PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
NIM: 030.15.102
Tegal,……………………. 2019
Pembimbing
NIM : 030.15.102
Tegal,…………………….
Pembimbing
1.2 Etiologi
Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi, beberapa
kondisi atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah atau struktur
lain di ginjal dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling sering muncul
adalah:
a. Diabetes Mellitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika kadar
gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal ini dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
b. Hipertensi
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab penurunan
fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama terjadinya CKD.
Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD antara lain:
a. Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan oleh kista
c. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal. Seperti
obat Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), seperti Celecoxib dan
Ibuprofen dan juga penggunaan antibiotik.
Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan
kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan
peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD. Berikut adalah
klasifikasi stadium CKD:
Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien
sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami,
maka nilai GFRnya akan semakin kecil.
1.5 Manifestasi Klinis
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis.
Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah
merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-
Gault. Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya
dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan
penanda endogen yang ideal.
1.7 Tatalaksana
1. Obat antihipertensi
a. ACE inhibitor
2. Golongan Diuretik
a. Diuretik kuat
Pada otot jantung dan otot polos vaskular, kalsium berperan dalam
peristiwa kontraksi. Pada otot jantung mamalia, masuknya Ca2+ ke dalam sel
akan meningkatkan kontraktilitas dari otot jantung melalui peristiwa repolarisasi
dan depolarisasi sel. Ion Ca2+ masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat
golongan Calcium Channel Blocker akan menghambat masuknya ion Ca2+ ke
dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga
memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada
jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jantung.
Contoh obat golongan ini adalah Nifedipin dan Amlodipin.
4. Beta Blocker
5. Obat antidiabetes
a. Golongan Biguanid
Biguanid tidak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol,
hormon pertumbuhan, dan somatostatin. Contoh obat golongan ini adalah
Metformin. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Oleh karena itu pada pasien diabetes yang gemuk,
Biguanid dapat menurunkan berat badan namun mekanismenya belum jelas
dan pada orang non diabetes yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan
dan kadar glukosa darah.
6. Hemodialisa
7. Tatalaksana Non-farmakologis
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup (JNC 7). Modifikasi gaya hidup yang terlihat
mampu menurunkan tekanan darah salah satu diantaranya adalah dengan
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk, menjalankan pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium
dan kalsium, diet rendah natrium/garam, melakukan aktifitas fisik, dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan
tekanan pengontrolan tekanan darah yang cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi, mengurangi intake garam dan berat badan dapat membebaskan
pasien dari penggunaan obat.
BAB II
2.1 Definisi
Gambar 2.1 CKD-MBD merupakan sinopsis dari tiga kondisi penyakit yang berkaitan.
2.2 Fisiologi Metabolisme Mineral
a) Homeostasis Kalsium
Ion kalsium penting dalam semua sistem biologis dari tubuh dan terlibat
dalam banyak proses termasuk pelepasan hormon, neurotransmisi,
kontraksi otot dan koagulasi. Kalsium juga dibutuhkan dalam reaksi
enzimatik dan mediator untuk efek hormonal dan ion mayoritas dari
struktur tulang dan gigi. Kebutuhan kalsium yang sangat krusial
menyebabkan tubuh mengatur kandungannya dalam plasma dengan ketat.
b) Homeostasis Fosfat
Fosfat penting dalam suatu sistem biologis dan berperan dalam berbagai
proses selular. Fosfar terintegrasi dalam senyawa glikolitik dan senyawa
transfer energi tinggi seperti ATP dan ada dalam serum atau plasma
sebagai fosfat atau fosfor inorganik. Fosfat juga terlibat dalam aktivitas
enzimatik tulang dan merupakan anion mayor dalam struktur tulang.
Normalnya fosfat dalam plasma adalah 0,8-1,5 mmol/L dan terutama
diserap dari makanan dan kebanyakan fosfat diekskresi oleh ginjal.
Penyerapan kembali oleh tubular ginjal diatur untuk nilai normal fisiologis
meskipun penyimpanan dijaringan banyak termasuk otot.
FGF23 adalah protein 32-Kda yang disekresi oleh osteosit ditulang dan
awalnya diidentifikasi sebagai faktor penyebab rakhitis autosomal
dominan hipofosfat. Saat ini FGF23 memegang peran fisiologis penting
dalam mengatur nilai fosfat normal dan dilepaskan dari tulang dalam
respon meningkatkan nilai fosfat. Aksi FGF23 ini bergantung dari adanya
klotho sebagai kofaktor untuk berinteraksi dengan reseptor FGF.
Mayoritas dari kompleks reseptor FGF-klotho di ginjal ditemukan di
tubulus distal dimana mayoritas ekskresi fosfat terjadi di tubulus
proksimal. Mekanisme aksinya tidak diketahui dengan jelas namun
hipotesisnya adanya jalur parakrin yang tak diketahui, secara potensial
bersama klotho yang larut dilepaskan ketika diaktifkan di tubulus distal
dan beraksi di tubulus proksimal. FGF23 juga menghambat aktifitas
dari1α-hydroxylase sehingga mengurangi jumlah aktif dari 1,25(OH)2
vitamin D dalam sirkulasi. Aksi ini akan mengarah pada pengurangan
fosfat dengan mengurangi absorpsi di traktus gastro-intestinal.
Gambar 2.5. Diagram yang menunjukkan alur vitamin D dan feedback negatif PTH dan FGF23.
2.3 Mekanisme timbal balik antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang
Vit D3 yang dihasilkan oleh ginjal membantu penyerapan Ca dan P04 di saluran
cerna. Ca dapat menghambat pembentukan vit D3 oleh ginjal dan menghambat
produksi HPT oleh kelenjar paratiroid. P04 dapat merangsang produksi HPT oleh
kelenjar paratiroid. Antara P04 dan Ca terdapat keseimbanghan fisikokimiawi
yang stabil. Peningkatan P04 dapat menekan Ca, tapi sebaliknya, Ca yang tinggi
tidak dapat menekan P04. P04 yang tinggi dalam darah bisa merangsang
pembentukan Fibroblast Growth Factor 23 (FGF23) oleh tulang. FGF 23 ini
merangsang produksi Vit D3 dan menghambat produksi HPT. Terjadi hubungan
timbal balik antara FGF 23 dan HPT, juga antara FGF 23 dan Vit D3. Vit D3
dapat menghambat produksi HPT, sebaliknya HPT dapat menghambat produksi.
Vit D3. Pada PGK, keseimbangan ini terganggu akibat peningkatan P04 yang
terjadi karena terhambatnya ekskresi, dan penurunan kadar vit D3 karena
pengurangan massa ginjal.
3). meningkatkan pembebasan fibroblast growth factor 23 (FGF 23) oleh osteosit
tulang sekelet.
Fibroblast Growth Factor (FGF) 23 adalah sejenis faktor yang berperan untuk
mengatur reabsorbsi fosfat inorganic di tubuli renalis. Pada PGK terjadi
peningkatan kadar FGF23. Peningkatan FGF-23 ini disebabkan oleh
peningkatan kadar fosfat inorganik, yang akan melepaskan FGF-23 dari
osteosit dan osteoblast tulang skelet. 1.25(OH)2D3 juga merangsang
pelepasan FGF-23. Pengaruh FGF-23 yang paling menonjol adalah
menghambat Na-Pi cotransport di ginjal dan mengakibatkan fosfaturia,
menghambat 1-α vit D3 hydroxilase sehingga terjadi penurunan kadar 1.25
(OH)2D3. Hal ini akan mengakibatkan penghambatan resorbsi Pi dan Ca di
saluran cerna. Diduga HPT juga merangsang pelepasan FGF-23.
Gambar 2.4.1 Skema regulasi FGF-23
Gambar 2.4.2. Patofisiologi CKD-MBD
2.5 Manifestasi Klinis
Penderita dengan ODR stadium awal sering tidak merasakan keluhan. Kadang
kadang bisa terjadi keluhan akibat hipocalcemia berupa paraestesia atau kejang
fokal, yang sering dikacaukan dengan neuropati uremik. Keluhan nyeri tulang
terjadi pada ODR stadium lanjut, yang sudah disertai dengan hiperparatiroidisme
sekunder. Tidak jarang terjadi fraktur spontan akibat osteoporosis. Kalsifikasi
metastatik sering berupa kalsifikasi subkutaneus (benjolan-benjolan yang berisi
endapan garam kalsium fosfat), atau kalisfikasi pada pembuluh darah besar
(seperti aorta, arteri karotis) maupun miokard yang baru tampak pada
pemeriksaan echokardiografi. Pada beberapa kasus juga terjadi calsifilaxis, yaitu
nekrosis yang luas (biasanya pada ekstrimitas atas maupun bawah) akibat oklusi
pembuluh darah oleh garam calsium fosfat. Manifestasi klinis ADB dapat berupa
osteomalasia, yang ditandai dengan gangguan postur tulang-tulang panjang,
seperti kifosis, scoliosis, atau pembengkokan tulang-tulang ekstremitas.
Diagnosis dimulai dari pemeriksaan kadar fosfat inorganik dan calcium plasma
sebagai awal terjadinya proses GMT-PGK. Kadar fosfat selalu menigkat,
sedangkan kadar calcium bisa rendah, normal atau tinggi, tergantung stadium
penyakit. Ada dua jenis calcium plasma yaitu Ca bebas dan Ca ion. Ca bebas,
kadarnya tergantung pada kadar albumin plasma, sehingga untuk mendapatkan Ca
ion harus dikonversi dengan rumus yang sudah ditetapkan. Lebih lanjut,
dilakukan pemeriksaan PTH, bisa disertai dengan pemeriksaan alkalifosfatase
tulang (bone alkaliphosphatase/BAP). Pemeriksaan kalsitriol plasma tidak
dilaksanakan secara rutin. Pemeriksaan radiologi tulang, sering memperlihatkan
tanda yang tidak spesifik dan baru tampak setelah terjai kerusakan tulang stadium
lanjut. Biopsi serta analisis histomorfometrik tulang, walaupun merupakan baku
emas, tiak dilaksanakan secara rutin Indikasinya adalah, keadaan dimana terdapat
ketidaksesuaian (inconsistencies) parameter biokimiawi, nyeri tulang yang tidak
dapat dijelaskan (unexplained), serta fraktur yang tidak dapat dijelaskan
(unexplained). Klasifikasi histologis pada gangguan tulang yang terjadi pada
GMT-PGK berdasarkan pada derajat abnormalitas bone turnover dan kegagalan
mineralisasi matriks ekstraselular tampak pada tabel berikut :
Biopsi tulang masih menjadi gold standard untuk diagnosis definitive dari CKD-
MBD, walaupun hal ini tidak dilakukan pada rutinitas praktek klinik di
kebanyakan pusat kesehatan dan diagnosis dilakukan berdasarkan parameter
biokimia. Berikut contoh dari patohistologi yang terlihat ditulang dengan CKD-
MBD.
Gambar 2.8. Biopsi tulang yang didapat dari pasien dengan hiperparatiroid sekunder-tampak
zona dekalsifikasi dan meningkatnya jumlah osteoklas.
Nilai PTH yang lebih besar dari 50 pcmol/L adalah indikasi tinggi dari osteitis
fibrosa yang mana lesi adinamik dicurigai ada pada nilain dibawah10 pcmol/L.
Nilai serum alkalin fosfatase mungkin meningkat pada hiperparatiroid
mengindikasikan bertambahnya aktifitas osteoblastik.
2.7 Tatalaksana
Strategi ke depan dalam penatalaksanaaan GMT-PGK adalah
Berbagai jenis pengikat fosfat sudah tersedia, baik yang calcium base maupun
yang noncalcium base, namun usaha pengendalian fosfat pada penderita penyakit
ginjal kronik tetap menjadi masalah. Dialisis, walaupun dalam jumlah terbatas
dikatakan dapat mengurangi hiperfosfatemia. Hasil yang baik dilaporkan terjadi
pada hemodialisis setiap hari (daily hemodyalisis). Pemberian Vitamine D3
Receptor Activator (VDRA) dengan tujuan menghambat terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder, dilaporkan banyak memberikan hasil, walau masih
terdapat sedikit kontroversi. Pemberian preparat calcimemetik yang dapat
mengakibatkan down regulation Calcium Sensing Receptor (CsR) sehingga
sekresi PTH dapat dihambat, dilaporkan juga banyak memberikan hasil, Dan
apabila sudah terjadi hipertrofi kelenjar paratiroid (parathyroid adenoma), atas
indikasi tertentu, dilakukan paratireoidektomi; baik medical maupun operasi.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
2. Uhlig et al. KDOQI US Commentary on the 2009 KDIGO ClinicalPractice Guideline for
the Diagnosis, Evaluation, and Treatment of CKD – Mineral and Bone Disorder (CKD-
MBD). American Journalof Kidney Diseases.2010. 55 (5) pp 773-779
7. Fang Y et al. Early chronic kidney disease – mineral bone disorderstimulates vascular
calcification. Kidney International. 2014. 85 pp142-150
10. Wesseling-Perry K and Salusky IB. Redefining the pathogenesis ofCKD-MBD: the
critical role of FGF-23. Boletin de la sociedad de pediatria de asturias, cantabria, castilla
y leon. 2010. 50 (1)
11. Westerberg PA, Linde T, Wiksstrom B, et al. Regulation of fibroblast growth factor-23 in
chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3202-3207.
12. Nicolás TL, Leonard MB, Shane E. chronic kidney disease and bone fracture: a growing
concern. Kidney Int. 2008; 74: 721-731.
13. Llach F, Fernandez E. Overview of renal bone disease: Causes of treatment failure,
clinical observations, the changing pattern of bone lesion, and future therapeutic
approach. Kidney Int 2003; 64 (87): S113-S119.
14. Brandenburg VM, Floege J. Adynamic bone disease- bone and beyond. Nephrol Dial
Transplant 2008; 3:135-147.
15. Yano S, Yamaguchi T, Kanazawa I, et al. The uraemic toxin phenylacetic acid inhibits
osteoblastic proliferation and differentiation: an implication for the pathogenesis of low
turnover bone in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3160-3165.