NIM : E97218079
Profil Resume
Judul : Biografi Tokoh Filsafat Akhlak: Ibn Miskawaih
Latar Belakang
Penyusunan Resume dari penulis untuk memenuhi tugas oleh Dr. H. Mukhlisin Saad,
MA pengampu mata kuliyah Filsafat Akhlak semester 3 (tiga) pada Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat.
Tujuan Penulisan
Penulisan paper ini di buat bertujuan untuk mendalamkan pemahaman mahasiswa perihal
Biografi Tokoh Filsafat Akhlak: Ibn Miskawaih.
Metode Penelitian
Paper ini menggunakan metode penelitian kualitatif jika di fokuskan lagi akan
ditemukan metode phenomenological research, grounded theory, ethnography, case study
dan narrative research sebagai teknik pencarian datanya.
Hasil
1. Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn
Miskawaih. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H (932 M) dan wafat di Asfahan pada
tanggal, 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Ia belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad
ibn Kamil al-Qadhi (350/960) tentang buku Tarikh al-Thabari, dan belajar filsafat kepada Ibn
al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles.
Perihal kemajuannya, sebelum Islam, banyak dipersoalkan oleh pengarang, Jurji
Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan
Yaqut dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu.
Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam Artinya Ibn
Miskawaih sendiri terlahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama Bapaknya,
Muhammad.
Ia juga diduga beraliran Syi’ah, karena sebagian besar usianya dihabiskan untuk
mengabdi kepada pemerintah dinasti Buwaihi. Ketika muda, ia mengabdi pada al-Muhallabi,
wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya al-
Muhallabi pada tahun 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn Al-Amid,
wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray.
Setelah Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana
Pangeran Buwaiki, ‘Adhud al-daulah. Miskawaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai
Bendahawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain.
Pendidikan Ibnu Miskawaih tidak diketahui secara pasti. Para penulis tidak
memberikan informasi yang jelas tentang latar belakang pendidikannya.
Sebagian penulis lain, menjelaskan bahwa pendidikan Miskawaih tidak berbeda
dengan kebiasaan anak-anak yang menuntut ilmu pengetahuan. Ahmad Amin menjelaskan
bahwa pendidikan anak-anak pada zaman Abbasiyah pada umumnya anak-anak memulai
menuntut ilmu pengetahuan dengan belajar membaca, menulis, mempelajari al-Qur’an dan
dasar dari bahsa arab (nahwu) dan ilmu membaca serta membuat syair-syair. Mata pelajaran
tersbut diberikan di surau-surau dikalangan keluarga yang berada dan mereka mendatangkan
kerumah masing-masing untuk memberikan les privat kepada anak-anak mereka. setelah ilmu
dasar itu diselesaikan kemudian dilanjutkan dengan mempelajari ilmu Fiqhi. Sejarah dan
matematika. selain dari pada pelajaran tersebut pendidikan waktu itu diberikan ilmu peraktis
sperti ilmu musik, bermain catur dan furusiah (semacam kemiliteran).
Adapun keterangan yang pasti bahwa ibnu Miskawaih belajar sejarah kepada Abu
Bakar Ahmad Ibnu al-Khamar seorang komentator kenamaan atas karya-karya Aristoteles. ia
juga belajar ilmu kimia bersama dengan Abu al-Thayeb al- Rasi seorang ahli kimia pada
wakti itu.
Dengan dasar ilmu yang telah diperolehnya itu ia mengembangkan sendiri terutama
karena propesinya sebagai pustakawan diman sejak tahun 963 M. ia tinggal bersama dengan
Abu Fadhl Ibnu al-Amid dan bekerja sebagai pustakawannya. Setelah itu, Abu Fadhl al-Amid
wafat. ia meneruskan pengabdiannya kepada putranya. Abu al-fatth Ali ibn al-Amid dan juga
bekerja sehingga banyak memberi pengaruh kepada sulthan’ Adud al-Daulah.
Selain itu, pengetahuan ibnu Miskawaih yang sangat menonjol dari hasil banyak
membaca buku-buku seperti filsafat. sejarah, sastra sehingga sekarangini ibnu Miskawaih
masih sangat terkenal, terutama dalam keahliannya sebagai sejarawan dan filosof. Miskawaih
diberi gelar sebagai Bapak dari “Etika Islam“, karena ia yang pertama mengembangkan teori
etika dan sekaligus menulis buku tentang etikat.
2. Konsep Pemikiran Ibn Miskawaih
a. Konsep Manusia dan Keutamaannya
Menurut Ibn Miskawaih, manusia memiliki kemiripan dengan alam semesta. Daya
berpikir ini dapat berhubungan dengan akal aktif guna mengetahui hal-hal Ilahi. Menurut Ibn
Miskawaih, pada diri manusia terdapat tubuh dan jiwa. Jiwa tidak dapat menjadi sebuah
fungsi dari materi.
Pertama, suatu benda yang berbeda-beda bentuk dan keadaannya, dengan sendirinya
tidak bisa menjadi salah satu dari bentuk-bentuk dan keadaan-keadaan itu. Menurutnya, jiwa
bukan bagian dari tubuh dan bukan aksiden tubuh. Pada wujudnya, jiwa tidak butuh kekuatan
tubuh. Jiwa merupakan substansi sederhana dan tidak dapat ditangkap oleh panca indra.
Antara jiwa dan hidup itu tidak sama. Jiwa itu suatu esensi yang hidup dan kekal,
serta bisa mencapai kesempurnaan hidup di dunia. Selanjutnya, menurutnya, perbedaan
antara jiwa manusia dari jiwa binatang adalah potensi akal. Jiwa manusia memiliki potensi
akal.
Secara lengkap, Ibn Miskawaih menuliskan pemikirannya tentang jiwa di dalam
bukunya yang berjudulTahdzîb al-Akhlâq. Dalam buku ini, Ibn Miskawaih menulis bahwa
manusia terdiri atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa. Kesempurnaan eksistensi tubuh manusia
terkait erat dengan hal-hal seperti itu. Sementara itu, jiwa itu bukan tubuh, bukan bagian dari
tubuh, serta bukan pula materi.
Jiwa manusia ini tidak cocok dengan hal-hal jasadi. Ketika jiwa dapat menjauhi hal-
hal jasadi, maka jiwa akan semakin sempurna. Jiwa memiliki kecenderungan kepada selain
hal-hal jasadi. Jiwa ingin mengetahui realitas ilahiah.
Jiwa pun sangat mendambakan sesuatu hal yang lebih mulia dari hal-hal jasmaniah.
Jiwa ingin menjauhkan diri dari kenikmatan jasmani, dan berharap mendapatkan kenikmatan
akal. Dari aspek ini, jelas jiwa lebih mulia dari pada benda-benda jasadi. Ibn Miskawaih
menjelaskan tentang kebajikan jiwa.
Menurutnya, keutamaan atau kebajikan jiwa terletak pada kecenderungan jiwa kepada
dirinya sendiri, yakni ilmu pengetahuan, sembari tidak cenderung kepada tingkah laku tubuh.
Kebajikan jiwa diukur dari sejauh mana jiwa mengupayakan kebajikan dan
mendambakannya. Keutamaan ini akan terus meningkat ketika jiwa memperhatikan dirinya
sendiri serta berusaha keras menyingkirkan segala rintangan bagi pencapaian tingkat
keutamaan seperti ini. Kendala ini tidak lain segala hal bersifat badani, indrawi, serta segala
hal yang berhubungan dengan keduanya.
Ketika kendala ini berhasil dihadapi oleh jiwa, dan jiwa itu suci dari segala perbuatan
keji , maka keutamaan-keutamaan itu akan tercapai. Dengan kata lain, keutamaan jiwa lahir
ketika jiwa suci dari nafsu badani dan nafsu hewani. Secara umum, Ibn Miskawaih membagi
kekuatan jiwa menjadi tiga macam, yakni al-quwwah al-nathiqah, al-quwwah al-syahwiyyah,
dan al-quwwah al-ghadabiyyah. Alquwwah al-nathiqah adalah sebuah fakultas yang
berkaitan dengan berpikir, melihat, dan mempertimbangkan segala sesuatu.
Sementara al-quwwah al-syahwiyyah adalah sebuah fakultas yang berkaitan dengan
marah, berani, berani menghadapi bahaya, ingin berkuasa, menghargai diri, dan
menginginkan bermacam-macam kehormatan. Terakhir, alquwwah al-ghadabiyyah adalah
sebagai sebuah fakultas yang berkenaan dengan nafsu syahwat dan makan, keinginan pada
nikmatnya makanan, minuman, senggama, dan kenikmatan indrawi lainnya. Ketigas fakultas
ini berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut Ibn Miskawaih, ketika aktivitas jiwa
kebinatangan dikendalikan oleh jiwa berpikir, dan jiwa itu tidak tenggelam dalam memenuhi
keinginannya sendiri, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sederhana yang diiringi
kebajikan dermawan.
Sementara itu, ketika jiwa amarah memadai dan mematuhi segala aturan yang
ditetapkan oleh jiwa berpikir serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini
akan mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi kebajikan sikap berani. Kebajikan sikap
adil ini berhubungan dengan tepat antara kebajikan satu dengan kebajikan lainnya. Keempat
sifat ini dapat dikatakan sebagai penyakit jiwa dan menimbulkan banyak kepedihan seperti
perasaan takut, sedih, marah, berjenis-jenis cinta dan keinginan, dan karakter buruk lainnya.
Menurutnya, kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan
kemauannya dan dengan berupaya dan dengan hal yang berkaitan dengan tujuan
diciptakannya manusia.
Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang
sejalan dengan ajaran Islam. Karena itu, sungguhpun Ibn Miskawaih tidak menggunakan
dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadis untuk menguatkan ajarannya, namun konsep tersebut
sejalan dengan ajaran Islam. Bagi Ibn Miskawaih, kebajikan hanya dapat dicapai seseorang,
jika orang tersebut bergaul dengan masyarakat. Menurutnya, manusia tidak akan pernah
dapat mencapai kesempurnaan dengan hidup menyendiri.
Seorang manusia harus bersahabat dengan manusia lain dan harus menyayanginya
secara tulus. Tanpa bergaul dengan masyarakat, maka manusia itu tidak akan dapat
menggapai kebajikan. Pembahasan ini memiliki kaitan erat dengan pembahasan akhlak.
Sementara kebahagiaan diartikan sebagai kebaikan dalam kaitannya dengan pemiliknya dan
kesempurnaan bagi pemiliknya.
Dengan kata lain, kebahagian itu bagian dari kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih,
karena manusia terdiri atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa, maka kebahagiaan itu meliputi
keduanya.
b. Konsep Pendidikan
Seluruh karya Ibnu Miskawaih tidak lepas dari kepentingan filsafat akhlak, sehingga tidak
mengherankan jika Ibnu Miskawaih dikenal sebagai moralis. Adapun karya Miskawaih
selengkapnya adalah:
Karya Ibnu Miskawaih yang telah dicetak:
1. Tahdzib al- Akhlaq wa Tathhir al-A’raq
Membahas tentang masalah yang berhubungan dengan pemerintah dan hukum terutama
menyangkut empat negara, yaitu Persia, Arab, India, dan Roma
13. Laghz Qabis
14. Risalah Yaruddu biha ‘ala Risalat Badi’ al-Zaman al- Hamadzani
Waashiyyat li Thalib al-Hikmah
Kesimpulan
kebahagian itu bagian dari kebaikan. Menurut Ibn Miskawaih, karena manusia terdiri
atas dua unsur yakni tubuh dan jiwa, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya.
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa tugas manusia di dunia adalah untuk mengabdi kepada
Tuhan. Karena itu, menurutnya semua materi-materi ilmu asalkan bertujuan untuk pengabdian
kepada Tuhan atau memperlancar proses pelaksanaan pengabdian kepada Tuhan, boleh dan dapat
diajarkan kepada manusia.
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai seorang pemikir yang produktif. Ia telah banyak melahirkan
karya tulis, tapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada 18 Jumlah buku dan artikel yang
berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Menurut Ahmad Amin, semua karya Ibnu
Miskwaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat etika. Oleh sebab itu maka wajarlah jika
beliau disebut sebagai moralis yang pemikirannya dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Meski demikian
beliau termasuk sosok filsuf Muslim yang berhasil. Keberhasilan Ibnu Miskawaih ini dibuktikan
dengan banyaknya buku yang ditulis.
2. Kekurangan
Penulis tidak menyediakan materi secara langsung tanpa ada parafrase
sehingga terdeteksi banyak plagiarime pada papernya, kurangnya pratinjau sehingga
masih banyak typo, dan penyusunan karya tulis tidak sesuai kaidah kepenulisan, EYD
dan sistematis yang populer atau dipakai saat ini.