Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI

Sistem saraf perifer terdiri dari bermacam-macam tipe sel dan elemen yang membentuk saraf
motor, saraf sensor, dan saraf autonom. Polineuropati adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan sindroma yang terjadi dari lesi yang mengenai saraf-saraf, dimana dimanifestasikan
sebagai kelemahan, kehilangan kemampuan sensor, dan disfungsi autonom (lipincott c103.p462)

Menurut Mattle et all, polineuropati adalah kondisi yang mengenai saraf-saraf perifer. Gambaran
klinis dari polineuropati biasa nya terdistribusi secara simetris dan lambat progresif. Gejala awalan
dari polineuropati dalam praktek klinis sering dimulai dari kedua kaki. Penyebab dari polineuropati
bermacam-macam. Dalam penelitian secara Consensus-based principles, polineuropati harus
bermula dari kaki dan simetris pada kedua sisi tubuh. Polineuropati dapat muncul pada umur
berapapun, meski ada beberapa sindroma yang menyerang pada anggota umur tertentu. (199-
207.p7)

B. EPIDEMIOLOGI

Polineuropati muncul sebagai salah satu komponen dari beberapa penyakit yang sering muncul
dan tidak sedikit pula dari penyakit-penyakit yang langka. Polineuropati memiliki etiologi yang
heterogen, berbeda-beda dalam patologinya, dan bermacam-macam pula tingkat keparahannya.
Insiden kasus dari polineuropati didunia ini juga tergolong tidak sedikit, hal tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut

(epidemiologi 311)
C. ETIOLOGI

Berikut adalah beberapa penyebab polineuropati yang sering terjadi

1. Polineuropati Herediter
 Hereditary motor and sensory neuropathies
 Neuropathy with tendency to pressure palsy
 Prophyria
 Primary amyloidosis
2. Polineuropati karena kelainan metabolik
 Diabetic neuropathy
 Uremia
 Cirrhosis
 Gout
 Hypothyroidism
3. Polineuropati karena penyakit infeksi
 Leprosy
 Mumps
 Typhus
 HIV infection
4. Polineuropati karena penyakit arteri
 Polyarteritis nodosa
 Atherosclerosis
5. Polineuropati karena kurang gizi
6. Polineuropati karena malabsorbsi vitamin B12
7. Polineuropati karena disproteinemia atau paraproteinemia
8. Polineuropati karena zat-zat toksik eksogen

(fundamentals of neurology 176)


D. PATOFISIOLOGI

Berbagai macam pencetus dan kondisi dapat mengakibatkan polineuropati dengan caranya
masing-masing. Kerusakan pada neuronal nuclei seperti pada diabetes melitus, mengakibatkan ke
degenerasi tipe axonal retrogade sekunder distal. Di lain pihak kerusakan langsung pada segmen
axon mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada segmen axon bagian distal. Berbeda pula pada
polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target serangan, sehingga menyebabkan
demyelinisasi. Lebih jelasnya diperlihatkan pada gambar dibawah ini

(neurology & neurosurgery ilustrated 416)


E. KLASIFIKASI
Ada beberapa klasifikasi untuk polineuropati
1. Menurut onsetnya: akut, subakut, kronik
2. Menurut fungsi yang terganggu: motor, sensor, autonom, campuran
3. Menurut perjalan patologisnya: axonal, demyelinisasi
4. Berdasar penyebabnya: vaskuler, infeksi, toksin, tumor, metabolik

Dalam praktek klinis, biasanya diklasifikasikan berdasar onsetnya, yaitu akut, subakut, atau kronik.
Berikut akan lebih dijelaskan seperti dalam tabel dibawah ini
(Neurology neurosurgery ilustrated 420)

F. TANDA DAN GEJALA KLINIS

Gejala dari polineuropati meliputi nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan
fungsi sensoris. Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada
daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal,
gringgingen, terbakar, atau kesemutan. Hilangnya persepsi rasa nyeri mengakibatkan trauma
berulang dengan degenerasi dari sendi-sendi.
Kelemahan dirasakan paling hebat pada otot-otot kaki pada kebanyakan polineuropati,
memungkinkan juga paralisa dari otot-otot intrinsik pada kaki dan tangan yang mengakibatkan
footdrop atau wristdrop. Refleks tendon biasanya hilang, terutama pada neuropati demyelinisasi.
Pada kasus polineuropati yang berat, pasien bisa quadriplegi atau mengalami kelumpuhan pada ke
semua alat gerak dan mengalami respirator-dependent. Saraf-saraf kranialis juga bisa terkena,
biasanya pada SGB dan difteri. Kemampuan sensor kutan hilang pada distribusi kasus stocking-and-
glove. Segala macam mode sensor perasa tersebut akan bermasalah.
Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil),
anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor.
Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi
gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati distal yang simetris. Di
negara Amerika Serikat, penyebab tersering gangguan saraf-saraf autonom tersebut adalah penyakit
diabetes melitus. Penyebab lainnya adalah amyloidosis. Takikardi, perubahan tekanan darah yang
cepat, kulit kemerah-merahan dan berkeringat, dan gangguan pada sistem gastrointestinal biasanya
disebabkan karena keracunan thallium, prophyria, atau SGB (Lipincott).
Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen berproliferasi dan
dideposisi pada sel schwann karena pengulangan episode demyelinisasi dan remyelinisasi atau
deposisi dari amyloid atau polisakarida pada saraf-saraf tersebut. Fasikulasi atau kontraksi spontan
dari unit motor dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala
tersebut merupakan karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat
pada neuropati motoric dengan multifokal blok pada konduksi motoricnya dan juga pada neuropati
kronis yang menyertai kerusakan dari axon. (Lipincott c103)
Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena.
Gangguan dari tiap tipe saraf menghasilkan tanda dan gejala yang “positif” atau “negatif” seperti yang
terlihat pada tabel berikut
(martin a.samuels 569)

Mumenthaler dan Mattle menjelaskan tanda dan gejala klinis polineuropati sebagai berikut

 Tanda awal biasanya bermula dari distal, kedua kaki


 Parastesi di jempol kaki atau di telapak kaki, terutama pada malam hari
 Kesemutan
 Perasaan tebal dikaki, seperti memakai kaos kaki
 Hilangnya refleks Achiles
 Menurun dan hilangnya sense getaran, dimulai didistal
 Seiring berjalannya progres dari penyakit, timbul paresis pada muskulus ekstensor halocist
brevis dan juga muskulus interossei
 Kemudian, paresis pada muskulus ekstensor halocist longus dan ekstensor kaki
 Menghasilkan bilateral footdrop
 Pada akhirnya, gangguan sensorik dan kelemahan motorik menyebar hingga eksterimitas
bagian atas juga.
G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf kranialis, kemampuan
motorik dan sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan membantu
dalam mengkerucutkan diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal. Pasien
dengan neuropati sensorimotor simetris distal, pemeriksaan sensoriknya menunjukkan penurunan
sensitifitas terhadap sentuhan ringan, tusukan jarum, dan suhu pada kasus stocking-and-glove.
Kemampuan mengenali fibrasi dan posisi juga terganggu, pasien dengan tingkat keparahan yang
tinggi dapat menunjukkan tanda positif dari pseudoathetosis atau tes Romberg. Refleks tendon juga
menurun ataupun hilang. (ann noele)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Apabila menemukan temuan gejala klinis yang tipikal menunjukkan bahwa hal tersebut
mengindikasikan adanya polineuropati, serangkaian tes laboratorium dapat dilakukan untuk
menentukan etiologinya (antara lain darah lengkap, elektrolit, gula darah, elektroforesis, tes toleransi
gula, HBA1c, faal ginjal dan hepar, serum vitamin B12 dan asam folat, parameter vaskulitis, TSH, dan
mungkin pula dilakukan tes endokrin lebih jauh dan marker tumor. Elektroneurografi dapat
menunjukan tingkat gangguan dari konduksi impuls, bergantung dari etiologi penyebabnya. Jika
penyebab primernya adalah axonal, EMG akan menunjukkan sebuah denervasi atau secara
neurologis ptoensial yang terganggu. Konsentrasi protein CSF bisa juga terganggu pada berbagai
macam polineuropati (e.g diabetik polineuropati), pada kasus langka, pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukan suatu proses infeksi. Pemeriksaan tambahan biopsi saraf betis
dapat menyingkirkan polineuropati tipe axonal dari tipe demyelinisasi. (fundamental 176). Pasien
dengan polineuropati sensoris simetris distal memiliki prevalensi tinggi terkena diabetes atau
prediabetes, dimana dapat diketahui dengan mengukur kadar gula darah dari pasien tersebut.

Elektromyografi (EMG) memiliki cara kerja dengan menggunakan jarum ditusukkan kepada otot
tertentu dan aktifitas dari otot tersebut ditampilkan pada oscilloscope. EMG biasanya digunakan untuk
mengevaluasi penyakit otot tapi secara tidak langsung juga bisa digunakan untuk mengetahui proses
neuropatik. Apabila terdapat denervasi kronis, reinervasi mungkin muncul dengan durasi lebih lama
dengan amplitudo tinggi.
NCS (Nerve Conduction Studies) adalah suatu tes dengan memberikan stimulis pada saraf (20-
100 V selama 0.05-0.1 milidetik) dan respons dari pergerakan otot yang terstimulasi direkam

EMG dan NCS seringkali digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan neuropati. Tes tersebut
dapat mengetahui apabila terdapat neuropati dan memberikan informasi juga tipe saraf apa yang
terkena (motorik, sensorik, atau kedua-duanya), perjalanan patologi yang seperti apa (axonal atau
demyelinisasi), dan apakah dia simetris atau tidak simetris. (ann noele)

Biopsi saraf secara luas sudah diterima untuk digunakan dalam mendiagnosis penyakit inflamasi
saraf oleh karena vaskulitis, sarkoidosis, CIDP, penyakit infeksi seperti lepra, atau kelainan yang
infiltratif seperti tumor dan amyloidosis. Biopsi saraf sangat berguna pada mononeuropathy multiplex
atau kecurigaan neuropati vaskulitis. Biopsi kulit mengalami peningkatan untuk penggunaannya untuk
mengevaluasi pasien dengan polineuropati. Tekhnik yang paling sering adalah dengan mengambil
jaringan kulit pada kaki sebesar 3mm. Setelah memotong nya dengan microtome, jaringan tersebut
kemudian diberi antibodi anti-protein-geneproduct 9.5 (PGP 9.5) dan di periksa dengan metode
immunohistochemical atau immunofluorescent (177-85.5).

I. DIGNOSIS DAN DIAGNOSIS PENUNJANG

Untuk menentukan diagnosis dari polineuropati, secara signifikan dikecurutkan oleh kemampuan
anamnesis, tanda dan gejala klinis, dan mengintrepetasikan hasil pemeriksaan penunjang.

Distal Symmetric Sensorimotor Polyneuropathies

Endocrine diseases Carcinomatous axonal sensorimotor


Diabetes mellitus polyneuropathy
Hypothyroidism Lymphomatous axonal sensorimotor
Acromegaly polyneuropathy
Nutritional diseases Infectious diseases
Alcoholism Acquired immunodeficiency syndrome
Vitamin B12 deficiency Lyme disease
Folate deficiency Sarcoidosis
Whipple's disease Toxic neuropathy
Postgastrectomy syndrome Acrylamide
Gastric restriction surgery for obesity Carbon disulfide
Thiamine deficiency Dichlorophenoxyacetic acid
Hypophosphatemia Ethylene oxide
Critical illness polyneuropathy Hexacarbons
Connective tissue diseases Carbon monoxide
Rheumatoid arthritis Organophosphorus esters
Polyarteritis nodosa Glue sniffing
Systemic lupus erythematosus Metal neuropathy
Churg-Strauss vasculitis Chronic arsenic intoxication
Cryoglobulinemia Mercury
Amyloidosis Gold
Gouty neuropathy Thallium

Adapted with permission from Donofrio PD, Albers JW. AAEM minimonograph #34. Polyneuropathy:
classification by nerve conduction studies and electromyography. Muscle Nerve 1990;13:889-903.

Differential Diagnosis of Neuropathies by Clinical Course

Acute onset Subacute onset Chronic course/ Relapsing/


(within days) (weeks to months) insidious onset remitting course

Guillain-Barré syndrome Maintained exposure to toxic Hereditary motor Guillain-Barré


agents/medications sensory neuropathies syndrome

Acute intermittent Persisting nutritional deficiency Dominantly inherited CIDP


porphyria sensory neuropathy

Critical illness Abnormal metabolic state CIDP HIV/AIDS


polyneuropathy

Diphtheric neuropathy Paraneoplastic syndrome Toxic

Thallium toxicity CIDP Porphyria

Neuropathies with Less Common Patterns of


Proximal Symmetric Motor Polyneuropathies Involvement

Guillain-Barré syndrome Neuropathies with cranial nerve involvement


Chronic inflammatory demyelinating Diabetes mellitus
polyradiculoneuropathy Guillain-Barré syndrome
Diabetes mellitus HIV/AIDS
Porphyria Lyme disease
Osteosclerotic myeloma Sarcoidosis Neoplastic invasion of skull base or
Waldenstrom's macroglobulinemia meninges
Monoclonal gammopathy of undetermined Diphtheria
significance
Acute arsenic polyneuropathy Neuropathies predominant in upper limbs

Lymphoma Guillain-Barré syndrome

Diphtheria Diabetes mellitus

HIV/AIDS Porphyria

Lyme disease Hereditary motor sensory neuropathy

Hypothyroidism Vitamin B12 deficiency

Vincristine (Oncovin, Vincosar PFS) toxicity Hereditary amyloid neuropathy type II*
Lead neuropathy

HIV=human immunodeficiency virus;


AIDS=acquired immunodeficiency syndrome. HIV=human immunodeficiency virus;
AIDS=acquired immunodeficiency syndrome.
Information from Thomas PK, Ochoa J.
Symptomatology and differential diagnosis of *--Carpal tunnel syndrome resulting from amyloid

peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK, deposits in the flexor retinaculum.

eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia:


Information from Thomas PK, Ochoa J.
Saunders, 1993:749-74.
Symptomatology and differential diagnosis of
peripheral neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PK,
eds. Peripheral neuropathy. Philadelphia:
Saunders, 1993:749-74.

J. TERAPI
Terapi pasien dengan polineuropati dapat dibagi menjadi tiga cara: terapi spesifik dilakukan
bergantung kepada etiologi penyebab dari pasien tersebut, terapi simptomatis, dan meningkatkan
kemampuan pasien self-care. Terapi simptomatis dari polineuropati terdiri dari mengurangi atau
menghilangkan dari nyeri yang diderita dan fisioterapi. Intubasi trakhea dan suport pernafasan
mungkin dibutuhkan untuk pasien SGB. Proteksi kornea diberikan apabila terdapat kelemahan untuk
menutup mata. Kasur tidur tempat pasien selalu dibersihkan dan penutupnya dibuat halus untuk
mencegah cedera kulit pada kasus anesthetic skin. Fisioterapi termasuk pijat untuk otot yang lemah
dan melakukan pergerakan pasif terhadap semua sendi. Ketika pasien sudah bisa untuk bergerak
lagi, latihan otot dapat dilakukan setiap hari. Pasien mungkin tidak diperbolehkan untuk jalan terlebih
dahulu sebelum tes otot mengindikasikan bahwa otot-otot tersebut sudah siap untuk digunakan. Pada
kasus polineuropati dengan footdrop, sebuah orthosis untuk kaki dapat digunakan untuk membantu
pasien berjalan. Pasien-pasien dengan hipotensi postural, disuruh untuk bangun secara bertahap.
(lipincott103.1)

Terapi spesifik sebagai contoh pada kasus SGB, pemberian intravenous immunoglobulins (IVIG)
0,4g/kg untuk 5 hari diketahui memiliki output yang bagus. Pada kasus CIDP, terapi bergantung pada
tingkat keparahan yang diderita pasien. Pada pasien dengan diabetes, mengkontrol kadar gula darah
sangat penting.

K. PROGNOSIS

Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat
keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan. Pada SGB,
kerusakan saraf berhenti dalam 8 minggu atau kurang. Tanpa pengobatan, sebagian besar orang
membaik dengan waktu yang lebih lama. Bagaimanapun, dengan terapi yang segera, kebanyakan
orang membaik dengan sangat cepat, dalam hitungan hari atau beberapa minggu saja. Hanya kurang
dari 2% dapat mengakibatkan kematian. Setelah membaik secara bertahap, 3 – 10% orang menjadi
kelainan yang mengarah ke CIDP. Pada CIDP yang tertangani dengan baik 30% bisa sembuh dan
tidak terdapat gangguan, 45% dengan tetap ada gangguan yang ringan, dan 25% tetap mengalami
gangguan saraf yang buruk (neurology and neurosurgery 425). Pada diabetik polineuropati,
komplikasi biasanya baik apabila kontrol diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi
komplikasi neuropati autonom (diabetik neuropati)

ALGORITME

Berikut adalah algoritme dalam mendiagnosis suatu polineuropati

Anda mungkin juga menyukai