0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
846 tayangan7 halaman
Peristiwa pada 25 September 1993 di desa Nipah, Sampang, Madura mengakibatkan beberapa petani tewas ditembak oleh aparat keamanan saat melakukan penolakan terhadap pengukuran tanah untuk pembangunan waduk. Konflik ini timbul karena pemerintah ingin membangun waduk tanpa musyawarah dengan masyarakat yang menganggap tanah tersebut memiliki makna kultural sebagai warisan leluhur. Kasus ini menunjukkan pel
Peristiwa pada 25 September 1993 di desa Nipah, Sampang, Madura mengakibatkan beberapa petani tewas ditembak oleh aparat keamanan saat melakukan penolakan terhadap pengukuran tanah untuk pembangunan waduk. Konflik ini timbul karena pemerintah ingin membangun waduk tanpa musyawarah dengan masyarakat yang menganggap tanah tersebut memiliki makna kultural sebagai warisan leluhur. Kasus ini menunjukkan pel
Peristiwa pada 25 September 1993 di desa Nipah, Sampang, Madura mengakibatkan beberapa petani tewas ditembak oleh aparat keamanan saat melakukan penolakan terhadap pengukuran tanah untuk pembangunan waduk. Konflik ini timbul karena pemerintah ingin membangun waduk tanpa musyawarah dengan masyarakat yang menganggap tanah tersebut memiliki makna kultural sebagai warisan leluhur. Kasus ini menunjukkan pel
bergolak menentang hasil pemilihan umum karena dinilai tidak jujur dan tidak adil, penuh kecurangan dan rekayasa untuk memenangkan Golkar. Amuk massa itu mengakibatkan kabupaten bersemboyan “BAHARI” itu luluh lantah. Akhirnya, pencoblosan diulang di beberapa tempat pemungutan suara (TPS). Pencoblosan ulang ini merupakan peristiwa pertama kali terjadi di Indonesia. Peristiwa ini menggambarkan keberaniaan rakyat Sampang melawan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Menolak Otoriterianisme
Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi saat pemerintah Orde Baru berkuasa adalah kasus tewasnya beberapa petani di Sampang, Madura. Kasus yang dikenal dengan peristiwa Waduk Nipah itu terjadi pada 25 September 1993.
Konflik bermula dari permasalahan tanah milik
masyarakat Nipah yang akan dijadikan waduk. Tanah bagi masyarakat Nipah bukan hanya bermakna ekonomis melainkan juga bermakna kultural. Makna kultural tanah dipahami mereka sebagai sebuah “pusaka” peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan. Pemaknaan masyarakat Nipah mengenai tanah inilah yang tidak dipahami oleh pemerintah. Pemerintah hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang meliputi 8 desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali lipat. Karena pemerintah melihat wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang tidak produktif.
Masyarakat sama sekali tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya tanah milik mereka sendiri. Proses pembebasan tanah diawali dengan pengukuran tanah bukannya melalui musyawarah. Hal ini meresahkan petani, ketika keinginan mereka untuk memperoleh informasi yang transparan dan musyawarah dengan benar justru dianggap sebagai langkah melawan pemerintah dan dianggap anti-pembangunan.
Pemerintah kemudian melancarkan ancaman
dan intimidasi lewat SK Bupati Sampang No. 89 tahun 1993 yang isinya akan melibatkan aparat keamanan dalam proses pembebasan tanah. Pada 26 Agustus 1993 para petani penolak, Hudhori, Ma’ruf, Masruki, dan Mar’i dipanggil ke Koramil Banyuates mereka diinterogasi dan setelah itu dibawa ke Kodim serta ditahan selama dua hari.
Penolakan warga terhadap pembanguan Waduk
Nipah itu juga dimotori KH Alawy Muhammad, sosok Ulama karismatik, konsolidator PPP yang konsisten membela petani Sampang yang terdampak pembangunan Waduk Nipah. Pada 24 September 1993 saat dilakukan pengukuran lagi oleh BPN yang melibatkan Koramil Banyuates, Kodim 0828 Sampang, Polsek Banyuates, dan Polres Sampang, masyarakat Nipah yang sudah diancam sebelumnya tetap melakukan penolakan dan protes terhadap pengukuran tersebut.
Keesokan harinya 25 September 1993 Tim dari
BPN dibantu Kepala Desa Planggaran Barat serta aparat desa kembali melakukan pengukuran dengan membawa senjata tajam, tim ini juga didampingi oleh 20 0rang terdiri dari polisi dan tentara dengan senjata lengkap. Kemudian masyarakat dari beberapa desa bergerak serempak untuk meminta pembatalan pengukuran. Secara tiba-tiba tanpa memberi peringatan terjadi penembakan oleh aparat keamanan kepada masyarakat yang melakukan penolakan. Banyak korban jiwa dalam peristiwa penembakan, korban penembakan tidak bisa langsung diambil oleh warga karena dijaga oleh aparat keamanan. Pada keesokan harinya, jenazah baru bisa diambil dan dikebumikan.
Kasus Waduk Nipah pada akhirnya tidak diusut
sampai tuntas. Tidak ada peradilan yang digelar bagi pelaku penembakan dan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Para pelaku hanya dikenai sanksi mutasi.