Anda di halaman 1dari 20

PENDIDIKAN JIWA MENURUT IBN QOYYIM AL-JAUZIYYAH

Model Pendidikan dalam Islam

Muhammad Habibie

Abstract
In this modern era intellectual education is more prioritized than mental
education. So many humans have found intellectual intelligence, but do not have
emotional intelligence. One solution to solve this problem is by applying
education to the soul. One of Muslim scholars who is authoritative in talking
about the soul is Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Based on the Qur'an and the Sirah
Nabawiyah, he formulated a method in educating the human soul. He offers
imaniyyah education and khuluqiyyah education as the primary concepts of
education. According to him, soul education is to install early values of the
Qur'an and morality exemplified by the Prophet in his sirah. So that later humans
in their adult years become intellectually and spiritually intelligent people.
Keywords : Pendidikan Jiwa, Sirah Nabawiyah, Murabbi, Nafs, Ruh

A. Pendahuluan
Keberadaan pendidikan jiwa menjadi penting untuk dibahas. Karena
pendidikan jiwa memainkan peranan penting dalam menentukan kualitas
kehidupan seorang manusia. Di dalam diri manusia memiliki potensi harusdi
arahkan kepadaperkembangan yang lebih sempurna, yaitu fisik, intelektual dan
budi pekerti.1 Lalu, al-Attas juga menambahkan pendidikan bukanlah sekedar
menghasilkan warga negara yang baik. Akan tetapi lebih tepat untuk
menciptakan manusia yang baik.2 Oleh sebab itu untuk mendidik manusia yang
berkualitas harus menyentuh pada unsur dasar manusia yaitu jiwa.

1
Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1990), P. 2.
2
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-
attas Terj. Hamid Fahmi, M.Arifin Ismail, dan Iskandar Amel: The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Bandung: Mizan, 2003) Al-Attas, pemikir
komtemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan
dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga
negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah menciptakan manusia yang baik.
Pada September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian menjadi
menteri dalam negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga

1
Namun dewasa ini pendidikan belum dapat menghasilkan manusia yang
baik. hal ini disebabkan problem pendidikan tak kunjung berarti. Dengan
melihatkejadian-kejadian yang tidak mencerminkan seorang yang
berpendidikan dan sering terjadi di Nusantara ini, misalnya seorang murid yang
memukuli gurunya,3 seorang anak yang memenjarakan ibunya.4 Apalagi sering
kita baca dan dengar orang yang berpendidikan, namun saling mencaci dan
mencekal satu sama lain. Oleh karna itu perlu adanya pedidikan terhadap jiwa
manusia.
Dengan demikian, ilmu psikologi atau pendidikan jiwa menjadi penting
bagi kehidupan manusia dan perlu dilihat kembali sebagai bagian dari
kehidupannya. Diantara pemikir besar Islam yang telah memberikan perhatian
besar dalam masalah psikologi ini adalah Muhammad bin Abi Bakr bin
Qoyyim yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Qoyyim al-Jauziyyah (w. 751
H). Beliau adalah salah satu ulama yang menulis yang berkaitan dengan jiwa.
salah satu buku yang membahas tentang tersebut adalah al-Rûh. dalam buku
tersebut, dia memberikan satu fokus khusus mengenai pembahasan ruh beserta
nafs. Salah satu kutipan beliau, bahwa hakekat manusia secara tabiat adalah
baik. Bahkan Ibnu Qoyyim memiliki metode tersendiri dalam mendidik nafs
sejak dini.5 Hal ini juga terwujud dalam metode yang beliau tulis, untuk
mendidik jiwa menjadi jiwa yang sehat.6
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pendidikan jiwa
prespektif Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah. Sebelum melangkah lebih mendalam
kepada pendidikan Jiwa Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, alangkah lebih baik untuk
mengenal terlebih dahulu sekilas tentang kehidupan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah.

tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang
sempurna(complete citizen), tetapi untuk memunculkan manusia paripurna, P. 172.
3
https://regional.kompas.com/read/2018/02/03/10041991/penganiayaan-guru-oleh-siswa-di-
sampang-begini-kronologinya diakses pada Rabu, 10 Oktober, 2019, 09:13WIB
4
https://regional.kompas.com/read/2018/01/15/09134901/amih-ibu-yang-tak-henti-digugat-
anak-kandungnya diakses pada Rabu, 10 Oktober,2019, 10:23 WIB
5
Lihat Muhammad bin Abi Bakr ayyub al-Jauziyyah Abu Abdullah, Tuhfatul al-Maudud Bi
Ahkami al-Maulud, (Damaskus: Dar Bayan, 1971 M-1391 H)
6
Abdul Aziz bin Abdullah al-Ahmad, al-Țariq ila Sihat al-Nafsiyyah, (Dȃr al-Fadhilah,
1999M), P. 38

2
B. Biografi Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah
Nama lengkap Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah dalam bukunya Hayatuhu wa
Atsaruhu mawariduhu adalah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad
bin Hariz al-Zar’iy al-Dimasqi Abi Abdillah Syamsuddin, tapi lebih dikenal
dengan nama Ibn al-Qoyyim al-Jauziyyah pada masanya. Beliau adalah putra
seorang ‘alim yang menjadi dewan kurator (Al-Qoyyim) madrasah Damsyiq di
Jauziyyah. Karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Qoyyim Al-
Jauziyyah. Beliau lahir di desa Zar’i (propinsi Huran)7 tanggal 7 Shafar 691 H./
4 febrauri 1292 M. Beliau wafat pada sepertiga terakhir malam Kamis, 13
Rajab 751 H./1350 M.8
Al-Jauziyyah adalah nama sebuah sekolah di Damaskus, yang diambil
dari nama pendirinya, yaitu Muhyiddin Abu Mahsin bin Yusuf bin
Abdurrahman bin Ali bin Al-Jauzi. Beliau wafat pada tahun 656 H. Madrasah
al-jauziyah selesai dibangun pada tahun 652 H.9 Semasa hidupnya Ibnu
Qoyyim adalah murabbi10 yang mulia dan telah bekerja di dalam ranah
pendidikan dengan seluruh tenaga dan ilmunya. Beliau adalah cendikiawan
Muslim yang bermadzhab Hambali dan ahli di berbagai bidang ilmu
diantaranya; ahli fiqih, ahli tafsir, penghafal al-quran, ahli ilmu nahwu, ahli
ilmu ushul, ilmu kalam, dan sekaligus seorang mujtahid.
Ibnu Qoyyim Al- Jauziyah adalah ahli fiqih yang hidup pada abab ke-13.
Dalam perkembangan ilmu yang dimilikinya ada beberapa guru yang
mempengaruhi pemikiran Ibnu Qoyyim Al- Jauziyyah diantaranya; Ibnu Abd
ad-Daim al Maqdisi, Ibnu Taimiyah, Badr Ibnu Jama’ah al Kinnani asy-Syafi’I
dan Al Muzzi penulis kitab Tahzib al Kamal, dari guru-gurunya tersebut yang
paling berpengaruh terhadap Ibnu Qoyyim adalah Ibnu Taimiyah.
Pandangan ulama terhadap Ibnu Qayyim, terutarama Ibnu Katsir
menyatakan bahwa Ibnul Qoyyim adalah orang yang banyak mendengar

7
Sebuah desa pertanian disebut Huran. Desa ini berada sekitar 55 mil, sebelah tenggara kota
Damaskus, Suriah. Lihat Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam,(yogyakata:
Pustaka Pelajar, 1 feb 2015) P. 465
8
Ibid. P. 462lihat juga Bakr bin Abdulllah Abu Zar, Hayyatuhu wa asaruhu
mawariduhu(Arabiyah Su’udiyah: Dar Ashimah,1412) P. 38
9
Ibid. P. 462
10
Murabby rabbany adalah seseorang yang berilmu pengetahuan, beramal dengan ilmunya
dan mengajarkan ilmunya.Ibn Qoyyim Muhammad bin Abu Bakr al-Zar’, Miftah Dar al-Sa’adah
Wa Mansyur Wilayah Wa al-Iradah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) juz 1, P. 124.

3
hadist, sibuk dengan ilmu, dan menguasai berbagai macam ilmu, khususnya
tafsir hadist dan ilmu ushul. Sementara pada kesempatan lain, Ibnu Hajar
berpendapat bahwa Ibnul Qoyyim adalah sosok pemberani, luas ilmu, banyak
mengetahui perbedaan pendapat dan madzhab salaf. Lalu, Asy-Syaukani
menambahkan bahwa Ibnul Qoyyim adalah ulama yang sangat menguasai
berbagai macam ilmu, unggul dalam pengetahuan, sangat terkenal, dan
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang mahzab salaf.
Dengan banyaknya ilmu yang dimiliki oleh Ibnul Qoyyim sehingga
beliaupun ikut andil melahirkan ulama-ulama terkemuka dan memiliki
kedudukan istimewa yang menjadi murid-muridnya diantaranya adalah; al
Hafiz Imaduddin Ibnu katsir, Al Hafizt Abdurrrahman Abu Al Faraj Ibnu
Rajab al Hanbali, dan Ibnu Abd al-Huda penulis kitab ash –Sharim al Manki fi
ar-Radd ‘ala as-Subki.
Cendikiawan Muslim ini terkenal sebagai reformis pemikiran Islam,
menguasai ilmu-ilmu agama dan juga ilmu lainnya seperti ilmu filsafat, kimia,
dan astronomi. Hampir seluruh karya-karya Ibnul Qoyyim berbicara tentang
akhlak, dan penyucian jiwa. Oleh karena itu, tak heran jika ulama ini disebut
sebagai spesialis penyakit hati (The scholar of the heart). Beberapa kalangan
juga memandang beliau sebagai kritikus tasawuf, namun sikap kritis tersebut
diberikan untuk ditujukan untuk memperlihatkan ajaran dan praktik tasawuf
yang menyimpang dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw.

C. Pengertian Pendidikan
Dalam pengertian Ibn Qoyyim kata Tarbiyah sama akarnya dengan kata
Rabbani.Kata Rabbani memiliki arti yang sama dengan tarbiyah, karena ia
derivasi dari kata kerja (fi’il) Rabbȃ-yurabbi yang artinya adalah mendidik,
subjeknya murabbi yang artinya orang yang mendidik (perawat). Tarbiyah
dalam pandangan Ibnu Qoyyim ini mencakup dua makna,yaitu:Pertama
tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah
yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut
sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut
terus bertamabah. Tarbiyah seperti ini di ibaratkan sebagai seorang yang

4
berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang
berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang
murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan
ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan
kepadanya secara bertahap. Tarbiyah sepeti ini diibaratkan seperti orang tua
yang mendidik dan merawat anak-anaknya.11 Oleh karna itu seorang murabbi
harus selalu menjaga dan mengawasi peserta didiknya untuk menuju
perkembangan.
Di sisi lain Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa tarbiyah adalah sesuatu
yang membentuk sifat seseorang agar menjadi jujur, adil, berbakti kepada
kedua orang tua, berakhlak mulia menjauhkan diri dari segala sifat yang
tercela.12 Jadi untuk mencapai tujuan tarbiyah harus selalu melalukan hal
kebaikan dan menghindari hal-hal yang buruk.
Akan tetapi, untuk mengubah hal yang buruk menuju kepada hal
kebaikan diperlukanbeberapa proses. yaitu pengubahan cara berpikir dan
tingkah laku seorang melalui pengajaran, penyuluhan dan latihan yang
dilakukan secara sistematis.13 Sehingga Pendidikan sebagai suatu proses
transformasi nilai, keterampilan atau informasi yang disampaikan secara
formal atau tidak formal, dari satu pihak ke pihak lain. Maka tujuan pendidikan
di atas, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut
dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan
kehidupan.

D. Pendidikan jiwa
Berkaitan dengan Pendidikan jiwa Ibnu Qoyyim mencanangkan konsep
pendidikan Islam. Sebab menurut Ibnu Qoyyim bahwa tujuan tarbiyah yang
utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak

11
Ibn Qoyyim Muhammad bin Abu Bakr al-Zar’, Miftah Dar al-Sa’adah Wa Mansyur
Wilayah Wa al-Iradah,op. cit, P. 124.
12
Ahmad Taqiyuddin, Ibn Taimiyyah, al-Jawabushohih Liman Badala Din al-Masih,
(Riyad: Dar Ashimah, 1414) juz 5 P. 438.
13
AfandiMochtar dan Kusuma, Model Baru Pendidikan; Restropeksi dan
ProyeksiModernisasi Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta :Direktorat Pendidikan Tinggi
IslamDepartemen Agama RI, 2008), P. 9

5
jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah
(penghambaan) kepada Allah Ta’ala.14 Yang demikian itu dikarenakan bahwa
Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-
Nya.15 Jadi tujuan utama diciptakannya seorang hamba adalah beribadah
kepada Allah.
Sedangkan pengertian jiwa sendiri, menurut Ibnu Qoyyim bahwa jiwa
dan ruh adalah dzat yang sama, jiwa adalah sebuah dzat yang ada dan
substansial yang bersifat nurani ‘alawi khafif hayy mutaharrik atau jisim yang
mengandung nur, berada di tempat tinggi, lembut, hidup dan dinamis. Maka,
jika ruh disifatkan dengan kehidupan badan, maka jiwa disifatkan dengan
kemulian badan, karena kemampuannya untuk bergerak dan melakukan
berbagai hal yang tidak akan mampu dilakukan badan jika tanpa keberadaan
jiwa atau ruh.16 Dalam hal ini Ibn Jauzi pun turut memberikan tambahan bahwa
manusia merupakan makhluk jasadiyah dan ruhiyyah sekaligus. Manusia pada
hakikatnya adalah makhluk ruhani, yaitu makhluk yang bukan hanya diukur
dari fisik atau fungsinya, melainkan pada jiwa.17 Oleh karena itu, yang
seharusnya menjadi dasar fokus bukan perubahan fisik semata tapi juga
perubahan ruhani.
Ada pun pandangan ulama kontemporer seperti Hamka menegaskan,
manusia merupakan mahkluk yang terdiri dati dua tuh yaitu tubuh kasar (jism)
dan tubuh halus.18 Maka jiwa menjadi patner bagi jism dalam mengerjakan
segala sesuatu. Oleh karenanya, diperlukan pendidikan untuk mendidiknya
menuju kesempurnaan. Karena Pendidikan tidak cukup hanya sebatas olah
jasmani, akan tetapi harus diiringi dengan pendidikan ruhani. Yang mana,
pendidikan yang hanya fokus kepada jasmani, hanya memberikan dampak
temporal. Pun, efek yang dihasilkan bukan kesadaran, melainkan keterpaksaan.
14
Abu Bakr Bin Ayyub azzara’i abu abdillah,Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, Miftahu Dar
Saadah wa mansyuru wilayatul Ilmi wal Iradah, op. cit, P. 70
15
QS Adz-Dzariat:56
16
Muhammad Abu Bakr bin Abi Ayyub Azzarai Abu Abdillah, al-Ruh Fi Kalami ‘ala
Arwahi al-Amwati Wal Ahyai Bil Dalaili Min Kitabi Wa Sunnah, (Bairut: Dar Kutub al-Ilmiyah
1975 m- 1395 h) P. 178. Lihat jugaDr. Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para
Filosof Muslim,Terj. Gazi Saloom, S.Psi: Ad-Dirasat an-Nafsiayah inda al-Ulama al-Muslimin, (
Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) P.359.
17
Ibn Jauzi, Ar-Ruhani, (Kairo: Maktabah At-Tsaqofah, 1986)P. 15
18
Dinar Kania, Hamka dan Konsep Pendidikan Jiwa, dikutip dalam Jurnal pemikiran dan
peradaban Islam (ISLAMIA), vol. IX No. 1 Maret 2014, P. 70

6
Dari sinilah, pentingnya memperbaiki cara didik dengan memperhatikan
pendidikan jiwa.
pendidikan jiwa pada hakikatnya adalah untuk membersihkan jiwa dari
segala hal yang mengotorinya sehingga jiwa tersebut menjadi suci (nafs
thahirah). Karena jiwa menempati tempat terentan terhadap pengaruh
eksternal dan paling rapuh serta lemah. Ia digambarkan dengan sifat
kebodohan, kegelapan dan cenderung kepada kejahatan. Oleh karena itu, agar
manusia dapat menjadi pribadi yang baik dan mulia akhlaknya, maka harus ada
porsi untuk mendidik jiwa. karena dari jiwa, lahirlah akhlak mulia yang telah
terepresentasi secara baik oleh Nabi Muhammad.19

1. Unsur Jiwa Manusia


Lebih lanjut Menurut Ibnu Qoyyim menjelaskan, bahwa jiwa (nasf)
manusia pada hakekatnya adalah satu (nafs wahidah). Akan tetapi ia terbagi
menjadi tiga bagian.20
Yang pertama, jiwa yang tenang (NafsMutmainnah). Yaitu jiwa yang
dekat kepada Allah, yang tunduk beribadah kepada Allah, yang
mencintaNya, mencari keridhaan-Nya, serta bertawakkal kepadaNya.
Termaktub dalam ayat,“Wahai jiwa yang tenang”21
Kedua, jiwa yang menyesal (Nafs Lawwâmah). Yaitu jiwa yang selalu
dirundung keraguan dan sering berubah, oleh karena inilah jiwa ini disebut
sebagai lawwamah karena terlalu seringnya jiwa ini menyesal dan mencela
jasad.“Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan aku bersumpah dengan
jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”22
Ketiga, jiwa yang penyuruh (Nafs Ammârah). Yaitu jiwa yang selalu
menyuruh kepada setiap keburukan. Disebutkan dalam al-Qur’an “...Karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.”23

19
QS. Al-Qalam: 04
20
Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr Ibn Qoyyim, al-Ruh,(Kairo: Da>r al-
Hadits, 1424-2003) P. 275
21
QS. Al-Fajr: 27
22
QS. Al-Qiyamah: 1-2
23
QS. Yusuf: 53

7
E. Urgensi Pendidikan jiwa
Ibnu Qoyyim berpendapat, bahwa dalam penciptaan, hakikat manusia
terdiri dari tiga unsur yang saling berkaitan ruh, akal dan jasad. 24 Jadi,
pendidikan manusia yang baik, harus meliputi tiga unsur dasar penciptaan
tersebut. Pendidikan yang baik dan komprehensif tersebut mencakup
penjagaan, pendidikan, dan pengarahan. Baik, Unsur ruh, akal dan juga jasad,
yang merupakan elemen tempat ruh dan akal. Tiga unsur inilah yang
menjadikan manusia sebagai manusia.25 Unsur ini harus saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya, sehinggamanusia tidak dapat dinilai hanya dari
kelebihan salah satunya saja, sebab masih ada unsur yang lain.
Mendidik jiwa sangat penting. Bahkan menurut Ibnu Qoyyim, dalam
pengobatan, lebih sulit mengobati jiwa yang sakit daripada raga yang sakit. Hal
ini, karena kesehatan raga sangat terpengaruh oleh kondisi jiwa. jika kondisi
jiwa sehat, maka akan mudah untuk mengkondisikan raga dan jasad untuk
sehat.26Karena dari jiwa muncul sugesti dan energi positif yang berdampak
kuat pada raga.
Ibnu Qoyyim juga turut memberikan solusi, bahwa metode para rasul dan
nabi Allah dalam mendidik jiwa adalah cara terbaik.27Hal ini karena, jiwa
sangat dipengaruhi oleh keyakinan, dan keyakinan adalah modal utama untuk
menjadi asas keketenanagan jiwa dan kehidupan.28 Tugas rasul dan nabi adalah
mengajarkan tauhid kepada ummat, tentang keesaan Allah dan kekuasaan-
Nya.29 Dia tempat kembali segala urusan dan tempat untuk berharap. Salah
satu buah dari tauhid dan keyakinan yang benar inilah, lahir sikap dan mental
positif.Maka, pembelajaran akan tauhid dan keyakinan yang benar memberikan
dampak yang baik untuk kesehatan jiwa, dan begitu juga akan mempengaruhi

24
Hasan bin Ali Al-Hajaji, al-Fikri al-Tarbawi Inda Ibn al-Qoyyim, (Jeddah: Dȃr Hafiz,
1988), P. 221
25
Ibid, P. 99
26
Ibnu Qoyyim, Madȃrij al-Sȃlikin, jil. 2, P. 503.
27
Ibid jil. 1, P. 315.
28
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Alam Roh, (Sukoharjo: Insan Kamil 2014) Cet. 1, P. 423.
29
Hafidz bin Ahmad Hakami, Ma’rijul al-Qubul bi Syarhi Salmi al-Wusul ila Ilmi al-
Usul, (Damam: Dar Ibn Qoyyim 1990 M-1310 H) jil. 2, P. 403

8
kesehatan raga.30Inilah sumbangsih dari pemikir muslim, begitu peduli pada
urgensitas pendidikan jiwa.

F. Metode Ibnu Qoyyim dalam Mendidik Jiwa

Menurut ibnu Qayyim al-jauziyyah, sebelum menjalani pendidikan


aqliyyah seseorang hendaknya mendidik terlebih dahulu jiwanya sejak dini.
Dengan berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sirah Nabawiyyah, Ibnu Qoyyim
al-jauziyyah merancang dua konsep pendidikan jiwa. Yang pertama yaitu
Pendidikan Iman yang menanamkan aqidah dan keyakinan dalam jiwa
manusia, agar menguatkan amalnya. Dan yang kedua yakni pendidikan
khuluqiyyah yang membentuk karakter dan perilakunya. Kedua metode ini
diharapkan dapat menciptakan jiwa yang senantiasa taat pada Allah dan Rasul-
Nya serta mampu mengarahkan pola pikir dan tingkah laku si manusia.

1. Pendidikan Imaniyyah
Iman menjadi pondasi bagi seseorang dalam beraktifitas. Menurut
Ibnu Qoyyim iman merupakan kesaksian, lalu meningkatkan kualitasnya
serta menyempurnakannya dengan mengerjakan amal kebaikan.31Semakin
banyak amal kebaikannya maka semakin bertambah keimanannya.
Untuk itu seorang murabbi harusterus mengikat anak dengan dasar-
dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun islam
sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak
usia dini.32 Sehingga menjadikan seseorang sempurna keimanannya.
Ada dua unsur dasar dalam menyempurnakan iman. Pertama,
kecintaan dalam beramal,kedua, menjauhi larangannya.33 Jika dua unsur
didasari karena Allah semata, maka sempurnalah iman, ia berada di posisi
teratas. Akan tetapi, jika ada salah satu unsur tadi yang tidak murni karena

30
Hamka, Tasawwuf Modern,cet. IV( Jakarta: Panjimas, 2003) P. 138
31
Ahmad Taqiyuddin, Ibn Taimiyyah, Amra<<<<>d al-Qulub Wa Shifauha>, (Ka>iro:
al-Matba’ah al-Salafiyah, 1399) P. 27
32
Hasan bin Ali Al-Hajaji, al-Fikri al-Tarbawi Inda Ibn al-Qoyyim, op. cit,P. 191
33
Ibid, P 191

9
Allah, maka iman pun berkurang kadarnya.34Oleh karena itu semakin
banyak amal kebaikannya maka akan bertambah keimananya.
Ibnu Qoyyim menjelaskan lebih lanjut, iman itu terdiri dari ilmu dan
amal. Ilmu adalah menyerap sesuatu apa yang telah diketahui dari luar
badan menetapkannya didalam jiwa, sedangkan amal menyampaikan
pengetahuan dari dalam jiwa dan menetapkannya di luar.35 Oleh karena itu
ilmu menjadi pondasi bagi amal.
Dan yang paling penting dalam beramal adalah kejujuran hati. Apalagi
dalam membina iman. Karena orang munafik yang tempat kembalinya
nerakan paling bawah, juga melafalkan kalimat syahadat. Tapi hati mereka
tidak jujur dalam beriman. Inilah hakekat iman yang dikehendaki oleh Ibnu
Qoyyim dalam penjelasannya.36Jadi, seluruh amalan hati atau badan adalah
buah dari ilmu.
Dan keimanan, tak cukup hanya keyakinan dalam hati. harus ada
amalan yang menjadi bukti. ini pendapar Ibnu Qoyyim mengenai Iman yang
sesuai dengan gurunya Ibnu Taimiyyah. Jadi, iman mencakup keyakinan
hati, amalan hati dan amalan badan.37Sehingga setiap amalan yang
dikerjakan selalu tertuju kepada Allah.
Jadi, tarbiyah iman mencakup empat hal. Pertama Meyakini yang
dibawa oleh Rasul. Kedua Taat terhadap perintah. Ketiga Menolak segala
bentuk syubhat. Dankeempat bersungguh-sungguh dalam melawan hawa
nafsu. Dari keempat hal ini, adalah bentuk upaya dalam menjaga stabilitas
keimanan.
Tujuan dari tarbiyah imaniyah ini adalah untuk membentuk
masyarakat islami. Berangkat dari mendidik iman pribadi. Karena, tugas
mendidik keimanan ini dibebankan kepada para nabi dan rasul. Untuk
membina umat demi menyongsong kehidupan masyarakat yang lebih islami.

2. Pendidikan Khuluqiyah

34
Ibid, P 193
35
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, al-Fawa’id Menuju Pribadi Takwa. Terj; Munir Abidin: al-
Fawa’id,(Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar 2003) P. 90
36
Hasan bin Ali Al-Hajaji,Al-Fikiri al-Tarbawi Li Ibni Qoyyim, op. cit, P. 194
37
Ibid. P 197

10
Dalam Islam,Tarbiyah Khuluqiyah mencakup seluruh aspek.Akhlak
dan adab merupakan asas dan pondasi untuk menuntut ilmu.Frame dalam
membentuk dan menilai akhlak dan adab adalah baik dan buruk. Maka,
perlunya alat pengukur atau dasar dalam menentukan sifat dan
perilakuseseorang itu baik atau buruk yang absolut. Dan pengukur itu adalah
al-Qur’an dan al-Hadis.38Hal ini terinterpretasi dalam hadits yang ketika
Aisyahditanya tentang akhlak Rasulullah Ṣallāllahu‘alaihi wa sallam, Ia
menjawab:“ Akhlak Rasulullah adalah al-Qur‟an”Maksud perkataan
Aisyah adalah segala tingkah laku dan tindakan Rasulullah Ṣallāllahu
‘alaihi wa sallam baik yang zahir maupun yang batin senantiasa mengikuti
petunjuk al-Qur‟an. Karena dalam al-Qur’an ada konsep kebaikan, yang
menjadi pedoman umat Islam untuk berbuat baik dan menjahui segala
perbuatan yang buruk.39Maka dari itu Rasulullah SAW adalah representasi
dan contoh yang sempurna bagi sahabat-sahabatnya dan manusia secara
umum.40Dan begitu pula dalam Hadis Rasulullah:“Sungguh, aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”41

Dalam hadis tersebut bahwa tujuan akhir diutusnya Rasulullah


adalahmembimbing manusia agar menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
Karena akhlakadalah buah dari pengamalan syariat-syariat yang terkandung
di dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

Pendidikan akhlak dalam Islam, juga menempati posisi penting.


Karena akhlak baik merupakan buah dari keimanan yang benar.Pentingnya
akidah dalam pendidikan akhlak dapat dilihat dari nas-nas al-Qur’an dan al-
Hadis yang banyak mengaitkan pembentukan akhlak dengan akidah atau
iman.42 Misalnya dalam hadisNabi Ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam:“Orang

38
M.Ali Hasan, TuntunanAkhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), P. 11
39
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), P. 2Lihat juga
40
Hasan bin Ali Al-Hajaji, al-Fikri al-Tarbawi Inda Ibn al-Qoyyim, op. cit, P. 313.
41
Ṣidqī Muhammad Jamīl, al-Musnād al-Imām Ahmad bin Hambāl, Juz III (Beirut: Dārul
Fikri, 1994 M/1414 H), P. 323
42
AsmawatiSuhid, Pendidikan Akhlak dan Adab Islam, (Kuala Lumpur: Taman
ShamelinPerkasa, 2009), P. 8.

11
Mukmin yang paling sempurna Imannya ialah yang paling baik
Akhlaknya”43

Hadits ini menunjukkan bahwa semakin tinggi iman seseorang, maka


semakin baik pula akhlaknya, dan akhlak yang buruk menunjukkan
kekurangan pada imannya. Dengan demikian, akhlak merupakan refleksi
dari keimanan dan akhlak adalah buahnya.

Menurut Ibnu Qoyyim, sumber tarbiyah khuluqiyah itu adalah:


Pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), sebuah kitab yang menjadi panduan
dalam pendidikan umat yang telah disifati Allah sebagai sebaik-baik umat.44
firman-Nya,“Kalian adalah sebaik-baik umat yang yang dikeluarkan untuk
manusia.”45

Kedua, sumber mata air yang menjadi penyiram bagi ladang tarbiyah
khulukiyah adalah Sunnah Rasulullah sekaligus sirah perjalanan beliau yang
merupakan praktek amali bagi ajaran Islam. Rasulullah Saw teladan dalam
berakhlak mulia dan beliau adalah puncak semua akhlak mulia.46 Maka
beliau adalah teladan terbaik dalam mendidik akhlak.

Tujuan tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qoyyim adalah


merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi
kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia,
memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi.47 Tiada
kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan
menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang
baik.

Oleh karena itu metode yang ditawarkan Ibnu Qoyyim dalam


menanamkan akhlak mulia pada anak adalah dengan pembiasaan yang
terpuji serta keteladanan. Untuk mebentuk ahklak perlu pembiasaan secara

43
HR. at-Tarmidzi (no. 1162) dan Ahmad (no. 7402). Lihat Muhammad
NaṣiruddinalAlbāni, Ṣahih al-Jāmi‟ aṣ-ṢaġīrwaZiyādatuhu, Juz I (Beirut: Maktabah al-Islāmī,
1408 H/1988 M), P. 266
44
Hasan bin Ali Al-Hajaji, al-Fikri al-Tarbawi Inda Ibn al-Qoyyim, op. cit,P. 318
45
QS Ali Imron: 110
46
Ibnu Qoyyim, Miftah Dar Sa’adah, jil. 1, op. cit, P. 116
47
QS Al-Baqarah 30

12
terus menurus agar dapat tertanam hal-hal yang terpuji di dalam jiwa dan
diterima oleh tabiat.48 Ibnu Qoyyim dalam kitab Tuhfah Al Maudūd Bi
Ahkām Al Maulūd menyatakan bahwa:

“Anak kecil di masa kanak-kanaknya sangat membutuhkan


seseorang yang membina dan membentuk akhlaknya, karena ia akan
tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan
(yang ditanamkan oleh para pendidik). Jika seorang anak selalu
dibiasakan dengan sifat pemarah dan keras kepala, tidak sabar dan
selalu tergesa-gesa, menurut hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka
semua sifat itu akan sulit diubah di masa dewasanya. Maka jika
seorang anak dibentengi, dijaga dan dilarang melakukan semua
bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan benar-benar terhindar
dari sifat-sifat buruk itu. Oleh karena itu, jika ditemukan seorang
dewasa yang berakhlak buruk dan melakukan penyimpangan, maka
dipastikan akibat kesalahan pendidikan di masa kecilnya dahulu.”49

Sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi


karakter dan sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang
dengannya sang anak mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat agar dapat terbebas dari jeratan akhlak yang buruk.50 Maka dari itu
seseorang perlu menghentikan kebiasaan buruk dan mengantikan dengan
yang baik.

Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi tak ada orang yang mampu


mengalahkanke biasaan buruk, kecuali orang yang mempersenjatai dirinya
dengankemauan yang kuat dan semangat yang tak kenal padam. Kemauan
yang takpernah bergoncang dalam semangat yang tidak mengenal putus asa
danperasaan was-was. Inilah kunci kemenangan melawan kebiasaan buruk
yangtelah mempunyai kedudukan yang teguh dalam diri manusia. Dan
Imanmenjadi pondasi dalam memperteguh kemauan dan semangat
perjuangan sehingga dapat melumpuhkan kebiasaan buruk.51 Oleh karena

48
Sayyid Muhammad Al-Za’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu
Jiwa,(Jakarta: GemaInsani, 2007), P. 344.
49
Muhammad bin Abi Bakr ayyub al-Jauziyyah Abu Abdullah, Tuhfatul al-Maudud Bi
Ahkami al-Maulud, op. cit, P. 240
50
Abdurrahman Habbanakah al-Maidani, al-Akhlak al-Islamiyyah, (Damaskus: Dar al-
Qalam) cet. I jil. I P. 69
51
Yusuf Al-Qardhawi, MerasakanKehadiranTuhan, Terj. Jaziratul Islamiyah,
(Yogyakarta:MitraPustaka, 2003), P. 208

13
itu, menumbuhkan kebiasaan yang baru itu memerlukan pemikiran,
kesadaran,kesengajaan lebih tepanya adalah dengan keteladanan.

Keteladanan memberikan pengaruh besardalam pembentukan Akhlak


pada anak. Keteladanan yang dimaksud disiniadalah suatu metode
pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para peserta
didik, baik dalam ucapan maupun dalam perbutan.52Murabbi sebagai figur
terbaik dalam pandangan anak. yaitu dalam hal bersikap maupunberprilaku,
dalam keadaan sadar atau tidak, sebab hal itu akan ditiru oleh anak-anak.
Bahkan, segala perkataan, sikap, dan perbuatan pendidik, akan
selalutertanam dalam kepribadian anak.53 Maka dari itu seorang murabbi
harus selalu memberikan keteladan yang baik terhadap anak.

Keteladanan sangat penting diterapkan pada masa modern ini, karena


krisis keteladanan semakin terkikis. Banyak pemimpin, guru dan orang tua
yangtidak mencermikan keteladan yang berlandaskan kepada syariat
agama.Mahmud Yunus dalam buku Imam Bahroni mengatakan:

“Tidak layak kita menyuruh orang berbuat baik tapi kita


lupakan dirisendiri. Kita suruh orang beramal soleh tetapi kita
berbuat maksiat, kitasuruh orang berlaku jujur tetapi kita
sendiri korup, manipulatif, dancurang. Orang-orang seperti
inidipertanyakan oleh Allah. Apa kamutidak berakal?” Orang
yang berakal adalah orang yang selalu melakukanapa yang
dianjurkannya itu secara konsisten. Tidak ada lagi jarak
antarateori dan praktik.54
Maka dari itu seorang murabbi harus memberikan contoh teladan
yang terbaikuntuk diikuti oleh anak-anak didiknya.

Contoh keteladanan yang paling utama adalah semua sifat dan prilaku
yang terdapatpada diri Rasulullah Ṣallāllahu ‘alaihi wa sallam.55Di dalam
diri rasulullahterhimpun dan tercermin pribadi yang bersumber dari isi
kandungan al-Qur’an,yang bila dijadikan suri tauladan, akan mengantarkan

52
Ikhwan Hadiyyin, KiatSuksesMerajut Pendidikan Ukhuwah Islamiyah di Indonesia,
(Banten: PonpesDaar el-Azhar, 2016), P. 274
53
Abdullah NasihUlwan, Ensiklopedia Pendidikan AkhlakMulia, Terj. Ahmad Maulana
dkk,Juz 7(Jakarta: PT IkrarMandiri Abadi, 2012), P. 30.
54
Imam Bahroni, Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2012), P. 58
55
Lihat QS. Al-Ahzab: 21

14
seseorangkepada keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia danakhirat.56 Sehingga dapat membetuk seseorang selalu bersikap dan
berperilaku terpuji.

Dengan demikian, Maka hendaknya pembiasaan dan keteladanan ini


menjadi model pendidikan jiwa. Dengan Pembiasaan dapat membentuk
karakter serta dengan keteladanan dapat membentuk kepribadian dan al-
Qur’an sebagai pedoman hidup. Karena tujuan pendidikan islam adalah
membentuk pribadi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Oleh
sebab itu sebagai pendidik haruslah memiliki prilaku yang baik yang
berlandaskan kepada al-Qur’an dan Hadis.

56
Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), P. 213-214

15
G. Penutup
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah sebagai seorang ulama yang terkenal pada
masanya memimiliki konsep pendidikan jiwa. menurut Ibnu Qoyyim bahwa
manusia terdiri dari jiwa, akal dan jasad. Dan setiap jiwa, akal, serta jasad ini
perlu mendapatkan pendidikan sesuai dengan porsinya masing-masing agar
terbentuk manusia yang baik. Akal perlu diasah setiap hari agar kesehatan jiwa
tetap terjaga, karena jika akal dibiarkan menganggur dalam berfikir maka akan
tertimpa sakit dan kebingungan. Sedangkan jasad perlu penjagaan karna
merupakan wadah bagi akal dan jiwa. dan jiwa memiliki metode pendidikan
khusus yang tak kalah penting karena kesehatan raga dipengaruh oleh kondisi
jiwa. jika kondisi jiwa sehat, maka akan mudah untuk mengkondisikan raga
dan jasad untuk sehat.
Dalam pendidikan jiwa, Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa metode para
rasul dan nabi dalam mendidik jiwa adalah cara terbaik. Hal ini karena, jiwa
sangat dipengaruhi oleh keyakinan, dan keyakinan adalah modal utama untuk
menjadi asas ketenangan jiwa dan kehidupan. Keyakinan itu adalah iman yang
menjadi pondasi bagi seseorang dalam beraktifitas. Dan keimanan harus selalu
dijaga untuk meningkatkan kualitasnya serta menyempurnakannya dengan
mengerjakan amal kebaikan. Menurut Ibn Qoyyim ada dua unsur dasar dalam
menyempurnakan iman. Pertama, kecintaan dalam beramal, kedua, menjauhi
larangannya. Jika dua unsur didasari karena Allah semata, maka sempurnalah
iman, ia berada di posisi teratas. Akan tetapi, jika ada salah satu unsur tadi
yang tidak murni karena Allah, maka iman pun berkurang kadarnya.
KemudianIbnu Qoyyim menjelaskan lebih lanjut, bahwa dalam beramal
seseorang harus memiliki ilmu, oleh karena itu ilmu menjadi pondasi bagi
amal.
Akan tetapi untuk mendapatkan ilmu harus memiliki perilaku yang baik.
Perilaku yang baik ini didapat dari pendidikan akhlak yang menempati posisi
penting dalam Islam. Karena akhlak baik merupakan buah dari keimanan yang
benar. Maka akhlak harus didik lewat pembiasaan dan keteladanan. Dengan
Pembiasaan dapat membentuk karakter serta dengan keteladanan dapat

16
membentuk kepribadian, sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan islam
dalam membentukpribadi yang beriman, bertaqwa serta berakhlak mulia.
Dalam tradisi keilmuan islam, seorang guru bukan hanya sekedar
menyampaikan materi, guru juga harus menjadi keteladan dalam segala hal.
Yaitu dalam hal bersikap maupunberprilaku, dalam keadaan sadar atau
tidak.Sebab hal itu akan ditiru oleh anak-anak. Guru perlu mencontohkan
segala perkataan, sikap, dan perbuatan kepada anak didiknya sehinggatertanam
dalam kepribadian anak. Maka dari itu setiap guru harus memiliki ruh sebagai
seorang pendidik. Karna ruh seorang pendidik lebih penting dari pada pendidik
itu sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’rif,


1990).

Al-Ahmad, Abdul Aziz bin Abdullah, 1999, al-Tharîq ilâ Sihat al-Nafsiyyah,
Dâr al-Fadhîlah

Al-Albāni, Muhammad Naṣiruddin, 1988, Shahîh al-Jâmi‟ ash-Shagîr wa


Ziyâdatuhu, Juz I Beirut: Maktabah al-Islâmî

Al-Hajaji, Hasan bin Ali, 1988, al-Fikr al-Tarbawî ‘Inda Ibn al-Qoyyim,
Jeddah: Dâr Hâfiz}

Al-Maidani, Abdurrahman Habbanakah, t.t. al-Akhlâk al-Islâmiyyah, Juz I ,


Damaskus: Dâr al-Qalâm

Al-Qardhawi, Yusuf, 2003, Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Mitra


Pustaka

Al-Za’balawi, Sayyid Muhammad, 2007, Pendidikan Remaja antara Islam dan


Ilmu Jiwa, Jakarta: Gema Insani Press

Anwar, Rosihon, 2010, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia

Bahroni, Imam, 2012, Dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Kurnia Kalam

Hadiyyin, Ikhwan, 2016, Kiat Sukses Merajut Pendidikan Ukhuwah Islamiyah


di Indonesia, Banten: Ponpes Daar el-Azhar

Hakami, Hafidz bin Ahmad, 1990, Ma’ârijul al-Qubûl bi Syarhi Salmi al-
Wushûl ilâ Ilmi al-Ushûl, Juz II, Damâm: Dâr Ibn Qoyyim

Hamka, 2003, Tasawwuf Modern, Jakarta: Panjimas

Hasan, M.Ali, 1978, Tuntunan Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang,

18
Ibn Jauzi, 1986, Al-Rûhânî, Kâiro: Maktabah Al-Tsaqâfah,

Ibn Qoyyim, Muhammad bin Abu Bakr al-Zar’, 1412, Hayâtuhu wa asâruhu
mawâriduhu, Arabiyah Su’ûdîyah: Dâr A<shimah

_________, 1971, Tuhfatul al-Maudûd Bi Ahkâm al-Maulûd, Damaskus: Dar


al-Bayan

_________, 1975, al-Rûh Fî al-Kalâm ‘alâ Arwâh al-Amwât Wa al-Ahyâ’ Bi


al-Dalâ’ili Min al-Kitâb Wa al-Sunnah, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiyah

_________, 2003, al-Fawa’id Menuju Pribadi Takwa. Terj; Munir Abidin : al-
Fawa’id Jakarta Timur: Pustaka al-Kausar

_________, 2003, al-Rûh, Kâiro: Dâr al-Hadîts

_________,2014, Alam Roh, Sukoharjo: Insan Kamil

_________,Madȃrij al-Sȃlikin, jil. 2

_________, t.t, Miftâh Dâr al-Sa’âdah Wa Mansyûr Wilâyah Wa al-Irâdah,


Juz I Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah

Ibnu Taimiyah, Ahmad Taqiyuddin, 1414, al-Jawâb al-Sohîh Liman Badala


Dîn al-Masîh, Riyâd: Dâr ‘Âshimah

_________,1399,Amrâd al-Qulûb Wa Shifauhâ, Kâiro: al-Matba’ah al-


Salafiyah

Iqbal, Abu Muhammad, 2015, Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakata:


Pustaka Pelajar

Jamīl, Ṣidqī Muhammad, 1994, al-Musnâd al-Imâm Ahmad bin Hambal, Juz
III (Beirut: Dārul Fikri,)

Jurnal pemikiran dan peradaban Islam (ISLAMIA), vol. IX No. 1 Maret 2014

19
Mochtar,Afandi dan Kusuma, 2008, Model Baru Pendidikan; Restropeksi dan
ProyeksiModernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta :Direktorat
Pendidikan Tinggi IslamDepartemen Agama RI

Najati, Muhammad Utsman, 2002, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof


Muslim terj,Gazi Saloom:Ad-Dirâsât al-Nafsiyah ‘inda al-Ulamâ al-
Muslimîn, Bandung: Pustaka Hidayah

Nawawi, Hadari. 1993, Pendidikan dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas,

Shihab,Quraish, 2008, Lentera al-Quran; Kisah dan Hikmah


Kehidupan,Bandung :Mizan

Suhid, Asmawati, 2009, Pendidikan Akhlak dan Adab Islam, Kuala Lumpur:
Taman ShamelinPerkasa

Ulwan,Abdullah Nasih, 2012Ensiklopedia Pendidikan AkhlakMulia, Juz 7,


Jakarta: PT IkrarMandiri Abadi

Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-attas Terj. Hamid Fahmi, M.Arifin Ismail, dan Iskandar Amel:
The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-
Attas(Bandung: Mizan, 2003)

https://regional.kompas.com/read/2018/02/03/10041991/penganiayaan-guru-
oleh-siswa-di-sampang-begini-kronologinya

https://regional.kompas.com/read/2018/01/15/09134901/amih-ibu-yang-tak-
henti-digugat-anak-kandungnya

20

Anda mungkin juga menyukai