Anda di halaman 1dari 2

Pengalaman dan Pengamalan Ilmu di Lombok

Gempa yang terjadi di Lombok pada bulan Agustus lalu membuat Rumah Sakit Terapung
Ksatria Airlangga turut andil. Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga atau yang biasa disingkat
RST Unair merupakan rumah sakit yang digagas oleh Ikatan Alumni Universitas Airlangga (IKA
UNAIR). Tujuan RST berlayar ke Lombok untuk membantu operasi darurat seperti fraktur (patah
tulang), luka terbuka, dan lain sebagainya. Akibat pasca gempa di Lombok, banyak fasilitas
rumah sakit yang hancur sehingga memerlukan bantuan tanggap darurat pengganti IGD
sesegera mungkin.

Berbicara mengenai bencana alam tentu tidak akan lepas dari peran tenaga medis,
pengabdian masyarakat, dan rasa empati kepada korban. Idealisnya tujuan dasar menjadi
tenaga medis yakni untuk membantu sesama manusia. Terutama kita sebagai mahasiswa tentu
mengenal tri dharma perguruan tinggi yang ketiga, yakni pengabdian masyarakat. Namun
realitanya, tidak banyak orang yang dapat melakukan tindakan heroik seperti berangkat ke
lokasi bencana yang belum stabil kondisinya. Realitanya sulit, namun sulit bukan berarti tidak
mungkin dan hal tersebut dibuktikan oleh dr. Muhammad Ragil Affandi, Pendidikan Dokter
2012 yang menjadi relawan mewakili IKA UNAIR angkatan III untuk berangkat ke Lombok pada
tanggal 21 hingga 28 Agustus 2018.

Setelah melalui Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) pada
bulan Mei lalu, mantan Kepala Departemen Seni dan Olahraga BEM KM FK UNAIR 2014/2015 ini
memberanikan diri untuk menjadi relawan. "Nekatlah istilahnya, karena berangkat ke tempat
yang belum stabil kondisinya, masih terdapat gempa-gempa kecil yang bisa menyebabkan
longsor atau tsunami. Namun, ketika saya memikirkan hal itu berulang kali, kesempatan seperti
ini belum tentu bisa datang dua kali dan kesempatan ini tepat datang setelah saya menjadi
dokter. Jadi, alasan saya nekat sebenarnya ada dua. Selain untuk mendapatkan pengalaman,
saya juga ingin mengamalkan ilmu yang saya dapatkan selama saya sekolah", ujarnya saat
ditanya mengenai alasan menjadi relawan.

Mantan ketua Bakti Sosial Paracetamol (2012) ini juga mengaitkan implementasi ilmu
ketika kuliah dengan hal yang dirasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lombok,
utamanya saat menjalani masa perkuliahan pre-klinik mengenai modul empati.
"Saat awal berada di Lombok, rasanya sudah hilang rasa simpati saya, yang saya pikirkan saat
itu hanyalah bagaimana cara saya bisa menolong teman-teman di Lombok, membuat diri ini
menjadi orang yang berguna untuk orang lain, tidak malah menyusahkan yang lainnya. Apalagi
disana semua serba terbatas, pasca gempa banyak bangunan yang hancur, kondisi alam yang
belum stabil, dan banyak teman-teman di Lombok yang mengalami Post-Traumatic Stress
Disorder (PTSD) ketika gempa-gempa dengan skala kecil terjadi secara berulang. Jadi, hal yang
harus kita kerjakan selain membangun kesehatan raga mereka, tentu juga memperhatikan
emosi yang mereka rasakan".

"Rintangan yang dihadapi saat menjadi relawan yakni hal apapun yang butuh dikerjakan
harus kami sendiri yang mengerjakan, karena kembali lagi semuanya terbatas. Seperti
contohnya : kami sendiri yang menyetir mobil untuk mengantarkan pasien, masak sendiri, dan
semuanya serba sendiri. Selain itu, banyak timbul penyakit baru akibat faktor sanitasi yang
buruk juga kurangnya pasokan makanan dan minuman untuk pasien; seperti : diare, dehidrasi,
scabies, dan sebagainya". Meskipun dihadang oleh berbagai rintangan, namun tetap saja hal ini
tidak menyurutkan semangat serta niat awal untuk mengabdi kepada masyarakat.

Pesan yang terakhir : "Jangan pernah membatasi diri kalian, karena ada hal yang tidak
bisa kalian dapatkan jika kalian hanya berdiam diri di tempat, di luar sana ada banyak sekali
ilmu yang bisa kalian ambil sebagai pengalaman dan bisa kalian wujudkan sebagai
pengamalan".

Reporter : Naomi Puspa Anindita Sidharta

Editor : Salma Maha Rhani

Anda mungkin juga menyukai