Anda di halaman 1dari 9

GNOSEOLOGI: HAKIKAT, KEDUDUKAN SERTA MAQAM DALAM

AL-QUR’AN

Roikhatul Latifah, Sulthon Favian Jiwana, Yayang Tegar Hamidha, Yudi Hariyanto, Ziyad
Shofwani Abu Haiyis, Mohammad Firstyan Khoirussidqi Aziz.
UIN Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

A. Pendahuluan

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang secara khusus membahas tentang teori
pengetahuan (theory of knowledge). Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme,
artinya pengetahuan. Diantara beberapa persoalan pokok yang bertalian dengan epistemologi
adalah apakah sumber-sumber pengetahuan itu, dari manakah pengetahuan yang benar itu
datang dan bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan. Apakah sifat dasar pengetahuan
tersebut.

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang secara khusus menggeluti


pertanyaanpertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut
epistemologi. Istilah “epistemologi” sendiri berasal dari kata Yunani episteme adalah
pengetahuan dan logos adalah perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani
berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka,
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “mendapatkansesuatu
dalam kedudukan setepatnya.” Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa
Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistemologi” dalam sejarah pernah juga
disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang
dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge; Erkentnistheorie) (Hidayat, 2012).

Epistemologi sebagai teori pengetahuan sebagai cabang filsafat berurusan dengan hakikat
dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta
pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki (Rahman, 2012).

[1]
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan
epistemologi semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objeknya.
Dengan demikian epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Oleh
karena itu perbedaan mengenai pilihan ontologis akan mengakibatkan perbedaan sarana yang
akan digunakan, yaitu apakah akal, pengalaman, budi, intuisi, atau yang lain. Lebih dari itu
ditunjukkan pula kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batasbatas validitas dari
suatu hasil yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah (Mufid, 2016).

Dengan demikin pemikiran juga termasuk studi yang menekuni hal-hal yang fundamental
dalam pengetahuan yaitu paradigma kefilsafatan yang menyangkut asumsi dasar yang disusun
sebagai landasan dan kerangka dari suatu bangunan keilmuan. Asumsi dasar tersebut termasuk
hal-hal yang diorientasikan untuk memecahkan berbagai persoalan menyangkut hubungan
subyek dan obyek, tolok ukur validasi keilmuan dan prinsip-prinsip dasar lainnya. (Amin
Abdullah, 2001).

Dalam Tulisan ini, para penulis berupaya dalam mengulas perihal hakikat Al-Qur’an dan
kedudukannya untuk dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Analisis akan diperdalam
dengan mengelaborasi berbagai pemikiran kontemporer dan pemikiran lainnya sehingga dapat
dilihat horizon baru dalam melihat masa depan sains dan agama.

B. Pembahasan

1. Hakikat Al-Qur’an
Kata Al-Qur’an berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca dan bentuk
masdar (kata dasar)nya adalah Quran yang berarti bacaan. Al-Qur’an mempunyai
beberapa nama, di antaranya adalah Kitab Allah, al-Furqan yang berarti pembeda antara
yang benar dan bathil.1 Az-Zikir yang berarti peringatan.2 At-Tanzil yang berarti
diturunkan, dan lainnya.3 Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat Alquran. Imam
al Ghazali dalam kitab al-Mustasfamin 'Ilm al-Usul (suatu kitab yang membahas

1
Al-Qur’an Surah Al-Furqan: 1.
2
Al-Qur’an Surah Al-Hijr: 9.
3
Al-Qur’an Surah Asy-Syuraa:192.

[2]
masalah usul fikih), menjelaskan bahwa hakikat Alquran adalah kalam yang berdiri pada
Zat Allah SWT yang kadim (tidak bermula). Menurut mutakalimin (ahli teologi Islam),
hakikat Alquran adalah makna yang berdiri pada Zat Allah SWT. Adapun golongan
Muktazilah, hakikat Alquran adalah huruf-huruf dan suara yang diciptakan Allah yang
setelah berwujud lalu hilang dan lenyap. Dengan pandangan ini, kaum Muktzilah
memandang Alquran sebagai ciptaan Allah Swt.
Ketika menyebut “Al-Qur’an” seharusnya yg kita sebut itu hakikat bukan sebuah
benda nyata, tapi kita selalu membayangkan bahwa Al-Quran itu adalah sebuah benda
atau buku. Padahal istilah “Al-Qur’an” awalnya sama sekali tidak mengacu pada
sebentuk “buku”, Al-Qur’an pada hakikatnya yakni keadaan aslinya seperti semula,
sebelum ia dibukukan, yaitu ucapan-ucapan yang disampaikan Allah kepada nabi
Muhammad melalui malaikat jibril. Selanjutnya melalui satu proses pencatatan (secara
prosedural). Al-quran itu dikumpulkan di dalam mushaf, lengkapnya mushhaafusy -
syarif secara harfiah = buku yg mulia. Dari sini orang menerjemahkan kitab suci sebutan
bagi buku yg berisi rekaman / catatan wahyu yg pernah diterima oleh nabi muhammad
dalam waktu sekitar 23 tahun.
Ketahuilah! Bahwa Alam yang kita lihat sangatlah luas ini baik di langit maupun
di bumi, mencakup keseluruhannya yaitu sekalian Alam, terhimpun atau terangkum
akan rahasia Ilmunya di dalam 30 Juz Al-Qur’an. Artinya adalah siap-siapa yang
membaca dan memahami Al-Qur’an, maka sama halnya ia melihat kepada Sekalian
Alam. Karena Hakikat penciptaan alam ini termuat pada 30 Juz Al-Qur’an 114 Surah
6666 Ayat.
Sangat agung sekali Kitab Al-Qur’an itu yang diturunkan kepada Rasulullah
saw. yang kemudian menjadi kitabnya orang-orang Islam. Bahkan dikatakan bahwa Al-
Qur’an itu sebagai penyempurna dari pada kitab-kitab sebelumnya. Akan tetapi,
keagungan dari pada Al-Qur’an itu bukanlah dilihat dari pada tulisan dan bacaannya,
melainkan dari makna yang tersirat atau terkandung di dalamnya. Adapun tulisan atau
bacaan yang termuat di dalam kitab itu tidak ada bedanya dengan buku-buku bacaan
biasa, sehingga letak keimanan seseorang jika terfokus kepada kitabnya maka sama
halnya ia beriman kepada sesuatu yang kelak akan hancur. Kami katakan akan hancur
karena apabila kitab atau bukunya dimasukkan ke dalam api maka ia akan terbakar,

[3]
dimasukkan ke dalam lautan maka ia akan basah. Jangankan di bakar dan dimasukkan
ke dalam air, di taruh saja di atas lemari, tidak di rawat dan di urus lambat laun ia akan
rusak dan lapuk di makan oleh rayap. Sudah kewajiban bagi seorang Mukmin untuk
beriman atau mempercayai kepada kitab Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Namun, yang perlu direnungkan adalah keimanan atau kepercayaan seseorang akan
sesuatu akan di bawa sampai mati bahkan sampai ke Robbul Jalil. Apabila yang di imani
adalah sesuatu yang rusak dan hancur, maka keimanannya akan dipertanggungjawabkan
di hari kemudian ,kenapa beriman kepada sesuatu yang hancur. Namun, apabila ia
mengerti bahwa yang diimani itu bukanlah “kitabnya atau bukunya” melainkan yang
terkandung di dalamnya yaitu “firman Allah” maka keimanan seperti itulah yang akan
menjadi penolongnya di hari kemudian, karena Makna yang terkandung di dalam kitab
itu yaitu “firman Allah” tidak akan hancur dan tidak akan Musnah sampai kapan pun
juga.
Allah Swt berfirman :
“Dan sekiranya Qur’an diletakkan di atas gunung, maka gunung dapat digoncangkan
atau diletakkan pada bumi, maka bumi jadi terbelah atau diletakkan pada orang mati
maka orang-orang yang sudah mati dapat berbicara” 4

2. Kedudukan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam


Al-Qur’an yang hakikatnya sebagai kalam yang berdiri atas Zat Allah Swt.
menempati urutan pertama sebagai sumber hukum utama dalam Islam yang kemudian
disusul oleh Hadist, Ijma’, dan Qiyas. Oleh karena itu, pengambilan suatu hukum dalam
Islam wajib berpatokan kepada Al-Qur’an terlebih dahulu. Kemudian, apabila
pengambilan hukum pada Al-Qur’an dirasa kurang menjawab permasalahan maka
diperbolehkan untuk berpandangan kepada As-Sunnah atau Hadits, Ijma’, dan yang
merupakan opsi terakhir yaitu Qiyas. Keempat sumber hukum ini tidak boleh bertolak
belakang dengan Al-Qur’an dan harus tetap berpedoman teguh kepada Al-Qur’an.
Al-Qur’an ditetapkan sebagai sumber hukum utama dalam Islam karena
beberapa faktor. Pertama, Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang memiliki nilai
kebenaran tanpa perlu dipertanyakan kembali kebenaran tersebut. Abdul Wahhab
Khallaf yaitu seorang ahli bidang Ushul Fiqh mengatakan bahwa kehujjahan Al-Qur’an

4
Al-Qur’an Surah Ar Ra’d: 31.

[4]
terdapat pada kebenaran dan kebenaran atas isinya tidak ada keraguan sedikitpun
atasnya.5 Al-Qur’an memiliki kebenaran yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat
oleh seorang pun. Al-Qur’an sendiri telah menegaskan hal tersebut dalam firman Allah
yang berbunyi:

َ‫ْب ۛ فِ ْي ِه ۛ هُدًى لِّ ْل ُمتَّقِ ْي ۙن‬ َ ِ‫ٰذل‬


َ ‫ك ْال ِك ٰتبُ اَل َري‬

Artinya:

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.6
Dengan adanya firman tersebut maka jelas sudah bahwa Al-Qur’an memiliki
kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi atasnya. Apabila kita melihat dari arah
sisi sains maka dapat ditemukan banyak penelitian yang membuktikan kebenaran dari
Al-Qur’an. Sebagai contoh yaitu peneliti menemukan bahwa langit atau atmosfer benar-
benar terdiri dari tujuh lapisan sebagaimana yang disebutkan di Al-Qur’an. Para peneliti
menemukan bahwa langit atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan yang saling
bertumpukan yang memiliki jenis gas dan tekanan yang berbeda di setiap tingkat
lapisannya.
Kedua, Al-Qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. Al-Qur’an merupakan suatu mukjizat yang amat luar biasa. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum sekaligus sumber ilmu dari segala ilmu yang ada. Di dalam
Al-Qur’an terkandung kisah-kisah umat terdahulu yang sebelumnya belum pernah
diketahui sama sekali dan hal tersebut sangatlah berguna bagi ranah pendidikan guna
mengetahui sejarah Islam. Selain itu, Al-Qur'an terdapat gambaran peristiwa yang akan
terjadi di masa depan dan hak tersebut terbukti kebenarannya. Hal ini dibuktikan dengan
firman Allah yang menyatakan bahwa kaum Muslimin akan dapat menguasai Mekkah
yang sebelumnya Mekkah telah dikuasai penuh oleh kaum penyembah berhala. Firman
Allah berbunyi:

‫ق ۚ لَتَ ْد ُخلُ َّن ْال َم ْس ِج َد ْال َح َرا َم اِ ْن َش ۤا َء هّٰللا ُ ٰا ِمنِ ْي ۙنَ ُم َحلِّقِ ْينَ ُرءُوْ َس ُك ْم‬
ِّ ‫ق هّٰللا ُ َرسُوْ لَهُ الرُّ ْءيَا بِ ْال َح‬ َ ‫لَقَ ْد‬
َ ‫ص َد‬
‫ِّر ْي ۙنَ اَل تَخَافُوْ نَ ۗفَ َعلِ َم َما لَ ْم تَ ْعلَ ُموْ ا فَ َج َع َل ِم ْن ُدوْ ِن ٰذلِكَ فَ ْتحًا قَ ِر ْيبًا‬ ِ ‫َو ُمقَص‬
5
Abdul Latif. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama. Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan 4, 1 (2017): 65.
6
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 2.

[5]
Artinya: "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran
mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang
tiada kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat."7
Ketiga, Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang tanpa adanya campur tangan
manusia dalam isinya, melainkan Al-Qur'an tercipta langsung dari Allah Swt. Seperti
dalam firman Allah:

‫ص ۤا ِٕى ُر ِم ْن َّربِّ ُك ْم َوهُدًى‬ َّ َ‫َواِ َذا لَ ْم تَْأتِ ِه ْم بِ ٰايَ ٍة قَالُوْ ا لَوْ اَل اجْ تَبَ ْيتَهَ ۗا قُلْ اِنَّ َمٓا اَتَّبِ ُع َما يُوْ ٰ ٓحى• اِل‬
َ َ‫ي ِم ْن َّرب ۗ ِّْي ٰه َذا ب‬
َ‫َّو َرحْ َمةٌ لِّقَوْ ٍم يُّْؤ ِمنُوْ ن‬

Artinya: "Dan apabila engkau (Muhammad) tidak membacakan suatu ayat kepada
mereka, mereka berkata, “Mengapa tidak engkau buat sendiri ayat itu?” Katakanlah
(Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku
kepadaku. (Al-Qur'an) ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman."8
Apabila kita melihat kepada kitab Ushul Fiqh Al-Islamiyi karangan Wahbah
Zuhaili yang dikutip oleh Ernawati memaparkan bahwa para ulama membagi hukum di
dalam Al-Qur'an menjadi tiga bagian, antara lain:9
a) Hukum aqidah
Hukum yang berisi mengenai pilar-pilar keimanan seorang hamba kepada
Tuhannya. Meliputi: keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, hari kiamat, dan
kepada qada dan qadar.
b) Hukum etika
Hukum yang berisi mengenai aturan, norma, dan perilaku seorang Muslim untuk
berakhlak mazmumah serta menjauhi akhlak mahmudah.
c) Hukum amaliyah
Hukum yang berisi aturan dalam menjalin hubungan dengan Penciptanya dan
sesama manusia.

7
Al-Qur’an Surah Al-Fath: 27.
8
Al-Qur’an Surah Al-A'raf: 203.
9
Septi Aji Fitria Jaya, Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Indo-Islamika 9, 2 (2019): 208.

[6]
3. Maqamat
Salah satu tujuan hidup manusia menurut Islam adalah menyerahkan dan
mengabdikan diri kepada Allah SWT. Secara umum, kata pengabdian merujuk pada
berbagai jenis kegiatan yang baik (positif). Namun lebih khusus lagi, sebagian orang ada
yang mempraktikkan amalan ibadah yang lebih khusus, dan menurut mereka, itulah cara
terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, aktivitas dan praktik ibadah
secara khusus dilakukan di tempat dan waktu yang sederhana. Dalam ajaran islam, hal
ini dikenal dengan ilmu tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu fenomena Islam yang
bertujuan untuk memurnikan aspek spiritual seseorang, yang pada akhirnya akan
melahirkan akhlak yang mulia. Dengan tasawuf ini, seseorang bisa belajar bagaimana
cara dalam mensucikan diri dan jiwa, kemudian dapat mengamalkannya dengan benar.
Para kaum sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi
tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah,
lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam, persoalan
ini harus dilewati oleh seorang sufi untuk dapat dekat dengan Tuhannya, dan berakhir
dengan mengenal (ma’rifah) terhadap Allah Swt.
Ketika kita membicarakan tasawuf pasti tidak terlepas dari pembahasan tentang
derajat atau tingkat kedekatan seorang hamba sufi dengan Tuhannya. Tingkatan tersebut
dalam dunia sufi disebut dengan maqamat. Semakin tinggi tingkat kesufian yang
ditempuh oleh seseorang, maka semakin dekat pula dia dengan Allah Swt.
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti, tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages
yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui
riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah.10 Maqamat tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus melalui proses yang
sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui

10
Hana widayani, Maqamat (Tingkatan Spiritualitas Dalam Proses Bertasawuf), El-Afkar 8, 1 (2019): 12.

[7]
oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui maqam-maqam yang
banyak, dari maqam paling rendah sampai tertinggi.11
Para ulama sufi berbeda pendapat tentang jenjang-jenjang dalam tasawuf
tersebut. Begitu juga tentang berapa jumlah maqam. Menurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh)
maqam, yang jenjangnya adalah: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir
Ridha. Al-Thusi memiliki format lain, yaitu: Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar,
Tawakkal dan Ridha. Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan berikut: taubat, shabar,
syukur, raja’, khauf, zuhud, mahabbah, asyiq, unas, ridha. Menurut Harun Nasution,
maqam-maqam yang paling populer terdiri dari: taubat, zuhud, shabar, tawakkal dan
ridha. Maqam-maqam tersebut tentunya berpegang teguh dan bersumber kepada Al-
Qur’an sebagaimana pembahasan di atas yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an sebagai
sumber hukum utama dalam Islam.
Maka dari itu sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin mengenal dan menuju
jalan kepada Allah sudah pasti menempuh jalan maqamat ini, karena apabila seseorang
tidak menempuh jalan maqamat atau bahkan tidak menempuh sama sekali maka bisa di
pastikan keraguan kewalian atau kema'rifa’an dari orang tersebut.
C. Penutup

11
Asnawiyah, Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan, Substantia: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin 16, 1 (2014): 81.

[8]
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim
Latif, Abdul. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama. Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan 4,
1 (2017).
Jaya, Septi Aji Fitria. Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Indo-
Islamika
9, 2 (2019).
Widayani, Hana. Maqamat (Tingkatan Spiritualitas Dalam Proses Bertasawuf), El-Afkar 8, 1
(2019).
Asnawiyah. Maqam dan Ahwal: Makna dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan,
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 16, 1 (2014).

Hidayat, A. (2012). Epistemologi Carok (Refleksi terhadap Struktur Dasar Kesadaran dalam
Aktivitas Manusia Mengetahui). Karsa, 54–67.

Rohman, M. A. A. (2016). Pendidikan islam dalam perspektif epistemologi burhaniy.


Qalamuna: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Agama, 8(02).

M. Amin Abdullah, “al-Ta‟wil al-Ilmi: Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”,
dalam al-Jami’ah Journal of Islamic Studies IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, volume 39,
No. 2, (Juli-Desember 2001), 366.

Mufid, F. (2016). Radikalisme Islam dalam Perspektif Epistemologi. Addin, 10(1), 61–82.

[9]

Anda mungkin juga menyukai