Anda di halaman 1dari 10

RESUME JURNAL INTERNASIONAL ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

(IJPHS)

“KUALITAS HIDUP PASCA GEMPA DI KALANGAN SISWA”

OLEH :

Susi Mariyati

(P07120118088)

Tingkat IIB

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM

JURUSAN DIII KEPERAWATAN MATARAM

2020
A. PENDAHULUAN
Salah satu bencana yang terjadi baru-baru ini adalah gempa bumi di
Pulau Lombok dengan tiga skala besar gempa yaitu 6,4 M pada 29 Juli 2018,
7,0 M pada 9 Agustus 2018, dan 6,2 M pada 19 Agustus 2018. Hampir 500
gempa susulan terjadi sampai 10 Agustus 2018. Gempa tersebut memberi
dampak. 1.033 orang terluka dan 270.168 orang terlantar. Gempa bumi juga
mengakibatkan kerusakan pada 67.875 rumah penduduk. Selain dampak fisik,
gempa Lombok juga memberi dampak psikis masyarakat Lombok seperti,
ketakutan adanya gempa susulan, kesulitan melupakan gempa, kecemasan,
kegelisahan memikirkan gempa, ketakutan memasuki rumah, dan mendengar
suara menderu atau ketakutan saat Malam. Gempa Lombok juga
menimbulkan gejala post stress traumatic stress disorder (PTSD) yang dapat
mengarah pada kualitas hidup sebanyak 64,7% dari 88 responden yang diteliti
oleh Fakultas Keperawatan Universitas Diponegoro. Kualitas hidup adalah
salah satu dampak psikis setelah bencana. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa kualitas hidup sebagai dampak dari tunawisma, kecacatan, kehilangan
anggota keluarga dan kondisi sosial ekonomi. Kualitas hidup pascabencana
anak-anak hingga orang dewasa juga dipengaruhi oleh perubahan kegiatan
sehari-hari dan pengalaman yang memengaruhi gejala mental, seperti gejala
PTSD.
Dampak lain dari gempa Lombok adalah banyak bangunan sekolah
termasuk sekolah asrama tempat siswa tinggal dan belajar yang rusak dan
runtuh. Salah satu upaya pemerintah Indonesia adalah membangun sekolah
darurat sebagai tempat untuk belajar dan tinggal sementara untuk siswa. Hasil
beberapa penelitian menyebutkan bahwa pengungsian sebagai dampak
bencana dapat memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Selain itu, kualitas
hidup siswa tinggal di asrama (siswa asrama) juga berbeda dibandingkan
dengan siswa yang tinggal bersama orang tua mereka di rumah (siswa umum)
yang dipindahkan setelah gempa bumi di Lombok Utara, Indonesia.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan menggunakan
desain cross-sectional. Subjek penelitian adalah siswa di sekolah negeri
sebagai siswa negeri yang terdiri dari 40 siswa dan siswa di pondok pesantren
sebagai siswa asrama yang terdiri dari 45 siswa di Kabupaten Lombok Utara.
Total sampel 85 siswa. Kriteria inklusi adalah siswa yang berusia 15-18 tahun,
tinggal di daerah bencana pascagempa, dan belajar di sekolah darurat atau
pondok pesantren darurat. Pengukuran kualitas hidup menggunakan
KIDSCREEN-27, yang memiliki lima dimensi, yaitu kesejahteraan fisik,
kesejahteraan psikologis, hubungan dengan orang tua dan kemandirian,
dukungan sosial dan teman sebaya, dan lingkungan sekolah.
Data ditinjau dari karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa sebagian besar siswa asrama adalah perempuan (66,7%),
sedangkan siswa umum adalah laki-laki (60%). Karakteristik responden
berdasarkan usia bahwa sebagian besar siswa asrama berusia 19 tahun dan
sebagian besar siswa umum berusia 17 tahun. Penelitian ini menunjukkan
perbedaan kualitas hidup siswa negeri di sekolah negeri dengan siswa asrama
di pondok pesantren di Lombok Utara setelah gempa bumi. Siswa di tingkat
menengah atas dikategorikan sebagai komunitas usia remaja yang termasuk ke
dalam kelompok masalah kesehatan mental yang mudah dan rentan setelah
bencana. Bencana alam memiliki dampak psikis negatif sehingga remaja
ditandai dengan peningkatan depresi dan pemikiran tentang bencana yang
telah terjadi akan selalu membahayakan mereka. Bencana alam gempa bumi
meningkatkan angka PTSD pada remaja yang menjadi mediator penurunan
kualitas hidup remaja.
Saat ini, bencana alam adalah penyebab paling umum dari kasus
PTSD, seperti bencana gempa bumi karena dapat terjadi kapan saja dan tanpa
peringatan sehingga orang tidak memiliki kesempatan psikis untuk
menghadapi bencana sehingga menyebabkan kesehatan mental yang buruk
terutama pada usia remaja. Prevalensi PTSD dilaporkan pada beberapa korban
gempa bumi setelah korban bencana Bumi Kashmir pada tahun 2005 adalah
33,4% hingga 56,7%. Adapun pasca-gempa, dilaporkan bahwa kejadian
PTSD adalah 10% hingga 47,3%. Hingga 10 tahun setelah gempa Wenchuan
masih ditemukan angka PTSD pada remaja berusia delapan tahun yang
tinggal di daerah yang terkena gempa sebanyak 1,9% hingga 2,7%. Dampak
gempa bumi jangka panjang dapat meningkatkan angka PTSD pada remaja
dan menimbulkan trauma yang mendalam pada kualitas hidup.
Perbedaan dalam kualitas hidup asrama dan siswa publik setelah
bencana gempa juga dapat disebabkan oleh faktor dukungan sebaya, keluarga
dan lingkungan. Adapun sekolah berperan tidak hanya memberi tanggung
jawab untuk pengembangan akademik, tetapi juga pengembangan siswa
sosial. Lingkungan sekolah menjadi lingkungan yang dianggap sebagai
keluarga baru dalam sosial dan menjadi salah satu faktor penentu kualitas
hidup. Kualitas hidup diartikan sebagai keadaan kemakmuran yang umumnya
dan diidentifikasi melalui pengalaman positif dan menghasilkan rasa
kebahagiaan, ketenangan, dan kepuasan. Siswa yang tinggal di asrama di
sekolah yang sama dengan siswa yang tinggal bersama keluarga memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah daripada siswa yang tinggal bersama
keluarga mereka. Ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa semakin
dekat seseorang dengan keluarganya, kualitas hidupnya meningkat. Ini
menunjukkan kualitas hidup siswa asrama lebih tinggi daripada siswa publik
pasca bencana gempa di Lombok Utara.
Perbedaan ini tidak disebabkan oleh bangunan yang rusak dan fasilitas
belajar pasca gempa karena bangunan dan fasilitas di sekolah berasrama dan
sekolah umum memiliki kerusakan yang sama sehingga semua siswa
menjalani proses belajar di tenda darurat, bahkan siswa asrama tinggal
bersama di tenda darurat dan jauh dari keluarga. Berdasarkan hasil statistik,
perbedaan kualitas hidup disebabkan oleh perasaan dukungan terhadap diri
sendiri, faktor pendukung teman dan lingkungan sekolah. Lingkungan di
sekolah berasrama tidak hanya memperhatikan lingkungan secara fisik tetapi
lebih ke arah tujuan-praktik dan nilai-nilai agama. Hasil ini sesuai dengan [13]
yang menyatakan bahwa siswa yang tinggal di asrama memiliki kualitas hidup
yang lebih baik daripada yang tidak di asrama. Situasi ini menunjukkan
bahwa lembaga pendidikan dengan lingkungan asrama yang baik akan dapat
meningkatkan kualitas hidup siswa yang belajar dan hidup. Nilai agama yang
ditanamkan pada siswa di sekolah berasrama memiliki peran yang sangat
penting dan berkontribusi langsung untuk menemukan solusi untuk berbagai
masalah dan memberikan arahan tentang bagaimana seseorang dapat
menanggapi setiap lingkungan dan kondisi yang dihadapi seperti kondisi
bencana alam pasca gempa. Seorang profesor, pakar di bidang agama,
menyatakan bahwa agama memiliki lima yayasan yang memberikan persepsi
untuk memahami setiap kejadian di lingkungan manusia, antara lain
kepercayaan dapat dipengaruhi dari apa yang dibaca melalui buku yang
diyakini dan dapat dipengaruhi. oleh orang lain mereka percaya dan sikap
tanggung jawab untuk selalu peduli melestarikan lingkungan dan alam. Ini
bisa menjadi alasan kualitas hidup siswa asrama lebih tinggi daripada siswa
publik pasca bencana gempa di Lombok Utara.
C. PEMBAHASAN
1. Jurnal ini memiliki cakupan materi yang lengkap dan mendetail mengenai
kualitas hidup pasca gempa di kalangan siswa khususnya. Adapun latar
belakang dari jurnal penelitian yang dibuat secara ringkas, tepat, dan jelas
membuat pembaca akan memiliki gambaran menyeluruh mengenai
kegiatan penelitian tentang dampak apa saja yang ditimbulkan pasca
gempa terjadi di Lombok Utara. Kemudian pengembangan point-point
kecil yang sangat menarik dan cukup penting untuk dikaji atau diteliti dan
bisa membuat pembaca lebih tertarik untuk membacanya.
2. Pelajaran yang dapat diambil dari jurnal ini berupa timbulnya kesadaran
atau rasa kepedulian antar sesama masyarakat terutama masyarakat yang
terdampak bahwa bukan hanya dampak fisik yang diterima korban tetapi
juga dampak terhadap psikisnya. Terlebih di usia remaja yang sudah mulai
atau rentan untuk mengalami tanda atau gejala depresi akibat trauma
bencana gempa yang menimpanya. Melihat fakta yang terjadi maka
perhatian lebih dari keluarga, teman, ataupun lingkungan sekolah sangat
diperlukan. Sekolah dapat memberikan atau menanamkan nilai-nilai moral
keagamaan kepada siswanya agar lebih tenang pasca gempa terjadi
sehingga akan berdampak kepada psikologis siswa itu sendiri. Dapat
mengurangi depresi yang dirasakan oleh anak usia remaja.
Kemudian langkah yang dapat dilakukan atau ditingkatkan untuk
kedepannya dalam upaya penanganan gempa di Lombok antara lain :
merancang rencana gawat darurat bencana misalnya dari akses social
media, media elektronik, atau akun resmi pengamatan potensi bencana
(BNPB), kemudian mempersiapkan tas siaga bencana berisi perbekalan air
minum, makanan instan, pakaian, obat-obatan, peralatan mandi, dsb,
kemudian mengamankan harta, asset, dan barang berharga lainnya untuk
menjamin keamananan, dan memastikan ketersediaan tempat
perlindungan pasca bencana berlangsung.
D. KESIMPULAN
Perbedaan kualitas hidup antara siswa asrama dan siswa publik
dipengaruhi oleh faktor dukungan teman dan lingkungan sekolah. Kualitas
hidup siswa asrama yang lebih tinggi di Pondok Pesantren dapat dipengaruhi
oleh lingkungan sekolah atau gubuk-gubuk yang selalu mempraktikkan nilai-
nilai agama dan kebersamaan sesama siswa. Perubahan kualitas hidup siswa
sebagai remaja setelah bencana gempa bumi juga merupakan tantangan untuk
selalu dapat memberikan pencegahan atau perbaikan diri yang menjadi faktor
penting dalam fase pemulihan dan memiliki dampak signifikan pada
kesehatan mental jangka panjang.
E. DAFTAR PUSTAKA
[1] AHA Centre, “Pembaruan Situasi No. 4 M 6.4 Gempa Lombok (29 Jul
2018) & M 7.0 Gempa Lombok (5 Agustus 2018), Indonesia, ” One
Asean Center One Response, 2018.
[2] M. Dwidiyanti, I. Hadi, RI Wiguna, dan HEW Ningsih, “Deskripsi Risiko
Gangguan Mental pada Korban Bencana Alam di Lombok, Nusa
Tenggara Barat ( Dalam Bahasa Indonesia), ” Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan Holistik, vol. 1, tidak. 2, hlm. 82-91, 2018. [3] X. Mao,
OWM Fung, X. Hu, dan AY Loke, "Dampak psikologis bencana pada
petugas penyelamat:
Tinjauan literatur," Jurnal Internasional Pengurangan Risiko Bencana,
vol. 27, hlm. 602-617, 2018. [4] K. Cui dan Z. Han, "Asosiasi antara
pengalaman bencana dan kualitas hidup: peran mediasi persepsi risiko
bencana," Penelitian Kehidupan Berkualitas, vol. 28, tidak. 2, hlm. 509-
513, 2019. [5] F. Pistoia et al.,"Kesusahan pasca-gempa bumi dan
pengembangan keahlian emosional pada orang dewasa muda," Perbatasan

dalam Behavioral Neuroscience, vol. 12, tidak. 91, hlm. 1-8, 2018. [6]
AZ Othman, A. Dahlan, dan S. Murad, “Dampak Bencana Banjir terhadap
Kegiatan Harian dan Kualitas Hidup di antara Korban Bencana Banjir
Perempuan,” Jurnal Prosiding Lingkungan-Perilaku, vol. 2, tidak. 6, hlm.
395-404, 2017. [7] W. Tian et al., "Studi longitudinal tentang kualitas
hidup yang berhubungan dengan kesehatan di antara anak-anak dan remaja
yang selamat dari gempa bumi Sichuan 2008," Penelitian Kualitas Hidup,
vol. 22, tidak. 4, hlm. 745-752, 2013. [8]

J. Wen, Y. Kang Shi, Y. Ping Li, P. Yuan, dan F. Wang, "Kualitas


hidup, penyakit fisik, dan gangguan psikologis di antara para penyintas 3
tahun setelah gempa bumi Wenchuan: Survei berbasis populasi," PLoS
Satu, vol. 7, tidak. 8, hlm. 1-7, 2012. [9] LUCY Annang et al.,
"Photovoice: Menilai Dampak Jangka Panjang Bencana pada Kualitas
Kehidupan Masyarakat," Penelitian Kesehatan Kualitatif, vol. 26, tidak. 2,
hlm. 241-251, 2016. [10] Instruksi Presiden, “Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang

Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana Gempa Bumi di


Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten
Lombok Timur, Kota Maratam, dan Daerah yang Terkena Dampak di
Provinsi Nusa Bali ( Dalam Bahasa Indonesia), ”2018. [11] S. Rachma
Marcillia dan R. Anisza Ratnasari, “Memahami Sistem Aktivitas Penduduk
yang Meningkatkan Kualitas Hidup: Studi Kasus Pemukiman Pasca
Bencana Kubah di Ngelepen Sleman, Yogyakarta,” Dimensi-Jurnal
Arsitektur dan Lingkungan Buatan, vol. 43, tidak. 2, hlm. 137-142, 2016.
[12] EJ Johnson dan CAS Boodram, "Kesehatan, kesejahteraan dan
kualitas hidup anggota masyarakat yang mengungsi setelah bencana
industri di Trinidad," Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 25, tidak. 1, hlm.
69-74, 2017. [13] HAI. Yaşam dan K. Karşılaştırılması, “Membandingkan
kualitas hidup bagi siswa asrama dan siswa harian di daerah

sekolah asrama di Giresun, ” Jurnal Turk Kesehatan Masyarakat, vol.


12, tidak. 1, hlm. 42-50, 2014. [14] AH Berman, B. Liu, S. Ullman, I.
Jadbäck, dan K. Engström, “Kualitas hidup anak-anak berdasarkan
KIDSCREEN27: Laporan mandiri anak, penilaian orang tua, dan perjanjian
orangtua-anak dalam sampel populasi acak Swedia,” PLoS Satu,
vol. 11, tidak. 3, hlm. 1-15, 2016. [15] Kidscreen Group Europe,
“Kuesioner KIDSCREEN: Kuesioner kualitas hidup untuk anak-anak dan
remaja, " Penerbit Sains Pabst, 2006
[16] DA Hasibuan, R. Rahmatika, dan RA Listiyandini, “Peran
Bersyukur atas Kualitas Hidup yang berkaitan dengan Kesehatan pada
Remaja ( Dalam Bahasa Indonesia), " di Prossiding Seminar Nasional
2018 Fakultas Psikologi UNDIP, hlm. 50-66, 2018. [17] M. Höfler,
“Membangun Ketahanan Psikologis dalam Pengurangan Risiko Bencana:
Kontribusi dari Pendidikan Orang Dewasa,” hlm. 50-66, 2018. [17] M.
Höfler, “Membangun Ketahanan Psikologis dalam Pengurangan Risiko
Bencana: Kontribusi dari Pendidikan Orang Dewasa,”

Jurnal Internasional Ilmu Risiko Bencana, vol. 5, tidak. 1, hlm. 33-40,


2014.
[18] W. Tang, Y. Lu, dan J. Xu, "Gangguan stres pasca-trauma, kecemasan
dan gejala depresi di antara para korban gempa bumi remaja: komorbiditas
dan faktor-faktor yang mengganggu tidur," Psikiatri Sosial dan
Epidemiologi Psikiatri, vol. 53, tidak. 11, hlm. 1241-1251, 2018. [19]
MRG Brown et al., "Setelah kebakaran hebat Fort McMurray ada
peningkatan signifikan dalam gejala kesehatan mental pada siswa kelas 7-
12 dibandingkan dengan kontrol," Psikiatri BMC, vol. 19, tidak. 18, hlm.
1-11, 2019. [20] E. Nygaard, A. Hussain, J. Siqveland, dan T. Heir,
"Efikasi diri secara umum dan stres pasca trauma setelah bencana alam:
Sebuah studi longitudinal," Psikologi BMC, vol. 4, tidak. 15, hlm. 1-11,
2016. [21] Z. Wang dan J. Xu, "Asosiasi antara Ketahanan dan Kualitas
hidup orang tua di Gempa Wenchuan Shidu: Peran Mediasi dari Dukungan
Sosial," Jurnal Kesehatan Mental Masyarakat, vol. 53, tidak. 7, hlm. 859-
863, 2017. [22] SH Lee, EJ Kim, J. Noh, dan J. Chae, “Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Gejala Stres Pascatrauma pada Siswa yang Bertahan
20 Bulan setelah Bencana Feri Sewol di Korea,” Jurnal Korea Med. Ilmu,
vol. 33, tidak. 11, hlm. 1-9, 2018. [23] J. Siqveland, E. Nygaard, A.
Hussain, RG Tedeschi, dan T. Heir, “Pertumbuhan pasca-trauma, depresi,
dan stres pasca-trauma dalam kaitannya dengan kualitas hidup para
penyintas tsunami: Sebuah studi longitudinal,” Hasil Kesehatan dan
Kualitas Hidup, vol. 13, tidak. 18, hlm. 1-8, 2015. [24] T. Hu, S. Xu, dan
W. Liu, "Sebuah survei berbasis sekolah menengah atas tentang dampak
jangka panjang dari gempa Wenchuan pada kualitas hidup para penyintas:
PTSD sebagai mediator," Penelitian Psikiatri, vol. 270, hlm. 310-316,
2018. [25] D. Dirosahislamiyah, “Peran Pondok Pesantren sebagai Agen
Sosialisasi Nilai Ekologis (Studi Kasus di Pondok Pesantren Salaf-
Modern),” Wacana, vol. 20, tidak. 4, 2017. [26] M. Elliott dan MJ Doane,
"Agama pada Remaja," Ensiklopedia Kualitas Kehidupan dan Riset
Kesejahteraan, tidak. 7, hlm. 5469-5469, 2014.

Anda mungkin juga menyukai