Anda di halaman 1dari 46

Perbandingan Karakteristik Batuan Beku Erupsi

Gunung Gamalama dan Gunung Talang

Disusun Oleh : Rizki Nurul Fajri (17229002)

Dosen : Dr. Hamdi, M.Si

Mata Kuliah : Paleo, Rock and Magnetism


PROGRAM STUDI MAGISTER FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang banyak memiliki gunung api, baik

yang aktif maupun yang tidak aktif, di darat atau di laut, lebih dari 30% dari

gunung api yang aktif dunia ada di Indonesia. Gunung api di Indonesia

terbentang dari barat ke timur dari Sumatera, Jawa sampai Laut Banda. Letak

Indonesia yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik menyebabkan Indonesia

memiliki banyak gunung api yang aktif dan potensi gempa bumi yang cukup

tinggi. Cincin Api Pasifik adalah sebuah kawasan aktif dari segi tektonik dan

vulkanik. Gunung api aktif Indonesia dibagi menjadi empat busur gunung api,

yaitu Busur Gunung Api Sunda, Busur Gunung Api Banda, Busur Gunung Api

Halmahera dan Busur Gunung Api Sulawesi Utara-Kepulauan Sangihe (Sutikno,

2002).

Aktivitas erupsi suatu gunung api yang tercatat dalam sejarah memiliki

perbedaan yang terlihat dari komposisi magma dan komposisi gas pada

magmanya. Studi terhadap perbedaan dari setiap sejarah erupsi gunung api

bermanfaat dalam pembelajaran erupsi yang sedang dan yang akan terjadi.

Batuan yang terbentuk dari hasil erupsi suatu gunung api dapat dijadikan sebagai

salah satu referensi dalam mempelajari karakteristik dari erupsi gunung api

Aktivitas gunung api terjadi akibat magma didalam perut bumi yang didorong

keluar karena mempunyai tekanan tinggi. Aktivitas tersebut menghasilkan

material, seperti abu, pasir maupun batuan vulkanik, dimana saat terjadi letusan,

3
abu dan pasir vulkanik disemburkan ke udara dan dapat jatuh pada jarak

mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah karena pengaruh

hembusan angin (Sudaryo dan Sucipto, 2009), sedangkan batuan dapat terjadi

akibat larva yang mengalir kepermukaan bumi lalu mengalami penurunan suhu

dan akan membeku disebut dengan batuan beku.

Studi mengenai batuan beku hasil erupsi dari gunung api pada saat ini

mengalami perkembangan sangat pesat berkat penemuan baru mengenai

ketepatan analisis kimia dengan menggunakan instrumen yang mengalami

penyempurnaan secara terus-menerus. Selain itu studi dari batuan beku dapat

dipakai untuk mempelajari suatu cekungan dan evolusi tatanan tektonik. Dengan

berkembangnya teori tektonik lempeng maka dapat diketahui kondisi dari

masing-masing lingkungan tektonik lempeng yang dicirikan oleh magmatisme

(Hutabarat, 2007).

Gunung Gamalama merupakan salah satu gunung api yang terletak di

busur Pulau Halmahera sebelah timur laut Maluku dengan sejarah letusan yang

tercatat dimulai tahun 1538 sampai tahun 2003. Gunung Gamalama terbentuk

pada daerah tektonik kompleks yang dibangun oleh interaksi antara lempeng

Filipina di utara, lempeng Pasifik di timur, lempeng Eurasia di barat dan

lempeng Indo-Australia di selatan. Lava dari Gunung Gamalama pada umumnya

bersifat basaltis andesit (Mawardi dkk., 1991). Hasil erupsi dari Gunung

Gamalama pada tahun 1907 yang berlokasi di lereng sebelah timur menghasilkan

lelehan lava yang kemudian dikenal sebagai batu angus.

4
Sumatera Barat memiliki beberapa gunung api yang memiliki

karakteristik yang berbeda dengan Gunung Gamalama, salah satunya adalah

Gunung Talang. Gunung Talang disebut juga dengan Gunung Soelasih yang

memiliki bentuk strato (berlapis) dan dibangun oleh perulangan batuan lava dan

batuan piroklastika. Gunung Talang merupakan suatu komplek gunung api yang

terdiri dari kerucut Gunung Batino dan kerucut Gunung Jantan yang tumbuh di

zona bagian tengah Sesar Semangko yang aktif (Munandar, 1995). Sejarah

letusan dari Gunung Talang memiliki periode yang relatif panjang, dengan

interval terpendek 2 tahun dan terpanjang 40 tahun dan letusannya yang bersifat

magmatis.

Di Indonesia telah dilakukan penelitian mengenai batuan hasil erupsi

dari beberapa gunung api yang aktif. Dirk (2008) telah melakukan penelitian

geokimia dari Gunung Api Tampomas menyimpulkan bahwa batuan dari gunung

tersebut tergolong ke dalam seri kalium rendah (low-K series), kalk-alkali dan

kalk-alkali kalium tinggi (high-K) kelompok basal, andesit basal dan andesit

dengan kandungan SiO2=48,59%–60,49% dan K2O dari 0,31%–1,67%. Jahidin

(2010) telah melakukan penelitian di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12

sampel dari situs batuan beku, yaitu Watu Adeg, Gunung Suru, Purwoharjo,

Gunung Skopiah, Gunung Ijo, Parangtritis, Kali Widoro, Kali Songgo, Kali

Buko, Gunung Pawon, Parangtritis B dan Tegal Rejo. Berdasarkan penelitian

tersebut diketahui batuan penyusunnya terdiri dari batuan andesit, andesit

kuarsa, trakit andesit, basal theoletik, dan trakiandesit basaltik. Manullang dkk.

(2015) telah melakukan penelitian batuan lava Gunung Barujari dan Gunung

5
Rombongan. Dari penelitian tersebut diketahui batuan penyusun dari dua gunung

tersebut merupakan batuan beku porfiri basal dan porfiri andesit. Untuk

kandungan, struktur kristal dan morfologi partikel batuan Gunung Gamalama

(batu angus) telah pernah diuji dengan menggunakan XRD, SEM dan XRF

(Baqiya dkk., 2017). Berdasarkan data XRD diketahui bahwa batu angus

mengandung 20% fasa magnetik dan didominasi oleh fasa silika. Pada XRF

menunjukan bahwa batu angus mengandung beberapa unsur, yaitu Fe, Si, Ca, Al,

K, Ti. Dari semua unsur yang terkandung di dalamnya, besi (Fe) merupakan

unsur yang memiliki persentase yang paling tinggi yaitu 35%. Hasil uji sampel

menggunakan SEM menunjukan bentuk permukaan partikel batu angus

berbentuk pipih.

Adanya perbedaan dari batuan hasil erupsi gunung-gunung api aktif di

Indonesia memperlihatkan bahwa gunung api di Indonesia memiliki karakteristik

yang berbeda. Untuk melihat perbedaan tersebut maka pada makalah ini akan di

jelaskan karakterisasi terhadap batuan hasil erupsi Gunung Gamalama (batu

angus) dan batuan hasil erupsi Gunung Talang, identifikasi kandungan mineral,

komposisi kimia penyusun batuan, struktur kristal, ukuran kristal, jenis magma

pembentuk batuan, daerah terbentuknya batuan serta pengelompokan dari kedua

jenis batuan tersebut

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah,

sebagai berikut:

6
1. Bagaimana preparasi sampel dan karakterisasi dengan XRD dan XRF?

2. Apa jenis unsur yang terdapat pada batuan Gunung Gamalama dan

Gunung Talang?

3. Apa jenis mineral magnetik yang terdapat pada batuan Gunung Gamalama

dan Gunung Talang?

4. Bagaimana karakteristik magnetik dari batuan Gunung Gamalama dan

Gunung Talang?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Menentukan preparasi sampel dan karakterisasi dengan XRD dan XRF

2. Menentukan jenis unsur yang terdapat pada batuan Gunung Gamalama dan

Gunung Talang

3. Menentukan jenis mineral magnetik yang terdapat pada Gunung

Gamalama dan Gunung Talang

4. Menentukan karakteristik magnetik batuan Gunung Gamalama dan

Gunung Talang

7
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Karakteristik Sifat Magnetik Pada Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah bahan yang terpengaruh oleh medan

magnet berupa penyerahan dipol-dipol magnetik pada bahan. Bahan

magnet menunjukkan prilaku yang berbeda-beda dalam kehadiran medan

magnet, yaitu perubahan medan magnet itu sendiri, atau melalui gaya yang

dialami sampel akibat distribusi medan magnet (Gignoux D. & Schlenker

M, 2005). Sifat kemagnetan pada suatu bahan bersumber dari pergerakan

elektron dari atom. Terdapat dua jenis pergerakan elektron yaitu gerak

orbital disekitar inti atom dan gerak spin disekitar sumbunya. Masing-

masing jenis pergerakan tersebut mempunyai momen magnetik. Momen

magnetik suatu atom merupakan penjumlahan secara vektor dari momen

magnetik semua elektron dalam atom tersebut. Jika momen magnetik dari

elektron-elektron tersebut berorientasi sehingga momen magnetiknya saling

menghilangkan, maka atom tersebut secara keseluruhan tidak memiliki

momen magnetik.

Sementara itu, jika keadaan saling menghilangkan momen

magnetik tersebut hanya sebagian, maka atom tersebut mempunyai momen

magnetik. Kondisi tersebut memunculkan sifat magnetik yang berbeda

pada suatu bahan. Berdasarkan prilaku molekulnya di dalam medan

8
magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu: diamagnetik,

paramagnetik, feromagnetik, antiferromagnetik dan ferrimagnetik.

1. Diamagnetik

Diamagnetik merupakan mineral alam yang tidak mempunyai

momen magnetik, sehingga kemagnetannya sangat lemah. Atom-atom

bahan diamagnetik mempunyai kulit elektron terisi penuh. Setiap elektron

berpasangan dan mempunyai spin yang berlawanan dalam tiap pasangan,

sehingga tidak mempunyai momen magnet. Jika ada medan magnet dari

luar yang menginduksi bahan itu, maka elektron tersebut akan berputar dan

menghasilkan medan magnet lemah yang melawan medan penginduksinya

seperti yang disebutkan dalam Hukum Lenz. Oleh karena itu, bahan

diamagnetik mempunyai suseptibilitas negatif dan tidak bergantung pada

medan H.

Gambar 1. Bentuk magnetisasi bahan diamagnetik (Jiles, 2005).

Pada gambar 1 menunjukkan bahwa sebelum bahan magnetik

dikenakan medan luar (H = 0), arah momen magnetiknya bersifat acak.

Jika bahan magnetik tersebut diberikan medan luar (H # 0), yang ditandai

9
dengan tanda panah berwarna hitam maka arah momen magnetiknya

(panah putih) melawan arah medan luar yang diberikan. Tetapi setelah

medan luar dihilangkan maka momen magnetiknya akan kembali acak.

Gambar 2. Kurva histerisis untuk bahan diamagnetik ( Jiles, 1996).

Gambar 2 menunjukkan nilai suseptibilitas pada bahan

diamagnetik kecil dan bernilai negatif, yaitu sekitar -1 x 10-5 dalam

satuan internasional (SI) (Jiles, 1996). Pada temperatur konstan dan

medan magnet yang lemah, nilai suseptibilitas akan bernilai konstan.

Kondisi ini disebut keadaan linear, yaitu H berbanding lurus terhadap M.

Bahan diamagnetik seperti bismuth, gipsum, marmer, kuarsa, emas,

tembaga, seng dan garam.

2. Paramagnetik

Paramagnetik terdapat dalam suatu bahan yang memiliki kulit

elektron terluar yang belum penuh yakni ada elektron yang spinnya tidak

berpasangan, sehingga jika terdapat medan luar, spin tersebut akan

10
berputar dan menghasilkan medan magnet yang mengarah searah medan

magnet luar.

Gambar 3. Bentuk magnetisasi pada bahan paramagnetik (Jiles, 2005).

Gambar 4. Kurva histerisis untuk bahan paramagnetik (Jiles, 1996).

Gambar 4 menunjukkan nilai suseptibilitas pada bahan

paramagnetik bernilai positif dan sangat kecil yaitu berkisar antara 1 x

10-5 dan 1 x 10-3 (SI). Seperti halnya mineral diamagnetik, suseptibilitas

magnetik pada mineral paramagnetik konstan pada temperatur konstan

dan pada medan induksi yang rendah, sehingga pada tempetarur tertentu

dan di dalam medan magnet yang rendah, M berbanding lurus terhadap

11
H. Contoh bahan paramagnetik adalah piroksen, olovin, garnet, amfibolit,

aluminium, magnesium dan biotit.

12
4. Ferromagnetik

Pada bahan ferromagnetik terdapat banyak kulit elektron yang

hanya diisi oleh satu elektron sehingga mudah terinduksi oleh medan

luar.

Gambar 5. Bentuk magnetisasi pada bahan ferromagnetik (Jiles, 2005).

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada saat bahan ferromagnetik

dikenakan medan luar (H # 0), ditandai dengan tanda panah berwarna

hitam, arah momen magnetiknya searah dengan arah medan luar. Pada

saat medan luar dihilangkan (H = 0), maka arah momen magnetiknya

tetap sejajar dengan medan luar dan bahan ferromagnetik termagnetisasi

dengan baik, sehingga bahan ferromagnetik menjadi sangat kuat.

Gambar 6. Kurva histerisis untuk bahan ferromagnetik (Jiles,

1996).

13
Gambar 6 nilai suseptibilitas bahan ferromagnetik sangat besar,

berbeda dengan nilai suseptibilitas pada bahan diamagnetik dan

paramagnetik. Oleh karena itu, ferromagnetik dicirikan dengan bahan

yang memiliki nilai suseptibilitas magnetik positif dan besar ( χm = 50

sampai 10000). Tidak seperti bahan diamagnetik dan paramagnetik,

bahan ferromagnetik tidak memiliki nilai suseptibilitas yang konstan,

tetapi besar nilai suseptibilitasnya bervariasi sesuai dengan medan

magnet yang mempengaruhinya. Sifat magnet yang kuat dari bahan ini

mampu menghasilkan magnetisasi meskipun medan luar dihilangkan

(Dunlop dan Ozdemir, 1997).

Sifat kemagnetan pada bahan ferromagnetik akan hilang pada

temperatur Currie. Temperatur tersebut tergantung pada bahan, akan

tetapi nilai berorde sekitar 1000 K. Temperatur Currie untuk Co, Fe, Ni

masing-masing adalah 1388 K, 1043 K, dan 627 K (Kittel, 1993). Contoh

bahan ferromagnetik: besi, baja, nikel, dan kobalt (Hunt, 1991). Diatas

temperatur Currie momen dipol berorientasi secara acak sehingga

magnetisasinya nol. Pada daerah ini material berubah menjadi bersifat

paramagnetik. Nilai magnetisasi bergantung pada besar medan magnet

luar yang diberikan

4. Antiferromagnetik

Pada bahan antiferomagnetik memiliki sub-domain paralel dan

antiparalel, namun momen magnetiknya identik dengan nilai magnetisasi

14
spontan nol (Thompson dan Oldfield, 1986). Bahan antiferromagnetik,

yaitu bahan yang mempunyai suseptibilitas positif yang kecil pada segala

suhu dengan perubahan susseptibilitas bergantung suhu karena keadaan

khusus. Pada umumnya keteraturan antiferromagnetik berada pada suhu

yang cukup rendah kemudian menghilang diatas suhu tertentu. Suhu Neel

adalah suhu yang menandai berubahan sifat magnet dari antiferromagnetik

ke paramagnetik.

Gambar 7. Suseptibilitas (χ) tergantung pada temperatur (T) untuk bahan


antiferromagnetik (Chung, 2007)

5. Ferrimagnetik

Ferrimagnetik sangat mirip dengan ferromagnetik dan sangat sulit

membedakan antara kedua sifat tersebut bahkan dengan menggunakan

teknik pengukuran magnetik. Bahan ferrimagnetik membawa remanen

magnetik di bawah suhu kritis, yang disebut suhu Curie atau Neel, dan

seperti ferromagnetik akan bersifat paramagnetik di atas suhu ini

(Thompson dan Oldfield, 1986).

15
Gambar 8. Perbedaan struktur momen magnetik dari ferromagnetik,
antiferromagnetik dan ferrimagnetik (Dunlop dan Ozdemir,
1997).

Bahan ferrimagnetik memiliki nilai suseptibilitas tinggi tetapi lebih

rendah dari bahan feromagnetik. Beberapa contoh dari bahan ferimagnetik

yaitu ferriete dan magnetite. Pada gambar 8 menunjukkan perbedaan

momen magnetik pada bahan ferromagnetik, antiferromagnetik dan

ferrimagnetik.

2.2 Mineral Magnetik

Mineral adalah senyawa alami yang terbentuk melalui proses

geologis. Menurut Noor (2012:3) mineral merupakan bahan padat anorganik

yang terdapat secara alamiah, yang terdiri dari unsur-unsur kimiawi dalam

jumlah tertentu, dimana atom-atom di dalamnya tersusun mengikuti suatu

pola yang sistematis. Beberapa batuan terbentuk dari berbagai jenis mineral

yang ada. Mineral juga dapat ditemukan pada tanah ataupun pasir. Menurut

Ibrahim (2012:23) mineral sebagai penyusun utama batuan memiliki

karakteristik yang khas dari bentuk kristal dan susunan kimianya. Semakin

kompleks susunan kimianya maka bentuk kristal yang dihasilkan dari

konfigurasi atom-atom penyusunnya juga semakin rumit. Kandungan

16
senyawa kimia suatu mineral sangat ditentukan oleh materi penyusunnya dan

proses pembentukannya.

Mineral memiliki sifat bahan magnetik yaitu diamagnetik,

paramagnetik, ferromagnetik, antiferromagnetik, dan ferrimagnteik. Dari

beberapa sifat bahan magnetik hanya untuk mineral tergolong ferromagnetik

yang disebut sebagai mineral magnetik (Bijaksana, 2002). Beberapa mineral

magnetik yang tergolong dalam oksida titanium besi yaitu magnetite (Fe3O4),

hematite (αFe2O3) dan maghemite (γFe2O3). Mineral-mineral magnetik dari

keluarga sulfida besi yaitu greigite (Fe3S4) dan phyrhotite (Fe7S8), sedangkan

yang tergolong dalam hidroksida besi adalah geothite (αFeOOH).

Keberadaan mineral-mineral magnetik di alam jarang yang dalam keadaan

berdiri sendiri tetapi sebagian besar keberadaannya berasosiasi dengan

mineral lain, salah satunya berasosiasi dengan titanium. Hubungan antara

mineral-mineral di atas dapat dilihat melalui diagram segitiga (ternary

diagram) pada gambar 9. Diagram ini merupakan solid solution series yang

memberikan gambaran bagaimana proses terbentuknya oksida besi-titanium

serta komposisi kimia mineral oksida dengan anggota masing-masing sudut

terdiri dari TiO2, FeO dan Fe203. Pada diagram segitiga ini ada dua kelompok

oksida besi titanium utama, yaitu kelompok titanomagnetite dan kelompok

titanohematite. Banyaknya jumlah titanium yang disubstitusi dalam

magnetite ditandai dengan variabel x (Fe3-xTix O4), sedangkan titanium yang

disubstitusi ke hematite ditandai dengan variabel y (Fe2-yTiyO3)

Titanomagnetite merupakan mineral kubus dengan struktur inverse spinel

17
dan titanohematite dicirikan dengan simetri rhombohedra1 (Dunlop dan

Ozdemir, 1997; Evans dan Heller, 2003). Kedua mineral ini mempunyai

komposisi yang sama tapi berbeda struktur, sebagai contoh maghemite dan

hematite, menempati posisi yang sama dalam diagram segitiga pada gambar

9.

Gambar 9. Diagram ternary TiO2-FeO-Fe2O3 (Butler, 1998).

Diagram di atas merupakan proses terbentuknya oksida besi-titanium

serta komposisi kimia mineral oksida dengan sudut terdiri dari TiO2, FeO dan

Fe2O3. Posisi dari kiri ke kanan menunjukkan peningkatan rasio besi Fe3+ dan

rasio besi Fe2+. Posisi dari bawah ke atas mengindikasikan peningkatan

konten Ti4+ terhadap besi. Pada puncak segitiga hanya ditemukan Ti4+ saja,

pada ujung sebelah kiri terdapat ferrous oxide (FeO) dengan bilangan

oksidasi yaitu Fe2+, sementara pada ujung sebelah kanan terdapat ferric oxide

(Fe2O3) dengan bilangan oksida Fe3+. Keluarga oksida titanium besi

18
mempunyai kecenderungan mengikuti deret-deret tertentu dalam bentuk deret

titanomagnetite dan deret titanohematite (Butler, 1998).

a. Magnetite (Fe3O4)

Magnetite merupakan salah satu mineral magnetik yang dapat

dijumpai pada batuan beku, sedimen dan metamorf. Magnetite dapat

merekam NRM yang stabil dan merupkan mineral magnetik yang kuat

(Buttler, 1998). Magnetite memiliki bentuk kubus, berwarna hitam gelap

dengan permukaan kebiru-biruan. Batuannya sangat berat dan keras,

tidak terbelah, tidak tembus cahaya dan menunjukkan kilauan logam.

Magnetite bersifat ferimagnetik dengan temperatur Curie 580 oC dan

magnetisasi 90Am2/kg sampai 93 Am2/kg. Jenis magnetite dapat dilihat

dari butiran yang berupa oksida besi (Butler, 1998).

b. Hematite (αFe2O3)

Hematite tersebar luas di sekitar alam terutam pada tanah dan

sedimen. Mineral hematite bersifat ferromagnetk dengan magnetisasi 2.5

Am2/kg dan temperatur Curie 675 oC (Evan dan Heller, 2003). Hematite

memiliki sifat tidak tembus cahaya, mempunyai lapisan merah gelap dan

dapat meleleh apabila dipanaskan dalam larutan asam hidrolik. Pada

umumnya hematite berbentuk masif, massaya berisi butir-butiran,

permukaannya berwarna-warni dan warna batuannya merah kecoklatan.

c. Maghemite (γFe2O3)

Mineral maghemite diidentikkan memiliki rumus kimia yang

sama dengan hematite karena kedua jenis mineral ini mirip dan terletak

19
di posisi yang sama pada diagram terniary, namun tidak memiliki bentuk

magnetik atau susunan kristal yang sama. Maghemite teroksidasi penuh

dari magnetite, mempunyai struktur kristal kubus dan banyak ditemukan

pada tanah. Temperatur Curie sekitar 645 oC dan magnetisasi spontan

berkurang dari 480 kA/m ke 380 kA/m sehingga merupakan mineral

tidak stabil (Evans dan Heller, 2003).

d. Ilmenite (FeTiO2)

Ilmenite merupakan mineral magnetik yang bersifat anisotropi

dengan mempunyai sifat fisik yang berbeda-beda jika dilihat pada semua

keadaan. Ilmenite pada umumnya tersebar banyak pada batuan dan pasir

dan memiliki bentuk kristal yang sama dengan hematite yaitu berbentk

heksagonal.

e. Greigite (Fe3S4)

Greigite merupakan mineral sulfida besi yang ekivalen dengan

magnetite. Mineral ini memiliki struktur mineral kubus bersifat

ferrimagnetik kuat seta memiliki magnetisasi spontan 125 kA dan

temperatur Curie 330 oC (Evans dan Heller, 2003). Greigite pada

umumnya dapat ditemukan dalam sedimen lacustrine dan marine.

f. Geothite (αFeOOH)

Mineral geothite memiliki struktur mineral heksagonal dan

bersifat antiferromagnetik. Geothite atau iron oxyhydroxide memiliki

magnetisasi spontan dengan nilai jauh lebih kecil dari magnetite yaitu

sekitar 2 kA/m dan temperatu Curie 120 oC (Evans dan Heller, 2003).

20
Pada umumnya mineral geothite banyak ditemukan pada tanah dan

sedimen.

2.3 Kemagnetan Lingkungan

Pembahasan mengenai iklim-purba (paleoclimate), magnetik-purba

(paleomagnetic), dan lingkungan-purba (paleoenvironment) merupakan

peristiwa perubahan lingkungan yang dapat terekam pada batuan, tanah,

sedimen, debu dan organisme hidup. Pada umumnya sedimen mengandung

mineral-mineral sulfida besi (iron sulphide), oksida besi (iron oxide),

oksihidroksida besi (iron oxyhydroxide) dan mangan besi (iron manganese)

walaupun dalam jumlah yang sedikit sekali (Toni, 1995; Schon, 1996).

Mineral-mineral magnetik ini merupakan pembawa magnetisasi remanen

yang stabil dan dapat merekam medan magnetik bumi (geomagnetic).

Stabil tidaknya magnetisasi pada suatu batuan sangat tergantung

pada jenis mineral dan ukurannya. Dahulu, hanya mineral magnetite dan

maghemite yang dikaji secara luas, khususnya dalam bidang

paleomagnetisme, karena keduanya pembawa magnetisasi yang stabil.

Namun demikian, akhir-akhir ini kajian yang mendalam juga dilakukan pada

mineral-mineral magnetik karena informasi tentang fasa dan kelimpahannya

(abundance) dapat digunakan sebagai indikator masalah-masalah lingkungan

(Bijaksana, 2002).

Dari segi kuantitas, kelimpahan mineral magnetik pada batuan dan

tanah sangat kecil. Umumnya, kuantitas mineral magnetik hanya sekitar

21
0,1% dari massa total batuan atau tanah. Namun demikian, sifat magnetik

batuan terkadang cukup rumit karena batuan atau tanah dapat mempuyai

beberapa jenis mineral magnetik secara sekaligus. Kerumitan juga bertambah

karena sifat dari suatu mineral magnetik juga dipengaruhi oleh bentuk dan

ukuran dari bulir-bulir (grains) mineral tersebut, aspek bentuk dan ukuran

bulir disebut dengan istilah granulometri. Misalnya, bentuk mineral magnetik

akan berpengaruh terhadap medan demagnetisasi pada mineral tersebut.

Singkat kata, bulir berbentuk lonjong akan mempunyai sifat- sifat yang

berbeda dengan bulir berbentuk bola. Di lain pihak, bentuk mineral magnetik

sangat dipengaruhi oleh proses genesa dari mineral tersebut (Bijaksana,

2002).

Melalui serangkaian metode magnetik dan non magnetik, mineralogi

dan granulometri dari mineral magnetik batuan dapat dianalisis dan dikaitkan

dengan masalah lingkungan maupun arkeologi yang ingin dipecahkan

menggunakan metode magnetik.

Tabel 2. Sifat magnetik dari sejumlah batuan dan mineral magnetik


(Hunt dkk., 1995)
Suseptibilitas
Mineral Rumus Kimia Densitas Volume k Mass χ
(103kg m-3) (10-6 SI) (10-8 m3 kg-1)
Hematit Fe2O3 5,26 500-400.000 10-760
Maghemit αFe2O3 4,9 2.000.000-2.500.000 40.000-50.000
Ilmenit FeTiO3 4,72 2.200-3.800.00 46-80.000
Magnetit Fe3O4 5,18 1.000.000-5.700.000 20.000-
1
1
0
0
0

22
0
0
Titanomagnetit Fe3-xTixO4 4,98 130.000-620.000 2.500-12.000
Titanomaghemit Fe(3-x)RTixRO3 4,99 2.800.000 57.000
Ulvospinel Fe2TiO4 4,78 4.800 100
Parameter magnetik telah digunakan: a) untuk menentukan sumber

sedimen danau dan memperkirakan dampak dari aktivitas antropogenik

yang terjadi (Dearing, dkk. 1999), b) untuk mengungkapkan sumber

sedimen danau secara keseluruhan berasal dari tanah longsor, letusan

gunung berapi, dll (Dearing, dkk. 2001), c) sebagai proksi perubahan

lingkungan, pada Danau Simarua Pulau Siberut Sumetera Barat (Hamdi,

2006), d) untuk membedakan berbagai jenis mineral magnetik dari sedimen

danau (Oldfield, dkk. 1979), e) untuk mengidentifikasi mineral magnetik

pada sedimen waduk Selorejo berdasarkan suseptibilitas magnetik, X-Ray

Flluorescence dan Scanning Electron Microscope (Eka, dkk. 2015).

2.4 X-Ray difraction (XRD)

a. Pengertian

XRD merupakan metode karakterisasi lapisan yang

digunakan untuk mengetahui senyawa kristal yang terbentuk. Sinar

X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun

1895. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-X.

Sinar-X digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak pada

material maupun manusia. Disamping itu, sinar X dapat juga

digunakan untuk menghasilkan pola difraksi tertentu yang dapat

digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif material.

23
Gambar 10. X-Ray Diffraction

Pada saat material dikenai sinar X, maka intensitas sinar yang

ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini

disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan

oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang

dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya

berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama.

Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai

berkas difraksi.

Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang

persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar X yang

dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Sinar X dihasilkan

dari tumbukan antara elektron kecepatan tinggi dengan logam target.

Dari prinsip dasar ini, maka dibuatlah berbagai jenis alat yang

memanfaatkan prinsip dari Hukum Bragg ini.

24
XRD atau X-Ray Diffraction merupakan salah satu alat yang

memanfaatkan prinsip tersebut dengan menggunakan metoda

karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan

hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa

kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur

kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Bahan yang dianalisa

adalah tanah halus, homogenized, dan rata-rata komposisi massal

ditentukan. Teknik XRD dapat digunakan untuk analisis struktur

kristal karena setiap unsur atau senyawa memiliki pola tertentu.

Karakterisasi menggunakan XRD bertujuan untuk menentukan sistem

kristal. Metode difraksi sinar-X dapat menerangkan parameter kisi,

jenis struktur, susunan atom yang berbeda pada kristal, adanya ketidak

sempurnaan pada kristal, orientasi, butir-butir dan ukuran butir

(Smallman, 2000).

b. Prinsip Kerja

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X

terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam

sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa

tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Dasar dari

penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi kristal adalah

berdasarkan persamaan Bragg:

n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,... (1)

25
Dimana:

d = jarak antar bidang kisi (Ǻ)

θ = sudut difraksi

λ = Panjang gelombang (Ǻ)

n = orde (1,2,3,.........n)

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di

jatuhkan pada sampel kristal,maka bidang kristal itu akan membiaskan

sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar

kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh

detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi.

Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin

kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang

muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki

orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang

didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan

standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini

disebut JCPDS. (Dina Ratnasari, dkk, 2009).

26
Gambar 11. Prinsip kerja X-Ray Diffraction

Prinsip kerja XRD secara umum adalah sebagai berikut: XRD

terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat objek

yang diteliti, dan detektor sinar-X. Sinar-X dihasilkan ditabung

sinar-X yang berisi katoda memanaskan filamen, sehingga

menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan

elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat

energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek sehingga

dihasilkan pancaran sinar-X. Objek dan detektor berputar untuk

menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor

merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam

bentuk grafik.

Berdasarkan metode ini makin kecil ukuran kristalin maka

makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan. Kristal yang berukuran

besar dengan satu orientasi menghasilkan puncak difraksi yang

mendekati sebuah garis vertikal. Kristalin yang sangat kecil

27
menghasilkan puncak difraksi yang sangat lebar. Lebar puncak difraksi

tersebut memberikan informasi tentang ukuran kristalin.

Kristalin yang kecil menghasilkan puncak yang lebar

disebabkan karena kristalin yang kecil memiliki bidang pantul sinar-X

yang terbatas. Puncak difraksi dihasilkan oleh interferensi secara

konstruktif gelombang yang dipantulkan oleh bidang-bidang kristal.

Pada proses interferensi makin banyak jumlah interferensi maka makin

sempit ukuran garis frinji pada layar. Interferensi celah banyak dengan

jumlah celah tak berhingga menghasilkan frinji yang sangat terang.

Jumlah celah yang sangat banyak identik dengan kristalin yang

berukuran besar. Karena difraksi sinar-X pada dasarnya adalah

interferensi oleh sejumlah sumber maka kita dapat memprediksi

hubungan antara lebar puncak difraksi dengan ukuran kristal

berdasarkan perumusan interferensi celah banyak (Abdullah dan

Khairurrijal, 2010). Berdasarkan ukuran kristalin dan lebar puncak

yang dihasilkan maka dapat diketahui jenis mineral magnetik pada

sampel.

2.5 X-Ray Fluorescence (XRF)

X-Ray Fluorescence (XRF) adalah salah satu metode yang

digunakan untuk mengetahui komposisi secara kimia pada suatu mineral

baik berupa bubuk, tanah, cairan maupun bentuk lainnya (Brouwer,

28
2006). Metode XRF merupakan metode yang cepat karena hanya

membutuhkan sedikit dari preparasi sampel. Selain itu metode XRF

bersifat akurat dan tidak merusak. Aplikasi yang dapat diukur dapat

berupa logam, semen, minyak, bahan makanan, farmasi, polimer dan

analisis yang berhubungan dengan lingkungan. Identifikasi dengan

metode XRF menggunakan teknik difraksi sinar-X

Sinar-X yang dihasilkan dari perpindahan elektron dilewatkan

melalui kolimator untuk menghasilkan berkas sinar yang koheren. Sinar-

X tersebut kemudian didifraksikan oleh sebuah kisi kristal dimana nilai d

sebelumnya telah diketahui untuk mengetahui nilai sudut dari sinar-X

dimana nilai dari panjang gelombangnya juga telah diketahui dengan

menggunakan persamaan Bragg. Persamaan Bragg ini sebagai berikut

𝑛 𝜆 = 2𝑑 sin 𝜃 (2)

Keterangan :

λ = panjang gelombang

d= jarak antara dua kisi

θ = sudut sinar datang dengan bidang pantul

n= orde pembiasan (n = 1,2,3,...)

Sinar-X yang didifraksikan hanyalah sinar-X dengan panjang

gelombang tertentu saja. Kristal dan detektor dapat diatur hingga

mendapatkan panjang gelombang yang diinginkan.

29
Gambar 12. Proses hamburan sinar-X pada permukaan kristal
(Bouwer, 2006)

Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan

dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom,

pada arah tertentu gelombang hambur itu akan berinterferensi (Beiser,

1987). Interferensi konstruktif terlihat pada gambar 13.

Suatu berkas sinar-X dengan panjang gelombang λ jatuh pada

kristal dengan sudut θ terhadap bidang Bragg yang memiliki jarak d. Beda

jarak jalan sinar harus bernilai n λ. Perbedaan hamburan kedua sinar itu

adalah 2d sin θ yang mana perbedaan didapat d sin θ jarak dari titik C ke

titik B dan jarak dari titik B ke titik D.

Transisi elektron pada suatu atom menimbulkan spektrum sinar-X

diskrit. Transisi ini mengakibatkan tersangkutnya foton berenergi tinggi.

Saat elektron berenergi tinggi menumbuk atom dan melepaskan sebuah

elektron kulit K, sebagian besar dari eksitasinya dalam bentuk foton sinar-

X. Hal ini dapat terjadi apabila sebuah elektron pada kulit luar jatuh ke

dalam lubang pada kulit K (Beiser, 1987)

30
Gambar 13. Pelepasan elektron (Brouwer, 2006)

Sinar-X dari tabung pembangkit sinar-X ditembakkan terhadap

sampel untuk mengeluarkan elektron dari kulit bagian terdalam.

Pelepasan elektron dari kulit terdalam akan menghasilkan sinar-X baru.

Karakterisitik dari intensitas sinar-X yang dihasilkan dibandingkan

dengan standar yang diketahui konsentrasinya. Sehingga perbandingan

tersebut dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi unsur dalam

sampel tersebut. Hasil keluaran unsur yang diperoleh dari metode XRF

dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14. Hasil keluaran unsur dari metode XRF

31
Berdasarkan cara analisisnya, metode XRF memiliki dua jenis

spektrometer yaitu :

a. Energy Dispersive System (EDXRF)

Spektrometer jenis EDXRF memiliki detektor yang dapat

mengukur energi yang berbeda dari radiasi karakteristik yang datang

secara langsung dari sampel. Detektor tersebut dapat memisahkan

radiasi dari sampel menjadi unsur-unsur yang terdapat di dalam

sampel dan disebut sebagai dispersi. Range elemental dari EDXRF

mulai dari Sodium sampai Uranium yaitu pada range 1-4 eV dan

menghasilkan energi sinar-X yang rendah.

b. Wavelength Disperisve System (WDXRF)

Spektrometer ini menggunakan menggunakan analisis kristal

untuk membubarkan energi yang berbeda. Kristal berperan sebagai

pendifraksi energi yang berbeda dalam arah yang berbeda. Prinsip

kerja spektrometer ini mirip dengan prisma yang dapat menyebarkan

warna yang berbeda pada arah yang berbeda. WDXRF memiliki

range elemental yang lebih luas dibandingkan dengan EDXRF yaitu

mulai dari Berilium sampai Uranium. Unsur dengan nomor atom

tinggi memiliki batas deteksi yang lebih baik dibandingkan dengan

unsur yang memiliki nomor atom yang lebih kecil.

Tabel 3. Perbedaan pengukuran menggunakan EDXRF dan WDXRF

Spesifikasi EDXRF WDXRF


Range unsur Na..U (Sodium..Uranium) Be..U (Berilium.. Uranium)
Batas deteksi Kurang optimal untuk Baik untuk unsur Be dan

32
unsur cahaya, semua unsur yang lebih berat
Baik untuk unsur berat
Kurang optimal untuk
unsur cahaya, Baik untuk unsur cahaya,
Kepekaan Baik untuk unsur berat Baik untuk unsur berat
Kurang optimal untuk Baik untuk unsur cahaya,
unsur cahaya, Kurang optimal untuk unsur
Resolusi Baik untuk unsur berat berat
Biaya Relatif murah Relatif mahal
Konsumsi 5-1000 W 200-4000 W
Pengukuran Serentak Berurutan/simultan
Perpindahan
Kritis Tidak ada Kristal, Goniometer
(Sumber : Brouwer, 2006)

2.6 Batuan Beku

Pada dasarnya batuan beku disusun oleh enam kelompok mineral

seperti olivin, piroksin, ampibol, mika, feldspar dan kuarsa. Pada batuan

beku unsur penyusunnya antara lain Si, Al, Ca, Na, K, Fe, Mg dan O2.

Flint (1997) menyatakan bahwa komposisi magma hasil analisis kimia

menunjukan kisaran 45% sampai 75% SiO2. Untuk lava yang komposisi

SiO2-nya rendah dari 30% dan tinggi dari 80% sangat sedikit ditemui,

namun variasi tersebut dapat terbentuk bila magma terasimilasi oleh

fragmen batuan sedimen dan batuan malihan atau ketika diferensiasi

magma, sehingga menyebabkan komposisi magma berubah. Batuan

dengan kandungan SiO2 sekitar 50% membentuk batuan basal dan

gabro. Batuan dengan kandungan SiO2 sekitar 60% membentuk batuan

beku andesit dan diorit. Batuan dengan kandungan SiO2 sekitar 70%

membentuk batuan riolit dan granit. Peccerillo dan Taylor (1976)

33
mengelompokan magma berdasarkan kandungan SiO2 dan komposisi

antara SiO2 dengan K2O.

Pengelompokan ini menunjukan adanya afinitas magma K rendah

(low-K series) atau sering disebut tholeiite, K menengah rendah (calc-

alkaline series), K menengah tinggi (high-K calc alkaline series) dan K

tinggi (shoshonite series). Peccerillo dan Taylor (1976) juga

mengelompokan jenis magma berdasarkan kandungan SiO2-nya, yaitu

magma yang mengandung SiO2 > 63% dikategorikan magma yang

bersifat asam, magma dengan kandungan SiO2-nya pada interval 53%-

63% tergolong magma menengah (intermediet) dan magma yang

kandungan SiO2<53% tergolong magma basa. Dengan menggunakan

data geokimia dari batuan gunung api kedalaman dari tempat magma

asal tempat batuan terbentuk dapat diperkirakan dengan menggunakan

persamaan Hutchison (1983) dengan menggunakan data persentase SiO2

dan K2O. Untuk kedalaman magma (h) ditentukan dengan persamaan

berikut:

h  [320  (3,65  SiO 2 %)]  (25,52  K 2 O%) (3)

Untuk ukuran kristal (D) ditentukan dengan

menggunakan persamaan Scherrer:

34
0,9
D (4)
B cos 

Dengan λ adalah panjang gelombang sinar-X, B adalah setengah dari

nilai Full Width at Hall Maximum (FWHM) dari puncak difraksi dengan

nilai intensitas tertinggi, θ adalah nilai setengah sudut 2θ dari puncak

difraksi tertinggi.

35
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan jurnal yang berjudul Perbandingan Karakteristik Batuan

Beku Erupsi Gunung Gamalama dan Gunung Talang, ada beberapa bagian dari

jurnal tersebut yang akan dibahas, diantaranya adalah:

3.1 Preparasi sampel dan karakterisasi dengan XRD dan XRF

a. Preparasi sampel

Proses persiapan sampel adalah sebagai berikut:

1. Bongkahan dari batuan Gunung Gamalama dan batu Gunung

Talang dihancurkan menggunakan martil menjadi bagian yang lebih

kecil.

2. Serpihan batuan tersebut kemudian dihaluskan dengan

menggunakan alu dan lumpang menjadi serbuk yang lebih halus.

3. Serbuk disaring dengan menggunakan ayakan 100 mesh agar

diperoleh ukuran butir yanglebih kecil kemudian dicuci dengan

aquades.

4. Setelah dicuci, serbuk kemudian dikeringkan dan ditimbang masing-

masing 100 gram untuk pengujian dengan XRD dan XRF.

b. Karakterisasi dengan XRD (X-Ray Diffractometer) dan XRF (X-Ray

Fluorescence)

36
Pada proses karakterisasi sampel dengan menggunakan XRD

Panalytical tipe Expert Pro ditentukan fasa mineral, struktur kristal dan

ukuran kristal dari batuan Gunung Gamalama dan Gunung Talang. Data

keluaran dari XRD berupa grafik puncak-puncak difraksi. Grafik tersebut

merupakan grafik antara sudut difraksi dengan intensitas sinar-X yang

didifraksikan. Kemudian data puncak-puncak difraksi tersebut

dibandingkan dengan International Centre of Diffraction Data (ICDD).

Untuk ukuran kristal dihitung menggunakan Persamaan 4.

Untuk data XRF dilakukan analisis tentang karakteristik dari batuan

erupsi gunung api berupa komposisi kimia penyusun batuan, karakteristik

dari magma pembentukan batuan, jenis batuan erupsi yang terbentuk dan

perbedaan batuan hasil erupsi dari Gunung Gamalama dengan Gunung

Talang. Untuk karakterisasi magma serta pengelompokan batuan

ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Flint (1977) dan

penggolongan afinitas magma oleh Peccerillo dan Taylor (1976).

Kedalaman magma asal dari pembentukan batuan dicari dengan

menggunakan Persamaan 1 sesuai dengan konsentrasi SiO2 dan K2O.

3.2 Struktur Batuan

Hasil uji menggunakan XRD untuk sampel batuan Gunung

Gamalama dan Gunung Talang dapat dilihat pada Tabel 4. Dari tabel

terlihat mineral-mineral penyusun batuan gunung api. Batuan Gunung

Gamalama tersusun oleh mineral albit berstruktur triklinik dan mineral

37
berlinit dengan struktur ortorombik. Terbentuknya mineral albit

(Na(AlSi3O8)) dan berlinit (AlPO4) pada sampel menunjukan bahwa

komposisi dari batuan Gunung Gamalama kaya akan alumina (Al2O3),

natrium (Na) dan silika (SiO2). Hal ini juga menunjukan bahwa

daerah terbentuknya batu angus memiliki mineral penyusun batuan

yang bersifat intermediet (Travis,1955).

Untuk sampel batuan Gunung Talang mineral penyusunnya

adalah mineral kristobalit berstruktut tetragonal dan mineral alunit

berstruktur rombohedral. Adanya mineral kristobalit dan mineral

alunit dala batua Gunung Talang menunjukan bahwa batuan Gunung

Talang tersusun oleh mineral yang bersifat asam (Travis, 1955). Ukuran

kristal dari sampel batuan Gunung Talang dan batu angus berturut-

turut adalah 106,65 nm dan 160,3 nm. Dari ukuran kedua kristal ini

diketahui bahwa kedua batuan dikelompokan ke dalam batuan

bertekstur afanatik, yaitu batuan bengan mineral-mineral penyusunnya

berukuran kecil.

Tabel 4. Struktur batuan


Parameter G.Gamalama G.Talang
Nama mineral Albit Kristobalit
dan dan
Struktur mineral berlinitdan
Triklinik alunit dan
Tetragonal
ortorombik rombohedral
Ukuran kristal 160,3 nm 106,65 nm

3.3 Komposisi Penyusun Batuan

38
Untuk pengujian dengan menggunakan XRF diketahui

komposisi kimia dari batuan. Komposisi kimia yang mendominasi dari

kedua sampel batuan dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Dari tabel

untuk komposisi batu angus diketahui konsentrasi silikanya sebesar

58,485% sehingga batu angus digolongkan ke dalam batuan beku

andesit dan diorit. Untuk batuan Gunung Talang tergolong ke dalam

riolit dan granit dengan kandungan silika 75,348%.

39
Tabel 5. Konsentrasi unsur dan senyawa batuan Gunung
Gamalama
Unsur Konsentrasi Senyawa Konsentrasi
Si 49,233% SiO 58,485%
Ca 15,733% Al2O3 23,810%
Al 17,023% CaO
2 9,744%
Fe 9,952% Fe2O3 5,546%
K 2,547% Mg 2,736%
Mg 2,410% K2 1,4160%
O
O
Tabel 6. Konsentrasi unsur dan senyawa batuan Gunung Talang
Unsur Konsentrasi Senyawa Konsentrasi
Si 72,681% SiO 75,348%
S 10,938% Al2O3 11,359%
Al 9,772% SO
2 9,963%
K 2,302% K2 9,560%
Fe 1,131% Fe32O3 5,260%
O

Peccerillo dan Taylor (1976) mengelompokan magma berdasarkan

komposisi silika penyusun batuannya. Berdasarkan pengelompokan tersebut

maka batu angus (SiO2= 58,485%) terbentuk dari magma dengan komposisi

andesit yang konsentrasi silikanya antara 57%-63%. Jenis dari komposisi

magma andesit ini kaya akan unsur Al, Ca, Fe dan Mg sehingga memiliki

nilai viskositas magma relatif menengah dengan suhu pembentukan kristal

pertama berada pada suhu 800ᵒC-1000ºC (Chernicoff dan

Venkatakrishanan, 1995). Untuk sampel dari batuan Gunung Talang

(SiO2=75,438%) berada pada kisaran di atas 69% terbentuk dari magma

berkomposisi riolitik yang bersifat asam. Jenis komposisi dari magma

riolitik rendah akan unsur Fe, Mg dan Ca. Untuk nilai viskositas dari jenis

40
magma riolitik ini tinggi serta kandungan gas yang terlarut dari magma

cukup besar.

Berdasarkan perbandingan konsentrasi K2O terhadap SiO2 maka

sampel batu angus merupakan batuan andesit basal yang berafinitas kalk-

alkali kalium sedang (medium-K), sedangkan sampel batuan Gunung Talang

merupakan golongan riolit yang dengan kandungan teolit kalium rendah

(low-K). Sampel batu angus dengan nilai afinitas magma kalk-alkali kalium

sedang (medium-K) menunjukan bahwa Gunung Gamalama terbentuk pada

jalur subduksi sama halnya dengan Gunung Talang.

Cerat (streak) dari kedua sampel batuan tersebut sangatlah berbeda.

Sampel dari batuan Gunung Talang memiliki cerat (streak) yang lebih terang

dari pada sampel batu angus. Hal ini dikarenakan magma pembentuk batuan

dari sampel batu Gunung Talang lebih bersifat asam dari pada magma

pembentuk sampel batu angus. Sampel batu angus berwarna gelap

disebabkan karena batu angus mengandung unsur besi (Fe) dan magnesium

(Mg) yang tinggi dengan nilai berturut-turut 9,952% dan 2,41%,

sedangkan batuan Gunung Talang hanya mengandung 1,131% besi (Fe)

dan magnesium (Mg) sebesar 0,578%.

Berdasarkan kandungan hematit (Fe2O3) dan besi (Fe) dari kedua

sampel tersebut dapat diketahui bahwa batu angus memiliki sifat magnetik

yang lebih besar dari pada batuan Gunung Talang. Konsentrasi hematit

(Fe2O3) dari batu angus dan batuan Gunung Talang berturut-turut adalah

41
5,546% dan 0,526%. Untuk Konsentrasi besi (Fe) pada sampel batu angus

dan batuan Gunung Talang berturut-turut adalah 9,952% dan 1,131%.

Perhitungan kedalaman zona penunjaman asal pembentukan

magma dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan Hutchison (1983)

berdasarkan data kandungan SiO2 dan K2O. Untuk estimasi kedalaman dari

magma pembentukan dari masing-masing sampel batuan dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Estimasi kedalaman magma asal pembentuk ba tuan

Sampel Konsentrasi Konsentrasi Kedalaman


SiO2 K2O
Batu Angus 58,485% 1,4160% 106 km
Batuan G. 75,348% 9,560% 54 km
Talang

42
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. a) Preparasi sampel

Proses persiapan sampel adalah sebagai berikut:

1. Bongkahan dari batuan Gunung Gamalama dan batu Gunung

Talang dihancurkan menggunakan martil menjadi bagian yang

lebih kecil.

2. Serpihan batuan tersebut kemudian dihaluskan dengan

menggunakan alu dan lumpang menjadi serbuk yang lebih halus.

3. Serbuk disaring dengan menggunakan ayakan 100 mesh agar

diperoleh ukuran butir yanglebih kecil kemudian dicuci dengan

aquades.

4. Setelah dicuci, serbuk kemudian dikeringkan dan ditimbang

masing-masing 100 gram untuk pengujian dengan XRD dan XRF.

b) Karakterisasi dengan XRD (X-Ray Diffractometer) dan XRF (X-Ray

Fluorescence)

Pada proses karakterisasi sampel dengan menggunakan

XRD Panalytical tipe Expert Pro ditentukan fasa mineral, struktur

43
kristal dan ukuran kristal dari batuan Gunung Gamalama dan Gunung

Talang.

Untuk data XRF dilakukan analisis tentang karakteristik dari

batuan erupsi gunung api berupa komposisi kimia penyusun batuan,

karakteristik dari magma pembentukan batuan, jenis batuan erupsi yang

terbentuk dan perbedaan batuan hasil erupsi dari Gunung Gamalama

dengan Gunung Talang.

2. Batuan Gunung Gamalama dan Gunung Talang memiliki karakteristik

yang berbeda. Batuan Gunung Gamalama memiliki tipe andesit basaltik

sedangkan batuan Gunung Talang bertipe riolitik. Batuan Gunung

Gamalama memiliki afinitas magma medium-K sedangkan batuan

Gunung Talang berafinitas magma Low-K, artinya mineral penyusun

batuan Gunung Gamalama lebih bersifat basa dari pada mineral penyusun

batuan Gunung Talang.

3. Est i m asi kedal am an m agm a pem bent uk a n Gunun g G am al am a

dan Tal an g ad al ah 1 06 km dan 54 km .

44
DA FT AR PUS T AK A

Baqiya, M.A., Limatahu, I., Nasrun, M. and Darminto, Structural and


Morphological studies of Lava Rock from Mount Gamalama Ternate for
Possible Functional Materials Applications, Jurnal Fisika dan
Aplikasinya, 13, 27-29, 2017.

Chernicoff, S., and Venkatakrishnan, R., Geology and Introduction to


Physical Geology, Worth Publisher, New York, 1995

Sediment flux and erosional processes in a Welsh upland lake-catchment


based on magnetic susceptibility measurements, Quat. Res., 16, 356- 372.

Dearing, J. A. 1999. Environmental Magnetic Susceptibility Using The


Bartington MS2 System. England: Chi Publishing.

Dunlop, D.J and Ozdemir, O. 1997. Rock Magnetism: Fundamental and


Frontiers. Cambridge University Press.

Evans, M and Heller, F. 2003. Environmental Magnetism Principle and


Application of Ennvironmagnetics. California: Academic Press.

Hamdi, 2006: Kajian tentang Kelayakan Sedimen Danau Simarua sebagai


Indikator Perubahan Lingkungan, Laporan Penelitian, Universitas Negeri
Padang.

Ibrahim, Bachrul dan Asmita Ahmad. 2012. Buku Ajar Agrogeologi dan
Mineralogi Tanah. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Mulya, Agung. 2004. Pengantar Ilmu Kebumian. Bandung: Pustaka Setia.

Noor, Djauhari. 2012. Pengantar Geologi. Bogor: Pakuan University Press.

Oldfield, F. 1991. Environmental magnetism-A personal perspective, Quat.


Sci. Rev., 10, 73-85.

Oldfield, F., T. A. Rummery, R. Thompson, and D. E. 1979. Walling,


Identifi- cation of suspended sediment sources by means of magnetic mea-
surements: Some preliminary results, Water Resour. Res., 15, 211- 218.

45
Ridwansyah, I. 2009. Kajian Morfometri, Zona Perairan dan Stratifikasi
Suhu Danau Diatas, Sumatera Barat. Limnotek, vol XVI, No. 1: 22-32

Smallman R.E, R.J. Bishop. 2000. Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa
Material. Jakarta: Erlangga

Sudaryo dan Sutjipto. 2009. Identifikasi dan penentuan logam berat pada
tanah vulkanik di daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan metode
Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Seminar Nasional V SDM Teknologi,
Yogyakarta.

Verosub, Kenneth L. & Andrew P. Roberts. 1995. Environmental


Magnetism: Past, present, and future. Journal of Geophysical Research,
Vol. 100, No. B2, Pages 2175-2192, February 10, 1995; Departmnent of
Geology, University of Califomia.

Walling, D. E., M. R. Peart, F. Oldfield, and R. 1979. Thompson,


Suspended sediment sources identified by magnetic measurements, Nature,
281, 110-113.

Zulaikah, S., 2015, Prospek dan Kajian Kemagnetan Batuan pada


Perubahan Iklim dan Lingkungan: Jurnal Fisika Vol. 5 No. 1, Mei 2015.

46

Anda mungkin juga menyukai