Anda di halaman 1dari 7

Peristiwa Nipah

(September 1993)

Alkisah, pada tahun 1997 masyarakat Sampang


bergolak menentang hasil pemilihan umum
karena dinilai tidak jujur dan tidak adil, penuh
kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan
Golkar. Amuk massa itu mengakibatkan
kabupaten bersemboyan “BAHARI” itu luluh
lantah. Akhirnya, pencoblosan diulang di
beberapa tempat pemungutan suara (TPS).
Pencoblosan ulang ini merupakan peristiwa
pertama kali terjadi di Indonesia. Peristiwa ini
menggambarkan keberaniaan rakyat Sampang
melawan kesewenang-wenangan rezim Orde
Baru.
Menolak Otoriterianisme

Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang


terjadi saat pemerintah Orde Baru berkuasa
adalah kasus tewasnya beberapa petani di
Sampang, Madura. Kasus yang dikenal dengan
peristiwa Waduk Nipah itu terjadi pada 25
September 1993.

Konflik bermula dari permasalahan tanah milik


masyarakat Nipah yang akan dijadikan waduk.
Tanah bagi masyarakat Nipah bukan hanya
bermakna ekonomis melainkan juga bermakna
kultural. Makna kultural tanah dipahami
mereka sebagai sebuah “pusaka” peninggalan
leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan.
Pemaknaan masyarakat Nipah mengenai tanah
inilah yang tidak dipahami oleh pemerintah.
Pemerintah hanya melihat bahwa masyarakat
Nipah yang meliputi 8 desa membutuhkan
sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan
penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali
lipat. Karena pemerintah melihat wilayah Nipah
itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang
tidak produktif.

Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam


pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
alokasi sumber daya tanah milik mereka sendiri.
Proses pembebasan tanah diawali dengan
pengukuran tanah bukannya melalui
musyawarah. Hal ini meresahkan petani, ketika
keinginan mereka untuk memperoleh informasi
yang transparan dan musyawarah dengan benar
justru dianggap sebagai langkah melawan
pemerintah dan dianggap anti-pembangunan.

Pemerintah kemudian melancarkan ancaman


dan intimidasi lewat SK Bupati Sampang No. 89
tahun 1993 yang isinya akan melibatkan aparat
keamanan dalam proses pembebasan tanah.
Pada 26 Agustus 1993 para petani penolak,
Hudhori, Ma’ruf, Masruki, dan Mar’i dipanggil
ke Koramil Banyuates mereka diinterogasi dan
setelah itu dibawa ke Kodim serta ditahan
selama dua hari.

Penolakan warga terhadap pembanguan Waduk


Nipah itu juga dimotori KH Alawy Muhammad,
sosok Ulama karismatik, konsolidator PPP yang
konsisten membela petani Sampang yang
terdampak pembangunan Waduk Nipah.
Pada 24 September 1993 saat dilakukan
pengukuran lagi oleh BPN yang melibatkan
Koramil Banyuates, Kodim 0828 Sampang,
Polsek Banyuates, dan Polres Sampang,
masyarakat Nipah yang sudah diancam
sebelumnya tetap melakukan penolakan dan
protes terhadap pengukuran tersebut.

Keesokan harinya 25 September 1993 Tim dari


BPN dibantu Kepala Desa Planggaran Barat
serta aparat desa kembali melakukan
pengukuran dengan membawa senjata tajam,
tim ini juga didampingi oleh 20 0rang terdiri
dari polisi dan tentara dengan senjata lengkap.
Kemudian masyarakat dari beberapa desa
bergerak serempak untuk meminta pembatalan
pengukuran. Secara tiba-tiba tanpa memberi
peringatan terjadi penembakan oleh aparat
keamanan kepada masyarakat yang melakukan
penolakan. Banyak korban jiwa dalam peristiwa
penembakan, korban penembakan tidak bisa
langsung diambil oleh warga karena dijaga oleh
aparat keamanan. Pada keesokan harinya,
jenazah baru bisa diambil dan dikebumikan.

Kasus Waduk Nipah pada akhirnya tidak diusut


sampai tuntas. Tidak ada peradilan yang digelar
bagi pelaku penembakan dan pihak-pihak yang
bertanggung jawab. Para pelaku hanya dikenai
sanksi mutasi.

Noor Afela Salsabila (23)


Tananda Dinda Asandra (32)

Anda mungkin juga menyukai