arkhi yang berarti kepala dan
pelagos yang berarti laut yang berasal dari rekonstruksi linguisti bahasa Yunani abad
pertengahan tepatnya nama untuk laut Aegea dan kemudian dalam penggunaan
bergeser untuk merujuk pada kepulauan Aegean atau merujuk pada jumlah kumpulan
yang besar pulau-pulau.

Kepulauan adalah Suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di
antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu
sama lain, merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan keamanan, dan
politik (Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, )

Masalah terbesar ialah ruang atau wilayah pengelolaan sumber daya alam di
laut pada perairan sisi dalam di sekeliling daerah-daerah di wilayah kepulauan, baik
dalam lingkup provinsi atau kabupaten/kota, yang berada di luar jarak 12 mil laut,
tidak berada di dalam otoritas penyelenggara pemerintahan daerah di wilayah
kepulauan.

8
Oleh karena itu untuk menciptakan keadilan wilayah di antara semua daerah
yang telah terbagi-bagi secara konstitusional di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka penggunaan cara pengukuran garis dasar lurus seperti disebutkan di
atas, cukup dilakukan pada tempat-tempat yang menghadap keluar (outward position)
dari pulau-pulau pada batas provinsi berbasis kepulauan, bukan melakukan
perhitungan keliling atau melingkar (circle position) masing-masing pulau, tetapi
pada perhitungan keliling dari gugusan pulau dalam daerah di wilayah kepulauan
keseluruhan.

Dengan cara demikian maka daerah kepulauan dengan kondisi sosial, ekonomi,
budaya maupun satuan-satuan masyarakat hukum adat dengan sistemnya, memiliki
wilayah nyata atas sumber daya alam di laut di antara pulau-pulau yang dapat
dikelola untuk kesejahteraan masyarakatnya dan pembangunan.

Jadi, jelaslah bahwa pengakuan penyelenggaraan pemerintahan daerah di


wilayah kepulauan merupakan model pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga
memiliki rujukan akademik yaitu sebagai wujud model desentralisasi asimeteris yang
berlandaskan pada political reasons (keberagaman karakter regional) dan efficiency
reason, yakni bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah. Oleh
karenanya, pengakuan daerah di wilayah kepulauan sebagai daerah yang bersifat
khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan konstitusional dan
landasan akademik yang tak perlu diragukan lagi.

Atas dasar pemikiran yang dipaparkan di atas, maka beralasan Rancangan


Undang Undang yang sedang digagas ini diberi judul “Rancangan Undang Undang
Tentang Daerah Kepulauan”. Argumentasi penggunaan judul tersebut secara lebih
konkrit adalah sebagai berikut:
a. Daerah di Wilayah Kepulauan menunjukkan bahwa yang diakui sebagai satuan
pemerintahan daerah yang berkarakter/bersifat khusus kepulauan meliputi propinsi

9
di wilayah kepulauan, kabupaten/kota di wilayah, dan tidak menutup kemungkinan
kelak diakui adanya desa di wilayah kepulauan.
b. Secara yuridis maupun secara akademik, satuan pemerintahan daerah yang disebut
daerah di wilayah kepulauan telah mendapatkan justifikasi sebagai konsekuensi
negara Republik Indonesia yakni negara kesatuan yang menganut prinsip
desentralisasi. Sebagai konsekuensi dari dianutnya prinsip desentralisasi adalah
pengaturan sistem pemerintahan daerah di Indonesia dengan Undang Undang
Pemerintahan Daerah.
c. Di dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia juga dikembangkan
desentralisasi asimetris, yaitu terwujud dalam pengakuan daerah yang bersifat
khusus dan daerah yang bersifat istimewa. Salah satu satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus dalam kerangka ini adalah daerah di wilayah kepulauan.
d. Kehadiran Rancangan Undang Undang tentang Daerah Kepulauan mempertegas
bahwa RUU ini lahir sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip desentralisasi
asimentris dan sebagai implikasi dari sistem pemerintahan daerah sebagaimana
diatur terdahulu dengan Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah.

Tujuan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kepulauan :


a) Melindungi, mengkonservasi,merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara
berkelanjutan

b) Memperkuat peran serta masyarkat dan lembaga pemerintah serta mendorong


inisiatif masyarkat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan berkelanjutan

c) Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah


dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil

10
d) Meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat melalui
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Kepulauan merupakan suatu proses


perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber Daya Pesisir
dan kepulauan antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Potensi Sumberdaya Pesisir & Kepulauan


1) Sumber Daya Hayati
- Ikan
- Mangrove
- Lamun
- Terumbu Karang
2) Sumber Daya Non Hayati
- Pholymethalich Nodules
- Bio-Farmasi/Teknologi
- Pasir laut
- Dep sea water
3) Jasa-jasa Lingkungan
- Pariwisata
- Industri Maritim
- OTEC
- Pasut,gelombang

2.2 Metode Penentuan Prioritas Masalah Kesehatan di Pesisir dan


Kepulauan

11
Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas
masalah kesehatan yaitu (1) Metoda Matematik (2) Metoda Delbeque (3) Metoda
Delphi dan (4) Metoda estimasi beban kerugianakibat sakit (diseaseburden/ 2).

1. Metoda Matematika
Metoda ini dikenal juga sebagai metodaPAHO yaitu singkatan dari Pan
American Health Organization, karena digunakan dan dikembangkan di wilayah
Amerika Latin. Dalam metoda ini dipergunakan beberapa kriteria untuk menentukan
prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah berdasarkan:
a) Luasnya masalah (magnitude)
b) Beratnya kemgian yang timbul (Severity)
c) Tersedianya sumberdaya untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut
(Vulnerability)
d) Kepedulian/dukungan politis dan dukungan masyarakat (Community
andpolitical concern)
e) Ketersediaandata (Affordability).

Magnitude masalah, menunjukkan berapa banyak penduduk yang terkena


masalah atau penyakit tersebut. Ini ditunjukan oleh angka prevalensi atau insiden
penyakit. Makin luas atau banyak penduduk terkena atau semakin tinggi prevalen,
maka semakin tinggi prioritas yang diberikanpada penyakit tersebut,
Severity adalah besar kerugian yang ditimbulkan. Pada masa lalu yang dipakai
sebagai ukuran severity adalah Case Fatality Rate (CFR) masing-masingpenyakit.
Sekarang severity tersebut bisa juga dilihat dari jumlah disability days atau disability
years atau disesase burden yang ditimbulkan oleh penyakit bersangkutan.
HAIV/AIDS misalnya akan mendapat nilai skor tinggi dalam skala prioritas yaitu
dari sudut pandang severity ini.
Vulnerability menunjukan sejauh mana tersedia teknologi atau obat yang efektif
untuk mengatasi masalah tersebut. Tersedianya vaksin cacar yang sangat efektif

12
misalnya, merupakan alasan kuat kenapa penyakit cacar mendapat prioritas tinggi
pada masa lalu. Sebaliknyadari segi vulnerability penyakit HIV/AIDS mempunyai
nilai prioritas rendah karena sampai sekarang belum ditemukan teknologi pencegahan
maupun pengobatannya.
Affordability menunjukkan ada tidaknya dana yang tersedia. Bagi negara maju
masalah dana tidak merupakan masalah akan tetapi di negara berkembang sering kali
pembiayaan program kesehatan tergantung pada bantuan luar negeri. Kadang kala ada
donor yang mengkhususkan diri untuk menunjang program kesehatan atau penyakit
tertentu katakanlah program gizi, HIV/AIDS dan lainnya.
Dalam penerapan metode ini untuk prioritas masalah kesehatan, maka masing-
masing kriteria tersebut diberi skor dengan nilai ordinal, misalnya antara angka 1
menyatakan terendah sampai angka 5 menyatakan tertinggi, Pemherianskor ini
dilakukan oleh panel expert yang memahami masalah kesehatan dalam forum curah
pendapat (brain storming). Setelah diberi skor, masing-masing penyakit dihitung nilai
skor akhirnya yaitu perkalian antara nilai skor masing-masing kriteri untuk penyakit
tersebut. Perkalian ini dilakukan agar perbedaan nilai skor akhir antara masalah
menjadi sangat kontras, sehingga terhindar keraguan manakala perbedaan skor
tersebut terlalu tipis. Contoh simulasi untuk perbitungan menggunakan metode ini
dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 1. Simulasi Penentuan Prioritas Masalah Kesehatandengan Metoda


Matematik.
Masalah Magni Severity Vulnera Comm/Political Affaradi Final
tude bility bility Skore
TB Paru 4 3 3 2 3 216
HIV/AIDS 1 5 1 4 4 80
Malaria 4 3 3 2 2 144
Stroke 1 4 2 3 3 72

13
Dari angka tabel diatas didapatkan angka skor tertinggi adalah 216 maka
penyakit TB Paru menjadi prioritas 1dan angka 144 penyakit malaria mendapatkan
prioritas masalah kesehatan nomor 2 dan begitu seterusnya.

Ada beberapa kelemahan dan kritikan terhadap metode tersebut. Pertama


penentuannilai skor sebetulnya didasarkan pada penilaian kualitatif atau kelimuan
oleh para pakar yang bisa saja tidak objektif, kedua masih kurang spesifiknya kriteria
penentuan pakar tersebut. Kelebihan cara ini adalah mudah dilakukan dan bisa
dilakukan dalam tempo relatife cepat. Disamping itu dengan metoda ini beberapa
kriteria pentings ekaligus bisa dimasukkan dalam pertimbangan penentuan prioritas.

2. Metoda Delbeque dan Delphi


Metoda Delbeque adalah metoda kualitatif dimana prioritas masalah penyakit
ditentukan secara kualitatif oleh panel expert. Caranya sekelompok pakar diberi
informasi tentang masalah penyakit yang perlu ditetapkan prioritasnya termasuk data
kuantitatif yang ada untuk masing-masing penyakit tersebut. Dalam penentuan
prioritas masalah kesehatan disuatu wilayah pada dasarnya kelompok wilayah pakar
melalui langka-langkah
1) Penetapan kriteria yang disepakati bersama oleh para pakar
2) Memberikan bobot masalah
3) Menentukan skoring setiap masalah. Bengali demikian dapat ditentukan
masalah mana yang menduduki peringkat prioritas tertinggi. Penetapan
kriteria berdasarkan seriusnya permasalahan menurut pendapat parapakar
dengan contoh kriteria persoalan masalah kesehatan berupa:
a. Kemampuan Menyebar/Menular Yang Tinggi
b. Mengenai Daerah Yang Luas
c. Mengakibatkan Penderitaanyang Lama
d. Mengurangi Penghasilan Penduduk

14
e. Mempunyai Kecendrungan Menyebar Meningkat Dan Lain
Sebagainya Sesuai Kesepakatan Para Pakar.
Para expert kemudian menuliskan urutan prioritas masalah dalam kertas
tertutup. Kemudian dilakukan semacam perhitungan suara. Hasil perhitungan ini
disampaikan kembali kepada para expert dan setelah itu dilakukan penilaian ulang
oleh para expert dengan cara yang sama. Diharapkan dalam penilaian ulang ini akan
terjadi kesamaan/konvergensipendapat, sehingga akhirnya diperoleh suatu konsensus
tentang penyakit atau masalah mana yang perlu diprioritaskan. Jadi metoda ini
sebetulnya adalah suatu mekanisme untuk mencapai suatu konsensus. Kelemahan
cara ini adalah sifatnya yang lebih kualitatif dibandingkan dengan metoda matematik
yang disampaikan sebelumnya. Juga diperianyakan kriteria penentuan pakar untuk
terlibat dalam penilaian tertutup tersebut. Kelebihannya adalah mudah dan dapat
dilakukan dengan cepat. Penilaian prioritas secara tertutup dilakukan untuk memberi
kebebasan kepada masing-masing pakar untuk member nilai, tanpa terpengaruh oleh
hirarki hubungan yang mungkin ada antara para pakar tersebut. Metoda lain yang
mirip dengan Delbeque adalah metoda Delphi. Dalam metoda Delphi sejumlah pakar
(panel expert) melakukan diskusi terbuka dan mendalam tentang masalah yang
dihadapi dan masing-masing mengajukan pendapatnya tentang masalah yang perlu
diberikan prioritas. Diskusi berlanjut sampai akhirnya dicapai suatu kesepakatan
(konsensus) tentang masalah kesehatan yang menjadi prioritas.Kelemahan cara ini
adalah waktunya yang relative lebih lama dibandingkan dengan metoda Delbeque
serta kemungkinan pakar yang dominan mempengaruhi pakar yang tidak
dominan.Kelebihannya metoda ini memungkinkan telahaan yang mendalam oleh
masing-masing pakar yang terlibat. Contoh :
Tabel 2. Hasil Penetapan Skor para Pane lExpert Dalam Penetapan Prioritas
Masalah Kesehatan
Masalah Kriteria yang Dipakai Total Prioritas
1 2 3 4 5 6 Skore Masalah
A 3 3 4 4 5 5 3600 II

15
B 4 4 5 3 4 4 3840 I
C 2 3 3 5 4 5 1800 II
D 1 2 3 2 3 1 36 IV
E 2 2 1 1 1 1 4 V
Dst
Dari simulasi penetapan prioritas masalah diatas, maka skore tertinggi adalah
masalah kesehatanpoint B maka ini menjadi Prioritas kedua masalah kesehatan
adalah point A dan begitu seterusnya.

3. Metoda Estimasi Bebari Kerugian (Disease Burden)


Metoda Estimasi Beban Kerugian dari segi teknik perhitungannya lebih canggih
dan sulit, karena memerlukan data dan perhitungan hari produktif yang hilang yang
disebabkan oleh masing-masing masalah. Sejauh ini metoda ini jarang dilakukan di
tingkat kabupaten atau kota di era desentralisasi program kesehatan. Bahkan ditingkat
nasional pun baru Kementrian Kesehatan dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan yang mencoba menghitung berapa banyak Kerugian yang
ditimbulkan dalam kehidupan tahunan penduduk (Disease Adjusted Life Year
=DALY).
Pada tingkat global penggunaan metoda Disease Burden dalam penetapan
prioritas masalah kesehatan, Bank Dunia telah menghitung waktu produktif yang
hilang (Desease Burden) yang disebut sebagai DALY yang diakibatkan oleh berbagai
macam penyakit. Atas dasar perhitungan tersebut Bank Dunia menyarankan agar
dalamprogram kesehatan prioritas diberikan pada masalah kesehatan esensiat terdiri
dari:
1) TBC
2) Pemberantasan Penytakit Menular
3) Penanganan Anak Gizi Kurang/Buruk

4. Metoda Perbandingan antara Target dan Pencapaian Program Tahunan

16
Metoda penetapan prioritas masalah kesehatan beradasarkan pencapaian
program tahunan yang dilakukan adalah dengan membandingkan antara target yang
ditetapkan dari setiap program dengan hasil pencapaian dalam suatu kurun waktu 1
tahun. Penetapan prioritas masalah kesehatan seperti ini sering digunakan oleh
pemegang atau pelaksana program kesehatan di tingkat Puskesmas dan Tingkat
Kabupaten/Kota pada era desentralisasi saat ini.
Tabel 3. Pencapaian Program Gizi di suatu wilayah Puskesmas pada tahun 2011
No Jenis Kegiatan Target Pencapaian Kesenjangan Ranking
(n) (%) (%)
1 Pemberian kapsul vitamin A 1696 1579(93,1) (-)6,9 III
(dosis 200.000 SI) pada
balita 2 kali/tahun
2 Pemberian tablet besi (90 436 323 (74,1) (-)25,9 I
tablet) pada ibu hamil (100%)
3 Pemberian PMT Pemulihan 3 3 (100) 0
Balita gizi buruk pada gakin
4 N/D pada balita 75 56 (75,1) (-)24,9 II

Berdasarkan tabel data diatas didapatkan perbedaan yang besar pencapaian


dibandingkan target yang ditetapkan adalah pemberiantablet Besi hanya dicapai target
sebesar 74% dan kesenjangannya sebesar 26% maka ini menjadi prioritas masalah
kesehatan yang harus menjadi prioritas masalah kesehatan utama (riomor satu) dan
seterusnya.

2.3 Masalah-Masalah Kesehatan di Pesisir dan Kepulauan

Masalah kesehatan masyarakat adalah multi kausal, maka pemecahannya harus


secara multidisplin. Semua kegiatan baik yang langsung maupun tidak langsung

17
untuk mencegah penyakit (preventif), promosi kesehatan (promotif), pen-gobatan
bagi penderita (kuratif) maupun, pemuli-han kesehatan (rehabilitative) adalah upaya
kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat diperlukan suatu kerja sama
antara masyarakat dan petugas kesehatan dengan cara mencegah terjadinya suatu
penyakit dan upaya pemulihan kesehatan. Faktor penunjang dalam peningkatkan
kesehatan adalah keadaan sosial ekonomi, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan
anak, penyediaan air bersih, per-baikan gizi, kesehatan dan keselamatan kerja, pro-
mosi kesehatan dan kesehatan reproduksi.
Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat akan memunculkan serangkaian dampak
yang berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia. Generasi yang tidak
ketercukupan gizi tentu akan memiliki kondisi fisik dan psikis yang kurang bila
dibandingkan dengan generasi yang terpenuhi gizinya,khususnya masyarakat di
pesisir.
Penggunaan pupuk untuk menyuburkan areal persawahan di sepanjang Daerah
Aliran Sungani yang berada di atasnya serta kegiatan-kegiatan industri di darat yang
membuang limbahnya ke dalam badan sungai yang kemudian terbawa sampai ke laut
melalui wilayah pesisir. Hal ini akan memperbesar tekanan ekologis wilayah pesisir.
Sumber pencemaran yang berasal dari limbah industri dan kapal-kapal di sepanjang
wilayah pesisir umumnya mengandung logam berat. Kandungan logam berat
diperairan diperkirakan akan terus meningkat dan akan mengakibatkan terjadinya
terjadinya erosi dan pencucian tanah, masuknya sampah industri dan pembakaran
bahan baker fosil ke perairan dan atmosfer, serta pelepasan sedimentasi logam dari
Lumpur aktif secara langsung. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir
makan diperlukan pelaksanaan kegiatan dan pembangunan di daratan yang terpadu
dan berkelanjutan.

Gangguan kesehatan yang banyak dialami oleh masyarakat kepualauan antara


penyakit dekompresi yang biasa menyerang penyelam.

18
Barotrauma adalah kerusakan jaringan tubuh karena perbedaan tekanan tubuh
dan air. sedangkan dekompresi didefinisikan sebagai suatu keadaan medis dan terjadi
ketika akumulasi nitrogen yang terlarut setelah menyelam membentuk gelembung
udara yang menyumbat aliran darah serta sistem syaraf. Risiko kesehatan selalu
mengikuti setiap gerak nelayan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat
melakukan penyelaman seringkali terjadi kecelakaan. Tak jarang, para nelayan tidak
segera mendapat pertolongan bisa mengalami kelumpuhan, bahkan kematian.
Masalah kesehatan lain adalah bahwa penyakit yang kerap diderita nelayan antara
lain kurang gizi, kelainan kulit akibat paparan sinar matahari (hyperpigmentasi) baik
di muka maupun di tangan, gangguan pendengaran akibat kebisingan yang
ditimbulkan mesin tempel perahu, serta kelainan mata.
Masalah kesehatan ini bukan hanya datang dari kurangya kepedulian
masyarakat tentang kesehatan, melainkan juga kondisi geografis yang membuat
beberapa pulau yang masuk dalam kecamatan tersebut memiliki keterbatasan akses
air bersih. Misalnya saja Pulau Penawar Rindu Batam yang selalu kesulitan air
meskipun bukan masuk musim kemarau. Para penduduknya menampung air hujan
untuk memenuhi kebutuhan air. Padahal, penampungan air hujan rentan menjadi
sarang nyamuk. Tak heran, kasus demam berdarah dan malaria masih muncul. Air
sangat berharga dan sulit di dapat pada akhirnya jga membuat sanitasi masyarakat
buruk dan menimbulkan masalah kesehatan. Apalagi ditambah dengan perilaku
kurangnya hidup bersih dan sehat, seperti kebiasaan buang air besar dan buang
sampah yang sembarangan.

2.4 Faktor-Faktor Masalah Kesehatan di Pesisir dan Kepulauan

19
Tiga komponen utama dalam mengupas permasalahan di masyarakat yang
terkait dengan kondisi lingkungan yaitu:demografi,social,dan budaya.
Berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial antara lain:
berkembangnya konflik sosial, ketidak merataan akses sosial ekonomi, meningkatnya
jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan
sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya
hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat
lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, lemahnya kontrol sosial,
perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Masyarakat pesisir secara geografis merupakan masyarakat yang berdomisili dipesisir
pantai & umumnya mempunyai plurarisme budaya.Masyarakat kawasan pesisir
cenderung agresif karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga
nelayan mudah diprovokasi (di pengaruhi), dan salah satu kebiasaan yang jamak di
kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang
menjadikan hidup mereka lebih konsumtif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir memiliki karakter
yang keras dan tidak mudah diatur. Di lihat dari aspek demogarafi, umumnya
merupakan penduduk yang mempunyai pekerjaan sebagai pelaut. Lebih lanjut
Kusnadi mengemukakan masyarakat pesisir cenderung lebih memikirkan kebutuhan
ekonomi, memenuhi kebutuhan sandang & pangan keluarga. Anak-anak usia sekolah
banyak yang putus sekolah dasar dan umumnya jarang menamatkan sekolah
menengah pertama.
Kesehatan adalah hasil interaksi berbagai faktor internal maupun faktor
eksternal. Faktor internal meliputi keadaan fisik dan psikis sedangkan faktor eksternal
adalah sosial, budaya, lingkungan, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan berdasarkan besarnya pengaruh meliputi
secara berurutan yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan,
dan faktor keturunan. Faktor keturunan tidak bisa dicegah karena sifatnya adalah
warisan dari orangtua atau leluhur. Faktor lingkungan, pelayanan kesehatan, dan
20
perilaku adalah faktor-faktor yang bisa diubah oleh manusia sehingga dapat tercipta
kesehatan bagi tiap orang.1,2
Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan. Faktor
lingkungan terdiri dari tiga bagian, yaitu lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan
lingkungan sosial. Lingkungan fisik dapat dilihat dari tempat tinggal seseorang di
suatu tempat seperti daerah pegunungan atau daerah pantai, kota atau desa, bersih
atau kotor. Lingkungan biologis berupa makhluk hidup lain yang dapat
mempengaruhi kesehatan manusia sebagai vektor penyakit. Lingkungan sosial terdiri
dari sosio ekonomi, sosio budaya, adat istiadat, kepercayaan, organisasi
kemasyarakatan dan lain-lain.
Perilaku manusia dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, pemungkin, dan pendukung.
Faktor predisposisi adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, keyakinan nilai-
nilai, dan juga variasi demografi seperti status ekonomi, umur, jenis kelamin, dan
susunan keluarga. Faktor pemungkin adalah faktor yang terwujud dalam lingkungan
fisik, termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana. Faktor
pendukung adalah faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas
kesehatan.

2.5 Cara Mengatasi Masalah Kesehatan Yang Ada di Pesisir dan Kepulauan.

Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu dilakukan secara


hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat bahwa subjek dan objek
penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan masyarakatnya, dimana mereka
juga mempunyai ketergantungan cukup tinggi terhadap ketersediaan sumber daya di
sekitar, seperti ikan, udang, kepiting, kayu mangrove, dll., maka penanggulangan
kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang berbasis masyarakat menjadi pilihan yang
bijaksana untuk diimplementasikan.

21
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat
diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan
karakteristik sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah tersebut. Dalam
hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai
kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan
wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam
aktivitas masyarakat di sekitarnya.
Pola perencanaan pengelolaan meliputi pola pendekatan perencanaan dari
bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi
sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan
berbasis masyarakat.
Tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat dalam hal ini dilakukan untuk
1) meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi
kerusakan lingkungan
2) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam
pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara
terpadu yang sudah disetujui bersama;
3) membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan aktivitas
ekonomi yang lebih ramah lingkungan; dan
4) memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat.
Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis
masyarakat seringkali terfokus pada pengembangan, transformasi atau penguatan
kelembagaan masyarakat, sehingga proses identifikasi kelembagaan lokal yang ada
dan menganalisisnya untuk mengetahui sejauh mana kelembagaan tersebut
berhubungan dengan upaya pengelolaan sumber daya alam dan
22
lingkungan.Pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat
tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang
terkandung didalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi kegiatan
sebagai berikut:
1) Persiapan
Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan,
yaitu sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan lokal
yang ada, pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan penguatan
kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru.
2) Perencanaan
Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut
berbasis masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan
efektif, yaitu proses perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari
luar, merupakan perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat
lokal, berorientasi pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya,
memiliki tujuan dan luaran yang jelas, memiliki kerangka kerja yang fleksibel
bagi pengambalian keputusan, bersifat terpadu, dan meliputi proses-proses
untuk pemantauan dan evaluasi.
3) Persiapan Sosial
Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh,
maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat mengutarakan
aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu
lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, mengetahui
keuntungan dan kerugian yang didapat dari setiap pilihan intervensi yang
diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk
menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan berperanserta dalam
perencanaan dan pengimplementasian rencana tersebut.
4) Penyadaran Masyarakat
23
Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran,
yaitu penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta
manfaat penanggulangan kerusakan lingkungan, penyadaran tentang
konservasi, danpenyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan
bijaksana.
5) Analisis Kebutuhan
Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya,
yaitu PRA dengan melibatkan masyarakat lokal, identifikasi situasi yang
dihadapi di lokasi kegiatan, analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman, identifikasi masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut,
identifikasi pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di masa depan,
identifikasi kendala-kendala yang dapat menghalangi implementasi yang efektif
dari rencana-rencana tersebut, dan identifikasi strategi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan kegitan.
Solusi permasalahan kesehatan di daerah kepulauan pada dasarnya sesuai
dengan pembangunan kesehatan, yaitu; untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agare terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan bagi masyarakat
diselenggarakat upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Salah satu unit pelaksana teknis terdepan di jajaran kesehatan yang
keberadaannya hampir merata di setiap wilayah dan relatif dekat sasaran program
pembangunan kesehatan adalah puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Sebagai
ujung tombak fasilitator kesehatan, puskesmas menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar secara terintegrasi dengan fungsi sebagai pusat pelayanan kesehatan
dan sebagai pusat penggerak peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
24
Untuk itu, sebagai unit pelaksana teknis terdepan puskesmas dan jaringannya harus di
dukung dengan sumber daya yang memadai.

2.6 Layanan Kesehatan Untuk Masyarakat Pesisir

Kelompok nelayan di Tanah Air perlu mendapatkan perhatian khusus dalam


upaya pembangunan kesehatan 2010-2014. Data BPS tahun 2011 menunjukkan
bahwa di Indonesia terdapat sekitar 8.090 desa pesisir yang tersebar di 300
kabupaten/kota pesisir. Dari 234,2 juta jiwa penduduk Indonesia, ada 67,87 juta jiwa
yang bekerja di sektor informal, dan sekitar 30% diantaranya adalah nelayan. Data
lainnya, 31 juta penduduk miskin di Indonesia, sekitar 7,87 juta jiwa (25,14%) di
antaranya adalah nelayan dan masyarakat pesisir. Demikian pernyataan Menteri
Kesehatan, RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, saat meluncurkan program
Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Pesisir atau Green Urban Living, serta kegiatan
Berlari untuk Berbagi di Desa Untia, Kecamatan Biringkanaya, Makassar (23/2).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo;
Direktur Bosowa Foundation, Melinda Aksa; Direktur Utama PT Semen Bosowa,
Subhan Aksa; dan penggagas Komunitas Berlari untuk Berbagi, Sandiaga Uno.
Nelayan adalah kelompok masyarakat yang rawan kemiskinan dikarenakan
pekerjaannya pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim,
sehingga dalam setahun rata-rata nelayan hanya dapat melaut dalam 172 hari, ujar
Menkes.
Menurut Menkes, risiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengutip data hasil penelitian
Kementerian Kesehatan (2006) mengenai penyakit dan kecelakaan yang terjadi pada
nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan bahwa sejumlah nelayan di Pulau
Bungin, Nusa Tenggara Barat menderita nyeri persendian (57,5%) dan gangguan
pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%). Sedangkan, nelayan di Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta, mengalami kasus barotrauma (41,37%) dan kelainan dekompresi
(6,91%).
25
Menkes menjelaskan, upaya Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan dilakukan melalui 8 kegiatan lintas Kementerian/Lembaga yang
tertuang dalam Kepres No.X/2011. Sementara itu, upaya yang dilakukan di bidang
kesehatan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya
bagi masyarakat nelayan. Kegiatan Puskesmas diarahkan pada upaya-upaya
kesehatan promotif-preventif dengan focal point keselamatan kerja dan disertai
berbagai upaya lain yang mencakup: Perbaikan gizi; Perbaikan sanitasi dasar dan
penyediaan air bersih; Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); Penanggulangan
penyakit menular dan tidak menular, dan Pemberdayaan masyarakat.
Upaya di bidang kesehatan mempunyai sasaran di 816 Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI), dimana pada tahun 2012 baru menjangkau 500 PPI, kata Menkes.
Lebih lanjut Menkes mengatakan, Kemenkes memiliki beasiswa untuk mendukung
pendidikan, khususnya di bidang kesehatan sebesar 3 Milyar rupiah (2011) dan
meningkat menjadi 9 Milyar rupiah (2012). Menkes sangat mengharapkan tenaga-
tenaga kesehatan yang berasal dari masyarakat nelayan yang akan lebih peduli
terhadap masalah kesehatan di lingkungan sekitarnya.
Kalau dari masyarakat nelayan ada yang ingin meneruskan pendidikan dalam
bidang kesehatan apakah itu SMK Kesehatan, perawat, bidan, dokter, bisa mendapat
bagian dari beasiswa ini. Silahkan daftarkan kepada Dinas Kesehatan. Kita
mengharapkan dari masyarakat nelayan nanti ada perawat, bidan, dokter, mungkin
dokter spesialis yang lebih peduli kepada masalah kesehatan di daerah ini, kata
Menkes.Pada kesempatan tersebut, Menkes menyampaikan apresiasi kepada Bosowa
Corporindo yang telah merencanakan untuk melaksanakan kegiatan CSR, terkait
perbaikan higiene-sanitasi serta penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
di masyarakat.

2.7 Peningkatan Kesehatan Masyarakat Pesisir

26
Kelompok nelayan di Tanah Air perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
upaya pembangunan kesehatan 2010-2014. Data BPS tahun 2011 menunjukkan
bahwa di Indonesia terdapat sekitar 8.090 desa pesisir yang tersebar di 300
kabupaten/kota pesisir. Dari 234,2 juta jiwa penduduk Indonesia, ada 67,87 juta jiwa
yang bekerja di sector informal, dan sekitar 30% diantaranya adalah nelayan . Data
lainnya, 31 juta penduduk miskin di Indonesia, sekitar 7,87 juta jiwa (25,14%)
diantaranya adalah nelayan dan masyarakat pesisir.
Demikian pernyataan Menteri Kesehatan , RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A,MPH,
saat meluncurkan program Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Pesisir atau Green
Urban Living, serta kegiatan Berlari untuk Berbagi di Desa Untia, Kecamatan
Biringkanaya, Makassar (23/2). Kegiatan tersebut dihadiri oleh Gubernur Sulawesi
Selatan, Syahrul Yasin Limpo; Direktur Bosowa Foundation, Melinda Aksa; Direktur
Utama PT Semen Bosowa, Subhan Aksa; dan penggagas Komunitas Berlari untuk
Bebagi, Sandiaga Uno.
Nelayan adalah sekelompok masyarakat yang rawan kemiskinan dikarenakan
pekerjaannya pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim,
sehingga dalam setahun rata-rata nelayan hanya dapat melaut dalam 172 hari, ujar
Menkes.
Menurut Menkes, risiko kesehatan selalu mengikuti setiap gerak nelayan
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mengutip data hasil penelitian
Kementerian Kesrhatan (2006) mengenai penyakit dan kecelakaan yang terjadi pada
nelayan dan penyelam tradisional, menyebutkan bahwa sejumlah nelayan di Pulau
Bungin, nUS Tenggara Barat menderita nyeri persendian (57,5%) dan gangguan
pendengaran ringan sampai ketulian (11,3%). Sedangkan nelayan di Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta, mengalami kasus barotrauma (41,37%) dan kelainan dekompresi
(6,91%).
Menkes menjelaskan, upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat nelayan dilakukan melalui 8 kegiatan lintas Kementerian/Lembaga yang
tertuang dalam Kepres No.X/2011. Sementara itu, upaya yang dilakukan di bidang
27
kesehatan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya
bagi masyarakat nelayan. Kegiatan Puskesmas diarahkan pada upaya-upaya
kesehatan promotif-preventif dengan focal point keselamatan kerja dan disertai
berbagai upaya lain yang mencakup: Perbaikan gizi; perbaikan sanitasi dasar dan
penyediaan air bersih; Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA); Penanggulangan
penyakit menular dan tidak menular, dan pemberdayaan masyarakat.
Upaya di bidang kesehatan mempunyai sasaran di 816 Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI), dimana pada tahun 2012 baru menjangkau 500 PPI, kata Menkes.
Lebih lanjut menkes mengatakan, Kemenkes memiliki beasiswa untuk
mendukung pendidikan, khususnya di bidang kesehatan sebesar 3 Milyar rupiah
(2011) dan meningkat menjadi 9 Milyar rupiah (2012). Menkes sangat mengharapkan
tenaga-tenaga kesehatan yang berasal dari masyarakat nelayan yang akan lebih peduli
di terhadap masalah kesehatan di lingkungan sekitarnya .
Kalau dari masyarakat nelayan ada yang ingin meneruskan pendidikan dalam
bidang kesehatan apakah itu SMK Kesehatan, perawat, bidan, dokter, bisa mendapat
bagian dari beasiswa ini. Silahkan daftarkan kepada Dinas Kesehatan. Kita
mengharapkan dari masyarakat nelayan nanti ada perawat, bidan, dokter, mungkin
dokter spesialisyang lebih peduli kepada masalah kesehatan di daerah ini, kata
Menkes.
Pada kesempatan tersebut, Menkes menyampaikan apresiasi kepada Bosowa
Corporindo yang telah merencanakan untuk melaksanakan kegiatan CSR, terkait
perbaikan higiene-sanitasi serta penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
di masyarakat.

2.8 Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah

PBW mencakup upaya pengendalian kasus penyakit disuatu wilayah tertentu


bersama pengendalian berbagai faktor risiko yang dilakukan secara terintegrasi.
Upaya tersebut dapat dilakukan secara prospektif dan secara retrospektif. Upaya

28
prospektif mengutamakan pengendalian faktor risiko penyakit terintegrasi dengan
upaya pencarian dan penatalaksanaan kasus penyakit tersebut. Upaya retrospektif
mengutamakan penatalaksanaan penyakit tertentu terlebih dahulu yang terintegrasi
dengan pengendalian faktor risiko penyakit tersebut atau direncanakan dan
dilaksanakan secara serentak. Hal tersebut ditandai dengan perencanaan dan alokasi
sumber daya yang juga dilakukan secara terintegrasi.
Faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit di tingkat individu dan
tingkat masyarakat. Berbagai variabel lingkungan dan penduduk yang mencakup
perilaku hidup sehat merupakan faktor risiko utama penyakit. Dengan demikian,
penyehatan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat merupakan upaya utama
pengendalian berbagai faktor risiko penyakit di dalam satu wilayah tertentu. Dalam
suatu wilayah, MPBW harus dirancang berdasarkan eviden yang dikumpulkan secara
periodik, sistematik dan terencana dan dilaksanakan oleh ”tim terpadu” kesehatan.
Bagaikan suatu orkestra, tim terpadu tersebut disatu pihak terdiri dari kumpulan
pemain yang mahir memainkan alat musik, dilain pihak tim tersebut memiliki
kesamaan visi berupa lagu yang sama dalam satu kesatuan orkestra. Tim tersebut bisa
merupakan pimpinan dan/atau staf dinas kesehatan yang bermitra dengan para dokter
di rumah sakit, seluruh staf kesehatan di puskesmas, LSM bidang kesehatan, dinas-
dinas non kesehatan dalam lingkungan pemda, serta masyarakat. Dengan demikian,
MPBW merupakan kerja sama yang harmonis antara para dokter di unit pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dan petugas kesehatan masyarakat.
Dalam menghadapi penyakit yang sama, kedua kelompok tersebut harus
menyamakan visi dan persepsi, penyakit yang dianggap prioritas adalah penyakit
yang ada atau endemik di suatu wilayah tertentu. Pelaksana manajemen tidak harus
kepala dinas kesehatan, dokter di rumah sakit dan petugas Klinik Sanitasi di
puskesmas, merupakan bagian dari orkestra yang harus mempunyai visi yang sama,
serta berpikir dan bertindak mengendalikan penyakit tertentu dalam suatu wilayah.

2.8.1 Penentuan Wilayah

29
Pertimabangan diserahkan kepada setiap kabupaten kota untuk memilih
wilayah puskesmas, wilayah pariwisata, ataupun seluruh wilayah kabupaten.
Penentuan wilayah yang dimaksud harus memperhatikan prioritas masalah dan
atau wilayah ekosistem kejadian penyakit.

2.8.2 Identifikasi Prioritas Berbasis Eviden


Langkah pertama adalah menentukan prioritas kabupaten dan setiap unit
wilayah administratif misalnya puskesmas atau kelurahan. Prioritas tersebut bisa
mengambil tema faktor risiko kejadian penyakit seperti sanitasi dasar atau
pencemaran lingkungan tertentu (udara, pangan atau air). Prioritas dapat juga
dipilih berdasarkan penyakit, strata umur penduduk, faktor risiko, dan wilayah
tertentu. Prioritas penyakit antara lain berupai malaria, diare, TBC, kanker, dan
kardiovaskuler. Prioritas berdasarkan strata umur penduduk seperti balita,
kelompok ibu produktif. Faktor risiko tertentu misalnya rokok, makanan sehat
dan oleh raga, kemiskinan, dan rumah sehat. Wilayah tertentu misalnya wilayah
kecamatan atau wilayah kerja puskesmas. Apabila rumah tidak sehat yang
dijadikan faktor risiko terpilih, perlu dipertimbangan outcomepenyakitnya,
persiapan alat diagnostik dan obat. Semua penentuan prioritas tersebut harus
dilakukan berbasis evidences.

2.8.3 Modeling

Patogenesis penyakit atau gangguan kesehatan lain seperti gizi buruk(faktor


resiko beserta prediksii kejadian penyakit), digambarkan dalam suatu model.
Model tersebut memberikan panduan dalam penyusunan daftar kegiatan.
Misalnya, bagaimana model penularan malaria? Upaya yang dilakukan untuk
mengendalikan kondisi lingkungan, nyamuk, tempat perindukan, cara mencari
dan menemukan kasus secara dini agar segera dapat diobati sehingga tidak
menjadi sumber penularan? Obat dan alat diagnostik apa yang paling cost

30
efektive? Contoh lain, menggambakan model angka kesakitan (morbidity) balita,
angka kematian balita atau status gizi balita, apakah faktor risiko kejadian gizi
buruk sebagai outcomepada simpul 4 (lihat teori simpul). Berbagai upaya kendali
faktor risiko yang berperan dalam kematian balita, gangguan gizi buruk dan lain-
lain. Ini harus disusun secara lintas sektor dan lintas program secara
integratedbaik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.

2.8.4 Rencana Kegiatan


Rencana kegiatan mencakup manajemen kasus pengendalian pada faktor
kependudukan (misal peyuluhan perubahan perilaku, imunisasi), pencarian dan
penemuan kasus atau pencatatan di RS, penyediaan obat-obatan, alat diagnostik
dan lain sebagainya. Pada intinya, buat daftar rancangan kegiatan secara
exhausted(semua yang ada), baik yang meliputi pengendalian faktor risiko
maupun pengendalian outcomegangguan penyakit (kesehatan). Sederet daftar
belum tentu semua disetujui. Namun, yang jelas daftar kegiatan itu akan
dimasukkan ke dalam rancangan anggaran (baik dimintakan dari Pemda, bantuan
LN, maupun pemerintah pusat).

2.8.5 Integrasi Perencanaan dan Pembiayaan


Daftar kegiatan dituankan dalam rencana dan anggaran secara terpadu,
bersama dengan berbagai unit yang terkait (sub dan sub-sub dinas). Berbagai
kegiatan tersebut difokuskan pada satu wilayah tertentu, wilayah administratif
dengan memperhatikan wilayah ekosistim (yang berkaitan erat). Kegiatan ini
tentu saja memerlukan skala prioritas. Namun, harus menggambarkan integrasi
antara kegiatan pengendalian faktor risiko dan pelayanan kesehatan termasuk
program Jamkesmas. Dalam setiap SKK kabupaten atau kota harus ditampilkan
secara nyata kata kunci koordinasi, sinkronisasi sebagai payung kegiatan yang
harus dilakukan sejak perencanaan hingga pelaksanaan.

2.8.6 Audit
31
Daftar kegiatan yang tertuang dalam rencana dan anggaran perlu diaudit dari
aspek pelaksaan dan aspek anggaran.Aspek yang paling penting adalah proses
pelaksaan yang terintegrasi Berbagai langkah tersebut selanjutnya disusun dalam
Pedoman Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Puskesmas atau Wilayah
Kabupaten.
2.8.7 Lokasi kegiatan
MPBW dapat dilakukan pada tingkat manajemen: (a) Global, misalnya
menghadapi penyakit flu burung. (b) Regional oleh WHO, nasional. (c) Tingkat
wilayah otonom. (d) Satuan wilayah di dalam jurisdiksi wilayah otonom seperti
kecamatan, desa, wilayah pariwisata, wilayah industri dan lain-lain. Manajemen
pada tingkat wilayah kabupaten dapat dilakukan di seluruh wilayah kabupaten
sebagai satu-satuan wilayah, atau dapat pula memilih manajemen tiap tingkat
puskesmas sebagai wilayah administratif wilayah kerja.

2.8.8 Metode
Dalam MPBW kabupaten kota dikenal tiga metode yang amat esensial,
meliputi analisis spasial, audit manajemen penyakit berbasis wilayah dan
surveilans berbasis wilayah.
Analisis spasial merupakan salah satu metode manajemen penyakit berbasis
wilayah yang memperhatikan variabel spasial seperti topografi, wilayah urban,
wilayah industri, wilayah pedesaan. Dia merupakan suatu analisis dan uraian
tentang data penyakit secara geografi yang terkait dengan distribusi
kependudukan, persebaran faktor risiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi,
serta analisa hubungan antar variabel tersebut. Kejadian penyakit merupakan
fenomena spasial yang terjadi di atas permukaan bumi terestrial. Kejadian
penyakit dapat dikaitkan dengan berbagai obyek yang memiliki keterkaitan
dengan lokasi, topografi, benda-benda, distribusi benda atau kejadian lain dalam
suatu ruangan atau pada titik tertentu dan dapat pula dihubungkan dengan peta
dan ketinggian.

32
Audit manajemen penyakit berbasis wilayah merupakan pelengkap yang pada
dasarnya adalah upaya pemantauan dan evaluasi untuk menilai ketepatan
pelaksanaan MPBW yang dilakukan terintegrasi, ketepatan manajemen faktor
risiko dan pelaksanaan manajemen kependudukan dan dampak kesehatan.
Survailans dilakukan secara bersama terhadap faktor risiko lingkungan dan
kependudukan serta penyakit. Keduanya dilakukan secara terintegrasi dan lintas
sektor dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Obyek parameter survailans
harus meliputi faktor risiko dan penyakit yang berhubungan. Parameter yang
digunakan harus menggambarkan proses kejadian penyakit pada komponen
manusia dan lingkungan. (2) Pertemuan awal yang dihadiri lintas sektor para
stakeholderstermasuk LSM bertujuan menentukan jenis dan petugas pengumpul
data berdasarkan ketersediaan dana, metode samplingdan pengumpulan. (3)
Pertemuan stakeholderdilakukan secara periodik paling tidak sekali dalam
setahun untuk membahas berbagai aspek tentang data yang terkumpul. (4)
Pertemuan akhir bertujuan menyampaikan hasil informasi. Selebihnya, dilakukan
mengikuti prinsip dan metode survailans yang lazim dan terarah pada prioritas
penyakit dan atau faktor risiko.

2.8.9 Managemen Penyakit Menular Berbasis Wilayah


Manajemen penyakit menular berbasis wilayah pada dasarnya merupakan
upaya tata laksana pengendalian penyakit menular dengan cara mengintegrasikan
upaya pencarian kasus secara proaktif tata laksana penderita secara tuntas, yang
dilakukan secara bersama dengan pengendalian berbagai faktor risiko penyakit
tersebut serta keduanya dilakukan secara simultan, paripurna, terencana dan
terintegrasi pada wilayah tertentu.
Manajemen pengendalian faktor risiko penyakit menular, misalnya
penyehatan lingkungan memerlukan penggalangan kemitraan dengan mitra

33
relevan yang memiliki perhatian sama yakni pemberantasan penyakit menular
tertentu dengan penyehatan lingkunganyang relevan dengan penyakit menular
disuatu wilayah berakar pada budaya, ekosistem, dan kondisi sosial
kependudukan.

Berdasarkan proses kejadiannya maka penyakit menular dapat dikategorikan


menjadi dua yaitu penyakit menular endemik, untuk menggambarkan penyakit
atau faktor risiko penyakit berkenaan, yang terdapat atau terjadi di Indonesia
selama kurun waktu yang panjang. Penyakit ini mengganggu Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia, seperti Diare, TBC, Malaria dll, dan penyakit
yang berpotensi menjadi KLB, baik secara periodik yang dapat diprediksi dan
diantisipasi serta pencegahannya. Misalnya demam berdarah dengue, kolera
diare, serta penyakit infeksi baru.

2.9 Pendekatan Kesehatan Masyarakat


Manajemen penyakit berbasis wilayah secara esensial memenuhi pendekatan
kesehatan masyarakat yang paling tidak harus menampilkan lima karakteristik
spesifik. (1) Program hendaknya berorientasi pada seluruh masyarakat dalam suatu
wilayah, misal kabupaten, kecamatan dan desa tanpa diskriminasi terhadap ras, suku,
agama atau golongan umur, dan status sosial ekonomi. (2) Berorientasi pada
pencegahan primer misalnya pengendalian faktor risiko. (3) Penanganan masalah
menggunakan pendekatan multidisiplin, misalnya pengendalian faktor risiko rumah
sehat atau penanganan penyakit masyarakat seperti diare, malaria, flu burung dan
lain-lain. (4) Kegiatan dilakukan bersama dengan ciri partisipasi masyarakat. Contoh:
pengendalian faktor risiko flu burung, gizi buruk, penyakit campak, penurunan
kematian ibu, penurunan kematian bayi, penanggulangan wabah virus polio liar,
SARS dan lain sebagainya yang dilakukan bersama masyarakat. (5) Partnershipatau

34
kemitraan. (6) Perencanaan dan pelaksanaan MPBW harus menggunakan pendekatan
kesehatan masyarakat.
Dengan demikian, sepanjang upaya MPBW dilakukan dengan ke lima
pendekatan tersebut di atas, maka kebiasaan tersebut merupakan bagian dari
kesehatan masyarakat. Perlu dicatat bahwa MPBW hendaknya dilakukan dengan
menggunakan azas tersebut di atas.

2.9.1 Strategi Pengendalian Penyakit

a) Intensifikasi pencarian dan pengobatan kasus. Melakukan pencarian dan


pengobatan secara intensif terhadap penderita, selain mengobati dan
menyembuhkan penderita yang juga merupakan upaya pokok untuk
menghilangkan sumber penularan dengan cara memutuskan mata rantai
penularan. Misalnya pemberdayaan tenaga semi profesional, menciptakan
tenaga lapangan.
b) memberikan perlindungan spesifik dan imunisasi. Manajemen pengendalian
penyakit menular dapat dilakukan dengan memberikan kekebalan secara
artifisal yaitu imunisasi.
c) Pemberantasan penyakit berbasis lingkungan. Upaya pencegahan sekaligus
pemberantasan penyakit menular dapat dilakukan dengan menciptakan
lingkungan sehat dan perilaku hidup sehat.
d) Penggalangan Upaya Kemitraan. Masalah kesehatan khususnya faktor risiko
penyakit menular dan penyehatan lingkungan berkaitan erat dengan unit,
sektor, individu hal diluar kewenangan administratif bidang kesehatan

2.9.2 Epidemiologi Penyakit Menular di Indonesia

Secara singkat manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular


memiliki dua perspektif :
a) Epidemiologi global yakni perjalanan penyakit antar benua

35
penyakit menular bersifat global. Informasi awal berupa kejadian penyakit
secara global, dapat memberikan indikasi untuk membuat contingency plan.
Misalnya wilayah tropik secara umum memiliki karakteristik ekosistem sama,
maka memiliki masalah yang sama seperti malaria
b) Epidemiologi lokal
Epidemiologi lokal berkaitan dengan dinamika transmisi lokal, misalnya
malaria, schistosomiasis, filariasis

2.9.3 Manajemen Kejadian Luar Biasa (KLB) Berbasis Wilayah


KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/ kematian yang
bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggung jawab
operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota. Sedangkan
penanggung jawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Bila
terjadi lebih dari satu wilayah Kota/Kabupaten maka penganggulannya
dikoordinasikan oleh Gubernur.
Managemen kejadian luar biasa (KLB) berbasis wilayah :
a) Wabah penyakit menular adalah kejadian terjangkitnya suatu penyakit
menular dalam masyarakat dengan jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan malapetaka.
b) Wabah penyakit menular ditetapkan dan mencabut ketetapan wewenang
Menteri Kesehatan. Penetapan daerah wabah merupakan pertimbangan
epidemiologi dan keadaan masyarakat (mencakup keamanan, sosial ekonomi
dan budaya) yang disampaikan Kepala Daerah.
c) Apabila dicermati KLB merupakan kejadian yang bermula dari sebuah proses
yang dikenal sebagai proses awal kejadian. Pencermatan ini dikenal sebagai
pencermatan pra-KLB misalnya adanya indikasi peningkatan jumlah dan
kepadatan vektor penular penyakit, terjadinya kerusakan hutan secara terus

36
menerus pemantauan kondisi kualitas lingkungan tertentu yang menurun dan
sebagainya. KLB bisa berupa KLB lingkungan bisa juga KLB Penyakit.
d) Keduanya sulit dibedakan mana lebih dulu timbul karena prosesnya hampir
bersamaan dalam tempo singkat. KLB lingkungan misalnya terjadi kejadian
ledakan sebuah sumur minyak. Maka dituntut untuk segera memikirkan secara
prospektif apa dampak penyakit yang ditimbulkan serta bagaimana dampak
kesehatan masyarakat.
e) Manajemen pra KLB termasuk sistem kewaspadaan dini amat penting.
f) Tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan
pasca-KLB informasi pra-KLB menjadi penting.
g) Setiap KLB bukan hanya berupa bencana alam, bencana alam lingkungan
karena ulah manusia, konflik sosial maupun timbul penyakit baru seperti
SARS, Avian Influenza.
h) Selalu memiliki dua makna manajemen, yakni manajemen pelayanan medik
untuk menolong korban, serta manajemen kesehatan masyarakat untuk
mengendalikan jatuhnya korban berikutnya.
Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah juga dua bagian penting
yang tak terpisahkan dan harus dilakukan secara simultan dalam waktu relatif singkat:
a.) Manajemen kasus.
b.) Manajemen Faktor risiko
Manajemen public health atau manajemen kesehatan masyarakat pada
hakikatnya adalah faktor risiko kejadian KLB. Manajemen kasus maupun
faktor risiko kejadian penyakit harus dilakukan secara bersamaan, untuk
mencegah timbulnya eskalasi yang lebih luas. Manajemen kasus menjadi amat
penting khususnya saat penangganan KLB penyakit menular, untuk mencegah
jangan sampai terjadi penularan penyakit lebih lanjut.

Khususnya manajemen KLB diperlukan kemampuan manajemen


komunikasi massa untuk menanggkal isu-isu tersebut berdasarkan evidences

37
serta transparan. Contoh penanganan berita media masa flu burung menjadi
lebih baik. Termasuk pengelolaan berita KLB bahkan beberapa stasiun TV
diundang mengunjungi peternakan untuk meliput proses pengambilan darah
dalam rangka surveilans, setelah flu burung belum ada penularan pada
manusia maka masyarakat menjadi tenang. Kunci manajemen berita dalam
KLB adalah kejujuran, cepat dan senantiasa di update secara terus menerus
dan kemasan penyampaiannya tidak menimbulkan kepanikan atau misteri

2.9.4 Peran Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).


a) Peran Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) menjadi semakin penting di
Indonesia peran utama KKP yaitu menangkal penyakit dan faktor risiko
penyakit yang datang dari luar atau antarpulau.
b) Setiap KKP juga mengubah konsep kekarantinaan, membangun ruang isolasi
di sekitar bandara, serta membangun jaringan antar pulau.
c) Pendidikan kesehatan masyarakat yang memiliki knowledge untuk melandasi
keahlian petugas KKP di setiap pendidikan kesehatan, perlu diselenggarakan
di Indonesia. Petugas harus memahami berbagai peraturan kesehatan
internasional, memahami kesehatan lingkungan pelabuhan, global risk factors,
memahami masalah teknis medis, memahami travel health, serta visi global
atau regional epidemiology.

2.10 Bagaimana Ancama Perubahan Iklim Dikawasan Pesisir dan Pulau-Pulau


Kecil
Menurut Sudhiani, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim
diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan
mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan

38
menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu
tradisional. Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi,
kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang.
Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi
paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir
adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut. “Pemetaan masalah sangat
penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial
ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang
merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya. Tentang kenaikan
gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah
satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal.
Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT)
dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.

2.10.1 Pentingnya meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi masyarakat pesisir

Untuk bisa melaksanakan program penggantian kapal, Sudhiani menyebutkan,


perlu ada koordinasi yang baik untuk melaksanakan pembagian tugas pokok dan
fungsi (tupoksi). Walaupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah
melaksanakan pembagian kapal kepada nelayan dalam beberapa tahun terakhir,
namun dia berpendapat untuk program penggantian kapal bagi nelayan yang
terdampak perubahan iklim, harus melibatkan banyak kementerian dan instansi.
Melihat dampak yang akan menyulitkan para nelayan tersebut, Sudhiani melihat
bahwa ada potensi besar kehilangan pekerjaan dan sumber ekonomi bagi nelayan
di wilayah pesisir, terutama yang terdampak langsung perubahan iklim. Tanpa ada
intervensi Pemerintah, maka angka kemiskinan saat itu akan meningkat drastis di
wilayah pesisir. “Perlu ada diversifikasi profesi yang ditawarkan kepada nelayan.
Jika memang sudah tidak mungkin lagi menjadi nelayan, apa yang harus
dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup. Begitu juga, jika tetap menjadi nelayan,
39
harus bagaimana agar bisa tetap bertahan,” jelasnya. Pernyataan Sudhiani
kemudian diperkuat oleh Kepala Sekretariat Rencana Aksi Nasional Adaptasi
Perubahan Iklim (RAN API) BAPPENAS Putra Dwitama. Menurutnya, seluruh
provinsi harus bisa bersinergi dengan Pemerintah pusat berkaitan dengan adaptasi
perubahan iklim (API) yang saat ini dilaksanakan. “Perlu ada zonasi untuk
pengaturan kawasan pesisir. Harus ada pembaruan untuk mengadaptasi perubahan
iklim yang terjadi hingga 2045 mendatang,” tuturnya. Putra menyebutkan, untuk
bisa melaksanakan RAN API, Pemerintah harus mengubah haluan untuk tidak
lagi melaksanakan program sesuai kebutuhan pemerintah. Akan tetapi, mulai
sekarang adaptasi harus melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Konsep seperti itu harus diterapkan, karena masyarakat akan menjadi aktor utama
di lapangan.

2.10.2 Pentingnya pengelolaan dan pendayagunaan lingkungan dan ekosistem


Di tempat sama, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti
mengakui bahwa masalah sosial ekonomi hingga saat ini menjadi masalah pelik
yang belum dipecahkan untuk adaptasi perubahan iklim. Dia berharap, konsep
dan desain yang dibuat oleh LIPI untuk kebijakan inklusif bisa menjadi
referensi dan bagian dari program RAN API. “Kita ingin mengangkat persoalan
masyarakat di pesisir, karena memang mereka bagian tak terpisahkan dari RAN
API. Mereka harus bisa keluar dari ancaman kemiskinan karena dampak
perubahan iklim. Ini yang menjadi fokus,” tuturnya. Nuke menjelaskan, sejak
2017 pihaknya melakukan kajian dan penelitian tentang masyarakat pesisir
yang akan terkena dampak perubahan iklim. Untuk mencari jawaban dan solusi
dari permasalahan tersebut, LIPI menggunakan beberapa model pemecahan
masalah yang diterapkan di beberapa kawasan, seperti Medan (Sumatera
Utara), Lampung, dan Selayar (Sulawesi Selatan).

40
2.10.3. Pentingnya pengintegrasian upaya adaptasi ke dalam rencana pengelolaan
Wilayah

Untuk masyarakat yang ada di kawasan pesisir, menurut Peneliti


Kependudukan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Deny Hidayati, adalah
bagian yang harus selalu dilibatkan dalam RAN API. Terlebih, di sana juga ada
kelompok masyarakat yang terdiri dari kelompok rentan karena kondisi fisik
dan kesehatan, dan kelompok rentan ekonomi seperti masyarakat miskin

2.10.4 Pentingnya pengembangan dan implementasi ketahanan desa pesisir; dan

2.10.5 Pentingnya perbaikan sistem pendukung adaptasi perubahan iklim di wilayah

Pesisir dan kepulauan.

2.11 Peranan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Pesisir


2.11.1 Pengertian Peranan
Peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu peristiwa atau Peranan merupakan bagian yang dimainkan
seseorang dalam suatu peristiwa. (KBBI, 2008)

2.11.2. Pengertian Pelayanan


Pelayanan ialah “usaha melayani kebutuhan orang lain”. Pelayanan pada
dasarnya adalah kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau pelanggan
yang dilayani, yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki. (KBBI)

2.11.3. Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
(Wikipedia)

41
2.11.4. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir yaitu kelompok orang atau suatu komunitas yang
tinggal di daerah pesisir dan sumberkehidupan perekonomiannya bergantung
secara langsung pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.
2.11.5. Pengertian Peranan Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Pesisir
Jadi, pengertian secara umum mengenai Pelayanan Kesehatan bagi
masyarakat Pesisir adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam melayani atau melakukan usaha kegiatan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang
bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.
2.11.6. Pelayanan kesehatan yang dapat ditemukan di wilayah pesisir
Kegiatan pelayanan kesehatan yang dapat ditemukan di wilayah pesisir
yaitu berupa Puskesmas. Puskesmas merupakan organisasi yang bergerak di
bidang pelayanan jasa kesehatan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan
mutu sumber daya manusia, harapan hidup, kesejahteraan keluarga
danmasyarakat, serta mempertinggi derajat kesehatan masyarakat akan
pentingnya hidup sehat. Selain itu, pelayanan kesehatan lainnya ialah kegiatan
Posyandu.
(Rusdin, Megawati. 2015).
2.11.7. Peran layanan kesehatan bagi masyarakat pesisir
Peran layanan kesehatan yang ada di masyarakat pesisir ini ternyata masih
saja kurang ditanggapi oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat dari tidak adanya
antusias dari masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik,
yang juga terlihat dari kurangnya minat masyarakat untuk mengunjungi
posyandu. Sehingga tenaga kesehatan yang bertugas harus mendatangi rumah
warga yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan salah
satu bukti adanya sikap acuh masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yan
diberikan. Hal ini banyak di pengaruhi dengan sikap masyarakat pesisir yang
42
enggan ke pelayanan kesehatan berkaitan denagan tradisi dan adat istiadat yang
masih di pegang erat oleh kebanyakan masyarakat yang bertempat.

tinggal di daerah sekitaran pesisir dan pendapatan masyarakat yang tidak


menentu juga masih menjadi salah satu alasan masyarakat untuk tidak
menggunakan layanan kesehatan yang terdapat di daerah tempat tinggal mereka.
Sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masyarakat pesisir masih
sangat kurang di bandingkan masyarakat perkotaan khsususnya pada masyarakat
pesisir. Selain itu, juga tampak bahwa pencarian pengobatan oleh Masyarakat
Pesisir masih sangat kurang di bandingkan dengan masyarakat perkotaan hal ini
banyak di pengaruhi dengan sikap masyarakat pesisir yang enggan ke pelayanan
kesehatan berkaitan denagan tradisi dan adat istiadat yang masih di pegang erat
oleh kebanyakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sekitaran pesisir
dan pendapatan masyarakat yang tidak menentu juga masih menjadi salah satu
alasan masyarakat untuk tidak menggunakan layanan kesehatan yang terdapat di
daerah tempat tinggal mereka. Sehingga pemanfaatan pelayanan kesehatan pada
masyarakat pesisir masih sangat kurang di bandingkan masyarakat perkotaan.
(Karman, 2016)

2.9.8. Cara menangani masalah kesehatan dan mencegah penyakit yang terjadi
pada masyarakat pesisir
Cara menangani masalah kesehatan pada masyarakat pesisir ialah dengan
meningkatkan pengetahuan atau pemahaman masyarakat pesisir. Pengetahuan
merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang
(over behavior). Karena jika seseorang tidak mengetahui tentang sebuah objek,
maka objek tersebut tidak akan menarik bagi seseorang. Begitu juga halnya
dengan pemanfaatkan pelayanan kesehatan khususnya Puskesmas dan
Posyandu.Pengetahuan tentang puskesmas dapat mempengaruhi perilaku
masyarakat di dalam pemanfaatan pelayanan puskesmas untuk memeriksa
43
kesehatannya. Pengetahuan sangat penting peranannya dalam memberikan
wawasan terhadap bentuk sikap, yang selanjutnya akan diikuti oleh tindakan
dalam memilih pelayanan kesehatan yang diyakini kemampuannya. Tingkat
pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap penggunaan puskesmas, apabila
masyarakat tidak mengetahui tentang manfaat puskesmas, maka masyarakat
memandang tidak penting untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
disediakan.(Sakka, Ambo. 2016) Selain itu, Akses. Akses dapat mempengaruhi
frekuensi kunjungan ditempat pelayanan kesehatan, makin dekat jarak tempat
tinggal dengan pusatpelayanan kesehatan makin besar jumlah kunjungan di
pusat pelayanan tersebut,begitu pula sebaliknya, makin jauh jarak tempat
tinggal dengan pusat pelayanankesehatan makin kecil pula jumlah kunjungan di
pusat pelayanan kesehatantersebut 15. Akses masyarakat atau transportasi
masyarakat Pesisir ke lokasi pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi
pemanfaatan atau tidak dimanfaatkannya pelayanan kesehatan terutama
Puskesmas.Hyperbaric Oxygen Chamber kesehatan yang lokasinya terlalu jauh
dari tempat tinggal baik jarak secara fisik maupun secara finansial tentu tidak
mudah dicapai. Dengan demikian akses baik berupa jarak maupun transportasi
yang di butuhkan dari tempat tinggal ke pusat pelayanan kesehatan sangat
mempengaruhi tingkat permintaan pelayanan kesehatan dan jika akses serta
sulitnya transportasi dari tempat tinggal yang terpencil.

44
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, di
mana bagian-bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional.
Ada 4 metode dalam penentuan prioritas masalah kesehatan yaitu metode
matematika, metode Delbeque dan Delphi, metode Estimasi Bebari Kerugian
(Disease Burden) dan metode Perbandingan antara Target dan Pencapaian Program
Tahunan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan berdasarkan besarnya pengaruh
meliputi secara berurutan yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan
kesehatan, dan faktor keturunan.
Pembangunan kesehatan wilayah dapat dilakukan dengan merujuk kepada
konsep MPBW dan rancangan SKK setiap wilayah pemerintahan otonomi. Secara
lebih terperinci, perlu disusun suatu pedoman MPBW kabupaten dan kota yang dapat
dijadikan panduan oleh para perancang dan pelaksana. MPBW diharapkan dapat
meningkatkan kesehatan penduduk di suatu kabupaten kota tertentu secara bertahap
dan berkesinambungan. Terakhir dan yang tidak kalah pentingnya, pelaksanaan
MPBW harus menggunakan prinsip-prinsip Ilmu Kesehatan Masyarakat.

3.2 Saran

Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang
sifatnya membangun sangat kami harapkan.

45
DAFTAR PUSTAKA

 District Health Management, Training Material Modul,GTZ-DSE;2006.


 Hanlon J and Picken, Public Health administration and practice, Mosby
College Publishing,Santa ClaraCA,2005
 Depkes RI, Biro Perencanaan, Pedoman Pereneanaan Kesehatan untuk Tenaga
Teknis di Lapangan,Jakarta; 2007.
 Rustiadi, E., Saefulhakim, S. &Panuju, D.R. (2011). Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
 Adisasmita, R. (2008). Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
 Harahab, N. (2010). Penilaian Ekonomi Hutan Mangrove dan Aplikasinya
1.Achmadi UF. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Kompas; 2005
2. Susanna D. Dinamika penularan malaria, studi pada ekosistim persawahan,
pegunungan dan ekosistim pantai [disertai] . Depok: FKM UI;2005.
3. Achmadi UF. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: UI Press;2008.
4. Achmadi UF. Horison baru kesehatan masyarakat di Indonesia. Jakarta:Rineka
Cipta;2008
5. Achmadi UF. Paradigma kesehatan likungan dan kesehatan kerja. Mimeograph:
FKM UI;1987
6. Achmadi UF. Transformasi kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja di Indonesia.
Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Depok: Dokumen Perpustakaan FKMUI;1991

46

Anda mungkin juga menyukai