Anda di halaman 1dari 8

KOREKSI FISKAL

Koreksi fiskal adalah koreksi atau penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak
sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak orang
pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun
biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.

Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Beda tetap.
Yaitu penghasilan dan biaya yang diakui dalam penghitungan laba neto untuk akuntansi
komersial tetapi tidak diakui dalam penghitungan akuntansi pajak.
Contoh penghasilan : sumbangan, Penghasilan bunga deposito.
Contoh biaya : biaya sumbangan, biaya sanksi perpajakan.

b. Beda waktu
Yaitu penghasilan dan biaya yang dapat diakui saat ini oleh akuntansi komersial, tetapi
tidak dapat diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya karena perbedaan metode
pengakuan.
Contoh penghasilan : pendapatan laba selisih kurs
Contoh biaya : biaya penyusutan, biaya sewa

Jenis koreksi fiskal adalah sebagai berikut :

a. Koreksi fiskal positif


Yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh
terutang.
Contoh : Biaya PPh
Selengkapnya lihat Jenis koreksi fiskal positif.

b. Koreksi fiskal Negatif


Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena pajak dan PPh
terutang.
Contoh : Penghasilan bunga deposito.
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 jo UU Nomor 17 Tahun 2000), yaitu terdiri dari :

Beda Tetap :

– Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh


bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia.

– Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh


telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final)
sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung
PPh yang terutang. Misalnya : penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang
telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.

Adapun contoh cara menghitung penghasilan dapat digambarkan pada bagan sebagai
berikut :

Perusahaan Dagang

Penjualan Bruto ……………………………………………… Rp

-/- Retur ……………………………………………………….. Rp (-)

Penjualan Netto ………..….……………………………….. Rp

Harga Pokok Penjualan:

Persediaan awal tahun ….… Rp__________

Pembelian ……………… Rp _ (+)

Tersedia untuk dijual ……. Rp _

Persediaan akhir tahun … Rp (-)

Harga Pokok Penjualan ……………………………………. Rp (-)


Laba Bruto Usaha ………………………………………… Rp____________

Biaya administrsi dan Umum …………………………… Rp (-)

Penghasilan Netto Usaha ………………………………… Rp____________

Penghasilan Di Luar Usaha ………… Rp…………………..

Biaya Di Luar usaha …………………… Rp……… ………..

Penghasilan netto luar usaha ………………………….. Rp …………………_

Jumlah Penghasilan Neto (Komersial).………………… Rp

===========

Dari jumlah penghasilan neto komersial tersebut, kemudian dilakukan penyesuaian-


penyesuaian (adjust-ment), yang didasarkan pada aturan-aturan perpajakan untuk
memperoleh penghasilan neto fiskal, yakni penghasilan neto yang didasarkan pada
perhitungan yang diakui secara fiskal. Penyesuaian-penyesuaian tersebut disebut KOREKSI
FISKAL. Koreksi fiskal ada dua macam, yakni koreksi fiskal POSITIF dan koreksi fiskal
NEGATIF.

Pengertian Rekonsiliasi Fiskal

Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan antara komersil
dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi
fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian pelaporan keuangan wajib pajak badan
menurut ketentuan komersial diubah menjadi menurut ketentuan perpajakan atau fiskal.
Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi
menurut SPT Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba fiskal dalam tahun pajak
yang didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur
penyusunan laporan laba rugi, meliputi pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi
fiskal dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak yang memiliki penghasilan final
2. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan
(pasal 9 UU PPh)
4. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi
metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi fiskal ini terdiri dari koreksi
positif dan koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal
bertambah atau rugi fiskal berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan
laba fiskal berkurang atau rugi fiskal bertambah.

a. Koreksi Fiskal Positif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang
menghasilkan Laba Fiskal lebih besar dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih kecil
dari pada Rugi Komersial).

Contoh:

Uraian Komersial Fiskal Keterangan

Pemberian sembako untuk pegawai diakui Tidak diakui Harus dikoreksi

Pemberian fasilitas rekreasi u/ pegawai diakui Tidak diakui Harus dikoreksi

Pemberian fasilitas tempat tinggal u/pegawai diakui Tidak diakui Harus dikoreksi

Akibat dari adanya koreksi ini maka biaya yang dihitung secara fiskal menjadi lebih kecil
dari pada biaya yang dihitung secara komersial. Akibat selanjutnya laba yang dihitung
secara fiskal menjadi lebih besar dari pada laba yang dihitung secara komersial. Karena laba
yang dihitung secara fiskal menjadi lebih besar maka disebut koreksi fiskal positif.
b. Koreksi Fiskal Negatif: koreksi yang dilakukan atas Laba Rugi Komersial yang
menghasilkan Laba Fiskal lebih kecil dari pada Laba Komersial (atau Rugi Fiskal lebih besar
dari pada Rugi Komersial).

Contoh:

Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi menggunakan Metode Garis Lurus untuk jangka
waktu lima tahun untuk aset senilai Rp100.000.000. Perhitungan penyusutan Komersial-
nya adalah sbb:

Harga perolehan Rp100.000.000

Penyusutan tahun pertama 20% Rp20.000.000

Penyusutan dalam perhitungan Laba Rugi Fiskal menggunakan Metode Sado Menurun
dengan tarif 25% dari Nilai Sisa Buku. Perhitungan penyusutan Fiskalnya adalah sbb:

Harga perolehan Rp100.000.000

Penyusutan tahun pertama 25% Rp25.000.000

Penyusutan tahun pertama adalah 25% dari nilai perolehan, karena pada tahun pertama
nilai bukunya sama dengan nilai perolehan.

Jika diperbandingkan antara penyusutan komersial dengan penyusutan komersial akan


tampak sebagai berikut:

Uraian Komersial Fiskal Keterangan

Penyusutan Rp20.000.000 Rp25.000.000 Harus dikoreksi sebesar Rp5.000.000

Penyusutan fiskal pada contoh tersebut diatas lebih besar Rp5.000.000 dari pada
penyusutan komer-sial. Karena penyusutan sebagai beban secara fiskal dihitung lebih besar
maka akibatnya penghasilan secara fiskal menjadi lebih kecil. Karena laba secara fiskal
menjadi lebih kecil (atau rugi secara fiskal menjadi lebih besar), maka disebut koreksi fiskal
negatif.

Selanjutnya dari dari bagan perhitungan Laba Rugi dengan hasil akhir Jumlah penghasilan
Neto Komersial tersebut dimuka, dapat diteruskan sebagai berikut:

Penghasilan Neto Komersial …………………. Rp………………….

Koreksi Positif …………… Rp…………………..

Koreksi Negatif …………. Rp…………………..

Saldo Koreksi ……………………………………… Rp………………….. + (-)

Laba/Rugi Fiskal …………………………………. Rp…………………..

– Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh
tidak dapat dibebankan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), misalnya ;

– Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak
atau pengenaan pajaknya bersifat final.

– Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam


bentuk natura atau kenikmatan.

– Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.

– Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya ; daftar nominatif biaya entertainment,
daftar nominatif atas peghapusan piutang).
2. Beda Waktu :

Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan
ketentuan fiskal, misalnya ;

– Metode penyusutan

– Metode penilaian persediaan

– Penyisihan piutang tak tertagih

– Rugi-laba selisih kurs

– Dan sebagainya

Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000,00 (empat miliar lima
ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif
sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT
Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 = Rp 70.000.000,00
Contoh 2):
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar
rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:

(Rp 4.800.000.000,00/Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp 480.000.000,00

2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas:

Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00


Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x Rp 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp 705.600.000,00 +
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00

Anda mungkin juga menyukai