Anda di halaman 1dari 13

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya


stres yang memengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik
yang biologis, psikososial, dan sosiokultural. Secara bersama-sama, faktor ini akan
memengaruhi seseorang dalam memberikan arti dan nilai terhadap stres
pengalaman stres yang dialaminya. Adapun macam-macam faktor predisposisi
meliputi hal sebagai berikut.
a. Biologi: latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan biologis, kesehatan
umum, dan terpapar racun.
b. Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal, pengalaman
masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kontrol.
c. Sosiokultural: usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi sosial,
latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, dan tingkatan
sosial.

Contoh Faktor Predisposisi Tiap Diagnosa Keperawatan

a. Kehilangan dan Berduka

1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan
dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan mengalami
kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur
mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik
dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat
kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk
kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak
akan memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan
di masa dewasa.

b. Kecemasan

Menurut Stuart dan Laraia (1998) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan ansietas, di antaranya sebagai berikut.
1. Faktor biologis.
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini
membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan utama
dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana
halnya dengan endorfin. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan
fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi
stresor.
2. Faktor psikologis
a. Pandangan psikoanalitik. Ansietas adalah konflik emosional yang
terjadi antara antara dua elemen kepribadian—id dan superego. Id
mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-
norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi
tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas
adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Pandangan interpersonal. Ansietas timbul dari perasaan takut
terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal.
Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti
perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik.
Orang yang mengalami harga diri rendah terutama mudah
mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan perilaku. Ansietas merupakan produk frustasi yaitu
segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap
sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk
menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan
dini dihadapkan pada ketakutan berlebihan lebih sering
menunjukkan ansietas dalam kehidupan selanjutnya.
3. Sosial budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada
tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas
dengan depresi. Faktor ekonomi dan latar belakang pendidikan
berpengaruh terhadap terjadinya ansietas.

c. Gangguan Konsep Diri


1. Citra Tubuh
a) Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi).
b) Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh
kembang atau penyakit).
c) Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi
tubuh.
d) Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
2. Harga Diri
a) Penolakan.
b) Kurang penghargaan.
c) Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti,
terlalu dituntut.
d) Persaingan antara keluarga.
e) Kesalahan dan kegagalan berulang.
f) Tidak mampu mencapai standar.
3. Ideal Diri
a) Cita-cita yang terlalu tinggi.
b) Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Ideal diri samar atau tidak jelas.
4. Peran
a) Stereotipe peran seks.
b) Tuntutan peran kerja.
c) Harapan peran kultural.
5. Identitas diri
a) Ketidakpercayaan orang tua.
b) Tekanan dari teman sebaya.
c) Perubahan struktur social.

d. Menarik Diri
1. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan akan
mencetuskan seseorang sehingga mempunyai masalah respon 10
maladaptif. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang
perkembangan respons sosial maladaptif. Beberapa orang percaya
bahwa individu yang mempunyai masalah ini adalah orang yang tidak
berhasil memisahkan dirinya dari orang tua.
2. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respons sosial maladaptif.
Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya neurotransmiter dalam
perkembangan gangguan ini, namun tetap masih diperlukan penelitian
lebih lanjut.
3. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang
lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif,
seperti lansia, orang cacat, dan berpenyakit kronik (Stuart, 2016).
4. Perkembangan Hubungan Sosial

a) Bayi (0–18 Bulan)

Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara


yang paling sederhana yaitu menangis. Respons lingkungan
terhadap tangisan bayi mempunyai pengaruh yang sangat penting
untuk kehidupan bayi di masa datang. Menurut Ericson, respons
lingkungan yang sesuai akan mengembangkan rasa percaya diri
bayi akan perilakunya dan rasa percaya bayi pada orang lain.
Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada masa ini akan
mengakibatkan rasa tidak percaya pada diri sendiri dan orang lain
serta perilaku menarik diri.
b) Prasekolah (18 Bulan–5 Tahun)

Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan


lingkungan di luar keluarganya. Anak membutuhkan dukungan dan
bantuan dari keluarga dalam hal pemberian pengakuan yang positif
terhadap perilaku anak yang adaptif sehingga anak dapat
mengembangkan kemampuan berhubungan yang dimilikinya. Hal
tersebut merupakan dasar rasa otonomi anak yang nantinya akan
berkembang menjadi kemampuan hubungan interdependen.
Kegagalan anak dalam berhubungan dengan lingkungan dan
disertai respons keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak
menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak mandiri, ragu, menarik
diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut perilakunya salah.
c) Anak Sekolah (6–12 Tahun)

Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada


lingkungan sekolah. Di usia ini anak akan mengenal kerja sama,
kompetisi, dan kompromi. Pergaulan dengan orang dewasa di luar
keluarga mempunyai arti penting karena dapat menjadi sumber
pendukung bagi anak. Hal itu dibutuhkan karena konflik sering kali
terjadi akibat adanya pembatasan dan dukungan yang kurang
konsisten dari keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan
teman sekolah, dukungan luar yang tidak adekuat, serta
inkonsistensi dari orang tua akan menimbulkan rasa frustasi
terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa, dan
menarik diri dari lingkungannya.
d) Remaja (12–20 Tahun)

Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim


dengan teman sejenis atau lawan jenis dan teman seusia, sehingga
anak remaja biasanya mempunyai teman karib. Hubungan dengan
teman akan sangat dependen sedangkan hubungan dengan orang
tua mulai independen. Kegagalan membina hubungan dengan
teman sebaya dan kurangnya dukungan orang tua akan
mengakibatkan keraguan identitas, ketidakmampuan
mengidentifikasi karier di masa mendatang, serta tumbuhnya rasa
kurang percaya diri.

e) Dewasa Muda (18–25 Tahun)

Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan


interdependen dengan orang tua dan teman sebaya. Individu akan
belajar mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan saran
dan pendapat orang lain (pekerjaan, karier, pasangan hidup). Selain
itu, individu mampu mengekspresikan perasaannnya, menerima
perasaan orang lain, dan meningkatnya kepekaan terhadap
kebutuhan orang lain. Oleh karenanya, akan berkembang suatu
hubungan mutualisme. Kegagalan individu pada fase ini akan
mengakibatkan suatu sikap menghindari hubungan intim dan
menjauhi orang lain.
f) Dewasa Tengah (25–65 Tahun)

Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat


tinggal dengan orang tua. Individu akan mengembangkan
kemampuan hubungan interdependen yang dimilikinya. Bila
berhasil akan diperoleh hubungan dan dukungan yang baru.
Kegagalan pada tahap ini akan mengakibatkan individu hanya
memperhatikan diri sendiri, produktivitas dan kretivitas berkurang,
serta perhatian pada orang lain berkurang.
g) Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)

Di masa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan,


misalnya fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup, dan
anggota keluarga, sehingga akan timbul perasaan tidak berguna.
Selain itu, kemandirian akan menurun dan individu menjadi sangat
bergantung kepada orang lain. Individu yang berkembang baik
akan dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya
dan mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam
menghadapi kehilangan yang dialaminya. Kegagalan individu pada
masa ini akan mengakibatkan individu berperilaku menolak
dukungan yang ada dan akan berkembang menjadi perilaku
menarik diri.

e. Waham
1. Teori Biologis
Teori biologi terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap waham:
a) Faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam
perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki
anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara
kandung, sanak saudara lain).
b) Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizofrenia mungkin pada kenyataannya merupakan suatu
kecacatan sejak lahir terjadi pada bagian hipokampus otak.
Pengamatan memperlihatkan suatu kekacauan dari sel-sel pramidal
di dalam otak dari orang-orang yang menderita skizofrenia.
c) Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamine
neurotransmiter yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala
peningkatan aktivitas yang berlebihan dari pemecahan asosiasi-
asosiasi yang umumnya diobservasi pada psikosis.
2. Teori Psikososial
a) Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (1998 : 147)
menggambarkan perkembangan skizofrenia sebagai suatu
perkembangan disfungsi keluarga. Konflik diantara suami istri
mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam anak akan
menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansielas dan
suatu kondsi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu
hubungan yang saling mempengaruhi yang berkembang antara
orang tua dan anakanak. Anak harus meninggalkan ketergantungan
diri kepada orang tua dan anak dan masuk ke dalam masa dewasa,
dan dimana dimasa ini anak tidak akan mamapu memenuhi tugas
perkembangan dewasanya.
b) Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh
akan kecemasan. Anak menerima pesan-pesan yang
membingungkan dan penuh konflik dari orang tua dan tidak
mampu membentuk rasa percaya terhadap orang lain.
c) Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari
suatu ego yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu
hubungan saling mempengaruhi antara orang tua, anak. Karena ego
menjadi lebih lemah penggunaan mekanisme pertahanan ego pada
waktu kecemasan yang ekstrim menjadi suatu yang maladaptif dan
perilakunya sering kali merupakan penampilan dan segmen id
dalam kepribadian.

f. Halusinasi

1. Faktor Perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
yang dapat meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
2. Faktor Sosial Budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga
timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi.
3. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
4. Faktor Biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi
realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal,
Perubahan Besar, Serta Bentuk Sel Kortikal Dan Limbik.

5. Faktor Genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan
pada pasien skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada
keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia,
serta akan lebih tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.

g. Resiko Perilaku Kekerasan


1. Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil
dari dorongan insting (instinctual drives).
2. Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan
frustasi berkepanjangan.
3. Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas
sebagai berikut.
a) Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi
emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual.
Selain itu, mengatur sistem informasi dan memori.
b) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan
interpretasi pendengaran.
c) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
d) Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas adalah
serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan
GABA.
4. Perilaku (Behavioral)
a) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi.
b) Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau
godaan (seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust)
dan percaya diri (self esteem) individu.
c) Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak
(child abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga
memengaruhi penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil belajar dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni
sebagai berikut.
a) Internal : penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
b) Eksternal : observasi panutan (role model), seperti orang tua,
kelompok, saudara, figur olahragawan atau artis, serta media
elektronik (berita kekerasan, perang, olahraga keras).
5. Sosial Kultural
a) Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial
yang sangat ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah yang
sehat dan menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif
lainnya.
b) Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau
perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b) Status dalam perkawinan.
c) Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d) Pengangguran.
e) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan
struktur keluarga dalam sosial kultural.

h. Defisit Perawatan Diri


1. Perkembangan.
Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan
keterampilan
2. Biologis
Beberapa penyakit kronis dapat menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri secara mandiri.
3. Kemampuan realitas yang menurun.
Klien dengan gangguan jiwa mempunyai kemampuan realitas yang
kurang, sehingga menyebabkan ketidak pedulian dirinya terhadap
lingkungan termasuk perawatan diri.
4. Sosial
Kurang dukungan serta latihan kemampuandari lingkungannya,
menyebabkan klien merasa

i. Bunuh Diri

Mengapa individu terdorong untuk melakukan bunuh diri? Banyak


pendapat tentang penyebab dan atau alasan termasuk hal-hal berikut.

1. Kegagalan atau adaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.


2. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti.
3. Perasaan marah atau bermusuhan. Bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
5. Tangisan minta tolong.
Lima domain faktor risiko menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif diri sepanjang siklus kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
afektif, skizofrenia, dan penyalahgunaan zat.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan
yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting
yang berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
risiko penting untuk perilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotonegik, opiatergik, dan
dopaminergik menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku
merusak diri.
Faktor penyebab tambahan terjadinya bunuh diri antara lain sebagai
berikut (Cook dan Fontaine, 1987).
1. Penyebab bunuh diri pada anak
a) Pelarian dari penganiayaan dan pemerkosaan.
b) Situasi keluarga yang kacau.
c) Perasaan tidak disayangi atau selalu dikritik.
d) Gagal sekolah.
e) Takut atau dihina di sekolah.
f) Kehilangan orang yang dicintai.
g) Dihukum orang lain.
2. Penyebab bunuh diri pada remaja.
a) Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
b) Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
c) Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan.
d) Perasaan tidak dimengerti orang lain.
e) Kehilangan orang yang dicintai.
f) Keadaan fisik.
g) Masalah dengan orang tua.
h) Masalah seksual.
i) Depresi.
3. Penyebab bunuh diri pada mahasiswa.
a) Self ideal terlalu tinggi.
b) Cemas akan tugas akademik yang terlalu banyak.
c) Kegagalan akademik berarti kehilangan penghargaan dan kasih
sayang orang tua.
d) Kompetisi untuk sukses.
4. Penyebab bunuh diri pada usia lanjut.
a) Perubahan status dari mandiri ke ketergantungan.
b) Penyakit yang menurunkan kemampuan berfungsi.
c) Perasaan tidak berarti di masyarakat.
d) Kesepian dan isolasi sosial.
e) Kehilangan ganda, seperti pekerjaan, kesehatan, pasangan.
f) Sumber hidup bergantung.

Ahmad Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.

Carpenito, L.J. 2012. Diagnosis keperawatan : Bukusaku. Jakarta : EGC

Stuart Gail W, dkk. 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Belanda: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai