Anda di halaman 1dari 64

TUGAS PAK WAHYU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN


KEPERAWATAN

OSTITIS MEDIA AKUT

Otitis media akut adalah infeksi akut di telinga pada bagian


tengah ,biasanya berlangsung kurang dari 6 minggu. Pathogen
yang menyebabkan otitis media akut biasanya adalah
streptococcus pneumophilus influenza, dan moraxella catarrbalis
, yang memasuki telinga tengah setelah tuba eustasius
mengalami disfungsi akibat obstruksi yang disebabkan oleh
infeksi pernafasan atas , inflamasi jaringan sekitar
(mis,rinosinusitis,hipertrofi adenoid ) , atau reaksi alergi (mis ,
rhinitis alergik). Bacteria dapat memasuki tuba eustasius dari
sekresi yang terkontaminasi di dalam nasofaring dan telinga
tengah akibat perforasi membrane timpani. Gangguan ini paling
sering terjadi pada anak – anak

MANIFESTASI KLINIS

 Gejala beragam berdasarkan tingkat keparahan infeksi, biasanya


bersifat unilateral pada orang dewasa.
 Nyeri didalam dan disekitar telinga (otalgia) mungkin intens dan
hanya akan reda setelah perforasi sepontan gendang telinga atau
setelah miringitomi.
 Demam; drainase dari telinga, kehilangan pendengaran.
 Membrane timpani mengalami eritema dan sering kali
menonjol,
 Kehilangan pendengaran konduktif disebabkan oleh eksudat
didalam telinga tengah.
 Bahkan jika kondisi menjadi subakut (3 minggu – 3 bulan)
disertai dengan rabas purulen, ketulian permanen jarang terjadi.
KOMPLIKASI

 Perforasi membrane timpani dapat menetap dan berlanjut


menjadi otitis media kronis.
 Komplikasi sekunder mencakup mastoid (mastoiditis),
menginitis, atau abses otak (jarang).

PENATALAKSANAAN

 Dengan terapi antibiotic spectrum luas sejak dini dan tepat, otitis
media dapat hilang tanpa menyiksakan sakuela yang serius. Jika
terdapat drainase, sediaan antibiotic dapat diresepkan.
 Hasil akhir bergantung pada efektifitas terapi (dosis antibiotic
oral yang diresepkan dan durasi terapi), virulensibakteria, dan
status fisik pasien.

MIRINGOTOMI (TIMPANOTOMI)

Jika kasus otitis media ringan ditangani secara efektif, tindakan


miringotomi mungkin tidak diperlukan. Jika miringotomi perlu
dilakukan, akan dibuat insisi menuju membran timpani untuk
meredakan gejala dan mengalirkan cairan serosa atau cairan
purulen dari telinga tengah. Prosedur yang tidak terasa nyeri ini
biasanya dilakukan kurang dari 15 menit. Jika episode otitis
media akut terjadi kembali dan tidak ada kontra indikasi, selang
ventilasi atau selang penyeimbang tekanan dapat dimasukkan.

TINDAKAN KONSERVATIF

 Panas , menurunkan berat badan,mengistirahatkan sendi , dan


menghindari penggunaan sendi secara berlebihan.
 Alat ortotik untuk menopang sendi yang mengalami inflamasi
(bebat, braces).
 Latihan isometric dan postural , dan senam aerobic.
 Terapi akupasional dan fisik.
TERAPI FARMAKOLOGIS

 Asetaminofen; obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).


 Penyekat enzim COX-2 (untuk pasien yang beresiko tinggi
mengalami perdarahan GI)
 Opioid dan kortikosteroid intra-artikular.
 Analgesic topical seperti kapsaisin dan metil salisilat.
 Pendekatan terpeutik lain : glukosamin dan kondroitin ;
viskosuplementasi (injeksi asam hialuronat per intra artikular).

PENATALAKSANAAN BEDAH

Dilakukan ketika nyeri bersifat hebat dan fungsi telah hilang.

 Osteotomi
 Artroplasti (penggantian) sendi

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan pasien osteoarthritis pada umumnya sama


seperti rencana asuhan dasar untuk pasien penyakit reumatik
(lihat Artritis ,Reumatoid). Menangani nyeri dan
mengoptimalkan kemampuan fungsional adalah tujuan utama
intervensi keperawatan , dan membantu pasien memahami
proses penyakit dan gejala sangat penting dalam perencanaan
asuhan.

 Bantu pasien dalam mengatasi obesitas (penurunan berat badan


dan peningkatan aktivitas aerob) dan masalah atau penyakit
kesehatan lain, jika relevan.
 Rujuk pasien untuk mendapat terapi fisik atau program latihan
fisik. Latihan seperti berjalan harus dimulai pada level sedang
dan di tingkatkan secara bertahap.
 Sediakan dan dorong penggunaan alat bantu berjalan seperti
tongkat dan alat berjalan lain sesuai indikasi.
OTITIS MEDIA KRONIS

Otitis media kronis disebabkan oleh episode otitis media akut,


yang menyebabkan patologi jaringan permanen (irreversible)
dan perforasi persisten pada membrane timpani. Infeksi kronis
pada telinga tengah menyebabkan kerusakan membrane timpani,
yang dapat menghancurkan osikel,dan dapat mengenai mastoid.

MANIFESTASI KLINIS

 Gejala mungkin minimal , dengan tingkat ketulian yang


bervariasi dan otorea (rabas) berbau busuk yang parsisten atau
intermiten.
 Pasien mungkin merasakan nyeri jika terdapat mastoiditis akut :
ketika mastoiditis terjadi ,area pascaurikulur menjadi kenyal ;
eritema dan edema dapat terjadi.
 Kolesteatoma (kantung yang berisi kulit yang mengalami
degenerasi dan materi sebasea) mungkin dimanifestasikan
sebagai massa putih di belakang membrane timpani yang terlihat
melalui otoskop. Jika tidak diobati , koleosteatoma akan terus
tumbuh dan menghancurkan struktur tulang temporal,
kemungkinan menyebabkan kerusakan pada saraf fasial dank
anal horizontal serta hancurnya struktur lain di sekitarnya.
Pemeriksaan auditori sering kali menunjukkan tuli konduktif
atau campuran.

PENATALAKSANAAN MEDIS

 Pengisapan dan pembersihan telinga yang cermat dapat


dilakukan di bawah panduan mikroskop.
 Antibiotic tetes dimasukkan atau antibiotic serbuk digunakan
untuk mengatasi rabas purulen
 Prosedur timpanoplasti (miringoplasti dan jenis yang lebih
ekstensif)dapat dilakukan untuk mencegah infeksi berulang,
mengembalikan fungsi telinga tengah ,menutup perforasi , dan
memperbaiki pendengaran.
 Mastoidektomi yang dilakukan untuk mengeluarkan
kolesteatoma , atau membuka akses ke struktur yang
mengalami penyakit , dan membuat telinga tetap kering(tidak
terinfeksi ) dan sehat.

PATHOFISIOLOGI

Perubahan tekanan
Gangguan tube eustachius
udara tiba-tiba (alergi
, infeksi, sumbatan ).
Kuman masuk ketelinga
Secret , tampon,tumor Pencegahan invasi tengah
kuman terganggu

Terjadi erosi pada peradangan Tekanan udara negative


kanalis semisirkularis ditelinga tengah

Resiko cedera Efusi

Retraksi membrane timpani


Tindakan Meningkatkan
mastoidektomi produksi cairan
serosa
Nyeri akut , Akumulasi
ansietas , resiko cairan mukosa
infeksi serosa

Rupture membrane timpani Hantaran udara yang


karena desakan diterima menurun
Resiko infeksi
Secret keluar dan berbau tidak Ggn persepsi sensori
enak (otorhoe)
Pengobatan tidak
tuntas/episode Gangguan citra
berulang tubuh

Kurangnya informasi Infeksi berlanjut dpt sampai ke telinga


dalam
Defisiensi Terjadi erosi pd kanalis semisirkularis
pengetahuan
Resiko cidera/trauma

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
A. Aktivitas /istirahat
 Nyeri sendi karena gerakan ,nyeri tekan
membruruk stress pada sendi. Kakakuan pada
pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris limitasi fungsional yang berpengaruh
pada gaya hidup, waktu
senggang,pekerjaan,keletihan, malaise.
Keterbatasan ruang gerak, atropi otot, kulit
:kontraktor/kelaianan pada sendi dan otot.
B. Kardiovaskuler
 Fenomena Raynaud dari tangan (misalnya
pucat litermiten,sianosis kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal
C. Integritas ego
 Factor-faktor stress akut/kronik (misalnya
financial pekerjaan,ketidakmampuan, factor-
faktor hubungan.
 Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi
ketidakmampuan)
 Ancaman pada konsep diri , gambaran tubuh,
identitas pribadi ,misalnya ketergantungan
pada orang lain.
D. Makanan /cairan
 Ketidakmampuan untuk menghasilkan
atau mengkonsumsi makanan atau cairan
adekuat mual, anoreksia.
 Kesulitan untuk mengunyah , penurunan
berat badan, kekeringan pada membrane
mukosa.
E. Hygiene
 Berbagai kesulitan untuk melaksanakan
aktivitas perawatan diri, ketergantungan
pada orang lain.
F. Neurosensori
 Kesemutan pada tangan dan kaki ,
pembengkakan sendi.
G. Nyeri /kenyamanan
 Fase akut nyeri (kemungkinan tidaak di
sertai dengan pembengkakakn jaringaan
lunak pada sendi. Rasa nyeri kronis dan
kekakuan (terutama pagi hari)
H. Keamanan
 Kulit mengkilat ,tegang , nodul sub
mitaneus
 Lesi kulit ,ulkus kaki
 Kesulitan dalam menangani tugas /
pemeliharan rumah tangga
 Demam ringan menetap
 Kekeringan pada mata dan membrane
mukosa
I. Interaksi social
 Kerusakan interaksi dengan keluarga atau
orang lain , perubahan peran : isolasi
J. Penyuluhan /pembelajaran
 Riwayat rematik pada keluarga
 Penggunaan makanan kesehatan , vitamin
, penyembuhan penyakit tanpa pengujian
 Riayat perikarditis , lesi tepi katup ,
fibrosa pulmonal, pkeuratis
K. Pemeriksaan diagnostic
 Reakssi aglutinasi : positif
 LED meningkat pesat
 Protein C reaktif : positif pada masaa
inkubasi
 SDP : meningkat pada proses inflamasi
 JDL : Menunjukkan ancaman sedang
 Ig (IgM & Ig G) peningkatan besar
menunjukkan proses autoimun
 RO : menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak , erosi sendi , osteoporosis
pada tulang yang berdekaatan, formasi
kista tulang, penyempitan ruang sendi
2. DIAGNOSA
Resiko infeksi (00004)
Definisi : rentan mengalami invasi dan multi plikasiorganisme patogenik yang
dapat mengganggu kesehatan.

Faktor resiko

 Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen


 Malnutrisi
 Obesitas
 Penyakit kronik
 Prosedur invasive

Pertahanan tubuh primer tidaka dekuat

 Gangguan integritas kulit


 Gangguan peristalsis
 Merokok
 Penurunan kerja siliaris
 Perubahan pH sekresi
 Stasis cairan tubuh

Pertahanan tubuh sekunder tidak adekuat

 Imunosupresi
 Leukopenia
 Penurunan hemoglobin
 Supresi respons inflamasi
 Vaksinasi tidak adekuat

Pemajanan terhadap pathogen lingkungan meningkat

 Terpajan pada wabah

FRAKTUR

DEFINISI

Fraktur di definisikan sebagai gangguan pada kontinuitas tulang,


tulang rawan (sendi) dan lempeng epifisis.

KLASIFIKASI

Berdasarkan fragmen tulang yang terpisah. Fraktur dapat


di golongkan menjadi fraktur komplet dan inkomplet. Pada
fraktur komplet , tulang terpisah menjadi dua fragmen atau
lebih.

Berdasarkan garis frakturnya , fraktur komplet dapat


digolongkan sebagai berikut:

o Fraktur transversal.
o Fraktur oblik atau spiral.
o Fraktur segmental.
o Fraktur impaksi , dan
o Fraktur kominutif.

Fraktur dikatakan inkomplet apabila tulang tidak


terpisah seluruhnya dan periosteum tetap intak. Fraktur
inkomplet dapat digolongkan menjadi
o Fraktur buckle atau torus
o Fraktur greenstick (pada anak-anak),serta
o Fraktur kompresi

PERUBAHAN STRUKTURAL AKIBAT FRAKTUR

Fraktur menyebabkann perubahan pada arsitektur tulang ,


terutama pada fraktur komplet. Perubahan yang terjadi disebut
displacement. Displacement harus dideskripsikan secara lengkap
dengan menyebutkan unsure-unsur berikut :

o Translasi : pergeseran ke samping , depan , atau belakang


o Angulasi : perubahan sudut antara fragmen dengan bagian
proksimalnya
o Rotasi : perputaran tulang. Sepintas tulang tetap tampak lurus
namun pada bagian distal tampak deformitas rotasional.
o Panjang : fragmen tulang dapat menjauh atau memendek karena
spasme otot.

DESKRIPSI FRAKTUR

Deskripsi fraktur yang baik harus menyebutkan


lokasi,eksten,konfigurasi, hubungan antarfragmen, hubungan
antara fraktur dengan dunia luar . dan ada tidaknya komplikasi
sesuai dengan urutan berikut :
o Lokasi : diafisis , metafisis ,epifisis , intraartikular, fraktur-
dislokasi (selain fraktur juga terdapat dislokasi pada sendi yang
bersangkutan)
o Nama tulang beserta posisi (kiri atau kanan) jika terjadi pada
tulang ekstremitas
o Ekstensi : komplet atau inkomplet. Sesuai klasifikasi di atas.
o Konfigurasi : transversal , oblik ,spiral ,kominutif
o Hubungan fragmen fraktur yang satu dengan lainnya : sesuai
nomenklatur displacement di atas
o Hubungan antara fraktur dengan dunia luar : fraktur terbuka
atau tertutup
o Komplikasi : baik local atau sistemik , dakibatkan oleh cedera
itu sendiri , ataupun iatrogenic.

PENDEKATAN KLINIS PADA KASUS FRAKTUR

Anamnesis :

Mekanisme terjadinya cedera harus selalu di tanyakan


kepada pasien secara rinci. Gejala yang di rasakan , seperti nyeri
dan bengkak harus di perhatikan. Perlu diingat bahwa daerah
yang mengalami trauma tidak selalu merupakan daerah fraktur.
Selain iru , jangan hanya terpaku pada satu cedera utama. Perlu
di perhatikan apakah ada trauma atau keluhan di daerah lainnya .

Pemeriksaan Fisik :

Pada kasus –kasus fraktur , penanganan selalu dimulai


dari survey primer (ABC), yang dilanjutkan dengan survey
sekunder secara menyeluruh . pemeriksaan fisis musculoskeletal
yang lengkap harus mencakup inspeksi (look), palpasi (feel) ,
dan lingkup gerak (move). Selain itu , pemeriksaan arteri , vena,
nervus (AVN) juga pentung untuk dilakukan .

Pemeriksaan Penunjang :
Pada fraktur , pemeriksaan penunjang dasar berupa
Roentgent sangatlah penting. Foto yang baik harus mengikuti
aturan “dua” (lihat Bab Radiologi Tulang) :

o Dua sisi
o Dua sendi
o Dua ekstremitas (terutama untuk pasien anak)
o Dua jejas (di bagian proksimal jejas ), serta
o Dua waktu (foto serial)

Tata Laksana :

Fraktur Tertutup

Tujuan dari penatalaksanaan fraktur adalah untuk


menyatukan fragmen tulang yang terpisah . secara umum ,
prinsip dari tata laksana fraktur adalah reduksi ,fiksasi , dan
rehabilitasi. Reduksi tidak perlu dilakukan apabila :

o Fraktur tidak disertai atau hanya terjadi sedikit displancement


o Pergeseran yang terjadi tidak bermakna (misalnya pada
klavikula), atau
o Reduksi tidak dapat di lakukan (misalnya,pada fraktur kompresi
vertebral)

Reduksi tertutup harus dilakukan dengan anastesi dan relaksasi


otot . manuver reduksi tertuup dilakukan secara spesifik untuk
masing-masing lokasi ,namun pada prinsipnya, reduksi tertutup
dilakukan dengan tiga langkah berikut :

o Menarik bagian distal searah dengan sumbu tulang


o Reposisi fragmen ke tempat semula dengan gaya berlawanan
dari gaya penyebab trauma , dan
o Menyusun agar fragmen terletak secara tepat di masing-masing
bidang.
Reduksi pada fraktur tertutup diindikasikan pada kondisi –
kondisi berikut:

o Ketika reduksi tertutup gagal


o Terdapat fragmen artikular yang besar , atau
o Untuk traksi pada fraktur dengan fragmen yang terpisah .

Fraktur Terbuka

Tata laksana fraktur terbuka tergantung pada derajat


fraktur . klasifikasi derajat fraktur terbuka yang banyak
digunakan adalah klasifikasi Gustilo.

o Tipe I : luka kecil , bersih ,pin point atau kurang dari 1 cm.
Cedera jaringan lunak minimal tanpa remuk. Fraktur yang
terjadi bukan fraktur kominutuf.
o Tipe II : luka dengan panjang >1 cm tanpa hilangnya kulit
penutup luka. Cedera jaringan lunak tidak banyak. Remuk dan
komunikan yang terjadi sedang.
o Tipe III : laserasi luas , kerusakan kulit dan jaringan lunak yang
hebat, hingga kerusakan vaskuler.
 III A : laserasi luas namun tulang yang fraktur masih dapat di
tutup uolrh jaringan lunak
 III B : periosteal stripping ekstrensif dan fraktur tidak dapat
ditutup tanpa flap
 IIIC : terdapat cedera seperti arteri yang memerlukan
penanganan khusus (nepair), dengan atau tanpa cedera jaringan
lunak.

Berdasarkan standard manajemen fraktur terbuka pada


ekstremitas baah oleh british orthopaedk Assoxiation dan
Britisht Surgeons Associattion Of Plastik , Recontructive and
Aesthetic Surgeons 2009, fraktur terbuka semua derajat harus
mendapatkan antibiotic dalam 3 jam setelah trauma. Antibiotic
yang menjadi pilihan adalah ko-amoksiklav atau sefuroksin.
Apa bila pasien alergi golongan penisislin dapat di berikan
klindamisin. Pada saat debridement, antibiotic gentamisin di
tambahkan pada regimen tersebut.

PATHOFISIOLOGI

TRA
Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

fraktur

Diskontunuitas tulang Pergerseran frakmen tulang Nyeri akut

Perub jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Tek sumsum tulang lebih


Pergeseran frakmen tulang Spasme otot tinggi dari kapiler

Deformitas Peningkatan tek. kapiler Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi Pelepasan Metabolisme


ekstremitas histamin asam lemak

Hambatan mobilitas Protein plasma hilang Bergabung dengan trombosit


fisik

Edema Emboli

Laserasi kulit
Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah

Putus vena/arteri Kerusakan integritas Ketidakefektifan perfusi


kulit Resiko infeksi jaringan perifer
Perdarahan Kehilangan volume Resiko syok
cairan (hypovolemik)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas istirahat
Tanda : Keterbatasan / kehilangan fungsi pada
bagian terkena mungkin segera setelah fraktur itu
sendiri atau terjadi secara sekunder dari
perkembangan jarinagan nyeri.
b. Sirkulasi
Tanda : HT (kadang –kadang terlihat sebagai
respon terhadap nyeri /ansietas) atai hipotensi (
kehilangan darah) , Takikardi ( respon stress atau
hipovolemia)
c. Neurosensori
Gejala : hilang gerakan atau sensasi , spasme otot
, kesemutan
Tanda : Deformitas lokasl : agulasi abnormal ,
pemendekan , rotasi krepitasi
d. Nyeri /kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera
mungkin terlokalisasi pada area jaringan
/kerusakan tulang dapat berkurang pada
imobilisasi. Tak ada nyeri akibat kerusakan sraf
spasme atau kram otot ( setelah imobilisasi )
e. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit , evaluasi jaringan ,
perdarahan , perubahan warna , pembengkakan
local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba )
f. Penyuluhan
Gejala : Lingkungan tidak mendukung (
menimbulkan cedera) pengetahuan terbatas .
2. DIAGNOSA

Hambatan Mobilitas Fisik (00085)

Definisi : keterbatasan dalm gerakan fisik atau satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan

terarah

Batasan Karakteristik :

 Dispnea setelah beraktifitas


 Gangguan sikap berjalan
 Gerakan lambat
 Gerakan spastic
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Instabilitas postur
 Kesulitan membolak balik posisi
 Keterbatasan rentang gerak
 Ketidaknyamanan
 Melakukan aktifitas lain sebagai pengganti pergerakan (misalnya,
peningkatan perhatian pada aktifitas orang lain, mengendalikan
perilaku, focus pada aktifitas sebelum sakit)
 Penurunan kemampuan melakukan ketrampilan motorik halus
 Penurunan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar
 Penurunan waktu reaksi
 Tremor akibat bergerak

Faktor yang Berhubungan :

 Agen farmaseutikal
 Ansietas
 Depresi
 Disuse
 Fisik tidak bugar
 Gangguan fungsi koknitif
 Gangguan metabolism
 Gangguan musculoskeletal
 Gangguan neuromuscular
 Gangguan sensoriperseptual
 Gaya hidup kurang gerak
 Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
 Intoleransi aktivitas
 Kaku sendi
 Keengganan memulai pergerakan
 Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat
 Kerusakan intergritas struktur tulang
 Keterlambatan perkembangan
 Kontraktur
 Kurang dukungan lingkungan
 Kurang pengetahuan ytentang nilai aktivitas fisik
 Malnutrisi
 Nyeri
 Penurunan kekuatan otot
 Penurunan kendali otot
 Penurunan ketahanan tubuh
 Penurunan masa otot
 Program pembatasan gerak

NOC

1. Mobilitas (0208)
2. Ambulasi (0200)

Definisi : Tindakan personal untuk berjalan dari satu tempat ke tempat lain
secara mandiri
dengan atau tanpa alat bantu.

 Menopang berat badan


 Berjalan dengan langkah yang efektif
 Berjalan dengan pelan
 Berjalan dengan kecepatan sedang
 Berjalann dengan cepat
 Berjalan menaiki tangga
 Berjalan menanjak
 Berjalan menurun
 Berjalan dalam jarak yang dekat (<1 blok/20 meter)
 Berjalan dalam jarak yang sedang (>1 blok <5 blok)
 Berjalan dalam jarak yang jauh (5 blok atau lebih)
 Berjalan mengelilingi kamar
 Berjalan mengelilingi rumah
 Menyesuaikan dengan perbedaan tekstur permukaan/lantai
 Berjalan mengelilingi rintangan

3. Ambulasi : Kursi Roda (0201)


Definisi : Tindakan personal untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dengan
Menggunakan kursi roda
 Perpindahan ke dan dari kursi roda
 Menjalankan kursi roda dengan aman
 Menjalankan kursi roda dalam jarak dekat
 Menjalankan kursi roda dalam jarak sedang
 Menjalankan kursi roda dalam jarak jauh
 Menjalankan kursi roda melewati pembatas lantai
 Menjalankan kursi roda melewati pintu keluar – masuk
 Menjalankan kursi roda melewati jalan yang landai/menurun
NIC

1. Body Mechanism Promotion (140)


2. Terapi Latihan : Ambulasi (221)

Definisi : Peningkatan dan bantuan berjalan untuk menjaga atau


mengembalikan

fungsi tubuh otonom dan volunteer selama pengobatan dan


pemulihan dari

penyakit atau cedera

 Beri pasien pakaian yang tidak mengekang


 Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki yang
memfasilitasi pasien untuk berjalan dan mencegah cidera
 Sediakan tempat tidur berkentinggian rendah, yang
sesuai
 Tempatkan saklar posisi tempat tidur di tempat yang
mudah dijangkau
 Dorong untuk duduk di tempat tidur, di samping tempat
tidur (menjuntai), atau di kursi, sebagaimana yang dapat
ditoleransi (pasien)
 Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh
 Konsultasikan pada ahli terapi fisik mengenai rencana
ambulasi, sesuai kebutuhan
 Instruksikan ketersediaan perangkat pendukung, jika
sesuai
 Instruksikan pasien untuk memposisikan diri sepanjang
proses pemindahan
 Gunakan sabuk (untuk) berjalan (gait belt) untuk
membantu perpindahan dan ambulasi, sesuai kebutuhan
 Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh
 Konsultasikan pada ahli terapi fisik mengenai rencana
ambulasi, sesuai kebutuhan
 Instruksikan ketersediaan perangkat pendukung, jika
sesuai
 Instruksikan pasien untuk memposisikan diri sepanjang
proses pemindahan
 Unakan sabuk (untuk) berjalan untuk membantu
perpindahan dan ambulasi sesuai kebutuhan
 Bantu pasien untuk perpindahan, sesuai kebutuhan
 Berikan kartu penanda dikepala tempat tidur untuk
memfasilitasi belajar berpindah
 Terapkan / sediakan alat bant (tongkat, walker, atau
kursi roda) untuk ambulasi, jika pasien tidak setabil
 Bantu pasien dengan ambulasi awal dan jika diperlukan
 Instruksikan pasien mengenai pemindahan dan tekhnik
ambulasi yang aman
 Monitor penggunaan kruk pasien atau alat bantu berjalan
lainnya
 Bantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan jarak
tertentu dan dengan sejumlah staf tertentu
 Bantu pasien untuk membangun pencapaian yang
realistis untuk ambulasi jarak
 Doromg ambulasi independen dalam batas aman
 Dorong pasien untuk “bangkit sebanyak dan sesering
yang diinginkan”
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

DEFINISI

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit kolagen


autoimun inflamasi yang sifatnya kronis yang di sebabkan oleh
gangguan pengaturen imun yang mengakibatkan produksi
antibody yang berlebihan.

ETHIOLOGI

Gangguan ini muncul akibat kombinasi beberapa factor :

Faktor genetic : kejadian LSE yang lebih tinggi pada kembar


monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%)
, peningkatan frekuensi LES pada keluarga penderita LES
dibandingkan dengan control sehat dan peningkatan prevelensi
LES pada kelompok etnik tertentu , menguatkan dugaan bahwa
factor genetic berperan dalam pathogenesis LES.

Faktor hormone : yang di buktikan dengan awitan penyakit yang


biasanya terjadi pada mas usia subur.

Autoantibody : ini di tunjukkan kepada self molekul yang


terdapat pada nucleus ,sitoplasma ,permukaan sel .dan juga
terdapat molekul terlarut seperti IgG dan factor koagulasi.

Factor lingkungan : factor fisik/kimia (amin aromatic,


hydrazine,obat-obatan seperti hidralazin (Apresoline),
perokainamida (Pronestyl) , isoniazid atau INH ( Nydrazid),
klorpromazin (Thorazine), dan beberapa medikasi anti kejang,
diketahui berperan menyebabkan SLE terinduksi obat atau zat
kimia lainya. Lebih kususnya , sel B dan sel T berperan
memunculkan respons imun pada kasus SLE. Sel B
berpengaruh dalam memicu awitan dan ledakan penyakit.

MANIFESTASI KLINIS
Awitan penyakit ini sifatnya membahayakan atau akut. SLE bisa
saja tak-terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis
penyakit meliputi eksaserbasi dan remisi.

 Gejala klasik : demam, keletihan, penurunan berat badan, dan


kemungkinanartritis, pleurisy.
 System musculoskeletal : Artralgia arthritis(sinovitis) adalah
cirri yang paling sering muncul. Pembengkakan sendi , nyeri
tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim, disertai
dengan kekakuan pada pagi hari.
 System integument : Terlihat beberapa jenis SLE yang
berbedha (mis, lupus eritematosus kutaneus subkakut( SLCE),
lupus eritomatosus discoid(DLE). Ruam kupu-kupu pada batang
hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan
mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik.
Lesi memburuk selama periode eksaserbasi (“ledakan”) dan
dapat di stimulasi oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet
buatan. Ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.
 Sistem kardiovaskular : perikarditis adalah manfestasi klinis
pada jantung yang paling sering di jumpai. Wanita yang
menderita SLE juga beresiko mengalami arterosklerosis dini.
Lesi popular, eritematosus, dan purpura dapat muncul di ujung
jari, siku , jari kaki , permukaaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan dapat berlanjut menjadi nekrosis.
 Tampilan neuropsikiatrik yang beragam dan kerap muncul,
biasanya di tunjukkan sedikit perubahan pada perilaku atau
kemampuan kongnitif.

PENGKAJIAN DAN TEMUAN DIAGNOSTIK

Diagnosis di dasarkan pada riwayat lengkap, pemeriksaan fisik,


dan tes darah. Tidak ada pemeriksaan laboratorium tunggal
untuk menegakkan diagnosis SLE. Pemeriksaan darah
mengungkap anemia sedang- berat, trombositipenia,
leukositosus atau leukopenia dan anti body anti nuclear positif.
Pemeriksaan imunologis diagnostic lainnya mendukung tapi
tidak membuktikan diagnostic tersebut.

PENATALAKSANAAN MEDIS

Upaya penanganan meliputi pelaksanaan penyakit akut dan


kronis. Tujuan penanganan antara lain mencegah kehilangan
fungsi organ yang progresis, mengurangi kemungkinan penyakit
akut, meminimalkan diasbilitas yang di sebabkan oleh penyakit,
dan mencegah komplikasi akibat terapi. Pemantauan dilakukan
untuk mengkaji aktifitas penyakit dan keefektifan terapi.

TERAPI FARMAKOLOGIS

 Obat anti-inflamasi non steroid (NSAID) digunakan bersama


kortikoskleroid untuk meminimalkan kebutuhan akan
kortikoskleroid.
 Kortikoskleroid digunakan secara topical untuk mengatasi
manifestasi klinis.
 Pemberiaan kortekoskleroid IV adalah upaya alternatif untuk
penggunaan kortikoskleroid oral dosis sampai tinggi yang
selama ini berlaku.
 Karakteristik SLE sistemik rungan , musculoskeletal,dan
utaneus ditangani dengan obat anti malaria.
 Pemberiaan agen imunosupresif biasanya di tunda untuk kasus
SLE yang paling serius yang tidak berespon terhadap terapi
konservatif.

PENATALAKSANAAN KEPERAWAT AN

Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasanya sama seperti


asuhan keperawatan untuk pasien penyakit reumatik (
lihat”penatalaksanaan keperawatan”pada “arthritis reumatoid”).
Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan
,gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh , dan defisiensi
pengetahuan.

 Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang


terjadi dan pross penyakit SLE yang tidak terduga, dorong
pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok pendukung, yang
dapat memberikan informasi mengenai penyakit ,tips
penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan social.
 Ingatkan pasien untuk menghindari paparan sinar matahari dan
sinar ultraviolet atau untuk melindungi diri mereka dengan tabir
surya dan pakaian.
 Karena beberapa sistem organ beresiko tinggi terkena penyakit
ini , ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani skrining rutin
secara berkala dan juga aktivitas untuk meningkatkan kesehatan.
 Rujuk pasien untuk menemui ahli diet, jika perlu.
 Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan
medikasi yang telah di resepkan, dan memahami perubahan
serta kemungkinan efek samping yang cenderung terjadi akibat
penggunaan obat tersebut.
 Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantauan
karena mereka beresiko tinggi mengalami gangguan sistemik,
termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.
Tujuan pengobatan LES adalah mengontrol manifestasi penyakit
,sehingga pasien dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa
eksaserbasi kematian.adapun obat-obatan yang dibutuhkan
antara lain :
1. Antiinflamasi non-steroid ; untuk pengobatan
simptomatik artralgia nyeri sendi
2. Antimalaria : diberikan untuk lupus discoid. Pemakaian
jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6
bulan.
3. Kortikosteroid : dosis rendah untuk mengatasi gejala
klinis sperti demam ,dermatitis dan efusi pleura.
4. Obat imunosupresan/sitostatika : imonosupresan di
berikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus
dan membranosa ,anemia hemolitik akut , dan kasus
yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
5. Obat antihipertensi : atasi hipertensi pada nefritis lupus
dengan agresif.
6. Diet : restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan.
7. Aktivitas :pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas
normal.

PATHOFISIOLOGI

Autoimun
Peningkatan
menyerang organ-
autoimun
organ tubuh
berlebihan
(sel,jaringan)
Genetic , kuman/
Kerusakan perfusi Pembentukan lupus
virus ,sinar
jaringan perifer
ultraviolet , obat-
obatan tertentu
Produksi antibody Pencetus penyakit
secara terus inflamasi multi
menerus organ

Kulit Otak Hati

Ruam kupu-kupu ,SLE Suplai O2 keotak Terjadi kerusakan


membrane ,alopesia sintesa zat-zat
,urtikaria dan vaskulitis Hipoksia dibutuhkan tubuh
,ilserasi dimulut dan mual , muntah
nasofaring
Resiko penurunan Ketidakseimbanga
perfusi jaringan n nutrisi kurang
Gangguan citra tubuh
otak dari kebutuhan
, kerusakan intregritas
tubuh
kulit

Paru - paru Darah Ginjal

Efusi pleura Hb menurun Proteinurinari ,


sindrom nefrotik
Ketidakefektifan Penurunan suplai
pola nafas O2/nutrien Retensi urine

Sendi Leucopenia Anemia ,


trombositopeni
Terjadi artritis Resiko infeksi

keletihan

Nyeri inflamasi Pembengkakan , efusi

Nyeri Aktivitas menurun Hambatan mobilitas fisik

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

2. DIAGNOSA
Resiko kerusakan integritas jaringan (00248)

Definisi : rentan terhadap cedera pada membrane mukosa, kornea, sistem


integument, fascia

muscular, otot, tendon, tulang, kartigo, kapsulsendi, dan/atau


ligament, yang

mengganggu kesehatan.

Factor resiko :

 Agens cedera kimiawi (misalnya luka bakar, kapsaisin,


metilienklorida, agens mustard)
 Agens farmaseutikal
 Faktormekanik
 Gangguan metabolisme
 Gangguan sensasi
 Gangguan sirkulasi
 Hambatan mobilitas fisik
 Kelebihan volume cairan
 Ketidakseimbangan status nutrisi (misalnya obesitas, malnutrisi)
 Kurang pengetahuan tentang perlindungan integritas jaringan
 Kurang pengetahuan tentang pemeliharaan integritas jaringan
 Kurang volume cairan
 Neuropati perifer
 Prosedur bedah
 Suhu lingkungan ekstrim
 Suplai daya volta setinggi
 Terapi radiasi
 Usia ekstrim

NOC
1. Integritas jaringan : kulit & membrane mukosa (1101)

Suhu kulit

 Sensasi
 Elastisitas
 Hidrasi
 Keringat
 Tekstur
 Ketebalan
 Perfusi jaringan
 Pertumbuhan rambut pada kulit
 Integritas kulit
 Pigmentasi abnormal
 Lesi pada kulit
 Lesi mukosa membran
 Jaringan parut
 Kanker kulit
 Pengelupasan kulit
 Penebalan kulit
 Eritema
 Wajah pucat
 Nekrosis
 Pengerasan (kulit)
 Abrasi kornea

NIC
1. Skin surveillance (3590)
2. Perawatan luka (3660)
Definisi : pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan
luka
 Angkat balutan dan plester perekat
 Cukur rambut di sekitar daerah yang terkena, sesuai kebutuhan
 Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran,
dan bau
 Ukur luas luka, yang sesuai
 Singkirkan benda – benda yang tertanam (pada luka) (misalnya,
serpihan, kutu, kaca, kerikil, logam)
 Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak
beracun, dengan tepat
 Tempatkan area yang terkena pada air yang mengalir, dengan
tepat
 Berikan rawatan insisi pada luka, yang diperlukan
 Berikan perawatan ulkus pada kulit, yang diperlukan
 Oleskan salep yang sesuai dengan kulit/lesi
 Berikan balutan yang sesuai dengan jenis luka
 Perkuat balutan (luka), sesuai kebutuhan
 Pertahankan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan
luka, dengan tepat
 Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drainase
 Periksa luka setiap kali perubahan balutan
 Bandingkan dan catat setiap perubahan luka
 Pastikan untuk menghindari menempatkan ketegangan pada
luka, dengan tepat
 Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam, dengan tepat
 Dorong cairan, yang sesuai
 Rujuk pada praktisi ostomy, dengan tepat
 Rujuk pada ahli diet, dengan tepat
 Beri unit TEST (stimulasi saraf transkutan listrik) untuk
meningkatkan penyembuhan luka, dengan tepat
 Tempatkan alat – alat untuk mengurangi tekanan (yaitu, tempat
tidur isi udara, busa, atau kasur gel, bantalan tumit atau siku,
bantal kursi), dengan tepat
 Bantu pasien dan keluarga untuk mendapatkan pasokan
 Anjurkan pasien dan keluarga mengenai cara penyimpanan dan
pembuangan balutan dan pasokan/suplai
 Anjurkan pasien atau anggota keluarga pada prosedur
perawatan luka
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala
infeksi
 Dokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan tampilan
3. Perlindungan infeksi (6550)
Definisi : pencegahan dan deteksi dini infeksi pada pasien berisiko
 Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Tinjau riwayat (dilakukannya) perjalanan internasional dan
global
 Monitor hitung mutlak granulosit, WBC, dan hasil – hasil
diferensial
 Ikuti tindakan pencegahan neutropenia, yang sesuai
 Batasi jumlah pengunjung, yang sesuai
 Hindari kontak dekat dengan hewan peliharaan dan penjamu
dengan imunitas yang membahayakan (immunocompromised)
 Skrining semua pengunjung terkait penyakit menular
 Pertahankan asepsis untuk pasien berisiko
 Pertahankan teknik – teknik isolasi, yang sesuai
 Berikan perawatan kulit yang tepat untuk area (yang
mengalami) edema
 Periksa kulit dan selaput lender untuk adanya kemerahan,
kehangatan ekstrim, atau drainase
 Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau luka
 Dapatkan kultur yang diperlukan
 Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
 Anjurkan asupan cairan, dengan tepat
 Anjurkan istirahat
 Pantau adanya perubahan tingkat energi atau malaise
 Anjurkan peningkatan mobilitas dan latihan, dengan tepat
 Anjurkan pernafasan dalam dan batuk, dengan tepat
 Berikan agen imunisasi, dengan tepat
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotic yang siresepkan
 Jaga penggunaan antibiotic dengan bijaksana
 Jangan mencoba pengobatan antibiotic untuk infeksi – infeksi
virus
 Ajarkan pasien dan keluarga pasien mengenai perbedaan –
perbrdaan antara infeksi – infeksi viru dan bakteri
 Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi
dan kapan harus melaporkannya kepada pemberi layanan
kesehatan
 Ajarkan pasien dan anggota keluarga bagaimana cara
menghindari infeksi
 Kurangi buah – buahan segar, sayur – sayuran, dan merica
dalam diet pasien dengan neutropenia
 Singkirkan buang – bunga segar dan tanaman – tanaman dari
area pasien, dengan tepat
 Berikan ruang pribadi, yang diperlukan
 Pastikan keamanan air dengan mengajukan hiperklorinasi dan
pemanasan lebih, dengan tepat
 Lapor dengan infeksi pada personil pengendali infeksi
 Lapor kultur positif pada personil pengedali infeksi

OSTEOARTRITIS

DEFINISI

Osteoartriris juga dikenal sebagai penyakit degenerative sendi


atau OA, adalah gangguan sendi yang paling sering terjadi dan
paling sering menyebabkan ketidakmampuan. Osteoarthritis
dicirikan dengan hilangnya kartilagi sendi secara progresif.
Selain usia, factor resiko untuk osteoarthritis mencakup
gangguan congenital dan gangguan perkembangan di pinggul
,obesitas ,kerusakan sendi sebelumnya, penggunaan berulang
(okupasional dan rekreasional ), deformitas anatomic , dan
kerentangan genetic. OA di klasifikasikan sebagai OA primer
(idiopatik), dan sekunder (terjadi akibat cedera sendi
sebelumnya atau penyakit inflamasi). OA mencapai puncaknya
antara decade kehidupan kelima dan keenam.

MANIFESTASI KLINIS

o Nyeri , kaku , dan kerusakan/ gangguan fungsional merupakan


manifestasi klinis primer.
o Kaku paling sering terjadi di pagi hari setelah bangun tidur.
Kaku biasanya berlangsung kurang dari 30 menit dan dapat
berkurang dengan pergerakan.
o Kerusakan fungsional di sebabkan oleh nyeri saat bergerak dan
terbatasnya gerakan sendi ketika terjadi perubahan structural.
o Osteoarthritis lebih sering terjadi pada sendi yang menopang
berat badan (pinggul,lutut , tulang belakang servikal dan lumbal)
sendi jari tangan juga dapat terganggu.
o Mungkin terdapat nodus yang menonjol (tidak nyeri kecuali jika
mengalami inflamasi).

PENGKAJIAN DAN TEMUAN DIAGNOSTIK

o Pemeriksaan fotorongen ( sinar X) menunjukkan penyempitan


ruang sendi dan osteofit ( taji) di tepi sendi dan di tulang sub
kondral. Kedua temuan ini sama-sama bersifat sensitive dan
spesifik.
o Terdapat korelasi yang lemah antara nyeri sendi dan sinovitis.
o Pemeriksaan darah tidak berguna dalam mendiagnosis penyakit
ini.

PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan berfokus pada upaya memperlambat dan


menangani gejala karena tidak ada terapi untuk menghentikan
proses penyakit degeneratif sendi.

PENCEGAHAN
o Penurunan berat badan.
o Pencegahan cedera.
o Skrining perinatal untuk penyakit pinggul congenital.
o Modifikasi ergonomi

TINDAKAN KONSERVATIF

o Panas, menurunkan berat badan, mengistirahatkan sendi, dan


menghindari penggunaan sendi secara berlebihan.
o Alat ortotik untuk menopang sendi yang mengalami inflamasi
(bebat,braces)
o Latihan isometric dan postural, dan senam aerobic.
o Terapi okupasional dan fisik.

TERAPI FARMAKOLOGIS

o Asetaminofen , obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID).


o Penyekat enzim COX-2 (untuk pasien yang beresiko tinggi
untuk mengalami perdarahan GI)
o Opioid dan kortikosteroid intra-artikular.
o Analgesic topical seperti kapsaisin den metal salisilat.
o p endekatan terapiotik lain : glukosamin dan kondroitin ,
viskosuplementasi (injeksi asam bialuronat per intra artikular).

PENATALAKSANAAN BEDAH

Dilakukan ketika nyeri bersifat hebat dan fungsi telah hilang.

o Osteotomi.
o Artoplasti (penggantian) sendi

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan pasien osteoartritis pada umumnya sama


seperti rencana asuhan dasar untuk pasien penyakit reumatik
(lihat arthritis,rheumatoid). Menangani nyeri dan
mengoptimalkan kemampuan fungsional adalah tujuan utama
interfensi keperawatan, dan membantu pasien memahami proses
penyakit dan pola gejala sangat penting dalam perencanaan
asuhan.

o Bantu pasien dalam mengatasi obesitas (penurunan berat badan


dan peningkatan aktivitas aerob) dan masalah atau penyakit
kesehatan lain, jika relevan.
o Rujuk pasien untuk mendapat terapi fisik atau program pelatihan
fisik. Latihan seperti berjalan harus dimulai pada level sedang
dan di tingkatkan secara bertahap.
o Sediakan dan dorong penggunaan alat bantu berjalan seperti
tongkat dan alat berjalan lain sesuai indikasi.
PHATOFISIOLOGI

Reaksi factor R dg antibody ,


Reaksi
factor metabolic,infeksi dg
peradangan
kecenderungan virus

Nyeri Kurang informasi Synovial menebal


tentang proses penyakit

Defisiensi Deformitas sendi ->


pengetahuan gangguan citra
tubuh
Infiltrasi kedalam
os subcondria

Hambatan nutrisi pd
kartilago artikularis

Kerusakan kartilago dan tulang Kartilago nekrosis

Tendon & ligament melemah Erosi kartilago

Adhesi pd
Hilangnya Mudah luksasi permukaan sendi
kekuatan otot & subluksasi
Ankilosis fibrosa
Resiko cidera
ankilosis tulang

Kekakuan sendi

Hambatan Terbatasnya gerakan


mobilitas fisik sendi
Defisit perawatan diri

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
A. Aktivitas /istirahat
 Nyeri sendi karena gerakan ,nyeri tekan
membruruk stress pada sendi. Kakakuan pada
pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris limitasi fungsional yang berpengaruh
pada gaya hidup, waktu
senggang,pekerjaan,keletihan, malaise.
Keterbatasan ruang gerak, atropi otot, kulit
:kontraktor/kelaianan pada sendi dan otot.
B. Kardiovaskuler
 Fenomena Raynaud dari tangan (misalnya
pucat litermiten,sianosis kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal
C. Integritas ego
 Factor-faktor stress akut/kronik (misalnya
financial pekerjaan,ketidakmampuan, factor-
faktor hubungan.
 Keputusasaan dan ketidakberdayaan (situasi
ketidakmampuan)
 Ancaman pada konsep diri , gambaran tubuh,
identitas pribadi ,misalnya ketergantungan
pada orang lain.
D. Makanan /cairan
 Ketidakmampuan untuk menghasilkan
atau mengkonsumsi makanan atau cairan
adekuat mual, anoreksia.
 Kesulitan untuk mengunyah , penurunan
berat badan, kekeringan pada membrane
mukosa.
E. Hygiene
 Berbagai kesulitan untuk melaksanakan
aktivitas perawatan diri, ketergantungan
pada orang lain.
F. Neurosensori
 Kesemutan pada tangan dan kaki ,
pembengkakan sendi.
G. Nyeri /kenyamanan
 Fase akut nyeri (kemungkinan tidaak di
sertai dengan pembengkakakn jaringaan
lunak pada sendi. Rasa nyeri kronis dan
kekakuan (terutama pagi hari)
H. Keamanan
 Kulit mengkilat ,tegang , nodul sub
mitaneus
 Lesi kulit ,ulkus kaki
 Kesulitan dalam menangani tugas /
pemeliharan rumah tangga
 Demam ringan menetap
 Kekeringan pada mata dan membrane
mukosa
I. Interaksi social
 Kerusakan interaksi dengan keluarga atau
orang lain , perubahan peran : isolasi
J. Penyuluhan /pembelajaran
 Riwayat rematik pada keluarga
 Penggunaan makanan kesehatan , vitamin
, penyembuhan penyakit tanpa pengujian
 Riayat perikarditis , lesi tepi katup ,
fibrosa pulmonal, pkeuratis
K. Pemeriksaan diagnostic
 Reakssi aglutinasi : positif
 LED meningkat pesat
 Protein C reaktif : positif pada masaa
inkubasi
 SDP : meningkat pada proses inflamasi
 JDL : Menunjukkan ancaman sedang
 Ig (IgM & Ig G) peningkatan besar
menunjukkan proses autoimun
 RO : menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak , erosi sendi , osteoporosis
pada tulang yang berdekaatan, formasi
kista tulang, penyempitan ruang sendi
c. DIAGNOSA

Nyeriakut (00132)

Definisi :pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang

Muncul akibat kerusakan jaringan kuat atau potensial atau yang


digambar kan
Sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat

dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi.

Batasan karakteristik

 Bukti nyeri dengan menggunakan standard daftar periksa nyeri untuk


pasien yang tidak dapat mengungkapkannya
 Diaforesis
 Dilatasi pupil
 Ekspresi wajah nyeri (mis; mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata berpancar atau tetap pada satu focus, meringis)
 Focus menyempit (mis; persepsi waktu, proses berfikir, interaksi dengan
orang dan lingkungan)
 Fokus pada diri sendiri
 Keluhan tentang intensitas menggunakan standard skala nyeri (mis; skala
Wong-Baker FACES, skala analog visual, skala penilaian numerik)
 Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar
instrument nyeri
 Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas (mis; anggota
keluarga, pemberi asuhan)
 Mengeks presikan perilaku (mis; gelisah, merengek, menangis, waspada)
 Perilaku distraksi
 Perubahan pada parameter fisiologis (mis; tekanan darah, frekuensi
jantung, frekuensi pernapasan, saturasioksigen, danend-tidal
korbandioksida [CO2])
 Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
 Perubahan selera makan
 Putusasa
 Sikap melindungi area nyeri
 Sikap tubuh melindungi

Faktor yang berhubungan


 Agens cedera biologis (mis; infeksi, iskemia, neoplasma)
 Agens cedera fisik (mis; abses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)
 Agens cedera kimiawi (mis; luka bakar, kapsaisin, metilenklorida, agens
mustard)

NOC

1. Level nyeri (2101)


2. Kontrol nyeri (1605)
Definisi : Tindakan pribadi untuk mengontrol nyeri
 Mengenali kapan nyeri terjadi
 Menggambarkan faktor penyebab
 Menggunakan jurnal harian untuk memonitori gejala dari
waktu ke waktu
 Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa analgesik
 Menggunakan analgesic yang direkomendasikan
 Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada professional
kesehatan.
 Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada professional
kesehatan
 Menggunakan sumber daya yang tersedian
 Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri
 Melaporkan nyeri yang terkontrol

NIC

1. Menejemen Nyeri (1400)

Definisi : pengurangan atau reduksi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan


yang dapat

Diterima Oleh pasien.


 Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau
beratnya nyeri dan faktor pencetus
 Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai
ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak dapat
berkomunikasi secara efektif
 Pastikan perawatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap
nyeri
 Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri
 Pertimbangkan pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Tentukan akibat dari pengalaman nyeri terhadap kualitas
hidup pasien (misalnya, tidur, nafsu makan, pengertian,
perasaan, hubungan, performa kerja dan tanggung jawab
peran)
 Gali bersama pasien factor – factor yang dapat menurunkan
atau memperberat nyeri
 Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi riwayat
nyeri kronik individu atau keluarga atau nyeri yang
menyebabkan disability/ketidak mampuan/kecatatan, dengan
tepat
 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lainnya, mengenai
efektifitas tindakan pengontrolan nyeri yang pernah
digunakan sebelumnya
 Bantu keluarga dalam mencari dan menyediakan dukungan
 Gunakan metode penilaian yang sesuai dengan tahapan
perkembangan yang memungkinkan untuk memonitor
perubahan nyeri dan akan dapat membantu mengidentifikasi
factor pencetus actual dan potensial
 Tentukan kebutuhan frekuensi untuk melakukan pengkajian
ketidak nyamanan pasien dan mengimplementasikan rencana
monitor
 Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,
berapa nyeri yang akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidak
nyamanan akibat prosedur
 Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan (misalnya, suhu
ruangan, pencahayaan, suara bising)
 Kurangi /eliminasi factor – factor yang dapat mencetuskan
atau meningkatkan nyeri (misalnya, ketakutan, kelelahan,
keadaan monoton dan kurang pengetahuan)
 Pertimbangkan keinginan pasien untuk berpartisipasi,
kemampuan berpartisipasi, kecenderungan, dukungan dari
orang terdekat terhadap metode dan kontra indikasi ketika
memilih strategi penurunan nyeri
 Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam (misalnya,
farmakologi, non farmakologi, interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri, sesuai dengan kebutuhan
 Ajarkan prinsip – prinsip menejemen nyeri
 Pertimbangjan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi
penurunan nyeri

2.Pemberian Analgesik (2210)

Definisi : penggunaan agen farmakologi untuk mengurangi atau


menghilangkan nyeri

 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri


sebelum mengobati pasien
 Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesic yang diresepkan
 Cek adanya riwayat alergi obat
 Evaluasi kemampuan pasien untuk berperan serta dalam
pemilihan analgesic, rute dan dosis keterlibatan pasien, sesuai
kebutuhan
 Pilih analgesic atau kombinasi analgesic yang sesuai ketika
lebih dari satu diberikan
 Tentukan pilihan obat analgetik (narkotik, non narkotik, atau
NSAID), berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
 Tentukan analgesic sebelumnya, rute pemberian, dan dosis
untuk mencapai hasil pengurangan nyeri yang optimal
 Pilih rute intravena dari pada rute intramuscular, untuk injeksi
pengobatan nyeri yang sering, jika memungkinkan
 Tinggalkan narkotik dan obat – obat lain yang dibatasi, sesuai
dengan aturan rumah sakit
 Monitor tanda vital sebelumdan setelah memberikan analgesic
narkotik pada pemberian dosis pertama kali atau jika
ditemukan tanda – tanda yang tidak biasanya

3.Manajemen sedasi (2260)

Definisi : pemberian sedatif, pemantauan respon klien dan pemberian dukungan


psikologis

Selama prosedur terapi dan diagnostic

 Review riwayat kesehatan klien dan hasil pemeriksaan


diagnostic untuk mempertimbangakan apakah klien memenuhi
criteria untuk dilakukan pembiusan persial oleh perawatyang
telah teregistrasi
 Tanyakan klain atau keluarga mengenai pengalaman pembiusan
persial sebelumnya
 Periksa alergi terhadap obat
 Pertimbangkan intake cairan dan intake terakhir makan
 Review obat – obatan lain yang dikonsumsi klien dan verifikasi
ada tidaknya kontraindikasi terhadap pembiusan
 Instruksikan klien dan /atau keluarga mengenai efek pembiusan
 Dapatkan persetujuan tertulis
 Evakuasi tingkat kesadaran klien dan reflex protektif sebelum
pembiusan
 Dapatkan data tanda – tanda vital, saturasi oksigen, EKG, tinggi
dan berat badan
 Pastikan peralatan resusitasi gawat darurat tersedia ditempat,
khususnya sumber pemberian oksigen 100%, obat – obatan
kegawatdaruratan dan defibrillator.

HERPES ZOSTER

DEFINISI

Penyakit yang di sebabkan oleh infeksi virus varisela zoster


(VZV) pada kulit dan mukosa atau merupakan hasil reaktivitasi
virus setelah infeksi primer.

PATHOGENESIS

VZV di tularkan melalui kontak langsung atau inhalasi.


Predileksi awal infeksi adalah mukosa seluran nafas atau
konjungtiva. Virus ini akan mengalami fase laten karena
dikontrol oleh imunitas seluler. Akan tetapi , saat terjadi
penurunan limfosit T (akibat neoplasma transplantasi ,AIDS,
penuaan atau kondisi imunodefisiensi lainya) , maka dapat
terjadi reaktivasi. Virus ini mengalami dua fase replikasi , yaitu
yang pertama pada ganglia , kemudian pada hepar , limpa dan
organ lainya.

MANIFESTASI KLINIS

 Diawali dengan gejala prodromal berupa demam, pusing,


malaise, nyeri otot tulang, gatal dan pegal.
 Lesi kulit berupa fesikel berkelompok dengan dasar eritematosa
yang disertai rasa nyeri, bersifat unilateral dan dermatomal
(tidak melewati batas garis tengah) sesuai tempat persyarafan.
Masa aktif penyakit ini dapat berlangsung hingga 1 minggu.
 Pembesaran kelenjar getah bening.
 Pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi pada cabang
pertama nervus trigeminus cabang oftalmika sehingga timbul
kelainan pada mata.
 Sindrom ramsay hunt : apabila terdapat gangguan pada syaraf
fasialis dan otikus yang menyebabkan paralisis otot muka,
kelainan kulit sesuai dermatom, tinnitus, vertigo, gangguan
pendengaran, nistakmus, mual, dan gangguan pengecapan.

DIAGNOSIS

Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan lesi kulit


yang khas (vesikel berkelompok, dermatonial, dan nyaeri).
Dapat pula dilakukan pemeriksaan tranck untuk membantu
diagnosis dengan ditemukan sel datla berinti banyak.

TATALAKSANA

 Obat anti viral, lebih baik diberikan pada 3 hari pertama sejak
timbulnya lesi.
Pilihan obat :
- Asiklovir 5x800 mg per oral selama 7 hari
- Valasiklovir : 3x1000 mg per oaral selama 1 hari. Namun, bila
lesi baru tetap muncul, obat ini dapat diteruskan hingga 2 hari
bebas lesi.
 Analgesic untuk mengatasi keluan nyeri.
 Kortikosteroid diberikan apabila terjadi sindrom ramsai-hunt
untuk mencegah terjadinya paralisis.
 Prednisone 3x20 mg per hari setelah seminggu dosis dapat
diturunkan secara bertahap.

KOMPLIKASI
 Neuralgia pascaherpatik : rasa nyeri yang timbul pada daerah
bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakit sembuh.
Komplikasi ini kebanyakan timbul pada usia diatas 40 tahun.
 Komplikasi herpes zoster oftalmikus : petosis paralitik, keratitis,
skleritis, kuveitis, koreorenitis, neuritis obtik.
 Paralisis motorik muncul dalam 2 minggu pasca-awitan lesi.

PROKNOSIS

Pada umumnya boman bila ditangani secara adekuat.

KONSEP ASUHAN KEPERAWAATAN

1. PENGKAJIAN

BIODATA

1. Identitas Klien
Di dalam identitas klien hal-haal yang perlu di kaji
antara lain nama pasien,alamat pasien, umur pasien
biasanya kejadian ini mencakup semua usia antara
anak-anak sampai dewasa, tanggal masuk rumah
sakit penting untuk dikaji untuk melihat
perkembangan dari pengobatan,penanggung jawab
pasien agar pengobatan dapat di lakukan dengan
persetujuan dari pihak pasien dan petugas kesehatan.
2. Riwayat Kesehatan
A. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita
datang ke tempat pelayanan kesehatan adalah
nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada
daerah yang terkena pada fase-fase awal baik
pada herpes zoster maupun simpleks.
B. Riwayat penyakit sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama
pada area kulit yang mengalami peradangan berat
dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga terdapat
lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga
mengalami demam.
C. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak
anggota keluarga atau demam dekat yang
terinfeksi virus ini.
D. Riwayat penyakit dahulu
Di derita kembali oleh pasien yang pernah
mengalami penyakit herpes simplek atau
memiliki riwayat penyakit seperti ini.
E. Riwayat psikososial
Kaji respon pasien terhadap penyakit yang di
derita serta peran dalam keluarga dan
masyarakat. Respon dalam keluarga maupun
masyarakat.
3. Pola Kehidupan
A. Aktivitas dan istirahat
Pasien mengeluh merasa cemas , tidak bisa tidur
karena nyeri , dan gatal.
B. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada herpes zoster oftalmik , pasien mengalami
penurunan nafsu makan, karena mengeluh nyeri pada
daerah wajah dan pipi sehingga pasien tidak dapat
mengunyah makanan dengan baik karena di
sebabkan oleh rasa nyeri.
C. Pola aktifitas dan latihan
Dengan adanya nyeri dan gatal yang di rasakan ,
terjadi penurunan pola saat aktifitas berlebih ,
sehingga pasien akan membatasi pergerakan
aktivitas.
D. Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan sedikit mengalami penurunan psikologis,
isolasi karena adanya gangguan citra tubuh.
4. Pengkajian fisik
A. Keadaan Umum
a. Tingkat Kesadaran
b. TTV
B. Head To Toe
a. Kepala
Wajah :ada lesi (ukuran >1 , bentuk : benjolan
berisi air , penyebaran merata dengan kulit )
b. Rambut
Warna rambut hitam , tidak ada bau pada rambut
, keadaan rambut tertata rapi.
c. Mata (penglihatan)
Adanya nyeri tekan , ada penurunan penglihatan.
d. Hidung (penciuman)
Septum nasi tepat di tengah , tidak terdapat secret
, tidak terdapat lesi ,dan tidak terdapat hiposmia.
e. Telinga (Pendengaran)
 Inspeksi
o Daun telinga : tidak terdapat lesi ,
kista epidemoid , dan keloid.
o Lubang telinga : tidak terdapat
obstruksi akibat adanya benda
asing.
 Palpasi
Tidak terdapat edema , tidak terdapat
nyeri tekan pada otitis media dan
mastoidius.
f. Mulut dan gigi
Mukosa bibir lembab, tidak pecah-pecah , warna
gusi merah muda tidak terdapat perdarahan gusi
,dan gigis bersih.
g. Abdomen
 Inspeksi
o Bentuk :normal simetris
o Benjolan : tidak terdapat lesi
 Palpasi
o Tidak terdapat nyeri tekan
o Tidak terdapat massa/benjolan
o Tidak terdapat tanda tanda asites
o Tidak terdapat pembesaran hepar
h. Integument
o Ditemukan adanya vesikel-vesikel
berkelompok yang nyeri,
o Edema di sekitar lesi , dan dapat pula
timbul ulkus pada infeksi sekunder.
o Akral hangat
o Turgor kulit normal/kembali <1 detik
o Terdapat lesi pada permukaan kulit wajah

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

CA.NASOFARING

DEFINISI

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di


daerah nasofaring dengan predileksi difosa rossenmuller dan
atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas
daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di
Indonesia. (evyat dan nurbayti,2001)
ETIOLOGI

Kaitan virus eibstein bar dengan ikan asin dikatakan sebagai


penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus ini dapat masuk
dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan
virus ini di butuhkan suatu mediator kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa
kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat
mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan Ca nasofaring.
Mediator yang berpengaruh untuk timbulnya Ca nasofaring :

1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamino.


2. Keadaan social ekonomi yang rendah ,lingkungan dan kebiasaan
hidup.
3. Sering kontak dengan zat karsinogen (benzopyrenen,
benzoantrance, gas kimia, azap industry , asap kayu, beberapa
ekstrak tumbuhan).
4. Ras dan keturunan (Malaysia, Indonesia).
5. Radang kronis nasofaring
6. Rofil HLA

Pembagian Nasofaring menurut histopathology :

1. Well differentiated epidermoid carcinoma.


 Keratinizing
 Non keratinizing
2. Undifferentiated epidermoid carcinoma = anaplastic carcinoma
 Transitional
 Lymphoepithelioma
3. Adenocystic carcinoma

Menurut bentuk dan cara tumbuh

1. Ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3. Endofilik : Tumbuh dibawah mukosa ,agar sedikit lebih tinggi
dari jaringan sekitar (creeping tumor)

Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)

Tipe WHO 1

 Karsinoma sel skuamosa (KSS)


 Deferensiasi baik sampai sedang
 Sering eksofilik ( tumbuh dipermukaan)

Tipe WHO 2

 Karsinoma non keratinisasi (KNK)


 Paling banyak pariasinya
 Menyerupai transisional
 Karsinoma

Tipe WHO 3

 Karsinoma tanpa deferensiasi (KTD)


 Seperti antara lain limfoepitelioma , karsinoma anaplastic :
“karsinoma” , varian sel spindel.
 Lebih radio sensitive, prognosis lebih baik . Indonesia china

Tipe WHO

1 29% 35%
2 14% 23%
3 57% 42%

Penentuan Stadium

Tumor size (T)

T = Tumor primer

T0 = Tidak tampak tumor


T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja

T2 = Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih masih


terbatas pada rongga nasofaring

T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring

T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak


tulang tengkorak atau saraf otak

Tx : Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak


lengkap

Regional limfe nodes (N)

N0 = Tidak ada pembesaran

N1 = Terdapat pembesaran terapi homolatelar dan masih bisa


digerakkan

N2 = Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih


dapat digerakkan

N3 = Terdapat pembesaran , baik homolateral

Metastase jauh (M)

M0 = Tidak ada metastase jauh

M1 = Metastase jauh

MANIFESTASI KLINIS

Simtomatologi di tentukan oleh hubungan anatomic nasofaring


terhadap hidung tuba eustachii dasar tengkorak.

Gejala Hidung :

 Epistaksis :rapuhnya mukosa hidung sering terjadi pendarahan


 Sumbatan hidung : sumbatan yang menetap karena pertumbuhan
tumor kedalam rongga nasofaring.

Gejala telinga :

 Kataralis/ oklusi tuba eustachii


 Otitis media serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran

Gejala lanjut :

 Limfadenopatiservikal : melalui pembuluh limfe , sel-sel kanker


dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan di sana.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Nasofaringoskopi
 Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
 Biopsy multiple
 Radiologi : Thorax PA , foto tengkorak ,CT-scan ,Bone
scantinggrapy(bila di curigai metastae tulang)
 Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan
tumor kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau
inflamasi ke saraf otak .

PENATALAKSANAAN

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan


pada penggunaan megavolta dan pengaturan dengan computer.
Pengobatan tambahan yang di berikan dapat berupa diseksi leher
, pemberian tetrasiklin,factor transfer ,interferon,kemotrapi
,seroterapi ,vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan
ini masih dalam pengembangan .
Pengobatan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak hilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai , tetapi denga syarat tumor
induknya sudah hilang yang di buktikan dengan pemeriksaan
radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu)atau
kambuh (residif) di indikasikan , tetapi sering timbul komplikasi
yang berat akibat operasi.( Roezin A ,Anida S)

PHATOFISIOLOGI

Virus estain barr


-Geografis

-jenis kelamin Pertumbuhan sel


abnormal Ganggaun pendengaran
-pekerjaan
Karsinoma nasofaring Penumbatan muara tuba
-gaya hidup
-Makanan diawetkan

-genetik Metastasi sel-sel Penekanan pada tuba


kanker ke kelenjar austasius
Pertumbuhan dan getah bening melalui
perkembangan sel- aliran limfe
sel kanker di
kelenjar getah Benjolan masa pada
bening leher bagian
samping

Kelenjar melekat Menembus kelenjar Konstipasi


pada otot dan sulit dan mengenai otak
digerakkan dibawahnya
Rangsangan

Nyeri Indikasi Iritasi traktus GI


kemoterapi

Perangsangan elektrik zona Supresi sumsum tulang


Mual muntah pencetuus kemopreseptor
diventrikel IV otak
Gangguan pembuluh
Ketidakseimbang sel darah merah
an nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh Leukosit ,trombosit
,eritrosit
Resiko perubahan Stomatitis
membra mukosa oral

Anoreksia

Merusak sel-sel kulit

Kerusakan intregitas Kerusakan pada


kulit kulit kepala

Ganggaun HDR
Aloplesia

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas/ biodata klien
1. Nama
2. Tempat tanggal lahir
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Agama
6. Warga Negara
7. Bahasa yang digunakan
Penanggung Jawab
1. Nama
2. Alamat
3. Hubungan dengan klien
b. Keluhan Utama
Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah
menelan, badan merasalemas, serta BB turun drastis dalam waktu
singkat.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
d. Riwayat kesehatan masa lalu
e. Riwayat kesehatan keluarga
f. Keadaan lingkungan.
2. DIAGNOSA
Ketidak Efektifan Bersihan Jalan Nafas (00031/ nanda. Hal
401)
Definisi: Ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi
dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas.
Batasan karakteristik :
o Batuk yang tidak efektif
o Dispnea
o Gelisah
o Kesulitan verbalisasi
o Mata terbuka lebar
o Ortopnea

Factor yang berhubungan :

 Lingkungan
Perokok , perokok pasif , terpajan asap
 Obstruksi jalan nafas
Adaanya jalan nafas buatan , benda asing
dalam jalan nafas , eksudat dalam alveoli
 Fisiologis
Asma , disfungsi neuromuscular , infeksi ,
jalan nafas alergik
3. Intervensi (NIC)

OSTEOSARCOMA

1. DEFINISI
Sarkoma adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle.
1999: 244 ). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel anaplastik
yang menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh
dalam tubuh.( Wong. 2003: 595 ).
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari
mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 ).
Sarkoma osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang
primer yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang tempat
yang paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang,
terutama lutut. ( Price. 1998: 1213 ).
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna
yang paling sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen awal
ke paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma sering sudah
menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.( Smeltzer. 2001: 2347 ).
Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia
proksimal dan humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis,
kolumna, vertebra, mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan
dan kaki. Lebih dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut. ( Otto.2003 : 72 ).
Sarkoma osteogenik atau osteosarkoma adalah merupakan neoplasma
tulang primer yang sangat ganas.
Osteosarkoma merupakan tumor tulang maligna primer yang paling lazim
dan seringkali berakibat fatal dan dapat timbul sebagai metastase sekunder dari
ekstrimitas tungkai pada 50% kasus. Biasanya terdapat pada lokasi bekas radiasi
atau lebih sering sebagai penyerta pada penyakit paget. Osteosarkoma sering
terjadi pada laki-laki pada kelompok usia 10-25 tahun dan pada orang tua yang
mengalami penyakit paget.

2. ETIOLOGI
a. Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
b. Keturunan
c. Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat
pajanan radiasi).
d. Virus onkogenik ( Smeltzer. 2001: 2347 ).

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Tulang paha atau femur adalah bagian tubuh terbesar dan tulang terkuat
pada tubuh manusia. Ia menghubungkan tubuh bagian pinggul dan lutut. Femur
pada ujung bagian atasnya memiliki caput, collum, trochanter major dan
trochanter minor. Bagian caput merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan
berartikulasi dengan acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada
pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, yaitu tempat
perlekatan ligamentum dari caput. Sebagian suplaii darah untuk caput femoris
dihantarkan sepanjang ligamen ini dan memasuki tulang pada fovea.
Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang femur, berjalan
ke bawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 derajat (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut
ini perlu diingat karena dapat dirubah oleh penyakit.
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher
dan batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea
intertrochanterica di depan dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian
belakang, dan padanya terdapat tuberculum quadratum.
Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke depan. Ia
licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian posteriornya
terdapat rabung, linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.
Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju
tuberculum adductorum pada condylus medialis.Tepian lateral menyatu ke bawah
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di
bawah trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah
berhubungan dengan linea aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan
membentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, disebut fascia
poplitea.
Ujung bawah femur memiliki condylus medialis dan lateralis, yang di
bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan anterior
condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut
membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan
medialis. Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus
medialis.

4. PATOFISIOLOGI
Sarkoma osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer
yang sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang
paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama
lutut.
Penyebab osteosarkoma belum jelas diketahui, adanya hubungan
kekeluargaan menjadi suatu predisposisi. Begitu pula adanya hereditery.
Dikatakan beberapa virus onkogenik dapat menimbulkan osteosarkoma pada
hewan percobaan. Radiasi ion dikatakan menjadi 3% penyebab langsung
osteosarkoma. Akhir-akhir ini dikatakan ada 2 tumor suppressor gene yang
berperan secara signifikan terhadap tumorigenesis pada osteosarkoma yaitu
protein P53 ( kromosom 17) dan Rb (kromosom 13).
Lokasi tumor dan usia penderita pada pertumbuhan pesat dari tulang
memunculkan perkiraan adanya pengaruh dalam patogenesis osteosarkoma. Mulai
tumbuh bisa didalam tulang atau pada permukaan tulang dan berlanjut sampai
pada jaringan lunak sekitar tulang epifisis dan tulang rawan sendi bertindak
sebagai barier pertumbuhan tumor kedalam sendi. Osteosarkoma mengadakan
metastase secara hematogen paling sering keparu atau pada tulang lainnya dan
didapatkan sekitar 15%-20% telah mengalami metastase pada saat diagnosis
ditegakkan. (Salter, robert : 2006).
Adanya tumor di tulang menyebabkan reaksi tulang normal dengan
respons osteolitik (destruksi tulang) atau respons osteoblastik (pembentukan
tulang).
Beberapa tumor tulang sering terjadi dan lainnya jarang terjadi, beberapa
tidak menimbulkan masalah, sementara lainnya ada yang sangat berbahaya dan
mengancam jiwa.
Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang panjang dan biasa
ditemukan pada ujung bawah femur, ujung atas humerus dan ujung atas tibia.
Secara histolgik, tumor terdiri dari massa sel-sel kumparan atau bulat yang
berdifferensiasi jelek dan sring dengan elemen jaringan lunak seperti jaringan
fibrosa atau miksomatosa atau kartilaginosa yang berselang seling dengan ruangan
darah sinusoid. Sementara tumor ini memecah melalui dinding periosteum dan
menyebar ke jaringan lunak sekitarnya; garis epifisis membentuk terhadap
gambarannya di dalam tulang.
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel
tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses
destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik,
karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang baru
dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang abortif.

5. ABSES
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksii bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan
terjadi infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-
sel yang terinfeksi.
Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan
infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah
putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang
mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di
sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses; hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut.
6. GAMBARAN KLINIS
a. Rasa sakit (nyeri), Nyeri dan atau pembengkakan ekstremitas yang terkena
(biasanya menjadi semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan
progresivitas penyakit).
b. Pembengkakan, Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta
pergerakan yang terbatas (Gale. 1999: 245).
c. Keterbatasan gerak
d. Fraktur patologik.
e. Menurunnya berat badan
f. Teraba massa; lunak dan menetap dengan kenaikan suhu kulit di atas massa serta
distensi pembuluh darah maupun pelebaran vena.
g. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan
menurun dan malaise (Smeltzer. 2001: 2347).
7. LABORATORIUM dan RADIOGRAFI
Studi radiografikal, scan MRI dan CT pada tulang yang terkena penyakit,
mielogram, artetiografi, dan essai biokimia darah dan urine akan memberikan
informasi diagnostic. Pada radiografi, terdapat tanda kerusakan tulang di dalam
diafisis dengan erosi korteks tulang, terangkatnya periosteum terlihat pada tepi
lesi di tempat terbentuknya tulang baru di bawah (segitiga codman). Terbentuknya
tulang baru terlihat di dalam medula atau korteks tulang, tergantung dari tumor
tersebut apakah osteolitik atau osteoblastik.
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
a. Pemeriksaan radiologis menyatakan adanya segitiga codman dan destruksi tulang.
b. CT scan dada untuk melihat adanya penyebaran ke paru-paru.
c. Biopsi terbuka menentukan jenis malignansi tumor tulang, meliputi tindakan
insisi, eksisi, biopsi jarum, dan lesi- lesi yang dicurigai.
d. Skening tulang untuk melihat penyebaran tumor.
e. Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan adanya peningkatan alkalin fosfatase.
f. MRI digunakan untuk menentukan distribusi tumor pada tulang dan penyebaran
pada jaringan lunak sekitarnya.
g. Scintigrafi untuk dapat dilakukan mendeteksi adanya “skip lesion”, ( Rasjad. 2003).
9. DIAGNOSA BANDING
a. Lesi tulang infeksiosa terutama karena sifilis.
b. Neoplasma tulang yang lain seperti khondrosarkoma
c. Tumor sel datia atau defosit metastasis karsinomatosa pada tulang dari tumor
primer.
10. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat
didiagnosis. Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor,
pencegahan amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara
maksimal dari anggota tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan
meliputi pembedahan, kemoterapi, radioterapi, atau terapi kombinasi.
Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan
kemoterapi. Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin
(doksorubisin) cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi
(MTX) dengan leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau
dalam kombinasi.
Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian
cairan normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti fosfat,
mitramisin, kalsitonin atau kortikosteroid. ( Gale. 1999: 245 ).
b. Tindakan keperawatan
1) Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan imajinasi) dan farmakologi (pemberian analgetika).
2) Mengajarkan mekanisme koping yang efektif
Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan
berikan dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli
psikologi atau rohaniawan.
3) Memberikan nutrisi yang adekuat
Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek
samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat.
Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal.
Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan indikasi dokter.
4) Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan
terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di
rumah. (Smeltzer. 2001: 2350 ).
5) Jika diperlukan traksi, Prinsip Perawatan Traksi
a) Berikan tindakan kenyamanan ( contoh: sering ubah posisi, pijatan punggung )
dan aktivitas terapeutik.
b) Berikan obat sesuai indikasi contoh analgesik relaksan otot.
c) Berikan pemanasan lokal sesuai indikasi.
d) Beri penguatan pada balutan awal / pengganti sesuai dengan indikasi, gunakan
teknik aseptic dengan tepat.
e) Pertahankan linen klien tetap kering, bebas keriput.
f) Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar.
g) Dorong klien untuk menggunakan manajemen stress, contoh: bimbingan
imajinasi, nafas dalam.
h) Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan
i) Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh: edema,
eritema.
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk menghancurkan atau mengankat
jaringan maligna dengan menggunakan metode yang seefektif mungkin.
Secara umum penatalaksanaan osteosarkoma ada dua, yaitu:
a. Pada pengangkatan tumor dengan pembedahan biasanya diperlukan tindakan
amputasi pada ekstrimitas yang terkena, dengan garis amputasi yang memanjang
melalui tulang atau sendi di atas tumor untuk control lokal terhadap lesi primer.
Beberapa pusat perawatan kini memperkenalkan reseksi lokal tulang tanpa
amputasi dengan menggunakan prosthetik metal atau allograft untuk mendukung
kembali penempatan tulang-tulang.
b. Kemoterapi
Obat yang digunakan termasuk dosis tinggi metotreksat yang dilawan dengan
factor citrovorum, adriamisin, siklifosfamid, dan vinkristin.

11. KOMPLIKASI
a. Akibat langsung : Patah tulang
b. Akibat tidak langsung : Penurunan berat badan, anemia, penurunan kekebalan
tubuh
c. Akibat pengobatan : Gangguan saraf tepi, penurunan kadar sel darah, kebotakan
pada kemoterapi.

12. PROGNOSA
Prognosa jelek, hanya kira-kira seperlima atau kurang dari 10 persen yang
kasus yang mempunyai harapan hidup / bertahan sampai / lebih dari 5 tahun.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN OSTEOSARCOMA

A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, pendidkan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, dan lain-lain.
2. Riwayat kesehatan
a. Pasien mengeluh nyeri pada daerah tulang yang terkena.
b. Klien mengatakan susah untuk beraktifitas/keterbatasan gerak
c. Mengungkapkan akan kecemasan akan keadaannya.
3. Pengkajian fisik
a. Pada palpasi teraba massa pada derah yang terkena.
b. Pembengkakan jaringan lunak yang diakibatkan oleh tumor.
c. Pengkajian status neurovaskuler; nyeri tekan
d. Keterbatasan rentang gerak
4. Hasil laboratorium/radiologi
a. Terdapat gambaran adanya kerusakan tulang dan pembentukan tulang baru.
b. Adanya gambaran sun ray spicules atau benang-benang tulang dari kortek
tulang.
c. Terjadi peningkatan kadar alkali posfatase.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai