Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN: CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4

M. ROSYADI GUSMARA P1337420622130


FIRDHA FEBRIYANI P1337420622126
VEBY PEBRIANTI FITRIA P1337420622125

PROGRAM STUDI
ALIH JENJANG KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN


SEMARANG
2022/2023

I
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................................I
MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN: CEDERA KEPALA BERAT (CKB)........1
A. Konsep Keperawatan Kritis..............................................................................................................1
1. Definisi.........................................................................................................................................1
2. Prinisp Keperawatan Kritis...........................................................................................................1
B. Konsep Dasar Teori Cedera Kepala Berat (CKB)...............................................................................5
1. Definisi Penyakit..........................................................................................................................5
2. Anatomi Fisiologi Kepala..............................................................................................................5
3. Klasifikasi Cedera Kepala beserta Manifestasi Klinisnya..............................................................8
4. Tanda dan Gejala.......................................................................................................................14
5. Etiologi.......................................................................................................................................15
6. Patofisiologi...............................................................................................................................16
7. Komplikasi..................................................................................................................................16
8. Penatalaksanaan........................................................................................................................17
9. Pemeriksaan Penunjang............................................................................................................18
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kritis Pasien Cedera Kepala Berat.........................................20
1. Pengkajian keperawatan............................................................................................................20
2. Diagnosa Keperawatan..............................................................................................................28
3. Intervensi Keperawatan.............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................45

I
MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN:
CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

A. Konsep Keperawatan Kritis


1. Definisi
Ilmu perawatan kritis adalah bidang keperawatan dengan suatu fokus pada
penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Perawat kritis dapat ditemukan
bekerja pada lingkungan yang luas dan khusus, seperti departemen keadaan darurat
dan unit gawat darurat (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang
mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang
bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluargakeluarga
mereka menerima kepedulian optimal (American Association of CriticalCare
Nurses).

2. Prinisp Keperawatan Kritis


Pengatasan pasien kritis dilakukan di ruangan unit gawat darurat yang disebut
juga dengan emergency department sedangkan yang dimaksud dengan pasien kritis
adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat yang dapat menyebabkan
kematian (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Ruangan dalam penanganan gwat darurat dan kritis dlam rumah sakit terdiri dari:
a. Unit Gawat Darurat (IGD)
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah area di dalam sebuah rumah sakit
yang dirancang dan digunakan untuk memberikan standar perawatan gawat
darurat untuk pasien yang membutuhkan perawatan akut atau mendesak (Modul
Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Unit ini memiliki tujuan utama yaitu untuk menerima, melakukan triase,
menstabilisasi, dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk pasien, termasuk
pasien yang membutuhkan resusitasi dan pasien dengan tingkat kegawatan
tertentu (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).

1
Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live
Saving. Artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat
haruslah benar-benar efektif dan efisien.
Dalam pelayanan IGD ada pembagia tingkat kegawat daruratan pasien
yang di sebut dengan Triage. Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan
kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada keadaan
ABC (Airway, dengan cervical spine control, Breathing dan Circulation dengan
control pendarahan). Triage berlaku untuk pemilahan penderita baik di lapangan
maupun di rumah sakit (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Dalam IGD Simple Triage And Rapid Treatment (START) merupakan
tindakan pertama yang sering di lakukan untuk melakukan penangan. Prinsip dari
START adalah untuk mengatasi ancaman nyawa, jalan nafas yang tersumbat dan
perdarahan masif arteri.
START dapat dengan cepat dan akurat tidak boleh lebih dari 60 detik
perpasien dan mengklasifikasi pasien ke dalam kelompok terapi:
1) Hijau
Pasien sadar dan dapat jalan dipisahkan dari pasien lain, walking wounded
dan pasien histeris.
2) Kuning/delayed
Semua pasien yang tidak termasuk golongan merah maupun hijau.
3) Merah/immediate (10%-20% dari semua kasus)
Semua pasien yang ada gangguan air way, breathing, circulation, disability
and exposure. Termasuk pasien-pasien yang bernafas setelah air way
dibebaskan, pernafasan > 30 kali permenit, capillary refill > 2 detik.
4) Hitam
Meninggal dunia.
b. Unit perawatan intensif (ICU)
Suatu bagian dari Rumah Sakit yang mandiri dengan staf khusus dan
perlengkapan yang khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi
pasien- pasien yang menderita penyakit akut, cidera tau penyulit yang

2
mengancam nyawa atau potensi mengancam nyawa (Modul Pembelajaran
Keperawatan Kritis, 2018).
Kriteria pasien masuk ICU Penilaian objektif atas berat dan prognosis
penyakit hendaknya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan
prioritas masuk ke ICU:
1) Pasien prioritas 1
Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis, tidak
stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan /
bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ / system yang lain, infus obat -
obat vasoaktif / inotropic, obat anti aritmia, serta pengobatan lain – lainnya
secara kontinyu dan tertitrasi.
2) Pasien prioritas 2
Kriteria pasien ini memerlukan pelayanan peralatan canggih di ICU, sebab
sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya
pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter. Pasien yang
tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang menderita penyakit dasar
jantung – paru, gagal ginjal akut dan berat, dan pasien yang telah mengalami
pembedahan mayor.
3) Pasien prioritas 3
Pasien yang termasuk kriteria ini adalah pasien kritis yang tidak stabil
status kesehatan sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi.
Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini sangat
kecil.
Tindakan yang dilakukan adalah sama yakni resusitasi dan stabilisasi sambil
memantau setiap perubahan yang mungkin terjadi dan tindakan yang diperlukan. Tiap
pasien yang dirawat di ICU memerlukan evaluasi yang ketat dan pengatasan yang
tepat dalam waktu yang singkat (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Oleh karena itu kelainan pada pasien kritis dibagi atas 9 rangkai kerja:
a. Prehospital

3
Meliputi pertolongan pertama pada tempat kejadian resusitasi cardiac
pulmoner, pengobatan gawat darurat, teknik untuk mengevaluasi, amannya
transportasi, akses telepon ke pusat (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis,
2018).
b. Triage
Yakni skenario pertolongan yang akan diberikan sesudah fase keadaan.
Pasien-pasien yang sangat terancam hidupnya harus diberi prioritas utama.
Pada bencana alam dimana terjadi sejumlah kasus gawat darurat sekaligus
maka skenario pengatasan keadaan kritis harus dirancang sedemikian rupa
sehingga pertolongan memberikan hasil secara maksimal dengan
memprioritaskan yang paling gawat dan harapan hidup yang tinggi (Modul
Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
c. Prioritas
Prioritas dari gawat darurat tiap pasien gawat darurat mempunyai tingkat
kegawatan yang berbeda, dengan demikian mempunyai prioritas pelayanan
prioritas yang berbeda (Modul Pembelajaran Keperawatan Kritis, 2018).
Oleh karena itu diklasifikasikan pasien kritis atas:
1) Exigent
Pasien yang tergolong dalam keadaan gawat darurat 1 dan
memerlukan pertolongan segera. Yang termasuk dalam kelompok ini
dalah pasien dengan obstruksi jalan nafas, fibrilasi ventrikel, ventrikel
takikardi dan cardiac arest.
2) Emergent
Yang disebut juga dengan gawat darurat 2 yang memerlukan
pertolongan secepat mungkin dalam beberapa menit. Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah miocard infark, aritmia yang tidak stabil
dan pneumothoraks.
3) Urgent
Yang termasuk kedalam gawat darurat 3. Dimana waktu
pertolongan yang dilakukan lebih panjang dari gawat darurat 2 akan
tetapi tetap memerlukan pertolongan yang cepat oleh karena dapat

4
mengancam kehidupan, yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
ekstraserbasi asma, perdarahan gastrointestinal dan keracunan.
4) Minor atau non urgent
Yang termasuk ke dalam gawat darurat 4, semua penyakit yang
tergolong kedalam yang tidak mengancam kehidupan.

B. Konsep Dasar Teori Cedera Kepala Berat (CKB)


1. Definisi Penyakit
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2018 dalam Oktavianty, 2020)
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012) dalam Oktavianty (2020),
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi
otak. definisi cedera kepala adalah suatu injuri yang terjadi pada kulit kepala,
tengkorak dan otak karena adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala
dengan atau tanpa penurunan kesadaran. (Ryu, 2012),
Cedera Kepala berat adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan Hilang
kesadaran dan/ amnesia lebih 24 jam. Meliputi kontosio cerebral, laserasi atau
hematoma intrakranial dan mengalami fraktur tengkorak dengan GCS 3-8. (Smeltzer,
2012 dalam Oktavianty, 2020).

2. Anatomi Fisiologi Kepala


a. Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat

5
menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan
diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak
(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulas
(Isnaini, 2016).
b. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak).
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh
trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi
(tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka
(dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding
yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding
dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra
dan prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan
tertimbunya darah dalam ruang epidural (Isnaini, 2016).
c. Lapisan Pelindung otak / Meningen
1) Duramater
Adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel
ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki
dengan sempurna (Isnaini, 2016).
Fungsi duramater :
a) Melindungi otak.
b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan
endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ).
c) Membentuk periosteum tabula interna.
2) Arachnoid
Adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura.
Diantara durameter dan arachnoid terdapat ruang subdural yang merupakan
ruangan potensial. Pendarahan subdural dapat menyebar dengan bebas. Dan
hanya terbatas untuk seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang
melewati subdural mempunya sedikit jaringan penyokong sehingga mudah
cedera dan robek pada trauma kepala (Isnaini, 2016).

6
3) Piamater
Adalah membran halus yang sangat kaya dengan  pembuluh darah halus,
masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan
yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi
medial homisfer otak. Piamater membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus
atau vernia. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus
pada setiap ventrikel.
Diantara arachnoid dan piamater terdapat ruang subarachnoid, ruang ini
melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi
cairan cerebrospinal Pada kedalam system vena (Isnaini, 2016).
d. Otak
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spinals. Kerusakan otak yang pada
trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran:
1) Efek langsung trauma pada fungsi otak
2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otak yang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar
(fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari
hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat
menimbulkan peradangan otak. Otak dapat mengalami pembengkakan
(edema cerebri) dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup
rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga
tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial) (Isnaini, 2016).
e. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak  pada 1
satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi  pasien dan
berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr),
Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen
ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie
menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak,
adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubahan pada

7
volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK
yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang otak (Herniasi batang otak)
yang  berakibat kematian (Isnaini, 2016).

3. Klasifikasi Cedera Kepala beserta Manifestasi Klinisnya


a. Berdasarkan keparahan cedera menurut (Jeklin, 2016) :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
a) Tidak ada fraktur tengkorak
b) Tidak ada kontusio serebri,hematoma
c) Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
d) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
e) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
f) GCS 13 -15
g) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi< 30 menit.
2) Cedera kepala sedang (CKS)
a) Kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi< 24 jam
b) Muntah
c) GCS 9 – 12
d) Dapat mengalami fraktur tengkorak
e) Disorentasi ringan (bingung)
f) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan Kebinggungan atau
bahkan koma
g) Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba Defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3) Cedera kepala berat (CKB)
a) GCS 3 – 8
b) Hilang kesadaran> 24 jam
c) Adanya kontosio serebri, laserasi/ hematoma intracranial.

8
d) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan
e) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual, adanya Cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik
f) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur
g) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut
b. Menurut Jenis Cedera
1) Cedera Kepala Terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak.
2) Cedera Kepala Tertutup
Dapat disamakan dengan Keluhan geger otak ringan dan odema serebral
yang luas.
c. Berdasarkan Mekanismenya Cedera Kepala (Hidyat, 2015)
1) Cedera kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7
dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
2) Cedera Tembus.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan
d. Berdasarkan Morfologi Cedera Kepala. (Hidyat, 2015).
Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi :
1) Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien
cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim
SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi
dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

9
2) Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
a) Fraktur Linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang
tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup
besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
b) Fraktur Diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini
sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura
lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
c) Fraktur Kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
d) Fraktur Impresi Tulang Kepala
Terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada
tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada
duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi,
jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna
segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur Basis Kranii
Suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan
fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah
basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis

10
dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih
erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi
fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat
menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko
terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis
dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii
fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa
media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang
paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius).
Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis).
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan
tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,
mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga
kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang
dan kepala miring ke posisi yang sehat.
3) Cedera kepala di Area Intrakranial.(Hidyat, 2015)
a. Cedera Otak Fokal
(1) Perdarahan Epidural atau Epidural Hematoma (EDH)
Adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula
interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain
yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
(2) Perdarahan Subdural Akut atau Subdural Hematom (SDH) Akut.
Terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan

11
korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan
epidural.
(3) Perdarahan Subdural Kronik atau SDH Kronik
Terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah
trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu
terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot
yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi
fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan
dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter).
Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi
proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga
terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi
permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar
membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural
bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH
kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan
gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping
itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan
otorik dan kejang.
(4) Perdarahan Intra Cerebral atau Intracerebral Hematom (ICH)
Area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat
didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan
oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi
disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam,
yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya

12
penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
(5) Perdarahan Subarahnoit Traumatika (SAH)
Diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri
maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki
ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit
(PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh
darah, juga menggambarkan buruknya prognosa. PSA yang luas
akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
b) Cedera Otak Difus
Menurut Sadewa (2011) Cedera kepala difus adalah terminologi
yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma.
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan
deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan
subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi
diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi
sebagai cedera kepala difus.
Cedera kepala difus dikelompokkan menjadi .
(1) Cedera Akson Difus (Difus Axonal Injury)
Keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti
permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
(asosiasi) dan 12 serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan
kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis
ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan
inti permukaan.
(2) Kontsuio Cerebri

13
Kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya
akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana
hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak
struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan
cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas
adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan
arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
(3) Edema Cerebri
Terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun
terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.
Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang
umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
(4) Iskemia Cerebri
Terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik
progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh
darah otak.

4. Tanda dan Gejala


a. Tanda gejala menurut jenis pendarahannya dalam (Jeklin, 2016) :
1) Epidural Hematoma
Gejala-gejala yang terjadi : Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala,
Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
2) Subdural Hematoma
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil Perdarahan intracerebral
berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah
arteri,kapiler,vena.

14
3) Perdarahan Subarachnoid 
Tanda dan gejala : nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi
pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
b. Tanda dan Gejala Cedera Kepala Berat (CKB) menurut (Siska handayani, 2017) :
1) Hipoksemia (saturasi oksigen Hb arterial < 90%)
2) Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg)
3) Gangguan kesadaran
4) Abnormalitas pupil
5) Defisit neurologic
6) Hemiparase
7) Kejang
8) Perubahan tanda-tanda vital
9) Mual dan muntah
10) Vertigo, gangguan pergerakan dan mungkin ada gangguan penglihatan dan
pendengaran.
11) GCS <8

5. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi)
pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, trauma akibat
persalinan (NANDA,2013).
Menurut NANDA (2013) mekanisme cidera kepala meliputi:
a. Cedera Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak,
missal, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke
kepala.
b. Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca depan mobil.

15
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.
d. Cedera Coup-Countre Coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam
ruang cranial dan denga kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan
serta area kepala yang pertamakali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul
dibagian belakang kepala.
e. Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar di dalam rongga
tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam
substansi alba serta robeknya pembuluh darah yang menfiksasi otak dengan
bagian dalam rongga tengkorak.
6. Patofisiologi
Menurut (Iryanto, 2019) patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak,
robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
b. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area  peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK).

7. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 2011 dalam
Iryanto, 2019) pada cedera kepala meliputi :
a. Koma

16
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16
masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki
vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu
tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsi.
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf
yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut
(Manurung, 2018 dalam Peng, 2022):
a. Keperawatan
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus

17
dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring

b. Medis
1) Terapi obat-obatan
a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
b) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
d) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub
dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
e) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan
MRI.

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Manurung, 2018 dalam Peng, 2022) hasil pemeriksaan laboratorium
yang sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
a. Foto Polos
Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera
kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang,
pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.

18
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat-obatan analgesia atau antimuntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,
febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
c. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap, gula
darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.
d. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen penting
pada penilaian dan penatalaksanan cedera.
e. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang
memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah
terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi
difus non hemoragik cedera aksonal.
f. EEG
Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark
pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak
traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada
tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada
pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola
penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga dan
keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
g. Serebral angiography

19
Menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan jarigan otak
sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.
h. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
i. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
j. BAER
Mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil.
k. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
l. CSF, lumbalis punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
m. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
n. Kadar elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.

o. Screen toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
p. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks
Menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
q. Toraksentesis
Menyatakan darah/cairan.
r. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan
status repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan
AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.

20
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kritis Pasien Cedera Kepala Berat
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengadakan kegiatan mengumpulkan data-data atau mendapatkan data yang akurat
dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada (Siska handayani,
2017).
Adapun yang perlu dikaji sebagai berikut:
a. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan atau gejala saat awal dilakukan pengkajian
yang menyebabkan pasien berobat.
Cedera kepala berat mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-
beda tergantung letak lesi dan luas lesi, otak mengalami memar dengan
memungkinkan adanya daerah yang mengalami perdarahan (hemoragik-
hemmorage) (Siska handayani, 2017).
Keluhan utama yang timbul pada cedera kepala berat seperti nyeri kepala
yang hebat, mual-muntah, sampai kejang, denyut nadi lemah, pernapasan
dangkal, akral dingin, pucat, gelisah, letargi, lelah apatis, perubahan pupil
(Siska handayani, 2017).
Biasanya pasien akan mengalami penurunan kesadaran (GCS<15) karena
adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien yang disebabkan
oleh kecelakaan ataupun tindakan kejahatan (Siska handayani, 2017).
Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Tekanan darah dan
suhu subnormal dan gambaran dengan syok. Umumnya individu yang
mengalami cedera luas mengalami fungsi motoric abnormal, gerakan mata
abnormal, dan peningkatan tekanan intrakranial (Siska handayani, 2017).
b. Pengkajian Primer
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus kegawatdaruratan
selalu diawali dengan melakukan pengkajian. Pengkajian kegawatdaruratan
pada umumnya menggunakan pendekatan A-B-C (Airway= jalan nafas,
Breathing=pernafasan dan Circulation = sirkulasi). Perlu diingat sebelum

21
melakukan pengkajian harus memperhatikan proteksi diri (keamanan dan
keselamatan diri) dan keadaan lingkungan sekitar (Jeklin, 2016).
1) Airway
Pada pemeriksaan airway usahakan jalan napas stabil, dengan cara
kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda
asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi,
hiperfleksi ataupun rotasi. Semua penderita cedera kepala yang tidak
sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervical sampai terbukti
tidak disertai cedera cervica, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah
stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya 90%, jika tidak,
usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan (Manurung,
2018 dalam Peng, 2022).
Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan nafas paten
(longgar) atau mengalami obstruksi total atau partial sambil
mempertahankan tulang servikal. Pada kasus non trauma dan pasien tidak
sadar posisi kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi) sedangkan pada
kasus trauma kepala sampai dada harus terkontrol atau mempertahankan
tulang servikal posisi kepala (Hamarno, 2016). Pada cedera kepala
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau
“jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher (Peng, 2022).
2) Breathing
Setelah jalan napas bebas, sedapat mungkin pernapasannya
(Breathing) diperhatikan frekuensinya normal antara 16-18x/menit,
dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan,
kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO2
antara 28-35 mmHG karena jika lebih dari 35 mmHg akan terjadi
vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika

22
kurang dari 20 mmHg akan menyebabkan vasokontriksi yang berakibat
terjadinya iskemia. Periksa tekanan O2 100mmHg, jika kurang berikan
oksigen masker 8 liter/menit (Manurung, 2018 dalam Peng, 2022).
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian
jalan nafas. Mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan
agar oksigenasi adekuat. Jika pasien merasa sesak segera berikan terapi
oksigen sesuai indikasi.
Pengkajian pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi.
Bila diperlukan auskultasi dan perkusi. Pada cedera kepala inspeksi di
dapatkan pasien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi nafas. Terdapat
retraksi dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada
menunjukkan adanya etelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus,
fraktur tulang iga, pneumotoraks, atau penempatan endrotrakeal dan tube
trakeostomi yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu di
nilai reaksi dari otot interkostae, substernal, pernafasan abdomen, dan
retraksi abdomen saat inspirasi (Peng, 2022).
Pola nafas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada. Pada palpasi, fremitus menurun di
bandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan bila melibatkan trauma
di rongga thoraks. Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada
keadaan melibatkan trauma pada thoraks/ hemathotoraks. Pada auskultasi
bunyi tambahan seperti berbunyi, stridor, ronchi, pada pasien dengan
peningkatan produksi skret dan kemampuan batuk yang menurun sering di
dapatkan pada pasien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran
atau koma. pada pasien cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi
pusat pernapasan, pasien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan
biasanya pasien di rawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi stabil
(Muttaqin, 2011 dalam Iryanto, 2019).
3) Circulation

23
Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung,
jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, bila shock (tensi <90 mmHg
nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan di
tempat lain, karena cedera kepala single pada orang dewasa hamper tidak
pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2x (Manurung, 2018 dalam Peng, 2022).
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai
kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam memompa darah
keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi: tekanan darah; jumlah
nadi; keadaan akral: dingin atau hangat; sianosis; bendungan vena
jugularis (Oktavianty, 2020)
Mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan baik bersifat
hematom intraserebral, subdural, dan epidural, kesadaran, warna kulit,
keringat dingin, hipotermi, nadi lemah, tekanan darah menurun,
keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi. Pada pasien
cedera kepala berat dapat ditemukan adanya perubahan tekanan darah,
nadi bradikardi, takikardi dan aritmia. Gangguan perfusi ke otak yang
ditandai penurunan kesadaran, gambaran EKG abnormal (Oktavianty,
2020).
4) Disability
Pada permeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan
kesadaran memakai glasgow coma scale, periksa kedua pupil bentuk dan
besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak
langsung, periksa adanya hemiparase/plegi, periksa adanya reflek
patologis kanan kiri, jika penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan
sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia (Manurung, 2018 dalam
Peng, 2022).
Kaji status umum dan neurologi dengan memeriksa atau cek GCS
dan cek reflek pupil. Pasien cedera kepala berat biasanya mengalami
kelemahan otot, tampak lemas, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku,

24
kebingungan, penurunan fungsi kognitif, kejang-kejang sampai penurunan
kesadaran dan koma (Oktavianty, 2020).
5) Exposure
Pada pemeriksaan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluk,
apakah ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan (Manurung,
2018). Pengkajian ini yang dilakukan yaitu menentukan apakah pasien
mengalami cedera tertentu. Kaji adanya trauma pada seluruh tubuh pasien.
Kaji tanda vital pasien (Oktavianty, 2020).
c. Pengkajian sekunder
1) Riwayat penyakit
a) Riwayat penyakit terdahulu
Catatan tentang penyakit yang pernah dialami pasien sebelum
masuk rumah sakit. Pengkajian meliputi adanya riwayat hipertensi,
riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung
anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif dan konsumsi alcohol berlebihan (Studi et al., 2020).

b) Riwayat penyakit sekarang


Catatan tentang riwayat penyakit pasien saat dilakukan pengkajian.
Pada pasien dengan cedera kepala biasanya didapatkan keluhan utama
adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala.
Pengkajian yang didapat, meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS,15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada
saluran pernapasa, adanya likuor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuain perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsive dan koma (Studi et
al., 2020).

25
c) Riwayat penyakit keluarga
Catatan tentang penyakit keluarga yang berhubungan dengan
penyakit pasien saat ini. Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu
yang menderita hipertensi dan diabetetes mellitus (Studi et al., 2020).
2) Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala tanda-tanda mikro atau makrosepali, adakah
dispersi bentuk kepala, apakah tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial, adakah hematoma atau edema, adakah luka robek, fraktur,
perdarahan dari kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada
leher, telinga bagian luar dan membran timpani, cedera jaringan lunak
periorbital (Studi et al., 2020).
b) Sistem integument
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya
perubahan warna kulit, warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis
(ujung kuku, ekstremitas, telinga, bibir, dan mebran mukosa). Pucat
pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan
rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien
yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam, dan
infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan decubitus.
Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise/hemiplegi, mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat (Studi et al., 2020).
c) Sistem pernafasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi,
nafas bunyi ronchi. Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada.
Pada pasien cedera kepala berat dapat ditemukan adanya perubahan
pola pernafasan, pola napas abnormal, perubahan frekuensi napas,
dispnea, penggunaan otot bantu napas, pernafasan cuping hidung,
penurunan kemampuan batuk efektif, penumpukan sputum/secret

26
berlebih di jalan napas, adanya bunyi napas tambahan, bunyi napas
menurun, nilai gas darah arteri abnormal, PCO2 meningkat, PO2
menurun, SaO2 menurun, sianosis, napas mengap-mengap, adanya
penggunaan ventilator, upaya napas dan bantuan ventilator tidak
sinkron (Studi et al., 2020).
d) Sistem kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut
nadi bradikardi kemudian takikardi. Perfusi jaringan menurun, nadi
perifer lemah atau berkurang, hipertensi/hipotensi, aritmia,
kardiomegalis (Studi et al., 2020).
e) Sistem gastrointestinal
Didapatkan adanya kesulitan menelan, nafsu makan menurun,
mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan
dnegan peningkatan produksi asam lambung sehinggan menimbulkan
masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi
akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada


tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukkan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk
menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji
sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau
hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus selama kurang lebih 2 menit. Penurunan
motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal (Studi et al., 2020).
f) Sistem urinary
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.

27
Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia urine
karena konfusi, ketidakmampuan untuk menggunakan sistem
perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-
kadang kontrol sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan katerisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas (Studi et al., 2020).
g) Sistem musculoskeletal
Kelemahan otot, deformasi (Studi et al., 2020).
h) Sistem neurologis
Tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil, orientasi waktu
dan tempat, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori (Studi et
al., 2020).
3) Riwayat psikososial
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai
respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dlama keluarga
ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien
yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image). Adanya
perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri
didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah,
dan tidak kooperatif (Studi et al., 2020).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien

28
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik yang
berlangsung actual maupun potensial.
Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Heckman
et al., 2019).
Diagnosis keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial (Heckman et al., 2019).
Adapun diagnosis yang muncul pada pasien dengan cedera kepala berat menurut
(Heckman et al., 2019) adalah:
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
b. Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2,
kegagalan ventilator.
c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
e. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
f. Gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan
perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme.

3. Intervensi Keperawatan
Tabel C.1
Diagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah resiko tinggi
peningkatan TIK
29
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri Deteksi dini untuk memprioritaskan
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan intervensi, mengkaji status neurologis/tanda-
individu/penyebab koma/penurunan perfusi tanda kegagalan untuk menentukan
jaringan dan kemungkinan penyebab perawatan kegawatan atau tindakan
peningkatan TIK. pembedahan.
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik,
penurunan dari autoregulator kebanyakan
merupakan tanda  penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolic) maka
dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan
darah, bradikardi, disritmia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan
TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari
reaksi terhadap cahaya. bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak.
Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial
(okulomotorik) yang menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan

30
simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan
kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
lingkungan. Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/ICP
(Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu sisi dapat
netral, usahakan dengan sedikit bantal. menimbulkan penekanan pada vena jugularis
Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada dan menghambat aliran darah otak
kepala. (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intracranial.
Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-menerus dapat
perawatan dan batasi lamanya prosedur. meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa Memberikan suasana yang tenang (colming
nyaman seperti masase punggung, effect) dapat mengurangi respons psikologis
lingkungan yang tenang. Sentuhan yang dan memberikan istirahat untuk
ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak mempertahankan TIK yang rendah.
gaduh.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan
maneuver. intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini
dapat meningkatkan tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku. Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri
31
yang tidak menurun dapat meningkatkan
TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, Dapat meningkatkan repons otomatis yang
pertahankan drainase urine secara paten jika potensial menaikkan TIK.
di gunakan dan juga monitor terdapatnya
konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) Meningkatkan kerja sama dalam
dan keluarga tentang sebab-sebab TIK meningakatkan perawatan klien dan
meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS. Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna menentukan
lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
darah dari dalam intracranial. dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-
tanda deficit neurologis yang menandakan
peningkatan ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan
darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan pada fase akut
manitol, furoscide. untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : dexamethason, Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
methyl prenidsolon. mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein. Mungkin di indikasikan untuk mengurangi
nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
32
tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen. Mengurangi/mengontrol hari dan pada
metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan informasi tentang
indikasi seperti prothrombin, LED. efektifitas pemberian obat.
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

Tabel C.2
Diagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah ketidakefektifan pola
pernapasan

DX 2 : Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat


pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena
trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali
efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasionalisasi
Berikan posisi yang nyaman, biasanya Meningkatkan inspirasi maksimal,
dengan peninggian kepala tempat tidur. meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada
Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk sisi yang tidak sakit.
duduk sebanyak mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
perubahan tanda-tanda vital. vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan
terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
dilakukan untuk menjamin keamanan. mengembangkan kepatuhan klien terhadap

33
rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
pencetus adanya sesak atau kolaps paru- mengurangi ansietas dan mengembangkan
paru. kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek fisiologi
untuk control diri dengan menggunakan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
pernapasan lebih lambat dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum Ventilator yang memiliki alarm yang bias
difungsikan. Jangan mematikan alarm. dilihat dan didengar misalnya alarm kadar
oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat
tempat tidur dan manual ventilasi untuk berguna untuk mempertahankan fungsi
sewaktu-waktu dapat digunakan. pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol Melatih klien untuk mengatur napas seperti
pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti. napas dalam, napas pelan, napas perut,
pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat
membantu memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan letak dan fungsi ventilator
rutin. sebagai kesiapan perawat dalam memberikan
Pengecekan konsentrasi oksigen, tindakan pada penyakit primer setelah menilai
memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, hasil diagnostik dan menyediakan sebagai
monitor manometer untuk menganalisis cadangan.
batas/kadar oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
§  Pemberian antibiotik. pengembangan parunya.

34
§  Pemberian analgesic.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

Tabel C.3
Diagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah ketidakefektif bersihan jalan
napas

DX 3 : Ketidakefektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas
buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mucus,
perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi
dari endotracheal/tracheostomy tube yang
berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang simetris dengan suara
suara napas pada kedua paru (bilateral). napas yang keluar dari paru-paru menandakan
jalan napas tidak terganggu. Saluran napas
bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau
wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam
tanda batas bibir. bronchus kanan, menyebabkan obstruksi jalan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan

35
memakai perekat khusus. klien mengalami pneumothoraks.
Mohon bantuan perawat lain ketika
memasang dan mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien mengalami refleks batuk
napas, suara alarm dari ventilator karena yang tidak efektif, atau klien akan mengalami
tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret kelemahan otot-otot pernapasan
melalui endotracheal/tracheostomy tube, (neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan
bertambahnya bunyi ronkhi. untuk batuk. Semua klien tergantung dari
alternatif yang dilakukan seperti mengisap
lender dari jalan napas.
Lakukan penghisapan lender jika Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan
diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan terus-menerus, dan durasinya pun dapat
15 detik atau lebih. Gunakan kateter dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.
pengisap yang sesuai, cairan fisiologis Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
steril. dari 50% diameter endotracheal/tracheostomy
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan tube untuk mencegah hipoksia.
pengisapan dengan ambu bag Dengan membuat hiperventilasi melalui
(hiperventilasi). pemberian oksigen 100% dapat mencegah
terjadinya atelektasis dan mengurangi
terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret
selama pengisapan seperti waktu bernapas dari saluran napas.
panjang, batuk kuat, bersin jika ada
indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
2jam). segmen paru-paru, mengurangi risiko
atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret, mempermudah
memungkinkan. pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan Pengetahuan yang diharapkan akan membantu
batuk efektif dan mengapa terdapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap
36
penumpukan sekret di saluran pernapasan. rencana terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan
untuk pengontrolan batuk. dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi
napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian Meningkatkan volume udara dalam paru,
secara perlahan-lahan, dikeluarkan mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
sebanyak mungkin melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan Pengkajian ini membantu mengevaluasi
dari dada dengan melakukan 2 batuk keefektifan upaya batuk klien.
pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan
batuk. dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang
mengarah pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari pengentalan dari sekret
viskositas sekresi. : mempertahankan atau mosa pada saluran napas pada bagian atas.
hidrasi yang adekuat; meningkatkan
masukan cairan 1000-1500 cc/hari bila
tidak ada kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
baik setelah batuk. kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk memudahkan
fisioterapi. mengeluarkan lendir dan mengevaluasi
§  Pemberian ekspektoran. perbaikan kondisi klien atas pengembangan
§  Pemberian antibiotic. parunya.
§  Fisioterapi dada.
§  Konsul foto thoraks.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
seperti postural drainage,
37
perkusi/penepukan. pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret
indikasi seperti aminophilin, meta- karena relaksasi muscle/bronchospasme.
proterenol sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

Tabel C.4
Diagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah nyeri akut

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- dan nonfarmakologi lainnya telah
invasif. menunujukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan Akan melansarkan peredaran darah sehingga
ketegangan otot rangka, yang dapat kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan
menurunkan intensitas nyeri dan juga akan mengurangi nyerinya.
tingkatkan relaksasi masase.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal
yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bala Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang
bantal kecil.

38
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengkajian yang optimal akan memberikan
nyeri dan respons motorik klien, 30 menit perawat data yang objektif untuk mencegah
setelah pemberian obat analgesic untuk kemungkinan komplikasi dan melakukan
mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam intervensi yang tepat.
setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga
analgetik. nyeri akan berkurang.
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

Tabel C.5
Diagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah risiko penurunan perfusi
serebral

DX 5 : Risiko penurunan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat
d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan
motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda
peningktan TIK,  
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat
klien dan status relirologis klien kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik yang
hipertensi sistolik secara teratur dan diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi
tekanan nadi yang makin berat, obs, ht, yang
pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya
multiple. peningkatan TIK, juga diikuti ( yang
berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht

39
(yang berhubungan dengan trauma multiples)
dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya Perubahan pada ritme (paling sering
bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang
lainya. encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada
pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung
sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme, Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
seperti periode apnea setelah hiperventilasi gangguan
(pernafasan cheyne – stokes). serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan
intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan Gangguan penglihatan dapat diakibatkan oleh
( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang kerusakan mikroskopik pada otak,
menyempit merupakan konsekuensi terhadap keamanan
dan kedalaman persepsi. dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi
tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan menekan vena jugularis dan menghambat
handuk kecil / aliran darah lain yang selanjutnya akan
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal meningkat TIK.
besar pada kepala
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – Meningkatkan aliran balik vena dari kepala,
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai Menurunkan hipoksemia yang mana dapat
indikasi menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :·      Untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak
40
- Diuretik TIK.
- Steroid ·      Menurunkan inflasi, yang
- Analgetik sedang selanjutnya menurunkan edema
- Sedatif jaringan.
·      Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ
pada TIK tetapi  harus digunakan dengan hasil
untuk mencegah gangguan
pernafasan.
·      Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

Tabel C.6
DDiagnosa, tujuan, intervensi dan rasional dari masalah ketidakseimbangan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh

DX 6 : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan
berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. 
Intervensi Rasional
Mandiri Klien dengan tracheostomy tube mungkin
Evaluasi kemampuan makan klien sulit untuk makan, tetapi klien dengan
endotracheal tube dapat menggunakan mag
slang atau memberi makanan parenteral.
Observasi/timbang berat badan jika Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan
memungkinkan. kekurangan intake nutrisi menunjang
terjadinya masalah katabolisme, kandungan
glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap
pemasangan ventilator.
Catat pemasukan peroral jika diindikasikan. Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi

41
anjurkan klien untuk makan yang masuk pun berkurang. menganjurkan
klien memilih makanan yang di senangi dapat
dimakan ( bila sesuai anjuran).
Berikan makanan kecil dan lunak Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan
masuknya makanan, dan mencegah gangguan
pada lambung.
Kolaborasi Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat
Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan diperlukan selama pemasangan ventilator
klien untuk mempertahankan fungsi otot-otot
respirasi. karbohidrat dapat berperan dan
penggunaan lemak meningkat untuk
mencegah terjadinya produksi co2 dan
pengaturan sisa respirasi.
Lakukan pemeriksaan laboratorium yang Memberikan informasi yang tepat tentang
diindikasikan seperti serum, keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.
transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.
Sumber : (Herdman, T.H., 2018); (Moorhead et al., 2016); (Bulechek et al., 2016)

1. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status
kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Iryanto,
2019).
2. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Evaluasi keperawatan dibagi menjadi (Iryanto, 2019):
a. Evaluasi Formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera pada saat dan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif

42
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan
sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.
3. Catatan Perkembangan
Komponen catatan perkembangan menurut (Siska handayani, 2017), antara lain
sebagai berikut :
a. Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment dan
perencanaan/plan) dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan
pengkajian ulang.
b. Kartu SOAPIER sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai penilaian
diagnosis keperawatan dan penyelesaiannya.
SOAPIER merupakan komponen utama dalam catatan perkembangan yang
terdiri atas:
1) S (Subjektif) :
Data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien
yang afasia.
2) O (Objektif) :
Data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya
tandatanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau
akibat pengobatan.
3) A (Analisis) :
Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis/dikaji
dari data subjektif dan data objektif. Karena status klien selalu berubah
yang mengakibatkan informasi/data perlu pembaharuan, proses
analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan
pengkajian ulang untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan
tindakan.
4) P (Planning) :
Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil
modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan
kesehatan klien. Proses ini berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan

43
periode yang telah ditentukan.
5) I (Intervensi) :
Tindakan keperawatan yang digunakan untuk memecahkan atau
menghilangkan masalah klien. Karena status klien selalu berubah,
intervensi harus dimodifikasi atau diubah sesuai rencana yang telah
ditetapkan.
6) E (Evaluasi) :
Penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan analisis respons
klien terhadapintervensi yang berfokus pada kriteria evaluasi tidak
tercapai, harus dicari alternatif intervensi yang memungkinkan kriteria
tujuan tercapai.
7) R (Revisi) :
Tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan terutama diagnosis
dan tujuan jika ada indikasi perubahan intervensi atau pengobatan klien.
Revisi proses asuhan keperawatan ini untuk mencapai tujuan yang
diharapkan dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan.

44
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC), Edisi 6. Philadelpia: Elsevier.
Heckman, J. J., Pinto, R., & Savelyev, P. A. (2019). Hubungan antara pediatrik trauma score dan
mortalitas pada pasien cedera kepala. Angewandte Chemie International Edition, 6(11),
951–952., 8–34.
Hidyat. (2015). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN
PADA PASIEN CIDERA KEPALA BERAT DENGAN TINDAKAN KEPERAWATAN ROM
(RANGE OF MOTION) PASIF TERHADAP
KEKUATAN TONUS OTOT DALAM PENCEGAHAN KONTRAKTUR DI RUANG INTENSIVE
CARE UNIT RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA.
Iryanto, D. W. I. (2019). LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA BERAT ( CKB )
PROGRAM STUDI PROFESI NERS.
Isnaini, A. R. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Cedera Kepala. Repository, 21.
Jeklin, A. (2016a). Bab Ii Cedera Kepala. JUrnal Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Ponorogo, July, 1–23.
Jeklin, A. (2016b). Konsep Keperawatan Kritis. July, 1–23.
Oktavianty, A. (2020). Bab Ii Dspace Umkt.
Peng, A. (2022). KEPALA BERAT. 1–17.
Ryu. (2012). Intervensi terapi musik terhadap kualitas nyeri.
Siska handayani. (2017). Poltekkes Kemenkes Ri Padang. Pustaka.Poltekkes-Pdg.Ac.Id.
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/repository/KTI_Bintang_Syarifatul_Hidayah_163110159
_Poltekkes_Kemenkes2.pdf
Studi, P., Keperawatan, S., Profesi, D. A. N., Kesehatan, F. I., & Husada, U. K. (2020). Cidera
Kepala Berat.

45

Anda mungkin juga menyukai