Anda di halaman 1dari 16

BANK & LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA

“LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN”

Disusun Oleh :
1. Dede Yulianti (201714500092)
2. Shifa Sururi (201714500123)
3. Devy Christina (201714500134)
4. Indriani Setia Ningsih (201714500136)

Kelas / Kelompok : R5B / 2


Nama Dosen : Abdul Azim Wahbi

Program Studi Pendidikan Ekonomi


Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Universitas Indraprasta PGRI
2019
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Lembaga Penjamin Simpanan


Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian
secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang
ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan
masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh
kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini
ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap
Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan
yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank
maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah
penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat
luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai
pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi
menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk. Undang-undang ini berlaku
efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.
B. Peran LPS sebagai Jaring Pengaman Sistem Perbankan Nasional dan Syariah
Dalam menjamin simpanan nasabah dan memelihara stabilitas sistem perbankan
dijelaskan dengan hubungan kelembagaan atau koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), Bank Indonesia, LPS, Kementerian Keuangan, dan Forum Koordinasi Stabilitas
Sistem Keuangan (FKSSK).
Untuk pengamanan sistem perbankan nasional penerapannya dapat dianalogikan sebagai
tim sepakbola ada penyerang, pemain tengah, bek (pemain belakang) dan kiper. Setiap
posisi punya peran masing-masing. Jika dianalogikan dengan sistem perbankan kita
memiliki fungsi masing-masing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai ujung
tombak (front office). Dengan perannya mengatur dan mengawasi mikroprudensial
dengan kuat dan efektif, OJK diharapkan mampu mendorong perbankan untuk mencapai
goal (tujuan), yaitu sistem perbankan yang sehat, stabil, bertumbuh, dan bermanfaat bagi
rakyat banyak. Selain itu, dengan mengidentifikasi permasalahan secara dini dan tindakan
perbaikan yang segera (prompt corrective actions) diharapkan permasalahan perbankan
dapat diatasi pada stadium awal.
Oleh karena itu berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK,
bahwa OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang
dalam upaya peyehatan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya di belakang OJK berdiri Bank Indonesia (BI) sebagai lini tengah berperan
mengatur kebijakan makroprudensial (moneter dan sistem pembayaran) yang kondusif
bagi industri perbankan sehingga dapat membantu menciptakan peluang terjadinya goal.
Konkretnya, saat sebuah bank menghadapi masalah likuiditas, BI bisa memberikan
fasilitas pinjaman likuiditas sebagai bentuk pertahanan terhadap sistem ekonomi
Indonesia.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berada pada posisi belakang/bertahan, LPS
menjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya dan melaksanakan resolusi
(penyehatan) bank gagal. Bank gagal dan bank yang dicabut izinnya pada umumnya
mengalami permasalahan solvabilitas. Pelaksanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan, rasa aman, dan ketenangan sehingga dapat meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Di samping itu, berdasarkan Pasal 42 UU
No. 21 Tahun 2011, LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait
dengan fungsi, tugas dan wewenangnya serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK,
karena pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK.
Berdasarkan undang-undang, lingkup pemeriksaan LPS terhadap bank meliputi
pemeriksaan premi, posisi simpanan, tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank
bermasalah, kualitas aset, dan kejahatan di sektor perbankan. Selanjutnya berdasarkan
Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia dan LPS wajib
membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.
Jika ketiga pertahanan tersebut tidak mampu bertahan juga, Kementerian Keuangan
adalah pemain terakhir yang diharapkan mampu menjaga gawang tetap aman. Kemenkeu
sebagai pemegang otoritas terhadap fiskal dan koordinator FSN mampu memberikan
kebijakan untuk menjaga sistem perbankan tetap stabil. Untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan dibentuklah Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). FKSSK
adalah Operasionalisasi dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan
Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah tejadi krisis pada
sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan
rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua
Dewan Komisioner LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan
atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK dalam
kondisi tidak normal. Kebijakan FKSSK yang terkait dengan keuangan negara wajib
diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR wajib ditetapkan dalam
waktu paling lama 24 jam sejak pengajuan persetujuan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah bagian dari sistem Jaring Pengaman Sektor
Keuangan (JPSK)/anggota FKSSK bersama dengan BI, Menteri Keuangan, dan OJK.
FKSSK menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan
masing-masing. Keputusan FKSSK yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan
suatu bank gagal (bank resolotion) yang ditangani berdampak sistemik mengikat LPS.

C. Organisasi LPS
LPS adalah badan hukum yang dibentuk berdasarkan UU No. 24/2004. LPS merupakan
lembaga yang independen, transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. LPS berkedudukan di
ibu kota Negara Republik Indonesia. LPS memiliki struktur organisasi kepengurusan
yang terdiri dari :
a. Dewan Komisioner
b. Kepala Eksekutif
c. Direktur

D. Kekayaan, Pembiayaan dan Pengelolaan


Modal awal LPS ditetapkan minimal sebesar Rp 4.000.000.000.000,- (empat trilliun
rupiah) dan maksimal Rp 8.000.000.000.000,- (delapan trilliun rupiah). Kekayaan LPS
merupakan aset negara yang dipisahkan. LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan
penatausahaan semua asetnya. Kekayaan LPS berbentuk investasi dan bukan investasi.
Kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang
diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia/Bank Indonesia. LPS tidak dapat menempatkan
investasi pada bank atau perusahaan lainnya, kecuali dalam bentuk penyertaan modal
sementara dalam rangka penyelamatan atau penanganan Bank Gagal. LPS dapat
menempatkan kekayaan bukan investasi (giro, gedung kantor dan perlengkapan lainnya)
dalam melaksanakan operasionalnya.
Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasionalnya selama satu tahun dialokasikan
sebagai berikut :
a. 20% untuk cadangan kegiatan operasional
b. 80% diakumulasikan sebagai cadangan penjaminan, dalam hal akumulasi cadangan
penjaminan mencapai tingkat sasaran sebesar 2,5% dari total simpanan pada seluruh
bank, bagian surplus sebagaimana diatur merupakan penerimaan negara bukan pajak.
Defisit yang terjadi dalam satu tahun karena pembayaran klaim penjaminan
diperhitungkan sebagai pengurang cadangan penjaminan, apabila cadangan tidak
mencukupi maka defisit tersebut diperhitungkan ssebagai pengurang modal LPS.
Selanjutnya apabila modal LPS kurang dari modal awal yang ditetapkan maka pemerintah
atas persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut.

E. Fungsi, Tugas dan Wewenang LPS


LPS menurut UU No. 24/2004 pada dasarnya memiliki dua fungsi yaitu :
a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan
kewenangannnya.
LPS menurut UU No. 24/2004 mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.
2. Melaksanakan penjaminan simpanan.
3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan.
4. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal
yang tidak berdampak sistemik.
5. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

LPS menurut UU No. 24/2004 memiliki wewenang sebagai berikut :


1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank,
dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada angka
4.
6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
7. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi
kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
9. Menjatuhkan sanksi administratif.

Selanjutnya dalam melaksanakan penyelesaian dan penanganan bank gagal, LPS


memiliki kewenangan :
a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham,
termasuk hak dan wewenang RUPS.
b. Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Gagal yang diselamatkan.
c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang
mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank.
d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban
bank tanpa persetujuan kreditur.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, LPS dapat meminta data, informasi,
dan/atau dokumen kepada pihak lain. Setiap pihak yang dimintai data, informasi, dan/atau
dokumen sebagaimana dimaksud wajib memberikan kepada LPS.

F. Skema Penjamin Simpanan


Menurut Siamat, 2005, dalam hal pelaksanaan penjaminan simpanan terdapat skema
penjaminan simpanan sebagai berikut:
1. Kepesertaan
Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah negara Indonesia menurut
undang-undang ini wajib menjadi peserta penjaminan. Kewajiban untuk mengikuti
skema penjaminan berlaku pula bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri yang melakukan kegiatan perbankan dalam wilayah Republik Indonesia.
Sedangkan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di Indonesia yang melakukan
kegiatan perbankan di luar wilayah Republik Indonesia tidak termasuk dalam skema
penjaminan.

2. Jenis simpanan yang dijamin


Jenis simpanan yang dijamin oleh LPS adalah :
a. Giro
b. Deposito
c. Sertifikat Deposito
d. Tabungan atau yang dipersamakan dengan tabungan
Jenis simpanan Bank Syariah yang dijamin oleh LPS adalah :
a. Giro berdasarkan prinsip wadiah (untuk BUS dan UUS)
b. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah
c. Tabungan berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau prinsip mudlarabah
muqoyyad dan resikonya ditanggung oleh bank.
d. Deposito berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau dengan prinsip
mudlarabah muqoyyad yang resikonya ditanggung oleh bank.
e. Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainya yang ditetapkan oleh LPS setelah
mendapatkan pertimbangan LPP (Bank Indonesia)
Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menurut ketentuan dalam skema penjaminan ini
adalah sebagai berikut :
a. Nilai simpanan setiap nasabah yang dijamin maksimal Rp 2.000.000.000.000,-
b. Nilai simpanan setiap nasabah yang dijamin dapat diubah apabila dipenuhi salah satu
atau lebih kriteria sebagai berikut :
1) Terjadi penarikan dan perbankan secara besar-besaran.
2) Terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun.
c. Jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90% dari
jumlah nasabah penyimpan seluruh kantor bank.

3. Premi Penjaminan dan Pembayaran Klaim


Bank-bank yang menjamin peserta skema penjaminan diwajibkan membeyar premi
penjaminan untuk setiap periode tertentu sebesar 0,1% (satu basis point) dari rata-rata
saldo bulanan total simpanan dalam setiap periode. Perhitungan jumlah premi
dilakukan sendiri oleh bank. Namun dapat diverifikasi oleh LPS melalui
pemerikasaan dokumen, pemanggilan pejabat bank yang bersangkutan, dan atau
pemeriksaan langsung pada bank. Pemeriksaan langsung tersebut dilakukan oleh
otoritas Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) atas permintaan LPS.

4. Ketentuan Tingkat Bunga Penjaminan


Penetapan maksimum tingkat bunga penjaminan oleh LPS mempunyai beberapa latar
belakang antara lain:
1. Membatasi exposure yang menjadi beban LPS mengingat penjaminan meliputi
pokok dan bunga.
2. Mencegah moral hazard pengelola bank untuk menggunakan bunga yang tinggi
sebagai insentif pengerahan dana masyarakat
3. Mendorong masyarakat bersikap hati-hati dalam penempatan dananya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf b UU LPS, klaim penjaminan nasabah
penyimpan dinyatakan tidak layak bayar apabila nasabah tersebut merupakan pihak
yang diuntungkan secara tidak wajar. Nasabah penyimpan dinyatakan sebagai pihak
yang diuntungkan secara tidak wajar apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat
bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Ketentuan
maksimum tingkat bunga penjaminan tersebut hanya diberlakukan untuk simpanan
yang mempunyai komponen bunga, dan tidak diberlakukan untuk simpanan di bank
syariah yang tidak mempunyai komponen bunga.
LPS tidak menetapkan maksimum bagi hasil yang diterima nasabah penyimpan di
bank syariah, mengingat besarnya bagi hasil tidak tentu, bersifat fluktuatif dan tidak
diperjanjikan di muka. Oleh karena itu, meskipun realisasi bagi hasil simpanan di bank
syariah apabila diekuivalenkan dengan tingkat bunga (equivalent return) melebihi
maksimum tingkat bunga penjaminan, simpanan di bank syariah tersebut tetap dijamin
oleh LPS.

G. Penyelesaian dan Penanganan Bank Gagal


LPS menerima pemberitahuan dari Lembaga Penjamin Perbankan (LPP) mengenai bank
bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perudang-undangan di bidang perbankan.
LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik setelah LPP
atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaian kepada LPS.
Penyelesaian atau penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dilakukan oleh LPS
dengan cara sebagai berikut :
1. Penyelamatan bank gagal yang tidak berdampak sistemik
2. Bank gagal yang tidak berdampak sistemik yang tidak diselamatkan
3. Penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh
pemegang saham
4. Penanganan bank gagal yang berdampak sistemik tanpa penyetoran modal oleh
pemegang saham

Penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik


Penyelamatan Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik harus memenuhi persyaratan
berikut :

1. Perkiraan biaya penyelamatan yang meliputi penambahan modal sampai bank tersebut
memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas perbankan, harus lebih
rendah dari pada Perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan yang meliputi biaya
pembayaran simpanan nasabah yang dijamin, biaya talangan gaji yang terutang, biaya
pesangon pegawai, dan perkiraan penerimaan LPS dari hasil penjualan aset bank yang
dicabut izin usahanya.
2. Bank masih menunjukkan prospek usaha yang baik.
3. Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk
menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS, menyerahkan kepengurusan
bank kepada LPS, tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses
penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan
tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai :
a. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia
b. Data keuangan Nasabah Debitur
c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham tiga tahun terakhir
d. Dokumen/informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban termasuk
permodalan bank, yang dibutuhkan oleh LPS

Setelah persyaratan sebagaimana dimaksud dipenuhi, RUPS menyerahkan segala hak dan
wewenangnya kepada LPS. Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenangnya
sebagaimana dimaksud, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut :

1. Menguasai, mengelola, dan melaukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang
menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank
2. Memenuhi persyaratan modal sementara
3. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah Debitur dan/atau
kewajiban bank tanpa persetujuan Nasabah Kreditur
4. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain
5. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain
6. Melakukan pengalihan kepemilikan bank
7. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang
mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank

Seluruh biaya penyelamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal
sementara LPS pada bank. Hal-hal yangdiatur dalam Peraturan LPS antara lain meliputi :

a. Batasan tingkat kesehatan dan kinerja bank


b. Perbandingan antara tingkat biaya peyelamatan bank dengan perkiraan biaya tidak
menyelamatkan
c. Kriteria mengenai prospek usaha bank
d. Rincian dokumen misalnya jenis dan jumlah penggunaan fasilitas Bank Indonesia,
agunan yang diserahkan ke Bank Indonesia, dan lain-lain.

Penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik dengan penyetoran modal oleh
pemegang saham (open assistance).
Persyaratan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik oleh LPS dengan mengikut
sertakan pemegang saham sebagai berikut :
1. Pemegang saham yang berasal dari bank gagal telah menyetor modal sekurang-kurangnya
20% dari perkiraan biaya penanganan
2. Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk :
a. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS serta kepengurusan bank kepada LPS
b. Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila dalam proses penanganan
tidak berhasil sepanjang LPS atau pihak LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan
tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
3. Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai
a. Pengunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia
b. Data keuangan Nasabah Debitur
c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham tiga tahun terakhir
d. Dokumen/informasi lainnnya terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank,
yang dibutuhkan oleh LPS.

Likuidasi Bank Gagal


Dalam rangka melakukan likuidasi Bank Gagal yang dicabut izin usahanya, LPS melakukan
tindakan sebagai berikut :
1. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk
hak dan wewenang RUPS.
2. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan.
3. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri atau menguah kontrak yang mengikat bank
gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank.
4. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan kewajiban
bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan kewajiban bank tanpa persetujuan melakukan
kewenangan.
5. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan
pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon yang diatur dalam perundang-
undangan
6. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum
proses likuidasi dimulai.
7. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan
status bank sebagia bank dalam likuidasi.

Likuidasi bank dilakukan dengan cara :


1. Pencairan aset dan penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran
kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan aset dan penagihan tersebut
yang semuanya harus mendapat persetujuan dari LPS.
2. Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan
dilakukan dengan urutan sebagai berikut :
a. Penggantian biaya-biaya penanganan yang dikeluarkan oleh LPS meliputi
pembayaran klaim penjaminan, biaya gaji pegawai yang terutang, biaya pesangon
pegawai, biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya
operasional kantor.
b. Pajak terutang.
c. bagian simpanan nasabah penyimpanan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan
simpanan dari nasabah penyimpanan yang tidak dijamin.
d. hak dari kreditur lainnya.
3. Honorarium tim likuidasi termasuk kmponen biaya likuidasi yang besarnya ditetapkan
oleh LPS.
4. Apabila seluruh kewajiban bank dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud
masih terdapat sisa hasil likuidasi, maka sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham
lama. Apabila seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat
kewajiban bank terhadap pihak lain, maka kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh
pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi bank gagal.
5. Setelah proses likuidasi selesai, tim likuidasi menyampaikan neraca akhir likuidasi dan
mempertanggung jawabkan pelaksanaan likuidasi kepada LPS.
6. Tim likuidasi membuat pengumuman dalam Berita Negara RI dan dalam surat kabar
harian yang memiliki peredaran luas dan instansi yang berwenang, agar nama badan
hukum bank tersebut dicoret dari daftar perusahaan.

H. Hubungan dengan lembaga lain


LPS dapat bekerja sama dengan dengan lembaga atau organisasi dalam negeri atau luar
negeri, jug dapat bertindak sebagai anggota organisasi internasional mewakili NKRI.

I. Kerahasiaan Data
LPS dan setiap pihak yang bertugas utuk dan atas nama LPS wajib merahasiakan semua
dokumen, informasi dan catatan yang diperoleh atau dihasilkan dalam pelaksanaan
tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB III
KESIMPULAN

LPS merupakan penyempurnaan dari program penjaminan pemerintah terhadap


seluruh kewajiban bank (blanket guarantee) yang berlaku di masa lalu (tahun 1998 s/d 2005).
Kebijakan blanket guarantee di satu sisi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan, namun di sisi lain kebijakan tersebut telah membebani keuangan negara
dan dapat menimbulkan moral hazard bagi pelaku perbankan dan nasabah.
Dengan mempertimbangkan dampak negatif tersebut serta memperhatikan
membaiknya kondisi perbankan, kebijakan blanket guarantee telah diputuskan untuk diakhiri
(pada tahun 2005). Penerapan penjaminan secara luas ini yang berdasarkan kepada
Keputusan Presiden kurang dapat memberikan kekuatan hukum, sehingga menimbulkan
permasalahan dalam pelaksanaan penjaminan. Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang
lebih kuat dalam bentuk undang-undang. Yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 2004
ditetapkan penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan resiko yang
membebani anggaran negara. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut diselenggarakan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Mengingat fungsinya yang sangat penting, LPS harus independen, transparan dan
akuntabel dalm menjalankan tugas dan wewenangnya. Karena itu, status hukum, governance,
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan akuntabilitas LPS serta hubungannya
dengan organisasi lain, seluruhnya diatur secara jelas dalam undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA

 Hisyam, Fadillah dan Zainal Arifin H Masri.2019.Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.
Jakarta:Unindra Press.
 Silvanita, Ktut. 2009.Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta. Erlangga.
 Website resmi Otoritas Jasa Keuangan dapat diakses pada www.ojk.go.id
 Website resmi Lembaga Penjamin Simpanan dapat diakses pada www.lps.go.id
LAMPIRAN

1.

Anda mungkin juga menyukai