Anda di halaman 1dari 10

PERTEMUAN 7

KONSEP DASAR REKONSILIASI FISKAL DAN PERHITUNGAN PPH


TERUTANG

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Pertemuan 7 mengenai konsep dasar rekonsiliasi fiskal,
mahasiswa mampu memahami konsep dasar dalam penyusunan rekonsiliasi fiscal
dan mengklasifikasikan tarif PPh terutang berdasarkan jumlah peredaran bruto
Wajib Pajak Badan.

B. Uraian Materi
1. Konsep Dasar Rekonsiliasi Fiskal
Perbedaan dasar penyusunan laporan keuangan komersial dengan
ketentuan dalam peraturan perpajakan akan menghasilkan angka laba yang
berbeda (laba komersial dan laba fiscal). Wajib pajak badan pada setiap tahunnya
wajib Menyusun dua laporan keuangan yang berbeda untuk tujuan yang berbeda
pula yaitu laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal. Laporan
keuangan yang dimaksud dalam bab ini berfokus pada Laporan Laba Rugi untuk
menentukan besarnya jumlah pajak terutang yang harus dibayarkan oleh wajib
pajak badan. Laporan laba rugi komersial disusun dengan berlandaskan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, sedangka laporan laba rugi fiscal
disusun berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Perbedaan
dasar yang digunakan menyebabkan adanya perbedaan prinsip, khusunya pada
perlakuan dalam hal pengakuan biaya dan pendapatan. Untuk itu perlu dilakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap akun-akun yang terdapat dalam Laporan
Laba Rugi Komersial sehingga sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Penyesuaian itulah yang dinamakan Rekonsiliasi Fiskal.
Secara umum, rekonsiliasi fiscal dilakukan baik terhadap pos-pos biaya
dan pos-pos pendapatan yang terdapat dalam laporan laba rugi komersial. Pos-
pos yang perlu dilakukan rekonsiliasi fiscal adalah sebagai berikut :
a. Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
Bersifat Final
Atas seluruh penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat
final, maka penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan Pajak
Penghasilan pada akhir tahun karena kewajiban perpajakannya dianggap
telah selesai (final).
b. Wajib pajak yang memiliki penghasilan yang bukan Objek Pajak (Pasal 4 ayat
(3))
Atas penghasilan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) Undang Undang
Pajak Penghasilan tidak dikenakan pajak, sehingga tidak diperkenankan
dihitung dalam menghitung besarnya pajak terutang. Misalnya penghasilan
yang berasal dari hibah atau warisan atau penghasilan deviden yang
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat (3)
c. Wajib pajak yang mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto atau non deductible expense sebagaimana tercantum
dalam Pasal 9 Undang Undang Pajak Penghasilan
d. Wajib pajak yang menggunakan metode perhitungan berbeda dengan yang
digunakan dalam perundang-undangan perpajakan. Misalnya perbedaan
metode penghitungan penyusutan yang akan menyebabkan selisih
perhitungan setiap tahunnya, walaupun pada akhir masa manfaat akan
menunjukkan nilai yang sama
e. Wajib pajak yang mengeluarkan biaya-biaya yang digunakan untuk
mendapatkan penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final
ataupun penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

Proses rekonsiliasi fiskal memunculkan dua jenis koreksi fiscal yang akan
berpengaruh terhadap laba fiskal yaitu Koreksi Fiskal Positif dan Koreksi Fiskal
Negatif.
a. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi fiskal positif merupakan penyesuaian fiskal yang akan berdampak
pada bertambahnya penghasilan neto fiskal. Misalnya, perusahaan
memberikan sumbangan untuk karyawannya yang menikah. Dalam Laporan
Laba Rugi Komersial, biaya sumbangan tersebut boleh mengurangi
penghasilan bruto perusahaan, namun dalam perpajakan jenis sumbangan
yang diperkenankan mengurangi penghasilan bruto sudah ditentukan
diantaranya adalah sumbangan yang ditujukan untuk pembangunan
infrastruktur social dan sumbangan yang sifatnya nasional. Sehingga atas
biaya sumbangan kepada karyawan tersebut harus dilakukan koreksi fiscal
yang akan menyebabkan penghasilan neto fiscal menjadi lebih besar.
Ilustrasi :
Laporan
Koreksi Fiskal Laba/Rugi
Laporan Laba/Rugi Komersial
Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 100.000.000 - - 100.000.000
Harga Pokok Penjualan (50.000.000) - - (50.000.000)
Laba Bruto 50.000.000 - - 50.000.000
Biaya Usaha :
- Biaya Gaji 20.000.000 - - 20.000.000
- Biaya Sumbangan 10.000.000 10.000.000 - -
Karyawan Menikah
Laba Komersial 20.000.000 10.000.000 - 30.000.000

Pada ilustrasi diatas terlihat bahwa munculnya koreksi positif senilai Rp


10.000.000 menyebabkan Penghasilan Neto Fiskal (Laba Fiskal) menjadi Rp
30.000.000, semula laba komersial menunjukkan nilai Rp 20.000.000. Maka,
biaya-biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan diletakkan pada koreksi fiskal positif dan akan menambah
besarnya laba fiskal dan juga pajak penghasilan yang harus dibayar menjadi
semakin besar.

b. Koreksi Fiskal Negatif


Koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian yang mengurangi besarnya
penghasilan neto fiscal. Misalnya didalam laporan laba rugi komersial
perusahaan terdapat penghasilan yang berasal dari sewa bangunan, maka
atas penghasilan sewa bangunan tersebut tidak diperkenankan untuk diakui
sebagai penghasilan karena telah dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final.
Hal tersebut akan mengakibatkan penghasilan neto menjadi lebih kecil dan
pajak yang harus dibayar juga menjadi lebih kecil.
Ilustrasi :
Laporan
Koreksi Fiskal Laba/Rugi
Laporan Laba/Rugi Komersial
Fiskal
Positif Negatif
Penjualan 100.000.000 - - 100.000.000
Harga Pokok Penjualan (50.000.000) - - (50.000.000)
Laba Bruto 50.000.000 - - 50.000.000
Biaya Usaha :
- Biaya Gaji 20.000.000 - - 20.000.000
Pendapatan Dari Luar
Usaha :
- Sewa Bangunan 10.000.000 10.000.000 -
Laba Komersial 40.000.000 - 10.000.000 30.000.000

Pada ilustrasi diatas terlihat bahwa munculnya koreksi negatif senilai Rp


10.000.000 menyebabkan Penghasilan Neto Fiskal (Laba Fiskal) menjadi Rp
30.000.000, semula laba komersial menunjukkan nilai Rp 40.000.000. Maka,
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final dan penghasilan
yang bukan merupakan objek pajak diletakkan pada koreksi fiskal negatif dan
akan mengurangi besarnya laba fiskal dan juga pajak penghasilan yang harus
dibayar menjadi semakin kecil.

Berdasarkan jangka waktu dan dampaknya terhadap penghasilan neto


fiscal, penyesuaian fiskal terbagi dalam dua kategori yaitu :
a. Beda Tetap
Beda tetap merupakan efek yang timbul akibat dari penyesuaian fiscal dan
sifatnya permanen. Artinya, selama tidak ada perubahan peraturan
perundang-undangan perpajaka, maka pos tersebut akan terus berbeda
dengan penyajiannya di laporan laba rugi komersial. Yang tergolong kedalam
beda tetap adalah penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat
final, penghasilan yang bukan objek pajak dan biaya-biaya yang menurut
ketentuan perpajakan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
b. Beda Waktu
Beda waktu merupakan efek yang timbul akibat dari penyesuaian fiscal namun
sifatnya sementara waktu saja. Artinya, koreksi fiscal yang dilakukan akan
diperhitungkan dengan laba kena pajak pada tahun-tahun berikutnya, dimana
jika suatu penghasilan atau biaya pada periode berjalan tidak dapat diakui
dalam laporan laba rugi, kemungkinan akan dapat diakui dalam periode atau
tahun yang akan datang. Beda waktu secara umum disebabkan oleh
perbedaan metode atau asumsi yang digunakan dalam laporan laba rugi
komersial, dimana metode tersebut berdampak terhadap penilaian akun-akun
dalam laporan keuangan dan biasanya terjadi pada akun persediaan, piutang
dagang, aktiva tetap dan lain sebagainya.
Contoh beda waktu diantaranya adalah perbedaan yang timbul akibat
perhitungan penyusutan. Besarnya biaya penyusutan komersial dan fiscal
pada setiap tahunnya akan menunjukkan nilai yang berbeda selama masa
manfaat asset tetap tersebut, namun pada akhir masa manfaat jumlah biaya
penyusutan yang dibebankan akan sama. Jadi biaya penyusutan akan
menyebabkan perbedaan pada laba komersial dan laba fiscal namun hanya
untuk beberapa waktu saja yaitu selama masa manfaat asset tersebut. Selain
penyusutan, beda waktu juga bisa timbul akibat perbedaan metode penilaian
persediaan, selain itu pengakuan penghasilan berdasarkan cash basis dan
accrual basis juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya beda waktu.
Misalnya, dalam Akuntansi pengakuan penghasilan/biaya untuk periode lebih
dari satu tahun harus dialokasikan sesuai dengan masa perolehannya sesuai
dengan prinsip matching cost with revenue sedangkan menurut Undang
Undang Perpajakan, penghasilan atau biaya tersebut harus diakui sekaligus
pada saat diterima atau dikeluarkan.

Ilustrasi Beda Waktu :


Untuk memahami penerapan koreksi beda waktu, berikut adalah
contoh kasus mengenai perbedaan pencatatan atas persediaan. Saat ini, baik
secara Akuntansi maupun perpajakan metode penilaian persediaan hanya
dapat dilakukan dengan dua metode yaitu First In First Out (FIFO) dan metode
Average. Didalam perhitungan laba rugi perusahaan, kedua metode tersebut
akan menghasilkan nilai yang berbeda sehingga akan berpengaruh pada nilai
laba perusahaan dan konsekuensinya terhadap nilai pembayaran pajak.
Berikut ilustrasinya :

Data persediaan PT XYZ pada Januari 2020 adalah sebagai berikut :


Tanggal Keterangan Unit Harga/Unit Total
1 Januari Persediaan Awal 10 1.000 10.000
2 Januari Pembelian 20 1.100 22.000
5 Januari Pembelian 10 1.150 11.500
20 Januari Penjualan 15 2.000 30.000
25 Januari Pembelian 5 1.200 6.000
30 Januari Penjualan 25 2.000 50.000

Mengacu pada data diatas, maka berikut perhitungan nilai persediaan, harga
pokok penjualan dan laba PT XYZ dengan menggunakan kedua metode
tersebut:
Metode FIFO Average
Penjualan 80.000 80.000
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan Awal 10.000 10.000
Pembelian 39.500 39.500
Barang Tersedia Dijual 49.500 49.500
Persediaan Akhir 6.000 5.500
Harga Pokok Penjualan 43.500 44.000
Laba 36.500 36.000

Penjelasan :
METODE FIFO
Sebelum melakukan perhitungan atas jumlah laba, maka perlu dihitung nilai
persediaan kahir terlebih dahulu :
Persediaan Akhir = Persediaan Awal + Pembelian – Penjualan
= 10 Unit + 35 Unit - 40 Unit
= 5 Unit
Karena metode yang digunakan adalah FIFO, maka harga pokok yang digunakan
adalah harga yang terakhir dibeli, sehingga nilai persediaan akhir menjadi :
5 unit x Rp 1.200 = Rp 6.000, sehingga laba yang diperoleh adalah sebesar Rp
80.000 – Rp 43.500 = Rp 36.500

METODE AVERAGE
Dengan menggunakan hasil persediaan pada metode FIFO yaitu sebanyak 5 unit,
maka harga yang digunakan dalam metode average adalah harga rata-rata.
Harga Rata-Rata = Nilai Barang Tersedia Dijual : Jumlah Unit
= Rp 49.500 : 45 Unit
= Rp 1.100
Sehingga, nilai persediaan akhir menjadi 5 Unit x Rp 1.100 = Rp 5.500. Maka,
dengan menggunakan metode average didapatkan laba sebesar : Rp 80.000 – Rp
44.000 = Rp 36.000
Kedua metode diatas menunjukkan nilai laba yang berbeda, laba tertinggi
didapatkan Ketika perusahaan menggunakan metode FIFO. Jika dalam Laporan
laba rugi komersial perusahaan menggunakan metode FIFO dan dalam laporan
laba rugi fiscal menggunakan Metode Average, maka akan muncul selisih
penilaian persediaan yang harus dilakukan koreksi fiskal.
2. Kompensasi Kerugian Fiskal
Ketika sebuah perusahaan mengalami kerugian fiscal, kerugian tersebut
dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiscal selama 5 tahun
berturut-turut dimulai pada tahun berikutnya setelah tahun kerugian diderita oleh
wajib pajak.
Ilustrasi
PT Y dalam tahun pajak 2015 mengalami kerugian fiscal senilai Rp 1.200.000.000.
Pada tahun-tahun berikutnya, PT Y mencatatkan laba rugi fiscal dengan detail
berikut ini :
2016 : Laba Fiskal Rp 200.000.000
2017 : Rugi Fiskal Rp 300.000.000
2018 : Laba Fiskal Rp 0
2019 : Laba Fiskal Rp 100.000.000
2020 : Laba Fiskal Rp 800.000.000
2021 : Laba Fiskal Rp 500.000.000

Maka, kompensasi kerugian fiscal dihitung sebagai berikut :


Rugi Fiskal Tahun 2015 Rp 1.200.000.000
Laba Fiskal 2016 Rp 200.000.000 –
Sisa rugi fiscal 2015 Rp 1.000.000.000
Rugi fiscal tahun 2017 Rp 300.000.000
Sisa rugi fiscal tahun 2015 Rp 1.000.000.000
Laba Fiskal tahun 2018 Rp 0+
Sisa rugi fiscal tahun 2015 Rp 1.000.000.000
Laba Fiskal tahun 2019 Rp 100.000.000 –
Sisa rugi fiscal tahun 2015 Rp 900.000.000
Laba fiscal tahun 2020 Rp 800.000.000 -
Sisa rugi fiscal tahun 2015 Rp 100.000.000
Sisa rugi fiscal tahun 2017 Rp 300.000.000
Laba fiscal tahun 2021 Rp 500.000.000 –
Sisa rugi fiscal tahun 2017 Rp 0

Sisa rugi fiscal tahun 2015 yang masih tersisa di akhir tahun 2020 senilai Rp
100.000.000 sudah tidak dapat lagi dikompensasikan dengan laba fiscal tahun
2021, sedangka rugi fiscal tahun 2017 hanya boleh dikompensasikan dengan laba
fiscal di tahun 2021 mengingat jangka waktu kompensasi yang sudah melewati 5
tahun. Kompensasi kerugian fiscal tersebut dimasukkan kedalam formulir Khusus
2A pada SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan.

3. Penghitungan Pajak Penghasilan Badan Terutang


Perhitungan Pajak Penghasilan terutang merupakan penerapan tarif
terhadap laba fiscal dari suatu badan usaha. Terhitung mulai tahun pajak 2009,
terdapat 3 skema tarif dalam menghitung besarnya PPh badan terutang yang
akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Mulai tahun pajak 2021, untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap diberlakukan tarif tunggal 22% yang sebelumnya adalah 25%.
Tarif ini diberlakukan untuk semua wajib pajak badan dalam negeri dan BUT
yang mempunyai peredaran bruto diatas Rp 50 Miliar. Misalnya, jumlah
peredaran bruto PT YXZ pada tahun pajak 2018 adalah Rp 54.000.000.000
dengan jumlah Penghasilan Kena Pajaknya adalah Rp 4.000.000.000, maka
PPh terutangnya adalah 25% x Rp 4.000.000.000 = Rp 1.000.000.000
b. Bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka
dengan paling sedikit mencatatkan 40% modal dari keseluruhan saham yang
disetor dan diperdagangkan di bursa efek Indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya akan mendapatkan penurunan tarif sebesar 5%
dari tarif 25% atau 22%. Misalnya, PT YXZ, Tbk telah memenuhi ketentuan
sebagai wajib pajak yang mendapatkan pengurangan tarif dan memperoleh
Penghasilan Kena Pajak pada tahun 2018 sebesar Rp 1.250.000.000. Maka,
PPh terutangnya adalah (25% - 5%) x Rp 1.250.000.000 = Rp 250.000.000
c. Tarif sebagaimana tercantum dalam Pasal 31E Undang Undang Pajak
Penghasilan, dimana tarif ini berlaku khusus bagi wajib pajak badan dalam
negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Miliar. Wajib
pajak badan dalam negeri akan mendapatkan fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% dari tarif umum yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian Peredaran Bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000.

Ilustrasi 1
PT XYZ pada tahun 2018 mencatatkan peredaran bruto sebesar Rp
4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000. Karena
Penghasilan Kena Pajak PT XYZ tidak melebihi Rp 4.800.000.000, maka
seluruh penghasilan kena pajaknya yaitu sebesar Rp 500.000.000
mendapatkan pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif PPh Badan yang
berlaku dan perhitungan PPh terutangnya adalah :
(50% x 25%) x Rp 500.000.000 = Rp 62.500.000

Ilustrasi 2
PT XYZ mencatatkan peredaran bruto pada tahun 2018 sebesar Rp
30.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.200.000.000.
Maka, PPh terutang dihitung sebagai berikut :
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas :
(Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 5.200.000.000 = Rp
832.000.000
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas :
Rp 5.200.000.000 – Rp 832.000.000 = Rp 4.368.000.000

Pajak Penghasilan Terutang :


- (50% x 25%) x Rp 832.000.000 = Rp 104.000.000
- 25% x Rp 4.368.000.000 = Rp 1.092.000.000 +
Jumlah Pajak Penghasilan Terutang = Rp 1.196.000.000

C. Latihan Soal
1. Atas penjelasan yang telah disampaikan dalam modul, berikanlah kesimpulan
saudara mengenai siapa wajib pajak yang wajib melakukan rekonsiliasi fiscal ?
dan bagaimana perlakuannya jika wajib pajak badan memiliki omzet kurang dari
Rp 4.800.000.000 per tahun !
2. Hitunglah Pajak Penghasilan Badan Terutang jika diketahui :
a. Peredaran Bruto Rp 42.000.000.000, Penghasilan Kena Pajak Rp
6.000.000.000
b. Peredaran Bruto Rp 30.000.000.000, Penghasilan Kena Pajak Rp
2.300.000.000
c. Peredaran Bruto Rp 55.000.000.000, Penghasilan Kena Pajak Rp
4.200.000.000
D. Referensi

Anda mungkin juga menyukai