PENDAHULUAN
1
dimanfaatkan sebagai adsorben senyawa organik seperti fenol dan derivatnya atau
zat warna.
Dalam penelitian ini untuk penentuan fenol dari hasil adsorpsi Mg/Al 4:1
termodifikasi CTABr In Situ dan Ex Situ menggunakan instrumen
spektrofotometri UV-Vis double beam. Spektrofotometer UV-Vis dapat dianggap
sebagai suatu instrumen yang didasarkan dari absorpsi energi radiasi oleh macam-
macam zat kimia yang dilakukan pengukuran dengan ketelitian lebih besar (Day
dan Underwood, 2002).
Prinsip penelitian ini fenol diabsorbsi oleh Mg/Al dengan perbandingan
bahan material termodifikasi CTABr secara In-Situ dan Ex-Situ memvariasikan
waktu kontak dan konsentrasi fenol. Terbaca fenol yang terabsorpsi oleh Mg/Al
4:1 CTABr In-Situ dan Ex-Situ, maka dapat dapat diketahui banyaknya fenol yang
terabsorpsi dengan memvariasikan waktu dan konsentrasi.
2
2. Dapat mengetahui hasil nilai LOD dan LOQ pada penentuan Fenol hasil
Adsorpsi Mg/Al Hidrotalsit 4:1 termodifikasi Cetyl Trimethylammonium
Bromida (CTABr) In-Situ Ex-Situ dengan menggunakan spektrofotometri
UV-Vis.
3
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Fenol
Fenol (C6H6OH) merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus
hidroksil yang terikat pada cincin benzena. Senyawa fenol memiliki
beberapa nama lain seperti asam karbolik, fenat monohidroksibenzena, asam
fenat, asam fenilat, fenil hidroksida, oksibenzena, benzenol, monofenol, fenil
hidrat, fenilat alkohol, dan fenol alkohol (Nair et al., 2008). Fenol memiliki
rumus struktur sebagai berikut (Poerwono, 2012).
4
Fenol merupakan senyawa yang bersifat toksik dan korosif terhadap kulit
(iritasi) dan pada konsentrasi tertentu dapat menyebabkan gangguan kesehatan
manusia hingga kematian pada organisme. Tingkat toksisitas fenol beragam
tergantung dari jumlah atom atau molekul yang melekat pada rantai benzenanya
(Qadeer dan Rehan, 1998).
Fenol merupakan salah satu senyawa organik yang berasal dari buangan
industri yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Dalam konsentrasi tertentu
senyawa ini dapat memberikan efek yang buruk terhadap manusia, antara lain
berupa kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak
jantung, hingga kematian.
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan suatu zat pada permukaan zat lain.
Zat yang diserap disebut fase terserap (adsorbat), sedangkan zat yang menyerap
disebut adsorben. Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi
terlarut yang ada dalam larutan oleh permukaan benda atau zat penyerap.
Adsorpsi adalah masuknya bahan yang mengumpul dalam suatu zat padat.
Keduanya sering muncul bersamaan dengan suatu proses maka ada yang
menyebutnya sorpsi. Baik adsorpsi maupun absorpsi sebagai sorpsi terjadi pada
tanah liat maupun padatan lainnya, namun unit operasinya dikenal sebagai
adsorpsi (Giyatmi dan Damaji, 2008).
Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair, mempunyai gaya
tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya yang mengimbangi. Adanya
gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan zat cair, mempunyai gaya adsorpsi.
Adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Pada absorpsi zat yang diserap masuk ke
dalam adsorben sedang pada adsorpsi, zat yang diserap hanya pada permukaan
(Sukardjo, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi adalah sebagai berikut (Peni, 2001).
1. Waktu kontak, merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses
adsorpsi. Waktu kontak memungkinkan proses difusi dan penempelan
molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Karakteristik adsorben ukuran
5
partikel merupakan syarat yang penting dari suatu arang aktif untuk
digunakan sebagai adsorben. Ukuran partikel arang mempengaruhi
kecepatan dimana adsorpsi terjadi. Kecepatan adsorpsi meningkat dengan
menurunnya ukuran partikel.
2. Luas Permukaan, semakin luas permukaan adsorben, semakin banyak
adsorbat yang diserap, sehingga proses adsorpsi dapat semakin efektif.
Semakin kecil ukuran diameter adsorben maka semakin luas
permukaannya. Kapasitas adsorpsi total dari suatu adsorbat tergantung
pada luas permukaan total adsorbennya.
3. Kelarutan Adsorbat, agar adsorpsi dapat terjadi, suatu molekul harus
terpisah dari larutan. Senyawa yang mudah larut mempunyai afinitas yang
kuat untuk larutannya dan karenanya lebih sukar untuk teradsorpsi
dibandingkan senyawa yang sukar larut. Akan tetapi ada perkeculian
karena banyak senyawa yang dengan kelarutan rendah sukar diadsorpsi,
sedangkan beberapa senyawa yang sangat mudah larut diadsorpsi dengan
mudah. Usaha-usaha untuk menemukan hubungan kuantitatif antara
kemampuan adsorpsi dengan kelarutan hanya sedikit yang berhasil.
4. Ukuran molekul adsorbat, benar-benar penting dalam proses adsorpsi
ketika molekul masuk ke dalam mikropori suatu partikel arang untuk
diserap. Adsorpsi paling kuat ketika ukuran pori-pori adsorben cukup
besar sehingga memungkinkan molekul adsorbat untuk masuk.
5. pH, di mana proses adsorpsi terjadi menunjukkan pengaruh yang besar
terhadap adsorpsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan ion hidrogen sendiri
diadsorpsi dengan kuat, sebagian karena pH mempengaruhi ionisasi dan
karenanya juga mempengaruhi adsorpsi dari beberapa senyawa. Asam
organik lebih mudah diadsorpsi pada pH rendah, sedangkan adsorpsi basa
organik terjadi dengan mudah pada pH tinggi. pH optimum untuk
kebanyakan proses adsorpsi harus ditentukan dengan uji laboratorium.
6. Temperatur, di mana proses adsorpsi terjadi akan mempengaruhi
kecepatan dan jumlah adsorpsi yang terjadi. Kecepatan adsorpsi meningkat
dengan meningkatnya temperatur, dan menurun dengan menurunnya
6
temperatur. Namun demikian, ketika adsorpsi merupakan proses eksoterm,
derajad adsorpsi meningkat pada suhu rendah dan akan menurun pada
suhu yang lebih tinggi.
Dalam sistem cair, isoterm adsorpsi menyatakan variasi adsorben dan
adsorbat yang terjadi pada suhu konstan. Pada kondisi kesetimbangan terjadi
distribusi larutan antara fasa cair dan fasa padat. Rasio dari distribusi tersebut
merupakan fungsi konsentrasi dan larutan. Pada umumnya jumlah material yang
diserap per satuan berat dari adsorben bertambah seiring dengan bertambahnya
konsentrasi walaupun hal itu tidak selalu berbanding lurus.
7
1. Persamaan Freundlich
Adsorpsi zat terlarut (dari suatu larutan) pada padatan adsorben merupakan
hal yang penting. Aplikasi penggunaan prinsip ini antara lain penghilangan warna
larutan (decolorizing) dengan menggunakan batu apung (charcoal) dan proses
pemisahan dengan menggunakan teknik kromatografi. Pendekatan isoterm
adsorpsi yang cukup memuaskan dijelaskan oleh Freundlich. Menurut Freundlich,
jika y adalah berat zat terlarut per gram adsorben dan c adalah konsentrasi zat
terlarut dalam larutan. Dari konsep tersebut dapat diturunkan persamaan sebagai
berikut.
Xm/m = k C 1/n
Log ( Xm / m ) = log k + 1 /n . log C
dimana:
Xm = banyaknya zat terlarut yng teradsorpsi (mg)
m = massa adsorben (mg)
C1/n = konsentrasi adsorben yang sama
k,n = konstanta adsorben
Dari persamaan Freundlich dimana k dan n adalah konstanta asdsorbsi yang
nilainya bergantung pada jenis adsorben dan suhu adsorbsi. Bila dibuat kurva log
(Xm/m) terhadap log C akan diperoleh persamaan linear dengan intersep log k
dan kemiringan 1/n, sehingga nilai k dan n dapat dihitung.
2. Persamaan Langmuir
Pada tahun 1918, Langmuir menurunkan teori isoterm adsorpsi dengan
menggunakan model sederhana berupa padatan yang mengadsorpsi gas pada
permukaannya. Model ini mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum
terjadi akibat adanya lapisan tunggal (monolayer) adsorbat di permukaan
adsorben. Pendekatan Langmuir meliputi empat asumsi mutlak, yaitu : Pertama,
seluruh permukaan adsorban memiliki aktivitas adsorbsi yang sama atau seragam.
Kedua, tidak terjadi interaksi antara molekul-molekul adsorbat. Ketiga,
mekanisme adsorbsi yang terjadi seluruhnya sama. Keempat, hanya terbentuk satu
lapisan adsorbat yang sempurna di permukaan adsorban. Dimana persamaan
Langmuir ditulis sebagai berikut ini.
8
Xm / m = a . C / 1 + b.c
m.c /Xm = 1/a + ( b/a ) .C
9
𝑘1
Log(qe-qt) = Log(qe)-2,303 𝑡
10
Spektrum tampak sekitar 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah) sedangkan
spektrum UV adalah 100 – 400 nm (Day dan Underwood, 2002).
Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi
elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul
yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak
(senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari
padasenyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek (Herliani,
2008).
Spektrofotometer ultraviolet visible merupakan alat dengan teknik
spektrofotometer pada daerah ultra-violet dan sinar tampak. Alat ini digunakan
untuk mengukur serapan sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu materi
dalam bentuk larutan.Prinsip dasar Spektrofotometri UV-Vis adalah serapan
cahaya. Bila cahaya jatuh pada senyawa, maka sebagian dari cahaya diserap oleh
molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul senyawa tersebut. Serapan
cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum UV-Vis tergantung pada struktur
elektronik dari molekul. Spektra UV-Vis dari senyawa-senyawa organik berkaitan
erat dengan transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik.
Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik,
molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan atau atom yang
mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari
tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut
sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi sehingga dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif. Hukum Lamber-Beer dapat menyatakan
hubungan antara serapan cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan. Dibawah
ini adalah persamaan Lamber-Beer:
A = a.b.c
Keterangan : A= serapan
b= daya serapan
c= konsentrasi (g/L)
11
Hasil pengukuran yang baik dari suatu parameter kuantitas kimia, dapat
dilihat berdasarkan tingkat presisi dan akurasi yang dihasilkan. Akurasi
menunjukkan kedekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya. Untuk
menentukan tingkat akurasi perlu diketahui nilai sebenarnya dari parameter yang
diukur dan kemudian dapat diketahui seberapa besar tingkat akurasinya. Presisi
menunjukkan tingkat reliabilitas dari data yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat
dari standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran, presisi yang baik akan
memberikan standar deviasi yang kecil dan bias yang rendah. Jika diinginkan
hasil pengukuran yang valid, maka perlu dilakukan pengulangan, misalnya dalam
penentuan nilai konsentrasi suatu zat dalam larutan larutan dilakukan pengulangan
sebanyak n kali. Ilmu yang mempelajari interaksi radiasi dengan materi sedangkan
spektrofotometri adalah pengukuran kuantitatif dari intensitas radiasi
elektromagnetik pada satu atau lebih panjanggelombang dengan suatu transduser
(detektor). Spektrofotometri adalah analisis kuantitatif yang paling sering
digunakan karena mempunyai sensitivitas yang baik yaitu 10-4 sampai 10-6.
Analisis jenis ini juga relatif selektif dan spesifik, ketepatannya cukup tinggi,
relatif sederhana, dan murah (Mathias, 2005)
2.4 Hidrotalsit
Senyawa-senyawa hidrotalsit di alam terdapat dalam lempung, sebagian besar
merupakan material anorganik, dan saat ini banyak dipelajari sebagai katalis
penukar anionik, sorben dan zat aditif. Hidrotalsit dikenal pula dengan LDH
(layer double hydroxides) pada lapisannya bermuatan positif, senyawa
Mg6Al2(OH)16(CO3).4(H2O) merupakan turunan dari senyawa brucite {Mg(OH)2}
sudah dikenal secara luas (Takahera, 2009).
Salah satu adsorben sintesis yang cukup mudah mensitesisnya adalah
Lempung sintetis (Mg/Alhydrotalcite). Mg/Al-hydrotalcite sebagai salah satu
adsorben sintesis merupakan senyawa penukar ion dengan anion-anion pada
daerah antar lapis yang dapat dipertukarkan. Menurut Karmanto (2006)
hampir 80% larutan asam humat dengan konsentrasi 150 mg/L dapat teradsorb
pada material lempung sintetis Mg/Al hydrotalcite. Akan tetapi, material Mg/Al
12
Hidrotalsit ini tidak mampu memisahkan partikel-partikel koloid dengan waktu
yang relatif cepat. Sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap Mg/Al
Hidrotalsit dengan magnetit. Magnetit (Fe3O4) merupakan oksidasi besi yang
paling kuat sifat magnetiknya (Teja dan Koh, 2008). Hal ini karena adanya
momen magnetik dari ion-ion dalam setiap kisi yang saling berpasangan secara
antipararel, setiap subkisi memiliki satu ion Fe2+ dan Fe3+ berpasangan dengan
subkisi lain yang memiliki satu ion Fe3+, karena adanya sepasang momen
magnet yang dihasilkan oleh satu ion Fe2+ serta pasangan antipararel yang tidak
seimbang tersebut menyababkan magnetit bersifat ferimagnetik. Selain itu Purba
(2007) melaporkan adanya orbital dan spin elektron serta interaksi antara elektron
yang satu dengan elektron yang lain dapat menyebabkan suatu bahan dikatakan
memiliki sifat magnetik.
Hidrotalsit merupakan lempung anionik yang strukturnya diturunkan dari
struktur brucite. Material hidrotalsit yang biasa digunakan sebagai katalis pada
reaksi kondensasi aldol yaitu Mg/Al hidrotalsit (rasio mol Mg/Al pada kisaran 2,1
–3,6) dengan anion karbonat dan nitrat pada ruang antar lapisan (Handayani,
2013)
Katalis hidrotalsit sintetis dengan kinerja yang tinggi tergantung pada suhu
kalsinasi dan pH dalam proses. Suhu kalsinasi optimal adalah suhu yang dapat
mengoptimalkan jarak antar lapisan hidrotalsit, dan pH larutan optimal adalah
yang dapat mengontrol struktur mikro dan morfologi hidrotalsit (Wang., 2012).
Sintesis hidrotalsit dapat dilakukan dengan tiga metode (Hickey et al., 2000).
1. Metode hidrotermal. Metode ini diawali dengan pengendapan langsung,
dilakukan dengan mencampurkan larutan garam-garam dari logam-logam
kation yang telah ditentukan kemudian diatur pH campuran tersebut pada
nilai tertentu dengan larutan basa (biasanya NaOH atau amoniak dalam
air) kemudian diaduk. Endapan yang terbentuk dibiarkan dalam larutan
dan dipanaskan pada suhu tertentu. Dua kondisi hidrotermal yang biasa
digunakan yaitu : (a) temperatur lebih tinggi dari 373 K, tekanan rendah,
dan dilakukan dalam autoclave. (b) temperatur kurang dari 373K, yang
biasa disebut dengan perlakuan pemeraman, umumnya pada temperatur
13
120oC dalam waktu tertentu. Dengan metode hidrotermal akan diperoleh
endapan yang optimal dan terjadi perubahan dari kristal hydrotalcite yang
kecil menjadi lebih besar dan lebih baik dari endapan amorf menjadi
endapan kristalin hydrotalcite.
2. Pertukaran ion (Ion Exchange). Metode ini dilakukan dengan
mempertukarkan anion yang terdapat dalam hydrotalcite yang telah
disitesis dengan cara hydrothermal dengan anion lain yang telah
ditentukan. Hydrotalcite dengan anion (a) dicampur dengan larutan yang
mengandung anion (b) kemudian diaduk beberapa waktu pada temperatur
kamar. Metode ini tergantung pada kemampuan anion yang dipertukarkan.
3. Memory Effect. Cara ini dilakukan dengan memanaskan hydrotalcite yang
telah disistesis, pada suhu tinggi dalam waktu tertentu hingga menjadi
amorf. Padatan amorf tersebut kemudian dilarutkan dalam larutan yang
mengandung anion yang dikehendaki. Proses pelarutan kembali dilakukan
pada suhu kamar, dan diaduk dalam waktu tertentu, sehingga diperoleh
hydrotalcite dengan anion yang dikehendaki.
Metode-metode yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan kinerja katalis
hidrotalsit dalam reaksi transesterifikasi adalah dengan doping logam-logam
transisi (Macala et al., 2008). Salah satu syaratnya logam dopan memiliki ukuran
jari-jari tidak jauh berbeda dengan jari-jari kation penyusun hidrotalsit.
14
nonpolar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian
yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmiko, 1998)
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Pada molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan
jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan
minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah
menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus
nonpolarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan
diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan
permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi
fase kontinu. Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya
tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan
(Masyitnah, 2010).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat
golongan yaitu (Masyitnah, 2010) :
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-
dimethil ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil
poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina
oksida.
15
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam
amino, betain, fosfobetain.
CTABr (Cetil Trimetil Amonium Bromida) merupakan surfaktan kationik
dengan rumus molekul C19H42BrN, dengan berat molekul 364,45 g/mol.
Berbentuk serbuk putih, titik lebur 237-243°C. Sebagai surfaktan, CTABr banyak
digunakan sebagai buffer larutan untuk mengekstraksi DNA dan sebagai
pemodifikasi permukaan dalam pembuatan komposit clay. Permukaan clay yang
bermuatan negatif dapat dimodifikasi dengan surfaktan melalui reaksi pertukaran
ion. Modifikasi ini menyebabkan clay yang semula hidrofilik menjadi organofilik.
Banyak penelitian memodifikasi bentonit dengan menggunakan alkil amoniun
kuarterner sebagai surfaktan kation salah satunya menggunakan CTABr. Reaksi
pertukaran ion memudahkan surfktan kationik terinterkalasi ke dalam lapisan
clay, sehingga menambah jarak basal spacing antarlapis clay (Boyd et al, 2001).
16
BAB III
METODOLOGI
3.1.2 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al(NO3)3.9H2O
(Merck), Mg(NO3)2.6H2O (Merck), NaOH (Merck), Na2CO3 (Merck), HNO3
(Merck), [(C16H33)N(CH3)3Br] (Merck), serta kertas saring Whatman 42
(Whatman).
17
whatman 42 dengan corong buncher sehingga terpisah antara filtrat dan residu.
Sebelum diadsorpsi konsentrasi fenol yang masih tertinggal dalam filtrat
dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan fenol dari hasil adsorpsi Mg/Al hidrotalsit 4:1 CTABr (cetyl
trimethyl ammonium bromide) secara In-Situ dan Ex-Situ dengan spektrofotometer
UV-Vis bertujuan untuk mengetahui hasil variasi waktu kontak dan konsentrasi.
Berdasarkan data yang diperoleh dibahas sebagai berikut.
19
0.45
0.4 y = 0,038 x + 0,002
0.35 R2 = 0,999
0.3
Absorbansi 0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)
Dari hasil Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi larutan standar fenol yang diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV-Vis maka semakin besar pula nilai adsorbansinya yang terbaca. Hal ini
didasarkan pada radiasi sinar yang diteruskan oleh cuplikan sebanding dengan
intensitas sinar yang diserap. Persamaan regresi linear yang dihasilkan yaitu y=
0,038x + 0,002 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,999
menunjukkan kedekatan garis regresi linear dengan titik data sebenarnya,
sedangkan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,999 menunjukkan hubungan
antara x=konsentrasi dan y=absorbansi. Hasil konsentrasi teradsorpsi yang
diperoleh dapat digunakan dalam penentuan kapasitas adsorpsi untuk variasi
waktu kontak dan variasi konsentrasi dengan rumus sebagai berikut:
20
4.2 Pengaruh Waktu Kontak Pada Adsorpsi Fenol Dengan Adsorben Mg/Al
4:1 termodifikasi CTABr In-Situ dan Ex-Situ
Waktu kontak merupakan salah satu hal yang menentukan dalam proses
adsorpsi karena waktu kontak dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan antara
zat teradsorpsi dengan larutan yang tidak teradsorpsi. Penentuan waktu kontak
pada adsorben fenol dengan material Mg/Al 4:1 termodifikasi CTABr In-Situ dan
Ex-Situ dilakukan pada variasi waktu 15, 30, 60, 90, 120, 180 dan 300 menit yang
membedakan hanya bahan adsorben. Larutan fenol 100 mg/L yang telah diatur
pada pH optimum yaitu pH 6 material In-Situ dan pH 5 untuk material Ex-Situ.
Larutan tersebut dipipet sebanyak 10 mL dikontakkan dengan adsorben 20 mg
CTABr 4:1 In-Situ dan Ex-Situ selama variasi waktu yang telah ditentukan
menggunakan shaker dan disaring menggunakan kertas saring whatman 42.
Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan 20 kali pengenceran untuk In-
Situ dan diencerkan 10 kali pengenceran untuk Ex-Situ. Perbedaan pengenceran
10 kali karena In-Situ diencerkan 10 kali tidak masuk range adsorpsi
menggunakan panjang gelombang 269 nm pada spektrofotometer Uv-Vis double
beam. Hasil pengaruh variasi waktu kontak pada adsorpsi fenol dengan ini dapat
dilihat pada Tabel 4.2 :
Tabel 4.2 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)
Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
15 3,158 1,579
30 4,737 2,368
60 8,596 4,298
90 8,596 4,298
120 10,351 5,175
180 11,053 5,526
300 11,754 5,877
Hasil pengukuran spektrofotometer UV-Vis double beam dilihat dari Tabel 4.2
dapat ditentukan waktu optimum adsorpsi CTABr 4:1 In-Situ terhadap fenol yang
dilihat dari nilai kapasitas adsorpsi fenol yang mulai konstan. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 4.2.
21
7
0
0 50 100 150 200 250 300 350
waktu kontak (menit)
22
Tabel 4.3 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)
Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
0 0 0
30 2,807 1,404
60 4,474 2,237
120 9,474 4,737
180 10,877 5,439
240 11,140 5,570
300 10,877 5,439
360 12,368 6,184
60
Kapasitas adsorpsi (mg/g)
40
20
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
waktu (menit)
23
Mg/Al hidrotalsit 4:1 termodifikasi CTABr Ex-Situ semakin berkurang daya
serapannya.
Pada waktu kontak 15-60 menit semakin banyak hidrotalsit yang
bertumbukan dan berinteraksi dengan fenol sehingga kemampuan adsorpsinya
semakin naik. Saat tercapai waktu optimum reaksi mulai konstan yang
menandakan bahwa permukaan Mg/Al hidrotalsit termodifikasi CTABr In-Situ
telah jenuh berikatan dengan fenol.
25
20 y = 0.1316x + 7.7604
R² = 0.9568
15
t/qt
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
t (menit)
Gambar 4.4 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua In-Situ
Data Tabel 4.4 menunjukkan model yang cocok untuk adsorpsi hidrotalsit In-
Situ yaitu model pseudo orde 2 yang ditandai nilai koefisien determinasi (R2)
24
paling mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9568 dan diketahui nilai k (konstanta laju
adsorpsi) yaitu 0,1316 menit-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa 95,68% data
dapat dijelaskan dengan model kinetika pseudo orde 2.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (Ek-Situ)
Model Konstanta
no R2
Kinetika Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0011 0,9073
2 orde 2 k mM-1.min-1 0,00002 0,9157
3 pseudo orde 1 k min-1 -0,0091 0,9532
-1 -1
4 pseudo orde 2 k mM .min 0,1404 0,6433
0.5
log (qe-qt)
0
0 50 100 150 200
-0.5
y = -0.0091x + 0.8974
R² = 0.9532
-1
t (menit)
Gambar 4.5 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua Ex-Situ
Data Tabel 4.5 menunjukkan model yang cocok untuk adsorpsi hidrotalsit In-
Situ yaitu model pseudo orde 2 yang ditandai nilai koefisie determinasi (R2)
paling mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9532 dan diketahui nilai k (konstanta laju
adsorpsi) yaitu -0,0091 menit-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa 95,32% data
dapat dijelaskan dengan model kinetika pseudo orde 2.
25
60, 100, 150 dan 200 mg/L. Sebanyak 10 mL larutan fenol dikontakkan dengan 20
mg adsorben Mg/Al hidrotalsit 4:1 In-Situ dan Ex-Situ selama variasi waktu yang
telah ditentukan menggunakan shaker dan disaring menggunakan kertas saring
whatman 42.
Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan 20 kali pengenceran untuk In-
Situ dan diencerkan 10 kali pengenceran untuk Ex-Situ. Perbedaan pengenceran
10 kali karena In-Situ diencerkan 10 kali tidak masuk range adsorpsi
menggunakan panjang gelombang 269 nm pada spektrofotometer Uv-Vis double
beam. Hasil pengaruh variasi waktu kontak pada adsorpsi fenol dengan ini dapat
dilihat pada berikut ini :
Tabel 4.6 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)
Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 2,281 1,140
30 4,211 2,105
60 4,561 2,281
100 5,088 2,544
150 11,053 5,526
200 11,404 5,702
6
kapasitas adsorpsi (mg/g)
5
4
3
2
1
0
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi fenol (mg/L)
26
30, 60, 100 dan 150 mg/L. Hal ini dikarenakan adanya gugus OH- pad stuktur
hidrotalsit sehingga menyebabkan terjadinya sifat polar pad adsorben tersebut.
Dimana hidrotalsit tersebut mampu menjerap zat yang bersifat polar dari pada zat
yang kurang polar, sehingga hasil konsentrasi adsorpsi menunjukkan semakin
besar konsentrasi larutan fenol yang diadsorpsi maka semakin besar konsentrasi
adsorpsi yang diperoleh.
Pada konsentrasi 150 dan 200 mg/L terjadi adanya batasan ketersediaan
ruang dari adsorben terhadap fenol. Hal tersebut disebabkan karena adsorben
mulai dalam keadaan jenuh, dimana semua pori-pori adsorben telah dipenuhi oleh
fenol.
Tabel 4.7 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)
Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 5,702 7,127
30 11,973 14,967
60 18,553 23,191
100 20,482 25,603
150 20,482 25,603
200 20,439 25,548
300 21,053 26,316
30
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)
25
20
15
10
5
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Konsentrasi Fenol (mg/L)
27
kapasitas adsorpsi hanya mengalami peningkatan yang sangat sedikit. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi yang diperoleh pada konsentrasi 100
mg/L sudah dalam kondisi jenuh, sehingga jika larutan fenol yang diadsorpsi
memiliki konsentrasi yang lebih besar, maka kapasitas adsorpsi yang diperoleh
tidak meningkat secara signifikan. Pada proses adsorpsi ini terjadi gaya tarik
menarik antara molekul-molekul fenol dengan permukaan padatan adsorben
hidrotalsit. Adsorpsi ini dapat bereaksi balik (reversible), ketika adsorben
hidrotalsit sudah mengalami titik jenuh saat konsentrasi senyawa fenol yang
diadsorpsi sudah tidak mampu teradsorpsi lagi oleh adsorben hidrotalsit tersebut.
28
14
y = 0.1538x - 0.3508
12 R² = 0.9926
10
8
Ce/qe
0
0 20 40 60 80 100
Co
1.8
1.6
1.4 y = 0.0208x + 0.1087
1.2 R² = 0.4602
Ce/qe
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60
Co
29
4.3.2 Isoterm Freundlich
Model persamaan Freundlich mengasumsikan bahwa terdapat lebih dari
satu lapisan permukaan (multilayer) dan sisi bersifat heterogen, yaitu adanya
perbedaan energi pengikat pada tiap-tiap sisi dimana proses adsorpsi di tiap-tiap
sisi adsorpsi mengikuti isoterm Langmuir.
Tabel 4.10 Isoterm Freundlich In-Situ
x= log Ce y= log qe
0,835 0,057
1 0,323
1,320 0,358
1,573 0,405
1,507 0,742
1,849 0,756
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce
30
1.6
1.4
1.2 y = 0.3908x + 0.7472
1 R² = 0.2013
Log qe
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce
Dari hasil pengamatan tabel 5.2 dapat ditentukan adsorben cocok dengan model
isoterm adsorbansi. Adsorben CTABr 4:1 In Situ cocok dengan model isoterm
Languwir karena nilai koefisien determinasi Langmuir lebih tinggi yaitu sebesar
0,9926. Sedangkan Adsorben CTABr 4:1 Ex Situ cocok dengan model isoterm
Languwir karena nilai koefisien determinasi Langmuir lebih tinggi yaitu sebesar
0,4602.
31
4.4 Penentuan Limit Deteksi dan Limit Kuantitas
Limit Of Detection (LOD) adalah jumlah terkecil dalam sampel yang dapat
dideteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko.
Limit Of Quantitation (LOQ) adalah merupakan parameter pada analisis renik dan
diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat
memenuhi kriteria cermat.
Penentuan LOD dan LOQ didapatkan dari penentuan persamaan kurva
kalibrasi standar fenol yaitu Y= 0,038X + 0,002. Batas deteksi ditentukan untuk
mengetahui konsentrasi analit terendah yang dapat diukur oleh alat dan limit
kuantitatif dinyatakan dalam konsentrasi analit dalam sampel.
Dari jumlah (Y-Yi)2 maka dicari standar deviasi untuk menentukan nilai LOD
dan LOQ pada pengujian adsorpsi fenol dengan rumus:
Σ(Y−Yi)2
Sd =√
𝑛−2
3 𝑋 𝑆𝑑 10 𝑋 𝑆𝑑
LOD = LOQ =
𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑠𝑙𝑝𝑜𝑒
32
mg/L. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terkecil yang tidak
menimbulkan bias dalam perhitungan.
Nilai Limit Of Detection (LOD) dan Limit Of Detection (LOQ) yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai konsentrasi larutan standar yang
terbaca. Larutan standar yang terkecil yaitu 2 mg/L diperoleh nilai konsentrasi
hasil pembacaan alat harus lebih kecil dari pada nilai LOD dan LOQ, maka dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi standard dan sampel tidak berada dalam range
LOD dan LOQ sehingga data dari hasil penelitian ini dapat dikatakan kurang baik.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil Praktek Kerja Mandiri yang
telah dilakukan di laboratorium Terpadu FMIPA UII Yogjakarta yaitu:
1. Hasil variasi waktu kontak fenol In-Situ dan Ex-Situ diperoleh waktu
kontak optimum pada waktu 120 menit, yang ditandai dengan hasil nilai
kapasitas adsorpsi atau q (mg/g) sebesar 5,5263 mg/g In-Situ dan q (mg/g)
sebesar 5,5702 mg/g Ex-Situ . Hasil variasi konsentrasi fenol In-Situ dan
Ex-Situ diperoleh waktu kontak optimum pada konsentrasi 120 mg/L,
yang ditandai dengan hasil nilai kapasitas adsorpsi atau q (mg/g) sebesar
5,7018 mg/g In-Situ dan q (mg/g) sebesar 26,3158 mg/g Ex-Situ. Maka
In-Situ mengikuti model pseudo orde dua yang ditandai dengan koefisien
determinasi yang mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9568. Sedangkan Ex-
Situ mengikuti model pseudo orde dua dengan nilai koefisien determinasi
tertinggi sebesar 0,9532.
2. Hasil limit deteksi (LOD) melalui persamaan pengukuran kurva kalibrasi
larutan standar fenol yaitu sebesar 1,0208 mg/L sedangkan hasil nilai limit
kuantitasi (LOQ) diperoleh sebesar 3,4029 mg/L.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Mandiri yang dilakukan di Laboratorium
Terpadu FMIPA UII Yogyakarta, penulis menyarankan beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
1. Sebaiknya diperiksa terlebih dahulu sebelum menggunakan peralatan gelas
dalam keadaan baik.
2. Perlu pembaruan metode analisis agar penelitian berjalan efektif dan
akurat.
34
DAFTAR PUSTAKA
Amri, M., Supranto dan Fahrurozi, M., 2004, Kesetimbangan adsorpsi optional
campuran biner Cd(II) dan Cr(III) dengan zeolit alam terimpregnasi 2-
merkaptobenzotiazol, Jurnal Natur Indonesia - Universitas Riau.
Ginting A. Br., Anggraini D., Indaryati S., dan Kriswarini R. 2007. Karakterisasi
Komposisi Kimia Luas Permukaan Pori dan Sifat Termal dari Zeolit Bayah,
Tasikmalaya, dan Lampung, Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-
Batan, Serpong.
Boyd J., Parkinson C., and Sherman P., 2001. Factors Affecting Emulsion
Stability and HLB Concept, J.Coll. Interface Sci.
Bregas, S. T. Sembodo. 2006. Studi Kinetika Adsorpsi Ion Logam Berat Cr (VI)
Menggunakan Ampas Tebu Teraktivasi, Laporan Penelitian, Program Studi
Teknik Kimia. UNS. Surakarta.
Brei V., Galyna, S., Svitlana, L., and Dmytro, S., 2012, ‘Study Of A Continuous
Process Of Glycerolysis of Rapeseed Oil With The Solid Base Catalysts’.
Chemistry & Chemical Technology.
Day, R. A., and A. L., Underwood, 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi
Keenam, Jakarta, Penerbit Erlangga.
35
Fessenden, R. J., 1986, Kimia Organik, Edisi Ketiga, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Giyatmi, Z. K., dan Damajati, M., 2008, Penurunan Kadar Cu, Cr dan Ag Limbah
Cair Industri Perak Di Kota Gede Setelah Di Adsorpsi Dengan Tanah Liat
Dari Daerah Godean, Jurnal Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-Batan.
Serpong.
Handayani, M., dan Sulistyono, E., 2009, Uji Persamaan Langmuir Freundlich
Pada Penyerapan Limbah Chrome (VI) Oleh Zeolit, Jurnal PTNBR – Batan.
Bandung.
Handayani, S., Kusumawardani, C., dan Budiasih, K.S., 2013, Sintesis Dan
Karakterisasi Hidrotalsit Mg/Al Dengan Metode Kopresipitasi Hidrotermal
Untuk Reaksi Kondensasi Aldol, Jurnal Eprint UNY, Jurusan Pendidikan
Kimia FMIPA, Yogyakarta.
Hickey, L., Kloprogge, J.T., and Frost, R.L., 2000, The effect of hydrothermal
treatments on magnesium-aluminium hydrotalcites, J. Mater. Sci
Ho, Y. S., 2006, Review of Second Order Models for Adsorption Systems, J.
Hazard. Mater.
Hoffman, M.R., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W. 1997.
Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis. J. Chem.
Jatmika, A., 1998. Aplikasi Enzim Lipase dalam Pengolahan Minyak Sawit dan
Minyak Inti Sawit Untuk Produk Pangan, Warta Pusat Penelitian Kelapa
Sawit.
36
Karmanto, 2006, Sintesis Mg/Al Hydrotalsite Sebagai Adsorben Asam Humat.
Skripsi FMIPA UGM. Yogyakarta.
Khimantoro, R.., Sunarno dan Yenti S. R., 2014, Adsorption Kinetics Study of Cr
(III) Metals Using Activated Natural Zeolite. Jurnal Faculty of Engineering,
UR, Riau.
Kurniawati, P., Purbaningtias, T. E., Wiyantoko, B., dan Fatimah, I., 2014,
Synthesis of Mg/Al Hydrotalcite by Sol-Gel and Coprecipitation Methods.
ISC UNPAD, Bandung: UNPAD.
Nair, C. I., Jayachandra, K., dan Shasidar, S., 2008, Biodegradation of Phenol,
African Journal of Biotechnology.
Peni, S., 2001, Perbandingan Tingkat Penyerapan Arang Aktif, Breksi Batu
Apung dan Kulit Terhadap Zat Warna Limbah Cair Industri Batik, Tesis
Program Pasca Sarjana UNS. Surakarta.
37
Rahmawati, Anik Desi, 2011, Upaya Peningkatan Kreativitas Siswa melalui
Metode Discovery Learning pada Topik Lingkaran di Kelas VIII SMPN 2
Kalibawang, Skripsi Fakultas MIPA UNY, Yogyakarta.
Slamet, R., Arbianti dan Daryanto, 2005, Pengolahan Limbah Organik (Fenol)
dan Logam Berat (Cr6+ atau Pt4+) secara Simultan dengan Fotokatalis
TiO2,ZnO-TiO2, dan CdS-TiO2, Makara, Teknologi, Depok, Universitas
Indonesia, Fakultas Teknik.
Syauqiah, I., Amalia, M., dan Kartini, H. A. 2011. Analisis Waktu dan Kecepatan
Pengadukan Pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat Dengan Arang
Aktif. Info Teknik.
Tchobanoglous, G., Burton, F.L. dan Stensel, H.D. (2003). Waste Water
Engineering: Treatment and Reuse. Metcalf & Eddy Inc., New York.
Wang, Q. Tay., Zhanhu, Chen , Liu , Chang,J. Zhong ,Luo ,and Armando, B.
2012, ‘Morphology and composition controllable synthesis of Mg–Al–CO3
hydrotalcites by tuning the synthesis pH and the CO2 capture
capacity’,Applied Clay Science.
38
LAMPIRAN
39
LAMPIRAN
0.5
y = 0,038 x + 0,002
0.4 R2 = 0,999
Absorbansi
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi
40
7
0
0 50 100 150 200 250 300 350
waktu kontak (menit)
41
60
20
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
waktu (menit)
25
20 y = 0.1316x + 7.7604
R² = 0.9568
15
t/qt
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
t (menit)
Gambar 4.4 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua In-Situ
42
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (Ek-Situ)
Model Konstanta
no R2
Kinetika Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0011 0,9073
2 orde 2 k mM-1.min-1 2.10-5 0,9157
pseudo orde
3 1 k min-1 -0,0091 0,9532
pseudo orde
4 2 k mM-1.min-1 0,1404 0,6433
0.5
log (qe-qt)
0
0 50 100 150 200
-0.5
y = -0.0091x + 0.8974
R² = 0.9532
-1
t (menit)
Gambar 4.5 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua Ex-Situ
43
6
30
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)
25
20
15
10
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Konsentrasi Fenol (mg/L)
44
Tabel 4.8 Isoterm Languwir In-Situ
Co Ce q Ce/qe
9,122807018 6,842105263 1,140350877 1,2
14,21052632 10 2,105263158 1,753846154
25,43859649 20,87719298 2,280701754 3,661538462
42,45614035 37,36842105 2,543859649 6,553846154
43,15789474 32,10526316 5,526315789 5,630769231
82,10526316 70,70175439 5,701754386 12,4
14
y = 0.1538x - 0.3508
12 R² = 0.9926
10
8
Ce/qe
0
0 20 40 60 80 100
Co
45
1.8
1.6
1.4 y = 0.0208x + 0.1087
1.2 R² = 0.4602
Ce/qe
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60
Co
0.7
0.6
0.5
Log qe
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce
46
Tabel 5.1 Isoterm Freundlich Ex-Situ
log Ce log qe
1,179884248 0,852918518
1,345356531 1,175137813
1,275533609 1,365315533
1,238662249 1,408292047
1,238662249 1,408292047
1,646386527 1,407361083
1,818156412 1,420216403
1.6
1.4
1.2 y = 0.3908x + 0.7472
1 R² = 0.2013
Log qe
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce
47
Tabel 5.2 Data Absorbansi Larutan Standar Fenol
Konsentrasi Absorbansi
(ppm) (Y) Yi Y-Yi (Y-Yi)2
0 0,0000 0,0020 -0,0020 0,000004
2 0,0820 0,0096 0,0724 0,005241
4 0,1550 0,0172 0,1378 0,018988
6 0,2270 0,0248 0,2022 0,040884
8 0,3120 0,0324 0,2796 0,078176
10 0,3810 0,0400 0,3410 0,116281
Jumlah 0,259576
48