Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

TENTANG PRRI/PERMESTA

Disusun Oleh :

Harbiansyah M Raihan
M Ivandrian Sukmana
Yuda Pangestu S
Hunafa Ainara
Vera Novita Sari
Nikita Pricilia Y
SMA TARUNA TERPADU
XII MIPA 2
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat ,hidayah daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah sejarah indonesia tentang PRRI/PERMESTA.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini

Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak


yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.Terlepasdari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah sejarah indonesia
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah sejarah indonesia tentang
PRRI/PERMESTA ini bermanfaat untuk para pembaca.

Bogor, Agustus 2017

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................................1


1.1  Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2  Maksud dan Tujuan Penulisan ..........................................................................1
1.3  Rumusan Masalah .............................................................................................1

BAB II : GERAKAN SEPARATIS PRRI/PERMESTA........................................2


2.1  Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA....................................................2
2.2  Situasi Indonesia Secara Umum pada Saat Pemberontakan
PRRI/PERMESTA..............................................................................................2
2.3  Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia......2
2.4  Upaya Penumpasan Pemberontakan PRRI/PERMESTA ..................................2
2.5  Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA .................................................2

BAB III : PENUTUP .................................................................................................3


3.1  Kesimpulan ........................................................................................................3
3.2  Saran ..................................................................................................................3

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................3

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pada tanggal 15 Februari 1956, meletus Pemberontakan
PRRI/PERMESTA. Achmad Huesin memproklamasikan berdirinya Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) dengan Syarifuddin Prawiranegara
sebagai perdana menteri Proklamasi PPRI segera mendapat sambutan di
Indonesia Bagian Timur. Pada tanggal 17 Februari 1958, Letkol D.J. Somba
dengan Pemerintah Pusat mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan di Sulawesi
ini dikenal dengan gerakan Piagam Perjuangan Semesta atau Perjuangan
Semesta atau PERMESTA.
Dengan diproklamasikannya PRRI di Sumatera dan PERMESTA di
Sulawesi. Pemerintah memutuskan untuk tidak membiarkan masalah tersebut
berlarut-larut dan segera menyelesaikan dengan kekuatan senjata.
Untuk menumpas Pemberontakan PRRI segera disiapkan operasi
gabungan yang terdiri dari unsur darat, laut dan udara. Serangkaian operasi
yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel Ahmad Yani untuk wilayah Sumatra
Tengah. Selain untuk menghancurkan kaum sparatis, operasi ini juga
dimaksudkan untuk mencegah agar gerakan tidak meluas, serta mencegah turut
campurnya kekuatan asing.
2.   Operasi Tegas dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Tugasnya mengamankan
Riau, dengan pertimbangan mengamankan instalasi minyak asing di daerah
tersebut dan mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan
negara dan miliknya.
3.     Operasi Saptamarga untuk mengamankan daerah Sumatra Utara yang
dipimpin Brigjen Djatikusumo.
4.      Operasi Sadar dipimpin Letkol Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah
Sumatra Selatan.
Untuk menumpas Pemberontakan PERMESTA dilancarkan operasi gabungan
dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol Hendraningrat.
1.2  Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dari makalah kami yang berjudul Gerakan Separatis
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/PERMESTA) adalah
ingin mengetahui :
1.   Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA
2.   Situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat Pemberontakan
PRRI/PERMESTA.
3.   Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia
4.   Upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
5.   Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA.
Tujuan kami dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
lebih dalam lagi tentang Pemberontakan PRRI/PERMESTA, permasalahan
militer di Indonesia lainnya dan untuk menambah wawasan atau pengetahuan.
Selain itu untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia.

1.3  Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang kami buat dalam makalah yang berjudul


Gerakan Separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI/PERMESTA) dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.  Bagaimana jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
2.  Bagaimana situasi dan kondisi Indonesia secara umum pada saat
Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
3.   Apakah dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa
Indonesia?
4.   Bagaimanakah upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?
5.   Bagaimana akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA?

BAB II
GERAKAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA (PRRI)

PERJUANGAN SEMESTA (PERMESTA)

2.1  Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan


daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang
eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang
tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut
menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada
awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi
perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu,
pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi
parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal
sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :

1.      Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.


2.      Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3.      Dewan Garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dahlan Djambek.
4.      Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.

Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara


pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun
dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam
perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal
tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut
terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.

Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah


pusat yaitu dengan pernyataan:
1.      Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
2.      Mulai tanggal 22 Desember 1956 tidak lagi mengakui Kabinet Djuanda.
3.      Mulai tanggal 22 Desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah
tertera dan tetorium I
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di
Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan
melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan
Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya
dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima
TT-VII LetkolVentje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide”
dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya
antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan
agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur
Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957.
Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang
ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan
tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan
program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah
Indonesia Timur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van OorlogenBleg].
Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga
ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan
Permesta.

Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling


berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan
pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada
tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan
pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon,
LetkolVentje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro
Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan
Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira
pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk
mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana
pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara
terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam.
Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar
pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang
pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di
segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya
dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para
perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat.
Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958,
dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat
sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta.
Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah
mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan
menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur
PRRI. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu
merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar
Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan
pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah
Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu
masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak
menentukan diri sendiri (selfdetermination).

Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk


mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari
pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI,
maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak
Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan
persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada
pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan
dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga
memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.

2.2  Situasi dan Kondisi Bangsa Indonesia Secara Umum pada Saat

Pemberontakan PRRI/PERMESTA

1.      Kondisi Politik

Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-
legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang
berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada
perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah dibentuknya kabinet
Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara
terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih
berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan
bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari
jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak
tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai
tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung ke Marxis serta
bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke Sosialis dan anti
komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya
terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem
pemerintahan menjadi sistem pemerintahan ”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi
yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas
mufakat daripada demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasarkan
keputusan”50%+1”. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet
Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI.
Soekarno juga ingin menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di
Indonesia. Konsepsi presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung Karno
terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI
memainkan peranan yang lebih besar dalam dunia politik Indonesia.

2.       Kondisi Perekonomian

Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal


kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi
yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan
ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap modal asing dipertahankan
oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan
kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu sama
sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkalihanyalahsembohyan.
Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan bagi negara.
Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat diperhatikan.
Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke
daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin parah.
Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra daerah
dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua
administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal
dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat
berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan
untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.

3.       Permasalahan Militer di Indonesia

Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat


negara. Setiap alat mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu
dengan yang lain. Salah satu alat yang sangat vital peranannya dalam
pemeliharaan keutuhan serta pertahanan negara adalah tentara atau militer.
Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas tersendiri.
Keprofesionalisme-annya perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus
diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke
arah politik. Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka
pra-kemerdekaan suatu bangsa. Militer selalu menjadi oposan bagi
pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil dirasa tidak mampu memerintah
dengan baik maka pemberontakan maupun perebutan kekuasaan oleh militer
mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan
PRRI/PERMESTA di Indonesia.
Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun dalam
kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan potensi laten yang terbukti
ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial
dan ekonomi yang muncul nyaris tidak dapat teratasi. Sebenarnya gerakan
PRRI/Permestahanyalah koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta
keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa secara umum.

4.      Situasi di Daerah

Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas


dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat
berperan sebagai penyebabdari pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap
menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat.
Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan ”sentralistik” dalam
pandangan permesta. Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang
harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan
pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan
daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu
dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena
mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang
dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada akhirnya muncul
upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh sipil
untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat
dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang
merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah
ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa kepada
anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit menghambat
para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal
oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi
militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/“barter”
dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta. Hal tersebut dilakukan
di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah
lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa ”barter” yaitu keterlibatan mereka
dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang melakukan
ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD
Nasution memberhentikan Kolonel Simbolon untuk sementara. Selain itu,
beberapa perwira tinggi militer Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan
merencanakan pemberontakan diberhentikan dengan tidak hormat.
Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom
intern di Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di
Sumatera.

2.3  Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia

Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di


dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih
berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat
jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956
anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil. Pembangunan fisik yang
selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri,
muno, lalu cigin ke rantau.
Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit
presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan
UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru
berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan
semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan
Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama].
Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan
negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka
ragam masalah di setiap daerah. SembohyaBinneka tunggal Ika harus dihayati
makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberika kepada
setiap daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
masing-masing daerah.
Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali
II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut
digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9
April 1957.

2.4  Upaya Penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

1.      Upaya Diplomatis

Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara


untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Kasad
Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah
dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot
Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala
Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para
komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara
fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan
keadaan. Mayjen Nasution telah melakukan pendekatan terselubung terhadap
bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan Letkol Wahab
Makmur untuk mengambil kedudukan panglima.

Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan


mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian
Eny Karim, Dr.J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol.
Mokoginta Cs. Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di
Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia
Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun
semua usaha diplomatis yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
2.      Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta secara Bersenjata

Penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan


pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan lainnya.
Kemudian pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti oleh
Permesta di Sulawesi. Setelah melihat situasi tersebut, pemerintah Pusat
melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi militer. Operasi tersebut antara
lain :

a.    Operasi yang dilaksanakan di Sumatera

1)    Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.


2)    16 April 1958, pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah
Kolonel Achmad Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat
AS, Benson. Tanggal 17 April, pasukan Yani telah menguasai Padang
sepenuhnya.
3)      Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran
Sumatera Timur dan Sumatera Utara.
4)      Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran
Sumatera Selatan.

b.  Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer


Indonesia, dan dilaksanakan Operasi Marga pada bulan April untuk
menumpas Permesta.

1) Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran


Sulawesi Tengah
2)      Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan
sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan
3)      Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran
sebelah Utara Menado.
4)      Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. RukmintoHendraningrat
dengan sasaran Sulawesi Utara
5)      Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
6)      Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz
dengan sasaran Murotai

2.5  Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh


pemerintah. Mereka tidak melakukan perlawanan yang berarti. Pasukan banyak
yang melarikan diri, bersebunyi dan menyerah. Para tentara kebanyakan dari
para pelajar dan mahasiswa yang belum berpengalaman dalam perang. Tawaran
Soekarno dan Nasution tentang pemberian amnesti, abolisi dan rehabilitasi
diterima oleh mereka.

BAB III

PENUTUP
3.1  Kesimpulan

Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi
sebelumnya, seperti yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah
berlaku hukum kausalitas atau sebab-akibat. Peristiwa pemberontakan
PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang
menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai
penyebab dari pemberontakan ini. Posisi militer sebagai opsan pemerintah
berusaha mengambil alih kekuasaan sipil setelah melihat berbagai kekurangan
dalam berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan
antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Gerakan PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan
koreksi terhadap kondisi bangsa yang morat-marit.
Gerakan tersebut membawa dampak positif maupun negatif bagi bangsa
Indonesia. Kerugian materi maupun psikologis diderita masyarakat, tetapi disisi
lain gerakan tersebut menyadarkan para pemimpin bangsa akan pentingnya
otonomi daerah serta keharusan untuk menghayati hakekatBinneka Tunggal Ika.

3.2  Saran

Dari penjelasan di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil


pelajaran dari Peristiwa Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Kita sebagai
bangsa yang baik patut melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah
memerdekakan Bangsa Indonesia ini dengan lebih giat belajar, serta menjaga
persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

         Buku LKS Sejarah Kelas XII Semester I


         http://yanuaridho.wordpress.com/2012/01/29/prri-dan-permesta/
         Agung Leo dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai