Anda di halaman 1dari 16

Keperawatan Gawat Darurat

Konsep Penanganan Pasien Kritis di OK, Bangsal,


dan ICU

Dosen Pengampu

Leonatus Limson, S.kep, M.kes

Disusun Oleh :

Ari Triono 20156310292

Dio Argi 20156310259

Fransiskus Anan 20156310265

Lulu Nuharia 20156320294

Nuraini 20156320264

Risa Agusti Ningsih 20156320255

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG
TAHUN 2017
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan masalah..............................................................................1
C. Tujuan ...............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................2
A. Pengertian Pasien Kritis ................................................................... 2
B. Indikasi Masuk ICU ..........................................................................2
C. Tingkat Perawatan Pasien Kritis .......................................................5
D. Konsep Penanganan Pasien Kritis .....................................................5
E. Penanganan Jalan nafas Pada Pasien Kritis ......................................9
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 12

A. Kesimpulan ....................................................................................... 12
B. Saran .................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini yang membahas mengenai
konsep penanganan pasien kritis di OK, bangsal, dan ICU. Makalah ini di susun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah program studi Keperawatan Gawat
Darurat. Pada penulisan makalah ini, kami berusaha menggunakan bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti oleh semua orang, sehingga lebih mudah
dipahami oleh pembaca. Makalah ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kita
semua, terutama mahasiswa kesehatan.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini tidaklah sempurna, masih
banyak kekurangan dan kelemahan didalam penulisan makalah kami, baik dalam
segi bahasa dan pengolahan maupun dalam penyusunan. Untuk itu, kami sangat
mengharapkan saran yang sifatnya membangun demi mencapainya suatu
kesempurnaan dalam makalah ini.

Singkawang, 18 Oktober 2017

Penyusun

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Situasi darurat dapat terjadi kapan saja tanpa peringatan, seseorang yang telah
terlatih dengan baik mengenai teknik-teknik pertolongan dapat memberikan
pertolongan pertama secara cepat. Prosedur umum untuk penanganan kedaruratan
meliputi memeriksa situasi, pemeriksaan pasien.

Pasien yang gagal atau dengan istilah disfungsi pada satu atau lebih sistem
tubuh tergantung pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi disebut pasien
kritis. Hal ini harus memerlukan perawatan keahlian di bidang keperawatan dan
kedokteran untuk merawat pasien sakit kritis.

Suatu perawatan intensif adalah perawatan yang menggabungkan teknologi


tinggi dengan keahlian khusus dalam bidang perawatan dan kedokteran gawat
darurat yang dibutuhkan untuk merawat pasien sakit kritis. Pasien kritis adalah
pasien yang memerlukan pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pasien kritis
2. Apa indikasi pasien masuk icu
3. Apa perawatan pasien kritis
4. Bagaimana penanganan pasien kritis
5. Apa tindakan yang dilakukan pada pasien kritis
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pasien kritis
2. Untuk mengetahui apa indikasi pasien masuk icu
3. Untuk mengetahui bagaimana perawatan pasien kritis
4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan pasien kritis
5. Untuk mengetahui apa tindakan yang dilakukan pada pasien kritis

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pasien Kritis

Pasien kritis adalah pasien yang memerlukan pemantauan atau perawatan


yang canggih atau terapi yang intensif. Diperlukan perawatan intensif yang
menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus yang dibutuhkan untuk
merawat pasien sakit kritis. Perawatan memiliki peran untuk memenuhi
kebutuhan bio, psyco, socio, spiritual pasien. Akan tetapi kebutuhan spiritual
sering kali dianggap tidak penting oleh perawat. Padahal aspek kebutuhan
spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang harapan untuk sembuh sangat
tipis.

Biasanya pasien sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien


yang didiagnosis dengan penyakit berat, dan tidak dapat disembuhkan lagi.
Langkah pemeriksaan pasien meliputi memeriksa tanda-tanda vital/ TTV,
memeriksa keracunan internal, memeriksa syok, memeriksa penyakit yang timbul
mendadak dan kondisi nontraumatik.

Prioritas pasien dinyatakan kritis, kelompok pasien prioritas:

1. Merupakan pasien sakit kritis stabil, tidak stabil, yang melakukan perawatan
intensif.
2. Memerlukan pantauan canggih dari ICU, termasuk pasien beresiko yang
memerlukan pemantauan intensif dengan metode pulmotary arteri cateteter
3. Pasien Jenis ini sakit kritis dan tidak stabil dimana status kesehatan
sebelumnya mendasarinya.

B. Indikasi Masuk ICU

Dalam keadaan terbatas tinggal satu tempat tidur tersedia sedangkan ada 1
atau lebih pasien yang perlu perawatan ICU maka diambil kebijakan, pasien yang
memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih didahulukan dibandingkan dengan

2
3

pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas 2) penilaian


objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam menentukan petioritas masuk ICU.

1. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan


terapi intensif dan tertitrasi, seperti : dukungan / bantuan ventilasi, alat
penunjang fungsi organ / system yang lain, infuse obat obat vasoaktif /
inotropik, obat anti artimia, serta pengobatan lain secara kontinyu dan
tertitrasi. Sebagai contoh antara lain : sepsis berat, gangguan keseimbangan
asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa, hipoksemia, infark miokard
akut. Terapi pada golngan prioritas 1 umumnya tidak mempunyai batas.

2. Pasien prioritas 2 (dua)

Kelompok pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU,


sebab sangat beresiko nila tidak mendapatkan terapi intensif segera. Contoh
pasien yang menderita penyakit dasar jantung parum gagal ginjal akut dan
berat atau pasien yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi pada
golongan pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya
senantiasa berubah.

3. Pasien prioritas 3 (tiga)

Kelompok pasien ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya,
atau penyakit akutnya secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh
dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien
dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade,
sumbatan jalan nafas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal
disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini
hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin
tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung.
4

Pengecualian Dengan pertimbangan luar bias am dan atas persetujuan


Kepala ICUm indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa
dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien golongan demikian sewaktu-
waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas ICU yang terbatas
tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga).

a. Prioritas 1

Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang memerlukan terapi
intensif dan agresif seperti Gangguan atau gagal nafas akut , Gangguan
atau gagal sirkulasi, Gangguan atau gagal susunan syaraf , Gangguan atau
gagal ginjal .

b. Prioritas 2

Pemantauan atau observasi intensif secara ekslusif atas keadaan-


keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ
vital Misalnya Observasi intensif pasca bedah operasi : post trepanasi,
post open heart, post laparatomy dengan komplikasi, Observasi intensif
pasca henti jantung dalam keadaan stabil , dan Observasi pada pasca bedah
dengan penyakit jantung.

c. Prioritas 3

Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang mempunyai
harapan kecil untuk penyembuhan (prognosa jelek). Pasien kelompok ini
mugkin memerlukan terapi intensif untuk mengatasi penyakit akutnya,
tetapi tidak dilakukan tindakan invasife Intubasi atau Resusitasi Kardio
Pulmoner. NB : Pasien prioritas 1 harus didahulukan dari pada prioritas 2
dan 3.
5

C. Tingkat Perawatan Pasien Kritis


1. Tingkat 0
 Pasien-pasien stabil yang kebutuhannya dapat dipenuhi oleh perawatan di
bangsal rutin
2. Tingkat 1
 Pasien yang kondisinya berisiko memburuk dan memerlukan observasi
klinis secara cermat yang dapat dilakukan di bangsal umum
 Pasien yang baru-baru ini direlokasi dari tingkat perawatan yang lebih
tinggi yang kebutuhannya dapat dipenuhi dengan anjuran dan dukungan
dari tim perawatan klinis
3. Tingkat 2 (HCU)
 Pasien yang memerlukan pemantauan yang lebih mendetail (missal
tekanan darah arteri invasif, CVP). Bantuan untuk kegagalan sistem organ
tunggal, termasuk ventilasi tekanan positif non-invasif
 Pasien-pasien pasca operasi tertentu (misal setelah operasi besar pada
pasien-pasien berisiko tinggi)
 Pasien yang baru pindah dari perawatan tingkat 3
4. Tingkat 3 (ICU)
 Pasien yang membutuhkan bantuan pernapasan lanjut (intubasi trakea dan
ventiasi mekanis)
 Pasien-pasien dengan MOFS (multiple organ failure syndrome)

D. Konsep Penanganan Pasien Kritis


1. Mengenali pasien berisiko mengalami kegawatan
a. Mengenali tanda-tanda kegawatan pada keadaan yang sudah kritis tidak
susah, tetapi dalam tahap awal tentu akan lebih sulit untuk dilakukan.
b. Beberapa penyulit : usia tua, immunocompromised , debil, penyakit
2. Menentukan derajat kegawatan
a. Umumnya penyakit-penyakit dalam fase yang akut menimbulkan
perubahan-perubahan fisiologis yang dapat diperkirakan.
6

b. Langkah yang penting untuk dilakukan adalah mengenal tanda-tanda


perubahan tersebut sehingga kita dapat memantau perubahan fisiologi
yang terjadi dan menentukan derajat kegawatan dan dapat memberikan
penatalaksanaan yang tepat.
1) Gejala-gejala yang umum kita kenal :
Penurunan kesadaran, gelisah, sesak nafas, berkeringat, pucat, akral
dingin, muntah, pingsan, nyeri local
2) Gejala-gejala diatas harus menumbuhkan kecurigaan dan mengarahkan
kita untuk melakukan pemeriksaan-pemeriksaan lebih lanjut terhadap
tanda-tanda vital : Nadi, TD, RR, Suhu, Oksigenasi dan out put urin.
3) Pada tahap ini penatalaksanaan ditujukan untuk menyadari tentang
adanya permasalahan dan menjaga stabilisasi fungsi-fungsi fisiologis.
3. Menegakkan Diagnosa
a. Diagnosa yang akurat tidak menjadi tuntutan pada keadaan kegawatan.
b. Penegakkan diagnosa dilakukan ketika pasien sudah dalam keadaan stabil.
c. Langkah ini disebut secondary survey, untuk menjawab penyebab dari
kegawatan yang dialami oleh pasien.
4. Fase I, Primary Survey
a. Anamnesa
1) Tentukan setting pasien :

Keluhan utama, Trauma, Post op

2) Perhatian lebih tinggi pada :


 Pasien baru
 Tua
 Penyakit kronik berat
 Abnormalitas fisiologis
 Post op besar, tu kasus emg
 Perdarahan hebat
 Penurunan kondisi yang cepat atau sedikitnya perbaikan

b. Pemeriksaan Fisik
1) LLF (Look, Listen & FeeL)
 Airway
 Breathing & Oxygenation
 Circulation
 Penurunan kesadaran
2) Tachypneu adalah satu indikator penting pada kegawatan.
7

3) Perubahan cardiovascular yang paling sering terjadi adalah hipotensi,


yang disebabkan oleh hipovolemi atau sepsis atau keduanya.
4) GCS harus dicatat untuk mengukur tingkat kesadaran pasien.

AIRWAY

 Penyebab obstruksi :

Darah, muntah, benda asing, Penurunan kesadaran,Trauma langsung,


Infeksi, Inflamasi dan laryngospasme.

 Look : cyanosis, perubahan pola respirasi dan rate, penggunaan otot


pernafasan, penurunan kesadaran.
 Listen : Suara pernafasan yang berisik (grunting, stridor, wheezing,
gurgling), obstruksi total tidak menimbulkan suara.
 Feel : Penurunan atau tidak terdapatnya hembusan nafas

BREATHING

 Penyebab :
 Depresi SSP
 Kelumpuhan otot, kerusakan MS, Nyeri pada dinding dada.
 Gangguan pada Paru-paru : Pneumo/Haemothorax, Asthma,
COPD, Emboli, contusio paru, edema paru, ARDS
 Look : cyanosis, perubahan RR dan polanya, berkeringat, Peningkatan
JVP, penggunaan otot pernafasan, penurunan kesadaran, penurunan
saturasi O2
 Listen : Dispneu, kemampuan bicara, nafas yang berisik, perkusi dan
auskultasi
 Feel : Gerak dan bentuk dada yang asimetris, posisi trachea, distensi
abdomen.

CIRCULATION

 Penyebab :
 Primer : Iskemia, Gangguan konduksi, gangguan katup,
cardiomyopathy
 Sekunder : Obat-obatan, Hypoksia, Perubahan elektrolit, Sepsis
8

 Look : Penurunan perfusi perifer (pucat, dingin), perdarahan,


penurunan kesadaran, dispneu, penurunan out put urin
 Listen : Perubahan bunyi jantung, Carotid Bruit
 Feel : Perubahan pulsasi jantung prekordial, nadi perifer atau sentral,
rate, kualitas, regularitas dan simetrisitas.

c. Pemeriksaan penunjang
1) Pada primary survey pemeriksaan yang penting adalah AGD dan GDS.
2) Asidosis Metabolik adalah indikator yang penting pada keadaan yang
kritis.
3) Pemeriksaan selanjutnya tergantung differensial diagnosa yang akan
ditegakkan. Dapat berupa Laboratorium Darah, EKG, Radiologi,
Mikrobiologi, USG dll.

d. Treatment
1) Segera dilakukan begitu menemukan kelainan-kelainan fisiologis
2) Oksigen
3) IVFD
4) Persiapan Resusitasi
5) Segera hubungi orang yang lebih berpengalaman

e. Observasi dan dokumentasi


1) Perubahan-perubahan fisiologi pada pasien kritis harus selalu di
dokumentasikan dengan baik.
2) Keberhasilan dalam monitoring pasien tergantung pada kemampuan
untuk “membaca” data-data tersebut.
3) Pencatatan yang baik, akurat dan sering sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien kritis
5. Fase II, Secondary Survey
a. Pada fase ini, terutama untuk menentukan penyebab utama kegawatan dan
dilakukan setelah keadaan pasien stabil.
b. Anamnesa, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lebih teliti.
c. Penatalaksanaan lebih spesifik termasuk di dalamnya :
 Penggunaan alat-alat bantu seperti ventilator, hemodialisa dll.
 Menentukan jenis perawatan yang tepat mis; ICCU, IMCU, Isolasi dll.
 Konsul ke spesialis yang tepat.
9

Beberapa catatan penting

1. Identifikasi dini pada pasien-pasien yang berisiko sangatlah penting untuk


mencegah jatuh dalam kondisi kegawatan.
2. Gambaran gejala pada pasien kritis seringkali tidak spesifik. Tachypneu
adalah satu gejala yang penting untuk segera dilanjutkan dengan monitoring
dan pemeriksaan yang lebih lanjut.
3. Setelah resusitasi atau keadaan sudah stabil perlu dilanjutkan dengan
penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan pasien berdasarkan penyebab
kegawatan tersebut.
4. Anamnesa yang teliti sangat perlu untuk menegakkan diagnosa.
5. Monitoring terhadap respon klinis maupun laboratoris pasien terhadap
penatalaksanaan yang telah kita lakukan sangat penting untuk kita lakukan.

E. Penanganan Jalan Nafas Pada pasien Kritis

Pasien yang masuk atau dirawat di unit perawatan intensif (ICU) sering
mengalami gagal napas, desaturasi (hipoksia), hiperkapnia atau kolaps
kardiovaskuler. Jika pasien mengalami gagal napas setelah penanganan jalan
napas konvensional seperti pemasangan orotrakea dengan oksigen tinggi (Non-
rebreathyng mask 12 ltr/menit) akhirnya akan dilanjutkan dengan intubasi
endotrakea dan ventilasi mekanik.

Tujuan dari intubasi pada pasien kritis yaitu untuk menjaga patensi jalan napas
pada pasien gagal proteksi jalan napas akibat kesadaran menurun, untuk memudah
dilakukan ventilasi pada pasien yang butuh ventilasi, untuk memvasilitasi
ventilasi mekanik jangka lama, mencegah aspirasi dan memudahkan penyedotan
lendir. Kriteria objektif untuk dilakukan intubasi pasien kritis di ICU yaitu henti
napas/henti jantung, frekwensi napas kurang dari 10 kali/menit atau lebih dari 35
kali/menit, PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg.

Penyulit penanganan jalan napas seperti intubasi di ICU yaitu, cadangan


oksigenasi dan perfusi organ terbatas, mudah terjadi desaturasi pada saat
laringoskopi dilakukan, hemodinamik tidak stabil (hipotensi,aritmia)
menyebabkan pasien mudah kolaps kardiovaskuler sampai henti jantung akibat
obat induksi untuk fasilitasi intubasi, resiko terjadi aspirasi akibat lambung penuh,
pasien gelisah menyulitkan kita melakukan pre-oksigenasi atau memberikan
ventilasi tekanan positif.

Teknik intubasi pada pasien kritis dilakukan dengan teknik intubasi cepat
(RSI) atau prosedur intubasi pada pasien lambung penuh. Untuk mengantisipasi
10

komplikasi akibat intubasi pada pasien kritis maka beberapa langkah berikut harus
dilakukan :

1. Lakukan preoksigenasi yang baik sebelum memasukkan obat induksi minimal


3 menit. Jangan memasukkan obat induksi atau melakukan intubasi sebelum
saturasi pasien berangsur naik, tunggu sampai saturasi oksigen mendekati 100
% dan hemodinamik mulai stabil. Pre-oksigenasi dilakukan dengan memakai
Jacksen Reese atau bag valve mask disertai dengan penambahan oksigen 12
ltr/menit. Pilihlah masker yang sesuai untuk menghindari kebocoran di sisi
masker pada saat dilakukan “baging”. Bila memegang masker satu tangan
terasa sulit bisa memegang masker dua tangan dan orang lain yang memompa,
pasang pipa orofaring sambil lakukan sedikit ekstensi kepala dan manuver jaw
thrust. Hindari tekanan positif yang berlebihan untuk menghindari
peningkatan tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan intratoraks.
Lakukan ventilasi (pemberian tekanan positif) dengan memperhatikan irama
napas pasien, jangan sampai tabrakan dengan napas pasien, tekanan positif
dilakukan sesaat setelah akhir ekspirasi atau di sela-sela napas pasien dengan
“assist” ventilasi. Pemberian napas bantu atau ventilasi yang kurang adekuat
juga bisa menyebabkan desaturasi.
2. Pilihlah obat induksi yang bekerja cepat untuk fasilitas intubasi. Pastikan infus
berjalan lancar, berikan cairan sebelum obat induksi masuk terutama pasien
hipotensi kecuali kasus pasien kelainan jantung atau edema paru. Obat yang
biasa digunakan misalnya fentanyl, Propofol, rocuronium. Untuk menjaga
gejolak hemodinamik ditambahkan lidokain 1-2 mg/kgBB intra vena. Bila
pasien hipotensi meskipun telah diberikan cairan cukup dapat di berikan
ketamin. Dapat ditambahkan lidokain 10 % spray paga laring untuk
mengurangi rangsangan ETT pada laring atau mengurangi dosis obat induksi.
Pada kondisi dimana tidak memungkinkan pemberian obat induksi,
pertimbangkan intubasi sadar dengan penambahan lidokain transtrakea
melalui injeksi lidokain di membran crikoid ditambah spray lidokain 10 %
langsung ke trakea.
3. Lakukan intubasi cepat sambil menekan cartilago krikoid (sellick manuever).
Sesaat endotrakeal masuk segera kembangkan cup atau balon endotrakea
untuk mencegah aspirasi. Berikan tekanan pada balon ETT secukupnya.
Pengembangan balon ETT yang kurang meningkatkan resiko mikroaspirasi
cairan lambung dari ronggga mulut ke paru-paru. Tekanan balon ETT yang
terlalu tinggi menyebabkan iskemi pada trakea. Segera sambungkan dengan
selang oksigen dan lakukan venatilasi secukupnya, sambil melihat saturasi dan
hemodinamik pasien. Lakukan fiksasi ETT di mulut dengan plester yang baik,
pasien yang gelisah serta kulit yang basah berkeringat menyebabkan plester
mudah lepas dan gampang terekstubasi.
11

4. Bila gagal melakukan intubasi, jangan terus mencoba memasukkan pipa


endotrakea karena waktu sangat terbatas. Lakukan kembali ventilasi masker,
perbaiki oksigenasi. Ingat ! tujuan akhir dari pengelolaan jalan napas pada
pasien kritis adalah ventilasi dan oksigenasi pasien. Kegagalan memasukkan
ETT dapat dilanjutkan dengan ventilasi manual, bila harus memakai ventilasi
mekanik dapat dilakaukan dengan ventilasi non invasive.
5. Gejolak hemodinamik dapat terjadi setelah dilakukan intubasi. Terjadi
takikardi, aritmia, hipertensi, batuk dan agitasi bila induksi dangkal atau
relaksan kurang. Hal ini bisa berbahaya pada pasien jantung atau hipertensi.
Kerja jantung yang tiba-tiba meningkat bisa fatal pada kasus jantung koroner
atau gagal jantung. Hal yang sama juga berbahaya pada kasus neurologi yang
bisa memicu kenaikan tekanan intrakranial atau perdarahan (ulang) di otak.
Bila hal tersebut terjadi segera diatasi dengan penambahan sedasi, analgetik
atau relaksan. Kolaps kardiovaskuler sampai henti jantung juga bisa terjadi
akibat obat induksi. Umumnya obat induksi mendepresi jantung dan
menyebabkan vasodilatasi. Keadaan ini bisa diatasi dengan pemberian cairan
yang cukup, pemberian vasopressor atau inotropik. Hipotensi juga dapat
terjadi bila dilakukan hiperventilasi akibat tekanan intratoraks yang
meningkat. Sambungkan ke ventilator agar ventilasi dan oksigenasi dapat
diatur. Lihat pengembangan dada, suara napas di paru kiri dan paru kanan,
segera lakukan monitoring terhadap tidal volume, tekanan inspirasi, dan lain-
lain. Bila perlu periksa analisis gas darah.
6. Lakukan pemeriksaan foto toraks untuk mengkonfirmasi letak ETT dan
kemungkinan adanya komplikasi akibat intubasi dan ventilasi mekanik.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasien kritis adalah pasien yang memerlukan pemantauan atau perawatan


yang canggih atau terapi yang intensif. Diperlukan perawatan intensif yang
menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus yang dibutuhkan untuk
merawat pasien sakit kritis.

Prioritas pasien dinyatakan kritis, kelompok pasien prioritas:

1. Merupakan pasien sakit kritis stabil, tidak stabil, yang melakukan perawatan
intensif.
2. Memerlukan pantauan canggih dari ICU, termasuk pasien beresiko yang
memerlukan pemantauan intensif dengan metode pulmotary arteri cateteter
3. Pasien Jenis ini sakit kritis dan tidak stabil dimana status kesehatan
sebelumnya mendasarinya.
Beberapa hal yang penting mengenai penanganan pada pasien kritis:
1. Identifikasi dini pada pasien-pasien yang berisiko sangatlah penting untuk
mencegah jatuh dalam kondisi kegawatan.
2. Gambaran gejala pada pasien kritis seringkali tidak spesifik. Tachypneu
adalah satu gejala yang penting untuk segera dilanjutkan dengan monitoring
dan pemeriksaan yang lebih lanjut.
3. Setelah resusitasi atau keadaan sudah stabil perlu dilanjutkan dengan
penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan pasien berdasarkan penyebab
kegawatan tersebut.
4. Anamnesa yang teliti sangat perlu untuk menegakkan diagnosa.
5. Monitoring terhadap respon klinis maupun laboratoris pasien terhadap
penatalaksanaan yang telah kita lakukan sangat penting untuk kita lakukan.

B. Saran

Diharapkan materi yang ada dalam makalah ini dapat diterapkan dalam
proses keperawatan yang sesungguhnya

12
DAFTAR PUSTAKA

Tabrani. 2007. Agenda gawat darurat (Critical Care). P. T Alumni: Bandung

Mansjoer, A. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Hudak, CM. Gallo, BM. 2012. Critical Care Nursing: A Holistic Approach. Edisi
ke-8. Alih Bahasa Subekti. Jakarta: EGC

Hidayat AA. (2004). Pengantar konsep dasar keperawatan. Jakarta: Salemba


Medika

Kristanty, Paula Ns, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai