Anda di halaman 1dari 16

EKSTENSI MASA JABATAN PRESIDEN

DARI PERSPEKTIF DEMOKRASI


INDONESIA

DISUSUN OLEH:
SELVY KARTIKA 188400234

PROGRAM STUDI S1 HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN
2019
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi
Pancasila dimana dalam penyelenggaraan negara didasarkan atas Pancasila.
Sehingga dalam pelaksanannnya, setiap peraturan perundang – undangan
harus sesuai dengan gambaran demokrasi Pancasila itu sendiri. Akhir – akhir
ini, tengah hangat diperbincangkan gagasan mengenai ekstensi atau
perpanjangan masa jabatan seorang presiden. Hal ini tentu saja menuai
banyak tanggapan dari kalangan masyarakat Indonesia. Banyak pendapat
yang menyatakan bahwa gagasan tersebut hanya akan membawa Indonesia
ke dalam kemunduran demokrasi yang bertolak belakang dengan wujud dari
cita – cita reformasi. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk membahas
bagaimanakah perkembangan demokrasi di Indonesia serta mengenai
ketentuan masa jabatan presiden dari perspektif demokrasi di Indonesia.
Terdapat beberapa kesimpulan dalam makalah ini adalah (1) sebelum
menggunakan sistem demokrasi Pancasila, Indonesia sudah terlebih dahulu
menggunakan sistem demokrasi Liberal, Parlementer dan Terpimpin; (2)
demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang menggunakan Pancasila
sebagai dasar penyelenggaraan negara serta UUD 1945; (3) masa jabatan
presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden
hanya memegang masa jabatan selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali
sesudahnya dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan
saja; (4) ekstensi atau perpanjangan masa jabatan presiden dianggap tak
sesuai dengan cita – cita reformasi yang ingin lepas dari sistem pemerintahan
yang cenderung absolut dan dianggap bertolak belakang dengan demokrasi
Indonesia pada saat ini; (5) perpanjangan masa jabatan presiden juga
dianggap akan menghambat regenerasi pemimpin – pemimpin baru di
Indonesia.
Kata kunci: ekstensi, presiden, demokrasi, Indonesia.

A. Pendahuluan
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang –
Undang Dasar”1 merupakan salah satu dasar dari wujud negara Indonesia
sebagai negara demokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan dengan kepentingan
pemimpinnya. Salah satu wujud dari demokrasi itu sendiri di Indonesia adalah
dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum yang dilakukan oleh seluruh
rakyat Indonesia secara langsung untuk memilih pemimpinnya. Pelantikan
Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilu baru saja dilaksanakan
pada 20 Oktober 2019 yang lalu di Kompleks Gedung DPR/MPR RI Jakarta.

1
Lih. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945

1
Tak berselang lama dari waktu pelantikan, presiden terpilih pun telah
mengumumkan nama – nama menteri baru beserta jajarannya guna membantu
menjalankan pemerintahan yang baru. Merupakan hal yang lumrah bagi
Indonesia jika setiap lima tahun sekali akan diadakan pelantikan kabinet
pemerintahan yang baru setelah pemilihan umum berlangsung. Orang – orang
yang terpilih oleh seluruh rakyat Indonesia inilah yang menjadi perwakilan
rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Semenjak pelantikan
Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober lalu, telah banyak usulan – usulan
dan rancangan – rancangan yang diajukan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan, seperti melakukan beberapa revisi terhadap Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU KPK yang menuai banyak
kontroversi baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah itu sendiri.
Terakhir, yang sedang hangat diperbincangkan adalah mengenai ekstensi atau
perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, empat periode, dan
bahkan , menjadi satu periode namun dalam kurun waktu 7 tahun lamanya.
Terlepas dari berapa lama ekstensi jabatan presiden yang diusulkan, tak
ayal hal ini langsung menuai banyak reaksi dari berbagai pihak dan
mempertanyakan kepentingan di balik munculnya isu tersebut. Ahli Hukum
Tata Negara, Fahri Bachmid menyatakan bahwa pembatasan kekuasaan yang
dimiliki oleh presiden dari sudut pandang filosofis tidak lepas dari
konsekuensi dalam penerapan sistem pemerintahan presidensial. Yang dimana
dari sisi Hukum Tata Negara dinyatakan bahwa kedudukan dan eksistensi
presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus kepala pemerintahan
(chief of executive) memiliki kekuasaan yang besar. Setiap gagasan atau
usulan ada baiknya disertai dengan melakukan pengkajian secara akademik
agar dapat dipertanggungjawabkan.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review sekaligus pengamat
komunikasi politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin
menyatakan bahwa Indonesia belum berdemokrasi namun hanya sedang
bertransisi menuju demokrasi. Gagasan tentang perpanjangan periode jabatan
presiden menjadi tiga periode menurut pendapatnya harus benar – benar

2
dikawal dan diawasi karena bisa jadi memicu penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power).
Masa jabatan presiden itu sendiri dengan jelas diatur dalam hirarki
tertinggi peraturan perundang – undangan di Indonesia yaitu dalam Pasal 7
UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki
masa jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode
masa jabatan berikutnya. Oleh karena itu, seseorang dapat menjadi presiden
hanya selama sepuluh tahun dan setelah itu tidak dapat mencalonkan diri
kembali untuk menjadi presiden. Dengan adanya dasar hukum dari ketentuan
masa jabatan presiden ini, tentu sudah jelas bahwa gagasan tentang
perpanjangan masa jabatan periode presiden akan menuai banyak polemik
karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan
dikhawatirkan akan membawa kemunduran dalam demokrasi Indonesia. Hal
ini juga dikhawatirkan akan membawa Indonesia kembali ke masa lalu dimana
rezim Soeharto memimpin pada Orde Baru dengan kekuasaan yang absolut
lantaran lamanya periode kepemimpinannya.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah perkembangan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimanakah ketentuan masa jabatan presiden dari perspektif
demokrasi di Indonesia?

C. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Demokrasi Indonesia
Demokrasi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yakni
demos (rakyat) dan cratos/cratein (pemerintahan/kekuasaan) sehingga
demokrasi adalah pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Demokrasi memiliki
atau mengandung tiga makna, yaitu:2
a. Pemerintahan dari rakyat (government of the people)

2
Budi Juliardi, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 82.

3
b. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people)
c. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people).
Sementara itu, beberapa pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh
para ahli adalah sebagai berikut:3
a. Joseph A. Schemer
Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik dimana individu mendapatkan kekuasaan untuk
menentukan cara perjuangan atau suara rakyat.
b. Sidney Hook
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan baik
secara langsung maupun tidak langsung didasarkan atas kesepakatan
mayoritas dari rakyat dewasa.
c. Philippe C. Schitter & Terry Lynn Karl
Demokrasi merupakan sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan
umum dibuat atas dasar mayoritas oleh rakyat dalam pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik serta
diselenggarakan dengan menjamin kebebasan politik.
d. Henry B. Mayo
Demokrasi adalah sistem dimana pemerintah bertanggung jawab atas
tindakan – tindakan di wilayah publik oleh rakyat, yang bertindak
secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para
wakil yang telah mereka pilih.
Banyak negara yang telah menerapkan prinsip demokrasi dalam berbagai
bentuk yang melahirkan banyak sebutan untuk demokrasi, seperti demokrasi
konstitusional, demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, dan
sebagainya. Namun pada dasarnya demokrasi dibedakan menjadi dua aliran,
yaitu:4
a. Demokrasi konstitusional, merupakan demokrasi yang berasal dari
usulan bahwa pemerintah yang demokratis merupakan pemerintah
yang terbatas kekuasaannya dan tidak berbuat sewenang – wenang
terhadap rakyatnya. Batasan – batasan atas kekuasaan pemerintah
3
Dwi Sulisworo, Demokrasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 2012, hlm. 2
4
Miriam Budiarjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1986, hlm. 55.

4
tersebut dicantumkan dalam konstitusi. Maka, pemerintahan ini sering
disebut dengan pemerintahan berdasarkan konstitusi. Demokrasi ini
banyak diterapkan oleh negara – negara dengan berbagai variasi,
seperti dengan istilah demokrasi liberal yang banyak diterapkan di
negara – negara Barat. Demikian pula dengan Indonesia yang yang
menerapkan demokrasi ini dengan istilah Demokrasi Pancasila.
b. Demokrasi proletar/demokrasi rakyat, adalah demokrasi yang lebih
mendasarkan pada ideologi Komunisme, dimana banyak dianut oleh
negara – negara di Eropa Timur serta negara Asia seperti Republik
Rakyat Cina dan Korea Utara.
Demokrasi yang banyak diterapkan saat ini adalah demokrasi
konstitusional dimana ciri khasnya adalah pemerintahan yang kekuasaannya
dibatasi oleh konstitusi dan tidak membenarkan tindakan sewenang – wenang
terhadap warga negaranya. Pembatasan atas kekuasaan ini dicantumkan dalam
konstitusi atau dalam peraturan perundang – undangan lainnya5. Pengambilan
keputusan dalam demokrasi dilakukan melalui musyawarah, mufakat, maupun
dengan pengambilan suara terbanyak (vote) dimana setiap anggota memiliki
kebebasan untuk mengemukakan pendapat secara lisan maupun tulisan.
Kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat ini adalah “darah
hidup” setiap demokrasi6. Dan dalam budaya masyarakat Indonesia, baik dari
pemerintahan terendah hingga pemerintahan tertinggi, prinsip demokrasi yang
selalu digunakan adalah musyawarah untuk mufakat dalam kekeluargaan.
Demokrasi itu sendiri memiliki arti penting bagi masyarakat karena dengan
demokrasi tersebut, akan terdapat jaminan hak – hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara7.
Unsur penting demokrasi yang perlu diberikan perhatian adalah
pelaksanaan pemilu dan partai politik. Pemilu adalah mekanisme demokrasi
untuk menetapkan pergantian pemerintahan dimana rakyat memberikan hak
politiknya secara bebas dan aman. Pada dasarnya, pelaksanaan demkrasi

5
Ibid. hlm. 52.
6
Ravietch, Apa Demokrasi itu?, Kencana Ungu, Jakarta, 1991, hlm. 9.
7
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Paradigma, Yogyakarta, 2007,
hlm. 55.

5
tergantung pada kinerja dan pelaksanaan dari alat – alat demokrasi, yaitu
partai politik, pemilihan umum, dan lembaga – lembaga negara8.
Dalam perkembangan sejarah, negara Indonesia telah banyak mengalami
perubahan mulai dari berlakunya UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950,
dan hingga kembali ke UUD 1945 yang telah diamandemen hingga pada
2002. Adapun perkembangan – perkembangan yang terjadi pada masa – masa
tersebut adalah:
I. Demokrasi Liberal & Demokrasi Parlementer 1945 - 1959
Pada masa ini terdapat beberapa kebijakan yang dikeluarkan, yaitu:
1. Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 tanggal 16 Oktober yang
berisi ketentuan untuk mengubah kedudukan dan fungsi Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang pada awalnya hanya sebagai
pembantu Presiden menjadi sebuah lembaga pembuat Undang –
Undang bersama dengan Presiden dan berfungsi menetapkan Garis
Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 yang berisi
penetapan susunan kabinet di bawah Perdana Menteri Sutan Syahrir
dan mengubah sistem presidensial menjadi parlementer.
3. Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang pembentukan
partai – partai politik.
Dengan dikeluarkannya kebijakan – kebijakan tersebut menjadi penyebab
gagalnya praktik demokrasi parlementer di Indonesia dengan beberapa alasan
yaitu sistem multi partai, sikap dan mental partai yang belum demokratis,
tidak ditemukannya partai yang dominan, sehingga koalisi menjadi rapuh.
Sistem demokrasi ini menjadi tidak stabil yang ditunjukkan dengan jatuh
bangunnya kabinet – kabinet selama 14 belas tahun dengan rata – rata hanya
mampu bertahan selama 15 bulan9. Menurut Jazim Hamdi dan Mustafa Lutfi,
implementasi sistem parlementer tidak sejalan terhadap UUD 1945 karena
persatuan yang digalang pada masa itu terlalu lemah dan memberikan peluang

8
Budi Juliardi, op.cit. hlm.91.
9
Rusdi Kartaprawira, Sistem Politik Indonesia, Tribisana, Bandung, 1977, hlm. 147.

6
untuk dominasi oleh partai – partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat pada
waktu itu10.
Penyebab dari jatuhnya kabinet itu sendiri adalah akibat dari fragmentasi
partai politik tiap kabinet berdasarkan koalisi, dimana koalisi yang kurang
kuat dapat menyebabkan partai politik tidak segan – segan untuk menarik
dukungannya suatu waktu. Di sisi lain, pihak partai oposisi tak mampu
menjadi oposisi yang konstruktif atau bersifat membangun dalam menyusun
alternatif program dan hanya menonjolkan sisi negatifnya saja. Sementara itu,
pemilihan umum tahun 1955 gagal membawa harapan mengenai stabilitas
pemerintahan dan tidak dapat menghindari perpecahan antara pemerintah
pusat dengan daerah.
Terdapat pula beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak
mendapatkan posisi yang realistis dan konsepsi politik, yang merupakan
kekuatan paling penting, dimana presiden yang tidak bersedia menjadi
“Rubberstamp President” (Presiden yang membubuhi capnya), tentara yang
merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut berperan serta dalam
penyelesaian hal – hal yang dihadapi masyarakat Indonesia lantaran lahir di
tengah – tengah revolusi, serta gagalnya lembaga Konstituante dalam
merumuskan undang – undang dasar baru. Alasan – alasan inilah yang
menjadi pendorong presiden saat itu yakni Ir. Soekarno untuk mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyebabkan kembali berlakunya UUD
1945.
II. Demokrasi Terpimpin 1959 - 1969
Demokrasi Terpimpin ini ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959, dengan ciri – ciri pemerintahan sebagai berikut:
 Adanya dominasi oleh presiden
 Terbatasnya peran partai politik
 Berkembangnya paham komunisme
 Meluasnya peranan ABRI menjadi dwifungsi ABRI
Gagasan mengenai Demokrasi Terpimpin banyak ditolak dan ditentang
oleh pihak oposisi karena pengertian dari terpimpin itu sendiri bertolak

10
Jazim Hamdi, Mustafa Lutfi, Civic Education, Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 100

7
belakang dengan demokrasi. Kata terpimpin menghapuskan atau
menghilangkan kebebasan sedangkan demokrasi adalah kebebasan. Dimana
hal ini membawa demokrasi Terpimpin membawa negara menuju ke arah
diktatorial dalam pelaksanaan demokrasi11. Dekrit Presiden dianggap sebagai
solusi untuk keluar dari permasalahan politik dengan membentuk
kepemimpinan yang kuat. Undang – Undang Dasar 1945 memberi peluang
bagi seorang presiden untuk bertahan dalam masa jabatannya sekurang –
kurangnya selama 5 tahun. Namun, hal ini berubah seiring dengan
dikeluarkannya TAP MPRS No. III/MPRS/196312 yang mengangkat Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya beberapa penyimpangan pada masa itu, yakni:13
1. Presiden Ir. Soekarno membubarkan DPR yang merupakan hasil dari
pemilu padahal dalam UUD 1945 dengan jelas diatur bahwa seorang
presiden tidak meiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRG) yang dibentuk
untuk menggantikan DPR yang telah dihapus menonjolkan perannya
dalam membantu pemerintah sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan.
3. Adanya penyelewengan dalam perundang – undangan dimana
perbuatan pemerintah dilakukan melalui Penetapan Presiden (Penpres)
yang menggunakan Dekrit Presiden sebagai sumber hukumnya.
4. Didirikannya badan ekstra seperti Front Nasional yang pada akhirnya
digunakan oleh pihak komunis.
5. Ditetapkannya Ir. Soekarno menjadi presiden seumur hidup yang
sebenarnya telah mengingkari nilai – nilai demokrasi, yaitu
absolutisme dan kekuasaan yang hanya terpusat padanya.
Penyimpangan – penyimpangan ini kemudian menyebabkan kondisi
negara dalam demokrasi Terpimpin menjadi lebih suram dan gagal bersamaan
dengan pecahnya pemberontakan G 30 S/PKI 1965 yang menyebabkan
runtuhnya kekuasaan Soekarno pada masa itu.

11
Soempono Djojowadono, Demokrasi Dalam Pembangunan di Indonesia, FISIP UGM,
Yogyakarta, 1958, hlm. 18.
12
Lih. TAP MPRS No. III/MPRS/1963
13
Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani,
Prenada Media, Jakarta, 2000, hlm. 132.

8
III. Demokrasi Pancasila/Orde Baru 1965 – 1998
Atas dasar Surat Perintah 11 Maret 1966, Soeharto menerima tugas untuk
mengakhiri pemberontakan G 30 S/PKI. Keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas tersebut membuahkan hasil pengangkatan dirinya menjadi
Presiden RI oleh MPR. Periode kali ini menggunakan Pancasila, UUD 1945
serta Ketetapan – Ketetapan MPRS sebagai landasannya. Dalam
penyelenggaraan integrasi nasional, Demokrasi Pancasila dipandang sebagai
jalan dalam penyelenggaraan Orde Baru. Demokrasi Pancasila dikukuhkan
sebagai satu – satunya azas dalam sistem politik di Indonesia sesuai dengan
TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)14.
Pada awalnya, Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto mulai
menampakkan perkembangannya yang sangat signifikan terutama di bidang
ekonomi. Namun, lama – kelamaan dalam pelaksanaannya diwarnai dengan
berbagai penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan – penyimpangan,
yakni:15
 Pelaksanaan pemilihan umum yang tidak jujur dan adil
 Lembaga Yudikatif yang tidak memiliki kemandirian karena hakim
berasal dari PNS Departemen Kehakiman
 Minimnya jaminan akan mengemukakan pendapat secara bebas
 Partai politik yang bersifat otonom dan berat sebelah
 Tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Akhir dari masa Orde Baru ini ditandai dengan pendudukan gedung
DPR/MPR RI oleh mahasiswa yang menuntut agar Soeharto turun dari
jabatannya sebagai presiden pada saat itu. Tuntutan tersebut juga tak hanya
disampaikan oleh para mahasiswa, melainkan oleh Harmoko yang pada saat
itu menjabat sebagai pimpinan DPR. Adapun inti dari tuntutan para
mahasiswa pada saat itu adalah:
 Adanya penegakan supremasi hukum
 Reformasi birokrasi sebagai syarat untuk pemberantasan KKN
 Mengadili Soeharto dan kroninya

14
Lih. TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
15
Srijanti, Etika Berwarga Negara, Salemba Empat, Jakarta, 2006, hlm. 64.

9
 Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
 Menghapuskan dwifungsi ABRI
Hingga pada akhirnya tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto
mengumumkan mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan menyerahkan
kekuasaannya pada BJ Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakilnya.
IV. Demokrasi Pancasila 1998 – Sekarang
Mundurnya Soeharto dari jabatannya mengakhiri masa Orde Baru
sekaligus melahirkan masa Reformasi. Demokrasi yang dijalankan pada era
Reformasi menggunakan Demokrasi Pancasila dimana Pancasila dan UUD
1945 sebagai dasarnya. Adapun beberapa ketentuan yang dikeluargan guna
membangun kembali kondisi demokratis, yaitu:16
a. TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok – Pokok Reformasi
b. TAP MPR RI No. VII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR
tentang Refrendum
c. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bebas Dari KKN
d. TAP MPR RI No. XII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden
e. Amandemen I, II, III, dan IV UUD 1945
Terlaksanya pemilihan umum 1999 merupakan wujud awal dari
pelaksanaan demokrasi pada era reformasi. Dimana pemilu tersebut
merupakan amanat dari reformasi. Beberapa langkah yang ditentukan dalam
upaya perbaikan pelaksanaan demokrasi pada era reformasi adalah, yaitu:17
a. Terdapat banyak parpol peserta pemilu
b. Pemilu dilaksanakan secara langsung untuk memilih presiden dan
wapres
c. Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, MPR, dan DPD
d. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung
e. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas luber jurdil
f. Adanya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat

16
Dwi Sulisworo, op.cit. hlm. 31
17
Dwi Sulisworo, loc. cit.

10
2. Ketentuan Masa Jabatan Presiden Dari Perspektif
Demokrasi Indonesia
Hingga pada saat ini, Indonesia masih menggunakan sistem demokrasi
Pancasila dimana yang menjadi dasarnya adalah Pancasila dan juga UUD
1945. Demokrasi Pancasila tersebut disesuaikan dengan nilai – nilai budaya
dan keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam perkembangannya,
dilaksanakan pula penyempurnaan dan perbaikan peraturan – peraturan yang
dianggap bersifat tidak demokratis, meningkatkan peran lembaga – lembaga
tinggi negara dengan mempertegas fungsi, wewenang serta tanggung
jawabnya.
Salah satu perubahan yang dilakukan terkait penyempurnaan dan
perbaikan peraturan perundang – undangan yang dianggap kurang demokratis
adalah mengenai ketentuan masa jabatan presiden. Pada awalnya, masa
jabatan presiden diatur dalam pasal 7 UUD 1945, namun tidak diikuti oleh
adanya batasan yang jelas mengenai jabatan tersebt. Sehingga menimbulkan
kondisi dimana presiden yang sama dapat dipilih kembali secara terus –
menerus. Di satu sisi presiden memiliki kekuasaan namun di sisi lain hal ini
cenderung disalahgunakan18. Oleh karena itu, timbul desakan untuk
melakukan amandemen terhadap pasal 7 UUD 1945, dimana pasal tersebut
berbunyi:19
”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Berdasarkan pasal tersebut, tidak diberikan batasan yang jelas tentang
masa jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia sehingga menimbulkan
peluang bagi presiden untuk menjabat terus – menerus. Pada tahun 1963,
dikeluarkan TAP MPRS No. III/MPRS/1963 oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup, dimana pada
masa itu presiden Indonesia adalah Ir. Soekarno. Menurut Abdul H. Ansyary,

18
HRT Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan , PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 184
19
Lihat Pasal 7 UUD 1945 sebelum Amandemen.

11
adanya aturan mengenai batasan masa jabatan seorang presiden yang diatur
dalam UUD 1945 merupakan ciri dari negara dengan sistem pemerintahan
presidensial20.
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, Indonesia menganut
sistem parlementer dimana kepala negara tidak memiliki kedudukan sebagai
kepala pemerintahan melainkan hanya sebagai simbol negara. Sehingga, tidak
terdapat pengaturan mengenai masa jabatan presiden karena presiden tidak
perlu lagi mempertanggungjawabkan kebijakan yang dibuat serta
dijalankannya baik kepada parlemen ataupun pada rakyat21. Sementara itu,
pada masa UUDS 1950 juga tidak ditemukan aturan yang jelas mengenai
masa jabatan presiden. Hal ini dikarenakan sistem pemerintahan pada saat itu
adalah sistem parlementer dengan meletakkan presiden sebagai kepala negara
yang tidak bisa diganggu gugat karena dianggap tidak pernah melakukan suatu
kesalahan (the king can do no wrong)22.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959, maka Indonesia kembali
menggunakan UUD 1945 dan presiden memiliki peran yang dominan dalam
semua aspek. Soeharto yang terpilih untuk ketujuh kalinya pada tahun 1997
menuai banyak protes dari mahasiswa yaang menuntut dilakukannya
reformasi terhadap UUD 1945, dimana yang menjadi salah satu agenda
utamanya adalah mengenai pengaturan masa jabatan presiden dan wakil
presiden dikarenakan pasal 7 UUD 1945 yang dianggap terlalu multitafsir.
Maka, rumusan mengenai amandemen pasal tersebut disahkan pada Rapat
Paripurna Sidang Umum MPR RI ke-12 pada 19 Oktober 1999 dengan
perubahan yang berbunyi:23
“Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan.”

20
Abdul Hadi Ansyary dalam Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan presiden Indonesia
Setetlah Perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara Maju, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2009, hlm. 51.
21
Qonita Dina Latansa, Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia, Jurnal Jurist – Diction, Universitas Airlangga, 2019, hlm. 600.
22
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan presiden Indonesia Setetlah Perubahan UUD 1945
dengan delapan Negara Maju, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 58.
23
Lihat Pasal 7 UUD 1945 setelah Amandemen

12
Dimana pada pasal yang telah diamandemen lebih jelas dinyatakan bahwa
presiden hanya memegang masa jabatan selama lima tahun, dan dapat dipilih
kembali sesudahnya dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa
jabatan saja. Namun, ternyata pasal tersebut masih memiliki kelemahan –
kelemahan, yaitu pasal ini masih memiliki celah untuk dilakukan multitafsir
terhadapnya yaitu masa jabatan presiden bertujuan diberlakukan secara
berturut – turut maupun tidak, yang terpenting yakni orang tersebut sesudah
menjabat dua kali untuk selamanya tidak dapat menjabat kembali dalam
jabatan tersebut. Selain itu, ketentuan batasan masa jabatan ini memiliki kaitan
erat dengan sisi politik. Maka dari itu, ada kemungkinan bahwa ketentuan ini
dibarengi dengan “kepentingan politik” sehingga dapat mengganggu makna
filosofis dari masa jabatan presiden itu sendiri.
Pada awalnya, dibentuknya Pasal 7 UUD 1945 ini bukanlah untuk
mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun, pada
akhirnya pasal ini diartikan sebagai ketentuan persyaratan tambahan
pencalonan diri presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf N UU No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Adanya ketentuan dari Pasal 169 UU
No. 7 tahun 2017 ini sebenarnya adalah untuk mencoba mengurangi
kelemahan – kelemahan dalam Pasal 7 UUD 1945. Dimana yang
dikhawatirkan adalah apabila adanya ekstensi dari masa jabatan presiden,
memiliki kemungkinan bahwa hal tersebut merupakan politisasi dari pihak
yang ingin memperbesar kekuasaannya.
Oleh karena itu, kerap kali muncul gagasan memperpanjang masa jabatan
presiden yang dianggap akan memberikan dampak buruk terhadap regenerasi
politik Indonesia karena politisi – politisi senior yang tetap berkeinginan untuk
menjabat sebagai presiden sehingga generasi muda dan memiliki bakat akan
mengalami kesulitan di tengah masyarakat. Hal lain yang dikhawatirkan
apabila adanya perpanjangan masa jabatan presiden adalah penyalahgunaan
masa jabatan presiden untuk melenggangkan jabatannya sebagai presiden
seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto
yang berarti akan membawa Indonesia kembali kepada masa Orde Lama dan
Orde Baru. Dikhawatirkan bahwa hal tersebut akan membuat pengulangan

13
seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dimana Soekarno memimpin
selama 21 tahun dan pada masa Orde Baru yang dikuasai oleh Soeharto
selama 32 tahun. Sehingga negara menjadi bersifat oligarki dan otoriter
dimana presiden yang cenderung memiliki kekuasaan yang absolut.
Begitu pula dengan pemerintahannya yang tak akuntabel dan sulit untuk
dikontrol, dan meluasnya tindakan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dan
melemahkan kedudukan masyarakat. Penambahan masa jabatan presiden ini
dianggap bertolak belakang dengan proses demokrasi yang sedang berjalan di
Indonesia dan tidak sesuai denagn semangat reformasi yang ingin lepas dari
kepemimpinan yang otoriter.

D. PENUTUP
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan – penjelasan di atas
adalah sebagai berikut:
1. Sebelum menggunakan sistem demokrasi Pancasila, Indonesia sudah
terlebih dahulu menggunakan sistem demokrasi Liberal, Parlementer
dan Terpimpin.
2. Demokrasi Pancasila adalah sistem demokrasi yang menggunakan
Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan negara serta UUD 1945.
3. Masa jabatan presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa presiden hanya memegang masa jabatan selama
lima tahun, dan dapat dipilih kembali sesudahnya dalam jabatan yang
sama hanya untuk satu kali masa jabatan saja.
4. Ekstensi atau perpanjangan masa jabatan presiden dianggap tak sesuai
dengan cita – cita reformasi yang ingin leas dari sistem pemerintahan
cenderung absolut dan dianggap bertolak belakang dengan demokrasi
Indonesia pada saat ini.
5. Perpanjangan masa jabatan presiden juga dianggap akan menghambat
regenerasi pemimpin – pemimpin baru di Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Juliardi, B. (2016) Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.


Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada.
Budiarjo, M. (1986) Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Ravietch. (1991) Apa Demokrasi itu?. Jakarta: Kencana Ungu.
Kaelan. (2007) Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma.
Kartaprawira, R. (1977) Sistem Politik Indonesia. Bandung: Tribisana.
Hamdi, J. & Lutfi, M. (2010) Civic Education. Jakarta: Gramedia.
Azra, A. (2000) Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Srijanti. (2006) Etika Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat.
Soemantri, HRT. S. (2015) Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan
Pandangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ghoffar, A. (2009) Perbandingan Kekuasaan presiden Indonesia Setetlah
Perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Sulisworo, D. (2012) Demokrasi. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan
Djojowadono, S. (1958) Demokrasi Dalam Pembangunan di Indonesia.
Yogyakarta: FISIP UGM
Latansa, D. Q. (2019) Konstitusionalitas Batasan Masa Jabatan Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal Jurist – Diction, 2(2), 595-615.
Sulardi. (2011) Dinamika Pengisisan Jabatan Presiden dan Pemberhentian
Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. UNISIA, 33(74), 122-130.
Fuqoha. (2017) Pengisian Jabatan Presiden dan Presidential Threshold Dalam
demokrasi Konstitusional Indonesia. Jurnal Ajudikasi, 1(2), 27-38.
Irawan, B. B. (2007) Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia, Jurnal
Hukum Dan Dinamika Masyarakat, 5(1), 54-64.
Undang – Undang Dasar Negara RI 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen.
TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi
Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden RI Seumur Hidup.

TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN)

15

Anda mungkin juga menyukai