Anda di halaman 1dari 78

Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia

1. Pengertian Uang
Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat
pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat
untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata lain, bahwa uang merupakan alat yang
dapat digunakan dalam melakukan pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah
tertentu saja.

Secara umum uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, akan tetapi juga memiliki fungsi-
fungsi lainnya seperti sebagai alat satuan hitung, penimbun kekayaan atau sebagai standar
pencicilan utang.

2. Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang
Perbankan, yang dimaksud dengan BANK adalah "badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentub simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak."

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa bank merupakan perusahaan
yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang
keuangan. Sehingga berbicara mengenai bank tidak terlepas dari masalah ke- uangan.
3. Pengertian sistem keuangan
sistem keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur
keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam
pendanaan dan/atau penyediaan pertumbuhan perekonomian.”

Sistem keuangan, terdiri dari otoritas keuangan (financial authorities), sistem perbankan dan
sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian
suatu Negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan
(financial services). Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan,
termasuk pasar uang dan pasar modal.

Sistem perbankan Indonesia dibedakan berdasarkan fungsinya yang terdiri dari Bank Sentral,
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam struktur sistem keuangan Bank Umum
serta BPR disebut lembaga depositori (depository financial institutions). Disamping itu didalam
sistem keuangan Indonesia dikenal pula Lembaga Keuangan Bukan Bank (non depository
financial institution) yaitu lembaga keuangan yang kegiatan usahanya tidak menghimpun dana
dari masyarakat secara langsung dalam bentuk simpanan. Lembaga keuangan bukan bank terdiri
dari:

a. perusahaan asuransi (PT. Asuransi Jiwa Indosurya Sukses, AIA Financial, BRI Life dll)
b. perusahaan pembiayaan (Aditama Finannce, SG Finance, Bank Mandiri,Bank BCA dll)
c. perusahaan modal ventura (MDI Ventures, Intudo Ventures, Alpha JWC Vetures dll)
d. dana pension (Dana Pensiun Pemberi Kerja, Dana Pensiun Lembaga Keuangan dll)
e. perusahaan efek (PT Ajaib Sekuritas Asia, BCA Sekuritas, PT. Danareksa sekuritas dll)
f. reksa dana perseroan
g. perusahaan investasi (SRTG PT. Saratoga Investama Sedaya Tbk, BNBR PT. Bakrie &
Brothers Tbk dll)
h. pegadaian (PT Pegadaian (Persero), PT Gadai Pinjam Indonesia)
4. Sistem moneter
sistem moneter adalah bank-bank dan lembaga-lembaga yang dapat menciptakan uang
giral.
Kita juga perlu mengetahui Kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah kebijakan
untuk mempengaruhi proses penciptaan uang beredar dan tingkat bunga serta mempunyai
tujuan menciptakan stailitas nilai mata uang.
4.1. Otoritas moneter
Ada juga yang namanya otoritas moneter merupakan lembaga yang berwenang dalam
pengambilan kebijakan di bidang keuangan atau moneter juga merupakan sumber uang
primer bagi perbankan pemerintah maupun bagi masyarakat. bentuk simpanan giro bagi
otoritas moneter merupakan ruang primer sedangkan bagi bank bank umum merupakan
alat Liquid. Oleh sebab itu semua bank milik swasta maupun pemerintah diwajibkan
memiliki rekening giro pada bank sentral dan wajib mempertahankan jumlah tertentu
dalam rekening giro bank sentral.
4.2. Fungsi Pokok
Ada beberapa fungsi pokok otoritas moneter,yaitu:
1.Mengeluarkan uang kertas dan logam
2.Menciptakan uang primer
3.Memelihara cadangan devisa nasional
4.Mengawasi system moneter
Sistem moneter memiliki fungsi utama,yaitu:
 memajukan lalu lintas pembayaran yang efisien
 Sebagai perantara dalam usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi
 Mempertahankan tingkat bunga
5. Otoritas Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang no 3 tahun 2004 merupakan lembaga
independen yang berfungsi sebagai salah satu otoritas keuangan yang akan melaksanakan
fungsi pengaturan, pengawasan, dan pembinaan Lembaga-Lemba Keuangan Bukan Bank
(LKBB) selain sector perbankan, sehingga Bank Indonesia serta Departemen Keuangan tidak
lagi memiliki otoritas di bidang perbankan dan LKBB. Meskipun pengaturan dan
pengawasan Bank bukan lagi kewenangan Bank Indonesia, Bank Indonesia tetap memiliki
peran utama dalam menjaga stabilitas keuangan untuk menghindari terjadinya krisis di sector
keuangan dalam upayanya mencapai sasaran stabilitas moneter. Disamping itu, untuk
menjaga stabilitas moneter diperlukan adanya kerangka kerja yang disepakati oleh semua
otoritas keuangan (Departemen Keuangan/Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa
Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan) koordinasi tersebut diperlukan untuk
menghindari timbulnya duplikasi atau konflik dalam pelaksanaan fungsi masing-masing
lembaga.

Otoritas keuangan yang nantinya akan memiliki peran dalam pengaturan dan pengawasan
bidang keuangan dan perbankan terdiri dari :

a. Bank Indonesia
b. Pemerintah (Departemen Keuangan)
c. Otoritas Jasa Keuangan
d. Lembaga Penjamin Simpanan

6. Bank Indonesia
Bank Indonesia, sebagiamana diatur dalam Undang-Undang, adalah Bank Sentral Republik
Indonesia yang merupakan lembaga Negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya. Bank Indonesia adalah badan hokum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 dengan modal sekurang-kurangnya Rp 2 trilliun.
Bank Indonesia memiliki satu tujuan yang disebut tujuan tunggal yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kegagalan dalam memelihara kestabilan nilai rupiah
yang tercermin dari kenaikan harga-harga dapat merugikan karena berakibat menurunkan
pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya saing perekonomian nasional dalam
kancah perekonomian dunia.

Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia didukung oleh tiga
pilar yang merupakan tiga bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu :

1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter


2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank

Bank indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan perbankan pembinaan dan


pengawasan terhadap Bank Umum. Bank Umum wajib memelihara tingkat
kesehatan bank sesuai dengan ketentuan cukupan modal kualitas aset kualitas
manajemen likuiditas rentabilitas solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan
dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha Sesuai dengan prinsip
kehati-hatian.

6.1 Wewenang Bank Indonesia dalam kebijakan moneter

Bank Indonesia memiliki wewenang juga dalam rangka menetapkan dan


melaksanakan kewajiban moneter. pertama Menetapkan sasaran moneter dengan
memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan. kedua yaitu melakukan
pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang telah ditetapkan tetapi
tidak terbatas pada operasi pasar terapung di pasar uang dari Rupiah maupun valuta
asing

Selanjutnya dalam menetapkan dan melaksankan kebijakan moneter, BI berwenang


menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter sebagia
berikut:
1. Melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan
2. Mengelola cadangan devisa untuk memenuhi kewajiban luar negeri
3. Memelihara keseimbangan neraca pembayaran
4. Menerima pinjaman luar negeri

Kebijakan nilai tukar Bank Indonesia

1. Devaluasi/Revaluasi terhadap mata uang asing


2. Intervensi pasar
3. Penetapan nilai tukar harian

Agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut dapat dicapai secara
efektif dan efisien, maka ketiga tugas tersebut harus diintegrasikan.

6.2 Dewan Gubernur


Bank Indonesia dipimpin oleh dewan gubernur,yang dipimpin oleh:

1. Seorang gubernur
2. Seorang Deputi Gubernur senior (Wakil Gubernur)
3. Minimal terdiri dari 4 orang dan maksimal 7 orang Deputi Gubernur

Rapat Dewan Gubernur

Berikutnya rapat dewan Gubernur rapat dewan Gubernur sebagai suatu forum pengambilan
keputusan tertinggi diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk
menetapkan kebijakan umum di bidang moneter.

7. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Tugas pokok dari LPS menurut UU no 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), yaitu memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industry
perbankan dan sekaligus dapat meminimalkan risiko yang membebani anggaran Negara atau
risiko yang menimbulkan moral hazard. LPS memiliki dua fungsi, yaitu : menjamin
simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank gagal dalam
upayanya memelihara stabilitas sistem perbankan.

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya diatas , LPS mempunyai 5 tugas berikut:


 Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan
 Melakukan penjaminan simpanan
 Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan
 Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal
(bank resolution) yang tidak berdampak sistemik
 Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik

Sementara dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, LPS berwenang sebagai berikut:

 Menetapkan dan memungut premi penjaminan


 Menetapkan dan memgut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta
 Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS
 Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank
dan laporan hasil pemeriksaan bank, sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank
 Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan konfirmasi atas yang dikatakan di poin d
 Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim
 Menunjuk, menguasakan dan menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi
kepentingan atas nama LPS
 Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan
 Menjatuhkan sanksi administrative

Selanjutnya, dalam melaksanakan penyelesaian dan penanganan bank gagal, LPS memiliki
kewenangan :

1. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham,
termasuk hak dan wewenang RUPS
2. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan
3. Meminjau ulang, membatalkan mengakhiri dan mengubah setiap kontrak yang
mengikat bank gagal dengan pihak ketiga yang merugikan bank
4. Menjual dan mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan kewajiban bank
tanpa persetujuan kreditur
Jenis simpanan yang dijamin oleh LPS adalah sebagai berikut:
 Giro
 Deposito
 Sertifikat deposito
 Tabungan (atau yang dipersamakan dengan itu)

Sedangkan nilai simpanan yang dijamin adalah sebagai berikut:

a. Nilai simpanan yang dijamin setiap nasabah pada satu bank maksimal Rp 2 M
b. Nilai simpanan yang dijamin dapat diubah apabila dipenuhi salah satu atau lebih
kriteria sebagai berikut:
 Terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar-besaran
 Terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun
 Jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90%
dari jumlah nasabah penyimpan seluruh kantor bank.

8. Departemen Keuangan
Departemen Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKKB). Unit organisasi Departemen Keuangan yang terlibat
langsung dalam menangani sector keuangan dan perbankan ini adalah Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).

Bapepam melaksanakan fungsi pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari-hari pasar


modal guna mewujudkan pasar modal yang teratur, wajar dan efisien untuk melindungi
kepentingan pemodal dan masyarakat.

9. Sistem Perbankan Indonesia


Bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini pada dasarnya dikelompokkan kedalam
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), sedangkan Bank Indonesia berfungsi
sebagai Bank Sentral.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 10 tahun 1998, bentuk hokum bank umum dapat berupa:

a. Perseroan Terbatas
b. Koperasi
c. Perusahaan Daerah

Modal disetor untuk mendirikan bank umum ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar Rp 3


Trilliun.

Kegiatan Usaha bank umum yang diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU
No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis kegiatan
sebagai berikut:

a. Penghimpunan dana
b. Penyaluran atau penggunaan dana
c. Pemberian jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran

Kegiatan penghimpunan dana beberapa contohnya adalah : giro, deposito berjangka,


tabungan, sertifikat deposito, dll. Kegiatan penyaluran dana beberapa contohnya adalah :
Pemberian Kredit, pembiayaan (prinsip syariah), dll.Pemberian jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran salah satu contohnya adalah : transfer dana, memberikan bank garansi,
memberikan jaminan letter of credit (L/C) dll.

9.1 Bank Persero


Bank persero atau yang biasa disebut Bank BUMN adalah bank umum yang secara mayoritas
sahamnya dimiliki pemerintah. Komposisi kepemilikan bank persero tidak sepenuhnya milik
pemerintah, beberapa bank persero telah menjadi bank public melalui penjualan sebagian
sahamnya melalui pasar modal antara lain : Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank BRI,
sementara BTN masih sepenuhnya milik Negara.

9.2 Bank Pemerintah Daerah (BPD)


Bank-bank umum milik pemerintah daerah adalah Bank-Bank pembangunan daerah yang
pendiriannya didasarkan UU No 3 tahun 1962 serta mengalami beberapa perubahan,
akhirnya UU No. 10 tahun 1998 mengharuskan BPD memilih dan menetapkan badan
hukumnya apakah menjadi PT, Koperasi, atau perusahaan daerah. Jumlah Bank
Pembangunan Daerah sampai dengan pertengahan 2004 menjadi 26 bank.

9.3 Bank Umum Swasta Nasional


Bank Umum Swasta Nasional adalah bank yang berbadan hukum Indonesia yang sebagian
atau seluruh modalnya dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan atau badan hukum
Indonesia. Dilihat dari lingkup usahanya, Bank Umum Swasta Nasional dibedakan menjadi
dua jenis yaitu Bank Devisa dan Non Devisa. Bank Devisa adalah bank yang dalam kegiatan
usahanya dapat melakukan transaksi dalam valuta asing, setelah memperoleh persetujuan
dari Bank Indonesia. Sedangkan bank Non devisa adalah bank yang tidak diperkenankan
melakukan transaksi yang berkaitan dengan valuta asing.

9.4 Bank Asing


Bank Asing merupakan kantor cabang dari suatu bank di luar Indonesia yang saat ini hanya
diperkenankan beroperasi di Jakarta dan membuka kantor cabang pembantu di beberapa
provinsi tertentu. Bank Asing tidak diperkenankan menerima simpanan dari masyarakat
dalam bentuk tabungan.. disamping itu segmen usaha bank asing adalah segmen korporasi
atau corporate banking. Ciri lain dari kegiatan bank asing ini adalah penyediaan jasa dibidang
investement bank yang menawarkan jasa-jasa dibidang pasar modal.

Berikut beberapa contoh bank Asing di Indonesia: Citibank, Standard Chartered Bank, Bank
of Tokyo, dll.

9.5 Bank Campuran


Kegiatan usaha bank campuran adalah penghimpunan dana yang terutama berasal dari
simpanan berjangka dan giro, selanjutnya penyaluran dana terutama dilakukan dengan
memberikan pembiayaan usaha perdagangan internasional dan kredit bagi sekotr-sekrot
industry dan produksi.

Berikut beberapa contoh bank campuran di Indonesia: Bank Commonwealth, ANZ, DBS
Indonesia, Rabobank International Indonesia, UOB Indonesia dll.
9.6 Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka,
tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. BPR tidak diperkenankan
menerima simpanan dalam bentuk giro dan memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran.

Bentuk Hukum BPR, berdasarkan ketentuan perundangan, bentuk hokum BPR dapat berupa:

a. Perusahaan Daerah
b. Koperasi
c. Perseroan Terbatas
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Klasifikasi BPR, berdasarkan ketentuan berikut:

a. BPR Baru
b. Bank Pasar
c. Bank Desa
d. BKPD
e. Lumbung Desa
f. LDKP (Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan)

10. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Sehubungan dengan fungsinya, LKKB dapat digolongkan berdasarkan jenis usahanya


sebagai berikut:

a. Lembaga Pembiayaan Pembangunan (development type), yaitu lembaga keuangan


kegiatan utamanya memberikan kredit jangka menengah dan jangka panjang.
b. Lembaga perantara penerbitan dan perdagangan surat-surat berharga (investment
type) , yaitu lembaga keuangan yang usaha utamanya bertindak sebagai perantara dan
penjamin dalam penjualan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh emiten.
Jenis-jenis Lembaga Keuangan Bukan Bank saat ini beroperasi di Indonesia adalah sebagai
berikut:

a. Lembaga Pembiayaan
b. Perusahaan Perasuransian
c. Dana Pensiun
d. Perusahaan Efek
e. Reksa Dana
f. Perusahaan Modal Ventura
g. Pegadaian

10.1 Lembaga Pembiayaan


atau finance company adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Bidang usaha lembaga pembiayaan, pada awalnya, sebagaimana diatur dalam Keppres No. 61
tahun 1988 adalah sebagai berikut:

a. Sewa guna usaha


b. Anjak piutang
c. Pembiayaan konsumen
d. Kartu kredit
e. Modal Ventura
f. Perusahaan Perdagangan Surat-Surat Berharga

10.2 Perusahaan Perasuransian


Perusahaan Perasuransian jenis usaha perasuransian yang diatur dalam UU No. 2 tahun 1992 dapat
digolongkan sebagai berikut:

a. Usaha Asuransi yang terdiri atas: Asuransi Kerugian (non life insurance), asuransi
jiwa ( life insurance) dan reasuransi (reinsurance).
b. Usaha penunjang asuransi yang terdiri atas: pialang asuransi, pialang reasuransi,
penilai kerugian, konsultan aktuaria, dan agen asuransi.
10.3 Dana Pensiun
Dana Pensiun (pension funds) adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program
yang mejanjikan manfaat pensiun. Pembentukan dana pensiun akan menimbulkan kewajiban,
baik bagi karyawan sebagai peserta maupun pemberi kerja. Sementara ini, pembentukan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat dilakukan oleh bank umum dan perusahaan asuransi
jiwa setelah memenuhi persyaratan.

10.4 Perusahaan Efek


Perusahaan efek atau securities company adalah perusahaan yang dapat melakukan kegiatan
penjaminan emisi (underwriting), perantara pedagang efek, dan manajer investasi. Ada tiga
metode penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan efek:

Reksa Dana disebut juga investment fund atau mutual funds adalah wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam
portfolio efek oleh manajer investasi. Reksa Dana menurut ketentuan dapat didirakan dalam
bentuk hukum perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif.

Bentuk reksa dana memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bentuk hukumnya adalah Perseroan Terbatas


b. Pengelolaan kekayaan reksa dana didasarkan pada kontrak antara direksi perusahaan
dengan manajer investasi yang ditunjuk
c. Penyimpanan kekayaan reksa dana didasarkan pada kontrak antara manajer investasi
dengan bank custodian.

Berdasarkan konsentrasi portofolio reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi dapat
dibedakan beberapa jenis reksa dana:

a. Reksa Dana Pasar Uang


b. Reksa Dana Pendapatan tetap
c. Reksa Dana Saham
d. Reksa Dana Campuran
10.6 Modal Ventura
Modal ventura pada dasarnya adalah usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke
dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu.
Jangka waktu pembiayaan menurut ketentuan dibatasi, maksimal 10 tahun harus sudah dilakukan
tindakan divestasi.

10.7 Perusahaan Penjaminan


Perusahaan Penjaminan merupakan kegiatan usaha yang relative baru dalam lingkup lembaga
keuangan bukan bank. Bidang usaha penjaminan adalah melakukan kegiatan dalam bentuk
pemberian jasa penjaminan untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan terjamin,
apabila terjamin tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya kepada penerima jaminan yang
timbul dari transaksi kredit, sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, pembiayaan
dengan pola bagi hasil, dan pembelian barang secara angsuran.

10.8 Pegadaian
Pegadaian merupakan lembaga yang menyalurkan pinjaman. Tugas pokok perum pegadaian
adalah menjembatani kebutuhan dana masyarakat dengan memberi uang pinjaman berdasarkan
hukum gadai. Perum Pegadaian merupakan lembaga satu-satunya di Indonesia yang diberikan
izin untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum gadai.

11. Kesimpulan

Sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan
dalam perekonomian suatu Negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-
jasa keuangan (financial services). Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-
lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal kepada Nasabah.Yang Kemudian
Lembaga keuangan dibedakan berdasarkan fungsinya yang terdiri dari Bank Sentral, Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

12. Saran
Manajemen bank perlu untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai CAR sesuai dengan
ketentuan bank sentral (minimal 10%) karena dengan modal yang cukup maka bank dapat
melakukan ekspansi usaha dengan lebih aman.

Pihak manajemen hendaknya bijaksana dalam menetapkan LDR yang pantas bagi
perusahaannya, minimal adalah memenuhi ketetapan pemerintah. Jika ingin memperbesar posisi
kredit dengan pertimbangan untuk meningkatkan pendapatan dan interest incomemaka bank
harus mampu meningkatkan simpanan masyarakat baik dalam bentuk giro, deposito maupun
tabungan.
KEBIJAKAN MONETER DAN REGULASI PERBANKAN INDONESIA

A. PENDAHULUAN
1. Definisi Kebijakan Moneter
Dalam suatu sistem perekonomian, salah satu cara untuk mengendalikan
keseimbangan ekonomi adalah melalui kebijakan moneter. Kebijakan moneter
merupakan suatu usaha pemerintah dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar
dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Kebijakan moneter pada dasarnya adalah
suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, dan pemerataan pembangunan) dan keseimbangan
eskternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro
yaitu menjaga stabilitas ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan
harga, serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Kebijakan moneter yang
diambil Bank Sentral/ Bank Indonesia (BI) tidak bisa secara langsung mempengaruhi
kegiatan ekonomi tapi memerlukan waktu (time lag) dan melalui suatu mekanisme
transmisi tertentu yang dikenal dengan nama channels of monetary transmission.
Kebijakan moneter mempengaruhi kegiatan ekonomi riil melalui berbagai saluran
(channel), di antaranya suku bunga, agregat moneter, kredit, nilai tukar, harga aset, dan
ekspektasi. Oleh karena itu, identifikasi transmisi kebijakan moneter merupakan hal yang
penting bagi pengambil kebijakan moneter dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Oleh sebab itu, penanggung jawab dan pelaksana kebijakan moneter di Indonesia
yaitu Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia. Hal ini didasari pada Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 mengenai Kebijakan Moneter Bank Indonesia.

2. Regulasi Perbankan di Indonesia


Bank Indonesia sebagai lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya. Tugas pokok Bank Indonesia adalah menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan
mengawasi perbankan.
Regulasi perbankan di Indonesia dilakukan lewat penetapan UU tentang
perbankan. Tujuannya untuk melindungi industri perbankan dalam menghadapi risiko,
yang pada akhirnya juga berarti melindungi nasabah dan perekonomian dari kegagalan
proses dan prosedur yang dapat berdampak pada sistem keuangan secara keseluruhan
Berikut ini adalah UU tentang perbankan:
1. UU RI No 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU RI
No 10 Tahun 1998
2. UU RI No 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana telah diubah dengan UU
RI No 3 Tahun 2004

B. PEMBAHASAN
1. Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang
sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7.
Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai
Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari
perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan kestabilan nilai tukar
Rupiah terhadap mata uang negara lain. Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang
(free floating). Namun, peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas
harga dan sistem keuangan.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan
kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut
dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-
Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective).
Bank Indonesia terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai
dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat
efektivitasnya.

2. Kerangka Kebijakan Moneter


Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).  ITF merupakan suatu kerangka kerja
(framework) dengan kebijakan moneter yang diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan ke depan dan diumumkan kepada publik sebagai perwujudan dari komitmen dan
akuntabilitas bank sentral. ITF diimplementasikan dengan menggunakan suku bunga kebijakan
sebagai sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai
sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kerangka kebijakan moneter dengan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan moneter. 

Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran
penting yang mengemuka adalah perlunya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk
merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang
semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan
tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF. 

a) Apa itu Flexible ITF?


Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah
terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik,
kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking (kebijakan moneter diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi pada periode yang akan datang karena mempertimbangkan adanya efek
tunda/time lag kebijakan moneter).
Akuntabilitas kebijakan kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF.
Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 elemen pokok, yaitu:
  Strategi penargetan inflasi (Inflation Targeting) sebagai strategi dasar kebijakan moneter.
 Integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan
dan sekaligus mengupayakan stabilitas makroekonomi.
 Peran kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
 Penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dengan Pemerintah untuk pengendalian
inflasi maupun dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan.
 Penguatan strategi komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.
b) Mengapa Flexible ITF?
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang hanya
mengedepankan penerapan ITF dipandang tidak lagi sesuai. Hal ini dikarenakan penerapan ITF
secara ketat hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga inflasi sesuai dengan
targetnya, tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian secara keseluruhan.
Peran sistem keuangan makin besar dalam perekonomian, sehingga dampak ketidakstabilan
sistem keuangan menjadi makin signifikan. Hal ini tercermin dari besarnya biaya penyelamatan
dan dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global tahun 2008/2009. Hal ini
menyadarkan pentingnya peran bank sentral untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan. 
Penerapan ITF untuk pencapaian stabilitas harga hanya memenuhi syarat perlu, belum kondisi
kecukupan (necessary but not sufficient).
Pascakrisis keuangan global tahun 2008/2009, bank sentral dituntut untuk semakin
memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian berada dalam kondisi
stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Untuk itu, keberhasilan penerapan
ITF harus didukung dengan kerangka pengaturan di sektor keuangan secara makro
(macroprudential regulatory framework). Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka
ITF menjadi flexible ITF dengan makin memperkuat mandatnya dalam menjaga stabilitas harga
dan turut mendukung stabilitas sistem keuangan.

c) Bagaimana Flexible ITF diterapkan?


Pencapaian overriding objective ITF dan Flexible ITF adalah sama, yaitu pengendalian inflasi. 
Dimensi baru sejak krisis keuangan global adalah perkembangan peran bank sentral dalam turut
menjaga stabilitas sistem keuangan secara terintegrasi dengan mandat mencapai stabilitas harga. 
Pengejawantahan Flexible ITF adalah adanya ruang fleksibilitas dalam mengintegrasikan
kerangka stabilitas moneter dan sistem keuangan melalui penerapan instrumen bauran kebijakan
moneter, makroprudensial, nilai tukar, aliran modal dan penguatan kelembagaan untuk
mengoptimalkan peran kordinasi dan komunikasi kebijakan. 
Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia
mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Sasaran inflasi ditetapkan oleh
pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK). Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi apakah proyeksi inflasi
ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah
model dan berbagai informasi yang tersedia untuk menggambarkan kondisi inflasi ke depan
sebagai basis kebijakan moneter yang ditempuh. Hal ini merupakan implikasi dari adanya efek
tunda/time lag kebijakan moneter sehingga target dalam pelaksanaan kebijakaan moneter
didasarkan pada perkiraan inflasi ke depan. Upaya pencapaian target tersebut dilakukan melalui
respons bauran kebijakan (policy mix) dengan memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas. 
Bank Indonesia melaporkan pelaksanaan tugas tersebut secara reguler kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Pemerintah. Secara reguler, Bank Indonesia juga
menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap kondisi terkini dan outlook inflasi ke
depan, keputusan yang diambil, serta arah kebijakan ke depan yang akan diambil untuk menjaga
inflasi sesuai dengan sasarannya (forward guidance). Hal ini tidak hanya untuk memenuhi aspek
transparansi namun juga penting dalam memperkuat kredibilitas Bank Indonesia sehingga
kebijakan yang ditempuh menjadi lebih efektif.  
Dalam rangka memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter, pada 19 Agustus
2016 Bank Indonesia menetapkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate (BI 7DRR) sebagai suku bunga
kebijakan yang merepresentasikan sinyal respons kebijakan moneter dalam mengendalikan
inflasi sesuai dengan sasaran. Penggunaan BI 7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan
bagian dari reformulasi kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. 
Sebelumnya, Bank Indonesia menggunakan BI Rate sebagai suku bunga acuan yang
setara dengan dengan instrumen moneter 12 bulan. Melalui penetapan BI 7DRR sebagai suku
bunga acuan, tenor instrumen menjadi lebih pendek yakni setara dengan instrumen moneter 7
hari sehingga diharapkan dapat mempercepat transmisi kebijakan moneter dan mengarahkan
inflasi sesuai dengan sasarannya. 
Reformulasi kebijakan moneter memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat sinyal
arah kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui
pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan. Ketiga,
mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan pembentukan struktur suku
bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan. 
Dalam implementasinya, reformulasi kebijakan moneter memegang empat prinsip.
Pertama, reformulasi tidak mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap
menerapkan Flexible ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter
yang sedang ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di
instrumen moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku
bunga sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi oleh suku bunga
kebijakan. Sesuai dengan prinsip kedua, perubahan tersebut tidak mengubah stance kebijakan
moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI 7DRR berada dalam satu struktur
suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar sesuai dengan
sasarannya. 
Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar.
Kebijakan nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai
tukar Rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya
mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang
muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas), melalui
strategi triple intervention. Strategi triple intervention dilakukan melalui intervensi jual di pasar
spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas serta
pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi triple  intervention
dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas
Rupiah.
Implementasi Flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar.
Kebijakan nilai tukar ditempuh Bank Indonesia untuk mengelola stabilitas nilai tukar Rupiah
agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya mekanisme pasar.
Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang muncul dari
ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas) melalui intervensi
jual di pasar spot, pasar Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) atau pasar berjangka valas
serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi ini dilakukan untuk
menjaga kestabilan nilai tukar dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas Rupiah.
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah,
khususnya dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk menjaga
keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif untuk
stabilisasi harga pangan guna mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan
pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan
melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah. Koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilitas sistem
keuangan. Melalui komite Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia bersama dengan
Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
menetapkan langkah koordinasi dan memberikan rekomendasi dalam rangka pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan.

3. Transmisi Kebijakan Moneter


Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah
yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan
itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)
sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan
tujuan akhir pencapaian inflasi. Proses tersebut atau transmisi dari keputusan BI-7 Day Reverse
Repo Rate (BI7DRR)  sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut melalui berbagai
channel dan memerlukan waktu (time lag). 

Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time


lag masing-masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR)  dengan kenaikan/penurunan suku
bunga perbankan. Namun demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup
tinggi, respons perbankan terhadap penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo
Rate (BI7DRR)  akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan sedang melakukan
konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan
permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi
permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh
meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.
Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh  kondisi eksternal, sektor keuangan dan
perbankan, serta sektor riil. 
Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR memengaruhi suku bunga deposito dan suku
bunga kredit perbankan. Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ketat
melalui peningkatan suku bunga yang berdampak pada permintaan agregat sehingga menurunkan
tekanan inflasi. Sebaliknya, penurunan suku bunga BI 7DRR akan menurunkan suku bunga
kredit sehingga permintaan kredit dari perusahaan dan rumah tangga meningkat. Penurunan suku
bunga kredit juga menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Hal ini
meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi sehingga mendorong perekonomian.  

Perubahan suku bunga BI 7DRR dapat memengaruhi nilai tukar (jalur nilai tukar).
Kenaikan BI 7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di
Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut
mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrumen-instrumen keuangan di
Indonesia, karena mereka akan mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran
modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi
Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri
menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi
ekspor. Apresiasi nilai tukar tersebut akan berdampak pada penurunan tekanan inflasi.   

Perubahan suku bunga BI 7DRR juga memengaruhi perekonomian makro melalui


perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan
obligasi, sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya
mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan
investasi. Hal ini akan mengurangi permintaan agregat sehingga menurunkan tekanan inflasi. 

Dampak perubahan suku bunga pada kegiatan ekonomi juga memengaruhi ekspektasi
publik terhadap inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga akan mendorong aktivitas
ekonomi dan pada akhirnya inflasi akan mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan
inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh
produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga. 
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini memerlukan waktu (time lag). Time
lag masing-masing jalur bisa berbeda. Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons
kenaikan/penurunan BI 7DRR dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Namun
demikian, apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respons perbankan
terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR akan lebih lambat. Sebaliknya, apabila perbankan
sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit
dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan menaikkan penyaluran kredit.
Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons oleh
meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.
Efektivitas transmisi kebijakan moneter dipengaruhi oleh kondisi eksternal, sektor keuangan dan
perbankan, serta sektor riil. 

4. Transparansi dan Akuntabilitas


a) Transparansi dan Komunikasi
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 tahun 2004 dan UU No. 6 tahun 2009, pada pasal 4 ayat 2 tertera bahwa Bank
Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-
Undang. Pemberian independensi tersebut, diimbangi dengan pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas.  

b) Transparansi 
Prinsip yang mendasari transparansi kebijakan moneter adalah agar informasi yang disampaikan
memungkinkan publik untuk memahami dan mampu mengantisipasi keputusan-keputusan bank
sentral untuk mencapai target akhir yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, cakupan informasi
yang disampaikan kepada publik meliputi aspek berikut: 
1. Tujuan 
Bank sentral menyampaikan secara jelas dan konsisten mengenai apa yang akan dicapai
dari kebijakan moneter, baik mengenai tujuan akhir maupun tujuan jangka pendek, serta
rasionalitas dari penetapan tujuan tersebut.
2. Metode 
Bank sentral transparan terkait aktivitas prosedural dalam kebijakan moneter (a.l
menyampaikan operasi moneter yang dilakukan, hasil prakiraan dan model ekonomi yang
dipergunakan termasuk gambaran pokok dan asumsi-asumsi yang digunakan). Hal
tersebut untuk membentuk ekspektasi di pasar keuangan serta menghindari dan
meminimalkan gejolak yang terjadi di pasar. Selain itu, hal tersebut diperlukan untuk
meningkatkan pemahaman publik terhadap kebijakan moneter bank sentral. 
3. Pengambilan keputusan 
Bank sentral mengumumkan kebijakan yang ditempuh dengan pertimbangan yang
mendasarinya, misalnya keputusan mengenai suku bunga kebijakan, segera setelah
keputusan tersebut diambil.
Selain itu, ada beberapa pokok cakupan transparansi mengenai kebijakan moneter yang
baik yang tertuang dalam “Code of Good Practices on Transparency in Monetary and Financial
Policies”. Dokumen tersebut dikembangkan oleh IMF sejak tahun 1999 dan kini telah diikuti
oleh banyak negara anggotanya. Beberapa pokok cakupan transparansi tersebut antara lain: 
 Kejelasan mengenai peran, wewenang, dan tujuan otoritas kebijakan moneter. 
 Keterbukaan mengenai proses perumusan dan pelaporan kebijakan moneter. 
 Ketersediaan informasi kebijakan moneter kepada publik.
 Akuntabilitas dan jaminan integritas dari otoritas moneter.

c) Komunikasi Kebijakan Moneter


Efektivitas kebijakan moneter dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang efektif,
terlebih dalam kondisi meningkatnya ketidakpastian. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter
hanya dapat memengaruhi secara langsung suku bunga jangka pendek, sementara suku bunga
jangka panjang lebih ditentukan oleh ekspektasi kebijakan moneter ke depan yang dapat
diarahkan melalui komunikasi kebijakan.  
Komunikasi turut berperan dalam penguatan transparansi dan akuntabilitas Bank
Indonesia dengan cara memberikan pemahaman kepada publik terkait kebijakan moneter secara
keseluruhan, membantu menggerakkan ekspektasi publik dan pelaku pasar, serta mengurangi
ketidakpastian ke depan. Komunikasi kebijakan moneter Bank Indonesia dilakukan melalui
berbagai media antara lain:
 Siaran Pers dan Konferensi Pers
 Publikasi berupa Laporan Kebijakan Moneter, Indonesia: Perekonomian Terkini dan
Respons Kebijakan, Laporan Perekonomian Indonesia, Laporan Triwulanan DPR RI dll.
 Website Bank Indonesia
 Talkshow di radio dan televisi
 Seminar/Diskusi dengan stakeholders
 Diseminasi di daerah 

d) Akuntabilitas 
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang telah diamandemen dengan UU No. 3
Tahun 2004 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 6/2009)
mengamanatkan akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas, wewenang, dan
anggaran.  
Prinsip akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia diterapkan
dengan cara menyampaikan informasi langsung kepada masyarakat luas melalui media massa
pada setiap awal tahun, mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan moneter pada tahun
sebelumnya, serta rencana kebijakan moneter dan penetapan sasaran-sasaran moneter untuk
tahun yang akan datang. Informasi tersebut juga disampaikan secara tertulis kepada Presiden dan
DPR. 
Akuntabilitas juga terkait erat dengan independensi. Semakin besarnya independensi
yang diberikan kepada bank sentral menuntut pula pentingnya akuntabilitas. 

5. Koordinasi dan Pengendalian Inflasi


Inflasi yang rendah dan stabil diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat,
sesuai dengan tujuan kebijakan makro. Namun, sumber tekanan inflasi tidak hanya berasal dari
permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia, tetapi juga berasal dari sisi penawaran,
yakni berkaitan dengan produksi dan distribusi barang. Selain itu, shocks dari inflasi juga dapat
berasal dari kebijakan pemerintah terkait dengan barang-barang yang termasuk ke dalam
kelompok administered price (kelompok barang yang harganya diatur oleh Pemerintah) seperti
harga BBM dan komoditas energi lainnya. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan untuk
dapat mencapai tujuan tersebut.
Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah dalam melakukan pengendalian inflasi,
baik dalam ruang lingkup daerah maupun nasional. Sementara itu, Pemerintah berperan dalam
mengendalikan ekspektasi inflasi dan mengelola penawaran, diantaranya pengelolaan terhadap
pasokan, distribusi, konektivitas, rantai perdagangan, dan subsidi. Sinergi dibentuk untuk
mengendalikan inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran akhir yang telah ditetapkan dengan
cara membentuk Tim Pengendalian Inflasi (TPI). TPI di level pusat terbentuk sejak tahun 2005,
kemudian diperkuat dengan pembentukan TPI di level daerah sejak tahun 2008.
Koordinasi pengendalian inflasi diperkuat dengan landasan hukum berupa Perpres
No.23/2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Nasional (TPIN). Keppres tersebut menaungi
mekanisme koordinasi pengendalian inflasi melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat
(TPIP), Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi, dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah
(TPID) Kabupaten/Kota.

Produk turunan dari dasar hukum ini selanjutnya ditindaklanjuti melalui diterbitkannya
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.10 Tahun 2017 tentang Mekanisme
dan Tata Kerja TPIP, TPID Provinsi, dan TPID Kabupaten/Kota, Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian No.148 tahun 2017 tentang Tugas dan Keanggotaan Kelompok Kerja dan
Sekretariat Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP), dan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.500.05-8135 Tahun 2017 tentang Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Fokus program
pengendalian inflasi adalah 4K, yakni: 
1. Keterjangkauan harga. 
2. Ketersediaan pasokan. 
3. Kelancaran distribusi.
4. Komunikasi efektif. 

6. Kerangka Regulasi Perbankan


Tujuan Regulasi Perbankan ialah melindungi industri perbankan dalam menghadapi
risiko, yang pada akhirnya juga berarti melindungi nasabah dan perekonomian dari kegagalan
proses dan prosedur yang dapat berdampak pada sistem keuangan secara keseluruhan. Beberapa
pertimbangan mengapa diperlukan regulasi bagi perbankan:
 Rasio hutang dengan modal (leverage)
 Modal (capital)
 Insolvency
 Peranan Bank Sentral sebagai lender of the last resort
 Stabilitas keuangan
 Stabilitas moneter
 Liberalisasi keuangan internasional
 Persaingan antar bank dan inovasi produk keuangan

7. Risiko Perbankan
Risiko adalah kemungkinan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat
menimbulkan kerugian apabila tidak dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta
tidak dikelola dengan semestinya.
Kerugian akibat risiko perbankan (risk loss) dapat berdampak bagi pemegang saham,
dampak bagi karyawan, dampak bagi nasabah, dan berdampak juga terhadap perekonomian.
Dalam Manajemen Resiko, berikut ini adalah jenis-jenis risiko perbankan:
 Risiko Kredit
Risiko Kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada Bank. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai
aktivitas bisnis Bank seperti pemberian kredit (pada sebagian bank merupakan
risiko utama/terbesar), surat berharga, akseptasi, transaksi antar bank, transaksi
pembiayaan perdagangan, transaksi nilai tukar dan derivatif serta kewajiban
komitmen dan kontijensi.
Tujuan Manajemen Risiko Kredit adalah untuk memastikan bahwa aktivitas
Penyediaan Dana Bank tidak terekspos pada Risiko Kredit yang dapat
menimbulkan kerugian pada Bank.

 Risiko Pasar
Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk
transaksi derivatif akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar,
termasuk Risiko perubahan harga option. Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko
suku bunga, Risiko nilai tukar, Risiko ekuitas dan Risiko komoditas. Risiko suku
bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko komoditas dapat berasal baik dari posisi
trading book maupun posisi banking book. Sedangkan Risiko ekuitas berasal dari
posisi trading book.
Tujuan utama Manajemen Risiko Pasar adalah untuk meminimalkan
kemungkinan dampak negatif akibat perubahan kondisi pasar terhadap aset dan
permodalan Bank.

 Risiko Likuiditas
Risiko Likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari asset
likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan
kondisi keuangan Bank.
Tujuan utama Manajemen Risiko Likuiditas adalah untuk menjaga kemampuan
Bank memenuhi kewajiban pendanaan dan untuk menjaga kemampuan Bank
untuk terus menerus masuk dalam transaksi pasar (memastikan sumber pendanaan
Bank).

 Risiko Operasional
Risiko Operasional adalah risiko yang disebabkan oleh ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau
adanya faktor eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. Risiko
Operasional dapat menimbulkan kerugian dalam bentuk keuangan secara
langsung maupun tidak langsung, yaitu kerugian potensial atas hilangnya
kesempatan memperoleh keuntungan.
Tujuan utama Manajemen Risiko Operasional adalah untuk meminimalkan
kemungkinan dampak negatif dari tidak berfungsinya proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, dan/atau kejadian-kejadian eksternal.

 Risiko Hukum
Risiko Hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek
yuridis, antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung aktivitas atau produk Bank, atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan
pengikatan agunan yang tidak sempurna.
Tujuan utama Manajemen Risiko Hukum adalah untuk memastikan bahwa proses
Manajemen Risiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari
kelemahan aspek yuridis, ketiadaan dan/atau perubahan peraturan perundang-
undangan, dan proses litigasi.

 Risiko Reputasi
Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku
kepentingan (stakeholders) yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi
negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap
Bank.
Tujuan utama Manajemen Risiko Reputasi adalah untuk mengantisipasi dan
meminimalkan dampak kerugian finansial dan non finansial dari Risiko Reputasi
Bank. Risiko Reputasi sulit untuk dikuantitatif karena satu kesalahan dapat
menghancurkan reputasi Bank yang telah dibangun bertahun-tahun.

 Risiko Strategik
Risiko Strategik adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan
pelaksanaan strategi Bank dan pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau
kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
Tujuan utama Manajemen Risiko Strategik adalah untuk memastikan bahwa
proses Manajemen Risiko dapat meminimalkan kemungkinan dampak negatif dari
ketidaktepatan pengambilan keputusan stratejik dan kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.

 Risiko kepatuhan
Risiko Kepatuhan adalah risiko yang terjadi akibat Bank tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
prakteknya Risiko Kepatuhan melekat pada seluruh jenis risiko yang melekat
pada kegiatan usaha Bank, terutama pada risiko utama Bank yaitu Risiko Kredit,
Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, dan Risiko Operasional.
Tujuan utama Manajemen Risiko Kepatuhan adalah untuk memastikan bahwa
proses Manajemen Risiko dapat meminimalkan kerugian finansial yang
disebabkan antara lain oleh denda/penalti dan kerugian non finansial, antara lain
kerterbatasan dalam pengembangan bisnis Bank, serta Risiko Hukum dan Risiko
Reputasi.

8. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Perbankan


Dewan direksi tiap bank bertugas menetapkan bahwa risiko perbankan diatur
dalam suatu tata cara yang efektif. Dalam pelaksanaan tugas tersebut dibutuhkan;
Pengawasan aktif dari dewan komisaris, dewan direksi dan personil manajemen risiko
terkait yang dipilih oleh bank; Penetapan kebijakan dan prosedur untuk menentukan batas
risiko; Penetapan struktur Informasi manajemen yang serasi dalam mendukung
manajemen risiko; Penetapann struktur pengawasan intern untuk mengatur risiko.

C. KESIMPULAN
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang sangat berguna untuk masa
sekarang dan masa mendatang. Dengan Kebijakan Moneter ini semua menjadi lebih
mudah, stabil dan terarah dan sesuai seperti target yang diinginkan pemerintah. Walaupun
setiap kebijakan memiliki kelemahan tapi Bank Indonesia masih memperbaiki diri,
meneliti lebih dalam agar di tuntaskan gangguan yang sering menganggu di
Perekonomian Indonesia. Pasti banyak sekali gangguan yang terjadi. Tapi bagaimana cara
kita menanggulangi gangguan tersebut.
Mulai dari diri kita sendiri kita pasti tau bahwa harga dollar semakin meningkat
dan rupiah semakin anjlok. Memang ada sendiri penanganan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk hal semacam itu. Tapi ini semua bisa dari diri kita sendiri, kita bisa
intropeksi pada hal itu. Seperti kita lebih mencintai produk dalam negeri agar produk
impor semakin meningkat. Kita harus mendukung buatan tangan Indonesia. Untuk orang
kaya mencoba mengurangi produk luar negeri agar ekspor semakin menurun. Dan juga
pemerintah yang memiliki inisiatif untuk membuat produk daripada membeli produk.
Kreativitas anak Indonesia itu banyak Cuma belum ada fasilitas dari pemerintah yang
mumpuni. Pemerintah lebih banyak menjual barang mentah. Karena itu Indonesia harus
bangkit dari dunia perekonomian ini. Mulai menstabilkan inflasi, mulai menstabilkan
keuangan yang beredar dan mulai menjadikan Indonesia lebih menarik di mata asing agar
banyak pengusaha atau investor luar negeri tertarik untuk berinvestasi di
negeri tercinta ini.

D. SARAN
Hendaknya para pengambil kebijakan moneter (Bank Indonesia) memerhatikan
perkembangan Flexible ITF agar dapat menjaga stabilitas harga dan turut mendukung
stabilitas system keuangan, khususnya dari sisi makro ekonomi maupun sector keuangan
dengan maksud yaitu pengendalian inflasi. Selain itu perlu ditingkatkan khususnya dalam
hal Transparansi dan Komunikasi dalam Kebijakan Moneter, yaitu mampu memahami
dan mampu mengantisipasi keputusan-keputusan bank sentral untuk mencapai target
akhir yang ditetapkan, serta meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dapat
ditingkatkan melalui komunikasi yang efektif.
Pemerintah perlu memperbaiki struktur ekonomi nasional dengan mendorong
industri manufaktur dalam negeri untuk memproduksi barang substitusi impor dan
melakukan revitalisasi sektor industri manufaktur. Industri manufaktur berorientasi
ekspor diperlukan untuk menggeser ekspor yang selama ini hanya mengandalkan
komoditas yang rentan pada fluktuasi harga.
Selain itu perlu adanya perbaikan formulasi kebijakan oleh pemerintah yang dapat
mendukung industri nasional, melalui transmisi Kebijakan Moneter, dan koordinasi dan
Pengendalian Inflasi.
Untuk selanjutnya dapat dilakukan penelitian dengan mempertimbangkan
kebijakan sektor riil, misalnya kebijakan yang dapat mengurangi ketergantungan
Indonesia terhadap impor, khususnya impor manufaktur. Kebijakan sektor riil diharapkan
dapat mendorong output manufaktur yang pada akhirnya akan menciptakan
perekonomian nasional menjadi lebih baik dan tahan dari guncangan krisis.
5

Lembaga Penjamin

Simpanan

PENDAHULUAN

Sejarah LPS

Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia
, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank meengakibatkan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi,
pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas
seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee).

Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
t erhadap kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193
Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan


kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup
penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi
pengelola bank maupun masyarakat.LPS memiliki dua fungsi yaitu:

1. Menjamin simpanan nasabah penyimpanan;

2. Dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan

kewenangannya.

Dalam menjalankan fungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan, IPS bertugas
6

merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan melaksanakan


penjaminan simpanan. Sementara dalam menjalankan fungsi untuk turut aktif dalam memelihara
stabilitas sistem perbankan, LPS bertugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam
rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan merumuskan, menetapkan, dan
melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak
sistemik dan melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.
7

Lembaga Penjamin Simpanan

 Pengertian Simpanan
Simpanan merujuk pada sejumlah uang atau aset yang disimpan oleh individu atau
entitas di bank atau lembaga keuangan lainnya untuk tujuan jangka panjang atau pendek.
Simpanan dapat berupa uang tunai, tabungan, deposito, sertifikat deposito, atau instrumen
keuangan lainnya. Biasanya, simpanan ditempatkan di bank atau lembaga keuangan
untuk keamanan dan likuiditasnya. Simpanan juga dapat dianggap sebagai investasi
karena pada umumnya bank memberikan bunga atau imbal hasil atas simpanan yang
disimpan. Selain itu, simpanan dapat diambil kembali oleh pemiliknya kapan saja sesuai
dengan kebutuhan atau keinginan. Dalam konteks lembaga penjamin simpanan, simpanan
menjadi penting karena LPS memberikan perlindungan terhadap nasabah yang
menyimpan simpanannya di bank atau lembaga keuangan terdaftar di dalamnya dari
risiko kehilangan simpanan akibat kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga
keuangan tersebut.

 Definisi LPS

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah
sebagai bentuk perlindungan terhadap nasabah bank atau lembaga keuangan yang terdaftar di
dalamnya, dari risiko kehilangan simpanan akibat kebangkrutan atau likuidasi bank atau
lembaga keuangan tersebut. LPS bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
LPS juga bertanggung jawab untuk mengelola dana penjaminan yang bersumber dari iuran
yang dibayarkan oleh bank atau lembaga keuangan terdaftar di dalamnya, dan
menggunakannya untuk membayar klaim nasabah yang terdampak oleh kebangkrutan atau
likuidasi bank atau lembaga keuangan tersebut. Selain itu, LPS juga memberikan edukasi dan
7

informasi kepada masyarakat tentang perbankan dan lembaga keuangan terdaftar di


dalamnya, serta hak dan kewajiban nasabah dalam menjalankan transaksi keuangan. Dengan
demikian, LPS memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan sistem
keuangan nasional.

 Fungsi Dari LPS

A. Memberikan perlindungan terhadap nasabah: LPS memberikan perlindungan terhadap nasabah


bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS dari risiko kehilangan simpanan akibat
kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga keuangan tersebut.

B. Menjaga stabilitas sistem keuangan: LPS berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
dengan mengelola risiko keuangan yang baik dan memberikan dukungan kepada bank atau
lembaga keuangan terdaftar di LPS.

C. Meningkatkan kepercayaan masyarakat: LPS berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat


terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan memberikan perlindungan terhadap
nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

D. Mengelola dana penjaminan: LPS mengelola dana penjaminan yang bersumber dari iuran
yang dibayar oleh bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS, dan menggunakannya untuk
membayar klaim nasabah yang terdampak kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga
keuangan.

E. Memberikan edukasi dan informasi: LPS memberikan edukasi dan informasi kepada
masyarakat tentang perbankan dan lembaga keuangan terdaftar di LPS, serta hak dan kewajiban
nasabah dalam menjalankan transaksi keuangan.
8

 Visi,Misi Dan Nilai LPS

•Visi
Menjadi Lembaga Penjamin Simpanan yang unggul dalam memberikan perlindungan
terhadap nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan secara nasional". Visi ini
menggambarkan komitmen LPS untuk menjadi lembaga yang terbaik dalam memberikan
perlindungan terhadap nasabah bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS dan menjaga
stabilitas sistem keuangan secara nasional. Untuk mencapai visi ini, LPS terus melakukan
inovasi dalam produk dan layanan, serta menjaga kualitas dan kepuasan nasabah. LPS juga
berkomitmen untuk bekerja sama dengan berbagai pihak dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan secara nasional, termasuk dengan pemerintah, regulator, dan bank atau lembaga
keuangan lainnya.

Dengan visinya yang jelas, LPS diharapkan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi
nasabah bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS dan menjaga stabilitas sistem keuangan
secara nasional..

•Misi
A. Memberikan perlindungan terhadap nasabah: LPS memberikan perlindungan terhadap
nasabah bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS dari risiko kehilangan simpanan akibat
kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga keuangan tersebut.

B. Menjaga stabilitas sistem keuangan: LPS berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
dengan mengelola risiko keuangan yang baik dan memberikan dukungan kepada bank atau
lembaga keuangan terdaftar di LPS.
9

C. Meningkatkan kualitas layanan: LPS berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan yang
diberikan kepada nasabah, termasuk melalui pengembangan produk dan layanan yang inovatif.

D. Meningkatkan kepercayaan masyarakat: LPS berupaya meningkatkan kepercayaan masyarakat


terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan memberikan perlindungan terhadap
nasabah dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

E. Memberikan informasi yang akurat dan transparan: LPS memberikan informasi yang akurat
dan transparan terkait dengan tugas dan kinerjanya kepada publik, sehingga masyarakat dapat
memahami peran dan fungsi LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

•Nilai
A. Perlindungan kepentingan nasabah: LPS bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah
bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS dari risiko kehilangan simpanan akibat
kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga keuangan tersebut.

B. Stabilitas sistem keuangan: LPS memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan melalui pengelolaan risiko keuangan yang baik dan pengawasan terhadap bank atau
lembaga keuangan terdaftar di LPS.

C. Kepercayaan masyarakat: Dengan adanya LPS, nasabah bank atau lembaga keuangan terdaftar
di LPS merasa aman dan terlindungi, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
10

D. Transparansi dan akuntabilitas: LPS berkomitmen untuk memberikan informasi yang jelas dan
akurat terkait dengan tugas dan kinerjanya kepada publik, sehingga meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas LPS sebagai lembaga penjamin simpanan.

E. Kolaborasi dan kemitraan: LPS bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah,
regulator, dan bank atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka menjaga stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan.

 Tugas dan wewenang LPS


•Tugas LPS
A. Memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah bank atau lembaga keuangan
terdaftar di LPS terhadap risiko kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga keuangan
tersebut.

B. Melakukan pengumpulan dana kontribusi dari bank atau lembaga keuangan terdaftar di
LPS sebagai dana penyelamatan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan.

C. Melakukan pembayaran ganti rugi kepada nasabah bank atau lembaga keuangan
terdaftar di LPS yang terkena dampak kebangkrutan atau likuidasi bank atau lembaga
keuangan tersebut.

D. Melakukan pengawasan terhadap bank atau lembaga keuangan terdaftar di LPS agar
tetap memenuhi persyaratan dan standar yang telah ditetapkan.
11

E. Menjalin kerja sama dengan otoritas lainnya dalam rangka menjaga stabilitas sistem
keuangan secara keseluruhan.

F. Mendorong peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga stabilitas


sistem keuangan melalui pengelolaan risiko keuangan yang baik.

• Wewenang LPS

A. Menjamin simpanan masyarakat: LPS memiliki wewenang untuk menjamin


simpanan masyarakat yang disimpan di bank atau lembaga keuangan yang
terdaftar di Indonesia sampai dengan batas tertentu. Jika bank atau lembaga
keuangan tersebut mengalami kesulitan keuangan atau bangkrut, maka LPS akan
memberikan ganti rugi kepada nasabah atas simpanan yang hilang.

B. Mengawasi bank dan lembaga keuangan: LPS memiliki wewenang untuk


mengawasi bank dan lembaga keuangan yang terdaftar di Indonesia. Hal ini
dilakukan untuk memastikan bahwa bank dan lembaga keuangan tersebut
mematuhi regulasi dan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
bisnisnya.

C. Memantau stabilitas sistem keuangan: LPS memiliki wewenang untuk memantau


stabilitas sistem keuangan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa
sistem keuangan Indonesia berjalan dengan baik dan tidak terjadi
ketidakseimbangan yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik.
12

D. Melakukan penyelamatan bank atau lembaga keuangan yang mengalami kesulitan


likuiditas atau keuangan dengan memberikan dukungan keuangan atau melakukan
restrukturisasi.

E. Memantau dan mengevaluasi kinerja bank atau lembaga keuangan terdaftar di


LPS untuk memastikan bahwa mereka mematuhi standar keuangan yang
ditetapkan.

F. mengembangkan dan mendorong peningkatan kesadaran masyarakat tentang


pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan melalui pengelolaan risiko
keuangan yang baik.

BAB 2

PEMBAHASAN

 Makanisme resolusi bank


• Likuidasi Dari LPS
13

Berdasarkan Pasal 43 Jo Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004


tentang Lembaga Penjamin Simpanan, setelah bank dicabut izin usahanya oleh Lembaga
Pengawas Perbankan (Otoritas Jasa Keuangan), LPS akan mengambilalih seluruh hak dan
wewenang Pemegang Saham bank, melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka
pengamanan aset bank sebelum proses likuidasi dimulai, memutuskan pembubaran badan
hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status bank sebagai bank dalam
likuidasi.

Selanjutnya merujuk Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga


Penjamin Simpanan, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi terhadap simpanan,
membayarkan simpanan yang layak bayar kepada nasabah sesuai kriteria 3T.

Tim Likuidasi akan melakukan penyelesaian terhadap hak dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi,
diantaranya melakukan penjualan aset-aset bank, dan melakukan penyelesaian kewajiban
kreditur lainnya. Penjualan aset-aset bank dilakukan agar dapat memperoleh hasil yang
maksimal dalam rangka pengembalian (recovery) dana penjaminan.

• Penyertaan Modal Sementara


Penyertaan Modal Sementara Dalam melaksanakan penanganan Bank, salah satu opsi
resolusi yang dimiliki LPS dengan tujuan penyelematan Bank adalah melalui Penyertaan Modal
Sementara, baik pada Bank Selain Bank Sistemik maupun Bank Sistemik. Hal ini diatur dalam
Pasal 26 huruf b UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Melalui metode
ini, LPS akan mengambil alih segala hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham,
kepemilikan dan kepengurusan Bank, untuk selanjutnya dilakukan penyetoran modal pada Bank
yang diputuskan diselamatkan.

Melalui metode ini, LPS akan mengambil alih segala hak dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham, kepemilikan dan kepengurusan Bank, untuk selanjutnya dilakukan
penyetoran modal pada Bank yang diputuskan diselamatkan. Pada Bank Sistemik, LPS dapat
mengikutsertakan pemegang saham lama untuk melakukan penyetoran modal kepada Bank
yang
14

diselamatkan (Open Bank Assistance/OBA). Seluruh biaya penyelamatan Bank Gagal yang
dikeluarkan oleh LPS diperhitungkan sebagai penambahan modal disetor LPS pada Bank yang
diselamatkan.

Selanjutnya, LPS akan melakukan divestasi terhadap bank yang diselamatkan dalam jangka
waktu maksimum 6 tahun untuk Bank Sistemik dan 5 tahun untuk Bank Selain Bank Sistemik
dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS.

 Anggota Lembaga Penjamin Simpanan

•Keuntungan menjadi anggota PLS


1. Proteksi atas dana simpanan

Sebagai lembaga penjamin simpanan, LPS memberikan perlindungan atas dana


simpanan nasabah pada bank yang terdaftar pada LPS.

2. Meningkatkan kepercayaan masyarakat

Adanya LPS diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan,


sehingga masyarakat akan lebih percaya untuk menyimpan dananya pada bank.

3. Mengurangi risiko sistemik

Kegagalan bank dapat menimbulkan risiko sistemik yang dapat mempengaruhi stabilitas
sistem keuangan secara keseluruhan.
15

•Kewajiban anggota PLS


1. Melindungi dan menjamin simpanan nasabah: Kewajiban utama LPS adalah melindungi
dan menjamin simpanan nasabah di bank yang menjadi anggotanya.

2. Menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan: LPS juga memiliki kewajiban


untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan.

3. Menetapkan dan mengawasi kebijakan-kebijakan LPS: LPS harus memiliki kebijakan


yang jelas dan mengawasinya secara ketat.

 Institusi Yang Terkait Dengan LPS

 LEMBAGA DALAM NEGERI

*Sekretariat Negara

*Dewan Perwakilan Rakyat

*Badan Pemeriksa Keuangan

*Kementerian Keuangan

*Otoritas Jasa Keuangan

*Bank Indonesia

*Kepolisian

*Kejaksaan
16

*Komisi Pemberantasan Korupsi

*Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

*Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

*Mahkamah Agung

*Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

*MUI

*Kementerian Luar Negeri

*BPN

*Kementerian Hukum dan HAM

*LEMBAGA LUAR NEGERI

*International Association of Deposit Insurers

*Islamic Financial Services Board

*International Monetary Fund

*World Bank

*Financial Stability Board

*Bank for International Settlements

•LEMBAGA LUAR NEGERI


*Islamic Financial Services Board

*International Monetary Fund

*World Bank
17

*Financial Stability Board

*Bank for International Settlements

BAB 3

PENUTUP

12. KATA PENUTUP

Saya harap tugas ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS), perannya dalam sistem perbankan dan ekonomi, sejarahnya, misi
dan nilai-nilainya, serta fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat dan negara. LPS merupakan
lembaga yang sangat penting dalam menjaga stabilitas perbankan dan melindungi kepentingan
nasabah. Dalam dunia yang terus berubah dan berkembang, LPS terus berupaya untuk
meningkatkan kinerjanya dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga penjamin simpanan
yang andal dan efektif. Semoga tugas ini bermanfaat dan memberikan wawasan baru bagi
pembaca. Terima kasih telah membaca tugas kelompok dari kami.

14. KESIMPULAN
18

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah lembaga yang sangat penting dalam sistem
perbankan dan ekonomi. Dengan memberikan jaminan simpanan kepada nasabah bank, LPS
dapat melindungi kepentingan nasabah dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Selain itu, LPS juga memiliki peran penting dalam
menjaga stabilitas perbankan dan ekonomi secara keseluruhan. dalam sejarahnya, LPS pertama
kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1934 sebagai respon atas krisis keuangan yang
terjadi pada masa Depresi Besar. Setelah itu, beberapa negara lainnya juga memperkenalkan
lembaga penjamin simpanan dengan tujuan yang sama. Di Indonesia, LPS didirikan pada tahun
2005 sebagai respon atas krisis keuangan yang terjadi pada akhir tahun 1990-an.

LPS memiliki misi untuk memberikan perlindungan kepada nasabah bank dan
meningkatkan stabilitas sistem keuangan, serta nilai-nilai seperti kepercayaan, integritas,
transparansi, profesionalisme, dan inovasi. Fungsi LPS meliputi memberikan jaminan simpanan,
melakukan penyelesaian terhadap bank yang mengalami masalah, serta melakukan edukasi dan
pencegahan terhadap risiko keuangan. Dalam tugas yang sudah kami kerjakan ini, telah
dijelaskan manfaat dan pentingnya LPS bagi masyarakat dan negara, serta upaya yang dilakukan
oleh LPS untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya sebagai
lembaga penjamin simpanan yang andal dan efektif. Diharapkan tugas ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang LPS dan memberikan manfaat bagi pembaca.

16. SARAN

Keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan juga diharapkan dapatMenjalankan fungsinya


dengan baik dalam menjamin simpanan nasabah bank secara terbatas, sehingga mendukung
upaya menjaga stabilitas sektor perbankan. Pada saat bersamaan, LPS juga diharapkan dapat
menangani permasalahan yang dialami oleh bank peserta program penjaminan. Fungsi ini
idealnya dilengkapi kewenangan untuk menangani penutupan bank bermasalah hingga
pelaksanaan likuidasinya.

Semangat dari kelaziman fungsi ini adalah karena sebagai lembaga yang menjamin simpanan
nasabah, LPS memiliki exposure risiko terbesar apabila bank peserta ditutup. Bagaimana tidak
19
Pengaturan dan Pengawasan Perbankan

1. Teori Perbankan

Bank di Indonesia, berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10


Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa: “Bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sedangkan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.

Dalam menjalankan sebuah sistem yang dinamakan sistem perbankan, maka


harus ada hukum yang mengaturnya yang dinamakan dengan hukum perbankan.
Hukum perbankan adalah serangkaian ketentuan hukum positif yang mengatur
segala sesuatu yang menyang kut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha,
serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan usahanya

2. Teori Independensi

Istilah independen dalam bahasa Inggris ditulis dengan independent yaitu not
governed by another, not requiring or relying on something or somebody else, not easily
influenced, (tidak diatur oleh orang lain, yang tidak membutuhkan atau tergantung
pada sesuatu atau orang lain, tidak mudah dipengaruhi).

Bank Indonesia selaku bank sentral dijamin dalam konstitusi negara


Republik Indonesia yaitu terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa : “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan,
1

kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan


undang-undang.” Secara normatif, OJK juga menyandang status sebagai lembaga
yang independen, tercantum dalam defenisi OJK yang dimuat dalam ketentuan
Pasal 1 angka 1 undang-undang OJK bahwa “Otoritas Jasa Keuangan, yang
selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasa

3. Konsep Pengawasan

Dalam hal pengawasan perbankan, setiap negara berkepentingan dan


menaruh perhatian yang besar terhadap fungsi dan peran pengawasan bank yang
harus dilakukan oleh pemerintah. Tujuan dari pengawasan ini pada dasarnya adalah
untuk mengusahakan terwujudnya usaha bank sehat dan berdasarkan asas kehati-hatian,
dan mampu meredam hingga sekecil-kecilnya beragam risiko dari usaha bank, serta
mewujudkan keamanan dan kestabilan sistem perbankan.

4. Mengatur dan Mengawasi Bank

Pada hakikatnya pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan


untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan
dengan bank, bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat, bahwa bank
dikelola dengan baik dan profesional, serta didalam bank tidak terkandung segi-segi
yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya
di bank. Tugas pengaturan dan pengawasan bank merupakan tugas dari Bank
Indonesia selaku bank sentral yang paling penting dalam menciptakan sistem
perbankan yang sehat yang pada akhirnya akan bermuara pada terciptanya
efektifitas moneter. Dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Bank
Indonesia menetapkan kriteria kesehatan bank yang meliputi aspek kecukupan

1
2

modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan aspek lain
yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap bank oleh Bank Indonesia sebagai
bank sentral dapat bersifat pengawasan langsung atau pengawasan tidak Langsung

Menurut penjelasan pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang


Bank Indonesia, pengawasan langsung adalah pengawasan dalam bentuk
pemeriksaan yang disertai dengan tindakan-tindakan perbaikan. Sedangkan
pengawasan tidak langsung adalah bentuk pengawasan dini melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi laporan bank. Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank
pada dasarnya hal-hal yang dapat dilakukan oleh otoritas pengawasan meliputi
empat kewenangan, yaitu kewenangan memberikan izin (power to license),
kewenangan untuk mengatur (power to regulate), kewenangan untuk mengendalikan
atau mengawasi (power of control), dan kewenangan untuk mengenakan sanksi
(power to impose sanction)

Tugas Bank Indonesia Setelah Terjadinya Pengalihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan
Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

5. Sejarah Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan


Awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan
dari berbagai pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal
yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu perkembangan
industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri
jasa keuangan, dan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang
merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada Tahun 1997-1998 yang berdampak
sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan.
Krisis pada Tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya
bank yang mengalami koleps sehingga kinerja Bank Indonesia dipertanyakan
sebagai lembaga pengawas perbankan. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan
yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka

2
3

sistem keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankan


diharapkan menjadi upaya penyembuhan krisis dan sekaligus menciptakan
pencegahan dalam pemikiran permasalahan-permasalahan di masa depan. Untuk itu,
terbentuklah ide awal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang sebenarnya adalah
hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang
Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang memberikan independesi
kepada bank sentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping
memberikan independensi, juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan
dari Bank Indonesia.

Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut
Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu
penyusunan Rancangan Undang-Undang (kemudian menjadi Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia) bertindak sebagai konsultan, dimana
belia mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. Pada
waktu Rancangan Undang-Undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat
dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Bank Indonesia. Sebagai
kompromi, disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank
Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga
keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi
pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral.

Sekarang ini, segala tugas, fungsi dan wewenang Bank Indonesia dalam hal
pengaturan dan pengawasan perbankan beralih ke OJK termasuk kasus dan
sengketa perbankan yang dalam penanganan Bank Indonesia juga dialihkan ke
OJK. Terlihat dalam ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 55 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 menyebutkan bahwa :

(1)Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang


pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga

3
4

Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan


Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK;

(2)Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewennag


pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke OJK.

6. Dihapuskannya Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank Dari Bank Indonesia

Pada perkembangannya, sesuai dengan amanah yang tertuang dalam Pasal 34


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tugas Bank Indonesia berupa pengawasan
terhadap perbankan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang bersifat independen yang dikenal dengan nama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Independensi OJK tercermin dalam definisinya menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang menyebutkan OJK adalah lembaga yang
independen yang bebas dari campur tangan pihak lain.

Yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,


pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini.Tugas pengaturan dan pengawasan yang diemban oleh OJK tidak hanya meliputi
pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan, namun juga sektor jasa
keuangan lainnya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 undang-undang OJK

Yang menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan


terhadap: a.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b.Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c.Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga


Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

4
5

Dalam hal pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada industri keuangan
baik bank maupun non bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu,
sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Hal ini dapat
menghindari untuk terjadi putusnya informasi antara badan pengawas bank dan non
bank yang telah ada di Indonesia sebelumnya.

7. Wewenang Bank Indonesia Dalam Hal Pengaturan dan Pengawasan Perbankan


Dalam Lingkup Makroprudensial

Dihapuskan serta dialihkannya tugas pengaturan dan pengawasan


perbankan kepada OJK ternyata tidak membuat Bank Indonesia terlepas
sepenuhnya dari kepentingan pengaturan dan pengawasan bank. Dalam
penjelasan Pasal 7 undang-undang OJK menyebutkan bahwa pengaturan dan
pengawasan yang dilakukan oleh OJK mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek
kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan microprudential. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan
macroprudential yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam
Pasal 7 yang memuat tentang wewenang OJK dalam menjalankan tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ini merupakan tugas dan
wewenang Bank Indonesia.

Menurut Bismar Nasution, macroprudential supervision adalah mengarahkan


danmendorong bank serta sekaligus mengawasinyaagar dapat ikut berperan
dalam programpencapaian sasaran ekonomi makro, baik yangterkait dengan
kebijaksanaan umum untukmendorong pertumbuhan ekonomi,
kemantapanneraca pembayaran, perluasan lapangan kerja,kestabilan moneter, maupun
upaya pemerataanpendapatan dan kesempatan berusaha. Sedangkan tujuandari
microprudential supervision adalahmengupayakan agar setiap bank
secaraindividual sehat dan aman, serta keseluruhanindustri perbankan menjadi
sehat dan dapatmemelihara kepercayaan masyarakat. Ini berartisetiap bank dari
sejak awal harus dijauhkan darisegala kemungkinan risiko yang akan timbul.

5
6

Tugas pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan dalam lingkup


makroprudensial, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan langsung kepada bank
tertentu yang tergolong ke dalam Systemically Important Bank dan/atau bank
lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial.
Kemudian Bank Indonesia juga dapat melakukan langkah-langkah penyehatan
terhadap bank yang mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi kesehatan yang
semakin memburu

Hal ini sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41 ayat 2 UU OJK yang


berbunyi: “Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan
likuiditas dan/atau kondisi kesehatan yang semakin memburuk, OJK segera
menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai
dengan kewenangan Bank Indonesia.” Adapun langkah-langkah yang sesuai
dengan kewenangan Bank Indonesia yang dimaksud adalah pemberian fasilitas
pembiayaan jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank Indonesia sebagai
lender of the last resort.Hal ini juga termasuk kedalam tugas Bank Indonesia
dalam lingkup makroprudensial.

8. Koordinasi Antara Bank Indonesia dengan Otoritas Jasa Keuangan


Koordinasi kedua lembaga diwujudkan dalam beberapa hal yaitu dimana OJK
berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam pembuatan peraturan pengawasan di bidang
perbankan, dan kemudian Bank Indonesia bersama OJK akan
berkerjasama dalam tukar-menukar informasi perbankan, serta Bank Indonesia
dalam kondisi khusus dapat melakukan pemeriksaan kepada bank setelah
berkoordinasi dengan OJK. Selain harus menjaga koordinasi dengan Bank Indonesia,
OJK juga harus menjaga koordinasi dengan lembaga lain yaitu Kementerian
Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Maka dari itu dibentuk protokol
koordinasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang dinamakan dengan
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan atau yang disingkat dengan
(FKSSK) yang anggotanya terdiri atas:a.Menteri Keuangan selaku anggota merangkap
koordinator;b.Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;c.Ketua Dewan Komisioner OJK

6
7

selaku anggota; dan d.Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku
anggota.Menurut Pasal 45 ayat (1) undang-undang OJK, Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan dalam keadaan normal wajib melakukan pemantauan
dan evaluasi stabilitas sistem keuangan, melakukan rapat paling sedikit satu kali
dalam tiga bulan, dan membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk
melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara
stabilitas sistem keuangan, dan melakukan pertukaran informasi. Sedangkan dalam
kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) undang-undang OJK, Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK dan/atau
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan
adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing
dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera
dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penangan
krisis.

9. Independensi Otoritas Jasa Keuangan


Untuk mengukur independen suatu lembaga menurut hukum dapat diukur
dalam empat aspek yaitu institusional, fungsional, organisasional, dan finansial.

9.1 Independensi Institusional

Independensi institusional disebut juga sebagai political atau goal


independence, karena dalam independensi ini berarti status OJK sebagai lembaga
yang secara mendasar terpisah dari eksekutif atau pemerintah, bebas dari pengaruh
legislatif atau parlemen, bebas untuk merumuskan tujuan atau sasaran akhir
dari kebijakannya tanpa pengaruh dari lembaga politik dan atau pemerintah.

7
8

Jika dilihat dari segi tujuan, OJK memiliki tujuan dan sasaran akhir yang
jelas, dimana jelas dimuat dalam Pasal 4 undang-undang OJK. Akan tetapi, dalam
hal OJK melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mencapai tujuannya, OJK tidaklah
murni mandiri. OJK harus berkoordinasi dan bekerjasana dengan lembaga lain.
Terkhusus dibidang perbankan OJK bekerjasama dan berkoordinasi dengan Bank
Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan.

9.2 Independensi Fungsional


Independensi fungsional disebut juga instrument independence.Dalam
independensi fungsional ini OJK bebas menentukan cara dan pelaksanaan dari
instrumen kebijakan yang ditetapkannya yang dianggap penting untuk mencapai
tujuannya. Pasal 8 dan Pasal 9 undang-undang OJK menunjukkan bahwa OJK
bebas menentukan tata cara dan pelaksanaan dari instrumen kebijakan yang
ditetapkannya yang dianggap penting untuk mencapai tujuannya.

Independensi Organisasional merupakan hal penting untuk mencegah adanya


intervensi politik serta menjaga integritas para pengelola OJK yaitu berhubungan dengan
personalia. Masalah struktur organisasi Dewan Komisiner OJK merupakan
salah satu permasalahan yang membuat pembahasan undang-undang OJK
mengalami deadlock, karena menurut DPR struktur organisasi Dewan Komisioner
pada undang-undang OJK yang diusulkan oleh pemerintah tidak independen,
sementara pemerintah tetap menginginkan bahwa ada wakil dari pemerintah yang
mempunyai hak suara di dalam Dewan Komisioner.

9.3 Independensi Organisasional

Independensi Organisasional merupakan hal penting untuk mencegah adanya


intervensi politik serta menjaga integritas para pengelola OJK yaitu berhubungan dengan
personalia. Masalah struktur organisasi Dewan Komisiner OJK merupakan
salah satu permasalahan yang membuat pembahasan undang-undang OJK
mengalami deadlock, karena menurut DPR struktur organisasi Dewan Komisioner

8
9

pada undang-undang OJK yang diusulkan oleh pemerintah tidak independen,


sementara pemerintah tetap menginginkan bahwa ada wakil dari pemerintah yang
mempunyai hak suara di dalam Dewan Komisioner.

Namun pada akhirnya ada kesepakatan tentang hal itu yang ditetapkan dalam
Pasal 10 undang-undang OJK, sedang pengangkatan dan pemberhentiannya
ditetapkan dalam Pasal 11 undang-undang OJK yang telah disetujui. Salah satu
yang menjadi keraguan akan independensi OJK ini adalah keberadaan perwakilan dari
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebagaiDewan Komisioner OJK.
Keberadaan perwakilan dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan ini
dikhawatirkan akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam pengambilan setiap
keputusan yang berkaitan dengan perbankan.

9.4 Independensi Finansial


Independensi finansial berkaitan dengan penetapan anggaran OJK. Dalam
hal ini OJK harus memiliki anggaran sendiri yang tidak tunduk pada
persetujuan pemerintah, OJK memiliki kebebasan dalam pengelolaan dan
penggunaan keuntungan yang diperolehnya.
Pasal 34 ayat (2) undang-undang OJK dinyatakan bahwa anggaran
OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau
pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Untuk
penetapan anggaran OJK terlebih dahulu meminta persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Anggaran OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional,
administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya

Sungguh suatu hal yang menarik sebuah lembaga yang dikatakan


independen menarik pungutan dari lembaga yang diawasinya. Tidak akan terlalu
menjadi masalah jika sumber pendapatan OJK berasal dari APBN saja, hal ini
mengingat bahwa OJK merupakan produk pemerintah, tidak akan ada salahnya
jika pemerintah yang membiayai seluruh anggaran yang ditetapkan oleh OJK
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akan tetapi sumber pendanaan OJK pada

9
10

umumnya bersumber dari pungutan terhadap lembaga jasa keuangan, sementara


sumber pendanaan yang berasal dari APBN hanya sebagai pelengkap apabila
pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum
dapat mendanai seluruh kegiatan operasional OJK. Terkait dengan pungutan OJK ini,
sudah ada peraturan yang mengaturnya yaitu diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh
Otoritas Jasa Keuangan. Pungutan yang berlaku pada OJK meliputi :

a)Biaya Perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas


rencana aksi korporasi; dan

b)Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan


penelitian

10. Dampak Pengalihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Dari Bank
Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan

Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan


global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari
efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya. Namun demikian, perlu
diketahui dan dipahami bersama bahwa sesungguhnya pembentukan lembaga
pengawas sektor jasa keuangan sejenis OJK ini sudah lama dipraktekkan di
beberapa negara, dari berbagai studi dan riset sebagaimana dijelaskan di atas
menunjukkan bahwa pembentukan OJK tidak membawa dampak signifikan
terhadap kehidupan perbankan dan keuangan. Permasalahan yang sebenarnya
terletak pada koordinasi antara lembaga terkait yang mengurusi sektor jasa
keuangan.
Kemudian, juga terdapat dua dampak utama yang mungkin timbul jika nantinya
Otoritas Jasa Keuangan benar benar terbentukk, yaitu:

1. Dampak pertama yang akan terasa adalah kesulitan atau hambatan dalam
melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 3

10
11

Tahun 2004 dijelaskan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam pencapaian tujuannya, Bank
Indonesia diberikan tugas, antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan
mengawasi bank, dalam pelaksanaannya ketiga tugas tersebut saling berkaitan
dan memberi dukungan satu dengan yang lain. Sistem perbankan yang sehat
akan mendukung pengendalian moneter. Apabila tugas pengaturan dan
pengawasan bank dipisahkan dari Bank Indonesia, akan dapat
menimbulkan kesulitan dan hambatan dalam melakukan koordinasi dengan Bank
Indonesia dalam melaksanakan tugas lainnya. Pada akhirnya akan
berpengaruh pada keberhasilan tujuan Bank Indonesia

2. Dampak kedua, adalah kesulitan dalam penerapan fungsi bank sentral sebagai
lender of the last resort. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, bank sentral
memerlukan informasi yang akurat dan terkini mengenai keadaan perbankan.
Dengan pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral, berdampak tidak
adanya akses langsung terhadap bank. Bank sentral tidak dapat segera
mendapat informasi yang akurat dan terkini sehingga akan mengalami
kesulitan dalam melakukan penilaian apakah yang dihadapi bank masalah
likuiditas atau masalah insolvensi.

11. Kesimpulan

Tugas Pengaturan dan Pengawasan Perbankan dilakukan antara Bank Indonesia


bersama-sama dengan Otoritas Jasa Keuangan. Bank Indonesia saat ini menerapkan
pengawasan bank secara konsolidasi, untuk itu integrasi pengawasan jasa keuangan akan
memperkuat kebijakan moneter dan memperkokoh kestabilan sistem keuangan di
Indonesia. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan akan berdampak pada perubahan dalam
melaksanakan tugas dan kewewenangannya dalam sektor perbankan yang harus
dilakukan dengan secara optimal. Walaupun tugas pengaturan dan pengawasan
perbankan telah beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, namun Bank

11
12

Indonesia tetap memiliki kewenangan dan akses terhadap data dan informasi dari
perbankan

12. Saran

Dengan terbentuknya sistem pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Otoritas


Jasa Keuangan, maka harus ada pedoman atas prinsip kehati-hatian secara jelas terhadap
Otoritas Jasa Keuangan agar tidak terjadi resiko terhadap kestabilan sistem perbankan
mengingat prinsip kehati-hatian harus dimaknai sebagai sarana untuk mencegah
terjadinya dampak sistemik, dan moral hazard, karena Otoritas Jasa Keuangan sebagai
lembaga baru yang belum mempunyai pengalaman seperti Bank Indonesia. Keberadaan
Otoritas Jasa Keuangan membutuhkan banyak biaya, untuk peningkatan sumber daya
manusia, mengingat lembaga di luar Bank Indonesia dananya berasal dari anggaran
negara, akibat keterbatasnya biaya yang dapat mengganggu sistem pengawasan
perbankan sedangkan Bank Indonesia yang anggarannya berasal dari dana sendiri.
pengawasan perbankan tidak akan terhalang oleh keterbatasan anggaran.

12
13

13
1

BANK PERKREDITAN RAKYAT

1. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Seperti yang diketahui bahwa industri perbankan Indonesia itu hanya mengenal
dua jenis bank. Yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lantas
apa yang membedakan keduanya?

Mengacu pada undang-undang tentang perbankan Nomor 10 Tahun 1998 (pasal


1), jelas dikatakan bahwa Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Lembaga keuangan bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip  syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. BPR hanya
melakukan kegiatan berupa simpanan dalam bentuk deposito berjangka, tabungan,
dan bentuk lainnya yang dipersamakan dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.
Dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang
membutuhkan. Status BPR diberikan kepada Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Bank Pegawai, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa
(BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK),
Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD).

2. Fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

1
2

Sebagai bank, BPR tetap memiliki fungsi utama untuk menjalankan fungsi
intermediasi atau perantara keuangan. Yaitu mengumpulakan dana masyarakat
dan menyalurkan Kembali ke masyarakat. Baik dalam bentuk kredit ataupun
dalam bentuk lainnya dengan tujuan mendorong kegiatan usaha masyarakat.
Terutama pada masyarakat kecil dan menengah.

Praktiknya, kegiatan BPR memang tak seluas kegiatan bank umum. Karena BPR
memang ditujukan sebagai institusi keuangan mikro. Oleh karena itu, BPR juga
identik sebagai Bank yang melayani pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang
lokasinya tak jauh dari jangkauan BPR.

Adapun fungsi BPR adalah sebagai berikut:

1. Memberi pelayanan perbankan kepada masyarakat yang sulit atau tidak


memiliki akses ke bank umum
2. Membantu pemerintah mendidik masyarakat dalam memahami pola
nasional agar ekselarasi pembangunan di ersam pedesaan dapat lebih
dipercepat.
3. Menciptakan pemerataan kesempatan berusaha terutama bagi masyarakat
pedesaaan.

Mendidik dan mempercepat pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan


ersama keuangan formal sehingga terhindar dari jeratan rentenir.

3. Tujuan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

2
3

Pendirian BPR memiliki tujuan, yaitu :

1. Diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jasa pelayanan perbankan bagi


masyarakat pedesaan
2. Menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan sehingga
para petani, nelayan dan para pedagang kecil di desa dapat terhindar dari
lintah darat, pengijon dan ersama uang
3. Melayani kebutuhan modal dengan prosedur pemberian kredit yang mudah
dan sesederhana mungkin sebab yang dilayani adalah orang-orang ersama
rendah pendidikannya
4. Ikut serta memobilisasi modal untuk keperluan pembangunan dan turut
membantu rakyat dalam berhemat dan menabung dengan menyediakan
tempat yang dekat, aman, dan mudah untuk menyimpan uang bagi
nasabah.

4. Usaha yang Dilakuan dan Tidak Boleh Dilakukan


Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Usaha BPR meliputi usaha untuk menghimpun dan menyalurkan dana dengan
tujuan mendapatkan keuntungan. Keuntungan BPR diperoleh dari spread
effect dan pendapatan bunga.

4.1. Usaha-usaha yang dilakukan BPR:

3
4

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa


deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia(SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

4.2. Usaha-usaha yang tidak boleh dilakukan BPR:

1. Menerima simpanan berupa giro.


2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
3. Melakukan penyertaan modal dengan prinsip prudent banking dan concern
terhadap layanan kebutuhan masyarakat menengah kebawah.
4. Melakukan usaha perasuransian
5. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana yang dimaksud
dalam usaha BPR.

4
5

5. Produk BPR

Dari sisi produk, yang ditawarkan BPR memang lebih terbatas daripada bank
umum. Adapun layanan produk yang diberikan oleh BPR kepada nasabahnya
terdiri dari:

5.1. Tabungan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

 Dalam membuka maupun menutup rekening, nasabah sama sekali


tidak di kenakan biaya administrasi.

 Biaya setoran awal yang ringan yaitu kisaran Rp.10.000-100.000.

 Mematok bunga tabungan di kisaran 2%-6% per bulan.

5.2. Deposito Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Untuk produk deposito yang ditawarkan oleh BPR ersama sama dengan
yang ditawarkan bank umum. Misalnya bunga deposito BPR yang
ditawarkan rata-rata berada di angka 6% per tahun. Namun hal menarik
yang ditawarkan beberapa BPR terkait produk depositonya, yaitu adanya
ketentuan bahwa nasabah dapat menarik dananya kapan saja tanpa ada
ersama.

5.3. Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Untuk produk kredit, boleh dibilang apa yang ditawarkan BPR cukup
beragam. Semua tergantung dari inovasi BPR masing-masing. Secara

5
6

umum fasilitas kredit yang ditawarkan BPR adalah kredit usaha, kredit
pemilikan rumah, kredit usaha kecil, kredit kepemilikan tanah, dan kredit
multiguna. Adapun syarat dari kredit BPR tidak jauh berbeda dengan
persyarakat yang diberlakukan oleh bank umum.

6. Sasaran BPR

Melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pega-


wai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum
dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesem-
patan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan
para ersama uang (rentenir dan sebagainya).

7. Kepemilikan BPR

1. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia,
badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,
pemerintah daerah, atau dapat dimiliki ersama di antara warga negara
Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara
Indonesia, dan pemerintah daerah.
2. BPR yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan
ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
3. BPR yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat
diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
4. Perubahan kepemilikan BPR wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.

6
7

8. Alokasi Kredit BPR

Dalam mengalokasikan kredit, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
BPR, yaitu:

1. BPR wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan


debituruntuk melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.
2. BPR wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas
maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang
serupa, yang dapat dilakukan oleh BPR kepada peminjam. Batas
maksimum tersebut adalah tidak melebihi 30% dari modal yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

9. Jenis-jenis BPR

Berdasarkan data dari perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia, saat ini
BPR di Indonesia berjumlah 1.558 yang kepemilikannya 100%. Dari jumlah
tersebut BPR dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yaitu:

9.1. BPR Berdasarkan kepemilikannya

Digolongkan menjadi 2, yaitu:

a. BPR yang dimiliki oleh pemerintah (umumnya pemerintah daerah


tingkat II)
b. BPR yang dimiliki oleh swasta

7
8

9.2. BPR Berdasarkan pengelolaannya

Digolongkan menjadi 2, yaitu:

a. BPR Konvensional

b. BPR Syariah

9.3. BPR Berdasarkan jenisnya

Digolongkan menjadi 3, yaitu

a. BPR Badan Kredit Desa

Yaitu Lembaga keuangan yang beroperasi di wilayah pedesaan.


Contoh: Lumbung desa & Bank Desa

b. BPR Bukan Badan Kredit Desa

Contoh: BKPD (Bank Karya Produksi Desa)

c. Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP)


LDKP dapat berwujud perusahaan daerah (PD), Koperasi,
Perseroan Terbatas (PT), dan bentuk lainnya yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.

10. Manajemen BPR

8
9

Manajemen BPR terdiri dari dua yaitu:

10.1. Manajemen Umum


Diarahkan untuk melihat kualitas manajemen organisasi suatu bank yang
meliputi:

a. Strategi/sasaran
Kebijaksanaan umum yang tercermin dalam rencana kerja satu tahun dan
strategi pencapaiannya. Rencana tersebut harus mencerminkan kondisi
ekonomi suatu daerah di mana bank berlokasi, sasaran dan strategi untuk
merealisasikan kelancaran pelaksanaan tugas.

b. Sruktuk
Pembagian fungsi dan tugas yang mencerminkan seluruh kegiatan BPR.
Termasuk dalam unsur ini adalah batas tugas dan wewenang yang
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas.

c. System
Keseluruhan sistem operasional yang digunakan dalam pelaksanaan tugas
masing-masing satuan kerja operasional seperti sistem akuntansi, sistem
penghimpunan dan penanaman dana, serta sistem pengamanan terhadap
dokumen-dokumen penting maupun sistem pengawasan yang berkaitan.

d. Kepemimpinan
Gaya dan semangat kepemimpinan yang dominan dalam pengelolaan
BPR. Termasuk didalamnya adalah kemampuan manajerial direksi dalam
mengelola sumber daya (human, capital, technology) yang dimiliki oleh
BPR.

9
10

10.2. Manajemen Resiko

Diarahkan untuk meminimumkan resiko yang dihadapi oleh BPR dengan


memperhatikan prinsip kehati-hatian yang meliputi:

a. Resiko Likuiditas
Meliputi penilaian terhadap kemampuan manajemen dalam
mengendalikan resiko yang dihadapi BPR dalam menyediakan alat-alat
likuid untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya serta kemampuan
memenuhi permintaan kredit yang diajukan tanpa terjadi penangguhan.

b. Resiko Kredit

Meliputi penilaian terhadap kemampuan manajemen dalam


mengendalikan resiko keuangan yang mungkin timbul karena debitur
cidera janji atau gagal memenuhi kewajibannya kepada BPR.

c. Resiko Operasional

Meliputi penilaian terhadap kemampuan manajemen dalam


mengendalikan resiko yang timbul akibat BPR tidak konsisten mengikuti
aturan-aturan yang berlaku.

d. Resiko Hukum

Meliputi penilaian terhadap kemampuan manajemen dalam


mengendalikan resiko yang timbul akibat BPR kurang memperhatikan
persyaratan-persyaratan hukum yang memadai dalam penyelenggaraan
kegiatan BPR.

e. Resiko Pemilik dan Pengurus

10
11

Meliputi penilaian terhadap kemampuan manajemen dalam


mengendalikan resiko yang timbul bagi BPR karena sikap, karakter atau
pandangan pemilik pengurus yang selalu berupaya mencari peluang untuk
memanfaatkan BPR untuk kepentingan pribadi.

11. Cara Pinjam Uang di Bank Perkreditan Rakyat


(BPR)

Dengan meningkatnya kebutuhan akan pinjaman di dalam lingkungan


bermasyarakat, semakin banyak pula Lembaga keuangan yang menawarkan
produk kredit atau pinjaman tersebut. Salah satunya adalah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR).

Untuk dapat mengajukan pinjaman kepada BPR, terlebih dahulu calon Debitur
harus mengetahui beberapa syarat dan ketentuannya. Seperti memiliki status
profesi seperti karyawan, wirausahawan, dll. Namun hal tersebut tidak menjadi
patokan khusus dalam meminjam uang kepada BPR.

11.1. Syarat umum yang diterapkan oleh BPR bagi calon


debitur perorangan:

1. Foto copy KTP


2. Foto copy akta nikah bagi yang sudah menikah
3. Foto copy Kartu Keluarga
4. Foto copy buku tabungan yang harus diterbitkan dari pihak bank tempat
calon debitur menabung selama 3 bulan terakhir
5. Foto copy slip gaji
6. Foto copy rekening listrik dan air
7. Surat berharga dari barang yang menjadi jaminan

11
12

11.2. Syarat umum yang ditetapkan oleh BPR bagi


calon debitur Perusahaan atau Badan Usaha:

1. Foto copy KTP pengurus perusahaan


2. Foto copy surat izin usaha perdagangan
3. Foto copy NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
4. Foto copy tanda perusahaan telah terdaftar
5. Foto copy Akta Pendirian dan Anggaran Dasar Perusahaan serta
perubahan dari notaris
6. Foto copy buku tabungan atau rekening koran perusahaan selama 3 bulan
terakhir
7. Data keuangan perusahaan seperti data laporan tentang laba rugi, catatan
pembukuan data penjualan dan lain sebagainya.

12. Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat disimpukan bahwa BPR (Bank Perkreditan Rakyat)
sebuah Lembaga pembiayaan yang bergerak dalam bidang keuangan yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama untuk kalangan menengah
kebawah seperti petani, nelayan, buruh dan masih banyak lagi yang sangat
bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terlebih. Bukan hanya
itu saja, Bank Perkreditan Rakyat juga sangat membantu dalam mengembangkan
usaha mikro yang menjadi mata pencaharian bagi kalangan menengah kebawah.
Dengan berbagai kemudahan yang di tawarkan akan sangat menolong calon-calon
debitur yang membutuhkan modal dalam mengembangkan usaha mereka. Bank
Perkreditan Rakyat juga sangat membantu bagi nasabah yang terlibat dengan
rentenir sebab bunga yang di tawarkan juga terbilang cukup rendah.

12
13

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bukanlah sebuah Lembaga Keuangan yang


mengutamakan keuntungan ataupun profit. Hal yang menjadi prioritas dari BPR
adalah unsur saling percaya, dimana unsur kepercayaan juga diterapkan pada saat
BPR memberikan pinjaman kepada nasabah. Sebagai contoh, BPR akan lebih
mudah memberikan pinjaman pada nasabah yang sudah pernah meminjam
sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya unsur percaya bahwa nasabah yang
memiliki reputasi baik akan tetap mempertahankan kelancaran kreditnya.

Dengan visi nya yaitu untuk membantu pengembangan usaha mikro dan kecil
(UMKM) dari unsur modal, BPR selalu berusaha untuk menjangkau UMKM yang
berada di pedesaan atau wilayah terpencil. Salah satu jenis pemasaran yang kerap
dilakukan oleh BPR adalah system jemput bola. Yaitu dengan menjangkau para
calon debitur yang merupakan pelaku usaha mikro dan kecil menengah (UMKM)
tersebut.

Cara ini dinilai sangat tepat karena bisa memudahkan calon debitur untuk
melakukan transaksi, meminimalkan jarak, serta meminimalkan transportasi calon
debitur tersebut. Oleh karena itu, tidaklah salah bahwa BPR selalu mengutamakan
perekonomian rakyat kecil dan menjadi penyelamat perekonomian Indonesi.

13. Saran

Perlu adanya pemerataan pembangunan atau dikaitkan dengan akomodasi publik,


yang dalam hal ini merupakan forum keuangan. pemerintah harus
memberdayakan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun Bank Umum
di Indonesia, agar hal ini dapat terwujud

Harus melakukan segala upaya dalam penggunaan sumber daya, baik itu sumber
daya manusia, alam dan keuangan, daerah industri rumah tangga, usaha kecil
menengah dan wilayah kota berkembang, maka Bank harus banyak memberikan
perhatian terhadap sektor industri rumah tangga dan usaha kecil menengah. Disini

13
14

Bank dapat mengoptimalkan pemberian kredit kepada palaku usaha yang bergerak
dibidang tersebut. Pemberian kredit dapat dilakukan dengan memberikan kredit
jangka pendek yang dapat dilakukan oleh tenaga marketing kredit untuk mencari
konsumen potensial dengan menawarkan keuntungan seperti:

a. Memberikan pemahaman kepada nasabah akan keuntungan dalam


penambahan modal usaha jangka pendek.
b. Memberikan pengetahuan kepada nasabah bagaimana membuat studi
kalayakan usaha, agar bank dapat mempertimbangkan usaha tersebut layak
atau tidak diberikan kredit.
c. Memberikan pelayan kredit secara optimal, agar calon kreditur menjadi
puas.
d. Memberikan prosedur pengurusan kredit yang gampang terhadap kredit
yang tidak memerlukan pertimbangan yang berat seperti kredit yang
konsumtifoleh pegawai negeri maupun sektor swasta.
Agar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) lebih mengoptimalkan kegiatan
penghimpunan dana masyrakat, supaya lebih mampu memberikan atau
berpartisipasi dalam pembangunan ekonom

14
15

15

Anda mungkin juga menyukai