Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

“GANGGUAN METABOLISME TULANG DAN MINERAL PADA CHRONIC


KIDNEY DISEASE”

PEMBIMBING :

dr. Said Baraba, Sp.PD, FINASIM

DISUSUN OLEH :

Lieza Ariany 030.15.102

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH, KOTA TEGAL

PERIODE 28 Oktober 2019 – 4 Januari 2020


LEMBAR DIAJUKAN

Referat dengan judul :

“GANGGUAN METABOLISME TULANG DAN MINERAL PADA


CHRONIC KIDNEY DISEASE”

Nama : Lieza Ariany

NIM: 030.15.102

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal

Periode 28 Oktober 2019 – 4 Januari 2020

Tegal,……………………. 2019

Pembimbing

dr. Said Baraba, Sp.PD, FINASIM


LEMBAR REVISI

Referat dengan judul :

“GANGGUAN METABOLISME TULANG DAN MINERAL PADA


CHRONIC KIDNEY DISEASE”

Nama : Lieza Ariany

NIM : 030.15.102

Direvisi dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal

Periode 28 Oktober 2019 – 4 Januari 2020

Tegal,…………………….

Pembimbing

dr. Said Baraba, Sp.PD, FINASIM


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Gangguan mineral dan tulang dari penyakit ginjal kronik atau yang sering disebut
CKD-MBD (Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder) merupakan tema yang
menarik sekaligus kontroversial. Konferensi sering diadakan untuk membahas mengenai
hal ini. CKD adalah masalah kesehatan publik internasional yang terjadi pada 5- 10%
populasi dunia. Seiring menurunnya fungsi ginjal, terjadi kemerosotan dalam
homeostasis tulang, dengan terganggunya serum normal dan konsentrasi jaringan dari
fosfor dan kalsium dan perubahan dalam tingkat sirkulasi hormone.
Dalam beberapa dekade terakhir, gangguan metabolisme mineral
pada pasien dengan CKD tidak hanya meyebabkan penyakit pada tulang tetapi juga meni-
ngkatkan resiko pada penyakit kardiovaskular dan mengurangi kelangsungan hidup
melalui adanya kalsifikasi vaskular. Hal ini mengarah pada konsep baru CKD-
MBD. CKDMBD adalah kondisi sistemik yang bermanifestasi pada abnormalitas PTH, k
alsium, fosfor dan vitamin D, kelainan tulang dan kalsifikasi ekstraskeletal. Sebagai
penyakit sistemik,tata laksana dari kelainan ini harus bertujuan untuk mengurangi resiko
kejadian kardiovaskular, patah tulang dan menambah kelangsungan hidup.

Gangguan Metabolisme Mineral dan Tulang pada Penyakit Ginjal Kronik


(GMTPGK) atau Chronic Kidney Disease –Mineral and Bone Disorders (CKD-MBD),
merupakan sekumpulan gangguan yang merupakan kosekuensi lanjut dari Penyajkit
Ginjal Kronik. GMT-PGK mencakup tiga pengertian yaitu 1). gangguan metabolisme
calcium, fosfat dan vitamin D, 2). gangguan tulang dalam hal turnover, mineralisasi,
volume, pertumbuhan dan kekuatan, 3). kalsifikasi vaskuler dan jaringan lunak. Dahulu
gangguan ini dikenal dengan sebutan Osteodistrofi Renal (OR) atau Renal
Osteodystrophy (RO), tapi saat ini RO diistilahkan hanya terhadap gangguian tulang yang
terjadi pada PGK. Banyak hal yang masih belum jelas tentang MBD-PGK. ini, baik
tentang patogenesis, klasifikasi, diagnosis, maupun penatalaksanaannya. Sementara itu
penelitian-penelitian tentang hal ini masih terus dilaksanakan oleh para ahli.
BAB II
CHRONIC KIDNEY DISEASE

1.1 Definisi CKD


Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
Kriteria CKD antara lain adalah :
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa manfaat penurunan Glomerulus Filtration Rate
(GFR), dengan manifestasi:
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
1.1 Epidemiologi
Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PDPERS) jumlah penderita CKD diperkirakan sekitar 50 orang per 1
juta penduduk. Pada tahun 2006 terdapat kurang lebih 100.000 orang penderita
CKD di Indonesia.

1.2 Etiologi
Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi, beberapa
kondisi atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah atau struktur
lain di ginjal dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling sering muncul
adalah:
a. Diabetes Mellitus
Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika kadar
gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal ini dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
b. Hipertensi
Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab penurunan
fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama terjadinya CKD.

Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD antara lain:

a. Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan oleh kista

b. Memiliki arteri renal yang sempit.

c. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal. Seperti
obat Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), seperti Celecoxib dan
Ibuprofen dan juga penggunaan antibiotik.

Diagram 1 menunjukkan penyebab gagal ginjal dari pasien yang menjalani


hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011.
Gambar 1. Etiologi gagal ginjal dari pasien yang hemodialisis di Indonesia pada tahun 2016

(Sumber: 9th Report of Indonesian Renal Registry, 2016)


1.3 Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktifitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal , ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor � (TGF- �).
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperi infeksi saluran kemih infeksi saluran napas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Gambar 2. Patofisiologi CKD


1.4 Klasifikasi

Penyakit ini didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan
kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan
peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD. Berikut adalah
klasifikasi stadium CKD:

Gambar 3. Stadium CKD

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh pasien
sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami,
maka nilai GFRnya akan semakin kecil.
1.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi gambaran yang sesuai dengan


penyakit yang mendasari, sindrom uremia dan gejala kompikasi. Pada stadium
dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal dimana GFR masih normal atau justru
meningkat. Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan. Ketika GFR sebesar 30%,
barulah terasa keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang,
dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR di bawah 30%, pasien
menunjukkan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terserang infeksi, terjadi gangguan keseimbangan
elektrolit dan air. Pada GFR di bawah 15%, maka timbul gejala dan komplikasi
serius dan pasien membutuhkan RRT.

1.6 Penegakkan Diagnosis

Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.


Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau
pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi,
computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope
scanning dapat mendeteksi beberapa kelainan struktural pada ginjal.
Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular
yang mendasari.

Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari urinalisis.
Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran sel darah
merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau proteinuria.

Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-
Gault. Penggunaan rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin.
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya
dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan
penanda endogen yang ideal.

1.7 Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan pada penyakit CKD adalah untuk memperlambat


perkembangan dari Chronic Kidney Disease (CKD), dengan meminimalkan
keparahan komplikasi termasuk penyakit kardiovaskular dan mencegah
perkembangan dari penyakit ginjal stadium akhir. Terapi non farmakologi dan
farmakologi terbukti dapat memperlambat perkembangan CKD. Terapi non
farmakologi pada pasien CKD biasanya dimulai dengan modifikasi diet protein.
Sedangkan terapi farmakologi pada pasien CKD bertujuan untuk mengontrol kondisi
yang tidak terduga seperti diabetes melitus dan hipertensi yang dapat mempercepat
perkembangan CKD. Pada CKD stage V, tujuan pengobatan adalah mencegah
morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

1. Obat antihipertensi

a. ACE inhibitor

ACE-Inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II


yang memiliki sifat vasokonstriktor sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat
sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodiltasi ACEinhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan
tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Contoh obat golongan ini adalah
Captopril, Ramipril, dan Elanapril.

Di ginjal, ACE-Inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga


meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju
filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE-Inhibitor menimbulkan
vasodilatasi lebih dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol
aferen sehingga menurunkan tekanan intraglomerular. Efek ini dimanfaatkan
untuk mengurangi proteinuria pada diabetes nefropati dan sindrom nefrotik
dan juga memperlambat perkembangan diabetes nefropati.

b. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Obat golongan ini bersifat antagonis terhadap angiotensin II, sehingga


memiliki mekanisme kerja yakni menduduki reseptor angiotensin II yang
memiliki sifat vasokonstriksi. Oleh karena itu, tekanan darah dapat
diturunkan. Contoh obat golongan ini adalah Valsartan, Candesartan,
Losartan, dan Irbesartan. ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi tapi kurang efektif pada
pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah.

2. Golongan Diuretik

a. Diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit Na+


/K+ /Cl- di ansa henle asendens bagian epitel tebal, dimana tempat kerjanya
berada di permukaan sel epitel bagian luminal. Perubahan hemodinamik ini
akan menyebabkan turunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli
proksimal dan meningkatkan efek awal diuresis sehingga tekanan darah dapat
menurun. Efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena
itu, diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >2,5mg/dL). Contoh obat
golongan ini adalah Furosemid dan Bumetanid.

3. Calcium Channel Blocker (CCB)

Pada otot jantung dan otot polos vaskular, kalsium berperan dalam
peristiwa kontraksi. Pada otot jantung mamalia, masuknya Ca2+ ke dalam sel
akan meningkatkan kontraktilitas dari otot jantung melalui peristiwa repolarisasi
dan depolarisasi sel. Ion Ca2+ masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat
golongan Calcium Channel Blocker akan menghambat masuknya ion Ca2+ ke
dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga
memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada
jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jantung.
Contoh obat golongan ini adalah Nifedipin dan Amlodipin.

4. Beta Blocker

Beta Blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik


Nonephineprin dan Ephineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada
adrenoreseptor-β. Efek terhadap sistem kardiovaskuler merupakan efek Beta
Blocker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker
mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Disamping itu, hambatan
sekresi renin dari ginjal melalui reseptor β1 juga menimbulkan efek hipotensif.
Sebagian sekresi renin akibat diet rendah natrium juga diblok oleh Beta Bloker.
Contoh obat ini adalah Propanolol, Bisoprolol, dan Atenolol.

5. Obat antidiabetes

a. Golongan Biguanid

Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu anti hiperglikemik,


tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak
menyebabkan hipoglikemia. Biguanid menurunkan produksi glukosa di hati
dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek
ini terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-Activated Protein
Kinase). Meski masih kontroversi tentang adanya penurunan produksi glukosa
hati, banyak data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi akibat penurunan
glukoneogenesis.

Biguanid tidak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol,
hormon pertumbuhan, dan somatostatin. Contoh obat golongan ini adalah
Metformin. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Oleh karena itu pada pasien diabetes yang gemuk,
Biguanid dapat menurunkan berat badan namun mekanismenya belum jelas
dan pada orang non diabetes yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan
dan kadar glukosa darah.

6. Hemodialisa

Hemodialisis atau hemodialisa atau cuci darah merupakan suatu proses


bertujuan untuk menggantikan sebagian faal eksresi ginjal yang ditujukan untuk
mempertahankan harapan hidup pasien. Hemodialisa dilakukan apabila pasien
mengalami CKD stadium 5 atau ESRD dengan nilai GFR <15 mL/min/1,73m2.

7. Tatalaksana Non-farmakologis

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus
melakukan perubahan gaya hidup (JNC 7). Modifikasi gaya hidup yang terlihat
mampu menurunkan tekanan darah salah satu diantaranya adalah dengan
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk, menjalankan pola
makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium
dan kalsium, diet rendah natrium/garam, melakukan aktifitas fisik, dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan
tekanan pengontrolan tekanan darah yang cukup baik dengan terapi satu obat
antihipertensi, mengurangi intake garam dan berat badan dapat membebaskan
pasien dari penggunaan obat.
BAB II

GANGGUAN TULANG DAN MINERAL PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

2.1 Definisi

CKD-MBD adalah suatu penyakit multisistem yang meliputi abnormalitas


dari metabolisme tulang, osteodistrofi ginjal, dan kalsifikasi ekstraskeletal. Istilah
CKD-MBD sendiri merupakan hal yang baru dalam beberapa tahun terakhir.
CKD-MBD digunakan untuk mendeskripsikan suatu kondisi yang berkembang
sebagai konsekuensi perubahan sistemik yang terkait dengan CKD. Gangguan
sistemik ini terdiri dari satu atau kombinasi dari kondisi abnormalitas nilai
laboratorium dari kalsium, fosforin organik, PTH atau vitamin D; abnormalitas
pergantian tulang, mineralisasi, pertumbuhan volume, linear dan kekuatan tulang;
dan kalsifikasi dari vaskular atau jaringan lainnya.

Gambar 2.1 CKD-MBD merupakan sinopsis dari tiga kondisi penyakit yang berkaitan.
2.2 Fisiologi Metabolisme Mineral

a) Homeostasis Kalsium

Ion kalsium penting dalam semua sistem biologis dari tubuh dan terlibat
dalam banyak proses termasuk pelepasan hormon, neurotransmisi,
kontraksi otot dan koagulasi. Kalsium juga dibutuhkan dalam reaksi
enzimatik dan mediator untuk efek hormonal dan ion mayoritas dari
struktur tulang dan gigi. Kebutuhan kalsium yang sangat krusial
menyebabkan tubuh mengatur kandungannya dalam plasma dengan ketat.

Gambar 2.2 Gambaran dari regulasi normal kalsium.

b) Homeostasis Fosfat

Fosfat penting dalam suatu sistem biologis dan berperan dalam berbagai
proses selular. Fosfar terintegrasi dalam senyawa glikolitik dan senyawa
transfer energi tinggi seperti ATP dan ada dalam serum atau plasma
sebagai fosfat atau fosfor inorganik. Fosfat juga terlibat dalam aktivitas
enzimatik tulang dan merupakan anion mayor dalam struktur tulang.
Normalnya fosfat dalam plasma adalah 0,8-1,5 mmol/L dan terutama
diserap dari makanan dan kebanyakan fosfat diekskresi oleh ginjal.
Penyerapan kembali oleh tubular ginjal diatur untuk nilai normal fisiologis
meskipun penyimpanan dijaringan banyak termasuk otot.

Gambar 2.3. Gambaran dari regulasi normal fosfor.

c) Fibroblast Growth Factor 23 (FGF23) dan klotho

FGF23 adalah protein 32-Kda yang disekresi oleh osteosit ditulang dan
awalnya diidentifikasi sebagai faktor penyebab rakhitis autosomal
dominan hipofosfat. Saat ini FGF23 memegang peran fisiologis penting
dalam mengatur nilai fosfat normal dan dilepaskan dari tulang dalam
respon meningkatkan nilai fosfat. Aksi FGF23 ini bergantung dari adanya
klotho sebagai kofaktor untuk berinteraksi dengan reseptor FGF.
Mayoritas dari kompleks reseptor FGF-klotho di ginjal ditemukan di
tubulus distal dimana mayoritas ekskresi fosfat terjadi di tubulus
proksimal. Mekanisme aksinya tidak diketahui dengan jelas namun
hipotesisnya adanya jalur parakrin yang tak diketahui, secara potensial
bersama klotho yang larut dilepaskan ketika diaktifkan di tubulus distal
dan beraksi di tubulus proksimal. FGF23 juga menghambat aktifitas
dari1α-hydroxylase sehingga mengurangi jumlah aktif dari 1,25(OH)2
vitamin D dalam sirkulasi. Aksi ini akan mengarah pada pengurangan
fosfat dengan mengurangi absorpsi di traktus gastro-intestinal.

d) Regulasi Normal Paratiroid

Aksi utama dari hormon paratiroid (PTH) adalah meningkatkan kalsium


dalam plasma dan mengurangi fosfat dalam plasma yang terjadi dalam
tulang, ginjal dan traktus gastrointestinal walaupun merupakan efek yang
tidak langsung. Pada ginjal PTH menstimulasi peningkatan ekskresi fosfat
dengan memblok reabsorpsi fosfat ditubulus proksimal. PTH juga
meningkatkan reabsorpsi kalsium ditubulus distal. Di ginjal juga PTH
menstimulasi1α-hydroxylation dari 25 hydroxy-vitamin D (25(OH)
vitaminD) untuk memproduksi 1,25(OH)2 vitamin D aktif. 1,25(OH)2
vitamin D aktif nantinya beraksi di traktus gastrointestinal untuk
meningkatkan absorpsi dari kalsium dan fosfat. Dengan meningkatnya
nilai kalsium dan vitamin D aktif, nilai fosfat akan turun dan hal ini
bersifat negative feedback pada kelenjar PTH sehingga homeostasis
tercapai.
e) Vitamin D

Seperti yang di diskusikan sebelumnya bahwa aktifitas ginjal 1α-


hydroxylase adalah meningkatkan PTH dan menginhibisi FGF23.
1,25(OH)2 Vitamin D yang dilepaskan diketahui beraksi di traktus
gastrointestinal untuk meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium dan juga
ditulang menstimulasi resorpsi. 1,25(OH)2 Vitamin D meningkatkan
FGF23dan dibutuhkan untuk mineralisasi tulang normal. Vitamin D adalah
inhibitor sekresi PTH dan diinhibisi oleh FGF23 dan hal tersebut
merupakan dua feedback negatif yang membantu mengatur nilai normal.

Gambar 2.5. Diagram yang menunjukkan alur vitamin D dan feedback negatif PTH dan FGF23.
2.3 Mekanisme timbal balik antara ginjal, kelenjar paratiroid dan tulang

Dalam keadaan fisiologis terdapat mekanisme hubungan timbal balik (feedback


mechanism) antara ginjal, kelenjar paratiroid, dan tulang. Hubunhan timbal balik
ini bertujuan untuk menjaga keseimbanhan homeostasis antara calcium (Ca),
fosfat (P04), vitamin D3 (vit D3) dan hormon paratiroid (HPT). Mekanisme
tersebut digambarkan pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.6. Fisiologis ginjal, hormon paratiroid, dan tulang

Vit D3 yang dihasilkan oleh ginjal membantu penyerapan Ca dan P04 di saluran
cerna. Ca dapat menghambat pembentukan vit D3 oleh ginjal dan menghambat
produksi HPT oleh kelenjar paratiroid. P04 dapat merangsang produksi HPT oleh
kelenjar paratiroid. Antara P04 dan Ca terdapat keseimbanghan fisikokimiawi
yang stabil. Peningkatan P04 dapat menekan Ca, tapi sebaliknya, Ca yang tinggi
tidak dapat menekan P04. P04 yang tinggi dalam darah bisa merangsang
pembentukan Fibroblast Growth Factor 23 (FGF23) oleh tulang. FGF 23 ini
merangsang produksi Vit D3 dan menghambat produksi HPT. Terjadi hubungan
timbal balik antara FGF 23 dan HPT, juga antara FGF 23 dan Vit D3. Vit D3
dapat menghambat produksi HPT, sebaliknya HPT dapat menghambat produksi.
Vit D3. Pada PGK, keseimbangan ini terganggu akibat peningkatan P04 yang
terjadi karena terhambatnya ekskresi, dan penurunan kadar vit D3 karena
pengurangan massa ginjal.

2.4 Patofisiologi CKD-MBD

Patogernesis GMT-PGK berawal dari penumpukan fosfat dalam tubuh akibat


terhambatnya ekskresi, serta penurunan kadar calcitriol akibat berkurangnya
massa ginjal pada PGK. Fosfat yang menumpuk dalam darah, yang sebagian
besar dalam bentuk fosfat inorganik, mengakibatkan tiga hal yaitu:

1) hipocalsemia sebagai akibat dari gangguang fisikokimiawi,

2)secara langsung merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan hormone


paratiroid (PTH),

3). meningkatkan pembebasan fibroblast growth factor 23 (FGF 23) oleh osteosit
tulang sekelet.

Selanjutnya FGF23 ini merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan PTH.


Sementara itu, hipocalsemia mengakibatkan peningkatan aktifitas Calcium
Sensing Receptor (CaSR) pada kelenjar paratiroid yang selanjutnya
mengakibatkan 1) . peningkatan secresi PTH, 2). sintesis PTH melalui pre-pro
gene transcription, 3). meningkatkan proliferasi sel kelenjar paratiroid. Sedangkan
hipocalcitriolemia akan merangsang Receptor Vit D (VDR), yang selanjutnya
akan merangsang kelenjar paratiroid untuk mensekresikan PTH. Sehingga hasil
akhir dari semua proses di atas adalah “peningkatan sekresi PTH” yang dikenal
dengan “hyperparatiroidisme sekunder/ secondary hyperparathyroidism” Kondisi
ini mengakibatkan peningkatan turn over tulang sehingga terjadi renal
osteodystrophy dalam bentuk osteitis fibrosa, demineralisasi tulang, fraktur
spontan dan nyeri tulang (bone pain). Di lain pihak, pada kasus-kasus dengan usia
lanjut, diabetes melitus, terapi berlebihan dengan vit D3, atau pada intoksikasi
aluminium, terjadi adynamic bone disease (ADB) yang ditandai dengan turn over
tulang yang rendah. Gambar dibawah menjelaskan secara skematik tentang
pathogenesis CKD-MBD :

Gambar 2.7. Patogenesis osteodistrofi renal.

Hiperfosfatemia mengakibatkan hipocalcemia akibat terjadinya gangguan


keseimbangan fisikokimiawi (physicochemistry), dimana peningkatan PO4 akan
selalu dikompensasi dengan penurunan Ca. Tetapi peningkatan Ca tidak
dikompensasi dengan penurunan PO4, malah akan terbentuk garam CaPO4 yang
mudah mengendap dan mengakibatkan metastatik kalsifikasi. Juga tampak pada
gambar bahwa peran CaSR (Calcium Sensing Receptor) sangat besar dalam
pengaturan sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid. Hal ini mengindikasikan peranan
calcimemetic agent (cinacalcet) dalam penatalaksanaan hiperparatiroidisme
sekunder. Pada penyakit ginjal kronik stadium akhir yang bertahan lama, misal
pada pasien dengan dialisis lama, bisa terjadi hipercalsemia. Kondisi ini bisa
diakibatkan oleh pemakaian pengikat fosfat yang mengandung calcium (calcium
base phosphate binders), terapi dengan vitamin D berlebih dan mobilisasi calsium
dari tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder. Kondisi ini, apabila disertai
dengan hiperfosfatemia dan perkalian produk CaXP di atas 55, dapat
mengakibatkan pengendapan garam calciumfosfat (CaPO4) di pembuluh darah
dan jaringan lunak. Hal ini disebut metastatic calcification. Kalsifikasi sering
terjadi di daerah subkutan, pembuluh darah besar seperti aorta dan miokard, yang
dapat meningkatkan komplikasi kardiovaskuler.

2.4.1 Peran fibroblast growth factor 23 (FGF 23)

Fibroblast Growth Factor (FGF) 23 adalah sejenis faktor yang berperan untuk
mengatur reabsorbsi fosfat inorganic di tubuli renalis. Pada PGK terjadi
peningkatan kadar FGF23. Peningkatan FGF-23 ini disebabkan oleh
peningkatan kadar fosfat inorganik, yang akan melepaskan FGF-23 dari
osteosit dan osteoblast tulang skelet. 1.25(OH)2D3 juga merangsang
pelepasan FGF-23. Pengaruh FGF-23 yang paling menonjol adalah
menghambat Na-Pi cotransport di ginjal dan mengakibatkan fosfaturia,
menghambat 1-α vit D3 hydroxilase sehingga terjadi penurunan kadar 1.25
(OH)2D3. Hal ini akan mengakibatkan penghambatan resorbsi Pi dan Ca di
saluran cerna. Diduga HPT juga merangsang pelepasan FGF-23.
Gambar 2.4.1 Skema regulasi FGF-23
Gambar 2.4.2. Patofisiologi CKD-MBD
2.5 Manifestasi Klinis

Penderita dengan ODR stadium awal sering tidak merasakan keluhan. Kadang
kadang bisa terjadi keluhan akibat hipocalcemia berupa paraestesia atau kejang
fokal, yang sering dikacaukan dengan neuropati uremik. Keluhan nyeri tulang
terjadi pada ODR stadium lanjut, yang sudah disertai dengan hiperparatiroidisme
sekunder. Tidak jarang terjadi fraktur spontan akibat osteoporosis. Kalsifikasi
metastatik sering berupa kalsifikasi subkutaneus (benjolan-benjolan yang berisi
endapan garam kalsium fosfat), atau kalisfikasi pada pembuluh darah besar
(seperti aorta, arteri karotis) maupun miokard yang baru tampak pada
pemeriksaan echokardiografi. Pada beberapa kasus juga terjadi calsifilaxis, yaitu
nekrosis yang luas (biasanya pada ekstrimitas atas maupun bawah) akibat oklusi
pembuluh darah oleh garam calsium fosfat. Manifestasi klinis ADB dapat berupa
osteomalasia, yang ditandai dengan gangguan postur tulang-tulang panjang,
seperti kifosis, scoliosis, atau pembengkokan tulang-tulang ekstremitas.

2.6 Diagnosis CKD-MBD

Diagnosis dimulai dari pemeriksaan kadar fosfat inorganik dan calcium plasma
sebagai awal terjadinya proses GMT-PGK. Kadar fosfat selalu menigkat,
sedangkan kadar calcium bisa rendah, normal atau tinggi, tergantung stadium
penyakit. Ada dua jenis calcium plasma yaitu Ca bebas dan Ca ion. Ca bebas,
kadarnya tergantung pada kadar albumin plasma, sehingga untuk mendapatkan Ca
ion harus dikonversi dengan rumus yang sudah ditetapkan. Lebih lanjut,
dilakukan pemeriksaan PTH, bisa disertai dengan pemeriksaan alkalifosfatase
tulang (bone alkaliphosphatase/BAP). Pemeriksaan kalsitriol plasma tidak
dilaksanakan secara rutin. Pemeriksaan radiologi tulang, sering memperlihatkan
tanda yang tidak spesifik dan baru tampak setelah terjai kerusakan tulang stadium
lanjut. Biopsi serta analisis histomorfometrik tulang, walaupun merupakan baku
emas, tiak dilaksanakan secara rutin Indikasinya adalah, keadaan dimana terdapat
ketidaksesuaian (inconsistencies) parameter biokimiawi, nyeri tulang yang tidak
dapat dijelaskan (unexplained), serta fraktur yang tidak dapat dijelaskan
(unexplained). Klasifikasi histologis pada gangguan tulang yang terjadi pada
GMT-PGK berdasarkan pada derajat abnormalitas bone turnover dan kegagalan
mineralisasi matriks ekstraselular tampak pada tabel berikut :

Tabel 1. Klasifikasi CKD-MBD berdasarkan turnover tulang

Biopsi tulang masih menjadi gold standard untuk diagnosis definitive dari CKD-
MBD, walaupun hal ini tidak dilakukan pada rutinitas praktek klinik di
kebanyakan pusat kesehatan dan diagnosis dilakukan berdasarkan parameter
biokimia. Berikut contoh dari patohistologi yang terlihat ditulang dengan CKD-
MBD.
Gambar 2.8. Biopsi tulang yang didapat dari pasien dengan hiperparatiroid sekunder-tampak
zona dekalsifikasi dan meningkatnya jumlah osteoklas.

Nilai PTH yang lebih besar dari 50 pcmol/L adalah indikasi tinggi dari osteitis
fibrosa yang mana lesi adinamik dicurigai ada pada nilain dibawah10 pcmol/L.
Nilai serum alkalin fosfatase mungkin meningkat pada hiperparatiroid
mengindikasikan bertambahnya aktifitas osteoblastik.

Gambar 2.9 Penyakit tulang adinamik pada pasien hemodialisa

2.7 Tatalaksana
Strategi ke depan dalam penatalaksanaaan GMT-PGK adalah

1) mencegah dan mengatasi hiperfostaemia dan

2) menghambat hiperplasi kelenjar paratiroid. Modalitas terapi tergantung pada


stadium penyakit dan tujuan terapi yang diberikan. Pada stadium pradialisis,
terapi terutama ditujukan pada pengendalian fosfat. Usaha ini dilakukan dengan,
a) pemberian diet rendah fosfat

b) pemberian pengikat fosfat (phosphate binders). Pemberian diet rendah fosfat


terkendala dengan malnutrisi yang bisa terjadi pada penderita.

Berbagai jenis pengikat fosfat sudah tersedia, baik yang calcium base maupun
yang noncalcium base, namun usaha pengendalian fosfat pada penderita penyakit
ginjal kronik tetap menjadi masalah. Dialisis, walaupun dalam jumlah terbatas
dikatakan dapat mengurangi hiperfosfatemia. Hasil yang baik dilaporkan terjadi
pada hemodialisis setiap hari (daily hemodyalisis). Pemberian Vitamine D3
Receptor Activator (VDRA) dengan tujuan menghambat terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder, dilaporkan banyak memberikan hasil, walau masih
terdapat sedikit kontroversi. Pemberian preparat calcimemetik yang dapat
mengakibatkan down regulation Calcium Sensing Receptor (CsR) sehingga
sekresi PTH dapat dihambat, dilaporkan juga banyak memberikan hasil, Dan
apabila sudah terjadi hipertrofi kelenjar paratiroid (parathyroid adenoma), atas
indikasi tertentu, dilakukan paratireoidektomi; baik medical maupun operasi.

Gambar 2.10. Modalitas terapi CKD-MBD

BAB III

KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan

CKD-MBD adalah suatu penyakit multi sistem yang meliputi abnormalitas


dari metabolisme tulang, osteodistrofi ginjal, dan kalsifikasi ekstraskeletal. CKD-
MBD berawal dari abnormalitas metabolisme mineral yang berupa kalsium,
fosfat, dan vitamin D. Abnormalitas dari metabolis memineral mengarah pada
hipertiroid sekunder yang merupakan komplikasi dari penyakit ginjal dan
patogenesisnya multifaktorial. Penyakit tulang
awal pada pasien dengan CKD biasanya asimtomatik. Biopsi tulang masih
menjadi gold standard untuk diagnosis definitif dari CKD-MBD, walaupun hal ini
tidak dilakukan pada rutinitas praktek klinik di kebanyakan pusat kesehatan dan
diagnosis dilakukan berdasarkan parameter biokimia. Penanganan untuk CKD-
MBD berupa pemberian pengikat fosfat, kalsitriol, ataupun analog vitamin D
bahkan tiroidektomi tergantung pada keadaan pasien dan tahapan CKD yang
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

1. KDIGO. KDIGO Clinical Practice Guideline for The Diagnosis,Evaluation, Prevention,


and Treatment of Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disease (CKD-MBD).
Kidney International. 2009.76 (113)2.

2. Uhlig et al. KDOQI US Commentary on the 2009 KDIGO ClinicalPractice Guideline for
the Diagnosis, Evaluation, and Treatment of CKD – Mineral and Bone Disorder (CKD-
MBD). American Journalof Kidney Diseases.2010. 55 (5) pp 773-779

3. Cozzolino M et al. Is chronic kidney disease-mineral bone disorder(CKD-MBD) really a


syndrome. Nephrol Dial Transplant. 2014.

4. Eddington H. Improving the Outcomes of Patients with ChronicKidney Disease–


Mineral Bone Disorder. Thesis submitted toUniversity of Manchester. 2012

5. NKDEP. Chronic Kidney Disease (CKD) and Diet: Assesment,Management and


Treatment. 2011

6. Ho LT. CKD-MBD. Henry Ford Health System. 2011. pp 31-38

7. Fang Y et al. Early chronic kidney disease – mineral bone disorderstimulates vascular
calcification. Kidney International. 2014. 85 pp142-150

8. Brancaccio D and Cozzolino M. CKD-MBD: an Endless Story. Jnephrol. 2011. 24 (S18)


pp 42-28

9. Kiss I et al. Age-dependent parathormone levels and different CKD-MBD treatment


practices of dialysis patients in Hungary - results froma nationwide clinical audit. BMC
Nephrology. 2013. 14 (155)

10. Wesseling-Perry K and Salusky IB. Redefining the pathogenesis ofCKD-MBD: the
critical role of FGF-23. Boletin de la sociedad de pediatria de asturias, cantabria, castilla
y leon. 2010. 50 (1)

11. Westerberg PA, Linde T, Wiksstrom B, et al. Regulation of fibroblast growth factor-23 in
chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3202-3207.
12. Nicolás TL, Leonard MB, Shane E. chronic kidney disease and bone fracture: a growing
concern. Kidney Int. 2008; 74: 721-731.

13. Llach F, Fernandez E. Overview of renal bone disease: Causes of treatment failure,
clinical observations, the changing pattern of bone lesion, and future therapeutic
approach. Kidney Int 2003; 64 (87): S113-S119.

14. Brandenburg VM, Floege J. Adynamic bone disease- bone and beyond. Nephrol Dial
Transplant 2008; 3:135-147.

15. Yano S, Yamaguchi T, Kanazawa I, et al. The uraemic toxin phenylacetic acid inhibits
osteoblastic proliferation and differentiation: an implication for the pathogenesis of low
turnover bone in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007; 22:3160-3165.

16. Tanaka M, Fukugawa M. Medical management after parathyroid intervention. Nephrol


Dial Transplant 2008;1(3):iii18-iii20.

17. Evenepoel P. Calcimimietics in chronic kidney disease: evidence, opportunities and


challenges. Kidney Int 2008; 74 : 265-275.

Anda mungkin juga menyukai