Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kejadian infeksi nosokomial jauh
lebih tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan di dua kota besar Indonesia didapatkan angka
kejadian infeksi nosokomial sekitar 39%-60%. Di Negara-negara berkembang terjadinya
infeksi nosokomial tinggi karena kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk,
pemakaian sumber terbatas yang tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak oleh pasien
(Sumaryono. 2005).

1.2. Rumusan Masalah


1. Defenisi Infeksi nosokomial ?
2. Etiologi Infeksi nosokomial ?
3. Faktor Resiko ISK ?
4. Manifestasi Klinik ISK ?
5. Patofisiologi ?
6. Pemeriksaan Diagnostik ?
7. Tindakan Medis ?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan, dan menerapkan Infeksi nosokomial pada infeksi saluran kemih (ISK)

1.3.2 Tujuan Khusus


1) Menjelaskan dan Memahami Defenisi Infeksi nosokomial
2) Menjelaskan dan Memahami Etiologi Infeksi nosokomial
3) Menjelaskan dan Memahami Faktor Resiko ISK
4) Menjelaskan dan Memahami Manifestasi Klinik ISK
5) Menjelaskan dan Memahami Patofisiologi
6) Menjelaskan dan Memahami Pemeriksaan Diagnostik
7) Menjelaskan dan Memahami Tindakan Medis

1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Defenisi
Infeksi nosokomial merupakan kejadian yang sering terjadi di rumah sakit dan dapat
menimbulkan kerugian bagi pasien, keluarga dan rumah sakit itu sendiri. Infeksi nosokomial
merupakan infeksi yang didapat pasien setelah 3×24 jam setelah dilakukan perawatan di
rumah sakit.
Salah satu jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih.
Infeksi nosokomial saluran kemih paling sering disebabkan oleh pemasangan dower kateter
yaitu sekitar 40% (Heather, M. And Hannie, G. 2001).
Dalam beberapa studi prospek, telah dilaporkan bahwa tingkat ISK yang berhubungan
dengan pemasangan dower kateter berkisar antara 9% - 23% (20). Menurut literatur lain
didapatkan pemasangan dower kateter mempunyai dampak terhadap 80% terjadinya infeksi
saluran kemih (Heather, M. And Hannie, G. 2001).
Salah satu upaya untuk menekan angka kejadian infeksi nosokomial saluran kemih
adalah dengan melakukan perawatan dower kateter dengan kualitas yang baik sesuai dengan
standar operasinal perawatan kateter dan prosedur pencegahan infeksi.

2.2. Etiologi
Infeksi nosokomial saluran kemih dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
hospes (penerima), agent infeksi (kuman / mikroorganisme), faktor durasi atau lama
pemasangan dower kateter dan faktor prosedur (pemasangan dan perawatan) (Schaffer.
2000).
Prosedur pemasangan kateter perlu memperhatikan teknik aseptik dan benar sehingga
tidak menimbulkan iritasi atau trauma pada saluran kemih yang dapat menjadi sumber
infeksi. Lamanya waktu pemasangan kateter sebaiknya tidak terlalu lama, karena semakin
lama terpasang kateter angka kejadian infeksi saluran kemih semakin tinggi. Apabila ada
advis dokter untuk melepas dower kateter maka harus dilepas secepat mungkin dan bila
terpasang lebih dari 7 hari maka penggantian dower kateter baru harus dilakukan. Pemberian
perawatan kateter yang berkualitas tinggi akan dapat mengurangi tingkat terjadinya infeksi
nosokomial saluran kemih.

2
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan
karena faktor eksternal,yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan
benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang
sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal
Bakteri penyebab yang paling sering adalah golongan Enterobacteriaceae yang berasal
dari daerah perineum atau traktus intestinal. E.coli merupakan penyebab 70-80% pada ISK
simpleks. Penyebab lainnya seperti : klebsiella, proteus, staphylococcus saphrophyticus,
pseudomonas aeroginosa, streptococcus fecalis dan streptococcus agalactiiae jarang
ditemukan.
Pada uropati obstruksi dan pada kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-laki
sering ditemukan proteus species. Pada perempuan remaja dan pada perempuan yang seksual
aktif sering ditemukan, staphylococcus saphrophyticus.
ISK nosokomial sering disebabkan E.coli, Pseudomonas, Klebsiella sp, dan
Aerobacter.
Tabel 1. Jenis-Jenis Mikroorganisme Penyebab ISK
Persentase biakan
MIKROORGANISME
(dgn ≥ 105 cfu/ml)
Escherichia Coli 50 – 90%
Klebsiella atau Enterobakter 10 – 40
Proteus morganela atau providencia 5 – 10
Pseudomonas aeruginosa 2 – 10
Staphylococcus epidermis 2 – 10
Enterococci 2 – 10
Candida albicans 1–2
Staphylococcus aureus 1–2

3
2.3. Faktor Resiko ISK
ISK dapat terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak laki-laki. Kejadian ISK
pada bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mencapai 10-100 kali lebih besar dibanding
dengan berat lahir normal (0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, ISK terjadi pada anak perempuan.
Misalnya pada anak usia pra sekolah dimana ISK pada perempuan mencapai 0,8%, sementara
pada laki-laki hanya 0,2. Dan rasio ini terus meningkat sehingga diusia sekolah, kejadian ISK
pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding anak laki-laki. Dan pada anak laki-laki
yang disunat, resiko ISK menurun hingga menjadi 1/5 – 1/20 dari anak laki-laki tidak disunat.
Pada usia 2 bulan – 2 tahun, 5% anak dengan ISK mengalami demam tanpa sumber
infeksi dari riwayat dan pemeriksaan fisik. Sebagian besar ISk dengan gejala tunggal ini
terjadi pada anak perempuan.
Heale dkk (1993) melaporkan insiden bakteriuria simptomatik sebesar 9,1%.
Penyelidikan di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta oleh wila wirya dkk
(1976) pada anak yang dirawat dengan penyakit ginjal lain, insiden bakteriuria simptomatis
didapatkan sebesar 31.1%. Pada neonatus dengan resiko tinggi infeksi didapatkan insiden
sebesar 1,1%.

2.4. Manifestasi Klinik


ISK dapat berlangsung dengan gejala (simptomatis) atau tanpa gejala (asimptomatis).
Pada yang simptomatis, makin muda usia anak gejala klinis makin tidak khas. Pada bayi baru
lahir, gejala yang ditemukan dapat berupa demam, malas minum, ikterus, hambatan
pertumbuhan atau tanda-tanda sesis. Pada masa bayi, gejala sering berupa panas yang tidak
jelas penyebabnya, nafsu makan kurang, gangguan pertumbuhan, kadang-kadang diare atau
kencing yang sangat berbau. Pada usia prasekolah gejala klinis sering berupa sakit perut,
muntah, demam, sering kencing dan ngompol. Pada anak usia sekolah, gejala spesifik makin
nyata berupa ngompol, sering kencing, sakit waktu kencing atau sakit pinggang.
Pada infeksi yang kronis atau kambuh berulang (recurrent) dapat terjadi tanda-tanda
gagal ginjal menahun atau hipertensi serta gangguan pertumbuhan. Infeksi yang asimptomatis
pada umumnya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin seorang anak atau pada
kegiatan penyaringan ISK anak sekolah.

4
2.5. Patofisiologi
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang mengatur keseimbangan cairan tubuh
dan elektrolit dalam tubuh, dan sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dengan
mengekspresikan air yang dikeluar dalam bentuk urine apabila berlebih. Diteruskan dengan
ureter yang menyalurkan urine ke kandung kemih. Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih
atau urine bebas dari mikroorganisme atau steril. Masuknya mikroorganisme kedalam saluran
kemih dapat melalui :
a. Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi terdekat
b. Hematogen
c. Limfogen
d. Eksogen sebagai akibat pemakaian berupa kateter.
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari kedua cara
ini ascendinglah yang paling sering terjadi. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah
kuman yang berasal dari flora normal usus, dan hidup secara komensal di dalam introtus
vagina, preputium penis, kulit perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme memasuki
saluran kemih melalui uretra – prostate – vas deference – testis (pada pria) buli-buli, dan
sampai ke ginjal.
Faktor ISK sangat kompleks, karena tergantung dari banyak faktor seperti faktor
penjamu (host) dan faktor organismenya. Bakteri dalam urine bisa berasal dari ginjal, pielum,
ureter, vesika urinaria atau dari uretra. Timbulnya suatu infeksi di saluran kemih sangat
tergantung dari faktor predisposisi dan faktor pertahanan tubuh penderita yang masih belum
diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor predisposisi adalah adanya obstruksi urin, kelainan struktur, urolitiasis,
benda asing, refluks ataupun suatu konstipasi yang lama dan lain-lain. Pada bayi dan anak
adanya bakteri dalam saluran kemih umumnya berasal dari tinjanya sendiri yang menjalar
secara ascending.

5
Flora usus
1) Munculnya tipe urogenik
2) Kolonisasi di perineal dan uretra enterior
3) Barier peratahanan mukosa normal
4) Virulensi bakteri ← sistisis → faktor pejamu
5) Pielonefritis akut
6) Parut ginjal
7) Urosepsis

Patogenesis dari ISK ascending


Faktor pejamu dalam bagan tersebut dapat berupa memperkuat perlekatan ke sel
uroepitel, refluks vesiko ureter, refluks intrarenal, tersumbatnya saluran kemih dan benda
asing (kateter).
Bakteri uropatogenik yang melekat pada sel uroepitel, dapat mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dinding ureter dan menyebabkan gangguan peristaliknya.
Melekatnya bakteri ke sel uroepitel ini akan meningkatkan virulensi bakteri tersebut.
Pada ISK, dilatasi urinary collecting system dapat terjadi tanpa obstruksi refluks
vesikounreter. Mukosa kandung kemih dilapisi oleh suatu glycoprotein mucin layer yang
berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan musin ini menyebabkan bakteri dapat
melekat dan membentuk koloni dipermukaan mukosa, kemudian masuk menembus epitel dan
mulai mengadakan peradangan.
Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal melaui suatu
lapisan tipis cairan (films of fluid) apalagi bila terdapat refluks ureter dan refluks intrarenal.
Infeksi akut atau kronik vesika urinaria (sistitis) akibat infeksi yang berulang
mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan dapat mengakibatkan inkompetensi dari
katup vesiko ureter.
Akibat rusaknnya katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada waktu
berkemih (waktu kontraksi kandung kemih), hal ini disebut refluks. Akibat refluks ini ureter
dapat melebar atau urin sampai ke ginjal dan mengakibatkan kerusakan pielum dan parenkim
ginjal (pielonefritis). Infeksi parenkim ginjal dapat juga terjadi secara hematogen atau
limfogen.

6
Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat mengakibatkan iritasi dan spasme otot
polos vesika urinaria dan akibatnya rasa ingin miksi terus menerus (urgency) atau miksi
berulang kali (polakisuria) atau sakit pada waktu miksi (disuria). Mukosa vesika urinaria
menjadi edema dan meradang dan dapat terjadi perdarahan dari mukosa yang edema ini
(hematuria).
Bila infeksi kronik yang lama terjadi di vesika urinaria menyebabkan dinding vesika
urinaria menjadi tebal dan banyak mengandung jaringan fibrosa yang akhirnya dapat merusak
bagian ureter intra mural/ katup vesiko ureter. Stasis urin di ureter yang lama menimbulkan
mudahnya terjadi infeksi dan dilatasi ureter.
Tipe E.coli yang dapat mengikat ‘globo’dari glikolipid sering ditemukan apda
pielonefritis akut yang dapat menyebabkani inflamasi. Tipe globo-positif ini dapat
menimbulkan panas tinggi, laju endap darah meningkat, leukosituria yang banyak dan dapat
melebarkan ureter. Diperkirakan hanya ½ sampai ¾ anak dengan pielonefritis yang tidak
memperlihatkan refluks.
Telah diketahui bahwa bakteri yang masuk dalam tubuh akan difagositosis oleh leukosit
polimorfonuklear dan makrofag tetapi apabila bakteri tersebut membangkitkan respons imun
atau mengaktifasi sistem komplemen bakteri tersebut akan dibalut dengan antibodi (antibody
coated bacteria) atau protein komplemen. Dalam mekanisme patogenesis ISK, banyak hal
yang masih belum jelas benar, misalnya mengapa bakteri sendiri mempunyai kemampuan
untuk mengubah surface characteritic-nya sesuai dengan kondisi sekitarnya.
Pada bayi secara hematogen lebih sering terutama bila ada kelainan struktur traktus
urinarius. Bakteri patogen ataupun bakteri non-patogen di daerah tubuh lainnya (kolon,
mulut, kulit) bila berkembang biak di parenkim ginjal akan menghasilkan amonia yang dapat
menghalangi pertahanan tubuh yang normal yaitu dengan menghalangi sistem komplemen
dan dapat menghalangi migrasi leukosit polimorfonuklear dan fagositosis karena amonia
meningkatkan hipertonisitas medula. Bila sudah terdapat infeksi parenkim, fungsi ginjal
dapat terganggu.
Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula ginjal dapat
rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan urin akibat refluks, berupa atrofi ginjal.
Pada pielonefritia akut dapat ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal
membengkak (edema) dan banyak ditemukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dalam
jaringan interstitial akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat
infeksi, adanya produk dari bakteri atau adanya zat mediator toksik yang dihasilkan sel yang
telah rusak akan mengakibatkan parut ginjal.

7
Penjalaran Infeksi
Infeksi dapat mencapai saluran kemih dengan cara hematogen atau ascending dari
orificiumuretra internal dan masuk ke kandung kemih dan akhirnya sampai ke ginjal. Pada
umumnya penjalaran hematogen jarang kecuali pada neonatus. Telah diketahui bahwa
bakteremia sering terjadi pada neonatus dan bayi di bawah umur 3 bulan. Pada anak yang
lebih besar penyebaran infeksi secara hematogen sampai ke saluran kemih (pielonefritis akut)
adalah karakteristik dari bakteremia karena virulensi bakteri tersebut seperti S.aurenus,
P.aeruginosa, Seretia sp dan tuberkulosis. Bakteremia yang terjadi dari fokus primer yang
ada di saluran kemih disebut urosepsis. Pada kebanyakan anak dan orang dewasa diyakini ISk
akibat infeksi ascending dari orifisium uretra sampai ke ginjal.
E.coli sebagai flora kolon merupakan sumber organisme yang dapat menyebabkan ISK
tapi tidak semua tipe E.coli ini mempunyai kemampuan untuk membentuk koloni dalam
saluran kemih. Hanya bakteri yang mempunyai virulensi uropatogenik yang dapat menyerang
saluran kemih dengan anatomi normal. Sebaliknya virulensi bakteri ini tidaklah penting
sebagai penyebab ISK bila ada kelainan struktur anatomi atau neurologi pada saluran kemih
anak. Langkah pertama yang penting dalam patogenesis ISk yang ascending terebut adalah
ditemukannya kolonial E.coli uropatogenik di sekitar periuretra atau di introitus vagina pada
perempuan. Pada laki-laki ditemukannya kolonisasi bakteri tersebut di daerah periuretra dan
preputium. Mekanisme naiknya mikroorganisme tersebut dari periuretra atau daerah vagina
ke saluran kemih masih belum diketahui sepenuhnya. Pada beberapa kasus ganguan fungsi
kandung kemih yang turun temurun bisa menyebabkan timbulnya kolonisasi dalam kandung
kemih.
Dalam beberapa percobaan, telah dibuktikan bahwa bakteri dapat naik dari kandung
kemih ke ginjal dan menyebabkan pielonefritis akut, dalam percobaan tersebut adanya
obstruksi saluran kemih merupakan prasyarat naiknya bakteri ke ginjal.
Refluks vesiko ureter merupakan predisposisi untuk timbulnya pielonefritis akut karena
naiknya bakteri dari kandung kemih ke parenkim ginjal melalui ureter yang mengalami
refluks tersebut.

8
Faktor Pejamu dan ISK
Pada beberapa anak, predisposisi terjadinya ISK adalah karena adanya kelainan
anatomi kongenital atau yang didapat sedangkan pada anak yang lainnya kemungkinan
kelainan itu tidak ditemukan, walaupun sudah diteliti. Pada kelompok yang terakhir ini
diduga yang menjadi faktor predisposisi adalah virulensi bakteri atau karena kelainan
fungsional saluran kemih.
Beberapa faktor pejamu dan predisposisi terjadinya ISK :
1. Refluks vesiko ureter dan refluks intrarenal
2. Obstruksi saluran kemih et causa benda asing dalam saluran kemih (kateter urin)
3. Duplikasi collecting system
4. Ureterokel
5. Divertikulum kandung kemih
6. Meningkatnya perlekatan ke sel uroepitel
Pada anak yang normal, perlekatan dan proliferasi bakteri pada mukosa kandung kemih
dapat dicegah oleh adanya aliran urin yang deras dan adanya mekanisme pertahanan lokan
mukosa kandung kemih.
Mekanisme pertahanan lokal terhadap faktor pejamu yang berhubungan dengan
pencegahan perlekatan bakteri ke uroepitel :
 Mekanisme pencucian karena aliran urin
 Tamm-Horsfall protein
 Interferensi bakteri oleh endogenous periurethral flora
 Urinary oligosaccharides
 Eksfoliasi spontan dari sel uroepitel
 Urinary immunoglobulinx
 Mukopolisakarida yang melapisi dinding kandung kemih
Mekanisme pertahanan lokal ini dapat terganggu bila ada kelainan anatomi kongenital
atau yang didapat dan dapat meningkatkan resiko terjadinya ISK. Secara keseluruhan
kelainan radiologik yang dapat ditemukan pada ISK hanya berkisar 40-50%. Refluks vesiko
ureter merupakan kelainan saluran kemih yang paling sering ditemukan pada ISK, itupun
hanya bisa ditemukan sekitar 30%. Adanya refluks mengakibatkan anak mudah mendapat
ISK dari urin yang terinfeksi tersebut, infeksi dapat naik ke parenkim ginjal. Pada tempat
refluks tersebut bakteri akan bertahan lama dan merupakan sumber infeksi dalam saluran
kemih.

9
Stasis urin karena adanya obstruksi saluran kemih dan adanya residu urin merupakan
faktor lainnya yang mempermudah bakteri tinggal lebih lama dan dapat berproliferasi.
Adanya divertikulum kandung kemih, ureterokel, lambatnya aliran urin pada collecting
system yang duplikasi mengakibatkan timbulnya nidus sehingga bakteri dapat lebih lama
tinggal dan berproliferasi dalam saluran kemih. Adanya benda asing dalam saluran kemih
seperti kateter juga memudahkan terjadinya ISK. Lebih dari 90% ISK nosokomial pada anak
yang dirawat disebabkan pemasangan kateter urin.
Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih dianggap penyebab resiko
ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel merupakan prasyarat untuk
timbulnya kolonisasi bakteri. Sel uroepitel pada anak sangat rentan terhadap infeksi karena
memiliki kapasitas mengikat bakteri disebabkan oleh adanya reseptor pada sel tersebut. Jadi
pada anak yang mempunyai struktur anatomi saluran kemih yang normal, timbulnya
kerentanan terhadap infeksi karena sel uroepitelnya mempunyai kapasitas mengikat bakteri
yang masuk ke saluran kemih. Mekanisme molekular mengenai perlekatan bakteri ini ke sel
uroepitel tersebut masih belurn diketahui dengan pasti.

Virulensi Bakteri dan ISK


Selain faktor pejamu, virulensi bakteri juga menentukan lokasi anatomi perjalanan
ascending bakteri dari daerah periuretra. Bakteri E.coli tipe serologik O, K dan H dapat
diisolasi dari penderita dengan pielonefritis akut, sedang pada ISK asimptomatik ternyata tipe
tersebut tidak ditemukan. Faktor-faktor bakteri yang berhubungan dengan virulensi
uropatogenik dari E.coli adalah :
 Mempunyai fimbria
 Melekat ke uroepitel
 Mempunyai serotipe O dan K
 Menghasilkan hemolisin Menghasilkan colistin V
 Menghasilkan aerobactin
 Resisten terhadap bactericidal action atau human serum
Sifat melekat E.coli merupakan hal yang penting dari organisme tersebut untuk
bertahan di saluran kemih dan menyebabkan ISK. Perlekatan antara bakteri dan sel uroepitel
diantarai oleh reseptor sel uroepitel dengan molekul protein dari bakteri yang disebut adhesin
yang berada pada permukaan bakteri tersebut. Pada bakteri E.coli adhesin terletak pada
ujung-ujung fimbria. Pili dengan ujung adhesin-nya. dapat melekatkan bakteri tersebut ke

10
permukaan sel uroepitel. Beberapa tipe pili dengan sifat adhesin-nya telah banyak diketahui
dari bakteri E.coli. pili tipe 1 dengan adhesin-nya dapat mengaglutinasi sel darah merah
mannut (glitinea pig). Aglutinasi ini dapat dihambat oleh adanya manosa. Pili tipe 1 atau
mannose-sensitive pili ini sering ditemukan pada E.coli yang mempunyai fimbria
(uropatogenik ataupun non-patogenik). E.coli yang melekat ke sel uroepitel dan
menyebabkan pielonefritis dapat mengaglutinasi sel darah merah manusia dan resisten
terhadap adanya manosa.
Adhesin yang ada pada pili E.coli ini bereaksi dengan sel uroepitel melalui reseptor
glikolipid dengan disakarida galaktosa a 1-4 galactose β. Pili seperti ini disebut “Gal-gal
pili” atau “P-fimbriae” dan dinamakan seperti itu setelah ditemukan adanya P-antigen
golongan darah yang juga mengandung glikosfingolipid yang sama dengan reseptor dari sel
uroepitel. P-fimbria dapat ditemukan pada 90% E.coli dari urin penderita pielonefritis akut
tanpa adanya obstruksi urin. Adanya P-fimbria dari E.coli dianggap sebagai faktor virulensi
bakteri pada sel uroepitel.
Penderita yang terinfeksi dengan E.coli yang melekat ke sel uroepitel (adhering E.coli)
akan menunjukkan gejala inflamasi sistemik dan renal yang nyata (leukosituria, c-reaktif
protein serum meningkat, laju endap darah meningkat) dibanding bila terinfeksi dengan tipe
yang tidak melekat (nonadhering strain). Bakteri yang melekat ke sel uroepitel akan
menghasilkan endotoksin dan lipopolisakarida lebih banyak dan langsung ke jaringan ginjal.

2.6. Pemeriksaan Diagnostik


Pada yang simptomatis, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan
dan dengan adanya jumlah bakteri yang bermakna dalam urin yang seharusnya steril dengan
atau tanpa disertai pluria. Bila ditemukan silinder leukosit maka kemungkinan pielonefritis
perlu dipikirkan.
Pemeriksaan laboratorium yang terpenting untuk menegakkan diagnosis ISK ialah
biakan urin dan pemeriksaan urin lengkap.
I. Biakan urin
Penampungan urin untuk pembiakan dapat dilakukan dengan 3 cara :
1. Urin pancaran tengah (midstream urine)
2. Kaleterisasi kandung kemih
3. Pungsi kandung kemih (supra pubic puncture, SPP)

11
Sebelum pengambilan contoh urin perlu dilakukan tindakan asepsis. Pada pengambilan
cara a dan b, genitalia eksterna dibersihkan dulu dengan air bersih atau larutan sublimate 1%.
Pada anak perempuan labia minora harus dibuka dan pada anak laki-laki preputium perlu
ditarik ke belakang pada saat pembersihan. Fungsi kandung kemih dilakukan sebagai berikut
: daerah suprapubis dibersihkan dengan larutan jodium 2 dan alkohol 70%. Sebelumnya anak
disuruh menahan kencing selama ±1 jam dan dianjurkan banyak minum. Pungsi dilakukan
dengan jarum semprit 5 atau 10 ml, pada tempat kira-kira 0,5-1 cm di atas simfisis pubis.
Dengan cara a dan b, biakan urin dianggap positif atau bermakna bila didapat jumlah
kuman 100.000 atau lebih per-mililiter urin. Jumlah kuman antara 10.000 – 100.000/ml urin
dianggap meragukan dan perlu diulang. Bila jumlah kurang dari 10.000/ml urin maka hasil
ini dianggap sebagai kontaminasi. Sebaiknya biakan urin dilakukan dua kali berturut-turut
agar didapat hasil yang lebih pasti (derajat kepastian 95%).
Hasil biakan urin dengan cara pengambilan pungsi kandung kemih dianggap positif
atau bermakna bila ditemukan 200 kuman atau lebih permilimeter urin. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah waktu antara pengiriman bahan dan penanaman dalam media biakan.
Bila urin dibiarkan dalam suhu kamar dalam setengah jam atau lebih maka kuman akan cepat
membiak sehingga akan memberikan hasil positif palsu. Bila urin tidak segera dikirim ke
laboratorium, maka harus disimpan pada suhu 4oC. Dengan cara ini urin dapat disimpan
selama 24-48 jam tanpa merubah jumlah kuman.
Cara lain yang lebih mudah dan sederhana untuk mendeteksi bakteri ialah dengan
pemeriksaan bakteriologis semi kuantitatif misalnya dengan micristix (Ames, co). Caranya
ialah dengan mencelupkan microstix ke dalam urin yang ditampung seperti pada biakan
konvensional, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Dengan cara ini ternyata ditemukan
korelasi yang tinggi dengan hasil biakan konvensional dengan kepekaan sebesar 93,8% dan
spesifitas 95,5%.

II. Pemeriksaan urin lengkap


Bila pada pemeriksaan sedimen urin ditemukan piuria pada 50% kasus ISK. Tidak ada
korelasi yang pasti diantara piuria dan bakteriuria tetapi pada setiap kasus dengan piuria
haruslah dicurigai kemungkinan adanya ISK.
III. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang penting dilakukan ialah Piek’grafi Inlravena (P1V) dan Miksio-sisto-
uretrografi (MSU).

12
Kedua pemeriksaan tersebut sedapat mungkin dilakukan pada semua penderita ISK.
Pemeriksaan PIV dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan terjadinya pielonefritis
kronis dengan melihat bentuk dan besamya kedua ginjal, adanya gambaran yang asimetri
antara kedua ginjal karena perbedaan bentuk dan ukurannya, kalises yang tumpul dan atau
melebar atau terbentuknya jaringan parut. Juga dapat ditemukan kelainan tanda-tanda
kongenital maupun kelainan obstruktif atau kelainan anatomis. Pada pemeriksaan MSU dapat
ditemukan tanda-tanda refluks vesiko ureter atau penyempitan pada muara uretra.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah
atau yang lebih teliti lagi bila diperiksa ureum clearence dan kreatinin untuk mengetahui
derajat fungsi ginjal.

2.7. Tindakan Medis


Dalam penanganan dan pengobatan perlu diketahui apakah infeksi terdapat pada traktus
urinarius bagian atas (ureter, pielum dan ginjal) atau hanya pada bagian bawah (vesika
urinaria dan uretra).
ISK bagian atas dianggap lebih berat karena dapat mengakibatkan kerusakan ginjal.
Membedakan kedua lokasi infeksi ini tidaklah mudah pada seorang anak terutama bayi.
Pemeriksaan langsung terhadap infeksi bagian atas dapat dilakukan dengan biakan urin yang
diambil dengan kateterisasi dari kedua ureter, namun hal ini jarang dilakukan pada anak
karena dapat bersifat traumatis. Pemeriksaan secara tidak langsung yang dapat memberikan
petunjuk ke arah ISK bagian atas adalah terdapatnya gejala demam, sakit pinggang, terdapat
silinder leukosit di urin, laju endap darah yang meninggi dan peninggian kadar C-reaktif.
Pemeriksaan lain yang lebih sukar ialah biakan urin dengan bladder washout technique
(penampungan urin setelah pencucian vesika urinaria dengan larutan aseptik), antibody
coated bacteria (pemeriksaan bakteri yang diliputi oleh antibodi) dan sebagainya. Penurunan
fungsi ginjal, hipertensi, azotemia dan terdapatnya parut ginjal (pyelonephritic scarring) pada
pemeriksaan radiologi menjurus pada ISK atas.

13
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu dirawat
disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah sakit, biasanya
gejala timbul 72 jam pasca penderita dirawat di pelayanan kesehatan tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan minuman,
udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff,
pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana
pelayanan kesehatan
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya
infeksi nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya ini adalah rantai
penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila
satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Penelaahan tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya pencegahan berupa
kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi.

3.2. Saran
Dengan penjelasan mengenai Konsep Infeksi Saluran Kemih (ISK) diharapkan kepada
pembaca untuk dapat memahami tentang Konsep Infeksi Saluran Kemih (ISK) serta Infeksi
Nosokomialnya tersebut, sehingga pembaca dapat memperluas pengetahuan serta dapat
memahami apa saja yang berkaitan dengan hal tersebut, serta bagi mahasiswa dapat
menambah ilmu pengetahuannya mengenai Konsep Infeksi Saluran Kemih (ISK) Infeksi
Nosokomialnya tersebut, dan diharapkan dapat menegakkan asuhan keperawatan yang
professional dan bersungguh-sungguh menjadi perawat yang professional nantinya.

14

Anda mungkin juga menyukai