Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH BENCANA ALAM, PERANG DAN TERORISME

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ANAK

Masa balita yang disebut dengan golden periode, dan masa batita yang disebut
masa critical periode merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling
pesat pada otak manusia, masa ini otak bersifat plastis dibandingkan dengan orang
dewasa sehingga balita sangat terbuka dan peka dalam menerima berbagai macam
pembelajaran dan pengayaan baik bersifat positif maupun negatif. Tumbuh kembang
balita akan optimal jika lingkungan memberikan dukungan yang positif atau
sebaliknya.

Pertumbuhan dihubungkan dengan penambahan jumlah dan besar sel tubuh


dan dapat dilihat dari berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Pada dasarnya,
setiap anak akan melewati proses tumbuh kembang sesuai dengan tahapan usianya,
akan tetapi banyak faktor yang memengaruhi di antaranya faktor genetik dan
lingkungan sejak prenatal, perinatal, dan postnatal. Faktor lingkungan adalah faktor
yang menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan yang terdiri atas lingkungan
bio-psiko-sosial. Faktor lain yang memengaruhi tumbuh kembang anak yaitu faktor
usia anak, pendidikan ibu, penghasilan keluarga, jumlah anak, beban kerja ibu, pola
asuh psikososial, kepribadian orangtua, adat istiadat, agama, urbanisasi, kehidupan
berpolitik, dan stimulasi yang diberikan oleh orangtua.

Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan merupakan masalah yang


serius bagi negara maju maupun negara berkembang di dunia. Angka kejadian di
Amerika Serikat berkisar 12-16%, Argentina 22%, dan Hongkong 23%.7,8 Profil
kesehatan Indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa 13-18% mengalami
keterlambatan perkembangan. Tumbuh kembang anak yang optimal berhubungan
dengan lingkungan tempat lahir dan tinggal anak. Anak yang lahir dan tinggal di
daerah yang rawan terjadi bencana baik berupa bencana alam, perang, atau konflik
bersenjata berisiko tinggi mengalami kegagalan pertumbuhan dan keterlambatan
perkembangan.

1. PERANG

Dampak perang di Afganistan menyebabkan anak secara fisik dapat terjadi


kekurangan gizi, penyakit (malaria, ISPA, cacar), cedera, cacat, dan secara psikologik
anak mengalami trauma, hal ini akan memengaruhi mortalitas dan morbiditas.13,14
Penelitian yang dilakukan oleh Jeharsae dkk., pada anak usia 1 - 5 tahun di daerah
konflik Thailand menunjukkan gangguan pertumbuhan dengan prevalensi
underweight 19,3%, stunting 27,6%, dan wasting 7,4% dan keterlambatan
perkembangan meliputi kemampuan gerak kasar, gerak halus, bahasa dan bicara,
serta sosialisasi dan kemandirian yaitu 31,1%. Hasil penelitian lain di Maluku yang
merupakan daerah pascakonflik dengan subjek penelitian 2.168 anak usia 0-59 bulan
menunjukkan prevalensi stunting dan stunting berat 29% (95% CI= 26,0-32,2) dan
14,1% (95% CI= 35,9-41,0) dan untuk anak 0-23 bulan 38,4% (95% CI= 35,9-41,0)
dan 18,4% (95% CI= 61,1-20,9). Faktor risiko untuk anak yang mengalami
keterlambatan adalah usia anak, jenis kelamin, jumlah makan per hari, dan
penghasilan keluarga. Kabupaten Poso adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Tengah yang sampai saat ini dikategorikan daerah konflik, terdiri atas 21
kecamatan dengan 5 kecamatan yang paling rawan terjadi konflik bersenjata antar-
aparat keamanan dan masyarakat. Situasi ini akan sangat berpengaruh pada proses
kehidupan masyarakat khususnya keluarga yang akan merasa ketakutan dan khawatir
akan keselamatan jiwanya. Terfokusnya keluarga khususnya ibu pada keselamatan
jiwa maka perhatian terhadap kebutuhan anak baik kebutuhan fisik maupun
psikologis akan berkurang yang akan memengaruhi terganggunya tumbuh kembang
anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa situasi konflik bersenjata akan
menyebabkan stres dalam kehidupan sehari-hari yang rentan terjadi pada perempuan
dan anak sehingga akan berpengaruh pada keadaan fisik, psikologis, dan
perkembangan emosional.20 Penelitian yang di lakukan Evans24 menunjukkan
bahwa konflik peperangan di suatu daerah secara langsung akan memperburuk
kesehatan dan kelangsungan hidup dengan ditunjukkan angka kesakitan pada anak
meningkat seperti malnutrisi, campak, diare, dan penyakit infeksi yang dapat
menyebabkan kematian 50-95% pada anak balita di masa perang. Konflik
menyebabkan kurangnya stimulasi yang diberikan baik oleh orangtua maupun
keluarga. Selain itu, kurangnya pendidikan kesehatan dan deteksi dini oleh tenaga
kesehatan menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan kurang dapat
terdeteksi.

2. BENCANA

Rentetan bencana alam yang melanda bangsa Indonesia enam tahun terakhir,
mulai dari gempa dan tsunami di NangroAceh Darussalam (NAD) pada Bulan
Desember 2004, diikuti dengan bencana Gempa Bumi di Pangandaran, Yogyakarta,
Sumatra Utara, Banjir Bandang di Wasior, Gempa dan Tsunami di Mentawai sampai
dengan letusan gunung merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa
Tengah tanggal 26 Oktober 2010, menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah salah
satu Negara yang rawan bencana alam. Bencana-bencana tersebut, selain menelan
korban jiwa, juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur, permukiman,
bangunan-bangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi, serta
mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kondisi psikologis
dan tingkat kesejahteraan.

Salah satu kelompok yang paling rentan terdampak bencana alam adalah
anak-anak karena secara fisik dan mental masih dalam pertumbuhan dan masih
tergantung dengan orang dewasa. Mengalami kejadian yang sangat traumatis dan
mengerikan akibat bencana seperti gempa bumi dan letusan gunung merapi dapat
mangakibatkan stress dan trauma mendalam bagi anak bahkan orang dewasa
sekalipun. Pengalaman trauma yang dialami anak tersebut kalau tidak diatasi segera
akan berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak sampai dewasa. Di
samping itu, dalam situasi pasca bencana, kehidupan yang serba darurat sering
membuat orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-
anak mereka.

Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral dan sosial anak,
sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap kemungkinan tindak
eksploitasi, penculikan, kekerasan dan perdagangan. Berdasarakan kondisi inilah
maka, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mensinyalir bahwa praktek perdagangan
anak meningkat pasca bencana alam di daerah. Korbannya adalah anakanak yang
kehilangan orang tua akibat bencana tsunami dan gempa bumi di NAD, Jawa Tengah
dan DIY. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan rusaknya fasilitas kesehatan dan
sanitasi serta lingkungan yang tidak sehat di tempat penampungan yang dalam
perkembangan selanjutnya berdampak buruk terhadap kesehatan anak yang dalam
jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kesehatan anak.

3. TERORISME

Aksi terorisme di Indonesia bukanlah hal yang baru. Aksi kekerasan ekstrim
mulai dicatat terjadi pada tahun 1981 yaitu pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla
yang sedang melakukan penerbangan menuju Medan. Sejak kejadian ini, beberapa
aksi kekerasan ekstrim untuk menentang pemerintahan rejim orde baru terus terjadi,
sebut saja kejadian pengeboman Candi Borobudur yang terjadi pada tahun 1985.
Pengeboman menjadi begitu massif pasca reformasi, saat Indonesia memasuki babak
baru sejarah demokrasi dengan tumbangnya rejim diktator. Demokrasi yang
mengusung kebebasan berekspresi diartikan lain oleh kelompok radikal yang ingin
memiliki agenda politik dan ingin merubah republik ini. Tahun 2000 adalah babak
dimana aksi pengeboman begitu massif baik dari jumlah aksi yang dilakukan maupun
jumlah korban dari aksi ini, baik itu yang tewas maupun luka-luka. Data dari
Wikipedia menunjukkan bahwa ada sekitar 355 orang meninggal dan 968 orang luka-
luka juga bangunan dan kendaraan yang hancur akibat aksi yang berlangsung dari
tahun 2000 hingga 2018 ini.

Sekalipun peristiwa bom sudah lama berlalu, namun dampak yang


ditinggalkan dari kejadian tersebut masih tersisa dipikiran dan hati para korbannya.
Luka yang ditinggalkan di tubuh para korban akan selalu mengingatkan kejadian
menyakitkan yang menghancurkan kehidupan dan masa depan korban. Belum lagi
luka psikis yang masih belum juga sembuh sekalipun peristiwa tersebut sudah
bertahun-tahun berlalu. Hal tersebut berdampak pada anak-anak sebagai salah satu
yang mendapat dampak dari terorisme ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.

Tidak sedikit anak-anak yang dijadikan sebagai pelaku tindak terorisme.


Anak-anak dilibatkan sebagai pelaku aktif sekaligus korban yang menimbulkan
korban jiwa lain. Tindak pidana terorime yang merupakan kejahatan luar biasa pada
umumnya hanya dilakukan oleh pelaku dewasa. Pengeboman yang terjadi sudah
merupakan pembunuhan bagi anak-anak yang turut meledakkan diri. Anakanak
seharusnya berman-main, bersekolah, serta mengembangkan dirinya menjadi manusia
dewasa. Hal ini menyisakan sebuah permasalahan baru yaitu bagimana mencari cara
baru untuk melindung anak-anak tersebut agar tidak terpapar paham terorisme. Anak-
anak perlu dilindungi, agar tidak terjadi lagi menjadi korban aksi terorisme. Faktor
penyebab anak melakukan tindak pidana terorisme adalah adanya peran orang tua
yang menanamkan paham radikal pada anak. Selain itu, pola lingkungan yang
semakin tidak memperhatikan tetangganya. Anak-anak tersebut di atas sebetulnya
telah menjadi korban dari orang tua dan lingkungannya.
Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah angar anak-anak
tidak lagi menjadi korban bom dan terorisme. Selalu ada 3 pihak yang perlu
diperhatikan yaitu: gerakan si pelaku dewasa, perubahan pada diri korban anak-anak,
dan lingkungan yang menjadi tempat tinggal para korban ini. Hal inilah yang menjadi
titik yang dapat membantu pencegahan sebelum teror itu terjadi.

Anda mungkin juga menyukai