Magister-pendidikan Online. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan
aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah
laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Teori belajar kognitif lebih
menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
Secara umum, terdapat tiga macam teori belajar yang sudah dikenal, yakni: Teori belajar
Behavioristik, Teori Belajar Kognitif dan teori Belajar Konstruktivistik. Pada pembahasan berikut, akan
disampaikan pembahasan tentang Teori Belajar Kognitif.
Definisi Pembelajaran
Dari perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mantal seseorang yang atas
kapasitas untuk menunjukkan perilaku yang berbeda. Perhatikan kalimat "menciptakan kapasitas.
Dari perspektif kognitif, belajar dapat terjadi tanpa ada perubahan langsung dalam perilaku, bukti
perubahan dalam struktur mental dapat terjadi dalam beberapa waktu kemudian. "struktur mental"
bahwa perubahan termasuk skema, keyakinan, tujuan, harapan dan komponen lainnya. Dalam
pelajaran david, karena randy misalnya sadar walaupun tentang kebutuhannya untuk membuat
catatan, dan Tanta, Rendy dan Juan membentuk hubungan, dalam pikiran mereka, menghubungkan
informasi dari grafik, transparansi, dan demonstrasi.
Baik teori behaviorisme atau kognitif sosial dapat menjelaskan upaya siswa-siswa. Bagaimana
informasi "di kepala pelajar itu" diperoleh, dan bagaimana disimpan? Kita menjawab pertanyaan-
pertanyaan pada bagian berikutnya kita mengamati pengolahan informasi, salah satu yang pertama
dan paling diteliti secara deskripsi tentang bagaimana orang mengingat (Hunt & Ellis, 1999).
Pengolahan Informasi
Pengolahan informasi adalah teori belajar yang menjelaskan bagaimana rangsangan memasukkan
sistem ingatan kita, dipilih dan terorganisir untuk penyimpanan, dan diambil dari memori (Mayer,
1998a). Teori belajar kognitif yang paling menonjol dari abad ke-20, ia memiliki implikasi penting untuk
mengajar hari ini (Mayer, 1998b).
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam
aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan
tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar
kognitif:
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur.
Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang
keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-
tahapan tersebut adalah:
Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak
menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
* Taxonomy SOLO
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis
serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah
berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada
usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak
sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda
tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep
berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi
eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap
sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara
dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana
diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori
Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu
utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal
dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan
antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau
respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep
struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung
sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif
hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh
pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas
tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam
taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas
dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini
juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal
konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di
matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda.
Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam
perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis
terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan
butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja
melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa
diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi
nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang
dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level
yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model
tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi
yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya.
Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning
menjadi normanya.
1. Mode Sensorimotor
Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan
untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan
yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit
knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang
diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti
dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan
strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran
mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang
berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada mode
concrete symbolic.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah
hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di
sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah mode terbesar
sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan
mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa
bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula
hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada
mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan
berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling
berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai
makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang
dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan
prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah
satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi
sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini.
Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain;
membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar,
menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada
tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep,
memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep
pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada
tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat,
menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954),
yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil
penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan
pengamatan.
Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan
metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a. Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun
belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh
jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau
keteraturan yang dimiliki oleh kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang
berupa bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri yang
diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut.
Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi
yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya.
Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar
adalah belah ketupat dan sebagainya.
c. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan sebutan
berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh. Pada tahap ini anak telah
mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai mengenali bahwa bujur sangkar adalah
jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-
benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu
bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu
menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum
memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan
dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka juga telah mengerti peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak
telah mampu memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat
atau aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut,
sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat
tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga
yang sama dan sebangun(kongruen).
e. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar
yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau
postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan
kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk
dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori belajar konitif
yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom, Freudenthal dan lain-lain.
------
RUJUKAN:
1. Atherton J S (2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available:
http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal 17 January
2009.
2. Winkel, W.S. (1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
3. Karso, et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
4. Suherman, Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika.
Depdikbud. Jakarta.
5. Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
6. Biggs, J. B. and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent behaviou.
In H.Rowe (ed.).
7. Crowley, L Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought.”
Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics (NCTM).
United State of America.
8. Biggs, J.B & Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New
York: Academic Press.
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara
respon (tanggapan). Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemam
laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah be
menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya.
Menurut teori ini hal yang paling penting adalah input (masukan) yang berupa stimulus dan output (kelu
Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tid
dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan gur
dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan peng
merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan tungkah laku tersebut. Faktor lain yang ju
faktor penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan diitam
semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi, penguatan merupa
yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
1. Thorndike
Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Dan perubahan tingkah l
kegiatan belajar yang berwujud konkrit yaitu dapat diamati atau berwujud tidak konkrit yaitu tidak dapat dia
sebagai aliran koneksionisme (connectinism).
2. Watson
Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan res
berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia mengakui ad
mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yan
Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam bentuk benak siswa itu penting, namun semua
apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
3. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Baginya, seperti teori evolusi, semua fungsi tingkah
untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori ini mengatakan bahwa kebutuhan biologi
biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh bagian manusia, sehingga stimulus dala
dikaitkan dengan kebutuhan biologis,walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam
4. Edwin Guthrie
Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel stimulus dan respon. Namun ia mengemukakan b
berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana Clark Hull. Ia juga mengemukakan,
sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan deng
5. Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain ya
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konse
lebih komprehensif. Menurutnya, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi d
kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tok
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jas
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan per
belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yan
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaran
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hub
akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin l
terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu b
satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendoron
atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertam
dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
3. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka
akan meningkat.
4. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses con
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku
sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemun
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical co
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih
teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku i
refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu ter
dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga mas
conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan
perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : W
prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang men
(the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (Th
Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka tokoh yang paling besar pengaruhnya terh
behavioristik.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi pengembangan teori dan praktik pendidikan da
adalah aliran behavioristik. Karena aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Re
dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata
semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan je
pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok Belajar, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah
di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement a
dilakukan. Teori ini memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur
yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaa
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disipli