Anda di halaman 1dari 28

STUDI PEMIKIRAN TOKOH AL-MASKAWAIH, AL-JABIRI

DAN AL-MAWARDI

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

STUDI PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu: DR. H. Nur Cholid, M.Ag, M.Pd

Oleh :
Farid Riza (21200011048)
Fikri Fathnani (21200011004)
Tuti Fadhilah (21200011015)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


JURUSAN TARBIYAH
UNIVVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibnu Miskawaih
1. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin ya’kub
bin Miskawaih. Ia lebih dikenal dengan nama Ibn Miskawaih, lahir
pada tahun 320 H/ 932 M di Rayy, Persia dan meninggal di Isfahan
pada tanggal 9 Shafar 412 H/ 16 Februari 1030 M (Nata, 2000 :5).
Menurut Busyairi Madjidi, ia lahir tahun 330 H dan meninggal tahun
421 H. Setelah mempelajari pendidikan dasarnya, Ibnu Miskawaih
mempelajari kitab Tarikh al Thabari kepada Abu Bakar Ahmad ibnu
Kamil al-Qadhi (wafat 350 H/ 960 M). Selain belajar sejarah,
beliaupun mempelajari filsafat kepada Ibn al Khammar, salah seorang
komentator Aristoteles (Ahmad Amin,1969: 66). Tidak hanya itu
beliau juga mempelajari ilmu bahasa, ilmu kedokteran, ilmu Fiqih,
hadis, matematika, musik, ilmu militer. Karena beliau memiliki tingkat
kecerdasan yang sangat tinggi, maka beliaupun dapat melahap habis
semua pelajaran yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu beliaupun
menjadi salah seorang filusuf Islam terkemuka di zamannya.
Ibn Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaih. Dinasti Buwaih
adalah salah satu dinasti yang lahir ke dalam tubuh pemerintahan Bani
Abbasiyah di kota Baghdad sebagai ibu kota Bani Abbasiyyah,
sehingga tidak berlebihan jika diumpamakan dinasti Buwaihi bagaikan
benalu yang tumbuh pada sebuah pohon. Pada waktu itu sifat-sifat
rakus akan kekuasaan dan harta kekayaan menjadi tabiat para tokoh-
tokoh politik, akibatnya dekadensi moral hampir melanda semua
lapisan masyarakat. Ibn miskwaih menjadi bendahara penguasa dinasti
Buwaih.
Ibnu miskwaih hidup sebagai seorang Syi’ah. Para penulis biografi
pun memasukannya ke dalam daftar ulama dan filosof Syi’ah karena
beberapa pandangannya menegaskan keharusan kemaksuman para
imam. Sebagai seorang filsuf, Ibn Miskawaih banyak berdebat dengan
para filsuf sezamannya seperti Ibn Sina. Ibn Miskawaih wafat di
Isfahan pada Shafar 421 H/ 1012 M (Abdurrahman, 1963: 469).
Meskipun beliau menduduki jabatan strategis di pemerintahan
Dinasti Buwaih, namun hal itu tidak membuatnya malas menulis. Hal
ini terbukti karena beliau banyak menulis buku maupun artikel
sebanyak 41 buah yang menurut Ahmad Amin tidak lepas dari
kepentingan filsafat akhlak, antara lain Tahzib al-Akhlak, al Fauzal
Ashghar, Risalah fi ath-Thabi’at, Risalh fi Jauhar an-Nafs,Maqalat an-
Nafs wa al-‘Aql, Maqalat an-Nafs wa al-‘Aql. Keahliannya dalam
bidang akhlak ini, tergambar lebih lanjut dalam konsep pendidikan
yang dirumuskannya.
2. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu
pada pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah
keadaan jiwa. Ibn Miskawaih membagi asal keadaan jiwa ini menjadi
dua jenis. Pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Kedua, tercipta
melalui kebiasaan dan latihan. Baginya akhlak itu alami sifatnya
namun akhlak pun dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin
serta nasihat-nasihat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi
karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui
praktik terus menerus akan menjadi akhlak.
Ibn Miskawaih memberikan perhatian serius terhadap pendidikan
akhlak anak-anak. Menurut Ibn Miskawaih, jiwa seorang anak itu
diibaratkan sebagai mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia
berakal. Pada jiwa anak-anak ini, jiwa binatang berakhir sementara
jiwa manusia mulai muncul. Menurutnya, anak-anak harus dididik
mulai dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-
daya yang ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan
daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal
adab makan, minum, berpakaian, dan lainnya. Sementara daya berani
diterapkan untuk mengarahkan daya marah. Kemudian daya berpikir
dilatih dengan menalar, sehingga akan dapat menguasai segala tingkah
laku (Helmi, 2007: 50)
Kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni syarat
kejiwaan dan syarat sosial. Syarat pertama tersimpul dalam
menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan. Hal ini dapat dilakukan
dengan mudah pada anak yang berbakat baik. Bagi anak-anak tidak
berbakat, maka hal ini bisa dilakukan dengan cara latihan
membiasakan diri agar cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua dapat
dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan
anak dari pergaulan dengan temantemannya yang berakhlak buruk,
menumbuhkan rasa percaya diri pada dirinya, dan menjauhkan anak-
anak dari lingkungan keluarganya pada saat-saat tertentu, serta
memasukkan mereka ke tempat kondusif.
Ibn Miskawaih memandang syariat agama dapat menjadi faktor
guna meluruskan karakter remaja. Syariat agama menjadi penting
karena dapat membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang
baik. Syariat agama pun dapat mempersiapkan diri mereka untuk
menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan mencapai
kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Dalam
konteks ini, sebagai pendidik, maka orang tua wajib mendidik mereka
agar menaati syariat ini,agar berbuat baik. Hal ini dapat dilakukan
melalui nasehat, pemberian ganjaran dan hukuman. Jika mereka telah
membiasakan diri dengan prilaku ini, dan kondisi ini terus berlangsung
lama, maka mereka akan melihat hasil dari perilaku mereka itu.
Mereka pun akan mengetahui jalan kebajikan dan sampailah mereka
pada tujuan mereka dengan cara yang baik ( Nata, 2000: 11)
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna
(Hidayat, 1997: 64). Sehingga manusia itu dapat berperilaku terpuji
dan sempurna sesuai dengan substansinya sebagai manusia, serta
bertujuan mengangkat manusia dari derajat yang paling tercela
sebagai derajat yang dikutuk oleh Allah SWT.
Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki
tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua
macam, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis.
Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan
pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya, dan
kerangka berpikirnya menjadi akurat. Sementara kesempurnaan praktis
ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan
teoritis (kognitif) berkenaan dengan kesempurnaan praktis.
Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis,
begitu pula sebaliknya. Hal ini karena pengetahuan adala
permulaannya dan perbuatan itu akhirnya. Kesempurnaan sejati
tercapai jika keduanya berjalin berkelindan. Di pihak lain, bagi Ibn
Miskawaih bahwa kesempurnaan manusia itu terletak pada kenikmatan
spiritual, bukan kenikmatan jasmani.
4. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak adalah hendak menciptakan manusia
sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya
dari ,akhluk-makhluk lainnya. Akhlak menjadikan orang berakhlak
baik, bertindak tanduk yang baik terhadap manusia, terhadap sesama
makhluk dan terhadap Tuhan. Sedang pelajaran akhlak atau ilmu
akhlak bertujuan mengetahui perbedaan perbedaan perangai manusia
yang baik maupun yang jahat, agar manusia dapat memegang teguh
perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai yang
jahat, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat,
tidak saling membenci, curiga mencurigai antara satu dengan lainnya,
tidak ada perkelahian dan peperangan atau bunuh- membunuh sesama
hamba Allah.
Menurut Ibn Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Sehingga manusia itu dapat berperilaku terpuji dan sempurna sesuai
dengan substansinya sebagai manusia, serta bertujuan mengangkat
manusia dari derajat yang paling tercela sebagai derajat yang dikutuk
oleh Allah SWT.
Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia memiliki
tingkatan dan substansi. Baginya kesempurnaan manusia ada dua
macam, yakni kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis.
Kesempurnaan kognitif terwujud jika manusia mendapatkan
pengetahuan sedemikian rupa sehingga persepsinya, wawasannya, dan
kerangka berpikirnya menjadi akurat. Sementara kesempurnaan praktis
ialah kesempurnaan karakter. Menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan
teoritis (kognitif) berkenaan dengan kesempurnaan praktis.
Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis,
begitu pula sebaliknya. Hal ini karena pengetahuan adalah
permulaannya dan perbuatan itu akhirnya. Kesempurnaan sejati
tercapai jika keduanya berjalin berkelindan. Di pihak lain, bagi Ibn
Miskawaih bahwa kesempurnaan manusi itu terletak pada kenikmatan
spiritual, bukan kenikmatan jasmani.
5. Metode Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menuliskan tentang metode agar seorang manusia
dapat mencapai kesempurnaan. Menurut Miskawaih, seorang manusia
harus mengetahui kekurangankekuranga tubuh dan jiwa dan
kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Dalam konteks tubuh, maka
seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani
dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan jasmani adalah
makanan, pakaian, senggama, dan lainnya. Karena itu, seorang
manusia harus mengambilkan hanya bila diperlukan untuk
menghilangkan ketidaksempurnaannya dan demi kelangsungan
hidupnya. Kemudian, manusia itu pun tidak boleh melampaui batas
dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalam konteks jiwa, maka
seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani
dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan jiwa adalah
pengetahuan, mendapatkan objek-objek pikiran, membuktikan
kebenaran pendapat, menerima kebenaran, dan seterusnya. Seorang
manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa ini, serta
mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.
Ibn Miskawaih menuliskan tentang metode agar seorang manusia
dapat mencapai kesempurnaan. Menurut Miskawaih, seorang manusia
harus mengetahui kekurangankekurangan tubuh dan jiwa dan
kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Dalam konteks tubuh, maka
seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani
dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan jasmani adalah
makanan, pakaian, senggama, dan lainnya. Karena itu, seorang
manusia harus mengambilkan hanya bila diperlukan untuk
menghilangkan ketidaksempurnaannya dan demi kelangsungan
hidupnya. Kemudian, manusia itu pun tidak boleh melampaui batas
dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalam konteks jiwa, maka
seorang manusia harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani
dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk melenyapkan kekurangan-
kekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan jiwa adalah
pengetahuan, mendapatkan objek-objek pikiran, membuktikan
kebenaran pendapat, menerima kebenaran dan seterusnya. Seorang
manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa ini, serta
mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.
Ibn Miskawaih berpendirian bahwa akhlak seseorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan kepada yang baik apabila
dilakukan pendidikan dengan metode (cara yang efektif), yaitu:
a. Adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih
terus-menerus dan menahan diri untuk memperoleh
keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan
keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar
manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-
syahwaniyyat dan al-ghadabiyyat.
b. Menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain
sebagai cermin bagi dirinya. Dengan cara ini seseorang tidak
akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia
bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya yang
dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan atau
keburukan orang lain ia kemudian mencurigai dirinya, bahwa
dirinya juga sedikit banyaknya memiliki kekurangan seperti
orang tersebut, lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian,
maka setiap malam dan siang ia akan selalu meninjau
kembali semua perbuatannya sehingga tidak satupun
perbuatannya terhindar dari perhatiannya.
6. Materi Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami
sebagai materi pendidikan akhlak, yaitu: (1) hal-hal yang wajib bagi
kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan (3)
hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Ketiga
pokok materi tersebut menurut Ibn Miskawaih dapat diperoleh dari
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-‘ulûm al-fikriyah) dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra (al-‘ulûm al-hissiyat). Dalam
kesempatan lain, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa tugas manusia di
dunia adalah untuk mengabdi kepada Tuhan. Karena itu, menurutnya
semua materi-materi ilmu asalkan bertujuan untuk pengabdian kepada
Tuhan atau memperlancar proses pelaksanaan pengabdian kepada
Tuhan, boleh dan dapat diajarkan kepada manusia.

B. Ibnu Jabir
1. Biografi Ibnu Jabir
Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah seorang cendekiawan Muslim
kelahiran Fejij (Fekik), Maroko, tahun 1936. Pendidikan tingginya
ditempuh di Fakultas Adab Universitas Muhammad V, Rabat, hingga
meraih gelar doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1970, dengan
disertasi berjudul Fikr Ibn Khaldûn, al-‘Ashabiyyah wa al-Dawlah:
Ma‘âlim Nazhâriyyah Khaldûniyyah fi al-Târîkh al-Islâmî. Sejak
tahun 1976, ia menjadi dosen Filsafat dan Pemikiran Arab-Islam pada
Fakultas Sastra di universitas yang sama.
Belasan buku telah ditulisnya, antara lain buku yang merupakan
disertasi doktoralnya di atas (1971), Madkhal ilâ Falsafah al-‘Ulûm
(1976), Nahnu wa al-Turâts: Qirâ’ah Mu`âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî
(1980). Buku yang terbit berikutnya adalah buku serial tentang kritik
terhadap cara berpikir bangsa Arab atau, meminjam istilah Ahmad
Baso, “kritik nalar Arab”. Seri pertama berjudul Takwîn al-‘Aql al-
`Arabî(1982), seri kedua, Binyah al-‘Aql al-‘Arabî: Dirâsah
Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma‘rîfah fi al-Tsaqâfah
al-‘Arabiyyah (1986), dan ketiga adalah yang akan ditelaah di sini
(terbitan pertama 1990).
Al-Jabiri dikenal sebagai filosof Arab kontemporer yang ahli
dalam bidang hermenetisme dan filsafat Islam. Ia termasuk dalam
kelompok sebagian kecil orang yang mampu menelaah dengan
seksama tradisi filsafat Islam klasik hingga dapat menyarikannya serta
menyelaminya secara hidup. Ia memiliki kontribusi yang besar dalam
memperkaya pemikiran Islam kontemporer dan menggugah kesadaran
bahwa “masih ada yang bisa diperbuat” dan “masih banyak yang
belum mereka lakukan (maksudnya: para pemikir muslim dahulu)”.
Karya magnum opus-nya, trilogi kritik, dimunculkan untuk dan
didasari oleh kesadaran seperti itu.
2. Pemikiran al Jabiri
Al-Jabiri mengeksplorasi pemikirannya melalui karya trilogi
magnum opusnya, yaitu Takwin al-Aql al-Arabi (formasi Nalar Arab),
Bunyah al-Aql al-‘Arabi (Struktur Nalar Arab) dan al-A’ql al-Siyasi
al-‘Arabi ( Nalar Politik Arab), yang mana tergabung dalam Naqd al-
Aql al-‘Arabi (kritik Nalar Arab).
Adapun latar belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya
adalah berangkat dari keresahannya menghadapii fakta yang
mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam
masa seratus tahun yang lampau, mereka (Arab) tidak mampu
memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk
sementara, terhadap proyek kebangkitan yang gembar gemborkan.
Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan
relitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense
of difference (jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang
terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri,
sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai
kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan
peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam
perencanaan ilmiah.
1) Turast dan Modernitas
Jabiri memulai dengan mendifinisikan (tradisi). Tradisi
dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab
klasik. Kata tradisi diambil dari bahasa Arab “turast”. Tetapi di
dalam al-Qur’an tidak dikenal turats tetapi di Alqur’an tidak
dikenal turats dalam pngertian tradisi kecuali dalam arti
peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang
dinamakan turats menurut al Jabiri suatu yang lahir pada masa
lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu jauh atau
dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah
produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan
dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu (Aksin
Wijaya, 2004: 109).
Modernitas adalah sebuah pesan dan dorongan perubahan
dalam rangka menghidupkann kembali perlbagai mentalitas
norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya. Kemudian al
Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tradisi arab
dengan modernitas yang dialami barat. Walaupun Jabiri
mengakui bahwa modernitas Eropa tidak mampu menganalisis
realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya.
Menurutnya konsep modernitas-pertama dan paling utama
adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi
modern tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk
mendapatkan sebuah pemahaman modern dan pandangan baru
tentang tradisi( M. Abed al-jabiri, 2003:6)
2) Akal Arab dan Titik Awalnya
Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan
kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para
pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan,atau
aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan
prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan
dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan
konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat
pola pandang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu
memang ada.
Dalam hal ini al-Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama
adalah al-Aql al-mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut
dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia
dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah al-‘Aql al-Mukawwan. Akal
dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu
suatu nalar manusia yang dibentuk pleh budaya masyarakat
tertentu dimana orang tersebut hidup. Yang kedua ini al jabiri
maksud sebagai “Akal Arab”.
Al Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan
memulainya dari “masa kodifikasi” (asr al-Tadwin). Tanpa
menghilangkan keberadaan masa jahiliyyah dan produk-
produknya, begitu juga pengaruh masa islam awal alam
peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sturuktur akal Arab
telah dibakukan dan disistematiskan pada masa kodifikasi
tersebut (Aenul Abid 2002: 301)
3. Epistemologi Muhammad Abid al Jabiri dan Relevansinya dalam
Pendidikan Islam.
a. Epistemologi Bayani (Empirik)
Secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang
bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad. Dalam konteks
epistemologi, bayan berarti studi filosofis terhadap struktur
pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah
kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat skunder
dan bertugas hanya untuk menjelaskan teks yang ada (Ngainun
naim, 2009: 78).
Ilmu bayani pada masa kodifikasi telah menghegemoni
wacana keilmuan Arab Islam yang di dalamnya karya fiqih yang
dihasilkan oleh empat imam mazhab, sehingga al-Jabiry
memandang ilmu yang dihasilkan oleh produk bayani tersebut
tidak jauh dari ilmu politik (Abid al-Jabiry, 1991: 347).
Epistemologi bayani, secara historis sangat dominan dalam
ilmu-ilmu pokok, seperti fiqh, ilmu al-qur’an, kalam dan teori
sastra non-filsafat. Al-Jâbirî menjelaskan bahwa sistem bayani
dibangun oleh dua prinsip dasar; pertama, prinsip diskontinyuitas
atau keterpisahan (alinfisal), dan kedua, prinsip kontingensi atau
kemungkinan (al-tajwiz). Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi
dalam teori substansi individu yang mempertahankan bahwa
hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan
apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan
asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak memengaruhi dan
berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas
atau ide tentang adanya hukum alam.
Dalam pendidikan Islam epistemologi bayani yang
merupakan tataran empirik menjadi fase dasar dan pemula dalam
pendidikan, sehingga pendidik dalam perspektif epistemologi
bayani merupakan orang dewasa yang menjadi pusat ilmu yang
dominan atau biasa disebut enjadi (teacher centered). Peserta didik
merupakan anak-anak yang masih bersih “polos” sehingga
memerlukan bimbingan paling dasar yang perlu dilakukan secara
efektif dan intensif. Kurikulum yang digunakan dalam perspektif
bayani merupakan kurikulum dasar yang berisi penanaman dasar-
dasar akidah dan nilai-nilai kebenaran. Tujuan pendidikan dalam
perspektif bayani adalah menanamkan sikap disiplin, sikap jujur
serta cara berpikir tingkat dasar. Metode yang digunakan adalah
hafalan dan latihan secara intensif.
b. Epistemilogi Burhani (logik)
Dalam konteks epistemologi, jika bayani bersumber dari
nash (al-Qur’an dan sunnah), qiyas atau ‘ijma’ sebagai
rujukan .utama dan bertujuan untuk menjelaskan keyakinan agama,
maka epistemologi burhani bertolak dari kekuatan manusia untuk
memperoleh pengetahuan, baik melalui sumber empiris maupun
hasil pemikiran rasional. Menurut al Jabiri dalam logika adalah
aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi
dengan cara konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam pengertian
umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk
membuktikan kebenaran suatu proposisi.
Dalam memahami Tuhan, manusia dan alam, epistemologi
burhani bertolak dari metode Aristoteles yaitu logika. Akan tetapi,
metode burhani Aristoteles adalah uapaya abstraksi fisafat untuk
“ilmu demi ilmu”. Sedangkan, dalam kultur Arab Islam, metode ini
digunakan untuk menjadi pondasi rasional ajaran Islam. Jadi, akar
metode burhani sesungguhnya berasal dari Aristoteles yang
digunakan sebagai analisis dan argumen dan dilanjutkan oleh al-
Kindi dan al-farabi. Menurut al-Jâbirî, metode rasionalitas
Aristoteles di tangan Ibn Sina menjadi al- ‘aql al mustaqil yang
dipengaruhi oleh gnosis hermetisme sehingga tidak lagi menjadi
rasional (Ngainun Naim, 2009 82-83).
Epistemologi burhani memandang pendidikan Islam adalah
pendidikan yang dilakukan pada fase pengembangan dan
perubahan. pendidik dalam perspektif epitemologi burhani
merupakan fasilitator atau bahkan teman bagi peserta didik karena
fungsi pendidik adalah memfasitasi kebutuhan ilmu peserta didik,
bukan lagi menjadi pusat ilmu pengetahuan sebagaimana
perspektif bayani. Peserta didik merupakan anak yang sudah
memilki sifat kemandirian dalam memperdalam ilmu pengetahuan
tinggal mengembangkan kemampuan raisonya dan mempertajam
sikap kritis dalam menanggapi suatu fenomena. Kurikulumnya
yang digunakan dalam perspektif bayani merupakan fenomena
alam “realitas kehidupan” dan orientasi masa depan. Tujuan
pendidikan adalah membangun penalaran peserta didik dengan
memadukan antara potensi dasar yang dimiliki peserta didik
dengan logika.Metode yang digunakan adalah metode observasi
dan penelitian terhadap fenomena yang ada.
c. Epistemilogi Irfani
Aljabiri mengatakan bahwasanya pendidikan Islam menurut
perspektif epistemologi ‘irfani merupakan pendidikan fase
penghayatan dan penyadaran, sehingga memandanga seorang
pendidik adalah orang yang telah matang jiwanya serta memiliki
kepekaan, pengalaman dan spritual yang tinggi, sedangkan
pesertadidik merupakan orang yang telah mencapai kesempurnaan
dan pandangannya telah berubah dari dunia eksoterik logik kepada
eksoterik etik yang mempunyai komitmen. Kurikulum dalam
pandangan epistemologi irfani ma’rifah dan makna hidup dengan
tujuan membangun karakter, kepekaan jiwa, bersahaja, berpikir
logis, bertindak etis dan berpenampilan agamis melalui zikir dan
tazkiyah dengan berkontemplasi terhadap wahyu dan pengalaman
batin. Sehingga peserta didik diharapkan dapat berpikir logis,
prediktif dan arif yang siap melawan kemungkaran.
Pada dasarnya pendidikan Islam yang berjalan sekarang ini
memang belum sepenuhnya berhasil mensinergikan tiga instrumen
epistemologi : wahyu, akal dan indera. Pandangan ini terutama
didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan Islam masih sibuk
mempermasalahkan antara wahyu dan akal, sehingga menyebabkan
perkembangan pendidikan Islam menjadi lambat bahkan dapat
dikatakan stagnan dan lupa bahwa masih ada tugas untuk
menyatukan antara akal denagn indera yang mana hal tersebut
dapat menjadikan pendidikan Islam berkembang.
Masalah yang ada dapat diatasi dengan mensinergikan
antara tiga epistemologi, dengan hubungan saling melengkapi
antara yang satu dengan yang lainnya. Pendidikan Islam secara
epistemologi diharapkan bisa mengikis pandangan keilmuan
dualistik-dikotomik: ilmu religius dan ilmu intelektual. Dengan
demikian, semua ilmu pengetahuan bisa dipandang sebagai ilmu
pengetahuan Islami, hanya saja adakalanya ilmu pengetahuan itu
diturunka melalui perantara wayhu seperti ilmu-ilmu agama,
adakalanya ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi akal dan
indera selaras dengan dorongan wahyu seperti ilmu-ilmu kealaman
dan sosial budaya. Selain itu epistemologi pengetahuan Islam juga
tidak tergiring ke arah sekularisasi kajian ilmiah dan kapitalisasi
materiil karena tidak begitu mengapresiasi keberadaan realitas non
fisik. Sebaliknya, epistemologi pendidikan Islam adalah
epistemologi yang mengakui keberadaan realitas non fisik sebagai
realitas yang tak kalah riilnya dibandingkan dengan realitas fisik.

C. Al Mawardi
1. Biografi al Mawardi
Nama lengkap Al-Imam Al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi. Ia lahir di Basra 364 H/975 M, dan
wafat di Bagdad 450 H/1058 M. Dia seorang pemikir Islam yang
terkenal, tokoh terkemuka mazhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang
besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abbasiyah. Al-Imam Al-
Mawardi merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang terkenal, Ia
juga merupakan tokoh terkemuka mazhab Syafi’i. ia menjadi hakim
Agung (Qâdi al-Qudât) dalam pemerintahan Abbasiyah disaat al-Qadir
berkuasa. Sungguhpun demikian, ia termasuk penulis produktif, cukup
banyak bukunya dalam berbagai bidang ilmu, mulai dari ilmu bahasa,
sastra, tafsir sampai dengan ketatanegaraan.
Al-ImamAl-Mawardi mempunyai reputasi tinggi di kalangan
orangorang lama dalam barisan juru ulas Al-Quran. Ulasannya yang
berjudul Nukat–wa‟luyun mendapat tempat tersendiri diantara ulasan-
ulasan klasik dari Al Qusyairi, Al-Razi, Al-Isfahani, dan Al-Kirmani.
Tuduhan bahwa ulasan-ulasannya yang tertentu mengandung kuman-
kuman pandangan Mu‟tazilah tidaklah wajar, dan orang-orang
terkemuka seperti Ibn Taimiyah telah memasukkan karya Al-Imam Al-
Mawardi ke dalam buku-buku yang bagus mengenai persoalannya.
Ulasannya atas Al-Qur‟an popular sekali, dan buku ini telah
dipersingkat oleh seorang penulis. Seorang sarjana Muslim Spanyol
bernama Abul Hasan Ali telah datang jauh dari Saragosa di Spanyol,
untuk membaca buku tersebut dari pengarangnya sendiri.
Al-ImamAl-Mawardi juga menulis sebuah buku tentang
perumpamaan dalam Al-Qur‟an, yang menurut pendapat As-Suyuti
merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya
buku ini, Al-Imam Al-Mawardi menulis, “salah satu dari ilmu Qur‟an
yang pokok adalah ilmu ibarat, atau umpama. Orang telah
mengabaikan hal ini, karena mereka membatasi perhatiannya hanya
kepada perumpamaan, dan hilang pandangannya kepada umpama-
umpamanya yang disebutkan dalam kiasan itu. Suatu perumpamaan
tanpa suatu persamaan (misal), ibarat kuda tanpa kekang, atau unta
tanpa penuntun.”
Guru-gurunya Walaupun Al-Imam Al-Mawardi lahir di Basra, tapi
ia dibesarkan di Bagdad. Dari ulama-ulama terkemuka di Baghad ia
mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Diantara guru-
gurunya dalam bidang ilmu-ilmu agama : Bidang hadis adalah: Hasan
bin Ali bin Muhammad Al-Jabali (sahabat Abu Hanifah Al-Jumahi)
Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri. Muhammad bin Al-Ma’alli
Al-Azdi Ja’far bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi. Abu Al-
Qasim Al-Qushairi. Bidang fiqh adalah: Abu Al-Qasim Ash-Shumairi
diBasrah. Ali Abu Al-Asfarayni (Imam madzhab Syafi’i di Baghdad).
Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri Al-Imam Al-
Mawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi‟i dalam
kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan
masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.
Murid-muridnya Diantaranya adalah: Imam besar, Al-Hafidz Abu
Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al- Baghdadi. Abu Al-Izzi Ahmad
bin kadasy.
Buku-Buku Peninggalannya Diantara buku-buku karangan Al-
Imam Al-Imam Al-Mawardi adalah sebagai berikut: Pertama; Dalam
fiqh,Yaitu: Al-Hawi Al-Kabir Al-Iqna’u Dalam ilmu fiqih, inilah Al-
Imam Al-Mawardi, menunjukkan suatu pemikarannya yang merujuk
pada Al-Imam Al-Syafi‟i, atau condong pada pemikiran-pemikiran
ulama‟ Syafi‟iyah, seperti dalam kitabnya, Al-hawi Alkabir. Buku ini
ditulis oleh Al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib Al- Imam Al-
Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-
Muzani karya Al-Imam Al-Muzani. Buku ini merupakan syarah Al-
Mukhtashar yang sangat panjang. Di dalamnya dikemukakan
pendapat-pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, juga pendapat ashshab Imam
Syafi‟i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh
lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah.
Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab
Syafi‟iyah. Kedua; Dalam fiqh politik, Yaitu: Al-Ahkamu As-
Sulthaniyyah Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Maliki Tashilu An-
Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fie Akhlaqi Al-Maliki wa Siyasatu Al-
Maliki Siyasatu Al-Maliki Nashihatu Al-Muluk Ketigal; Dalam Tafsir,
Yaitu: Tafsiru Al-Qur‟anul Karim An-Nukatu wa Al-Uyunu Al-
Amtsalu wa Al-Hikamu Kemudian ada juga kitab dalam bidang sastra
diantaranya, Adabu Ad- Dunya wa Ad-Dini, kemudian ada juga dalam
bidang aqidah yaitu kitab A‟lamu An-Nubuwah.
2. Pemikiran al-Mawardi
Pemikiran al –Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar
terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dengan murid dalam
proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari
seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan yang sangat
penting, bahkan berada pada garda terdepan. Keberhasilan pendidikan
sebagian besar bergantung kepada kualitas guru baik dari segi
penguasaannya terhadap materi pelajaran yang diajarkan maupun cara
menyampaikan materi pelajaran tersebut serta kepribadiannya yang
baik, yaitu pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatannya
secara harmonis.
Al-Mawardi memandang penting seorang guru harus memiliki
sikap tawadhu (rendah hati) serta menjauhi sikap ujub (besar kepala)
Menurut al-Mawardi sikap tawadhu akan menimbulkan simpatik dari
para peserta didiknya, sedangkan sikap ujub akan menyebabkan guru
kurang disenangi Sikap Tawadhu yang dimaksudkan al-Mawardi
bukanlah sikap menghinakan diri atau merendahkan diri ketika
berhadapan dengan orang lain, karena sikap ini akan menyebabkan
orang lain meremehkannya. Sikap tawadhu yang dimaksud adalah
sikap rendah hati dan merasa sederajat dengan orang lain dan saling
menghargai. Sikap demikian akan menumbuhkan rasa persamaan,
menghormati orang lain, toleransi, serta rasa senasib dan cinta
keadilan. Dengan sikap tawadhu tersebut, guru akan menghargai
muridnya sebagai makhluk yang memiliki potensi, serta melibatkannya
dalam kegiatan belajar mengajar. Prinsip ini sejalan dengan prinsip
yang digunakan para pendidik di zaman modern, yaitu bahwa dalam
kegiatan belajar-mengajar di masa sekarang seorang murid dan guru
berada dalam kebersamaan.
Pada perkembangan selanjutnya sikap tawadhu tersebut akan
menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi
muridmuridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru
berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru tersebut
menempatkan peranannya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam
proses belajar mengajar yang berlangsung dengan utuh dan luwes,
dimana seluruh siswa terlibat di dalamnya.
Selanjutnya al-Mawardi mengatakan bahwa seorang guru selain
harus bersikap tawadhu, juga harus bersikap ikhlas. Secara harfiah
berarti menghindari riya, sedangkan dari segi istilah ikhlas berarti
pembersihan hati dari segala dorongan yang dapat mengeruhkannya
(Ali,1978:13).
Keikhlasan ini ada kaitannya dengan motivasi seseorang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ada guru yang mengajar karena motif
ekonomi, memenuhi harapan orang tua, dorongan teman atau
mengharapkan status dan penghormatan serta lainnya.
Pernyataan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa al-
Mawardi menghendaki agar seorang guru benar-benar ikhlas dalam
melaksanakan tugasnya. Menurutnya bahwa tugas mendidik dan
mengajar harus diorientasikan kepada tujuan yang luhur, yakni
keridhoan Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari orientasi semacam ini
adalah pelaksanaan tugas guru dengan sebaik-baiknya serta penuh
tanggung jawab.
Dengan demikian, tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan
al-Mawardi merupakan tugas yang luhur dan mulia (Fathiya,1986:41).
Itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus
semata-mata mengharapkan ridha Allah. Apabila yang dituju dari
tugas mengajarnya itu adalah materi, maka ia akan mengalami
kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak
seimbang dengan hasil yang diterimanya. Selain itu ia sengat peka
terhadap hal-hal atau persoalan yang ditemukan dalam tugasnya,
misalnya soal administrasi, kenaikan pangkat, hubungan dengan
kepala sekolah dan sebagainya. Tindakan dan sikapnya terhadap anak
didik akan terpengaruh pula. Hal ini selanjutnya dapat merusak atau
mengurangi hasil atau nilai pendidikan yang diterima anak didik
(Muntasir,1985:141). Dengan kata lain, seorang guru dalam pandangan
al-Mawardi bukanlah orang yang berorientasi pada nilai ekonomi yang
diterimanya sebagai akibat atau imbalan dari tugasnya (Zakiyah
Derajat, 1980:14).
Berdasarkan sikap ikhlas tersebut, maka seorang guru akan tampil
melaksanakan tugasnya secara professional. Hal ini ditandai oleh
beberapa sikap sebagai berikut :
1) Selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna
mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti dalam
penguasaan materi (bahan pelajaran), pemilihan metode,
penggunaan sumber dan media pengajaran, pengelolaan kelas
dan lain sebagainya.
2) Disiplin terhadap peraturan dan waktu, dalam keseluruhan
hubungan sosial dan profesionalnya, seorang guru yang ikhlas
akan bertindak tepat dalam janji dan penyelesaian tugasnya.
Guru yang ikhlas akan mampu mengelola waktu bekerja dan
waktu lainnya dengan perencanaan yang rasional dan disiplin
yang tinggi.
3) Penggunaan waktu luang akan diarahkan untuk kepentingan
profesionalnya. Guru yang ikhlas, keseluruhan waktunya akan
digunakan secara efisien, baik dengan tugas keguruan maupun
dalam pengembangan kariernya, sehingga ia akan mencapai
peningkatan. Bila sebagian waktu luang digunakan untuk hal-
hal yang berada di luar tugasnya, maka guru yang ikhlas akan
menggunakannya secara bijaksana dan produktif serta tidak
mengganggu tugas pokoknya.
4) Ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Guru yang ikhlas akan
menyadari pentingnya katekunan dan keuletan bekerja dalam
pencapaian keberhasilan tugasnya. Oleh karenanya ia akan
selalu berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan
mengatasi segala kesulitan dengan penuh kesabaran, sehingga
akhirnya program pendidikan yang telah ditetapkannya akan
berjalan sebagaimana mestinya serta mencapai sasaran. Di
samping itu, keuletan dan ketekunan yang ditampilkan guru
sebagai pribadi yang utuh, akan terbiasa melakukan suatu tugas
atau pekerjaan yang ulet, tekun, penuh kesungguhan dan
ketelitian.
5) Memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi. Hal ini timbul
dari kesadaran akan semakin banyaknya tuntutan dan tantangan
pendidikan masa mendatang, sejalan dengan kemajuan imu
pengetahuan dan teknologi. Guru yang ikhlas akan terus
mengevaluasi dan mengadakan perbaikan proses belajar
mengajar yang telah digunakannya selama ia bertugas. Lebih
jauh dari itu, guru tersebut akan mempelajari kelemahan dan
kelebihan dari berbagai teori dan konsep yang dapat digunakan
dalam proses belajar mengajar yang diterapkan para
pendahulunya, untuk selanjutnya dilakukan penyempurnaan
dan pengayaan. Mengingat tugas keguruan tidak dapat
dipolakan secara mekanis, eksak dan dengan resep tunggal
serta tak terbatasnya variasi tindakan keguruan, maka guru
dituntut untuk mampu bertindak kreatif.
Dalam kaitannya dengan keikhlasan tersebut, al-Mawardi
juga berbicara tentang gaji. Dalam hubungan ini, al-Mawardi
mengatakan bahwa di antara akhlak yang harus dimiliki
seorang guru adalah membersihkan diri dari pekerjaan-
pekerjaan syubhat dan menguras tenaga. Hendaknya ia merasa
cukup atas penghasilan yang dicapai dengan mudah, dari pada
penghasilan yang dicapai dengan susah payah. Guru harus
meninggalkan pekerjaan yang syubhat, karena perbuatan
syubhat akan berakibat dosa. Pahala lebih baik dari dosa dan
kemuliaan lebih pantas dibandingkan dengan kehinaan
Pernyataan al-Mawardi tersebut mengingatkan kepada kita
tentang peranan dan figur strategis yang dimiliki seorang guru.
Menurut al- Mawardi bahwa seorang guru harus merupakan
figur yang dapat dicontoh oleh murid dan masyarakat. Oleh
karena itu segala tingkah laku guru harus sesuai dan sejalan
dengan nilai-nilai ajaran agama yang berasal dari wahyu.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, maka seorang guru harus
tampil sebagai teladan yang baik. Usaha penanaman nilai-nilai
kehidupan mel hanya sekedar komunikator nilai, melainkan
sekaligus pelaku nilai yang menuntut adanya rasa tanggung
jawab dan kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang utuh. Dalam kaitan ini al-Mawardi
mangatakan hendaknya seorang guru menjadikan amal atas
ilmu yang dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu
berusaha memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk
golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi
Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya
dengan seekor keledai membawa kitab di punggungnyaalui
pendidikan tidak akan berhasil, kecuali jika peranan guru tidak
hanya sekedar komunikator nilai, melainkan sekaligus pelaku
nilai yang menuntut adanya rasa tanggung jawab dan
kemampuan dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang utuh. Dalam kaitan ini al-Mawardi mangatakan
hendaknya seorang guru menjadikan amal atas ilmu yang
dimilkinya serta memotivasi diri untuk selalu berusaha
memenuhi segala tuntutan ilmu. Janganlah ia temasuk
golongan yang dinilai Tuhan sebagai orang Yahudi yang diberi
Taurat tetapi mereka tidak mengamalkannya, tak ubahnya
dengan seekor keledai membawa kitab di punggungnya.
Selanjutnya al-Mawardi menegaskan tentang tugas dan
peran guru sebagai pembimbing. Bimbingan dapat diartikan
sebagai kegiatan memantau murid dalam perkembangannya
dengan jalan menciptakan lingkungan dan arahan sesuai
dengan tujuan pendidikan. Sedangkan dari segi bentukya
bimbingan tersebut dapat berupa pemberian petunjuk, teladan,
bantuan, latihan, penerangan, pengetahuan, pengertian,
kecakapan dan keterampilan, nilai-nilai, norma serta sikap yang
positif.
Dalam kaitan ini al-Mawardi mengatakan, di antara
kewajiban guru adalah memberikan nasihat atau bimbingan
kepada muridnya, kasih sayang, mempermudah jalan bagi
muridnya, berusaha keras menolong dan membantu muridnya.
Semua itu akan menghasilkan pahala yang besar, keluhuran
namanya, serta semakin bertambah dan menyebar ilmunya.
Bentuk-bentuk bimbingan tersebut selanjutnya adalah
dengan jalan membantu murid-murid untuk mengembangkan
pemahaman diri sesuai dengan kecakapan, minat, pribadi, hasil
belajar serta kesempatan yang ada, membantu proses sosialisasi
dan sensivitas kepada kebutuhan orang lain, mengembangkan
motif-motif intrinsik dalam belajar sehingga tercapai kemajuan
pengajaran, memberikan dorongan dalam pengarahan diri,
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan keterlibatan
diri dalam proses pendidikan, mengembangkan nilai dan sikap
secara menyeluruh serta perasaan sesuai dengan penerimaan
diri sendiri, memahami tingkah laku manusia, membantu
murid-murid untuk memperoleh kepuasan pribadi dan dalam
penyesuaian diri secara maksimum terhadap masyarakat serta
membantu aspek fisik, mental dan sosial.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Ibn Miskawaih adalah seorang filosof pendidikan akhlak. Uraian-


uraiannya mengenai pendidikan akhlak cukup filosofis dan mendalam.
Karenanya, sebagai sebuah apresiasi, sudah selayaknya generasi sekarang
memberikan penghargaan kepada filosof yang satu ini. Penghargaan itu
dapat berupa menjaga dan mengembangkan warisan pemikiran Ibn
Miskawaih. Namun penting dicatat, apresiasi tersebut tidak harus dalam
bentuk mengadopsi pemikiran Ibn Miskawaih secara membabi buta tanpa
diiringi sikap analitis-kritis, seraya mengajukan solusi kreatif dan
alternatif.
2. Epistemologi al-Jâbirî dalam pendidikan Islam mampu memberikan solusi
dalam menanamkan model pendidikan pada tiap jenjangnya. Perspektif
bayani, merupakan jenjang dasar dalam pendidikan Islam, dengan model
pendidik menjadi pusat ilmu pengetahuan, sedang peserta didik adalah
anak yang masih memerlukan bimbingan dengan kurikulumnya
penanaman akidah dan nilai-nilai kebenaran. Perspektif burhani,
merupakan jenjang pengembangan dan perubahan, sehingga pendidik
cukup menjadi fasilitator dan peserta didik merupakan anak yang sudah
mampu mengembangkan rasionya tinggal mempertajam nalar kritis
dengan bantuan pendidik. Sedangkan kurikulumnya adalah fenomena yang
terjadi dilingkungan. Perspektif ‘irfani, merupakan jenjang pendidikan
penghayatan dan penyadaran, dengan menempatkan pendidik orang yang
telah matang jiwanya, memiliki kepekaan, pengalaman dan spritual yang
tinggi, dan peserta didik adalah anak yang telah mencapai kesempurnaan
yang pandangannya telah berubah dari dunia eksoterik logik kepada
eksoterik etik yang mempunyai komitmen. Sedangkan kurikulumnya
adalah ma’rifah dan makna hidup.
3. Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan banyak terkonsentrasi
pada masalah kepribadian seorang pendidik, kepribadian inilah yang
tampaknya yang paling utama harus ditonjolkan. Sebenarnya seorang
pendidik bukan hanya harus memiliki kepribadian yang baik, tetapi harus
memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran yang akan diajarkan. Namun jika hal tersebut
dibandingkan dengan kepribadian, tampaknya al-Mawardi lebih
mengutamakan kepribadian. Hal ini dapat dipahami, karena penguasaan
terhadap ilmu dan latar belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari,
sedangkan kepribadian merupakan hal yang sulit dibentuk.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-


Interkoneksi, Yogyakarta: Suka Press.
-------------------------. 2002. Studi Agama: Normativitas atau Historitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
al-Jabiri, Muhammad Abed. 2003. Syuro, Tradisi, Partikularitas,Universalitas.
Yogyakarta: LkiS
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, Cairo: Dar al-Rayan li at-Turats, 1988.
Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994.
Al-Maududi, Adab al Dunya wa al-Din, Beirut: Dar al Fikr, tt.
Ali bin Muhammad al Jurjaniy, Kitab al Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kutub, 1978.
Amin, Ahmad. Zhuhr al-Islâm, juz II. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbî, 1969.
Dahlan, Abdul Azis. “Filsafat” dalam Taufik Abdullah (ed.). Ensiklopedi Tematis
Dunia
Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Daudy, Ahmad. (ed.). Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, Jakarta: P3M, 1986.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000.
Zakiyah Derajat, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Anda mungkin juga menyukai