Makalah Jiwa II Korban Perkosaan PDF
Makalah Jiwa II Korban Perkosaan PDF
OLEH :
SISCA DWI ASRI 010216A050
EVI YUNITA 010216A071
PSIK TRANSFER B SMT III
FAKULTAS SI KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang
menimpa anak-anak dan remaja. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan sebagian besar
menimpa anak-anak dan remaja putri. Kasus pelecehan seksual dan perkosaan dimulai
dari anak-anak yang masih di bawah umur (Anonim, 2006), pelecehan seks di sekolah
(Anonim, 2006), bahkan kepala sekolah yang seharusnya memberi contoh pada murid-
muridnya melakukan pelecehan seksual kepada siswi-siswinya (Anonim,2007), walikota
yang menghamili ABG (Anonim, 2007), hingga personel tentara perdamaian pun
melakukan pelecehan seksual (Anonim, 2006).
Pelecehan seksual pada dasarnya adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki
muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan
tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif,
seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan
kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban (Supardi, S.& Sadarjoen,
2006).
Walaupun sebagian besar korban pelecehan seksual dan perkosaan adalah wanita,
akan tetapi dalam beberapa kasus, laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual
yang umumnya dilakukan oleh laki-laki juga. Pada sebagian besar kasus, perkosaan
dilakukan oleh orang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih,
saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya.
Sedangkan sebagian kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru
dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan,
misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat.
Menurut Sadarjoen dalam tulisannya yang dimuat dalam sebuah situs internet,
pelecehan seksual yang terjadi pada anak, memang tidak sesederhana dampak
psikologisnya. Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada
obyek-obyek atau orang-orang lain (Supardi, S.& Sadarjoen, 2006).
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang
mendalam pada para korbannya. Korban pelecehan seksual dan perkosaan juga dapat
mengalami gangguan stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya.
Gangguan stres yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan seringkali disebut
Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Perkosaan (rape) merupakan bagian dari tindakan kekerasan (violence), sedangkan
kekerasan dapat berupa kekerasan secara fisik, mental, emosional dan hal-hal yang sangat
menakutkan pada korban. Perkosaan adalah suatu penetrasi penembusan penis ke vagina
perempuan yang tidak dikehendaki, tanpa persetujuan dan tindakan itu diikuti dengan pemaksaan
baik fisik maupun mental.
Pengertian pemerkosaan berdasarkan Pasal 381 RUU KUHP :
1. Seorang laki-laki dengan perempuan bersetubuh, bertentangan dengan kehendaknya, tanpa
persetubuhan atau dengan persetubuhan yang dicapai melalui ancaman atau percaya Ia suaminya
atau wanita dibawah 14 tahun dianggap perkosaan.
2. Dalam keadaan ayat (1), memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan,
benda bukan bagian tubuhnya ke dalam vagina atau anus perempuan.
Kalimat korban perkosaan menurut arti leksikal dan gramatikal adalah suatu kejadian,
perbuatan jahat, atau akibat suatu kejadian, atau perbuatan jahat. Perkosaan adalah
Menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, merogol.
(Mendikbud,2010: 525, 757).
D. Batasan Karakteristik
1. Fase akut
a. Respons somatic
Peka rangsang gastrointerstinal (mual, muntah, anoreksia)
Ketidaknyamanan genitourinarius (nyeri, pruritus)
Ketegangan otot-otot rangka (spasme, nyeri).
b. Respons psikologis
Menyangkal
Syok emosional
Marah
Takut – akan mengalami kesepian, atau pemerkosa akan kembali
Rasa bersalah
Panik melihat pemerkosa atau adegan penyerangan
c. Respons seksual
Tidak percaya pada laki-laki
Perubahan dalam perilaku seksual
G. Pengobatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan korban pemerkosaan, yaitu dengan
menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Mulai terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Terapi
dengan anti depresiva pada gangguan stress pasca traumatik ini masih kontroversial. Obat yang
biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok beta – seperti
propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya diresepkan sebagai obat yang
sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang diprogramkan, dengan kekecualian,
yaitu benzodiazepin – contoh, estazolam 0,5 – 1 mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os,
Diazepam (valium) 5 – 10 mg per os, Klonazepam 0,25 – 0,5 mg per os, atau Lorazepam 1- 2 mg
per os atau IM – juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang
gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,
1997).
2. Psikoterapi
Anxiety Management
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu
mengatasi gejala korban pemerkosaan dengan lebih baik melalui :
Relaxation Training
Yaitu belajar untuk mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama.
Breathing retraining
Yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak
baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.
Positive thinking dan self-talk
Yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor).
Assertiveness Training
Yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain.
Thought Stopping
Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress (Anonim, 2005).
Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan
mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan
diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan
pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005).
Exposure therapy
Pada exposure terapi, terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek,
memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak
realistik dalam kehidupan sehari-hari. Terapi ini dapat berjalan dengan dua cara :
Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara detail kenangan-
kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami hambatan untuk menceritakannya.
Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misalnya : kembali ke rumah setelah terjadi
perampokan di rumah). Ketakutan itu akan bertambah kuat jika kita berusaha untuk mengingat
situasi tersebut dibanding berusaha untuk melupakannya. Pengulangan situasi yang disertai
penyadaran yang berulang-ulang akan membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya (Anonim, 2005).
Play therapy
Terapi bermain digunakan untuk menerapi anak-anak dengan trauma. Terapis menggunakan
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat
membantu anak-anak untuk lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005).
Support Group Therapy
Seluruh peserta dalam Support Group Therapy merupakan korban perkosaan, yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Terapi Bicara
Sejumlah studi penelitian membuktikan bahwa terapi berupa saling berbagi cerita mengenai
trauma mampu memperbaiki kondisi kejiwaan penderita. Dengan berbagi pengalaman, korban
bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendamnya selama ini. Bertukar cerita
dengan sesama penderita membuat mereka merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik
dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang dideritanya dan
melawan kecemasan (Anonim, 2005).
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual
(sexual abuse) antara lain :
1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak dapat tidur atau tidur berlebihan,
mimpi buruk, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.
2. Integritas ego
a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena
tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat)
c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang
paling dominan/menonjol)
e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut
(terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola
hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain
3. Eliminasi
a. Enuresisi, enkopresis.
b. Infeksi saluran kemih yang berulang.
c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan
berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .
5. Higiene
a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca (penganiayaan
seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.
b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori
a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas
dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan
kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek
tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang
dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping
terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban
selamat).
f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda
(penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal
2. Nyeri atau ketidaknyamanan
a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual
b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik
kolon, sakit kepala)
3. Keamanan
a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada
bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital,
fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.
c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan
risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari
bahaya di dalam rumah
4. Seksualitas
a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,
permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan
kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual
menganiaya anak lain.
b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.
c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).
5. Interaksi sosial
Menarik diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang
responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan
penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian prestasi di sekolah
rendah atau prestasi di sekolah menurun.
2. Intervensi Keperawatan
a. Harga diri rendah situasional
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
Body Image, disiturbed
Coping, ineffective
Personal identity, disturbed
Health behavior, risk
Self esteem situasional, low
Kriteria Hasil :
Adaptasi terhadap ketunadayaan fisik : respon adaptif klien terhadap
tantangan fungsional penting akibat ketunadayaan fisik
Resolusi berduka : penyesuaian dengan kehilangan aktual atau kehilangan
yang akan terjadi
Penyesuaian psikososial : perubahan hidup : respon psikososial adaptiv
individu terhadap perubahan bermakna dalam hidup
Menunjukkan Penilaian pribadi tentang harga diri
Mengungkapkan penerimaan diri
Komunikasi terbuka
Mengatakan optimisme tentang masa depan
Menggunakan strategi koping efektif
Intervensi Keperawatan
NIC
Self Esteem Enhancement
Tunjukan rasa percaya diri terhadap kemampuan pasien untuk mengatasi
situasi
Dorong pasien mengidentifikasi kekuatan dirinya
Ajarkan keterampilan perilaku yang positif melalui bermain peran, model
peran, diskusi
Dukung peningkatan tanggung jawab diri, jika diperlukan
Buat statement positif terhadap pasien
Monitor frekuensi komunikasi verbal pasien yang negative
Dukung pasien untuk menerima tantangan baru
Kaji alasan-alasan untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri
Kolaborasi dengan sumber-sumber lain (petugas dinas social, perawat
spesialis klinis, dan layanan keagamaan)
Counseling
Menggunakan proses pertolongan interakftif yang berfokus pada
kebutuhan, masalah, atau perasaan pasien dan orang terdekat untuk
meningkatkan atau mendukung koping pemecahan masalah
Coping Enhancement
Body Image enhancement
Intervensi Keperawatan
NIC
Socialization enhacement
Fasilitasi dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman dan komunitas
Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan tujuan
yang sama
Dorong melakukan aktivitas sosial dan komunitas
Berikan uji pembatasan interpersonal
Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam perawatan dan penampilan
diri atau aktivitas lain
Hadapkan pasien pada hambatan penilaian, jika memungkinkan
Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti pergi jalan-jalan dan
bioskop
Fasilitasi pasien yang mempunyai penurunan sensory seperti penggunaan
kacamata dan alat pendengaran
Fasilitasi pasien untuk berpartisipasi dalam diskusi dengan group kecil
Membantu pasien mengembangkan atau meningkatkan keterampilan sosial
interpersonal
Kurangi stigma isolasi dengan menghormati martabat pasien
Gali kekuatan dan kelemahan pasien dalam berinteraksi sosial
c. Gangguan alam perasaan depresi
TUM: klien tidak berisiko mencederai diri
TUK:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat menggunakan koping adaptif
3. Klien terlindungi dari perilaku mencederai diri
4. Klien dapat meningkatkan harga diri
5. Klien dapat menggunakan dukungan sosial
Peran Perawat
1. Pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan :
a. Saya prihatin hal ini terjadi padamu
b. Anda aman disini
c. Saya senang anda hidup
d. Anda tidak bersalah. Anda adalah koban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun
keputusan yang anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda
hidup.
Korban yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus
diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya
dan menyalahkan diri sendiri, dan penyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa
percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri.
2. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa. Pastikan bahwa
pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi, untuk
menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkatkan rasa percaya.
3. Pastikan bahwa pasien memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi
segera pasca-krisis. Cobakan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera
atau mengumpulkan bukti segera. Pasien pasca-trauma sangat rentan. Penambahan orang
dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan
ansietas.
4. Dorong pasien untuk menghitung jumlah serangan. Dengarkan, tapi tidak menyelidiki.
Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa
pasien perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak
lanjut secara legal, dan seorang klinisi sebagai pembela pasien, dapat menolong untuk
mengurangi trauma dari pengumpulan bukti.
5. Diskusikan dengan pasien siapa yang dapat dihubungi untuk memberikan dukungan atau
bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan. Karena ansietas berat dan
rasa takut, pasien mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera
pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (mis.,
psikoterapis, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat.
6. Discharge Planning
Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan
penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain:
a. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi.
b. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer.
c. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya.
d. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka.
e. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada.
f. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera.
g. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer.
h. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk
dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan.
i. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui
mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain.
j. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ketika seseorang mengalami kekerasan atau pelecehan secara seksual baik itu secara fisik
maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan suatu trauma yang sangat
mendalam dalam diri seseorang tersebut terutama pada anak-anak dan remaja. Dan kejadian
traumatis tersebut dapat mengakibatkan gangguan secara mental, yaitu Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Tingkatan gangguan stress pasca trauma berbeda-beda bergantung pada
seberapa parah kejadian tersebut mempengaruhi kondisi psikologis dari korban.
Untuk menyembuhkan gangguan stress pasca trauma pada korban kekerasan atau pelecehan
seksual diperlukan bantuan baik secara medis maupun psikologis, agar korban tidak merasa
tertekan lagi dan bisa hidup secara normal kembali seperti sebelum kejadian trauma. Dan
pendampingan itu sendiri juga harus dengan metode-metode yang benar sehingga dalam
menjalani penyembuhan atau terapi korban tidak mengalami tekanan-tekanan baru yang
diakibatkan dari proses pendampingan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA