Komoditas Udang Tangkap (Penaeus indicus dan P. merguiensis) dengan Trammel net di Perairan Kotabaru,
Kalimantan Selatan dari Tim WWF Indonesia dan Seafood Savers untuk Perbaikan Pengelolaan Perikanan.
Dilaksanakan oleh:
Buguh Tri Hardianto, Faridz Rizal
Klien:
PT. Sekar Laut
Kontak klien:
Welliam (PT Sekar Laut/ 0812 3528 4352)
Laporan ini merupakan kajian independen yang dilakukan oleh Program Kelautan WWF Indonesia terhadap
aktivitas perikanan klien. Hak kepemilikan atas laporan ini ada pada Program Kelautan WWF Indonesia dan
klien. Pembuatan salinan baik sebagian atau keseluruhan laporan ini diperbolehkan hanya jika diijinkan oleh
kedua belah pihak.
Daftar Isi
Ringkasan Eksekutif ............................................................................................................................................................ 3
1. Pendahuluan ............................................................................................................................................................... 5
1.1. Lingkup Studi Penilaian Awal .............................................................................................................................. 5
1.2. Tujuan Penilaian Awal ........................................................................................................................................ 6
2. Sumber Informasi Yang Digunakan ............................................................................................................................ 6
3. Deskripsi Perikanan .................................................................................................................................................... 6
3.1 Musim Dan Daerah Tangkapan Ikan ........................................................................................................................... 11
3.1. Udang Target Tangkapan .................................................................................................................................. 13
4. Sumberdaya Perikanan ............................................................................................................................................. 14
4.1. Karakteristik Ikan Target Tangkapan ................................................................................................................ 14
4.2. Pendugaan Stok Ikan ........................................................................................................................................ 17
5. Interaksi Perikanan Dengan Ekosistem .................................................................................................................... 17
5.1. Spesies Primer .................................................................................................................................................. 17
5.2. Spesies Sekunder .............................................................................................................................................. 19
5.3. Spesies Dilindungi Dan Terancam Punah ......................................................................................................... 20
5.4. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Habitat Dasar Laut ................................................................................ 20
5.5. Efek Pada Rantai Makanan (Trophic Effect) ..................................................................................................... 20
6. Pengelolaan Perikanan ............................................................................................................................................. 21
6.1. Badan Pengelola Perikanan .............................................................................................................................. 21
6.2. Strategi Pengelolaan Perikanan Secara Umum ................................................................................................ 21
6.3. Pengelolaan Perikanan Tertentu ...................................................................................................................... 21
6.4. Subsidi Perikanan.............................................................................................................................................. 21
7. Penilaian Awal Perikanan Terhadap Prinsip Dan Kriteria MSC ................................................................................. 22
7.1. Prinsip 1. Keberlanjutan Stok Perikanan .......................................................................................................... 22
7.2. Prinsip 2. Dampak Praktik Perikanan Terhadap Ekosistem .............................................................................. 27
7.3. Prinsip[ 3. Efektifitas Pengelolaan Perikanan ................................................................................................... 38
8. Kesimpulan Dan Rekomendasi ................................................................................................................................. 43
Ringkasan Eksekutif
Sertifikasi ekolabel MSC (Marine Stewardship Council) sejak pertama kali metodenya diperkenalkan pada 1999 telah
secara luas diterima sebagai sistem sertifikasi yang sesuai dengan Panduan Eco-labelling serta CCRF (Code of Conduct
for Responsible Fisheries) dari FAO (Food and Agriculture Organization). Dalam laporan independen yang baru saja
dirilis (2010), Accentura menyebutkan bahwa sistem sertifikasi ini tercatat yang terbaik dari 6 sistem sertifikasi sejenis
lainnya. Dengan menggunakan standar MSC, produk perikanan yang tersertifikasi diharapkan akan memiliki
karakteristik yang baik dalam pengelolaan perikanan, keberlanjutan secara ekologi serta mekanisme
ketertelusurannya. Sistem sertifikasi ekolabel ini telah menjadi standar produk perikanan ramah lingkungan dan lestari
yang menjadi syarat utama agar produk tersebut bisa dipasarkan di negara Eropa dan Amerika. Mayoritas retailer besar
dengan jaringan terluas di kedua benua tersebut bahkan sudah berkomitmen bahwa pada 2012 hanya akan menerima
produk perikanan bersertifikat MSC.
WWF Indonesia menginisiasi Seafood Savers untuk mendukung kelompok nelayan dan Pengusaha perikanaan yang
berkomitmen positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan
bertanggungjawab. Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh Seafood Savers guna mendukung industri adalah melalui
penilaian awal menggunakan standard MSC guna menilai kesiapan industri perikanan terkait memasuki sertifikasi
ekolabel ini.
Penilaian awal ini bertujuan untuk memberikan informasi secara umum mengenai perikanan yang dikaji, berdasar data
yang didapat dari klien dan otoritas pengelola dimana aktivitas perikanan berada. Tujuan lain dari penilaian awal ini
adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan hambatan atau masalah dalam memasuki sertifikasi ekolabel MSC.
Meskipun menggunakan metode yang sama, akan tetapi hasil dari pre assessment maupun full assessment MSC
mungkin akan sedikit berbeda hasilnya jika melibatkan stakeholder dan pendekatan yang berbeda.
Aktivitas perikanan yang dilakukan oleh Nelayan penangkap udang di Kotabaru menggunakan Trammel Net dan Mini
Trawl. Setiap nelayan mempunya armada penangkapannya sendiri. Dalam satu armada penangkapan dioperasikan oleh
satu sampai 3 nelayan. Nelayan yang ada di Kotabaru memiliki persentase imbang dalam penggunaan 2 alat tangkap
tersebut. Akan tetapi setelah ada larangan trawl, nelayan sedang ber-transformasi atau mengubah alat tangkap Mini
Trawl nya menjadi Trammel Net.
Jenis Udang yang menjadi target tangkapan adalah Udang Putih (Penaeus indicus) dan Banana (Penaeus merguiensis).
Sedangkan Udang non-target tetapi memiliki nilai jual dan dimanfaatkan nelayan yakni Udag Windu (P. monodon)
Udang Kerosok (Parapenaeopsis sculptilis), Udang Ende (Metapenaeus ensis), dan Udang Lampis (Metapenaeus
brevicornis). Disamping itu, juga tangkapan sampingan selain udang-udangan. Yakni ikan Kembung (Rastrelliger
kanagurta).
PRINSIP INDIKATOR SKOR PRIORITAS
PERBAIKAN
Keberlanjutan Stok 1.1.1 Status Stok Sumberdaya <60 TINGGI
Perikanan 1.1.2 Pemulihan Stok <60 TINGGI
1.2.1 Strategi Penangkapan (Harvest Strategy) <60 TINGGI
1.2.2 Perangkat dan Peraturan Penangkapan <60 TINGGI
1.2.3 Informasi/Pemantauan <60 TINGGI
1.2.4 Penilaian Status Stok <60 TINGGI
Dampak Praktik 2.1.1 Status Hasil Spesies Primer <60 TINGGI
Perikanan Terhadap 2.1.2 Strategi Pengelolaan Spesies Primer <60 TINGGI
Ekosistem 2.1.3 Informasi <60 TINGGI
2.2.1 Status hasil Spesies Sekunder <60 TINGGI
2.2.2 Strategi Pengelolaan Spesies Sekunder <60 TINGGI
2.2.3 Informasi <60 TINGGI
2.3.1 Status hasil Spesies ETP <60 TINGGI
2.3.2 Strategi Pengelolaan Spesies ETP 60-80 SEDANG
2.3.3 Informasi <60 TINGGI
2.4.1 Status Habitat 60-80 SEDANG
2.4.2 Strategi Pengelolaan Habitat 60-80 SEDANG
2.4.3 Informasi <60 TINGGI
2.5.1 Status Ekosistem <60 TINGGI
2.5.2 Strategi Pengelolaan Ekosistem <60 TINGGI
2.5.3 Informasi/monitoring Ekosistem <60 TINGGI
Efektifitas 3.1.1 Kerangka Hukum 60-80 SEDANG
Pengelolaan 3.1.2 Konsultasi, Peran & Tanggung Jawab <60 TINGGI
Perikanan 3.1.3 Tujuan Jangka Panjang 60-80 SEDANG
3.2.1 Tujuan Perikanan Khusus <60 TINGGI
3.2.2 Proses Pengambilan Keputusan <60 TINGGI
3.2.3 Kesesuaian & Pelaksanaan Peraturan <60 TINGGI
3.2.4 Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan <60 TINGGI
Pengelolaan
1. Pendahuluan
Sertifikasi ekolabel MSC (Marine Stewardship Council) sejak pertama kali metodenya diperkenalkan pada 1999
telah secara luas diterima sebagai sistem sertifikasi yang sesuai dengan Panduan Eco-labelling serta CCRF (Code
of Conduct for Responsible Fisheries) dari FAO (Food and Agriculture Organization). Dalam laporan independen
yang baru saja dirilis (2010), Accentura menyebutkan bahwa sistem sertifikasi ini tercatat yang terbaik dari 6
sistem sertifikasi sejenis lainnya. Dengan menggunakan standar MSC, produk perikanan yang tersertifikasi
diharapkan akan memiliki karakteristik yang baik dalam pengelolaan perikanan, keberlanjutan secara ekologi
serta mekanisme ketertelusurannya. Sistem sertifikasi ekolabel ini telah menjadi standar produk perikanan
ramah lingkungan dan lestari yang menjadi syarat utama agar produk tersebut bisa dipasarkan di negara Eropa
dan Amerika. Mayoritas retailer besar dengan jaringan terluas di kedua benua tersebut bahkan sudah
berkomitmen bahwa pada 2012 hanya akan menerima produk perikanan bersertifikat MSC.
Ekspor perikanan bagi Indonesia merupakan salah satu andalan penyumbang devisa negara. Sebagai negara
dengan dua pertiga luas wilayahnya berupa perairan, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara pengekspor
ikan dunia dengan nilai ekspor US$ 1.69 billion pada 2004 (FAO 2004) dan naik menjadi US$ 1.91 billion pada
2005 (KKP). Melihat permintaan pasar Eropa dan Amerika yang tertarik pada produk perikanan yang sudah
bersertifikasi ekolabel serta dihubungkan dengan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menjadi
negara penyedia produk perikanan terbesar, maka usaha untuk memfasilitasi kebutuhan konsumen di luar
negeri tersebut perlu untuk diakomodasi.
WWF Indonesia menginisiasi Seafood Savers untuk mendukung Pengusaha Perikanan yang berkomitmen
positif untuk mentransformasi kelompok dampingan mereka menjadi berkelanjutan dan bertanggungjawab.
Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh Seafood Savers guna mendukung industri adalah melalui penilaian awal
menggunakan standard MSC guna menilai kesiapan industri perikanan terkait memasuki sertifikasi ekolabel ini.
Penilaian awal dilakukan dengan menggunakan dokumen MSC Pre-Assessment Reporting Template Version 2.0, 8 October 2014.
1.2. Tujuan Penilaian Awal
Penilaian awal ini bertujuan untuk memberikan informasi secara umum mengenai perikanan yang dikaji,
berdasar data yang didapat dari klien dan otoritas pengelola dimana aktivitas perikanan berada. Tujuan lain
dari penilaian awal ini adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan hambatan atau masalah dalam memasuki
sertifikasi ekolabel MSC. Meskipun menggunakan metode yang sama, akan tetapi hasil dari pre assessment
maupun full assessment MSC mungkin akan sedikit berbeda hasilnya jika melibatkan stakeholder dan
pendekatan yang berbeda.
Pertemuan
Tabel 2: Daftar orang yang ditemui
Tanggal & lokasi Nama & Jabatan Lembaga Kontak
5 November 2017 Abah Ali (Nelayan Rampak Nelayan Rampak Lama 082352535459
lama)
5 November 2017 Tajuddin (Pengepul udang 081348258383
lampis)
5 November 2017 Rustam (Pengepul udang 081348859329
Lampis)
4 November 2017 KADIS DKP Kab. Berau KADIS DKP Kab. Berau 081351513961
5 November 2017 Burhan (Fasilitator Lokal dan 081251776218
nelayan)
5 November 2017 Amirullah (Kepala PPI Kotabaru) 085219323117
5 November 2017 Ayun (Pengepul PT. Sekar 081348583333
Laut)
Informasi Lainnya
Komnaskajiskan. 2006. Status sumberdaya stok ikan Indonesia di masing-masing wilayah pengelolaan
perikanan.
Kepmen 45 tahun 2011. Tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
www.fishbase.org
PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 tentang pearangan penggunaan Pukat Hela dan Pukat Tarik di WPP-RI
3. Deskripsi Perikanan
Perikanan udang tangkap di Indonesia mayoritas dilakukan untuk memenuhi pasar Jepang, Amerika, dan Eropa,
karena tingginya harga yang ditawarkan jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh pasar udang
tangkap di dalam negeri. Pemanfaatan kebanyakan dilakukan dengan dua cara; Alat tangkap Pasif seperti
jarring insang dan Jaring Gondrong, dan alat tangkap aktif seperti lempira dasar. Namun semenjak adanya
PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 tentang pearangan penggunaan Pukat Hela dan Pukat Tarik di WPP-RI, Nelayan
sudah cenderung menggunakan jarring insang dan Jaring Gondrong dalam menangkap udang. Akan tetapi
masih ada yang menggunakan lempara dasar dan dogol.
Berdasarkan hasil pertemuan pada Jum’at tanggal 4 November 2016 dengan kelompok nelayan Matahari,
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru, Nelayan Tramel net dan Lampara Dasar di Desa Rampak
lama, Rampak Baru dan Hilir, Juga para pengepul udang di 4 tempat tersebut yang menyatakan bahwa kegiatan
perikanan udang di daerah Kotabaru telah dilaksanakan secara turun temurun, diperkirakan sekitar tahun 80-
an. Awalnya Perusahaan Misaja Mitra yang memulai. Dengan menggunakan Pukat Harimau dalam menangkap
udang. Setelah Pukat Harimau dilarang,sejak tahun 2000 perusahaan tersebut berhenti menangkap dan hanya
membeli udang hasil tangkapan nelayan yang menggunakan Trammel Net atau Jaring Gondrong dan Lampara
Dasar. Sedangkan nelayan tradisional yang ada di Kotabaru, memiliki presentasi 50-50 antara yang
menggunakan Lempara Dasar dan Tramelnet. Target tangkapan dari kedua alat tangkap ini juga berbeda. Bila
tramelnet menargetkan udang Banana dan Tiger dengan ukuran besar, Lampara Dasar lebih menargetkan
udang lampis dan udang kecil lainnya. Aktivitas perikanan yang dilakukan oleh para nelayan di Kotabaru tidak
terfokus pada satu komoditas target. Paling tidak ada 2 jenis udang yang di targetkan nelayan, yaitu udang
Banana dan Tiger. Kedua jenis udang tersebut paling sering ditangkap nelayan menggunakan alat tangkap jaring
grondrong. Armada yang digunakan nelayan dalam mengoperasikan jaring gondrong berukuran <1GT. Setiap
armada penangkapan dioperasikan oleh 2-3 nelayan.
Jaring Gondrong
50 % nelayan di Kotabaru menggunakan jaring gondrong dalam menangkap udang. Dengan menargetkan
udang berukuran besar seperti Udang Banana dan udang Tiger, gondrong dioperasikan oleh 2 orang dalam 1
perahu.biasanya nelayan berangkat melaut pada pukul 05.30 – 14.00.
Tramel net yang dioperasikan oleh nelayan Kotabaru tersebut berbahan Nylon(PA) dan Monofilament dengan
ukuran mata jaring 5 inc pada bagian jaring luar dan 1,6 inc pada bagian jaring dalam. Biasanya nelayan
mengoperasikan trammel net dengan ukuran panjang jaring 28 Meter dan lebar jaring 2 – 3 Meter/ 1 pieces.
Dalam 1 set trammel net yang dioperasikan terdapat 7 – 15 pieces jaring yang saling berkaitan dengan
spesifikasi yang sama. Dalam 1 hari, nelayan dapat mengoperasikan trammel net sebanyak 5 kali.
Gambar 1. Perbedaan Ukuran Mata Jaring Gondrong bagian dalam dan luar
(© WWF-Indonesia 2017/Buguh.T)
Teknik Penangkapan Tramel Net dengan cara bergerak menyapu di dasar perairan dan memotong arus.
Dengan begitu, udang yang ada di dasar perairan akan terjerat oleh jaring. Ada beberapa tahapan dalam
pengoperasian trammel net ini, yaitu;
1. Setting
Setting atau menurunkan jaring, dilakukan oleh 2 orang. Dengan posisi, 1 orang di bagian pelampung jaring dan
1 orang di bagian pemberat jaring. Jaring diturunkan ke dasar perairan, dan diujung jaring diberikan pelampung
tanda.
2. Towing
Towing dilakukan dengan cara melingkar atau bergerak berlawanan. Setelah seluruh jaring turun, perahu akan
bergerak menyapu dasar perairan sehingga udang terjerat di jaring.
3. Hauling
Hauling dilakukan dengan menarik jaring dari sisi yang terikat pada kapal. Jaring ditarik pada bagian pelampung
dan pemberat jaring, sambil mengambil hasil tangkap yang terjerat pada jaring. Udang yang didapat langsung
dimasukkan kedalam wadah (ember) tanpa es.
Hasil Tangkapan
Untuk udang hasil tangkapan, biasanya terdiri dari spesies Udang Windu dan Udang Tiger. Akan tetapi bia
mendapatkan Udang jenis lain seperti udang ende dan udang kesil lainnya, akan dimanfaatkan juga oleh
nelayan. Nelayan biasanya membawa es saat ke laut. Udang hasil tangkapan disimpan kedalam ember yang
berisi es campur air laut . hal ini untuk menjaga kesegaran udang saat dibawa pulang. Akan tetapi, bila udang
sangat banyak dijaring, udang yang tertangkap akan dibiarkan terjerat dijaring tanpa dilepaskan dan disimpan
di ember berisi es. Baru pada saat sampai di rumah, nelayan akan melepaskan udang dari jeratan jaring.
Gambar 1. Udang yang sedang dilepaskan dari jeratan jaring (© WWF-Indonesia 2017/Buguh.T)
Jaring gondrong yang digunakan nelayan termasuk dalam katagori alat tangkap yang selektif. Komposisi hasil
tangkapan jaring gondrong antara lain;
Udang White
Udang Tiger
Rajungan
Ikan Lainnya
Berdasarkan diagram diatas, 80% hasil tangkapan dari jaring gondrong adalah Udang White, 10 % untuk
Udang Tiger, 5% untuk Rajungan, dan 5% untuk ikan lainnya. Berikut adalah gambaran rincian persentase
tersebut;
Tabel Rincian Persentase Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Gondrong
Panaeus 80%
1 Udang white
marguensis
Udang 10%
2 Panaeus monodon
tiger/flower
5 Ikan kembung 5%
Udang hasil tangkapan nelayan biasanya hanya dijual ke pengepul ikan yang ada di Kotabaru. Baru setelah itu,
pengepul udang local ini akan menjualnya ke berbagai daerah, seperti Banjarmasin dan daerah-daerah di Pulau
Jawa.
Terjadi penurunan hasil tangkapan dari para nelayan penangkap Udang yang ada di Kotabaru. Penurunan hasil
tangkapan ini sudah dirasakan oleh para nelayan. Menurut nelayan di Kotabaru, terjadi penurunan dari segi
jumlah dan ukuran hasil tangkapan. Sangat jauh berbeda bila di bandingkan dengan masa 1970’an. Disamping
itu lokasi tangkap para nelayan juga semakin jauh. Menurut penjelasan nelayan, terjadinya penurunan hasil
tangkapan ini merupakan dampak dari adanya kegiatan penangkapan Udang yang merusak seperti penggunaan
bom dan racun.
Lokasi penangkapan dari para nelayan trammel net dan Lampara Dasar berada pada lokasi yang sama. Yang
membedakan dari lokasi tangkap kedua alat tangkap tersebut yakni kedalaman perairan. Dimana biasanya
Tramel Net doperasikan pada kedalaman 7-20 meter, sedangkan Lampara Dasar dioperasikan pada kedalaman
5 – 10 Meter. Perjalanan dari fishing base menuju fishing ground membutuhkan waktu 1-2 jam menggunakan
perahu bermesin 35PK. Beberapa titik fishing ground nelayan yaitu;
- Sebagian ada di perairan sekitar selatan Pulau Sebuku (Tanjung Seloka dan sekitarnya)
Gambar 5. Lokasi penangkapan Udang Nelayan Kotabaru
di sekitar wilayah perairan Kotabaru
4. Sumberdaya Perikanan
4.1. Karakteristik Ikan Target Tangkapan
Udang target tangkapan merupakan dalam kelompok besar Panaeid, dimana Udang jenis ini sering
berasosiasi dengan dasar perairan berlumpur dan berpasir. Udang secara umum berasosiasi dengan dasar
yang berlumpur dan berpasir, meskipun pada tahapan juvenile mereka ditemukan di perairan muara dan
mangrove. Kebanyakan udang ini hidup di perairan 10 – 50 Meter, dengan mayoritas dijumpai pada
kedalaman antara 10 hingga 45 m. Mereka umumnya bersifat omnivore, yang memakan segalanya. Seperti
destritus dan sisa organisme lain.
Tidak ada informasi mengenai komposisi kelamin pada hasil tangkapan, tetapi aktivitas yang ditujukan pada
daerah pemijahan akan mengeksploitasi banyak udang betina. Kebanyakan Daur hidup udang meliputi
beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan
pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-
apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau muara
sungai. Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya
kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian
memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang penaeid dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase, yaitu nauplius, zoea, mysis, post larva,
juvenile (udang muda), dan udang dewasa.
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/
Selain itu UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, telah mengatur prihal kewenangan untuk
pengelolaan sumberdaya termasuk sumberdaya kelautan dan perikanan tikingkat daerah. Dimana
didalamnya berisikan bahwa Pemerintah Provinsi berperan sebagai pengelola ruang laut sampai 12 mil
diluar minyak dan gas bumi, termasuk urusan di bidang perikanan tangkap, budidaya, dan pengawasan
sumberdaya kelautan dan perikanan dibawah 12 mil laut.
Saat ini belum ada Peraturan mengenai Zonasi wilayah pemanfaatan di daerah perairan Kotabaru. Oleh
karena itu sangat diperlukan Peraturan dimana didalamnya berisikan tentang penetapan perairan Kotabaru
sebagai kawasan konservasi perairan daerah Kotabaru. Selain itu, perlu diadakan suatu pengelolaan
perikanan di tingkat daerah yang mengatur tentang aktifitas perikanan Udang. Dengan begitu, aktifitas
penangkapan Udang di Kotabaru akan dapat dikelola dengan baik.
Selanutnya ada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KEPMEN KP) No 80 Tahun 2016 tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan di WPP 713, dimana perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan termasuk
dalam cakupannya. Didalam KEPMEN KP No. 80 tahun 2016 ini, adalah Pengelolaan Perikanan di tingkat
WPP 713 dan panduan untuk wilayah pemerintahan Propinsi atau Kabupaten dalam mengadopsi dan
membuat pengelolaan perikanan di tingkat daerah.
Karena strategi
pemanfaatan belum ada,
maka strategi
pemantauan,
evaluasi, dan review,
juga belum ada ditingkat
dimana pemanfaatan
dilakukan. Pada Permen
29/2012, diatur
mekanisme Pemantauan,
Evaluasi dan Review
terhadap strategi
pemanfaatan
c) evaluasi peraturan
penangkapan (HCR)
Terdapat sistem a) kelaikan dari status stok Belum ada informasi yang
penilaian status stok yang sedang dikaji cukup mengenai unit stok
yang memadai Udang di perairan
Kotabaru dan sekitarnya,
sehingga kegiatan
b) pendekatan penilaian pendekatan assessment
belum bisa diperhitungkan
c) ketidakpastian dalam
penilaian Kegiatan assessment untuk
evaluasi belum bisa
diperhitungkan karena
belum memiliki informasi
d) evaluasi penilaian mengenai stok status
Udang di perairan
e) peninjauan hasil penilaian Kotabaru, khususnya yang
menjadi fishing ground
para nelayan Kotabaru.
Belum tersedianya
informasi mengenai status
stok untuk spesies primer,
sehingga belum ada
langkah pengaturan yang
menjaga agar spesies ini
tidak mengalami
overexploited.
Belum tersedianya
informasi mengenai status
stok untuk spesies
sekunder, sehingga belum
ada langkah pengaturan
yang menjaga agar spesies
ini tidak mengalami
overexploited.
b) efek langsung
2.4.3 Informasi X
Langkah pengelolaan
ketika diimplementasikan
sesuai dengan amanat PP
60 tahun 2007 dapat
menjaga keseimbangan
ekosistem.
Pemahaman terhadap
fungsi komposisi
ekosistem belum diketahui
Relevansi informasi
terhadap komponen dan
elemen ekosistem belum
diketahui.
Pemantauan belum
mencukupi untuk
mengetahui tingkat resiko
aktivitas perikanan
terhadap ekosistem.
PP No 60 Tahun 2007
tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan
UU 31 th 2004 Tentang
Perikanan
Perikanan memiliki tujuan jelas yang dirancang khusus Belum adanya informasi
dalam rangka mencapai hasil-hasil yang termuat di mengenai tujuan jangka
dalam Prinsip 1 da 2 MSC. pendek dan panjang, yang
konsisten dengan
pencapaian hasil
diungkapkan oleh MSC
Prinsip 1 dan 2 dari
praktek perikanan Udang
secara khusus di perairan
Kotabaru dan sekitarnya
3.2.2 Proses pengambilan keputusan X
Belum terbentuknya
proses pengambilan
keputusan yang
menggunakan pendekatan
kehati-hatian dan
didasarkan pada informasi
terbaik yang tersedia.
Komitmen Yayasan WWF-Indonesia bersama PT. Sekar Laut untuk melakukan aktivitas kelestarian sumberdaya
sudah baik. Kurangnya data yang dibutuhkan mengakibatkan pengelolaan perikanan juga belum lengkap
tersedia sehingga disarankan agar praktek penangkapan oleh nelayan dampingan perlu diperbaiki agar sesuai
dengan standar keberlanjutan yang ada pada prinsip MSC, Sepertipadad table berikut;
No Kesimpulan Rekomendasi
1 Masih kurangnya data yang berkaitan Melakukan kajian terkait stok udang di Kotabaru,
tentang status stok udang di Kotabaru Kalimantan Selatan
2 Masih adanya penggunaan mini trawl Tidak membeli udang dari hasil tangkapan Mini Trawl
dalam penangkapan udang di Kotabaru (Menindak lanujuti kebijakan dari PERMEN KP No. 2
Tahun 2015)
3 Belum adanya kelompok nelayan yang Membentuk kelompok nelayan yang menjadi supplier
menjadi supplier tetap PT. Sekar Laut tetap PT. Sekar Laut
4 Belum dijalankannya pencatatan logbook Melakukan sosialisasi terkait Logbook agar nelayan
hasil tangkapan dapat menjalankan logbook
5 Belum adanya pengelolaan perikanan di Mendorong pemerintah setempat untuk mengeluarkan
tingkat daerah yang mengatur tentang peraturan kuota udang dengan kajian Harvest Strategy
kuota tangkap dan penangkapan udang dan Harvest Control Rule
yang berkelanjutan