Anda di halaman 1dari 42

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

ASUHAN KEPERAWATAN POST


OPERASI
PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN HIPOTERMIA POST OPERASI

Disusun Oleh :

M. Rosyadi Gusmara NIM. P1337420622130


Arifiana Dwi Kurniawati NIM. P1337420622147
Dien Ariyandani NIM. P1337420622148

KELAS ALIH JENJANG


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pengelolaan Askep pada Pasien
Hipotermi Post Operasi” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas matrikulasi
pada mata kuliah Keperawatan Perioperatif. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pada pasien hipotermi post operasi bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................3
A. Pengertian dari Hipotermia.................................................................................4
B. Klasifikasi dari Hipotermia.................................................................................4
C. Penyebab hipotermia post operasi.......................................................................4
D. Faktor yang menyebabkan terjadinya hipotermia post operasi..........................5
E. Penatalaksanaan hipotermia post operasi............................................................9
F. Pathways terjadinya hipotermia post operasi......................................................12
G. Konsep Asuhan Keperawatan.............................................................................13
BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................................15
BAB IV PENUTUP........................................................................................................32
A. Kesimpulan.........................................................................................................32
B. Saran....................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasca operasi merupakan periode yang rawan dalam menghadapi komplikasi
pasca operasi. Selama periode ini pasien berada di ruang pemulihan dan dilakukan
observasi terhadap fungsi sirkulasi, respirasi, dan kesadaran. Pada periode ini tubuh
pasien mengalami pemulihan dari akibat anestesi yang menurunkan metabolisme dan
suhu tubuh (Potter & Perry, 2010).
Kemajuan teknologi membuat pelayanan kesehatan menjadi semakin
berkembang, terutama dalam hal anestesi. Pemberian anestesi adalah upaya
menghilangkan nyeri dengan sadar (spinal anestesi) atau tanpa sadar (general anestesi)
guna menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
General anestesi sebagai tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible) yang menyebabkan mati rasa karena obat masuk ke
jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi (Latief, 2007). General anestesi
sesuai sediaan obat dibagi menjadi 3 jenis yaitu anestesi inhalasi, anestesi intravena dan
anestesi imbang. Hasil penelitian Harahap (2014) di Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung, mengatakan lebih dari 80% operasi dilakukan menggunakan teknik general
anestesi dibandingkan degan spinal anestesi. Ditemukan 2,5% pasien mengalami
komplikasi pasca anestesi (Mahalia, 2012)
Setiap pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko mengalami kejadian
hipotermi (Setiyanti, 2016). Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 36°C
(Tamsuri, 2007). Hipotermi terjadi karena agen dari obat general anestesi menekan laju
metabolisme oksidatif yang menghasilkan panas tubuh, sehingga mengganggu regulasi
panas tubuh (Hujjatulislam, 2015).
Hasil penelitian Umah (2013), menyebutkan 87% jumlah pasien yang dioperasi
mengalami hipotermi pasca anestesi berhubungan dengan faktor cairan yang diberikan
sesuai suhu ruangan (dingin). Sedangkan Hujjatulislam (2015), menyatakan kejadian
hipotermi sebanyak 20-27% berhubungan dengan faktor luasnya luka yang terbuka dan
tidak tertutup kain selama di ruang operasi dan dilihat dari hubungan faktor lama
operasi, sebanyak 60% pasien mengalami hipotermi pasca anestesi. Alsandra (2014),

1
mendapatkan hasil faktor Indeks Massa Tubuh (IMT) yang kurus berhubungan dengan
hipotermi sebanyak 92,3%.
Terdapat beberapa tindakan keperawatan untuk mencegah hipotermi dengan
memberikan penghangatan secara eksternal aktif maupun pasif dan penghangatan
secara internal. Tindakan penghangatan secara eksternal aktif di antaranya pemberian
selimut elektrik dan heater. Sedangkan secara eksternal pasif dengan penggunaan
selimut katun (Yi et al., 2017). Penghangatan secara internal antara lain dengan
memberikan cairan infus hangat dan airway humidification (Frca, 2003).
Setelah mengetahui letak pokok permasalahan diatas tentang penyebab hipotermi
yang ditimbulkan pasca operasi, maka kami tertarik untuk menyusun makalah faktor-
faktor yang berhubungan dengan hipotermi pasca operasi dengan judul "Asuhan
Keperawatan Post Operasi : Pengelolaan Hipotermia"

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hipotermia ?
2. Apa saja klasifikasi dari hipotermia ?
3. Apa penyebab hipotermia post operasi ?
4. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya hipotermia post operasi ?
5. Bagaimana penatalaksanaan hipotermia post operasi ?
6. Bagaimana pathways terjadinya hipotermia post operasi ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien post operasi dengan hipotermia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hipotermia.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari hipotermia.
3. Untuk mengetahui penyebab hipotermia post operasi.
4. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya hipotermia post operasi.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan hipotermia post operasi.
6. Untuk mengetahui alur pathways terjadinya hipotermia post operasi.
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien post operasi dengan
hipotermia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN HIPOTERMI
Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 36°C (Tamsuri, 2007).
Setiap pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko mengalami kejadian
hipotermi (Setiyanti, 2016)
Hipotermi terjadi karena agen dari obat general anestesi menekan laju
metabolisme oksidatif yang menghasilkan panas tubuh, sehingga mengganggu
regulasi panas tubuh. Spinal anestesi dapat menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi (Harahap, 2014). Setiap
pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko mengalami kejadian hipotermi
(Setiyanti, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2014) di RS Hasan
Sadikin Bandung, telah membuktikan dampak negatif hipotermi terhadap pasien
antara lain risiko perdarahan meningkat, iskemia miokardium, pemulihan pasca
anestesi yang lebih lama, gangguan penyembuhan luka, serta meningkatnya risiko
infeksi. Penelitian ini menyebutkan bahwa angka kejadian hipotermi saat pasien
berada di IBS (Instalasi Bedah Sentral) sebanyak 87,6%.(Widiyono et al., 2020)
Hipotermi didefinisikan sebagai kondisi klinis ketika suhu internal (rektum,
esofagus atau timpani) kurang dari 35 °C. American College of Surgeons mengenali
tiga derajat hipotermi yakni hipotermi ringan (32-35 ° C), sedang (30-32 ° C), dan
berat (di bawah 30 ° C). Suhu terendah pada anak yang mampu selamat karena
hipotermi adalah 14,4° C dan yang terendah pada orang dewasa yang selamat adalah
13,7 °C.
Hal serupa dinyatakan oleh Sherwood dalam bukunya, Hypothermia
didefinisikan sebagai keadaan dimana suhu inti tubuh < 35° C (95° F)”. Hypothermia
juga dapat dikatakan sebagai kegagalan dalam memproduksi panas pada lingkungan
dengan temperatur yang dingin. (Naldi et al., 2017)
Beberapa penelitian telah membuktikan dampak negatif hipotermia terhadap
pasien, antara lain ialah risiko perdarahan meningkat, iskemia miokardium, pemulihan
pascaanestesi yang lebih lama, gangguan penyembuhan luka, serta meningkatnya
risiko infeksi. Hipotermia akan menambah kebutuhan oksigen, produksi karbon
dioksida, dan juga peningkatan kadar katekolamin di dalam plasma yang akan diikuti
dengan peningkatan laju nadi, tekanan darah, serta curah jantung. Keadaan ini sangat

3
tidak menguntungkan bagi pasien, terutama pasien geriatri yang telah mengalami
penurunan

4
bahkan gangguan pada fungsi kardiovaskular dan juga pulmonal (seperti hipertensi,
aritmia jantung, gagal jantung, daninfark miokardium). Pada pasien geriatri telah
terjadi penurunan kemampuan untuk meningkatkan laju jantung dalam merespons
kondisi hipoksia, hipotensi, dan hipovolemia. Peregangan paru dan fungsi tubular
ginjal juga telah terjadi penurunan.( et al., 2014)
B. KLASIFIKASI HIPOTERMI
Menurut O’Connel et al. (2011), hipotermi dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Ringan
Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan menggigil
secara hebat, terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu lebih turun lagi, pasien
mungkin akan mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas
juga mungkin terjadi.
2. Sedang
Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf
secara besar yang mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan
penurunan aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran
pasien bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga suhu
tubuh, dan adanya risiko timbul aritmia.
3. Berat
Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi ventricular dan penurunan
kontraksi miokardium pasien juga rentan untuk menjadi koma, nadi sulit
ditemukan, tidak ada reflex, apnea, dan oliguria.
C. PENYEBAB HIPOTERMIA POST OPERASI
Penyebab hipotermi mencakup suhu sekitar yang rendah, terpaparnya rongga
tubuh, cairan intravena yang dingin, kendali termoregulasi yang berubah, penurunan
laju metabolik, dan vasodilatasi peripheral yang dihasilkan oleh anestesi yang
memungkinkan transfer panas dari kompar temen tubuh inti kekompartemen perifer.
Anestesi umum merendahkan titik pengturan inti suhu tempat vasokontriksi
termoregulasi diaktivasi untuk mencegah hilangnya panas. Laju metabolik dan
konsumsi oksigen tubuh total menurun dengan adanya anestesi umum sebesar 30%
mengurangi produksi panas. Perubahan kecil pada suhu tubuh sekalipun dapat
meningkatkan mordibitas pada perioperative, termasuk komplikasi kardiak, infeksi
pada luka, dan kegagalan koagulasi. Modalitas untuk mempertahankan penggunaan
cairan intra vena hangat, pertukaran udara panas pada sirkuit baru yang mencakup

5
germen berisi air dengan kendali umpan balik berupa mikro prosesor ketitik
pengaturan suhu inti.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPOTERMI
Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi di kamar operasi adalah:
1. Suhu kamar operasi
Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat mengakibatkan
pasien menjadi hipotermi, hal ini terjadi akibat dari perambatan antara suhu
permukaan kulit dan suhu lingkungan. Suhu kamar operasi selalu
dipertahankan dingin (18– 240C) untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri.
2. Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu
makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Secara biologis, Depkes (2009)
membagi golongan usia menjadi:
a. Masa balita (0-5 tahun)
b. Masa anak-anak (5-16 tahun)
c. Masa remaja (17-25 tahun)
d. Masa dewasa (26-59 tahun)
e. Masa Lansia (60 sampai ke atas)
Harahap (2014), menyebutkan pasien lanjut usia (lansia) termasuk ke
dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan risiko tinggi untuk terjadi
hipotermi pada periode perioperatif. General anestesi yang dilakukan pada
pasien usia lansia dapat menyebabkan pergeseran pada ambang batas
termoregulasi dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien
yang berusia muda. Golongan usia lansia merupakan faktor risiko urutan 6
(enam) besar sebagai penyebab hipotermi perioperatif. Selain lansia, Morgan
& Mikhail (2013), menyebutkan pasien pediatrik, balita, dan anak bukanlah
pasien dewasa yang berukuran besar. Mereka memiliki risiko yang tinggi juga
untuk terjadi komplikasi pasca operasi.
Seseorang pada usia lansia telah terjadi kegagalan memelihara suhu tubuh,
baik dengan atau tanpa anestesi, kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan
vasokonstriksi termoregulasi yang terkait dengan usia (Kiekkas, 2007). Teori
Joshi, Shivkumaran, Bhargava, Kausara & Sharma (2006) juga mengatakan
kejadian hipotermia pada pasien lansia disebabkan perubahan fungsi
kardiovaskular (kekakuan pada area dinding pembuluh darah arteri,

6
peningkatan

7
tahanan pembuluh darah perifer, dan juga penurunan curah jantung), kekakuan
organ paru dan kelemahan otot-otot pernapasan mengakibatkan ventilasi,
difusi, serta oksigenasi tidak efektif. Selain itu, pada lansia terjadi perubahan
fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas pada reseptor insulin
periferal, dan juga penurunan respons adrenokortikotropik terhadap faktor
respons.
3. Indeks Massa Tubuh (IMT)
Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu diantaranya
dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan dan berat badan yang dinilai
berdasarkan indeks massa tubuh yang merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi metabolisme dan berdampak pada sistem termogulasi (Guyton,
2008). Apabila manusia berada dilingkungan yang suhunya lebih dingin dari
tubuh mereka, mereka akan terus menerus menghasilkan panas secara internal
untuk mempertahankan suhu tubuhnya, pembentukan panas tergantung pada
oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari makanan dan lemak sebagai
sumber energi dalam menghasilkan panas (Ganong, 2008).
Pada orang yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih banyak akan
cenderung menggunakan cadangan lemak sebagai sumber energi dari dalam,
artinya jarang membakar kalori dan menaikkan heart rate (Indriati, 2010).
Agen anestesi di redistribusi dari darah dan otak kedalam otot dan lemak,
tubuh yang semakin besar menyimpan jaringan lemak yang banyak, sehingga
lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuh (Dughdale, 2011). Lemak
merupakan bahan atau sumber pembentuk energi di dalam tubuh, yang dalam
hal ini bobot energi yang dihasilkan dari tiap gramnya lebih besar dari yang
dihasilkan tiap gram karbohidrat dan protein. Tiap gram lemak akan
menghasilkan 9 kalori, sedangkan 1 gram karbohidrat dan protein akan
menghasilkan 4 kalori (Kartasapoetra, 2008).
Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah kehilangan
panas dan merupakan faktor risiko terjadinya hipotermi, hal ini dipengaruhi
oleh persediaan sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang tipis,
simpanan lemak dalam tubuh sangat bermanfaat sebagai cadangan energi.
Pada indeks massa tubuh yang tinggi memiliki sistem proteksi panas yang
cukup dengan sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang tebal sehingga
IMT yang tinggi lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuhnya dibanding

8
dengan

9
IMT yang rendah karena mempunyai cadangan energi yang lebih banyak
(Valchanov et all, 2011).
IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh
seseorang yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengan kuadrat tinggi badan dalam ukuran meter (Arisman, 2007).
Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran IMT, yaitu:
a. Berat Badan
Berat badan adalah salah satu parameter massa tubuh yang paling sering
digunakan yang dapat mencerminkan jumlah zat gizi seperti: protein,
lemak, air dan mineral. Agar dapat mengukur IMT, berat badan
dihubungkan dengan tinggi badan (Proverawati & Kusuma, 2010).
b. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat
merefleksikan pertumbuhan skeletal (Proverawati & Kusuma, 2010).
Adapun rumus IMT :

Batas ambang Indeks Massa Tubuh di IndonesiA

Dari batas ambang yang ada di atas, IMT dengan kriteria kurus adalah
masalah kesehatan terbesar dan lebih banyak mengalami komplikasi pasca
general anestesi dibanding dengan kriteria IMT lainnya (Tian, 2014).

4. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-
laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-
laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara
perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk
menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-

10
laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan
fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di
muka bumi (Hungu, 2007).
Pada penelitian Harahap (2014), mendapatkan hasil bahwa kejadian
hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu 51,2% dibanding laki-
laki. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi & Isro’ain (2014) juga
mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih rentan terserang penyakit/
komplikasi daripada laki-laki. Kejadian hipotermi juga dipengaruhi oleh berat
badan pada tiap jenis kelamin. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih
banyak. Pada dewasa muda laki-laki, lemak tubuh >25% dan perempuan
>35%. Distribusi lemak tubuh juga berbeda berdasarkan jenis kelamin, pria
cenderung mengalami obesitas viseral (abdominal) dibandingkan wanita
(Sugondo, 2010).
5. Lama operasi
Lama tindakan pembedahan dan anestesi bepotensi memiliki pengaruh
besar khususnya obat anestesi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dalam
darah dan jaringan (khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang lebih
lama, sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai keseimbangan dengan
jaringan tersebut (Chintamani, 2008). Induksi anestesi mengakibatkan
vasodilatasi yang menyebabkan proses kehilangan panas tubuh terjadi secara
terus menerus. Panas padahal diproduksi secara terus menerus oleh tubuh
sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi serta pengeluaran panas diatur
oleh tubuh guna mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC
(Putzu, 2007).
Durasi pembedahan yang lama, secara spontan menyebabkan tindakan
anestesi semakin lama pula. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi obat
dan agen anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjanan
penggunaan obat atau agen anestesi di dalam tubuh. Selain itu, pembedahan
dengan durasi yang lama akan menambah waktu terpaparnya tubuh dengan
suhu dingin (Depkes RI, 2009).
6. Jenis operasi
Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi
rongga toraks, atau abdomen, akan sangat berpengaruh pada angka kejadian
hipotermi. Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena

11
berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas dan
sering

12
membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum. Keadaan ini
mengakibatkan kehilangan panas yang terjadi ketika permukaan tubuh pasien
yang basah serta lembab, seperti perut yang terbuka dan juga luasnya paparan
permukaan kulit (Sjamsuhidajat, De Jong, 2005)
E. PENATALAKSANAAN HIPOTERMIA POST OPERASI
Hipotermia post operasi sangatlah merugikan bagi pasien. Hipotermia post
operasi dapat menyebabkan disritmia jantung, memperpanjang penyembuhan luka
operasi, menggigil, dan penurunan tingkat kenyamanan pasien. Intervensi yang efektif
penghangat membantu pasien dalam mempertahankan normotermia. Penghangat aktif
untuk tubuh yang mengalami hipotermia post operasi dapat mengurangi kecemasan
dan meningkatkan kenyaman pasien. Intervensi penghangat ini bahkan dapat
mengurangi keluhan nyeri pada pasien yang mendapat luka pembedahan post operasi.
(Marta, 2013) Kenyamanan termal adalah salah satu dimensi dari kenyamanan pasien
secara keseluruhan yang ditunjukan dengan pemberian intervensi penghangat post
operasi. Suhu merupakan komponen integral dari persepsi kesejahteraan pasien
selama pengalaman perioperasi. Perasaan kenyaman termal atau ketidaknyaman
selama perioperasi berpengaruh pada kepuasan pasien. Efek intervensi penghangat
post operasi menimbulkan peningkatan suhu tubuh dan meningkatkan kandungan
energi dalam kompartemen termal pada perifer tibuh. Hal ini penting karena sulit
untuk mengatasi hipotermia yang terjadi pada pasien dengan anastesi umum. Anastesi
diketahui mampu menghentikan reflek pengaturan suhu di hipotalamus. Sehingga
proses penghangatan dari inti ke perifer tidak terjadi dan bahkan tubuh mengalami
vasokontriksi (Wagner,
2006).
Secara tradisional, perawat telah menggunakan selimut penghangat untuk
memberikan kenyaman termal untuk pasien saat post operasi. Kehangatan selimut
pemanas tersebut hanya akan bertahan atau hangat yang dimiliki menghilang dalam
waktu 10 menit. Pendekatan pasif atau tradisional lainnya untuk memberikan
kehangatan termal yaitu pemberian kaus kaki, penutup kepala atau peningkatan suhu
ruangan (Wagner, 2006). Di ruangan ICU suhu ruangan diatur lebih rendah agar
mengurangi efek penyebaran infeksi nasokomial. Hal ini berlawanan dengan tujuan
pemberian penghangat untuk pasien hipotermia post operasi sehingga perlu
modifikasi atau intervensi yang lain selain meningkatkan suhu ruangan.
Penatalaksanaan Post operasi Hipotermi tidak harus dilaksanakan terpisah

13
dengan kejadian hipotermi post anesthesia. Kesuksesan penanganan menggigil yang

14
tidak disesuaikan dengan manajemen penanganan hipotermi akan berakibat hipotermi
semakin parah (Guyton & Hall, 2008). Obat-obatan opioid atau non opioid yang telah
terbukti untuk mencegah dan menghentikan menggigil saat post operasi tetapi tidak
mempengaruhi produksi panas, seperti: Opioid (meperidin 25mg, 250 mcg alfentanil,
fentanil, morfin, pethidin) dan Obat lain yang bekerja sentral analgesik (tramadol,
nefopam, metamizol)
Menurut Nazma (2008), intervensi mekanik yang digunakan untuk mengatasi
hipotermi post operasi adalah :
1. Pengaturan suhu ruang operasi, jika suhu ruang operasi dapat dipertahankan antara
25ºC-26,6ºC maka suhu pasien dapat berkisar di bawah 36ºC. Hal ini disedut
kondisi hipotermia. Di ruangan ICU suhu ruangan diatur lebih rendah agar
mengurangi efek penyebaran infeksi nasokomial. Hal ini berlawanan dengan tujuan
pemberian penghangat untuk pasien hipotermia post operasi sehingga perlu
modifikasi atau intervensi yang lain selain meningkatkan suhu ruangan.

2. Pemberian matras penghangat, matras ini akan dapat menghambat pelepasan panas
secara konduksi, pemakaiannya sangat efektif digunakan pada bayi dan anak.
Biasanya pada bayi dan anak sering diberi lapisan kapas pada tubuhnya untuk
mencegah terjadinya penekanan yang disebabkan oleh cairan pada matras.
Pemberian matras penghangat ini kurang efektif jika digunakan pada pasien
dewasa. Ketidakefektifan tersebut dikarenakan disamping luas permukaan pasien
dewasa yang lebih luas dari anak-anak kelemahan dari pemberian matras
penghangat tersebut area yang terkena penghangat hanya pada daerah punggung
pasien. Hal ini terjadi karena pasien post operasi dilakukakan imobilisasi sehingga
tidak dilakukan perubahan posisi. Berat badan pasien juga memberikan penekanan
yang lebih tinggi kepada matras dengan kondisi hangat sehingga resiko iritasi pada
area tubuh yang mendapat penekanan yang lebih akan mungkin terjadi.
3. Pemberian cairan infus, cairan irigasi atau transfusi darah yang dihangatkan,
penghangatan cairan infus dan darah dapat berkisar diatas 32ºC untuk menghindari
hipotermi namun hati-hati pada penghangatan darah transfusi karena akan dapat
merusak sel-sel darah yang ada. Cairan irigasi sebaiknya dihangatkan pada suhu
37ºC. Cairan intravena hangat dengan suhu 37⁰C secara konduksi masuk ke
pembuluh darah sehingga akan mempunyai kecepatan yang lebih efektif dari
penghangatan melalui ekstrinsik. Adanya perubahan suhu dalam pembuluh darah

15
langsung dideteksi oleh termoreseptor pada hipothalamus. Hipothalamus secara
langsung memantau tingkat panas didalam darah yang mengalir melalui otak.
Kemudian melalui traktus desendens merangsang pusat vasomotor sehingga terjadi
vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah meningkat.
Tingginya kecepatan aliran darah ke kulit menyebabkan panas dikonduksi dari
bagian dalam tubuh ke kulit dengan efisiensi tinggi. Suhu tubuh berpindah dari
darah melalui pembuluh darah ke permukaan tubuh, sehingga permukaan tubuh
pun menjadi hangat.
4. Penggunaan humidifier hangat, humidifier yang dihangatkan merupakan cara
untuk mengurangi hiportemi selama anestesi. Dengan cara ini mengurangi
kerusakan mukosa dan silia pada saluran nafas karena kelembaban mukosa dan
silia akan tetap terjaga dengan baik. Suhu di saluran nafas dipertahankan sekitar
38ºC. Kelemahan dari intevensi ini adalah cairan humidifier yang dihangatkan
akan cepat menjadi dingin kembali akibat terpapar suhu ruangan di ICU yang
dibawah suhu kamar. Hal ini akan memerlukan observasi yang lebih ketat untuk
mengganti cairan humidifier tersebut.
5. Lampu penghangat, lampu penghangat menghangatkan permukaan kulit,
sebab sistem termoregulasi lebih sensitif terhadap input peningkatan suhu kulit.
Lampu penghangat merupakan lampu listrik yang berfungsi memberikan radiasi
panas pada kulit sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh. Penghangatan suhu
dimaksudkan untuk mencegah hipotermia dan mengurangi input afferen yaitu
dengan penghangatan reseptor kulit terutama pada daerah dengan densitas reseptor
terbesar seperti leher, dada dan tangan (Sweney et al, 2001 dalam Nazma, 2008).
Sedangkan kelemahannya adalah menggunakan lampu penghangat secara langsung
dapat menyebabkan kulit menjadi merah terutama daerah leher, dada dan tangan
karena alat ini mempunyai densitas yang tinggi pada termoreseptor. (Nazma, 2008)

16
F. PATHWAYS HIPOTERMIA POST OPERASI

PEMBEDAHAN

Pre Operatif Intra Operatif Post Operatif


Kesadaran
Menurun Pasca Anestesi
Pembiusan
Trauma Rencana
Patologis Pembedahan
Insisi Pembedahan Gangguan Perfusi Termoregu
Kelemahan
Otot
Diskontinuitas Kurang Pernafasan
Jaringan Informasi Terputusnya Jaringan Pembuluh Darah

Reflek batuk dan Menelan Hipotermi


Nyeri Kurang Menurun
Pengetahuan
Insisi Pembedahan Po

Cemas/ Ansietas Pendarahan Resiko Pendarahan


Terakumulasi Sekret

Kerusakan Jaringan Neuro


Kehilangan Volume Cairan Ketidakefektifan Jalan Nafas

Penurunan Hb
Menutup Jalan
Nafas Lidah Jatuh
Suplai O2 Ke
Jaringan Kembalin Hilangn
Menurun ya ya
Respon Pengaru
Ganggu
an
Nyeri Akut
Perfusi

17
G. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIPOTERMIA
POST OPERASI
1. Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji setelah tindakan pembedahan diantaranya
adalah kesadaran, kualitas jalan nafas, sirkulasi, dan perubahan tanda vital yang
lain, keseimbangan elektrolit, kardiovaskuler, lokasi daerah pembedahan dan
sekitarnya, serta alat yang digunakan dalam pembedahan.
2. Diagnosa keperawatan post operatif
Diagnosa post operasi saat post operatif dalam (SDKI,2017) meliputi:
a. Resiko hipotermia perioperatif
Definisi: Beresiko mengalami penurunan suhu tubuh dibawah 36oC secara
tiba- tiba yang terjadi satu jam sebelum pembedahan hingga 24 jam setelah
pembedahan Faktor risiko:
1) Prosedur pembedahan
2) Kombinasi anastesi regional dan umum
3) Skor american society of anastesiologist (ASA) > 1
4) Suhu pra-operasi rendah < 36oC
5) Berat badan rendah
6) Neuropati diabetik
7) Komplikasi kardiovaskuler
8) Suhu lingkungan rendah
9) Transfer panas (mis. volume tinggi infus yang tidak dihangatkan, irigasi
> 2 liter yang tidak

dihangatkan) Kondisi klinis terkait:

1) Tindakan pembedahan
3. Rencana keperawatan
Menurut (SIKI,2018) intervensi keperawatan yang dilakukan berdasarkan
diagnosa diatas adalah :
a) Risiko hipotermi perioperatif b.d suhu lingkungan rendah.
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1 jam, termoregulasi membaik
dengan kriteria hasil:
1) Mengigil menurun

18
2) Suhu tubuh membaik
3) Suhu kulit membaik.

Intervensi :

Observasi :

1) Monitor suhu tubuh


2) Identifikasi penyebab hipotermia, (misal : terpapar suhu lingkungan
rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan
lemak subkutan)
3) Monitor tanda dan gejala akibat

hipotermia Teraupetik :

1) Sediakan lingkungan yang hangat (misal: atur suhu ruangan)


2) Lakukan penghangatan pasif (misal: Selimut, menutup kepala, pakaian
tebal)
3) Lakukan penghatan aktif eksternal (misal: kompres hangat, botol hangat,
selimut hangat, metode kangguru)
4) Lakukan penghangatan aktif internal (misal : infus cairan hangat, oksigen
hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)

19
BAB III
LAPORAN KASUS

I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS
1. PASIEN
a. Nama Pasien : Ny. N
b. Tanggal lahir/ umur : 22 November 1991
c. Agama : Islam
d. Pendidikan : SMP
e. Alamat : Gunungsari RT 03 RW 03 Kebumen
f. No. CM 00070875
g. Diagnose Medis : G2P0A1 ukuran 40+3 minggu dengan oligo
+ gagal induksi
2. ORANG TUA / PENANGGUNG JAWAB
a. Nama : Tn. T
b. Umur : 32 tahun
c. Agama : Islam
d. Pedidikan : SMA
e. Pekerjaan : Swasta
f. Hubungan dengan pasien: Suami
Asal Pasien : Rawat Jalan
Rawat Inap
Rujukan

B. PRE OPERASI
1. Keluhan utama :
Pasien mengeluh takut mau operasi
2. Riwayat Penyakit : DM Asma Jantung Hipertensi
HIV V Tidak Ada
lainnya.
3. Riwayat Operasi/Anastesi : Ada V Tidak Ada

20
V
4. Riwayat alergi Ada, sebutkan………. Tidak
: ada
5. Jenis operasi : Laparotomi
6. TTV :
TD =120/70 mmHg
Suhu = 36oC
Nadi = 71x/menit
Respirasi = 18x/menit
7. TB/BB : 160/65kg
8. Golongan darah : AB
Riwayat Psikososial/Spiritual
9. Status emosional : Tenang V Bingung Kooperatif
Tidak Kooperatif Menangis
10. Tingkat kecemasan : Tidak Cemas V Cemas

11. Status cemas 0 = Tidak Cemas


:
V 1 = Mengungkapkan Kerisauan
2 = Tingkat Perhatian Tinggi
3 = Kerisauan Tidak
Berfokus 4 = Respon
Simpate-Adrenal 5 = Panik
12. Skala Nyeri menurut VAS ( Visual Analog Scale )

0-1 2-3 4-5 6-7 8-99-10


13. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas :
Normal Jika tidak normal jelaskan
Ya Tidak
Kepala V

21
Leher V

Dada V

Abdomen V G2P0A1 ukuran 40+3 minggu

Genetalia V Terpasang DC

Integument V

Ekstremitas V Terpasang infus di tangan


kanan

14. Hasil data penunjang


a. Laboraturium : Pada tanggal 23 Januari 2019
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL

Albumin 3,7 g% 3,4 - 4,8

Urea 11,71 mg / dL 10 – 50

Creatinin 0,81 mg / dL 0,8 – 1,4

SGOT 19 U/I 0 - 35

SGPT 14 U/I 0 - 35

Darah Rutin - - -

Hemoglobin 10,0 g/dL 11,7 – 15,5

Leukosit Darah 9.630 /mm3 3.600 – 11.000

Trombosit Darah 167.000 /mm3 150.000 - 440.00

Hematokrit 32 % 35 – 47

Eritrosit Darah 3,81 Jt/ mm3 3.8 jt – 5,2 jt

22
HbsAg Non Non Non Reaktif
Reaktif Reaktif

CT/BT - - -

Blooding Time 2 menit 1-3

Clooting Time 4 menit 1-7

Gol Darah AB - -

b. Rontgen Thorax : Pada tanggal 22 Januari 2019


c. EKG : Pada tanggal 22 Januari
2019 Normal Sinus Rytem

C. INTRA OPERASI
1. Anastesi dimulai jam : 17.35
2. Pembedahan dimulai jam : 17.40
3. Jenis anastesi :
Spinal Umum/general anastesi Lokal Nervus blok
4. Posisi operasi :
Terlentang Litotomi Tengkurap/knee chees Lateral : kanan/kiri 
lainnya…….
5. Catatan Anastesi :
6. Pemasanagan alat-alat :
Airway : terpasang ETT no: ……. terpasang LMA no:……. OPA
O2 Nasal
7. TTV :
Suhu : 36oC
Nadi : 75 x/mnt Teraba: kuat lemah teratur tdk teratur
RR : 18 x/mnt

23
Saturasi : 100%
8. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas :
Normal Jika tidak normal jelaskan
Ya Tidak
Kepala V

Leher V

Dada V

Abdomen V G2P0A1 ukuran 40+3 minggu

Genetalia V Terpasang DC

Integument V

Ekstremitas V Terpasang infus di tangan


kanan

Total cairan masuk


Infus : 1000 cc
Transfusi :-
Total Cairan
Keluar
Urin : 400 cc
Perdarahan : 500 cc
Balance cairan : 100 cc

D. POST OPERASI
1. Pasien pindah ke :
ICU/PICU/NICU, jam.............WIB
RR, jam 18.35 WIB
2. Keluhan saat di RR
Mual Pusing Nyeri luka op Kaki terasa baal Menggil
3. Keadaan umum
baik sedang berat
4. TTV
24
Suhu : 34oC
Nadi : 72 x/mnt Teraba: kuat lemah teratur tdk teratur
RR : 18 x/mnt
Saturasi : 100%
5. Kesadaran
CM Apatis Somnolen Soporo Coma
6. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas :
Normal Jika tidak normal jelaskan
Ya Tidak
Kepala V

Leher V

Dada V

Abdomen V G2P0A1 ukuran 40+3 minggu

Genetalia V Terpasang DC

Integument V

Ekstremitas V Terpasang infus di tangan


kanan

7. Skala Nyeri menurut VAS ( Visual Analog Scale )

0-1 2-3 4-5 6-7 8-99-10

25
II. ANALISA DATA

No Symptom Problem Etiologi

1. Pre Operasi Ansietas Perubahan status


kesehatan
DS :

Pasien mengatakan merasa cemas


karena akan di operasi.

DO:

Pasien tampak memperlihatkan


perasaan cemasnya.

TD =120/70
mmHg

Suhu = 36oC

Nadi = 71x/menit

Respirasi = 18x/menit

2. Intra Operasi Resiko Infeksi Prosedur Invasif

DS : -
DO :
Tindakan bedah SC
3. Post Operasi Hipotermia Lingkungan
DS : bersuhu rendah

Pasien merasa kedinginan seperti


mengigil
DO :
Kulit pasien terlihat dingin

26
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


2. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
3. Hipotermi berhubungan dengan Lingkungan bersuhu rendah

IV. RENCANA KEPERAWATAN

Dx
NOC NIC
Kep

Ansietas Setelah dilakukan tindakan Pengurangan Kecemasan


berhubungan keperawatan selama 1x 30 menit (5820)
dengan (preoperasi) diharapkan cemas
- Gunakan pendekatan
perubahan status berkurang, dengan kriteria hasil :
yang menenangkan dan
kesehatan
NOC : Tingkat Kecemasan (1211) meyakinkan
- Jelaskan semua prosedur
Indikator Awal Tujua
termasuk sensasi yang
n
akan dirasakan yang
Rasa cemas 3 5
mungkin akan dialami
yang
klien selama prosedur
disampaikan
(dilakukan)
secara lisan
- Dorong pasien untuk
Perasaan 3 5
mengungkapakan
gelisah
perasaannya
Peningkatan 3 5
- Bantu pasien mengenal
tekanan
situasi yang menimbulkan
darah
kecemasan
Keterangan :
- Identifikasi
1 : Berat
tingkat kecemasan
2 : Cukup Berat
3 : Sedang
4 : Ringan

27
5 : Tidak ada - Temani pasien untuk
memberikan keamanan
dan mengurangi takut
- Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Instruksikan klien untuk
menggunakan teknik
relaksasi
- Kaji untuk tanda verbal
dan non verbal kecemasan
Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Kelahiran Caesar
berhubungan keperawatan selama 1x menit (intra (6750):
dengan prosedur operasi) diharapkan resiko infeksi,
- Monitor tanda tanda vital
bedah dengan kriteria hasil :
- Berikan informasi
NOC : Keparahan Infeksi (0703): terkait tempat
Indikator Awal Tujua dilakukannya operasi
n dan sensasi yang
Penurunan 3 5 mungkin akan dirasakan
suhu kulit pasien selama operasi
Hipotermia 3 5 - Pindahkan pasien
Melaporkan 3 5 ke ruang pemulihan
kenyamanan
suhu
Keterangan :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
Hipotermia Setelah dilakukan tindakan Perawatan Hipotermia
berhubungan keperawatan selama 1x 30 menit (3800) :
dengan
- Monitor suhu tubuh

28
lingkungan (post operasi) diharapkan hipotermi - Bebaskan pasien dari
bersuhu rendah berkurang, dengan kriteria hasil : lingkungan yang
dingin
NOC : Termogulasi (0800):
- Berikan pemanas
Indikator Awal Tujua
pasif (misalnya,
n
selimut, penutup
Penurunan 3 5
kepala, dan pakaian
suhu kulit
hangat)
Hipotermia 3 5
- Dorong pasien untuk
Melaporkan 3 5
mengkonsumsi
kenyamanan
cairan hangat
suhu
Keterangan :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
Ansietas Setelah dilakukan tindakan Pengurangan Kecemasan
berhubungan keperawatan selama 1x 30 menit (5820)
dengan (preoperasi) diharapkan cemas
- Gunakan pendekatan
perubahan status berkurang, dengan kriteria hasil :
yang menenangkan dan
kesehatan
NOC : Tingkat Kecemasan (1211) meyakinkan
- Jelaskan semua prosedur
Indikator Awal Tujua
termasuk sensasi yang
n
akan dirasakan yang
Rasa cemas 3 5
mungkin akan dialami
yang
klien selama prosedur
disampaikan
(dilakukan)
secara lisan
- Dorong pasien
Perasaan 3 5
untuk
gelisah
mengungkapakan
perasaannya

29
Peningkatan 3 5 - Bantu pasien mengenal
tekanan situasi yang menimbulkan
darah kecemasan
Keterangan : - Identifikasi
1 : Berat tingkat kecemasan
2 : Cukup Berat - Temani pasien untuk
3 : Sedang memberikan keamanan dan
4 : Ringan mengurangi takut
5 : Tidak ada - Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Instruksikan klien untuk
menggunakan teknik
relaksasi
- Kaji untuk tanda verbal dan
non verbal kecemasan
Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Kelahiran Caesar
berhubungan keperawatan selama 1x menit (intra (6750):
dengan prosedur operasi) diharapkan resiko infeksi,
- Monitor tanda tanda vital
bedah dengan kriteria hasil :
- Berikan informasi
NOC : Keparahan Infeksi (0703): terkait tempat
Indikator Awal Tujua dilakukannya operasi
n dan sensasi yang
Penurunan 3 5 mungkin akan dirasakan
suhu kulit pasien selama operasi
Hipotermia 3 5 - Pindahkan pasien ke
Melaporkan 3 5 ruang pemulihan
kenyamanan
suhu
Keterangan :
6. Sangat terganggu
7. Banyak terganggu
8. Cukup terganggu
9. Sedikit terganggu

30
10. Tidak terganggu
Hipotermia Setelah dilakukan tindakan Perawatan Hipotermia (3800)
berhubungan keperawatan selama 1x 30 menit :
dengan (post operasi) diharapkan hipotermi
- Monitor suhu tubuh
lingkungan berkurang, dengan kriteria hasil :
- Bebaskan pasien dari
bersuhu rendah
NOC : Termogulasi (0800): lingkungan yang
Indikator Awal Tujua dingin
n - Berikan pemanas
Penurunan 3 5 pasif (misalnya,
suhu kulit selimut, penutup
Hipotermia 3 5 kepala, dan pakaian
Melaporkan 3 5 hangat)
kenyamanan - Dorong pasien untuk
suhu mengkonsumsi
Keterangan : cairan hangat
6. Sangat terganggu
7. Banyak terganggu
8. Cukup terganggu
9. Sedikit terganggu
10. Tidak terganggu

V. IMPLEMENTASI

Diagnosa Implementasi Respon Paraf


Keperawatan

Ansietas 1. Mengidentifikasi DS : Pasien


berhubungan tingkat mengatakan takut
dengan perubahan kecemasan klien operasi
status kesehatan 2. Menjelaskan
DO : Pasien
prosedur selama
terlihat gelisah
tindakan operasi

31
3. Mengintruksikan
klien
menggunakan
teknik relaksasi
napas dalam
menemani
pasien untuk
memberikan
keamanan dan
mengurangi
takut
Resiko Infeksi 1. Monitor tanda Pasien Kooperatif
berhubungan tanda vital
dengan prosedur 2. Berikan
bedah informasi terkait
tempat
dilakukannya
operasi dan
sensasi yang
mungkin akan
dirasakan pasien
selama operasi
3. Pindahkan
pasien ke
ruang
pemulihan
Hipotermia 1. Monitor suhu DS : Pasien
berhubungan tubuh mengatakan
dengan lingkungan 2. Bebaskan pasien kedinginan seperti
bersuhu rendah dari lingkungan menggigil
yang dingin
DO : Kulit pasien
terasa dingin

32
3. Berikan pemanas
pasif (misalnya,
selimut,)
4. Dorong pasien
untuk
mengkonsumsi
cairan hangat

VI. EVALUASI

Tanggal / Jam DX Kep SOAP PARAF

2 April 2022 Ansietas S: pasien


berhubungan mengatakan dirinya
14.00 WIB
dengan perubahan merasa lebih
status kesehatan tenang setelah
diberi
informasi mengenai
operasi yang akan
dilakukan dan
prosedurnya

O: pasien tampak
lebih tenang akral
hangat, dan
melakukan Tarik
nafas dalam teratur
supaya lebih tenang

A: masalah sudah
teratasi

P: intervensi selesai

33
2 April 2022 Resiko Infeksi S: pasien merasa
berhubungan lebih tenang karena
14.10 WIB
dengan prosedur sudah diterangkan
bedah prosedur, dan akan
mengikuti prosedur
agar terhindar dari
infeksi

O: pasien
mengikuti arahan
dari petugas agar
terhindar dari
infeksi pasca
bedah.

Tanda-tanda vital
pasien:

TD: 120/70

mmHg S: 36,7 C

N: 88x/menit

RR: 21x/menit

A: masalah teratasi
sebagian

P: lanjutkan
intervensi

1. Monitor tanda
tanda vital
2. Berikan
informasi

34
terkait tempat
dilakukannya
operasi dan
sensasi yang
mungkin akan
dirasakan
pasien selama
operasi
3. Pindahkan
pasien ke ruang
pemulihan
2 April 2022 Hipotermia S: pasien
berhubungan mengatakan
14.10 WIB
dengan lingkungan tubuhnya lebih
bersuhu rendah hangat dari
sebelumnya, pasien
mengkonsumsi air
minum hangat
supaya tetap terasa
hangat ditubuhnya

O: pasien
mengkonsumsi air
hangat mulai 8 jam
sebelum operasi,
pasien
menggunakan
selimut, suhu tubuh
pasien hangat (S:
36,7 C)

A: masalah sudah
teratasi

35
P: intervensi selesai

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hipotermi dapat diartikan suhu tubuh kurang dari 36°C (Tamsuri, 2007). Setiap
pasien yang menjalani operasi berada dalam risiko mengalami kejadian hipotermi
(Setiyanti, 2016). Menurut klasifikasinya, hipotermi dibedakan menjadi tiga yaitu
hipotermi ringan, sedang, dan berat. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kasus hipotermia pada pasien post operasi diantaranya yaitu : suhu kamar
operasi, usia, Indeks Masa Tubuh (IMT), jenis kelamin, lama operasi, serta jenis
operasi. Untuk penatalaksanaan pasien yang mengalami hipotermi post operasi, maka
dapat dilakukan teknik penghangatan untuk membantu pasien dalam
mempertahankan normotermia. Intervensi mekanik untuk mengatasi hipotermi post
operasi meliputi pengaturan suhu ruang operasi antara 250C-26,60C, pemberian matras
penghangat, peemberian cairan infus dan transfusi darah yang dihangatkan berkisar
diatas 320C,
penggunaan humidifier hangat, atau penggunaan lampu penghangat.

B. Saran
Kami tentunya menyadari jika makalah yang kami susun masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Kami akan berusaha memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari
para pembaca.

37
DAFTAR PUSTAKA

Arisman, M. B. (2007). Buku Ajar Ilmu Gizi: Daur Gizi dalam Kehidupan. Jakarta: EGC.

Chintamani, E. S. D. (2008). Moroney’s Surgey For Nurses. India:


Dughdale, A. (2011). Vetirenary Anaesthetic: Principle to Practice. United Kingdom:
Blakwell Publishing Ltd.
Harahap, A. M., Kadarsah, R. K., & Oktaliansah, E. (2014). Angka Kejadian Hipotermia dan
Lama Perawatan di Ruang Pemulihan pada Pasien Geriatri Pascaoperasi Elektif
Bulan Oktober 2011–Maret 2012 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal
Anestesi Perioperatif, 2(1), pp. 36–44. Diakses pada 1 April 2021, melalui :
https://doi.org/10.15851/jap.v2n1.236
Hungu. 2007. Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta: Grasindo
Indriati, E. (2010). Antropometri untuk Kedokteran, Keperawatan, Gizi dan Olahraga.
Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama
Ganong, W. F. (2008). Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Guyton, A. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran.
Joshi, Shivkumaran, Bhargava, Kausara & Sharma. (2006). Issues in Geriatric Anesthesia.
SAARC J Anestesia. 1: 39-49.
Kartasapoetra, G dan Marsetyo. (2008). Ilmu Gizi: Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Kiekkas, P, et al. (2007). Effects of Hypothermia and shivering on Standard PACU
Monitoring of Patients. AANA Journal, vol 73(1): pp. 47-53.
Morgan, G. E., & Mikhail, M. (2013). Clinical Anesthesiology edisi-5. New York: MC.Grow
Naldi, Y., Atik S, U., & Purnomo, P. (2017). Hubungan Perilaku Hipotermi dengan
Penanganan Awal Hipotermi pada Mahasiswa Pecinta Alam di Unswagati dan IAIN
Syekh Nurjati Kota Cirebon. Kedokteran dan Kesehatan, pp. 105–111.
Proverawati, A., & Kusuma, E. (2010). Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Putzu, M. (2007). Clinical Complications, Monitoring And Management of Perioperative Mild
Hypothermia: Anesthesiological Features. Acta Biomed. Vol. 78: 163-9
Rosjidi, C. H., dan Isro’ain. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial &
Gangguan Peredaran Darah Otak.Yogyakarta: Gosyen Publishing.

38
Sjamsuhidajat. R, & Win, J. de. (2003). Buku Ajar IlmuBedah (2nd ed.; S. R & J. de Win, eds).
Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Suindrayasa Made I. (2017). Artikel Ilmiah : Efektifitas Penggunaan Selimut Hangat
Terhadap Perubahan Suhu pada Pasien Hipotermia Post Operasi Di Ruang ICU
RSUD Buleleng. Universitas Udayana.
Sugondo, S. (2010). Obesitas. Jakarta: Interna Publishing
Widiyono, W., Suryani, S., & Setiyajati, A. (2020). Hubungan antara Usia dan Lama
Operasi dengan Hipotermi pada Pasien Paska Anestesi Spinal di Instalasi Bedah
Sentral. Jurnal Ilmu Keperawatan Medikal Bedah, 3(1), 55. Diakses pada 1 April 2021,
melalui : https://doi.org/10.32584/jikmb.v3i1.338
Valchanov, et al. (2011). Anaesthetic on Periopeative Complication. England: Cambridge
University Press.

39

Anda mungkin juga menyukai