Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan industri masa kini dintuntut untuk menanggulangi limbah
produksi. Terutama limbah fenol yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia,
sering dijumpai terdapat pada limbah produksi industri migas, industri cat,
industri plastik, industri baja, industri farmasi dan bahkan rumah sakit. Fenol
termasuk zat organik yang terdiri dari unsur-unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan
Oksigen (O). Fenol dianggap sebagai salah satu zat berbahaya, bahwa fenol dapat
memberikan efek karsinogenik atau menyebabkan kanker sehingga cemaran fenol
ke lingkungan seperti pada limbah cair harus dapat direduksi seminimal mungkin.
Selain itu fenol juga dapat menyebabkan kerusakan fungsi organ-organ tubuh dan
cacat pada kelahiran.
Menurut keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 51/MENLH/10/1995
dan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002,
senyawa fenol yang dikatakan aman bagi lingkungan yaitu jika konsentrasinya
0,5-1,0 mg/L, sedangkan ambang batas senyawa turunan fenol dalam baku mutu
air minum adalah maksimal 0,01 mg/L (Slamet et al., 2005). Oleh karena itu perlu
dilakukan penanganan terhadap limbah fenol dalam air dengan menggunakan
beberapa metode yaitu seperti adsorpsi karbon aktif, proses oksidasi dengan
hidrogen peroksida (H2O2) dan ekstraksi pelarut (Reynolds, 1982).
Hidrotalsit merupakan senyawa hidroksida ganda berlapis yang berisi ion
logam transisi di dalam kisinya. Umumnya hidrotalsit digunakan sebagai katalis
dan hidrotalsit dapat juga digunakan sebagai adsorben, untuk mengadsorpsi
senyawa-senyawa organik. Adsorpsi senyawa organik pada hidrotalsit disebabkan
terjadinya interaksi baik fisika maupun kimia dari gugus–gugus aktif hidrotalsit
dengan senyawa organik sebagai adsorbat. Modifikasi hidrotalsit dengan surfaktan
dapat meningkatkan kinerja hidrotalsit jika bereaksi dengan senyawa organik yang
bersifat hidrofobik. Oleh karena sifat material ini, Mg/Al hidrotalsit termodifikasi
surfaktan menggunakan bromide Cetyl trimethylammonium (CTABr)

1
dimanfaatkan sebagai adsorben senyawa organik seperti fenol dan derivatnya atau
zat warna.
Dalam penelitian ini untuk penentuan fenol dari hasil adsorpsi Mg/Al 4:1
termodifikasi CTABr In Situ dan Ex Situ menggunakan instrumen
spektrofotometri UV-Vis double beam. Spektrofotometer UV-Vis dapat dianggap
sebagai suatu instrumen yang didasarkan dari absorpsi energi radiasi oleh macam-
macam zat kimia yang dilakukan pengukuran dengan ketelitian lebih besar (Day
dan Underwood, 2002).
Prinsip penelitian ini fenol diabsorbsi oleh Mg/Al dengan perbandingan
bahan material termodifikasi CTABr secara In-Situ dan Ex-Situ memvariasikan
waktu kontak dan konsentrasi fenol. Terbaca fenol yang terabsorpsi oleh Mg/Al
4:1 CTABr In-Situ dan Ex-Situ, maka dapat dapat diketahui banyaknya fenol yang
terabsorpsi dengan memvariasikan waktu dan konsentrasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil
yaitu:
1. Bagaimana pengaruh waktu kontak dan konsentrasi fenol hasil adsorpsi
dengan menggunakan senyawa Hidrotalsit Mg/Al 4:1 termodifikasi Cetyl
Trimethylammonium Bromida (CTABr) In Situ dan Ex Situ ?
2. Barapa hasil nilai LOD dan LOQ pada penentuan Fenol hasil Adsorpsi
Mg/Al Hidrotalsit 4:1 termodifikasi Cetyl Trimethylammonium Bromida
(CTABr) In Situ dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis ?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Dapat mengetahui penentuan fenol hasil adsorpsi Mg/Al hidrotalsit 4:1
termodifikasi Cetyl Trimethylammonium Bromida (CTABr) In-Situ Ex-
Situ secara spektofotometer Uv-Vis pada variasi waktu kontak, variasi
konsentrasi dan model adsorpsi.

2
2. Dapat mengetahui hasil nilai LOD dan LOQ pada penentuan Fenol hasil
Adsorpsi Mg/Al Hidrotalsit 4:1 termodifikasi Cetyl Trimethylammonium
Bromida (CTABr) In-Situ Ex-Situ dengan menggunakan spektrofotometri
UV-Vis.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:
1. Dapat memberikan informasi mengenai pengelolaan limbah fenol
menggunakan adsorben Mg/Al 4:1 hidrotalsit termodifikasi Cetil
Trimethylammonium Bromida (CTABr) In-Situ Ex-Situ.
2. Dapat meminimalkan pencemaran limbah yang disebabkan oleh
perusahaan industri khususnya limbah fenol dengan pemanfaatan material
adsorpsi Mg/Al 4:1 hidrotalsit termodifikasi Cetil Trimethylammonium
Bromida (CTABr) In-Situ Ex-Situ

3
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Fenol
Fenol (C6H6OH) merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus
hidroksil yang terikat pada cincin benzena. Senyawa fenol memiliki
beberapa nama lain seperti asam karbolik, fenat monohidroksibenzena, asam
fenat, asam fenilat, fenil hidroksida, oksibenzena, benzenol, monofenol, fenil
hidrat, fenilat alkohol, dan fenol alkohol (Nair et al., 2008). Fenol memiliki
rumus struktur sebagai berikut (Poerwono, 2012).

Gambar 2.1. Struktur Fenol


Fenol (fenil alcohol) adalah zat kristal yang tidak berwarna dan memiliki bau
yang khas. Senyawa fenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat
berperan sebagai reduktor (Hoffman et al., 1997). Fenol bersifat lebih asam
bila dibandingkan dengan alkohol, tetapi lebih basa daripada asam karbonat
karena fenol dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Lepasnya ion
H+ menjadikan anion fenoksida C6H5O- dapat larut dalam air.Fenol mempunyai
titik leleh 41°C dan titik didih 181°C. Fenol memiliki kelarutan yang terbatas
dalam air yaitu 8,3 gram/100 mL (Fessenden, 1986).
Fenol atau asam karoksilat atau benzenol adalah kristal tak berwarna yang
memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya memiliki
gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Fenol memiliki sifat
yang cenderung sama, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya
(Kaniawati, 2011).

4
Fenol merupakan senyawa yang bersifat toksik dan korosif terhadap kulit
(iritasi) dan pada konsentrasi tertentu dapat menyebabkan gangguan kesehatan
manusia hingga kematian pada organisme. Tingkat toksisitas fenol beragam
tergantung dari jumlah atom atau molekul yang melekat pada rantai benzenanya
(Qadeer dan Rehan, 1998).
Fenol merupakan salah satu senyawa organik yang berasal dari buangan
industri yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Dalam konsentrasi tertentu
senyawa ini dapat memberikan efek yang buruk terhadap manusia, antara lain
berupa kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak
jantung, hingga kematian.

2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan suatu zat pada permukaan zat lain.
Zat yang diserap disebut fase terserap (adsorbat), sedangkan zat yang menyerap
disebut adsorben. Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi
terlarut yang ada dalam larutan oleh permukaan benda atau zat penyerap.
Adsorpsi adalah masuknya bahan yang mengumpul dalam suatu zat padat.
Keduanya sering muncul bersamaan dengan suatu proses maka ada yang
menyebutnya sorpsi. Baik adsorpsi maupun absorpsi sebagai sorpsi terjadi pada
tanah liat maupun padatan lainnya, namun unit operasinya dikenal sebagai
adsorpsi (Giyatmi dan Damaji, 2008).
Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair, mempunyai gaya
tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya yang mengimbangi. Adanya
gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan zat cair, mempunyai gaya adsorpsi.
Adsorpsi berbeda dengan absorpsi. Pada absorpsi zat yang diserap masuk ke
dalam adsorben sedang pada adsorpsi, zat yang diserap hanya pada permukaan
(Sukardjo, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi adalah sebagai berikut (Peni, 2001).
1. Waktu kontak, merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses
adsorpsi. Waktu kontak memungkinkan proses difusi dan penempelan
molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Karakteristik adsorben ukuran

5
partikel merupakan syarat yang penting dari suatu arang aktif untuk
digunakan sebagai adsorben. Ukuran partikel arang mempengaruhi
kecepatan dimana adsorpsi terjadi. Kecepatan adsorpsi meningkat dengan
menurunnya ukuran partikel.
2. Luas Permukaan, semakin luas permukaan adsorben, semakin banyak
adsorbat yang diserap, sehingga proses adsorpsi dapat semakin efektif.
Semakin kecil ukuran diameter adsorben maka semakin luas
permukaannya. Kapasitas adsorpsi total dari suatu adsorbat tergantung
pada luas permukaan total adsorbennya.
3. Kelarutan Adsorbat, agar adsorpsi dapat terjadi, suatu molekul harus
terpisah dari larutan. Senyawa yang mudah larut mempunyai afinitas yang
kuat untuk larutannya dan karenanya lebih sukar untuk teradsorpsi
dibandingkan senyawa yang sukar larut. Akan tetapi ada perkeculian
karena banyak senyawa yang dengan kelarutan rendah sukar diadsorpsi,
sedangkan beberapa senyawa yang sangat mudah larut diadsorpsi dengan
mudah. Usaha-usaha untuk menemukan hubungan kuantitatif antara
kemampuan adsorpsi dengan kelarutan hanya sedikit yang berhasil.
4. Ukuran molekul adsorbat, benar-benar penting dalam proses adsorpsi
ketika molekul masuk ke dalam mikropori suatu partikel arang untuk
diserap. Adsorpsi paling kuat ketika ukuran pori-pori adsorben cukup
besar sehingga memungkinkan molekul adsorbat untuk masuk.
5. pH, di mana proses adsorpsi terjadi menunjukkan pengaruh yang besar
terhadap adsorpsi itu sendiri. Hal ini dikarenakan ion hidrogen sendiri
diadsorpsi dengan kuat, sebagian karena pH mempengaruhi ionisasi dan
karenanya juga mempengaruhi adsorpsi dari beberapa senyawa. Asam
organik lebih mudah diadsorpsi pada pH rendah, sedangkan adsorpsi basa
organik terjadi dengan mudah pada pH tinggi. pH optimum untuk
kebanyakan proses adsorpsi harus ditentukan dengan uji laboratorium.
6. Temperatur, di mana proses adsorpsi terjadi akan mempengaruhi
kecepatan dan jumlah adsorpsi yang terjadi. Kecepatan adsorpsi meningkat
dengan meningkatnya temperatur, dan menurun dengan menurunnya

6
temperatur. Namun demikian, ketika adsorpsi merupakan proses eksoterm,
derajad adsorpsi meningkat pada suhu rendah dan akan menurun pada
suhu yang lebih tinggi.
Dalam sistem cair, isoterm adsorpsi menyatakan variasi adsorben dan
adsorbat yang terjadi pada suhu konstan. Pada kondisi kesetimbangan terjadi
distribusi larutan antara fasa cair dan fasa padat. Rasio dari distribusi tersebut
merupakan fungsi konsentrasi dan larutan. Pada umumnya jumlah material yang
diserap per satuan berat dari adsorben bertambah seiring dengan bertambahnya
konsentrasi walaupun hal itu tidak selalu berbanding lurus.

2.2.1 Isoterm Adsorpsi


Isoterm adsorpsi adalah adsorpsi yang menggambarkan hubungan antara zat
yang teradsorpsi oleh adsorben dengan tekanan atau konsentrasi pada keadaan
kesetimbangan dan temperatur konstan. Persamaan yang sering digunakan untuk
menggambarkan data percobaan isoterm telah dikembangkan oleh Freundlich,
Langmuir, dan Brunauer, Emmett, dan Teller (Isoterm BET) (Tchobanoglos et
al., 2003). Ada tiga jenis hubungan matematik yang umumnya digunakan untuk
menjelaskan isoterm. Isoterm ini berdasarkan asumsi bahwa adsorben mempunyai
permukaan yang heterogen dan tiap molekul mempunyai potensi penyerapan yang
berbeda-beda.
Peristiwa adsorpsi yang terjadi antara fenol dengan ion Mg/Al dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain luas permukaan, sifat fisik dan sifak kimia
adsorben. Luas permukaan zat padat dapat diperkirakan dengan menggunakan
satandart tertentu tergantung sejauh mana proses adsorbsi berlangsung. Makna
angka standart tertentu adalah jumlah milligram ion Mg/Al dalam larutan yang
mampu diserap oleh sejumlah mililiter fenol. Dengan demikian angka standar
tertentu dapat dipandang sebagai kapasitas monolayer yang dapat digunakan
untuk memperkirakan luas permukaan spesifik fenol. Berikut ini persamaan
Freundlich dan Langmuir (Handayani dan Sulistyono, 2009).

7
1. Persamaan Freundlich
Adsorpsi zat terlarut (dari suatu larutan) pada padatan adsorben merupakan
hal yang penting. Aplikasi penggunaan prinsip ini antara lain penghilangan warna
larutan (decolorizing) dengan menggunakan batu apung (charcoal) dan proses
pemisahan dengan menggunakan teknik kromatografi. Pendekatan isoterm
adsorpsi yang cukup memuaskan dijelaskan oleh Freundlich. Menurut Freundlich,
jika y adalah berat zat terlarut per gram adsorben dan c adalah konsentrasi zat
terlarut dalam larutan. Dari konsep tersebut dapat diturunkan persamaan sebagai
berikut.
Xm/m = k C 1/n
Log ( Xm / m ) = log k + 1 /n . log C
dimana:
Xm = banyaknya zat terlarut yng teradsorpsi (mg)
m = massa adsorben (mg)
C1/n = konsentrasi adsorben yang sama
k,n = konstanta adsorben
Dari persamaan Freundlich dimana k dan n adalah konstanta asdsorbsi yang
nilainya bergantung pada jenis adsorben dan suhu adsorbsi. Bila dibuat kurva log
(Xm/m) terhadap log C akan diperoleh persamaan linear dengan intersep log k
dan kemiringan 1/n, sehingga nilai k dan n dapat dihitung.
2. Persamaan Langmuir
Pada tahun 1918, Langmuir menurunkan teori isoterm adsorpsi dengan
menggunakan model sederhana berupa padatan yang mengadsorpsi gas pada
permukaannya. Model ini mendefinisikan bahwa kapasitas adsorpsi maksimum
terjadi akibat adanya lapisan tunggal (monolayer) adsorbat di permukaan
adsorben. Pendekatan Langmuir meliputi empat asumsi mutlak, yaitu : Pertama,
seluruh permukaan adsorban memiliki aktivitas adsorbsi yang sama atau seragam.
Kedua, tidak terjadi interaksi antara molekul-molekul adsorbat. Ketiga,
mekanisme adsorbsi yang terjadi seluruhnya sama. Keempat, hanya terbentuk satu
lapisan adsorbat yang sempurna di permukaan adsorban. Dimana persamaan
Langmuir ditulis sebagai berikut ini.

8
Xm / m = a . C / 1 + b.c
m.c /Xm = 1/a + ( b/a ) .C

Dengan membuat kurva m.c / Xm terhadap C akan diperoleh persamaan


linear dengan intersep 1/a dan kemiringan (b/a), sehingga nilai a dan b dapat
dihitung, dari besar kecilnya nilai a dan b menunjukkan daya adsorbsi.

2.2.2 Kinetika Adsorpsi


Adsorpsi dipengaruhi oleh luas permukaan, jenis adsorbat, struktur molekul
adsorbat, konsentrasi adsorbat, temperatur, pH dan waktu kontak (Syauqiah et al.,
2011). Data kinetika pengikatan diproses untuk memahami dinamika proses
pengikatan dalam hubungannya dengan orde dari konstanta laju (Rahchmani et al,
2011). Kinetika pengikatan penting karena mampu mengontrol efisiensi proses
dan waktu kesetimbangan. Kinetika pengikatan juga menjelaskan laju terserapnya
adsorbat oleh adsorben (Chen et al., 2010). Kinetika selalu dikaitkan dengan
waktu kontak antara zat terikat dan penjerap, yang merupakan suatu proses
menyeluruh tentang konsentrasi awal, akhir, dan waktu yang dibutuhkan untuk
perubahan dari konsentrasi awal ke akhir berdasarkan data eksperimen. Data
kinetika adsorpsi tersebut diolah dengan model kinetika Lagergren Pseudo First
Order or Second Order (Rahmawati, 2011).
1. Model Kinetika Lagergren Pseudo First Order
Data kinetika pengikatan dijelaskan dengan Lagergren pseudo first-order
dimana persamaan tersebut menjelaskan paling awal tentang kecepatan
pengikatan berdasarkan kapasitas adsorpsi. Persamaan diferensial secara
umum dinyatakan sebagai berikut:
𝑑𝑞
=𝑘(𝑞𝑒 + 𝑞𝑡)𝑥
𝑑𝑡

Keterangan: qe dan qt adalah kapasitas sorpsi pada saat kesetimbangan


dan pada saat t, dengan satuan (mg g-1), k adalah konstanta laju dari ikat
pseudo reaksi pertama dengan satuan (L min-1). Integral terhadap
persamaan tersebut pada batas-batas t=0 sampai t=t, dan qt=0 sampai qt=
qt, maka persamaan Lagergren Pseudo First Order menjadi:

9
𝑘1
Log(qe-qt) = Log(qe)-2,303 𝑡

Persamaan diatas dapat digunakan untuk menentukan model data


eksperimen kinetika, plotting log(qe-qt) versus t akan menghasilkan suatu
garis lurus.
2. Model Kinetika Lagergren Pseudo Second Order
Untuk persamaan mekanisme reaksi order kedua dalam suatu pengikatan,
persamaan laju Lagergren Pseudo Second Order dinyatakan dengan
persamaan berikut :
𝑑𝑞
=𝑘(𝑞𝑒 + 𝑞𝑡)2
𝑑𝑡

Keterangan: qe dan qt adalah kapasitas sorpsi pada saat kesetimbangan


dan pada saat t, dengan satuan (mg g-1), k adalah konstanta laju pseudo
reaksi kedua dengan satuan (mg g-1min-1). Integral terhadap persamaan
tersebut pada batas-batas t=0 sampai t=t, dan qt=0 sampai qt= qt, maka
persamaan Lagergren Pseudo-Second-Order menjadi:
𝑡 1 1
= + 𝑡
𝑞𝑡 (𝑘2.𝑞𝑒)2 𝑞𝑒

Ploting t/qt versus t akan menghasilkan garis lurus.

2.3 Spektrofotometer Uv-Visible


Spektrofotometer komersial beroperasi dari panjang gelombang sekitar 200
nm – 1000 nm. Sampel yang digunakan pada spektrofotometer UV-Vis dapat
berbentuk cairan, gas, dan padatan. Namun kebanyakan sampel yang dianalisis
adalah berupa cairan (larutan). Sampel yang dianalisis diletakkan pada kuvet yang
berbentuk sel transparan. Apabila radiasi atau cahaya putih dilewatkan pada
larutan berwarna, maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap
secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan (transmisi) (Skoog et al.,
1994).
Panjang gelombang cahaya UV-VIS dan sinar tampak jauh lebih pendek
daripada panjang gelombang radiaatsi inframerah. Satuan yang digunakan untuk
menentukan panjang gelombang ini adalah monokromator (1 nm = 10 -7 cm).

10
Spektrum tampak sekitar 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah) sedangkan
spektrum UV adalah 100 – 400 nm (Day dan Underwood, 2002).
Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi
elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul
yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak
(senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari
padasenyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek (Herliani,
2008).
Spektrofotometer ultraviolet visible merupakan alat dengan teknik
spektrofotometer pada daerah ultra-violet dan sinar tampak. Alat ini digunakan
untuk mengukur serapan sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu materi
dalam bentuk larutan.Prinsip dasar Spektrofotometri UV-Vis adalah serapan
cahaya. Bila cahaya jatuh pada senyawa, maka sebagian dari cahaya diserap oleh
molekul-molekul sesuai dengan struktur dari molekul senyawa tersebut. Serapan
cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum UV-Vis tergantung pada struktur
elektronik dari molekul. Spektra UV-Vis dari senyawa-senyawa organik berkaitan
erat dengan transisi-transisi diantara tingkatan-tingkatan tenaga elektronik.
Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik,
molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan atau atom yang
mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari
tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut
sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi sehingga dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif. Hukum Lamber-Beer dapat menyatakan
hubungan antara serapan cahaya dengan konsentrasi zat dalam larutan. Dibawah
ini adalah persamaan Lamber-Beer:
A = a.b.c
Keterangan : A= serapan
b= daya serapan
c= konsentrasi (g/L)

11
Hasil pengukuran yang baik dari suatu parameter kuantitas kimia, dapat
dilihat berdasarkan tingkat presisi dan akurasi yang dihasilkan. Akurasi
menunjukkan kedekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sebenarnya. Untuk
menentukan tingkat akurasi perlu diketahui nilai sebenarnya dari parameter yang
diukur dan kemudian dapat diketahui seberapa besar tingkat akurasinya. Presisi
menunjukkan tingkat reliabilitas dari data yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat
dari standar deviasi yang diperoleh dari pengukuran, presisi yang baik akan
memberikan standar deviasi yang kecil dan bias yang rendah. Jika diinginkan
hasil pengukuran yang valid, maka perlu dilakukan pengulangan, misalnya dalam
penentuan nilai konsentrasi suatu zat dalam larutan larutan dilakukan pengulangan
sebanyak n kali. Ilmu yang mempelajari interaksi radiasi dengan materi sedangkan
spektrofotometri adalah pengukuran kuantitatif dari intensitas radiasi
elektromagnetik pada satu atau lebih panjanggelombang dengan suatu transduser
(detektor). Spektrofotometri adalah analisis kuantitatif yang paling sering
digunakan karena mempunyai sensitivitas yang baik yaitu 10-4 sampai 10-6.
Analisis jenis ini juga relatif selektif dan spesifik, ketepatannya cukup tinggi,
relatif sederhana, dan murah (Mathias, 2005)

2.4 Hidrotalsit
Senyawa-senyawa hidrotalsit di alam terdapat dalam lempung, sebagian besar
merupakan material anorganik, dan saat ini banyak dipelajari sebagai katalis
penukar anionik, sorben dan zat aditif. Hidrotalsit dikenal pula dengan LDH
(layer double hydroxides) pada lapisannya bermuatan positif, senyawa
Mg6Al2(OH)16(CO3).4(H2O) merupakan turunan dari senyawa brucite {Mg(OH)2}
sudah dikenal secara luas (Takahera, 2009).
Salah satu adsorben sintesis yang cukup mudah mensitesisnya adalah
Lempung sintetis (Mg/Alhydrotalcite). Mg/Al-hydrotalcite sebagai salah satu
adsorben sintesis merupakan senyawa penukar ion dengan anion-anion pada
daerah antar lapis yang dapat dipertukarkan. Menurut Karmanto (2006)
hampir 80% larutan asam humat dengan konsentrasi 150 mg/L dapat teradsorb
pada material lempung sintetis Mg/Al hydrotalcite. Akan tetapi, material Mg/Al

12
Hidrotalsit ini tidak mampu memisahkan partikel-partikel koloid dengan waktu
yang relatif cepat. Sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap Mg/Al
Hidrotalsit dengan magnetit. Magnetit (Fe3O4) merupakan oksidasi besi yang
paling kuat sifat magnetiknya (Teja dan Koh, 2008). Hal ini karena adanya
momen magnetik dari ion-ion dalam setiap kisi yang saling berpasangan secara
antipararel, setiap subkisi memiliki satu ion Fe2+ dan Fe3+ berpasangan dengan
subkisi lain yang memiliki satu ion Fe3+, karena adanya sepasang momen
magnet yang dihasilkan oleh satu ion Fe2+ serta pasangan antipararel yang tidak
seimbang tersebut menyababkan magnetit bersifat ferimagnetik. Selain itu Purba
(2007) melaporkan adanya orbital dan spin elektron serta interaksi antara elektron
yang satu dengan elektron yang lain dapat menyebabkan suatu bahan dikatakan
memiliki sifat magnetik.
Hidrotalsit merupakan lempung anionik yang strukturnya diturunkan dari
struktur brucite. Material hidrotalsit yang biasa digunakan sebagai katalis pada
reaksi kondensasi aldol yaitu Mg/Al hidrotalsit (rasio mol Mg/Al pada kisaran 2,1
–3,6) dengan anion karbonat dan nitrat pada ruang antar lapisan (Handayani,
2013)
Katalis hidrotalsit sintetis dengan kinerja yang tinggi tergantung pada suhu
kalsinasi dan pH dalam proses. Suhu kalsinasi optimal adalah suhu yang dapat
mengoptimalkan jarak antar lapisan hidrotalsit, dan pH larutan optimal adalah
yang dapat mengontrol struktur mikro dan morfologi hidrotalsit (Wang., 2012).
Sintesis hidrotalsit dapat dilakukan dengan tiga metode (Hickey et al., 2000).
1. Metode hidrotermal. Metode ini diawali dengan pengendapan langsung,
dilakukan dengan mencampurkan larutan garam-garam dari logam-logam
kation yang telah ditentukan kemudian diatur pH campuran tersebut pada
nilai tertentu dengan larutan basa (biasanya NaOH atau amoniak dalam
air) kemudian diaduk. Endapan yang terbentuk dibiarkan dalam larutan
dan dipanaskan pada suhu tertentu. Dua kondisi hidrotermal yang biasa
digunakan yaitu : (a) temperatur lebih tinggi dari 373 K, tekanan rendah,
dan dilakukan dalam autoclave. (b) temperatur kurang dari 373K, yang
biasa disebut dengan perlakuan pemeraman, umumnya pada temperatur

13
120oC dalam waktu tertentu. Dengan metode hidrotermal akan diperoleh
endapan yang optimal dan terjadi perubahan dari kristal hydrotalcite yang
kecil menjadi lebih besar dan lebih baik dari endapan amorf menjadi
endapan kristalin hydrotalcite.
2. Pertukaran ion (Ion Exchange). Metode ini dilakukan dengan
mempertukarkan anion yang terdapat dalam hydrotalcite yang telah
disitesis dengan cara hydrothermal dengan anion lain yang telah
ditentukan. Hydrotalcite dengan anion (a) dicampur dengan larutan yang
mengandung anion (b) kemudian diaduk beberapa waktu pada temperatur
kamar. Metode ini tergantung pada kemampuan anion yang dipertukarkan.
3. Memory Effect. Cara ini dilakukan dengan memanaskan hydrotalcite yang
telah disistesis, pada suhu tinggi dalam waktu tertentu hingga menjadi
amorf. Padatan amorf tersebut kemudian dilarutkan dalam larutan yang
mengandung anion yang dikehendaki. Proses pelarutan kembali dilakukan
pada suhu kamar, dan diaduk dalam waktu tertentu, sehingga diperoleh
hydrotalcite dengan anion yang dikehendaki.
Metode-metode yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan kinerja katalis
hidrotalsit dalam reaksi transesterifikasi adalah dengan doping logam-logam
transisi (Macala et al., 2008). Salah satu syaratnya logam dopan memiliki ukuran
jari-jari tidak jauh berbeda dengan jari-jari kation penyusun hidrotalsit.

2.5 Surfaktan Cetil Trimetil Amonium Bromida


Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena
sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka
akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak
(lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau
netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar
muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana
gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam
kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian

14
nonpolar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian
yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmiko, 1998)
Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Pada molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan
jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan
minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah
menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila gugus
nonpolarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan
diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan
permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi
fase kontinu. Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya
tegangan permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan
permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan
(Masyitnah, 2010).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat
golongan yaitu (Masyitnah, 2010) :
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-
dimethil ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester
sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil
poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina
oksida.

15
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam
amino, betain, fosfobetain.
CTABr (Cetil Trimetil Amonium Bromida) merupakan surfaktan kationik
dengan rumus molekul C19H42BrN, dengan berat molekul 364,45 g/mol.
Berbentuk serbuk putih, titik lebur 237-243°C. Sebagai surfaktan, CTABr banyak
digunakan sebagai buffer larutan untuk mengekstraksi DNA dan sebagai
pemodifikasi permukaan dalam pembuatan komposit clay. Permukaan clay yang
bermuatan negatif dapat dimodifikasi dengan surfaktan melalui reaksi pertukaran
ion. Modifikasi ini menyebabkan clay yang semula hidrofilik menjadi organofilik.
Banyak penelitian memodifikasi bentonit dengan menggunakan alkil amoniun
kuarterner sebagai surfaktan kation salah satunya menggunakan CTABr. Reaksi
pertukaran ion memudahkan surfktan kationik terinterkalasi ke dalam lapisan
clay, sehingga menambah jarak basal spacing antarlapis clay (Boyd et al, 2001).

Gambar 2.2 Rumus Molekul CTABr

16
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, alat-alat
plastik, lumpang mortar, pengaduk magnetik (Thermolyne Cimarec 2), neraca
analitik (AND GR-200), pompa vakum (Buchi Var-V 500), oven (Memmert), pH-
meter (Horiba pH meter F-52) dan spektrofotometri UV-Vis double beam (Hitachi
U-2010).

3.1.2 Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al(NO3)3.9H2O
(Merck), Mg(NO3)2.6H2O (Merck), NaOH (Merck), Na2CO3 (Merck), HNO3
(Merck), [(C16H33)N(CH3)3Br] (Merck), serta kertas saring Whatman 42
(Whatman).

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Pengaruh variasi waktu kontak
Sebanyak 20 mg material adsorben dikontakkan dengan 10 mL larutan
fenol 100 mg/L pada pH optimum. Setelah itu campuran dishaker pada berbagai
variasi waktu yaitu 15; 30; 60; 90; 120; 180 dan 300 menit. Lalu larutan disaring
campuran dengan kertas saring whatman 42 dalam corong buncher sehingga
terpisah antara filtrat dan residu. Sebelum diadsorpsi konsentrasi fenol yang
tertinggal dalam filtrat dianalisis dengan spektofotometer UV-Vis.

3.2.2 Pengaruh variasi konsentrasi


Sebanyak 20 mg material adsorben lalu dikontakkan dengan larutan fenol,
variasi konsentrasi yang dibuat pada pH optimum. Variasi konsentrasi yang
digunakan adalah 15; 30; 60; 100; 150; 200; dan 300 mg/L. Setelah itu dishaker
campuran selama waktu optimum, kemudian disaring menggunakan kertas saring

17
whatman 42 dengan corong buncher sehingga terpisah antara filtrat dan residu.
Sebelum diadsorpsi konsentrasi fenol yang masih tertinggal dalam filtrat
dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan fenol dari hasil adsorpsi Mg/Al hidrotalsit 4:1 CTABr (cetyl
trimethyl ammonium bromide) secara In-Situ dan Ex-Situ dengan spektrofotometer
UV-Vis bertujuan untuk mengetahui hasil variasi waktu kontak dan konsentrasi.
Berdasarkan data yang diperoleh dibahas sebagai berikut.

4.1 Penentuan Kurva Kalibrasi


Larutan standar dibuat dari larutan induk fenol 1000 ppm dengan
aquabides. Larutan induk fenol 100 ppm dibuat larutan deret seri dengan
konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. Hasil pembuatan larutan standar tersebut
diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Visible Double Beam
dengan panjang gelombang 269 nm. Berikut hasil pengukuran serapan larutan
standar yang dibuat.
Tabel 4.1 Absorbansi Larutan Standar Fenol
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,0000
2 0,0820
4 0,1550
6 0,2270
8 0,3120
10 0,3810

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa semakin besar konsentrasi


larutan standar maka semakin besar pula nilai absorbansinya. Hal ini didasarkan
pada radiasi sinar yang diteruskan oleh cuplikan sebanding dengan intensitas sinar
yang diserap. Nilai absorbansi dari larutan standar tersebut digunakan untuk
membuat kurva kalibrasi standar. Sumbu x menunjukkan konsentrasi sedangkan
sumbu y menunjukkan absorbansi. Kurva kalibrasi standar ditunjukkan pada
Gambar 4.1.

19
0.45
0.4 y = 0,038 x + 0,002
0.35 R2 = 0,999
0.3
Absorbansi 0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.1 Hubungan Kurva Kalibrasi Antara Konsentrasi


Fenol (ppm) dengan Absorbansi

Dari hasil Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi larutan standar fenol yang diukur serapannya dengan spektrofotometer
UV-Vis maka semakin besar pula nilai adsorbansinya yang terbaca. Hal ini
didasarkan pada radiasi sinar yang diteruskan oleh cuplikan sebanding dengan
intensitas sinar yang diserap. Persamaan regresi linear yang dihasilkan yaitu y=
0,038x + 0,002 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,999
menunjukkan kedekatan garis regresi linear dengan titik data sebenarnya,
sedangkan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,999 menunjukkan hubungan
antara x=konsentrasi dan y=absorbansi. Hasil konsentrasi teradsorpsi yang
diperoleh dapat digunakan dalam penentuan kapasitas adsorpsi untuk variasi
waktu kontak dan variasi konsentrasi dengan rumus sebagai berikut:

𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 x 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒


Kapasitas adsorpsi = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑑𝑠𝑜𝑟𝑏𝑒𝑛

Kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya jumlah fenol yang dapat teradsorpsi


oleh adsorben hidrotalsit termodifikasi CTABr. Hasil kapasitas adsorpsi
digunakan untuk menentukan waktu kontak yang memberikan penyerapan fenol
paling optimal.

20
4.2 Pengaruh Waktu Kontak Pada Adsorpsi Fenol Dengan Adsorben Mg/Al
4:1 termodifikasi CTABr In-Situ dan Ex-Situ
Waktu kontak merupakan salah satu hal yang menentukan dalam proses
adsorpsi karena waktu kontak dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan antara
zat teradsorpsi dengan larutan yang tidak teradsorpsi. Penentuan waktu kontak
pada adsorben fenol dengan material Mg/Al 4:1 termodifikasi CTABr In-Situ dan
Ex-Situ dilakukan pada variasi waktu 15, 30, 60, 90, 120, 180 dan 300 menit yang
membedakan hanya bahan adsorben. Larutan fenol 100 mg/L yang telah diatur
pada pH optimum yaitu pH 6 material In-Situ dan pH 5 untuk material Ex-Situ.
Larutan tersebut dipipet sebanyak 10 mL dikontakkan dengan adsorben 20 mg
CTABr 4:1 In-Situ dan Ex-Situ selama variasi waktu yang telah ditentukan
menggunakan shaker dan disaring menggunakan kertas saring whatman 42.
Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan 20 kali pengenceran untuk In-
Situ dan diencerkan 10 kali pengenceran untuk Ex-Situ. Perbedaan pengenceran
10 kali karena In-Situ diencerkan 10 kali tidak masuk range adsorpsi
menggunakan panjang gelombang 269 nm pada spektrofotometer Uv-Vis double
beam. Hasil pengaruh variasi waktu kontak pada adsorpsi fenol dengan ini dapat
dilihat pada Tabel 4.2 :
Tabel 4.2 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)
Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
15 3,158 1,579
30 4,737 2,368
60 8,596 4,298
90 8,596 4,298
120 10,351 5,175
180 11,053 5,526
300 11,754 5,877

Hasil pengukuran spektrofotometer UV-Vis double beam dilihat dari Tabel 4.2
dapat ditentukan waktu optimum adsorpsi CTABr 4:1 In-Situ terhadap fenol yang
dilihat dari nilai kapasitas adsorpsi fenol yang mulai konstan. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 4.2.

21
7

kapasitas adsorpsi (mg/g) 6

0
0 50 100 150 200 250 300 350
waktu kontak (menit)

Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak Dengan Kapasitas Adsorpsi


(In-Situ)

Berdasarkan hasil data penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa


optimum yang diperoleh yaitu 120 menit yang ditandai dengan hasil nilai
kapasitas yang paling tinggi sebesar 5,1754 mg/g. Dari hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu kontak yang dilakukan dapat
menyebabkan nilai kapasitas meningkat oleh adsorpsi Mg/Al hidrotalsit 4:1
termodifikasi CTABr In-Situ. Kenaikan nilai kapasitas adsorpsi (mg/g)
menunjukkan bahwa adsorben Mg/Al hidrotalsit 4:1 termodifikasi CTABr In-Situ
semakin berkurang daya serapannya.
Pada waktu kontak 15-60 menit terjadi pertukaran ion pada permukaan
adsorben dapat berlangsung optimum dengan hidrotalsit sehingga kemampuan
adsorpsinya semakin naik. Pertukaran ion adalah proses transfer massa dari
larutan ke fase padatan. Ion yang dipindahkan dari larutan dipindahkan lagi ke
penukaran ion sehingga terjadi elektronetralitas. Pertukaran ion telah mencapai
kesetimbangan pada saat reaksi mulai konstan yang menandakan bahwa
permukaan Mg/Al hidrotalsit trmodifikasi CTABr In-Situ telah jenuh berikatan
dengan fenol.

22
Tabel 4.3 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)
Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
0 0 0
30 2,807 1,404
60 4,474 2,237
120 9,474 4,737
180 10,877 5,439
240 11,140 5,570
300 10,877 5,439
360 12,368 6,184

Hasil pengukuran spektrofotometer UV-Vis double beam dilihat dari


Tabel 4.3 dapat ditentukan waktu optimum adsorpsi CTABr 4:1 Ex-Situ terhadap
fenol yang dilihat dari nilai kapasitas adsorpsi fenol yang mulai konstan. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 4.3.

60
Kapasitas adsorpsi (mg/g)

40

20

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
waktu (menit)

Gambar 4.3 Hubungan Antara Waktu Kontak Dengan Kapasitas Adsorpsi


(Ex-Situ)

Berdasarkan Gambar 4.3 dapat disimpulkan bahwa waktu optimum yang


diperoleh yaitu 120 menit yang ditandai dengan hasil nilai kapasitas yang paling
tinggi sebesar 4,7368 mg/g. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa semakin lama waktu kontak yang dilakukan dapat menyebabkan nilai
kapasitas meningkat oleh adsorpsi Mg/Al hidrotalsit 4:1 termodifikasi CTABr Ex-
Situ. Kenaikan nilai kapasitas adsorpsi (mg/g) menunjukkan bahwa adsorben

23
Mg/Al hidrotalsit 4:1 termodifikasi CTABr Ex-Situ semakin berkurang daya
serapannya.
Pada waktu kontak 15-60 menit semakin banyak hidrotalsit yang
bertumbukan dan berinteraksi dengan fenol sehingga kemampuan adsorpsinya
semakin naik. Saat tercapai waktu optimum reaksi mulai konstan yang
menandakan bahwa permukaan Mg/Al hidrotalsit termodifikasi CTABr In-Situ
telah jenuh berikatan dengan fenol.

4.2.1 Penentuan Model Kinetika Adsorpsi


Model kinetika reaksi dapat digunakan untuk mengolah data dalam
penanganan limbah cair dengan adsorpsi untuk menentukan variabel yang terlibat
dalam adsorpsi dan mekanisme adsorpsi yang terjadi.
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (In-Situ)
Model Konstanta
no R2
Kinetika Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0009 0,7308
-1 -1
2 orde 2 k mM .min 0,00003 0,7579
-1
3 pseudo orde 1 k min -0,0093 0,9272
-1 -1
4 pseudo orde 2 k mM .min 0,1316 0,9568

25

20 y = 0.1316x + 7.7604
R² = 0.9568
15
t/qt

10

0
0 20 40 60 80 100 120 140
t (menit)

Gambar 4.4 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua In-Situ

Data Tabel 4.4 menunjukkan model yang cocok untuk adsorpsi hidrotalsit In-
Situ yaitu model pseudo orde 2 yang ditandai nilai koefisien determinasi (R2)

24
paling mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9568 dan diketahui nilai k (konstanta laju
adsorpsi) yaitu 0,1316 menit-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa 95,68% data
dapat dijelaskan dengan model kinetika pseudo orde 2.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (Ek-Situ)
Model Konstanta
no R2
Kinetika Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0011 0,9073
2 orde 2 k mM-1.min-1 0,00002 0,9157
3 pseudo orde 1 k min-1 -0,0091 0,9532
-1 -1
4 pseudo orde 2 k mM .min 0,1404 0,6433

0.5
log (qe-qt)

0
0 50 100 150 200
-0.5
y = -0.0091x + 0.8974
R² = 0.9532
-1
t (menit)

Gambar 4.5 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua Ex-Situ

Data Tabel 4.5 menunjukkan model yang cocok untuk adsorpsi hidrotalsit In-
Situ yaitu model pseudo orde 2 yang ditandai nilai koefisie determinasi (R2)
paling mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9532 dan diketahui nilai k (konstanta laju
adsorpsi) yaitu -0,0091 menit-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa 95,32% data
dapat dijelaskan dengan model kinetika pseudo orde 2.

4.3 Pengaruh Konsentrasi Pada Adsorpsi Fenol Dengan Adsorben Mg/Al


Hidrotalsit 4:1 termodifikasi CTABr In-Situ dan Ex-Situ
Penentuan adsorpsi fenol dengan adsorben Mg/Al hidrotalsit 4:1
termodifikasi CTABr In-Situ dan Ex-Situ pada variasi konsentrasi dilakukan
dengan membuat larutan induk fenol 1000 mg/L, kemudian diatur pH optimum
yaitu pH 6 In-Situ dan pH 5 Ex-Situ. Diatur ke variasi konsentrasi yaitu 15, 30,

25
60, 100, 150 dan 200 mg/L. Sebanyak 10 mL larutan fenol dikontakkan dengan 20
mg adsorben Mg/Al hidrotalsit 4:1 In-Situ dan Ex-Situ selama variasi waktu yang
telah ditentukan menggunakan shaker dan disaring menggunakan kertas saring
whatman 42.
Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan 20 kali pengenceran untuk In-
Situ dan diencerkan 10 kali pengenceran untuk Ex-Situ. Perbedaan pengenceran
10 kali karena In-Situ diencerkan 10 kali tidak masuk range adsorpsi
menggunakan panjang gelombang 269 nm pada spektrofotometer Uv-Vis double
beam. Hasil pengaruh variasi waktu kontak pada adsorpsi fenol dengan ini dapat
dilihat pada berikut ini :
Tabel 4.6 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)
Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 2,281 1,140
30 4,211 2,105
60 4,561 2,281
100 5,088 2,544
150 11,053 5,526
200 11,404 5,702

6
kapasitas adsorpsi (mg/g)

5
4
3
2
1
0
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi fenol (mg/L)

Gambar 4.6 Hubungan antara Konsentrasi fenol dengan kapasitas adsorpsi


(In-Situ)
Berdasarkan Gambar 4.6 menunjukkan bahwa konsentrasi optimum
diperoleh pada konsentrasi fenol 150 mg/L. Dari hasil grafik yang diperoleh
menunjukkan bahwa jumlah kapasitas adsorpsi meningkat pada konsentrasi 15,

26
30, 60, 100 dan 150 mg/L. Hal ini dikarenakan adanya gugus OH- pad stuktur
hidrotalsit sehingga menyebabkan terjadinya sifat polar pad adsorben tersebut.
Dimana hidrotalsit tersebut mampu menjerap zat yang bersifat polar dari pada zat
yang kurang polar, sehingga hasil konsentrasi adsorpsi menunjukkan semakin
besar konsentrasi larutan fenol yang diadsorpsi maka semakin besar konsentrasi
adsorpsi yang diperoleh.
Pada konsentrasi 150 dan 200 mg/L terjadi adanya batasan ketersediaan
ruang dari adsorben terhadap fenol. Hal tersebut disebabkan karena adsorben
mulai dalam keadaan jenuh, dimana semua pori-pori adsorben telah dipenuhi oleh
fenol.
Tabel 4.7 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)
Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 5,702 7,127
30 11,973 14,967
60 18,553 23,191
100 20,482 25,603
150 20,482 25,603
200 20,439 25,548
300 21,053 26,316

30
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

25
20
15
10
5
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Konsentrasi Fenol (mg/L)

Gambar 4.7 Hubungan antara Konsentrasi fenol dengan kapasitas adsorpsi


(Ex-Situ)
Berdasarkan Gambar 4.7 dapat diketahui bahwa dari konsentrasi 15 - 100
mg/L mengalami kenaikan yang menunjukkan bahwa adsorben hidrotalsit CTABr
4:1 masih dapat mengadsorpsi fenol dengan baik. Konsentrasi diatas 100 mg/L

27
kapasitas adsorpsi hanya mengalami peningkatan yang sangat sedikit. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi yang diperoleh pada konsentrasi 100
mg/L sudah dalam kondisi jenuh, sehingga jika larutan fenol yang diadsorpsi
memiliki konsentrasi yang lebih besar, maka kapasitas adsorpsi yang diperoleh
tidak meningkat secara signifikan. Pada proses adsorpsi ini terjadi gaya tarik
menarik antara molekul-molekul fenol dengan permukaan padatan adsorben
hidrotalsit. Adsorpsi ini dapat bereaksi balik (reversible), ketika adsorben
hidrotalsit sudah mengalami titik jenuh saat konsentrasi senyawa fenol yang
diadsorpsi sudah tidak mampu teradsorpsi lagi oleh adsorben hidrotalsit tersebut.

4.3.1 Isoterm Langmuir


Model isoterm Langmuir mengasumsikan bahwa permukaan adsorben
adalah homogen dan besarnya energi adsorpsi ekuivalen untuk setiap adsorpsi.
Adsorpsi secara kimia terjadi karena adanya interaksi antara situs aktif adsorben
dengan zat teradsorpsi dan interaksi hanya terjadi pada lapisan penyerapan
tunggal (monolayer adsorption) permukaan dinding sel adsorbewn (Amri et al.,
2004).
Tabel 4.8 Isoterm Langmuir In-Situ
Co (mg/L) Ce (mg/L) q Ads (mg/g) Ce/qe
9,123 6,842 1,140 1,2
14,211 10 2,105 1,754
25,439 20,877 2,281 3,662
42,456 37,368 2,544 6,554
43,158 32,105 5,526 5,631
82,105 70,702 5,702 12,4

28
14
y = 0.1538x - 0.3508
12 R² = 0.9926
10

8
Ce/qe

0
0 20 40 60 80 100
Co

Gambar 4.8 Isoterm Langmuir In-Situ

Tabel 4.9 Isoterm Langmuir Ex-Situ


Co (mg/L) Ce (mg/L) q Ads (mg/g) Ce/qe
20,833 15,132 7,127 0,575
26,096 22,149 14,967 0,842
27,412 18,860 23,191 0,717
38,158 17,325 25,603 0,658
47,368 17,325 25,603 0,658
55,482 44,298 25,548 1,683

1.8
1.6
1.4 y = 0.0208x + 0.1087
1.2 R² = 0.4602
Ce/qe

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60
Co

Gambar 4.9 Isoterm Langmuir Ex-Situ

29
4.3.2 Isoterm Freundlich
Model persamaan Freundlich mengasumsikan bahwa terdapat lebih dari
satu lapisan permukaan (multilayer) dan sisi bersifat heterogen, yaitu adanya
perbedaan energi pengikat pada tiap-tiap sisi dimana proses adsorpsi di tiap-tiap
sisi adsorpsi mengikuti isoterm Langmuir.
Tabel 4.10 Isoterm Freundlich In-Situ
x= log Ce y= log qe
0,835 0,057
1 0,323
1,320 0,358
1,573 0,405
1,507 0,742
1,849 0,756

0.9 y = 0.6153x - 0.3885


0.8 R² = 0.7496
0.7
0.6
Log qe

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce

Gambar 4.10 Isoterm Freundlich In-Situ

Tabel 4.11 Isoterm Freundlich Ex-Situ


log Ce log qe
1,179884248 0,852918518
1,345356531 1,175137813
1,275533609 1,365315533
1,238662249 1,408292047
1,238662249 1,408292047
1,646386527 1,407361083
1,818156412 1,420216403

30
1.6
1.4
1.2 y = 0.3908x + 0.7472
1 R² = 0.2013
Log qe

0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce

Gambar 4.11 Isoterm Freundlich Ex-Situ

4.3.3 Penentuan model linier Langmuir dan Freundlich


Setelah diperoleh persamaan linier tiap Isoterm Langmuir In situ Ex Situ
dan Freundlich In Situ Ex Situ dibuat tabel model plot linier Langmuir dan
Freundlich untuk memilih Isoterm mana yang cocok digunakan secara Mg/Al
hidrotalsit CTABr 4:1 sebagai berikut :
Tabel 4.12 Data Plot Linier Langmuir dan Freundlich
Langmuir Freundlich
Adsorben
Persamaan R2 Persamaan R2
CTABr 4:1 In
y=0,1538x-0,3508 0,9926 y=0,6153x-0,3885 0,7496
Situ
CTABr 4:1 Ex
y=0,0208x-0,1087 0,4602 y=0,3908x-0,7472 0,2013
Situ

Dari hasil pengamatan tabel 5.2 dapat ditentukan adsorben cocok dengan model
isoterm adsorbansi. Adsorben CTABr 4:1 In Situ cocok dengan model isoterm
Languwir karena nilai koefisien determinasi Langmuir lebih tinggi yaitu sebesar
0,9926. Sedangkan Adsorben CTABr 4:1 Ex Situ cocok dengan model isoterm
Languwir karena nilai koefisien determinasi Langmuir lebih tinggi yaitu sebesar
0,4602.

31
4.4 Penentuan Limit Deteksi dan Limit Kuantitas
Limit Of Detection (LOD) adalah jumlah terkecil dalam sampel yang dapat
dideteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko.
Limit Of Quantitation (LOQ) adalah merupakan parameter pada analisis renik dan
diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat
memenuhi kriteria cermat.
Penentuan LOD dan LOQ didapatkan dari penentuan persamaan kurva
kalibrasi standar fenol yaitu Y= 0,038X + 0,002. Batas deteksi ditentukan untuk
mengetahui konsentrasi analit terendah yang dapat diukur oleh alat dan limit
kuantitatif dinyatakan dalam konsentrasi analit dalam sampel.

Tabel 4.13 Data Absorbansi Larutan Standar Fenol


Konsentrasi Absorbansi
Yi Y-Yi (Y-Yi)2
(ppm) (Y)
0 0,0000 0,0020 -0,0020 0,000004
2 0,0820 0,0096 0,0724 0,005241
4 0,1550 0,0172 0,1378 0,018988
6 0,2270 0,0248 0,2022 0,040884
8 0,3120 0,0324 0,2796 0,078176
10 0,3810 0,0400 0,3410 0,116281
Jumlah 0,259576

Dari jumlah (Y-Yi)2 maka dicari standar deviasi untuk menentukan nilai LOD
dan LOQ pada pengujian adsorpsi fenol dengan rumus:

Σ(Y−Yi)2
Sd =√
𝑛−2

3 𝑋 𝑆𝑑 10 𝑋 𝑆𝑑
LOD = LOQ =
𝑠𝑙𝑜𝑝𝑒 𝑠𝑙𝑝𝑜𝑒

Berdasarkan table 4.6 standar deviasi yang didapat sebesar 0,0129


sehingga nilai batas deteksi (LOD) yang diperoleh sebesar 1,0208 mg/L, ini
menunjukan bahwa batas konsentrasi terendah dalam konsentrasi fenol yang
dianalisis pada alat spektrofotometer UV-Vis, sedangkan nilai batas kuantitatif
(LOQ) yang diperoleh sebesar 3,4029 mg/L artinya kuantitas terkecil fenol dalam
sampel masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama adalah sebesar 3,409

32
mg/L. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi terkecil yang tidak
menimbulkan bias dalam perhitungan.
Nilai Limit Of Detection (LOD) dan Limit Of Detection (LOQ) yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai konsentrasi larutan standar yang
terbaca. Larutan standar yang terkecil yaitu 2 mg/L diperoleh nilai konsentrasi
hasil pembacaan alat harus lebih kecil dari pada nilai LOD dan LOQ, maka dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi standard dan sampel tidak berada dalam range
LOD dan LOQ sehingga data dari hasil penelitian ini dapat dikatakan kurang baik.

33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil Praktek Kerja Mandiri yang
telah dilakukan di laboratorium Terpadu FMIPA UII Yogjakarta yaitu:
1. Hasil variasi waktu kontak fenol In-Situ dan Ex-Situ diperoleh waktu
kontak optimum pada waktu 120 menit, yang ditandai dengan hasil nilai
kapasitas adsorpsi atau q (mg/g) sebesar 5,5263 mg/g In-Situ dan q (mg/g)
sebesar 5,5702 mg/g Ex-Situ . Hasil variasi konsentrasi fenol In-Situ dan
Ex-Situ diperoleh waktu kontak optimum pada konsentrasi 120 mg/L,
yang ditandai dengan hasil nilai kapasitas adsorpsi atau q (mg/g) sebesar
5,7018 mg/g In-Situ dan q (mg/g) sebesar 26,3158 mg/g Ex-Situ. Maka
In-Situ mengikuti model pseudo orde dua yang ditandai dengan koefisien
determinasi yang mendekati nilai 1 yaitu sebesar 0,9568. Sedangkan Ex-
Situ mengikuti model pseudo orde dua dengan nilai koefisien determinasi
tertinggi sebesar 0,9532.
2. Hasil limit deteksi (LOD) melalui persamaan pengukuran kurva kalibrasi
larutan standar fenol yaitu sebesar 1,0208 mg/L sedangkan hasil nilai limit
kuantitasi (LOQ) diperoleh sebesar 3,4029 mg/L.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Mandiri yang dilakukan di Laboratorium
Terpadu FMIPA UII Yogyakarta, penulis menyarankan beberapa hal yaitu sebagai
berikut:
1. Sebaiknya diperiksa terlebih dahulu sebelum menggunakan peralatan gelas
dalam keadaan baik.
2. Perlu pembaruan metode analisis agar penelitian berjalan efektif dan
akurat.

34
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, Leni Herliani, 2008, Teknologi Pengawetan Pangan, Jakarta: Alfabeta.

Amri, M., Supranto dan Fahrurozi, M., 2004, Kesetimbangan adsorpsi optional
campuran biner Cd(II) dan Cr(III) dengan zeolit alam terimpregnasi 2-
merkaptobenzotiazol, Jurnal Natur Indonesia - Universitas Riau.

Ginting A. Br., Anggraini D., Indaryati S., dan Kriswarini R. 2007. Karakterisasi
Komposisi Kimia Luas Permukaan Pori dan Sifat Termal dari Zeolit Bayah,
Tasikmalaya, dan Lampung, Jurnal Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-
Batan, Serpong.

Boyd J., Parkinson C., and Sherman P., 2001. Factors Affecting Emulsion
Stability and HLB Concept, J.Coll. Interface Sci.

Bregas, S. T. Sembodo. 2006. Studi Kinetika Adsorpsi Ion Logam Berat Cr (VI)
Menggunakan Ampas Tebu Teraktivasi, Laporan Penelitian, Program Studi
Teknik Kimia. UNS. Surakarta.

Brei V., Galyna, S., Svitlana, L., and Dmytro, S., 2012, ‘Study Of A Continuous
Process Of Glycerolysis of Rapeseed Oil With The Solid Base Catalysts’.
Chemistry & Chemical Technology.

Day, R. A., and A. L., Underwood, 2002, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi
Keenam, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Fatimah. I., 2005, Penerapan Metoda Adsorbansi-Fotodegradasi Pada Pengolahan


Limbah Cair Industri Tapioka menggunakan TiO2-Zeolit, Laporan Hasil
Limbah. Bogasari.

35
Fessenden, R. J., 1986, Kimia Organik, Edisi Ketiga, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Giyatmi, Z. K., dan Damajati, M., 2008, Penurunan Kadar Cu, Cr dan Ag Limbah
Cair Industri Perak Di Kota Gede Setelah Di Adsorpsi Dengan Tanah Liat
Dari Daerah Godean, Jurnal Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-Batan.
Serpong.

Handayani, M., dan Sulistyono, E., 2009, Uji Persamaan Langmuir Freundlich
Pada Penyerapan Limbah Chrome (VI) Oleh Zeolit, Jurnal PTNBR – Batan.
Bandung.

Handayani, S., Kusumawardani, C., dan Budiasih, K.S., 2013, Sintesis Dan
Karakterisasi Hidrotalsit Mg/Al Dengan Metode Kopresipitasi Hidrotermal
Untuk Reaksi Kondensasi Aldol, Jurnal Eprint UNY, Jurusan Pendidikan
Kimia FMIPA, Yogyakarta.

Hickey, L., Kloprogge, J.T., and Frost, R.L., 2000, The effect of hydrothermal
treatments on magnesium-aluminium hydrotalcites, J. Mater. Sci

Ho, Y. S., 2006, Review of Second Order Models for Adsorption Systems, J.
Hazard. Mater.

Hoffman, M.R., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W. 1997.
Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis. J. Chem.

Jatmika, A., 1998. Aplikasi Enzim Lipase dalam Pengolahan Minyak Sawit dan
Minyak Inti Sawit Untuk Produk Pangan, Warta Pusat Penelitian Kelapa
Sawit.

Kaniawati, 2011, Asam Pikrat, Malang : Universitas Malang.

36
Karmanto, 2006, Sintesis Mg/Al Hydrotalsite Sebagai Adsorben Asam Humat.
Skripsi FMIPA UGM. Yogyakarta.

Khimantoro, R.., Sunarno dan Yenti S. R., 2014, Adsorption Kinetics Study of Cr
(III) Metals Using Activated Natural Zeolite. Jurnal Faculty of Engineering,
UR, Riau.

Kurniawati, P., Purbaningtias, T. E., Wiyantoko, B., dan Fatimah, I., 2014,
Synthesis of Mg/Al Hydrotalcite by Sol-Gel and Coprecipitation Methods.
ISC UNPAD, Bandung: UNPAD.

Masyitnah, Zuhrina., 2010, Optimasi Sintesis Surfaktan Alkandamida Dari Asam


Laurat Dengan Dietanolamina Dan N-Metil Glukamina Secara Enzimatik,
Tesis Magister Ilmu Kimia FMIPA UNSU, Medan.

Mathias, Ahmad, 2005, Spektrofotometri, Exacta: Solo.

Nair, C. I., Jayachandra, K., dan Shasidar, S., 2008, Biodegradation of Phenol,
African Journal of Biotechnology.

Peni, S., 2001, Perbandingan Tingkat Penyerapan Arang Aktif, Breksi Batu
Apung dan Kulit Terhadap Zat Warna Limbah Cair Industri Batik, Tesis
Program Pasca Sarjana UNS. Surakarta.

Poerwono, H., 2012, Kimia Organik I, Departemen Kimia Farmasi, Fakultas


Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya.

Purba, michael, 2007, Kimia, Jakarta: Erlangga

Qadeer dan Rehan, 1998, Proses Pengolahan Minyak Bumi, Bandung.

37
Rahmawati, Anik Desi, 2011, Upaya Peningkatan Kreativitas Siswa melalui
Metode Discovery Learning pada Topik Lingkaran di Kelas VIII SMPN 2
Kalibawang, Skripsi Fakultas MIPA UNY, Yogyakarta.

Reynolds, T.D., 1982, Unit Operations And Process In Environmental


Engineering, Texas A&M University, USA.

Slamet, R., Arbianti dan Daryanto, 2005, Pengolahan Limbah Organik (Fenol)
dan Logam Berat (Cr6+ atau Pt4+) secara Simultan dengan Fotokatalis
TiO2,ZnO-TiO2, dan CdS-TiO2, Makara, Teknologi, Depok, Universitas
Indonesia, Fakultas Teknik.

Sukardjo, 2002, Kimia Fisika, Jakarta: Bineka Cipta.

Syauqiah, I., Amalia, M., dan Kartini, H. A. 2011. Analisis Waktu dan Kecepatan
Pengadukan Pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat Dengan Arang
Aktif. Info Teknik.

Takehira, K., 2009, ‘Intelligent” reforming catalysts: Trace noble metal-doped


Ni/Mg(Al)O derived from hydrotalcites’, Journal of Natural Gas Chemistry.

Tchobanoglous, G., Burton, F.L. dan Stensel, H.D. (2003). Waste Water
Engineering: Treatment and Reuse. Metcalf & Eddy Inc., New York.

Wang, Q. Tay., Zhanhu, Chen , Liu , Chang,J. Zhong ,Luo ,and Armando, B.
2012, ‘Morphology and composition controllable synthesis of Mg–Al–CO3
hydrotalcites by tuning the synthesis pH and the CO2 capture
capacity’,Applied Clay Science.

38
LAMPIRAN

39
LAMPIRAN

Tabel 4.1 Absorbansi Larutan Standar Fenol


Konsentrasi (ppm) Absorbansi
0 0,000
2 0,082
4 0,155
6 0,227
8 0,312
10 0,381

0.5
y = 0,038 x + 0,002
0.4 R2 = 0,999
Absorbansi

0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Standar Fenol

Tabel 4.2 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)


Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
15 3,157894737 1,578947368
30 4,736842105 2,368421053
60 8,596491228 4,298245614
90 8,596491228 4,298245614
120 10,35087719 5,175438596
180 11,05263158 5,526315789
300 11,75438596 5,877192982

40
7

kapasitas adsorpsi (mg/g) 6

0
0 50 100 150 200 250 300 350
waktu kontak (menit)

Gambar 4.2 Hubungan Antara Waktu Kontak Dengan Kapasitas Adsorpsi


(In-Situ)

Tabel 4.3 Hasil Konsentrasi Teradsorpsi dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)


Waktu Kontak Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas adsorpsi
(menit) (mg/L) (mg/g)
0 0 0
30 2,807 1,4035
60 4,4736 2,2368
120 9,4736 4,7368
180 10,8771 5,4386
240 11,1403 5,5701
300 10,8771 5,4386
360 12,3684 6,1842

41
60

Kapasitas adsorpsi (mg/g)


40

20

0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
waktu (menit)

Gambar 4.3 Hubungan Antara Waktu Kontak Dengan Kapasitas Adsorpsi


(Ex-Situ)

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (In-Situ)


Konstanta
no Model Kinetika R2
Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0009 0,7308
2 orde 2 k mM-1.min-1 3.10-5 0,7579
3 pseudo orde 1 k min-1 -0,0093 0,9272
4 pseudo orde 2 k mM-1.min-1 0,1316 0,9568

25

20 y = 0.1316x + 7.7604
R² = 0.9568
15
t/qt

10

0
0 20 40 60 80 100 120 140
t (menit)

Gambar 4.4 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua In-Situ

42
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Model Kinetika Adsorpsi (Ek-Situ)
Model Konstanta
no R2
Kinetika Lambang Satuan Nilai
1 orde 1 k min-1 0,0011 0,9073
2 orde 2 k mM-1.min-1 2.10-5 0,9157
pseudo orde
3 1 k min-1 -0,0091 0,9532
pseudo orde
4 2 k mM-1.min-1 0,1404 0,6433

0.5
log (qe-qt)

0
0 50 100 150 200
-0.5
y = -0.0091x + 0.8974
R² = 0.9532
-1
t (menit)

Gambar 4.5 Hasil Analisis Model Kinetika Pseudo Orde Dua Ex-Situ

Tabel 4.6 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (In-Situ)


Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 2,28070175 1,140350877
30 4,21052632 2,105263158
60 4,56140351 2,280701754
100 5,0877193 2,543859649
150 11,0526316 5,526315789
200 11,4035088 5,701754386

43
6

kapasitas adsorpsi (mg/g)


5
4
3
2
1
0
0 50 100 150 200 250
Konsentrasi fenol (mg/L)

Gambar 4.6 Hubungan antara Konsentrasi fenol dengan kapasitas adsorpsi


(In-Situ)

Tabel 4.7 Hasil Konsentrasi Fenol dan Kapasitas Adsorpsi (Ex-Situ)


Konsentrasi Fenol Konsentrasi Teradsorpsi Kapasitas Adsorpsi
(mg/L) (mg/L) (mg/g)
15 5,701754 7,127192982
30 11,97368 14,96710526
60 18,55263 23,19078947
100 20,48246 25,60307018
150 20,48246 25,60307018
200 20,4386 25,54824561
300 21,05263 26,31578947

30
Kapasitas Adsorpsi (mg/g)

25

20

15

10

0
0 50 100 150 200 250 300 350
Konsentrasi Fenol (mg/L)

Gambar 4.7 hubungan antara Konsentrasi fenol dengan kapasitas adsorpsi


(In-Situ)

44
Tabel 4.8 Isoterm Languwir In-Situ
Co Ce q Ce/qe
9,122807018 6,842105263 1,140350877 1,2
14,21052632 10 2,105263158 1,753846154
25,43859649 20,87719298 2,280701754 3,661538462
42,45614035 37,36842105 2,543859649 6,553846154
43,15789474 32,10526316 5,526315789 5,630769231
82,10526316 70,70175439 5,701754386 12,4

14
y = 0.1538x - 0.3508
12 R² = 0.9926
10

8
Ce/qe

0
0 20 40 60 80 100
Co

Gambar 4.8 Isoterm Languwir In-Situ

Tabel 4.9 Isoterm Languwir Ex-Situ


Co Ce q Ads (mg/g) Ce/qe
20,83333333 15,13157895 7,127192982 0,575
26,09649123 22,14912281 14,96710526 0,841666667
27,4122807 18,85964912 23,19078947 0,716666667
38,15789474 17,3245614 25,60307018 0,658333333
47,36842105 17,3245614 25,60307018 0,658333333
55,48245614 44,29824561 25,54824561 1,683333333

45
1.8
1.6
1.4 y = 0.0208x + 0.1087
1.2 R² = 0.4602
Ce/qe

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60
Co

Gambar 4.9 Isoterm Languwir Ex-Situ

Tabel 5.0 Isoterm Freundlich In-Situ


x= log Ce y= log qe
0,835189751 0,057038501
1 0,32330639
1,319672106 0,358068497
1,572504748 0,405493147
1,506576234 0,742435698
1,84943019 0,756008505

0.9 y = 0.6153x - 0.3885


0.8 R² = 0.7496

0.7
0.6
0.5
Log qe

0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce

Gambar 5.0 Isoterm Freundlich In-Situ

46
Tabel 5.1 Isoterm Freundlich Ex-Situ
log Ce log qe
1,179884248 0,852918518
1,345356531 1,175137813
1,275533609 1,365315533
1,238662249 1,408292047
1,238662249 1,408292047
1,646386527 1,407361083
1,818156412 1,420216403

1.6
1.4
1.2 y = 0.3908x + 0.7472
1 R² = 0.2013
Log qe

0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2
Log Ce

Gambar 5.1 Isoterm Freundlich In-Situ

Tabel 5.2 Plot Linier Languwir dan Freundlich


Languwir Freundlich
Adsorben
Persamaan R2 Persamaan R2
CTABr 4:1 In
Situ y=0,1538x-0,3508 0,9926 y=0,6153x-0,3885 0,7496
CTABr 4:1 Ex
Situ y=0,0208x-0,1087 0,4602 y=0,3908x-0,7472 0,2013

47
Tabel 5.2 Data Absorbansi Larutan Standar Fenol
Konsentrasi Absorbansi
(ppm) (Y) Yi Y-Yi (Y-Yi)2
0 0,0000 0,0020 -0,0020 0,000004
2 0,0820 0,0096 0,0724 0,005241
4 0,1550 0,0172 0,1378 0,018988
6 0,2270 0,0248 0,2022 0,040884
8 0,3120 0,0324 0,2796 0,078176
10 0,3810 0,0400 0,3410 0,116281
Jumlah 0,259576

48

Anda mungkin juga menyukai