BIONOMIKA TERNAK
“Analisis Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) Berdasarkan Karateristik
Inseminator Pada Ternak Sapi Di Kabupaten Kerinci”
Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Noferdiman, MP
Disusun Oleh
LUSI AMIDIA P2E119004
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
mengawinkan ternak betina yang dipeliharanya dan masih memilih kawin secara
alam. Keberhasilan dalam inseminasi buatan (IB) merupakan suatu tolak ukur dari
penerimaan teknologi inseminasi buatan (IB) yang beperngaruh pada masyarakat
agar bisa menumbuhkan minat masyarakat beternak dan memperbaiki genetik
ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat (Susilawati, 2002) penerimaan inovasi
mempunyai dampak bagi peternak dan memperoleh kualitas indukan ternak sapi
dari keturunan yang baik. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan inseminasi (IB)
setiap tahun sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi ternak sapi.
4
1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat keberhasilan
Inseminasi Buatan (IB) Ternak Sapi di Kabupaten Kerinci
2. Untuk mengetahui pengaruh karakteristik internal
inseminator (umur inseminator, tingkat pendidikan formal maupun
informal inseminator (pelatihan inseminator), status kepegawaian
inseminator, masa kerja, tanggung jawab, kesiapan memberikan pelayanan
inseminasi buatan (IB), ketelitian, hubungan emosional inseminator
dengan peternak, kemampuan teknis dalam manajemen straw dan keahlian
mendeteksi birahi terhadap keberhasilan inseminasi buatan (IB) di
Kabupaten Kerinci.
3. Untuk mempelajari pengaruh karakteristik eksternal
inseminator (jarak rumah inseminator ke pos IB dan wilayah kerja,
jaringan inseminator, fasilitas pendukung, sanitasi alat dan kelengkapan,
kondisi pos IB dan isentip inseminator) terhadap keberhasilan inseminasi
buatan (IB) di Kabupaten Kerinci.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara terus
menerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak
digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani
peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan ekstensif, ternak
dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di
hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan, dan Sulawesi. Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, sebagian besar
merupakan usaha rakyat dengan ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan
ternak sedikit menggunakan teknologi sederhana, bersifat padat karya, dan
berbasis azas organisasi kekeluargaan (Azis dalam Yusdja dan Ilham 2004).
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola pertama
adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan ladang. Pola kedua adalah
pengembangan sapi tidak terkait dengan pengembangan usaha pertanian. Pola
ketiga adalah pengembangan usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat
modal dan berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran
sapi bakalan menjadi sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004).
2.2. Karakteristik
6
peternak sebagai teknologi reproduksi ternak yang efektif. Parameter IB yang
dapat dijadikan tolak ukur guna mengevaluasi efisiensi reproduksi sapi betina
adalah Service per Conception (S/C), Conception Rate (CR), dan Calving Interval
(CI) dengan menggunakan data sekunder dari recording reproduksi (Feradis,
2010).
Inseminasi buatan dapat dilakukan di suatu kandang jepit yang dapat
menampung 6 sampai 8 sapi dengan pintu-pintu samping untuk memberi
kesempatan kepada teknisi untuk mendekati dan menangani sapi-sapi betina. Sapi
yang berahi digiring perlahan-lahan ke kandang jepit kemudian ditambatkan pada
sebuah patok untuk diinseminasi (Dirjen Peternakan, 2012).
Keuntungan IB adalah peningkatan reproduksi yang dapat dilihat dari
terciptanya selang beranak ideal yaitu 12 sampai 14 bulan , perkawinan pasca
beranak 60-80 hari, CR 60% dari inseminasi pertama dan S/C berkisar 1,6 dan 2,0
(Susilawati, 2002). Hal ini juga sesuai pendapat (Merthajiwa, 2011) teknologi IB
memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh lebih baik, pertumbuhan ternak
lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat lahir lebih tinggi serta
keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan secara ekonomi dapat
memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha peternakan.
Untuk memperoleh informasi secepat mungkin, perlu digunakan
teknikteknik fertilitas, yang dapat memberikan gambaran umum untuk penilaian
pelaksanaan IB, seperti Conception Rate (CR), Calving Interval (CI) dan Service
Per Conception (S/C). Ukuran terbaik dalam penilaian hasil IB adalah prosentase
sapi bunting pada inseminasi pertama, dan disebut Conception Rate (CR) atau
angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnose kebuntingan dalam
waktu 40-60 hari sesudah IB (Tolihere, 2005).
1. Service per Conception (S/C) adalah untuk
membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu-
individu sapi betina subur, juga sering dipakai untuk penilaian atau
perhitungan jumlah pelayanan inseminasi yang dibutuhkan oleh seekor
betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi (Feradis, 2010).
Johnson, Weitze and Maxwell, (2006) menyatakan bahwa Service per
conception merupakan perbandingan berapa kali perlakuan pelaksanaan
7
perkawinan sampai terjadi kebuntingan. Nilai S/C ini sangat dipengaruhi oleh
faktor manusia terutama pada proses perkawinan buatan (inseminasi buatan).
Bahwa tingginya nilai S/C diantaranya adalah petugas inseminator. Jainudeen dan
Hafez (2008) yang menyatakan bahwa nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0.
Beberapa penelitian lain mengenai pencapaian rata-rata angka S/C sapi potong
adalahsebesar 2,74 kali.
2. Conseption Rate C/R
Conseption Rate (CR) merupakan persentase kebuntingan pada IB ke 1.
Jumlah akseptor bunting pada IB ke 1 dibagi jumlahakseptor kali 100%.
Rumus CR menurut Susilawati (2005) adalah sebagai berikut:
Jumlah Bunting IB ke 1
CR ¿ x 100 %
Jumlah Akseptor
8
5. Skill Inseminator
6. Kualitas Semen Beku (Handling dan Thawing) (Ditjen Peternakan, 2010).
Menurut Ditjen Peternakan,(2010) menyatakan bahwa faktor yang paling
penting dalam menunjang keberhasilan IB adalah mendeteksi berahi karena tanda-
tanda berahi sering terjadi pada malam hari. Oleh karena itu petani diharapkan
dapat memonitor kejadian berahi dengan baik dengan mencatat siklus berahi
semua sapi betinanya (dara dan dewasa) dan Petugas IB harus mensosialisasikan
cara-cara mendeteksi tanda-tanda berahi (Ditjen Peternakan, 2010). Berahi atau
estrus adalah keadaan yang menunjukkan bahwa seekor hewan betina
memperlihatkan naluri dan keinginan untuk berkawin (Sukra,2000).
2.5. Inseminator
9
2.6. Deteksi Birahi Pada Sapi
Waktu yang tepat untuk melalukan inseminasi adalah pada saat turunnya
sel telur dan dimasukkannya semen kedalam uterus (Tappa, 2012). Dalam kondisi
normal sekitar 4 persen dari ternak bunting akan minta kawin lagi. Lebih jauh
Tappa (2012) menyampaikan bahwa inseminator dapat mengetahui kondisi
tersebut pada waktu insemination gun dimasukkan kedalam cervix yang terasa
lengket, karena cervix akan tertutup lender tebal seperti karet yang menyerupai
sumbat. Menurut Feradis (2010), beberapa tanda-tanda sapi estrus antara lain:
a. Sapi terlihat resah dan gelisah, beberapa mencari perhatian dengan
menempatkan kepalanya pada punggung sapi dewasa yang terdapat dalam
kelompok ternak
b. Sering berteriak
c. Suka menaiki dan dinaiki sesamanya
d. Vulva: bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat, keluar lendir dari
vulva yang bening dan tidak berwara
e. Nafsu makan menurun
Menurut Sonjaya,(2005). Menyatakan bahwa Berahi dapat dideteksi
dengan melihat tanda-tanda yang muncul seperti sapi betina menjadi tenang,
kurang nafsu makan dan kadang-kadang menguap dan berkelana mencari hewan
jantan, menaiki sapi-sapi betina yang lain dan diam berdiri jika dinaiki. Vulva sapi
tersebut dapat bengkak, memerah dan penuh dengan sekresi mucus transparan
yang menggantung dari vulva atau terlihat disekeliling pangkal ekor.
KERANGKA PEMIKIRAN
10
genetik dari ternak itu sendiri. Prosedur inseminasi buatan diperlukan kualitas
semen beku yang cukup baik untuk digunakan. Penggunaan teknologi Inseminasi
Buatan (IB) juga memiliki banyak keuntungan diantaranya menghemat biaya
pemeliharaan ternak jantan; meningkatkan angka kelahiran secara cepat dan
teratur; mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding); dengan
peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu
yang lama; semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian
walaupun pejantan telah mati; menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada
saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar; menghindari ternak dari
penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
Laju pertumbuhan populasi ternak dan keberhasilan inseminasi buatan(IB)
di Kabupaten Kerinci mempunyai kaitan erat dengan pelaksanaan inseminasi
buatan (IB) yang dilakukan oleh inseminator. Peran dan kecakapan petugas
inseminator dilapangan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pelaksanaan
inseminasi buatan (IB). Hal ini sesuai dengan pendapat (Herawati et.al., 2012) ada
beberapa faktor yang mempengaruhi inseminator dalam keberhasilan inseminasi
buatan (IB) seperti kemampuan teknis dari inseminator yang mempengaruhi
angka kebuntingan pada populasi ternak sapi, pengetahuan inseminator, sanitasi
alat dan kelengkapan, penanganan (handling) dan pencairan kembali (thawing)
semen beku yang benar dan kemampuan dalam melakukan inseminasi buatan (IB)
juga menentukan keberhasilan IB.
DAFTAR PUSTAKA
Aerens, Candra D.C., M. Nur Ihsan dan Nurul Isnaini. 2013. Perbedaan kuantitatif
dan kualitatif semen segar pada berbagai bangsa sapi potong. Malang.
11
Caraviello, D.Z., K.A. Weigel, P.M. Fricke, M.C. Wiltbank, M.J. Florent, N.B.
Cook, K.V. Nordlund, N.R. Zwald and C.L. Rawson. 2006. Survey of
Management Practices on Reproductive Performance of Dairy Cattle on
Large us Commercial Farms. Department of Dairy Science, University of
Wisconsin,
Madison 53706. School of Veterinary Medicine, University of Wisconsin,
Madison 537. Journal of Dairy Science. 89(12) : 4723–4735.
Herawati, T., Anneke Anggraeni, Lisa Praharani, Dwi Utami dan Argi Argiris.
2012. Peran inseminator dalam keberhasilan inseminasi buatan pada sapi
perah. Jurnal informatika pertanian, vol. 21 no.2, Desember:81 – 88.
Jainudeen, M.R. and Hafez, E.S.E. 2008. Cattle And Buffalo dalam Reproduction
In Farm Animals. 7th Edition. Edited by Hafez E. S. E. Lippincott
Williams & Wilkins. Maryland. USA.
Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik pada Sapi. Sekolah
Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Bandung.
12
Simamora B. 2002. Panduan Riset Prilaku Konsumen. Jakarta (ID): Gramedia
Pustaka Utama.
Sukra, Y. 2000. Wawasan Ilmu Pengetahuan Embrio: Benih Masa Depan Dirjen
DiktiDepdiknas, Jakarta.
Tappa, B., R. Harahap, S. Said, R. Ridwan, H.Yanwa dan E.Sophion. 2012. Upaya
Perbaikan Mutu Genetik Sapi Potong Dan Usaha Tani Hijauan Makanan
13
Ternak Di Kabupaten Belu, NTT. Pengembangan wilayah perbatasan
NTT melalui penerapan teknologi. http : //www. elib. pdii.
lipi.go.id.katalog/index.php/ search katalog/ .../9477. [Diunduh tanggal 3
November 2019].
14