SKRIPSI
Oleh
SITTI HARDIANTI SINDARA
C1C3 13 038
JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena berkat
Kota Wuna Kecamatan Tongkuno Kabupaten Muna”. Tugas akhir ini merupakan
skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak, baik moral
maupun material. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
iv
4. Dr. Syahrun, S.Pd., M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah banyak
5. Dosen Jurusan Arkeologi, Nur Ihsan. D. S.S., M.Hum, terima kasih atas
masukan dan saran, serta bahan bacaan yang telah membantu dalam
penulisan ini. Sandy Suseno, S.S., M.A., terima kasih atas ilmu arkeologi
kasih atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk penulis dan tidak
lupa juga penulis ucapkan terima kasih atas izin kesediaan tempat untuk
bernaung bagi penulis. Bapak La Ode Apo, terima kasih atas waktu dan
Ode Taha, terima kasih atas informasi dan wawancaranya selaku juru
pelihara masjid Kota Wuna. Ibu Wa Ode Muini, terima kasih atas
informasi dan waktu yang telah diluangkan untuk penulis. Bapak Pace,
v
vi
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
From the analysis carried out with the existing methods, it is concluded
that the archaeological remains found on the site of Benteng Wuna City are
Sangia Latugho fortress, swear home of King Sangia Latugho, Inauguration of
Lakina Wuna, Lakina Wuna Residence, Wuna City Mosque, and Tomb the kings
of Wuna. While the function of the fortress of Wuna City is as a center of
settlement and defense. The area of the fortress of the City of Wuna is
approximately 8,073 meters.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iv
DAFTAR ISI.................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
3.1.Jenis Penelitian....................................................................................... 23
3.2.Lokasi Penelitian.................................................................................... 24
3.3.Rancangan Penelitian ............................................................................. 25
3.3.1.Pengumpulan Data ........................................................................... 25
ix
3.3.1.Tahap Analisis Data ......................................................................... 27
3.3.1.Interpretasi........................................................................................ 28
x
DAFTAR NARASUMBER .......................................................................... 74
PEDOMAN WAWANCARA....................................................................... 76
LAMPIRAN................................................................................................... 80
xi
BAB I
PENDAHULUAN
hubungan antara artefak dan perilaku manusia dalam setiap waktu dan tempat.
Objek material yang menjadi kajian arkeologi antara lain; artefak yaitu benda-
benda buatan manusia atau benda yang telah dimodifikasi oleh manusia seperti
alat batu, gerabah, dan senjata. Ekofak yaitu tinggalan organik yang bersifat non
artefaktual dan dapat juga berupa sisa-sisa lingkungan masa lampau seperti tulang
binatang dan sisa-sisa tanaman. Fitur yaitu sisa-sisa aktivitas manusia yang tidak
dapat dipindah-pindahkan seperti bekas tungku perapian dan lubang untuk tiang
Penelitian arkeologi pada dasarnya tidak terlepas dari tiga paradigma, yaitu
masa lalu, dan menggambarkan proses budaya. Untuk tujuan tersebut, arkeologi
sederhana hingga kehidupan kompleks dimasa kini. Dalam kajian arkeologi, yang
dimaksud dengan tinggalan budaya lebih ditekankan pada suatu budaya bendawi
yang ditinggalkan oleh kelompok masyarakat dimasa lalu (Subroto, 1999: 18).
1
2
sebagai obyek yang dapat disoroti dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maka
kebudayaan sebagai salah satu disiplin ilmu secara integral melekat pada manusia.
Dengan demikian manusia tanpa kebudayaan tidak mungkin ada, begitu pula
itu sendiri pada dasarnya adalah penjelmaan atau manifestasi pikiran dan perasaan
manusia.
Kebudayaan itu sendiri oleh Koentjaraningrat dibagi dalam tiga wujud, yaitu:
(Botji,1988: 1).
Benteng adalah bangunan atau tempat bertahan yang kuat dan didirikan
secara khusus untuk melindungi diri dari serangan musuh, yaitu manusia dan
hewan (Moeliono, 1988: 103). Sebuah bangunan dapat disebut sebagai benteng
walaupun hanya berupa dinding (satu sisi, dua sisi, tiga sisi, empat sisi, atau
3
lebih). Bangunan benteng dapat pula berupa sebuah bangunan yang kompleks.
ataupun tembok (batu, bata, tanah, dan sebgainya). Selain itu benteng juga
memiliki pengertian tempat yang diperkuat dengan dinding keliling tembok, untuk
Selain kata benteng untuk pertahanan dikenal juga “Citadel” yaitu benteng
besar yang menjadi bagian dari fortifikasi (perbentengan) suatu kota untuk
menguasai keadaan (Shadelly, 1980: 198). Castle yang berasal dari bahasa latin
topografis suatu tempat juga mempengaruhi bentuk dan ukuran sebuah benteng
Dilaporkan oleh I-Tsing pada saat berkunjung ke Fo-Shih, dikatakan bahwa Fo-
Shih telah dikelilingi oleh benteng yang kuat. Tetapi sangat disayangkan, bahwa
benteng yang telah ada saat itu tidak dideskripsikan lebih lanjut oleh I-Tsing
(Soemadio, 1976:68).
dari bentuk yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Dasar pemikiran
keinginannya.
belakang. Pada masa awal berkembangnya manusia masih hidup dialam bebas. Di
sehingga mulai terjadi persaingan antar manusia, antar kelompok yang pada
akhirnya melahirkan peperangan. Perasaan tidak aman muncul lagi bukan karena
sebagai unit kesatuan tempat tinggalnya, perasaan ingin aman dari gangguan
musuh tetap ada. Sesuai dengan kemajuan teknologi yang dimiliki, maka
Pada saat itu, hal demikian masih mungkin untuk dilakukan, mengingat areal
standar yang harus dimiliki sebuah benteng, agar benteng dapat berfungsi sebagai
kurang lebih pada abad ke-15 M memiliki pagar keliling atau tembok yang
dikatakan bahwa kota Tuban di Jawa Timur telah memiliki tembok keliling yang
terbuat dari bata, juga Malaka (Sumatra) diberitakan dalam Ying Yai Sheng Lan
(1416) telah memiliki tembok keliling dengan empat pintu gerbang yang
Sementara itu dari Indonesia Timur disebutkan bahwa kota Tidore saat akan
diserang oleh Galvao, telah memiliki tembok keliling yang sangat kuat dan sukar
Sedangkan jenis benteng yang tidak permanen mungkin telah dikenal lama, jauh
sebelum dikenalnya benteng permanen. Ini terbukti saat para prajurit Mataram
6
menyerang Batavia pada tahun 1628, sistem pertahanan benteng tidak permanen
Seperti juga kota-kota diatas, Kota Wuna juga telah memiliki pagar tembok
keliling yang dibangun mengitari kota. Tembok keliling Kota Wuna dibuat dari
batu karang sebagai pagar keliling ibukota Kerajaan Wuna. Jadi diperkirakan
bahwa bangsa Indonesia telah mengenal benteng permanen pada sekitar abad ke-
yang dibangun ratusan tahun yang lalu. Sebagian besar benteng ini dibangun
bukanlah satu-satunya aspek yang lahir dari pembangunan benteng ini. Benteng
dan usaha untuk membangunnya adalah bagian dari gerak sejarah satu masyarakat
Kota Wuna belum banyak dikenal oleh masyarakat umum. Bahkan dikalangan
masyarakat Wuna sendiri masih belum banyak yang melihatnya. Benteng Kota
Wuna mulai dibangun pada masa pemerintahan La Kilaponto Raja Wuna Ke-VII
(1538-1541). Benteng ini dibangun oleh dua raja yang bersaudara yakni La
Benteng ini memiliki panjang keseluruhan sekitar 8.073 meter. Benteng ini
memiliki ketinggian antara 2-7 meter dengan tebal 2-4 meter serta dibangun
terjal, sehingga muda untuk membuat benteng pertahanan. Pada sisi bagian Timur
benteng dapat dilihat dataran, pantai dan laut yang ada d bawahnya, sehingga
apabila ada musuh yang datang dari laut dapat dengan mudah untuk melihat dan
mengawasinya.
Secara teknologis Benteng Kota Wuna terbuat dari susunan batu karang.
ukurannya tidak sama satu sama lain, namun tersusun dengan rapih. Secara umum
bentuk benteng tersebut mengikuti kontur alam tidak beraturan, dengan ukuran
panjang kurang lebih 8.073 meter, tinggi sekitar 4 meter dan tebal sekitar 3 meter.
Keadaan Benteng Kota Wuna sekarang ini sudah banyak mengalami Kerusakan
Wuna mengindikasikan adanya aktivitas masyarakat masa lampau. Hal itu dapat
dilihat dari temuan-temuan berupa benteng, umpak rumah raja, tempat pelantikan
lakina Wuna, masjid, dan makam raja-raja Wuna. Pada dasarnya penelitian ini di
cakupannya lebih luas sampai pada satu situs, termasuk bangunan, jalan, artefak,
dan non bangunan serta mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara
Wuna sebagai peninggalan sejarah lokal daerah Kabupaten Muna hingga saat ini
belum pernah diteliti dan diangkat keatas permukaan untuk dikaji lebih lanjut,
sehingga penulis sebagai salah seorang putrid daerah Kabupaten Muna, merasa
Alasan pemilihan lokasi dan judul dalam penelitan ini, yakni terkait
rumah raja Sangia Latugho, tempat pelantikan raja Wuna, tempat kediaman raja
Sejarah budaya secara khusus dipandang sebagai suatu simbol jati diri
bagi masyarakat pada umumnya yang mendiami suatu wilayah tertentu. Dalam
memenuhi salah satu dari tiga tujuan arkeologi di atas, maka penulis mencoba
9
zaman seperti sekarang ini nampaknya akan terkikis oleh nilai-nilai modern
seperti saat ini. Oleh sebab itu, dari sudut pandang peneliti menarik beberapa
Kota Wuna?
2. Untuk dapat menjelaskan fungsi Benteng Kota Wuna pada masa Kerajaan
Wuna.
dan menjelaskan fungsi Benteng Kota Wuna pada masa Kerajaan Wuna.
Kota Wuna dan dapat diketahui fungsi Benteng Kota Wuna pada masa
Kerajaan Wuna.
penelitian ini membatasi ruang lingkup penelitian yang terfokus pada tinggalan-
tinggalan arkeologis di Situs Benteng Kota Wuna. Hal ini dikarenakan obyek dari
penelitian ini yaitu tinggalan-tinggalan yang ada dalam Situs Benteng Kota Wuna,
dengan maksud agar materi dapat lebih dimengerti dan pembahasannya dapat
lebih spesifik. Selain itu disesuaikan pula dengan keterbatasan sumber yang
penulis dapatkan.
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
Speelwijk dibangun mulai awal januari 1685 dan selesai pada bulan oktober 1686.
mengingat kondisi sosial-politik Banten yang saat itu sangat rawan. Arsitek
Speelwijk berbentuk empat persegi panjang dan memiliki hanya tiga buah bastion.
parit pertahanan, bastion, pos intai, rumah komandan benteng, barak militer,
gudang peluru, rumah tahanan/ penjara, rumah sakit, gereja, balai pertemuan.
Pintu gerbang terdiri dari dua macam pintu yakni pintu gerbang tanpa daun pintu
dan pintu gerbang dengan daun pintu. Faktor penyebab kerusakan Benteng
Speelwijk yaitu faktor alam dan faktor manusia. Benteng Speelwijk di Banten
kekuatan militer dengan tujuan politik. Dan sebagai pusat kegiatan sehari-hari
11
12
Wiyan Ari Tanjung (2008), judul “Latar Belakang Penempatan dan Fungsi
bentuk dan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu bunker dan
Pill box. Jenis bangunan yang pertama adalah bunker yang berjumlah enam
bangunan yang terbagi menjadi dua fungsi, yakni dua bangunan sebagai bunker
pasukan. Jenis bangunan yang kedua adalah pill box, yang berjumlah lima dan
dinding lingkar bangunan BM yaitu berkisar antara 2,5 meter hingga 2,6 meter.
dan pecahan bata. Sebagai bahan perekat digunakan campuran semen, kapur, dan
pasir laut. Pembagian ruang pada bangunan BM terbagi dua tingkat. Pada lantai
13
tingkat pertama terdapat dapur, ruang tidur, kakus, gudang amunisi, gudang
logistik, bak penampungan air, dan tangga menuju ke lantai dua. Pada lantai
tingkat kedua terdapat pintu masuk, kamar obat, kamar untuk orang sakit, ruang
lokasi, kepadatan tinggalan arkeologis, dan jarak antara fitur keairan. Dari
kelompok I merupakan ruang inti yang menjadi pusat dari kegiatan ritual. 2)
merupakan ruang yang menjadi titik akhir perjalanan ritual di Situs Muarajambi
dengan penelitian yang diambil oleh peneliti yaitu terdapat pada metodologi
14
penelitian dan analisis data yakni metode yang bersifat deskriptif, dengan
arkeologis, dan jarak antara fitur dengan air. Kepentingan penelitian relevan di
atas terhadap penelitian yang akan dilakukan peneliti yaitu sangat bermanfaat,
permasalahan penelitian.
merusaknya guna kepentingan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu, manusia
dapat tercermin dari bukti arkeologi yang diperoleh, baik artefak, ipsefak maupun
Artefak adalah suatu benda yang mudah dibawah (portable) sebagai hasil
dipergunakan dalam proses pembuatan, serta limbah sebagai hasil dari proses
pengolahan bahan dasar (Sharer Dan Ashmore, 1979: 70-71; Renfrew dan Bahn,
2000: 49-59). Sedangkan ekofak adalah benda non-artefaktual yang berasal dari
atau tumbuhan) yang dimanfaatkan oleh manusia atau berkaitan dengan suatu
Data ekofak tersebut juga memiliki peranan yang sangat penting dalam
ekofak, antara lain dapat diperkirakan berbagai aktivitas suatu komunitas dimasa
tidak sangat tergantung kepada lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.
Lingkungan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu situs
sebagai media pendukung suatu budaya dimana lingkungan tersebut tumbuh dan
24-28).
habitat makhluk hidup perlu dan sangat penting untuk dipelajari. Di dalamnya
pikirannya agar bisa ‘survive’ di alam. Rangkaian proses inilah yang termasuk
16
didalamnya terdapat pola pikir manusia ‘mental template’ sebagai suatu hasil
alam biasanya disebut adaptasi, sehingga proses yang berlangsung disebut pula
sebagai proses adaptasi. Di dalam proses ini terdapat teknologi yang digunakan
hasil budaya manusia baik dalam bentuk materi dan non-materi yang dipelajari
manusia melalui ilmu arkeologi untuk mengungkap kehidupan masa lalu (Deetz,
1967: 45-46).
mencoba mencari konsep atau pendekatan baru yang sesuai, baik berupa
pengembangan dari konsep disiplin ilmu arkeologi sendiri maupun dari disiplin
ilmu lain. Hal itu antara lain tampak dari usaha Walter W. Taylor pada tahun
1940-an untuk melakukan perluasan tekanan perhatian dari yang semula hanya
berorientasi pada artefak (artifact oriented) menjadi berorientasi pada situs (sites
oriented). Menurut Taylor, untuk dapat merekonstruksi kehidupan masa lalu tidak
sendiri; akan tetapi harus melibatkan keseluruhan data yang ada dalam suatu situs,
baik berupa artefak, ekofak, fitur, maupun lingkungan fisik sebagai satuan ruang
diciptakan oleh David L. Clarke (1977) untuk memberi arti pada suatu jenis
keruangan atau pemukiman. Pada tahun 1946, dia dengan timnya memulai
lebih dikenal dengan sebutan Proyek Lembah Viru (Viru Valley Project).
lainnya di Peru (Willey, 1963: 1). Proyek Lembah Viru kemudian melahirkan
antar situs itu sendiri, serta berbagai implikai dari hubungan-hubungan tersebut
permukiman dalam suatu kawasan yang luas; demikian juga dengan pola
arkeologi. Hal itu secara tidak langsung telah memperluas dan memperpanjang
pada kajian kawasan (region oriented) (Dunnel dan Dancey, 1983: 267).
teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi masyarakat pada masa lampau.
Dengan demikian terdapat tiga hal pokok yang menjadi ciri dasar arkeologi
(Mundardjito, 1990: 23). Hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada salah satu
bagian saja, akan tetapi melibatkan keseluruhan data yang ada dalam satu situs,
baik berupa artefak, ekofak, fitur, maupun lingkungan fisik sebagai sumber daya.
19
Studi ini meliputi bangunan secara individu baik bangunan rumah tinggal,
lainnya, karna bangunan banguna tersebut merupakan salah satu hasil budaya,
diamati pada struktur, susunan, pola perencanaan, tata ruang, tata letak, orientasi,
bahan dan cara mengaturnya. Pendekatan bersifat konjuktif dengan cara mencari
Studi ini mempunyai cangkupan yang lebih luas sampai pada satu situs.
Jenis-jenis peninggalan apa saja yang ada pada satu situs, termaksud bangunan,
antara bangunan, tata letak bangunan, posisi bangunan temapat tinggal dan
c. Tingkat makro
Studi ini mempelajari hubungan antara situs yang meliputi, distribusi situs,
jarak antara situs, dan hubungan antars situs. Pada skala makro studi permukiman
20
dilakukan dengan tujuan mengetahui pola sebaran situs, hubungan simbolik antara
dikaitkan dengan lingkungan fisik sebagai sumber daya. Hal itu antara lain untuk
lingkungan fisik di mana mereka tinggal. Dengan demikian, dapat diketahui pula
Oleh sebab itu perlu kiranya tindak lanjuti dengan berbagai penelitian, terutama
metode ini sangat penting, mengingat bahwa tidak semua konsep atau metode
yang dipelajari dari negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika Serikat
akan sesuai dengan kondisi data arkeologis maupun lingkungan fisik di Indonesia
keruangan dalam ilmu arkeologi tidak lepas dari kajian arkeologi pemukiman.
Namun demikian, kajian permukiman tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena
Observasi Tinggalan
Arkeologis
Metode Penelitian
Hasi Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk
baru mengenai gejala tersebut (Koentjaraningrat, 1985 : 30). Sifat dari penelitian
ini adalah deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala
yang diperoleh dalam penelitian tanpa terikat dengan hipotesis atau teori tertentu,
(meso). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kajian arkeologi ruang skala meso
adalah suatu kajian yang mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara
23
24
arkeologi ruang skala meso dilakukan pada situs Benteng Kota Wuna dan
bertujuan untuk menganalisis hubungan antara artefak satu dengan yang lainnya
Lokasi penelitian ini dilakukan di Situs Benteng Kota Wuna Desa Unit
dan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan di sebelah Utara, Kabupaten Buton
hubungan antara bangunan yang ada di area benteng dan tata letak benteng serta
tinggalan arkeologis yang ada di area benteng. Dalam hal ini, situs yang dibahas
diberi batasan sesuai dengan penetapan kategori Menurut Mundardjito (1993: 42),
yaitu:
bergerak, seperti bangunan masjid, benteng, dan makam, yang semua atau
Data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Suatu
penelitian harus bertumpukan pada data yang ada, penelitian tidak akan berjalan
apabila data itu tidak ada. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan dua cara,
literatur buku, arsip daerah, arsip negara dan juga dari suatu data piktorial berupa
3.3.1.2.Wawancara
masalah yang akan diteliti. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui tinggalan-
tinggalan arkeologis di Situs Benteng Kota Wuna di Desa Unit Pemukiman Kota
26
kurang bahkan tidak diketahui dan juga sebagai pendukung data di lapangan.
3.3.1.3. Observasi
penelitian yaitu di situs Benteng Kota Wuna di Desa Unit Pemukiman Kota Wuna
lingkungan yang ada disekitar Desa Unit Pemukiman Kota Wuna Kecamatan
3.3.1.4. Dokumentasi
tinggalan arkeologis yag ada pada area situs yang mengandung tinggalan
data dan memberi keterangan tentang daerah penelitian. Dokumentasi ini dapat
peta.
Tahap ini dilakukan setelah data awal terkumpul, baik yang diperoleh dari
studi pustaka, survey dan wawancara. Selanjutnya data hasil observasi atau survey
Dalam langkah awal yang harus dilakukan yaitu pembuatan peta. Pembuatan peta
temuan di lokasi situs. Setelah seluruh data diperoleh kemudian diolah pada
klasifikasi terhadap masing-masing temuan tersebut ditinjau dari segi bentuk dan
ukuran. Hal ini dilakukan karena situs Benteng Kota Wuna mempunyai temuan-
temuan yang sudah teramati dalam survey lapangan, sehingga memiliki ragam
variasi, ukuran dan bentuk. Dalam penelitian ini dikumpulkan juga data
lingkungan berupa keadaan geografis (sungai, gunung, jenis tanah, vegetasi dan
lain-lain).
28
Hasil analisis tersebut kemudian ditambahkan dengan data sejarah dan hasil
bersumber pada data sejarah. Pada tahap ini akan dicoba menarik kesimpulan dari
beberapa asumsi yang telah diperoleh setelah pengolahan data dilakukan. Data
Situs Benteng Kota Wuna dan fungsi Benteng Kota Wuna pada masa lampau
Kota Wuna. Kesimpulan ini masih bersifat sementara, karena itu harus dilakukan
Kota Wuna atau yang sering disebut Tongkuno Lama adalah salah satu
Kota Sejarah yang banyak mengisahkan kenangan sejarah leluhur mulai dari
Secara geografis Situs Benteng Kota Wuna berada pada Desa Unit
Kabupaten Muna diantaranya masjid Kota Wuna, Benteng Kota Wuna yang
dibangun pada masa Raja-Raja Wuna, Batu tempat pelantikan raja waktu
penobatan sebagai raja, Batu berbunga atau Bukit batu yang menyerupai kapal,
antara Koordinat 4º 58’ 22,7” Lintang Selatan, dan 122º 37’ 17,8” Bujur Timur,
dengan topografi bervariasi sampai dengan lebih dari 40 % dan berada pada
29
30
september 2005). Kawasan Kota Wuna dalam hal ini terdapat pada Desa / Unit
kurang lebih 1 jam, melalui jalan Raya Raha – Mantobua – Wakuru dan kurang
lebih 1,5 jam melalui Jalan Raya Raha – Kabawo – Wakuru, dengan modal
terdampar disekitar Pantai Timur Pulau Muna tepatnya di Kampung Butu, suatu
tebing dipinggir laut saat itu. Butu adalah nama kampung dipertengahan daratan
Muna (yang saat ini penduduknya dipindahkan kedaerah Bahutara atau yang saat
ini dikenal dengan sebutan Perahu Saweri gadi) yang hanya berjarak 700 meter
dari objek Wisata Kontu Kowuna atau Batu Berbunga. Sebelum perahu Saweri
Gadi ini terdampar di Muna, disaat itu daerah ini telah berpenghuni yang
dikatakan dengan penduduk To Muna, yang berarti Orang Muna (La Kimi Batoa
1991: 2-3).
berjumlah 40 orang. Perahu Saweri Gadi yang kandas tersebut lama kelamaan
diselimuti karang, sehingga badan perahu berubah menjadi bukit dan ruang dalam
Awak perahu Saweri Gadi itu menurut cerita selanjutnya ada yang pulang
ke Luwu dan ada pula yang ke Sulawesi Tengah, dan ada yang menuju Negeri
32
Mekongga, sebagian besar menuju kea rah Barat Pulau Muna. Disetiap mereka
Saweri Gadi. Orang Muna menyebutnya La Gadi yang lama kelamaan orang
Rupanya di lagadi mereka tidak terlalu lama tinggal dan kemudian mereka
sebuah kampung besar yang mereka beri nama Wamelai yang dikepalai oleh
Mieno Wamelai. Yang pada akhirnya mereka berkembang terus dan terjadi pula
yang lebih luas dan disebut Tongkuno yang dikepalai oleh Kamokulano
Tongkuno.
kampung baru. Kedelepan kampung itu kemudian dibagi menjadi dua wilayah
utama yang terdiri atas 4 kampung. Empat kampung pertama dipimpin oleh
Sejarah Muna baru dikenal dan berawal pada mula kehadiran Tokoh
(Figur) Baizul Zaman yang kemudian dinobatkan oleh Para orang tua (± Tahun
1547 M ) sebagai Raja Muna I yang hingga Raja Muna VI tinggal di desa Bolo
yang letaknya agak berjauhan dari Kota Wuna, dan mulai dari Raja Muna VII
hingga selanjutnya Raja bertempat tinggal di Kota Wuna yang sekaligus menjadi
Kerajaan Muna baru dapat dikatakan sebagai sebuah kerajaan berdaulat karena
antropologi fisik, etnologi dan arkeologi dari Pulau Muna. Bahwa penduduk Pulau
Muna pertama dari suku To Wuna salah satu suku bangsa Melayu Kuno /
Melanesia yang berasal dari daerah Melai, sebelah Utara Malau antara Kamboja
kapal tersebut kandas dan membentur karang, karena kapal bocor dan tidak dapat
digunakan lagi, maka suku To Wuna ini mendiami Pulau Pantiano sebagai
penduduk yang pertama, peristiwa ini terjadi ± tahun 640. Pulau Pantiano inilah
yang sekarang bernama Bukit Kota Wuna (Sejarah Ternate) yang dalam bahasa
Suku To Wuna yang selamat dari musibah tersebut terus mendiami pulau
Bangkai kapal Saweri Gadi yang pada waktu itu ditinggalkan masih berada
berada diatas ketinggian bukit (dahulu bukit karang dalam laut), bangkai kapal
Sedangkan tanah batu berbunga yang sampai saat ini masih tetap menjulang tinggi
dibangun pusat kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Pembuatan benteng
pemerintahan raja tersebut untuk menjaga keamanan rakyatnya baik dari serangan
sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari raja yang sedang berkuasa atas
keberhasilan Raja Muna itu mengalahkan dan membunuh bajak laut La Bolontio,
Pengacau keamanan rakyat Buton. Setelah menjadi raja dan kemudian bergelar
bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman
Sejak saat itu Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada di bawah
menjadi salah satu dari empat wilayah penyangga (bharata) kerajaan Islam
tersebut. Tiga bharata yang lain adalah Tiworo, Kulisusu, dan Kaledupa.
1625). Menurut La ode Taha, jupel masjid Wuna sekarang, masjid yang dibangun
36
raja tersebut masih sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru
dibangun pada era pemerintahan Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo
Sangia (1716 – 1757). Masjid tersebut dibangun di tempat berbeda dengan lokasi
masjid pertama.
Masjid di Kota Wuna itu hampir seumur dengan masjid Agung Keraton
Buton di Bau-Bau. Masjid Keraton Buton dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul
Alam pada tahun 1712 dengan konstruksi permanen, dan baru dipugar pada tahun
Menurut Wa Ode Muini bahwa masjid Kota Wuna baru dibangun secara
permanen sekitar tahun 1933 oleh La Ode Dika sebagai Raja Muna (1930 – 1938).
bahan seperti semen, atap seng, dan bahan bangunan lainnya. Karena selama
La Ode Dika diberi gelar Komasigino (pemilik masjid). Dua dari 14 putra-putri
La Ode Dika tercatat sebagai tokoh daerah, yakni La Ode Kaimuddin, mantan
Oktober 2017). Bangunan masjid itu juga sudah tidak asli. Menurut La Ode Taha
jupel Masjid Muna sekarang, ketika Bupati Muna dijabat Maola Daud pada tahun
1980-an, bangunan masjid tua itu dirombak total ukuran dan bentuknya. Giliran
Ridwan menjadi Bupati Muna (200-2005), bangunan masjid dirombak lagi untuk
dikembalikan ke bentuk aslinya. Bentuk masjid di bekas ibu kota kerajaan itu
37
sangat sederhana. Bangunannya terdiri atas tiga susun, termasuk tempat dudukan
kubah. Peninggalan yang lain sudah tidak ada lagi, kecuali beberapa makam tua
menjadi kuburan raja-raja zaman dahulu, antara lain makam La Ode Huseini, yang
Di dalam kompleks Kota Wuna tempo dulu terdapat kediaman Raja Muna
dan sejumlah lokasi penguburan. Setiap bagian Kota Wuna dihuni seorang
Ghoerano (kepala distrik) bersama kepala-kepala kampung (Kino, Mino, dan Fato
Lindono). Juga para La Ode (bangsawan tinggi), para Walaka (bangsawan rendah)
Terdapat tiga jalur masuk keluar Kota Muna, membentang di utara ke arah
Kaura, di Timur ke arah Tongkuno, dan barat daya ke arah Lembo. Warga
kebanyakan di luar Kota Muna hanya diperkenankan masuk komplek jika hari-
hari pasar, atau dipanggil menghadap para petinggi kerajaan harus berjalan kaki.
Para petinggi kerajaan pun jika masuk komplek Kota Wuna hanya dibolehkan
Kekacauan mulai terjadi di Kota Wuna tahun 1861 saat Lakina Muna La
Ode Bulai berperang dengan La Ode Ngkada (Kapitalao Lohia) yang hendak
merebut kedudukan sebagai Lakina Wuna. Dari hari ke hari suasana tidak aman,
dan penghuni satu per satu keluar meninggalkan kompleks Kota Wuna. Kondisi
38
Kota Wuna pun telah porak poranda. Bukan hanya secara fisik, tapi sebutan Kota
Dari gambaran sejarah dan prasejarah Kota Wuna yang saat ini berada di
artefak, yang bukan saja berupa benda objek fisik hasil karya manusia zaman
seluruhnya merupakan asset yang tidak sekedar wakil dari kehidupan yang pernah
Wuna yang dibangun pada masa Raja Lakilaponto sepanjang ± 8.073 meter, Batu
Harimau tempat pencucian kaki raja waktu penobatan, Batu berbunga dan Bukit
Kota Wuna Kecamatan Tongkuno sangat kaya dengan peninggalan budaya masa
lampau terutama terfokus pada benteng Kota Wuna yang didirikan sebagai pusat
Dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis dengan teknik
survey dan wawancara diperoleh dua belas tinggalan. Adapun dua belas tinggalan
tersebut adalah Benteng, Umpak rumah raja, Tempat pelantikan Lakina Wuna,
Kediaman Lakina Wuna, Masjid kota Wuna, dan Makam-makam para raja-raja
Menurut La Ode Uhu bahwa pada sisi bagian Timur benteng dapat dilihat daratan,
pantai dan laut yang ada dibawahnya, sehingga apabila ada musuh yang datang
dari arah laut dapat dengan mudah untuk melihat dan mengawasinya. Benteng ini
dibangun pada masa raja Wuna ke-15 tahun 1671-1716 (wawancara, 10 Oktober
2017). Bastion dari benteng ini yaitu delapan dan berbentuk oval. Bastion ini
39
40
belukar. Untuk mencapai benteng itu tidaklah mudah, kita harus melewati
berbagai rintangan diantaranya medan yang curam, tumbuhan yang gatal dan ular.
Secara teknologi Benteng Sangia Latugho terbuat dari bongkahan batu alam, yaitu
jenis batuan gamping yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Tinggi dinding
Ukuran untuk setiap sisi benteng berbeda-beda disesuaikan dengan kontur tanah.
Meskipun pada beberapa bagian bangunannya sudah runtuh namun dari dinding
Sangia Latugho juga terdapat umpak rumah dan makam Raja Sangia Latugho.
Permukaan tanah yang relatif rata, dikelilingi oleh bukit terjal yang
pertahanan terhadap gangguan musuh dari luar. Pada arah timur benteng terdapat
pemukiman penduduk dan lautan, sedangkan pada arah barat terdapat bukit dan
pegunungan. Dari atas benteng tersebut, dapat dilihat pemandangan yang indah
dan memantau keadaan di sekitar benteng. (Lihat Foto 01, foto 02, foto 03).
41
Foto 01. Dinding dalam Benteng Sangia Latugho yang runtuh di foto dari Arah
Timur Laut
Foto 02. Dinding dalam Benteng Sangia Latugho yang masih utuh
Foto 03. Bastion Benteng Sangia Latugho di foto dari arah timur laut
bongkahan batu yang tersusun sejajar yang terdapat dalam kawasan Benteng
Sangia Latugho merupakan bekas alas tiang rumah raja Sangia Latugho
bahwa tumpukan batu yang letaknya sejajar dan berkisar antara jarak kurang
lebih 3 meter antara batu satu dengan yang lain mengindikasikan bahwa susunan
Tinggalan ini tinggal menyisahkan struktur dari bekas alas tiang rumah raja yang
masih menggunakan batu. Landasan batu ini berjumlah sembilan belas yang
43
terdiri dari dua belas buah sandi sebagai rumah induk, tiga buah sandi sebagai
dapur, dan empat buah sandi sebagai teras (tembi). Tinggi alas tiang rumah yakni
lagi terawat dan terlihat rumput-rumput yang tumbuh dan menempel pada batu
yang pernah dijadikan bekas alas tiang rumah raja pada masa raja Sangia Latugho.
Tempat pelantikan Lakina Wuna terletak pada koordinat 04° 58' 31.52"
LS - 122° 36' 28.96" BT. Tempat pelantikan Lakina Wuna berada di samping
jalan poros tepat di depan Balai desa unit Pemukiman Kota Wuna. Tempat
pelantikan lakina Wuna atau Raja Wuna berbentuk batu yang mempunyai
Wa Ode Muini mengemukakan bahwa pada masa lampau batu ini digunakan
44
sebagai tempat pelantikan raja Wuna pertama sampai dengan raja terakhir. Setiap
raja harus dilantik pada batu ini agar bisa dikatakan sah sebagai raja. Setelah
dilantik, raja harus tinggal di tempat kediaman rumah raja yang telah disediakan
dan disepakatkan bersama oleh kepala distrik pada masa kerajaan Wuna
Untuk ukuran tembok rumah pelindung batu bagian dalam yaitu panjang
5,90 meter, tinggi 1,12 meter, lebar 4 meter, tebal dinding 11 sentimeter, pintu
masuk 2 meter dan lebar pintu 90 sentimeter. Adapun ukuran tembok rumah
pelindung batu bagian luar yaitu panjang pagar luar 8,80 meter, lebar 6,90 meter,
tinggi 1,55 meter, tebal 40 sentimeter. Didalam bangunan ini terdapat tembok
yang susunan batunya direkatkan dengan semen. bangunan ini telah direnovasi.
Setiap raja yang dilantik harus mencuci kakinya di batu tersebut agar menandakan
sah sebagai raja. Dalam komplek bangunan ini terdapat rumah pelindung batu.
rumah raja dan makam keluarga raja tersebut. Kediaman Lakina Wuna terletak
pada koordinat 04°58'29.48" LS - 122° 36' 28.87" BT. Bentuk dari kediaman
tersebut yaitu persegi. Bahan dari kediaman ini yaitu tumpukan batu karang yang
meter, tinggi 70 centimeter. Pada bagian atas struktur kediaman tersebut, terdapat
tersebut. Rumah pada gambar di bawah ini bukan merupakan Lakina Wuna yang
dimaksud akan tetapi rumah masyarakat setempat yang di anggap kurang waras
dan dengan sengaja orang tersebut membangun rumah di atas struktur rumah
dengan semak belukar dan alang-alang serta terdapat pohon besar yang tumbuh di
sekitarnya.
Foto 06. Struktur Bekas Kediaman Lakina Wuna difoto dari arah timur
Sumber: Dokumentasi Hardianti Sindara 2017
46
Masjid Muna berada pada koordinat 04° 58' 20.13" LS - 122° 36' 25.79"
BT. Masjid Wuna pernah dirawat la Ode Dika, Raja Wuna terakhir yang dipilih
oleh Sarano Muna yang dibentuk Raja La Titakono pada abad ke-XVII. Menurut
tersebut sudah tidak asli lagi. Ketika Bupati Muna dijabat oleh Maola Daud pada
tahun 1980-an, bangunan masjid tua itu di rombak total ukuran dan bentuknya.
Giliran Ridwan Bae menjadi Bupati Muna (2000-2005), bangunan masjid itu
2017).
Masjid kota Wuna terletak di depan poros jalan Unit Pemukiman Kota
Wuna, yang dibangun dengan ketinggian pondasi sekitar 100 meter. Saat ini
kondisi masjid kota Wuna masih kurang diperhatikan oleh pemerintah, pasalnya
yakni gerbang utama untuk masuk dalam kawasan masjid. Luas masjid kota Wuna
saat ini sekitar 30 x 40 meter, dengan struktur bangunan tembok serta rangka atap
masjid berbahan baja dengan satu tiang utama yang berada di tengah masjid
menjadi penyangga.
47
pada situs Benteng Kota Wuna ditemukan beberapa kompleks makam raja-raja
Wuna. Adapun tinggan makam raja-raja Wuna yang terdapat di dalam situs
yang terdapat dalam kawasan Benteng Sangia Latugho merupakan makam Laode
1716) (wawancara tanggal 9 Oktober 2017). Makam ini terletak di sebelah Timur
Masjid Kota Wuna tepatnya di sisi luar Benteng Sangia Latugho. Tinggi
48
keseluruhan nisan yakni 90 sentimeter, panjang 2,50 sentimeter, dan lebar 1,90
sentimeter. Lebar dinding luar makam 120 sentimeter, panjang 720 sentimeter dan
yang tidak terlalu besar. Pada sekitar bagian Selatan sengaja ditanami tumbuhan
Secara letak geografis, Makam La ode Huseini berada pada koordinat 04°
58' 30.13" LS - 122° 36' 25.95" BT. La Ode Huseini merupakan Raja Wuna ke-
XVI dengan gelar omputa sangia. Dalam wawancara dengan La Ode Uhu
muna sebab semasa hidupnya dia dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam
49
meter. Lebar kompleks makam yaitu 7 meter. Tinggi kompleks makam yaitu 1,40
meter. Tebal kompleks makam yaitu 80 sentimeter. Lebar pintu kompleks makam
terdapat juga sebuah guci sebagai tempat penampungan air guna sebagai tempat
berwudhu untuk para pengunjung yang ingin menyentuh nisan La Ode Husein.
Raja La ode Bulae gelar Sangia Laghada merupakan Raja Wuna ke-XXVI
(1830-1861). Letak makam Sangia Laghada berada pada titik koordinat 04° 58'
31. 79" LS - 122° 36' 31.78" BT. Bentuk makam ini persegi panjang. Bahan dari
makam ini yaitu batu karang tanpa perekat yang tersusun rapih. Makam ini berada
di depan Masjid Muna dengan orientasi arah hadap utara selatan. Adapun ukuran
50
dari Nisan yaitu 1 meter yang terbuat dari stalakmit. Panjang makam 3 meter,
lebar makam 1,5 meter, dan tinggi makam 1 meter. Kondisi sekitar makam di
tumbuhi rumput liar dan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi keatas. (Lihat
foto 10).
Letak geografis makam ini berada pada posisi 04° 58' 30.15" LS - 122° 36'
32.67" BT. Tinggi nisan 130 sentimeter, panjang 3 meter, lebar 2 meter. Makam
ini berbentuk segi panjang dengan batuan karst yang digunakan sebagai jirat.
Yang unik dari makam ini yaitu makam ini mempunyai dinding yang terbuat dari
batu gunung tanpa ada perekat. Makam ini berada di sebelah utara dari masjid
kota Wuna. Kondisi sekitar makam tersebut telah dipenuhi rumput-rumput dan d
51
bahwa Omputo Sangia Kaindea atau La Ode Ngkadiri merupakan Raja Wuna Ke-
XIII (1626-1671). Raja La Ode Ngkadiri mendapat Gelar Sangia Kaindea karena
pernah ditangkap oleh Belanda diatas sebuah kapal yang diatasnya ada tamannya
satu tahun (wawancara tanggal 8 Oktober 2017). Pada tahun 1668, permaisurinya
Wa Ode Wakelu yang saat itu mengambil alih pemerintahan di Kerajaan Wuna
Kilaponto Raja Wuna ke-VII sebagai konsekuensi menerima jabatan sebagai Raja
04°58'28.66" LS - 122° 36' 28.48" BT. Bentuk makam berbentuk persegi dan
ini juga mempunyai pintu masuk. Makam ini berada tepat diluar kompleks
kediaman Lakina Muna. Makam ini tidak mempunyai nisan. Ukuran makam La
lebar pintu makam yakni 80 sentimeter dan tebal dinding makam yakni 50
ilalang-ilalang.
Secara geografis, letak makam ini berada pada posisi 04° 58' 29.97" LS -
122° 36' 33.05" BT. Bentuk kompleks makam ini persegi panjang. Adapun ukuran
dari kompleks makam ini yaitu panjang 7 meter dan lebar 3 meter serta tinggi 80
didalam kompleks makam ini terdapat tiga makam Raja Wuna yaitu La Ode
Mursali dengan Gelar Sangia Ghola yang merupakan Raja Wuna ke-XX.
Raja Wuna ke-XXIII. Dan La Ode Umara dengan Gelar Omputo Negege yang
merupakan Raja Wuna ke- XIX (wawancara tanggal 9 Oktober 2017). Kondisi
makam-makam ini keturunan raja siapa. Nisan pada makam ini berbentuk
kurang lebih satu meter. Kelompok III terdapat 5 nisan 2 diantaranya berukuran
besar sesuai dengan yang terdapat pada kelompok dua. Kondisi sekitar kompleks
makam ini tidak terawatt dan telah dipenuhi rumput-rumput liar disekitar makam
dan terdapat pula lumut-lumut yang menempel baik pada nisan maupun dinding
makam.
komunitas manusia dari berbagai gangguan, baik gangguan yang datang dari
kelompok manusia itu sendiri maupun dari gangguan binatang liar. Benteng
berfungsi sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan wilayah dari ancaman
pihak luar (Sarjiyanto, 1999: 99). Pendirian benteng Kota Wuna dibangun
sebagai tempat pertahanan terhadap bajak laut serta menjadi pusat pemerintahan
Oleh sebab itu, benteng bisa saja bersifat alamiah ataupun sengaja dibuat
penguasa lokal pada setiap daerah di Nusantara bahkan jauh sebelumnya (masa
punggung bukit atau gunung yang sulit diakses oleh manusia. Untuk menjangkau
permukiman tersebut harus melalui sungai maupun tebing yang curam. Setelah
maka pemukiman mulai bergeser dari tempat tinggi ke daerah rendah dan
membuat lokasi bermukim, sebagaimana halnya juga terjadi dalam sejarah budaya
Buton tahun (1520-1564) dan memeluk Islam yang dibawah oleh Syeikh Abdul
Wahid dari Mekkah (Daulah Turky Usmani), dia berperan aktif menghalau
sehingga Penjajahan Portugis tidak terlihat di Tenggara Sulawesi. Pada masa Raja
akhirnya Sultan Buton tetap melakukan perjanjian Abadi tersebut pada tahun 1613
para pendahulu kedua kerajaan ini. Efek domino dari kerjasama tersebut
menimbulkan peperangan antara Muna dan Buton di Bawah Pimpinan Raja Muna
dari VOC maka pasukan Kerajaan Muna harus mundur (Rustam Tamburaka,
2007).
Selang beberapa waktu pasukan Buton yang diperkuat oleh armada kapal
VOC berlabu di Perairan Pulau Lima tepatnya di depan Lohia. Pihak Buton dan
VOC mengirim utusan untuk menemui Raja Wuna dengan alasan perundingan
57
perdamaian di antara kedua bela pihak. Mula-mula La Ode Ngkadiri atau Sangia
Kaindea meragukan hal tersebut, namun karena terbujuk oleh alasan persaudaraan
pulau Lima Raja Wuna tersebut tidak diajak untuk berunding seperti apa yang
diberitahukan semula, dia ditangkap dengan tipu muslihat oleh Buton dan VOC
kembali oleh pihak Kerajaan Wuna dan kembali menduduki tahta Kerajaan Wuna.
yang melakukan peperangan dengan pihak Belanda dan Buton sehingga banyak
menghancurkan kapal-kapal Belanda dan Buton di Wuna. Selain itu Raja Wuna
tersebut mengorganisir semua kekuatan tempur yang ada dan melakukan perang
(1914-1918), dia menentang keras perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 antara
Buton dan Belanda. Raja Wuna menganggap perjanjian tersebut adalah ilegal dan
sepihak dan tidak sesuai dengan Peraturan Adat di Wuna sehingga dia melakukan
Belanda. Walau demikian dia akhirnya tetap terbunuh dalam peperangan tersebut
karena munimnya jumlah persenjataan dan logistik perang. Hal tersebut menandai
Belanda dan Buton di Muna. Walau demikian, para Raja-Raja Wuna berikutnya
5.2 Pembahasan
sisa budaya baik dalam bentuk ekofak, artefak, maupun fitur yang ditinggalkan.
Artefak dan fitur dikatakan sebagai hasil budaya masa lampau yang bersifat
lampau yang tidak bisa dipisahkan dari matriksnya tanpa merubah bentuk. Lokasi
Kota Wuna merupakan suatu bangunan benteng. Di Benteng Kota Wuna terbuat
dari susunan batu karang yang menyiratkan sebagai bangunan pertahanan dan
seperti bentuk pintu gerbang, susunan dinding yang berlapis dua, adanya bastion,
dan ada juga lokasi masjid. Keberadaan Benteng Kota Wuna masih dapat
59
atas pertimbangan keadaan ekologis dan letaknya yang sangat strategis. Situs
benteng tersebut terletak di atas puncak bukit yang memudahkan untuk memantau
pergerakan serangan musuh dari luar, sementara sisi perbukitan yang terjal sangat
tersebut sejalan cdengan yang diungkapkan oleh La Ode Uhu bahwa secara
pemukiman, dalam hal ini benteng tersebut berfungsi sebagai pusat pemerintahan
keberadaan Kerajaan dan pimpinannya. Hal ini didasarkan oleh suatu anggapan
bahwa jika ingin menguasai suatu kerajaan atau daerah, maka benteng pertahanan
harus dikuasai terlebih dahulu karena benteng merupakan simbol kekuatan suatu
kerajaan. Oleh karena itu, posisi benteng yang menghadap ke laut merupakan
strategi politik yang turut diperhitungkan, karena posisi di atas bukit menghadap
masuknya Islam, seperti kediaman Lakina Wuna, masjid Kota Wuna, dan makam-
tampaknya tidak berbeda jauh dengan benteng yang berkembang di tempat lain
60
seperti Benteng Wolio di Buton. Dengan demikian nampak jelas bahwa Benteng
Kota Wuna dapat dikategorikan sebagai salah satu pemukiman yang bercirikan
sebagai kota awal perkembangan Islam karena memenuhi syarat yaitu adanya
itu oleh Lakilaponto dibantu para jin, sebab panjang keliling pagar tembok
mencapai 8.073 meter dengan tinggi empat meter dan lebar dua meter. Selain
tempat perguruan Islam, sesuai anjuran Syekh Abdul Wahid. Pernyataan tersebut
agama Islam pertama di Pulau Wuna. Hal tersebut diperkuat lagi oleh La Ode Uhu
terdapat 12 tinggalan yang diperoleh penulis. Adapun dua belas tinggalan tersebut
yakni, Benteng Sangia Latugho, Umpak rumah Raja Sangia Latugho, Kediaman
Lakina Wuna, Tempat pelantikan Lakina Wuna atau Batu Harimau, Masjid Kota
Wuna, dan makam raja-raja Wuna. Menurut dengan bapak La Ode Uhu
Abdul Rahman Gelar Sangia Latugho, Kompleks Makam Raja La Ode Huseini ,
Makam Raja Sangia Laghada Gelar Sangia Kaindea ( La Ode Ngkadiri), Makam
Makam La Ode Sumaili Gelar Omputo Nisombo, dan Makam La Ode Umara
terdapat dimuka bumi merupakan gambaran dari pola pikir manusia, kebudayaan,
sistem tingkah laku yang telah terdistorsi, selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat
dua konteks utama yang dapat menjelaskan sumber daya budaya, yaitu konteks
sistem dan konteks arkeologi (Schiffer, 1976: 11-12). Sementara itu Leslie White.
A memandang kebudayaan sebagai sistem yang terdiri dari tiga, yaitu sub-sistem
konteks ini sumber daya budaya masih berperan aktif dan dipergunakan oleh
kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. Masing-
masing wujud budaya saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang
kebudayaan itu bersumber dari ide, aktivitas dan artefak. Lebih lanjut dijelaskan
dalam Ramadhan (2003) bahwa ide biasanya akan sangat tampak jelas melalui
suatu alat komunikasiyang antara lain nantinya akan dapat menjawab pertanyaan
tentang: apa yang dirasakan, apa yang diinginkan, apa yang akan diciptakan (rasa,
Hidup manusia penuh dengan simbol dalam berbagai bentuk dan pernyataannya.
Dalam konteks kebudayaan tertentu simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk
yang mempunyai arti tetap dalam suatu jangka waktu tertentu (Greetz, 1973: 140).
atau mewakili sesuatu yang lain atau segala sesuatu yang telah di beri arti dan
makna tertentu ia adalah tanda khusus yang bisa dimengerti dalam konteks yang
ditafsirkan oleh kebudayaan itu sendiri. Rumah merupakan hasil ulah tangan dan
akal atau pikiran manusia yang dipedomani oleh kebudayaannya yang terwujud
dalam bentuk bangunan fisik dan yang memiliki fungsi serta nilai-nilai tertentu.
Faktor yang sangat berperan dalam bentuk dan pola rumah adalah faktor religi
faktor yang dominan disbanding faktor-faktor lain. Setiap unsur yang membentuk
rumah, melambangkan unsure-unsur tertentu dari alam semesta (White, 1966: 32-
40).
rumah istana atau kamali raja La Ode Rahman (Sangia Latugho). Rumah induk
berjumlah dua belas buah sandi. Tiga buah sandi sebagai dapur. Sedangkan empat
63
buah sandi sebagai tembi atau sekarang disebut sebagai teras bagi rumah-rumah
sekarang.
memang patut ditelaah lebih dalam. Penyebabnya adalah kondisi geografis yang
memiliki areal yang subur untuk berbagai kegiatan yang dapat menunjang
mendapat perhatian besar dan menjadi pusat segala aktivitas manusia dalam
bidang sosial maupun kegiatan kebudayaan. Dalam lingkup lebih luas dan
melakukan aktivitas, baik sebagai tempat hunian atau tempat untuk memenuhi
merupakan salah satu kawasan yang sangat subur dan kaya dengan vegetasi, yang
dapat dimanfaatkan oleh manusia, dan fauna dan binatang, yang dapat dikonsumsi
kebudayaan, sistem tingkah laku manusia masa lalu walaupun telah mengalami
dipecahkan melalui inisiatif yang diperkaya dengan proses belajar, baik antar
Situs Benteng Kota Wuna, serta memperhatikan ciri-ciri pada tinggalan budaya
tertentu, sehingga ikatan norma melemah (Flannery, 1980: 101). Hal tersebut
yang tangible maupun intangible akan tetapi sudah tidak digunakan lagi. Sumber
daya budaya yang sudah tidak digunakan lagi seringkali menjadi rusak, hilang dan
punah. Namun tidak jarang sumber daya budaya ini masih ada namun tidak
tampak dan masih mungkin dapat ditemukan kembali. Timbulnya suatu situs
diwilayah Kota Wuna tidak dapat lepat dari kondisi geografis yang melatar
belakanginya. Dalam hal ini masyarakat Kota Wuna akan memilih suatu lokasi
sebagai tempat aktivitas, dan mendirikan benteng dan sarana beribadah dilokasi
yang memenuhi persyaratan diantaranya, tempat yang strategis, aman dari musuh,
Benteng Kota Wuna pada masa lampau pernah digunakan oleh masyarakat tradisi
suatu ruang alam tertentu atau yang sering disebut sebagai strategi adaptasi.
Kota Wuna terdapat tinggalan yang berasal dari jaman yang berbeda, hal ini
Benteng Kota Wuna merupakan tinggalan yang berkelanjutan, yaitu dari masa
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
yang terdapat pada situs Benteng Kota Wuna yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini.
Dari hasil analisis yang dilakukan dengan metode-metode yang ada maka
2. Benteng Wuna yang pada masa itu difungsikan sebagai pemukiman dan
terdapat dalam kawasan unit Pemukiman Kota Wuna ini merupakan salah
satu aset sejarah di Kabupaten Muna yang secara sosial budaya dan agama
67
68
Dari gambaran sejarah Kota Wuna yang saat ini berada di Kawasan Unit
Pemukiman Kota Wuna, Kecamatan Tongkuno ini memiliki artefak, yang bukan
saja berupa benda objek fisik hasil karya manusia seperti perkakas, senjata dan
sekedar representative dari kehidupan yang pernah ada, tapi juga memang realistis
6.2 Saran
agar keamanan situs terjaga dari kerusakan dan dapat terpelihara dengan
baik.
lampau.
69
DAFTAR PUSTAKA
http://kebudayaankemdikbud.go.id/bpcbmakassar/2014/07/16/445/
Deetz, Huang Chih (ed). 1968. Settlement Archaeology. California: Palo Alto
Mundardjito. 1993. “Tantangan Arkeologi Indonesia Dalam Pembangunan
70
Gregor, S. Arthur, 1974. The Adventure of Man. New York: Washington Square
Press.
Moeliono, Anton M. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sumadio, Bambang, 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumalyo, Yulianto Dkk. 2013. Dari Kale Gowa Ke Somba Opu Merajut Simpul-
Simpul Pertahanan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Makassar:
penerbit identitas unhas dan danarosi media.
Tanudirjo, Daud Aris 1989. “Ragam Metode Penelitian Arkeologi Dalam Skripsi
Karya Mahasiswa Arkeologi UGM”. Laporan Penelitian. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM.
White, Leslie A. 1966. The Concept of Cultural System. New York: A Key to
Understanding Tribes and Nation.
Willey, Gordon R. dan Philips Philipe. 1963. Method and Theory in American
Archaeology. London: The University of Chicago Press.
www. Profil Wilayah Kabupaten Muna.com. Diunduh tanggal 4 juni 2015 pukul.
23.00 WITA.
Lampiran 1
DAFTAR NARASUMBER
Usia : 50 Tahun
2. Nama : LA Apo
Usia : 30 Tahun
3. Nama : Pace
Usia : 55 Tahun
Pekerjaan : Petani
Usia : 53 Tahun
Usia : 52 Tahun
Pekerjaan : Petani
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
lokasi penelitian, baik Tokoh Adat, Agama, maupun masyarakat yang bersifat
dilakukan secara bebas namun tetap mengacu pada inti dari permasalahan
a. Identitas diri
1. Nama :
2. Umur :
3. Pekerjaan :
4. Alamat :
a. Pertanyaan Penelitian
4. Pada tahun berapa dan Raja Keberapa Benteng Kota Wuna dibangun?
10. Makam raja-raja Wuna siapa sajakah yang terdapat dalam kawasan
SangiaLatugho?
13. Kenapa bisa dikatakan kalau itu bekas alas tiang rumah Raja
SangiaLatugho?
Lampiran 3
DAFTAR RAJA-RAJA MUNA
1395).
30. La Ode Ahmad Maktubu Gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 – 1914)
34. La Ode Dika Gelar OmputoKomasigino (1930 – 1938), 1938 – 1947 terjadi