Anda di halaman 1dari 15

PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA

PADA ANAK

Pustika Amalia W. Wahidiyat


Divisi Hematologi-Onkologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM

Anemia merupakan satu diantara berbagai masalah yang sering ditemukan pada anak; dapat
disebabkan oleh berbagai etiologi mulai dari yang ringan seperti kekurangan nutrisi sampai pada
akibat dari kelainan bawaan yang berat. Gejala yang muncul juga sangat bervariasi mulai dari
tanpa gejala sampai yang menimbulkan gejala berat.
Anemia bukan merupakan suatu diagnosis; Dari hasil rendahnya kadar hemoglobin
memberi petunjuk pada klinisi bahwa pada seorang anak dengan anemia telah terjadi penurunan
volume sel darah merah (SDM) yang kemudian harus dicari penyebabnya.
Oleh karena penyebab anemia ini sangat banyak, kita sebagai klinisi harus waspada akan
penyebab anemia pada anak dan harus benar-benar mengetahui bagaimana mengevaluasi
anemia pada anak secara sistematik.1

Definisi Anemia
Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau menurunnya konsentrasi
hemoglobin di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin.2

Anemia menurut kriteria WHO:3

Usia Hemoglobin (g/dl)


6 bulan - < 5 tahun < 11
 5 tahun - 14 tahun < 12
Dewasa lelaki < 13
Dewasa perempuan (tidak hamil) < 12
Dewasa perempuan (hamil) < 11
Pendekatan diagnostik
Pada semua kasus penurunan kadar hemoglobin (anemia) dengan atau tanpa
ditemukannya gejala klinis, pendekatan diagnostik dapat dilakukan dengan cara anamesis yang
baik, pemeriksaan fisis dan ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium sederhana yang
biasanya sudah dapat memberi arahan pada kita untuk mencari penyebab dari anemia dan
pemeriksaan khusus yang harus atau sebaiknya dilakukan.1

Anamnesis
Pada sebagian besar anak dengan anemia hanya sedikit yang menunjukkan gejala klinis,
oleh karena itu diperlukan anamnesis yang baik. Dari anamnesis saja kadang-kadang kita dapat
menentukan kemungkinan penyebab anemia. Melalui anamnesis kita perlu menanyakan hal-hal
tersebut di bawah ini.1,2,4-7

 Pucat
Untuk mencari penyebab pucat, sebaiknya ditanyakan sudah berapa lama keadaan ini
berlangsung (akut/kronis) walaupun biasanya orangtua tidak memperhatikan hal ini. Jika pucat
baru saja terjadi (akut) pikirkan kemungkinan terjadinya anemia aplastik, leukemia akut, anemia
hemolitik akut, tetapi jika pucatnya sudah berlangsung lama dapat dipikirkan kemungkinan
penyakit anemia defisiensi, thalassemia, anemia hemolitik autoimun (AIHA), bahkan mungkin
malaria yang tentunya perlu ditanyakan kemungkinan bepergian ke daerah endemis malaria.

 Infeksi
Penyakit infeksi seperti hepatitis, infeksi akut lain yang berat atau infeksi kronis dapat
menimbulkan anemia defisiensi besi (ADB), anemia aplastik, anemia hemolitik dan aplasia sel
darah merah. Diare yang berlangung lama juga dapat menyebabkan gangguan absorpsi besi,
asam folat, vitamin B12. Diare kadang-kadang disertai dengan adanya perdarahan yang tersamar
(occult blood loss), yang juga sering ditemukan pada infestasi parasit (cacing tambang, amuba,
trichuris trichiura) sehingga dapat menyebabkan ADB.

 Usia
Anemia pada masa neonatal umumnya terjadi akibat suatu proses perdarahan baik yang
akut maupun kronis pada masa pra, intra, dan pascanatal. Adanya suatu proses hemolisis
kongenital akibat proses isoimmunization seperti pada ketidakcocokan golongan darah ABO
atau rhesus yang sering ditandai adanya riwayat hiperbilirubinemia. Anemia pada periode ini
dapat pula disebabkan oleh infeksi kongenital seperti infeksi akibat TORCH, atau oleh
gangguan produksi sel darah merah yang jarang terjadi baik kongenital seperti Diamond
Blackfan Syndrome atau didapat akibat adanya infeksi virus, atau anemia akibat prematuritas.4
Di negara maju anemia akibat defisiensi nutrisi pada bayi cukup bulan di bawah usia 6 bulan
jarang terjadi, tetapi di negara seperti Indonesia hal ini perlu dipikirkan. Pada penelitian di
Banjar Baru 38,8% bayi < 6 bulan menderita ADB.5 Riwayat prematuritas atau gemeli, merupakan
predisposisi terjadinya ADB.Selain karena gangguan nutrisi, anemia pada bayi usia 3-6 bulan
dapat juga disebabkan karena kelainan dari sintesis hemoglobin seperti thalassemia.

 Jenis kelamin, suku bangsa, dan riwayat keluarga


Beberapa penyakit tertentu seperti defisiensi enzim G6PD dan defisiensi enzim pyruvat
kinase merupakan suatu X-linked disorders pada anak lelaki.2,4 Mengingat tingginya angka
pembawa sifat (gene frequency) thalassemia hampir pada semua suku yang ada di Indonesia
biasanya pada anamnesis harus ditanyakan kemungkinan riwayat penyakit yang sama di dalam
keluarga. (gene frequency untuk thalassemia beta sekitar 3-10%, thalassemia alpha 2.6-11%, dan
untuk pembawa sifat hemoglobin E sekitar 1.5-33%).1,4,6,7

 Pencetus (obat, bahan kimia, radiasi)


Radiasi, bahan-bahan kimia seperti benzen, organo-fosfat, obat-obatan berupa golongan
oksidatif kuat, fenitoin, dan lain-lain dapat menimbulkan anemia hemolitik, anemia aplastik,
leukemia dan sebagainya. Yang tidak boleh dilupakan adalah menanyakan daerah sekitar
lingkungan tempat tinggal yang dapat merupakan salah satu penyebab anemia aplastik, misalnya
berdekatan dengan bengkel, daerah industri seperti pabrik cat, daerah pertanian dan sebagainya.
Demikian juga mengenai pekerjaan, hobi pasien sebaiknya ditanyakan dengan seksama dalam
rangka mencari penyebab terjadinya anemia. Pemakaian obat-obatan tradisional seperti jamu,
juga pemakaian kapur barus, obat-obat golongan sulfa atau golongan kloramfenikol dapat
menimbulkan hemolisis akut pada individu dengan defisiensi enzim G6PD.

 Makanan
Riwayat makanan perlu ditanyakan pada anak-anak disemua usia, yang terpenting pada
usia batita dan anak remaja. Kedua kelompok umur ini sangat rentan untuk terjadinya anemia
defisiensi Fe akibat konsumsi makanan yang tidak adekuat disertai kebutuhan yang meningkat
untuk pertumbuhan.1 Pada anamnesis perlu ditanyakan jenis-jenis makanan yang dikonsumsi,
bagaimana pola makannya, karena selain ketidakmampuan orangtua dalam menyajikan
makanan, ketidaktahuan juga merupakan penyebab dari timbulnya anemia nutrisional. Banyak
orangtua sekarang yang memberi susu formula melebihi 24 oz (720 ml) /hari untuk anak diatas 1
tahun, sehingga kadar kalsium yang tinggi dalam susu sapi akan menghambat absorpsi Fe yang
berasal dari makanan.

 Gangguan neuromuskular, nyeri sendi atau nyeri tulang


Sakit kepala, vertigo, tinitus, gangguan konsentrasi, pusing, dan cepat lelah merupakan
gejala yang sering ditemukan pada anemia berat. Anemia yang disertai adanya nyeri sendi atau
tulang yang sulit didiskripsikan letaknya dapat merupakan suatu tanda adanya infiltrasi sel
leukemia pada tulang. Demikian halnya jika disertai gangguan neurologi yang tiba-tiba, seperti
kelumpuhan, inkontinensia urin atau alvi perlu dipikirkan kemungkinan tekanan dari
neuroblastoma pada medulaspinalis.

 Perdarahan
Pada anak perempuan yang baru saja menstruasi harus ditanyakan adanya riwayat
menstruasi yang tidak teratur dan berlebihan (menometroragi) karena sering menjadi penyebab
utama defisiensi besi pada remaja wanita.
Jika anemia disertai dengan adanya riwayat perdarahan, baik berupa petechiae,
ecchymosis atau hematom, pada sendi (hemarthrosis), atau saluran cerna, selain anemia dapat
terjadi akibat perdarahan itu sendiri pikirkan juga kemungkinan penyakit dasarnya misalnya
anemia aplastik, leukemia akut, hemofilia, ITP.

Pemeriksaan fisis
Seorang anak dengan anemia umumnya jarang memberikan gejala dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan fisisnya sampai nilai hematokrit < 25%. Penilaian pucat sangat
bervariasi terutama pada anak berkulit putih atau anak yang berkulit gelap. Pucat dapat dideteksi
dengan memeriksa konjungtiva, mukosa regio bukal, telapak tangan atau kaki, serta kuku.1
Pada pemeriksaan fisis harus diperhatikan 3 tanda gejala utama yaitu adanya pucat atau
anemia, perdarahan, pembesaran organ hati, limpa (tabel 1) dan pembesaran kelenjar getah
bening. Pada dugaan kearah tumor padat perlu dicari kemungkinan adanya massa atau benjolan.
Tabel 1. Tanda atau gejala pada pemeriksaan fisis dihubungkan dengan jenis
penyakit

Penyakit Pucat/anemia Perdarahan Organomegali


 An. defisiensi + - -
 An. hemolitik akut + - -
 An. Aplastik + + -
 ITP +/++ + -
 An.Pasca perdarahan +/++ + -
 An. Hemolitik kronik + -/+ +
 Leukemia akut + + -/+
 Thalassemia + + + +
hipersplenisme
 Hemosiderosis hati + + +
 Metastasis tumor + -/+ -/+
 Penyakit infeksi kronis + ± -/+

Kelainan fisis lainnya di bawah ini juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosis:2

 Muka / wajah
Perubahan bantuk muka seperti frontal bossing, facies Cooley dapat merupakan tanda
yang cukup khas dari penyakit hemolitik menahun seperti thalassemia.

 Mata
Adanya mikrokornea dapat merupakan tanda dari anemia aplastik kongenital (Syndroma
Fanconi). Adanya proptosis bulbi disertai ecchymosis/hematoma periorbital merupakan tanda
yang cukup khas untuk neuroblastoma. Aniridia dapat ditemukan pada tumor Wilms. Sklera
yang ikterik menunjukkan adanya proses hemolisis, atau adanya proses eritropoiesis yang
inefektif.

 Kulit dan mukosa


Jaundice, hiperpigmentasi sering merupakan tanda dari anemia aplastik kongenital, atau
akibat penumpukan besi (iron overload). Kulit yang tipis dan keriput, adanya warna rambut
yang menjadi cepat berubah (beruban), glositis, stomatitits angularis merupakan salah satu tanda
dari adanya defisiensi besi, vit B12. Salmon pink seborrhoic dermatosis ditemukan pada
Ichtiocytosis sel langerhans.

 Kuku
Kuku yang mudah patah, pecah-pecah dan dengan bentuk seperti sendok (Spoon nails)
yang disebut koilonichia merupakan suatu tanda yang khas dari ADB.

 Gangguan neuromuskular
Sakit kepala, vertigo, tinitus, penurunan daya konsentrasi bahkan prestasi seseorang, dan
adanya kelemahan otot sering menyertai anemia berat. Adanya parestesi sering ditemukan pada
anemia pernisiosa

 Gangguan gastrointestinal
Glositis dan atrofi dari papil lidah banyak dijumpai pada anemia pernisiosa dan ADB.
Hipertrofi ginggiva sering menyertai anemia pada leukemia akut. Munculnya ulkus dengan lesi
yang nekrotik di sekitar mulut dan farings sering sebagai tanda dari suatu leukemia akut atau
anemia aplastik. Hal ini disebabkan akibat terjadinya netropenia karena penyakit primernya.
Disfagia sering disebabkan oleh ADB.

Pemeriksaan laboratorium
Pada saat kita menghadapi seorang anak dengan anemia, harus diperhatikan dan
ditentukan apakah kelainan yang terjadi hanya mengenai sistem eritropoesis saja atau mengenai
juga sistem hematopoesis yang lain (sel darah putih dan trombosit). Jika kelainan yang terjadi
mengenai lebih dari satu sistem hematopoesis umumnya menunjukkan sudah adanya
keterlibatan sumsum tulang (anemia aplastik, leukemia, metastasis tumor ganas padat), penyakit
imunologi (Acquired immunodeficiency syndrome), adanya destruksi sel di darah perifer
(Immune Thrombocytopenia Purpura), atau merupakan tanda adanya sequestrasi sel
(hipersplenisme).1,4
Pemeriksaan yang paling sederhana dan wajib dikerjakan adalah pemeriksaan darah tepi
lengkap (Hb, Ht, lekosit, trombosit dan hitung jenis, retikulosit) (tabel 2), mean corpuscular
volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), mean corpuscular hemoglobin
concentration (MCHC), dan red cells distribution width (RDW) (tabel 3), serta gambaran
apusan darah tepi. Sediaan apus darah tepi dapat menunjukkan adanya gambaran hipokrom,
mikrositik, makrositik, normositik, atau menunjukkan adanya bentuk abnormal yang spesifik
seperti sferositosis, sel target, sel sabit, atau sel blast.

Tabel 2 Pemeriksaan darah tepi lengkap


Hb Ht Leukosit Trombosit Ht Retikulosit MCV RDW
ADB   N/ N N/segment N/  
er
Anemia     Limfositosi  N/ N
s
aplastik
Relatif
ITP N/ N/ N N N N N/ N
Leukemia akut N/ N/ /N/ N/ Dominasi N/ N/ N
satu sel
kadang-
kadang
ditemukan
sel blast
Thalassemia N/ N/ N/ N/ N/   
minor
Thalassemia   N/ N N   
mayor (leukositosis Normoblas
palsu) t+
Anemia   N N N  N/ 
hemolitik lain Normoblas
t -/+

Dengan mengetahui nilai MCV, dan retikulosit saja sudah banyak sekali membantu kita
mencari ke arah diagnosis, misalnya MCV yang rendah (mikrositik) dapat mengarahkan kita
pada anemia defisiensi besi, thalassemia, infeksi kronis, keracunan logam berat, malnutrisi berat
dan lain-lain. MCV yang tinggi (makrositik) mengarah kepada adanya anemia defisiensi asam
folat, atau anemia defisiensi vit B12. Nilai MCV normal menunjukkan adanya kehilangan darah
akut, penyakit hati, stadium awal defisiensi besi dan sebagainya. Retikulosit yang meningkat
menunjukkan adanya peningkatan aktifitas eritropoiesis. Keadaan seperti ini sering ditemukan
sebagai akibat adanya suatu proses hemolisis atau mengarah kepada adanya kehilangan darah
yang kronis; sedangkan retikulosit yang rendah menunjukkan penurunan eritropoiesis seperti
pada anemia aplastik atau eritroblastopenia.
Tabel 3 Klasifikasi anemia berdasarkan pada nilai MCV dan RDW
Red Cell Distribution Width Mean Corpuscular Volume
(RDW) (MCV)
Rendah Normal Tinggi
Normal (11.5 - 14.5 %)  Thalassemia trait  Anemia Aplastik  Preleukemia

Tinggi > Normal (> 14.5%)  Penyakit kronik  stadium awal  Anemia
 An. Defisiensi Fe defisiensi besi defisiensi asam
atau asam folat Folat
 Thalassemia trait  Anemia dimorfik  Anemia
 Penyakit hati defisiensi
 Thalassemia alpha vitamin B12
atau beta
 Fragmentasi SDM

Nilai MCV, MCH, MCHC, dan RDW saat ini sudah dapat langsung diketahui dari
perhitungan alat (electronic blood counting equipment). Pemeriksaan hitung jenis leukosit
sangat membantu kita kemana kira-kira langkah kita selanjutnya. Adanya eosinofil yang tinggi,
pikirkan kemungkinan adanya infestasi parasit, atau petunjuk adanya alergi, netrofil tinggi
mengarah kepada infeksi bakteri, sedangkan limfosit yang tinggi menunjukkan adanya infeksi
virus. Dominasi salah satu seri leukosit misalnya limfosit, monosit apalagi dalam stadium muda
pikirkan kemungkinan adanya leukemia akut. Tentunya pemeriksaan awal ini tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi harus dibantu dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik, dan dilanjutkan
pada pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik untuk mengarahkan kepada diagnosis pasti.2,4

Anemia Mikrositik
Anemia mikrositik terbanyak dan dapat dicegah dan diobati adalah ADB. Menurut data
survei rumah tangga tahun 2001 menunjukkan pravalensi ADB pada wanita hamil 40,1%,
kelompok balita 48.1%, bayi < 1 tahun 55%, dan bayi berumur 0-6 bulan 61,3%. Anemia ini
umumnya mudah di diagnosis, baik dalam bentuk yang ringan sekalipun.1,8,9
Proses terjadinya ADB melalui 3 tahapan yaitu: deplesi besi, defisiensi besi dan akhirnya
menjadi ADB. Menurunnya kadar besi di dalam tubuh akan mengganggu pembentukan
hemoglobin dan eritrosit. Jumlah eritrosit berkurang, eritrosit mengecil dan hematokrit
berkurang. Darah tepi lengkap menunjukkan penurunan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
berupa anemia hipokrom mikrositik, jumlah leukosit dan trombosit normal, hitung jenis normal.
Pada apusan darah tepi terlihat peningkatan variasi ukuran eritrosit (RDW), poikilositosis,
anisositosis. Pemeriksaan biokimia yang merujuk kepada ADB adalah; kadar Serum Iron (SI)
yang rendah, Total iron binding capacity (TIBC) tinggi, saturasi transferin (ST) rendah, Eritrosit
portoporfirin (Epp) tinggi, feritin serum (FS) rendah, serum transferin receptor (sTfR) tinggi.
Pada pemeriksaan sumsum tulang sedikit atau tidak ditemukan Fe.10-13 Diagnosis banding
tersering yang perlu diperhatikan adalah anemia akibat penyakit kronis atau thalassemia
minor/trait.
Anemia mikrositik ditemukan pula pada infeksi kronis. Pada keadaan ini, serum iron dan
TIBC menurun dan kadang-kadang ST normal atau sedikit menurun. Indikator terpenting adalah
CRP (+), LED meningkat, dan biasanya cadangan besi di dalam sumsum tulang normal atau
meningkat. Defisiensi besi bisa saja terjadi bersamaan dengan anemia akibat infeksi kronis,
seperti pada arthritis rheumatoid, sehingga diagnosis sulit ditegakkan.
Keadaan lain yang ditandai oleh anemia mikrositik hipokrom ialah thalassemia. Pada
thalassemia minor, MCV biasanya telah nyata menurun sampai 50-70 m3 pada Hb yang masih
normal atau sedikit di bawah normal, dan jumlah eritrosit cenderung lebih tinggi >5 juta /mm3
untuk derajat anemianya.
Ada beberapa indeks atau rumus yang digunakan untuk membedakan ADB dengan
thalassemia minor antara lain Indeks Mentzer (perbandingan MCV terhadap jumlah eritrosit
dalam juta/m3). Nilai < 13 didapatkan pada 85% pasien anemia karena thalassemia minor,
sedangkan nilai > 13 ditemukan pada ADB. Jika menemukan seorang anak dengan risiko untuk
ADB disertai indeks Mentzer > 13 sebaiknya diberikan preparat Fe. Jika dengan dosis yang
adekuat setelah 1 bulan tidak didapat hasil yang optimal perlu dipikirkan kemungkinan
thalassemia minor.1,9,14-17
Pada thalassemia minor tanpa disertai defisiensi besi, kadar SI, TIBC, FS, dan Epp
semuanya normal. Pemeriksaan analisa hemoglobin baik pada pasien maupun pada kedua
orangtua pasien diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan status besi yang umum dipakai di dunia saat ini adalah serum feritin.
Pemeriksaan ini dianggap masih dapat mewakili status cadangan besi di dalam tubuh. Harus di
ingat bahwa serum ferritin merupakan suatu reaktan fase akut yang mempunyai variasi diurnal
yang sangat luas, kadarnya sering meningkat pada keadaan infeksi, inflamasi kronis, keganasan,
penyakit hati dan sebagainya.18 Pemeriksaan lain yang sekarang merupakan parameter terbaru
untuk mendeteksi ada tidaknya defisiensi besi pada tingkat sel adalah pemeriksaan Serum
transferin reseptor (sTfR). Parameter ini tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan peningkatan
kadar sTfR akan tampak pada pasien yang menunjukkan adanya eritropoesis defisiensi Fe atau
pada ADB.19,20

Anemia normositik
Anemia normositik pada anak secara klinis agak sulit. Sebaiknya diperiksa retikulosit,
untuk mengetahui apakah anemia ini disebabkan oleh penurunan produksi atau meningkatnya
destruksi SDM. Jika terjadi penghancuran SDM, hitung retikulosit akan meningkat. Pada
keadaan ini kadar laktat dehidrogenase (LDH) meningkat, dan akan ditemukan tanda hemolisis
pada gambaran apus darah tepi. Retikulosit rendah merupakan suatu tanda adanya hipoplasi atau
aplasi sumsum tulang, dan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang harus dilakukan.
Infeksi dengan Human parpovirus B 19 terutama pada anak dengan kelainan darah
seperti thalassemia, sferositosis juga dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, umumnya
terjadi selama 6-8 hari.
Pada defisiensi enzim seperti G6PD dan pyruvat kinase terdapat gambaran hemolisis
pada darah tepinya terutama pada kasus defisiensi enzim G6PD yang homozigot. Pada kasus-
kasus defisiensi G6PD adanya stres oksidatif dapat memicu munculnya anemia hemolitik akut
dengan hiperbilirubinemia pada masa neonatus, sedangkan pada anak dapat terjadi kadar Hb
yang menurun. Kadar enzim G6PD yang rendah menunjukkan diagnosis pasti, tetapi kadarnya
yang normal bahkan meningkat tidak menyingkirkan kemungkinan adanya defisiensi enzim ini.
Kadar yang normal atau bahkan meningkat dapat terjadi pada fase akut. Pemeriksaan perlu
diulangi beberapa bulan kemudian setelah fase akut terlampaui. Di beberapa center di luar
negeri pemeriksaan enzim G6PD dan pyrivat kinase merupakan pemeriksaan skrining neonatus
yang telah dilakukan secara rutin sebelum bayi pulang.9

Makrositik 1,2
Anemia makrositik pada anak jarang, tetapi umumnya disebabkan oleh defisiensi asam
folat atau vit B12. Penyebab lain ialah penyakit hati dan hipotiroid.
Defisiensi asam folat umumnya disebabkan oleh pola makanan yang tidak adekuat. Ada
juga defisisensi asam folat yang bersifat sementara misalnya pada kasus myelodisplasia
syndrome (MDS), atau pada pasien keganasan akibat pemberian obat sitostatika golongan anti
metabolit seperti metotroksat, sitosin arabinosin, merkaptopurin.

TATA LAKSANA ANEMIA PADA ANAK


Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan penyebab terbanyak anemia dan masih merupakan
masalah di dunia. Tata laksana ADB secara garis besar meliputi pengobatan dan pencegahan.

PENGOBATAN
Pengobatan ADB meliputi pemberian preparat besi dan mengatasi faktor etiologi. Pemberian
preparat besi yang dianjurkan adalah 3-6 mg/kg/hari dalam bentuk besi elemental yang terbagi
dalam 2-3 dosis. Keterbatasan pemberian preparat besi oral adalah rasa yang tidak enak, efek
samping berupa gejala gastrointestinal seperti sakit perut, kembung, dan konstipasi, serta
kepatuhan yang rendah. Cara mengatasi efek samping dilakukan dengan diberikan segera
setelah makan, diberikan dalam bentuk tablet yang lepas lambat atau dimulai dengan dosis
rendah yang dinaikkan secara bertahap. Preparat besi yang tersedia saat ini dapat dilihat pada
tabel 2.
Preparat besi diberikan sampai kadar feritin normal. Bila tidak bisa melakukan pemeriksaan
kadar feritin, preparat besi diberikan hingga mencapai kadar hemoglobin normal yang kemudian
dilanjutkan 2 bulan berikutnya. Respon yang diharapkan dari pemberian preparat besi bisa
dilihat pada tabel 3.

Selama pemberian terapi besi, keluarga harus diberikan edukasi mengenai diet. Konsumsi susu
harus dibatasi (500 mL/24 jam). Hal ini bertujuan meningkatkan konsumsi makanan tinggi
kadar besi dan mengurangi kehilangan darah akibat alergi protein susu. Kadar besi pada ikan,
hati, daging lebih tinggi dibandingkan dengan kadar yang ada dalam beras, bayam, gandum, dan
kacang kedelai. Penyerapan besi sumber nabati dapat dihambat oleh tanin, kalsium, fitat, dan
dipercepat oleh vitamin C, HCl, asam amino dan fruktosa. Besi yang berasal dari ikan, hati, dan
daging tidak dipengaruhi oleh zat-zat tersebut. Bila pemberian preparat besi oral tidak berhasil,
maka diindikasikan pemberian besi secara parenteral. Tetapi perlu diperhatian pemberian besi
secara parenteral dapat menimbulkan efek samping berupa syok anafilaksis.
Transfusi darah hanya diberikan bila kadar hemoglobin < 4 g/dL. Di Departemen IKA RSCM,
transfusi darah diberikan bila kadar hemoglobin < 6 g/dL, dengan pertimbangan pada kondisi
tersebut sudah dapat terjadi gangguan kardiovaskular. Selain itu, transfusi darah diberikan bila
diindikasikan adanya infeksi berat atau akan menjalani operasi. Kegagalan terapi ADB antara
lain dapat disebabkan dosis tidak sesuai, diberikan bentuk besi yang sulit diabsorpsi, tidak
mengatasi penyebabnya atau karena diagnosis yang tidak tepat.

PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pada bayi yang masih mendapat ASI dianjurkan untuk mendapatkan ASI eksklusif selama
minimal 6 bulan. Walaupun ASI mengandung kadar besi yang rendah (0,5-1 mg/L) tetapi
absorpsinya sangat tinggi yaitu 50%. Sedangkan susu sapi yang mempunyai kandungan hampir
sama dengan ASI, absorpsinya hanya 10%. Bahkan susu formula yang sudah difortifikasi zat
besi )12 mg/L) absorpsinya hanya 4%. Bila bayi tidak mendapatkan ASI dianjurkan untuk
memberikan susu formula yang sudah diortifikasi besi. Untuk mencegah defisiensi besi, susu
formula dibatasi hanya 24 oz/hari bahkan da yang menganjurkan 16 oz/hari.
Selain memperhatikan asupan yang harus diberikan, suplementasi besi harus tetap dianjurkan.
Untuk bayi cukup bulan diberikan suplementasi besi elemental 1 mg/kg/hari, maksimum 15
mg/hari yang dimulai pada usia 4-6 bulan. Untuk bayi dengan berat lahir rendah, diberikan 2
mg/kg/hari maksimum15 mg/hari yang dimulai pada usia 2 bulan. Bayi dengan berat lahir 1000-
1500 gram mendapatkan besi elemental 4 mg/kg/hari. Anak usia 2-5 tahun mendapatkan besi
elemental 20-30 mg/hari, usia 6-11 tahun mendapatkan besi elemental 30-60 mg/hari dan remaja
mendapatkan besi emlemntal 60 mg/hari.

Pencegahan sekunder
Bayi yang disertai satu atau lebih kriteria risiko seperti yang tercantum pda tabel 3 harus
menjalani skrining untuk kemungkinan menderita defisiensi besi. Dari semua faktor risiko yang
tersebut pada tabel 4 pemberian susu sapi pada 1 tahun pertama kehidupan merupakan faktor
risiko yang paling poten terhadap kemungkinan terjadinya defisiensi besi demikian pula dengan
kemiskinan. Skrining secara terus menerus harus pula dilakukan pada semua bayi dari keluarga
tidak mampu.
Skrining pada bayi cukup bulan dengan faktor risiko di atas dilakuakn pada usia 9-12 bulan.
Sedangkan pada bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah dan kehamilan kembar,
skrining dilakukan pada usia 6 bulan. Setelah usia 12 bulan, semua anak yang pada waktu masa
bayinya tidak menjalani skrinng perlu menjalaninya pada saat itu.
Anak yang berusia 1-3 tahun yang mempunyai risiko defisiensi besi (pernah menderita ADB,
konsumsi susu lebih dari 24 oz/hari, diet rendah besi dan vitamin C, berasal dari keluarga yang
berimigrasi dari negara yang sedang berkembang) dianjurkan pula untuk menjalani skrining
pada usia antara 15-18 bulan dan pada usia 24 bulan. Skrining meliputi pemeriksaan darah tepi
lengkap dan bila ada biaya sebaiknya diperiksa kadar feritin dalam serum dan saturasi transferin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Korones D. Anemia. In: Green M, Haggerty RJ, Wietzman M. Ambulatory pediatrics 5th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company, 1999. p. 348-55.
2. Oski FA, Brugnara C, Nathan DG. A diagnostic Approach to the anemic patient. Chapter 10
halaman 409-417, edisi ke-6 vol 1 thn 2003.
3. World Health Organization. Methods of assessing iron status. In: Iron deficiency anemia
assessment, prevention, and control: a guide for programme managers, 2001. p.33.
4. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. 2nd ed. Churchill livingstone
1995. p.15
5. Ringo-Ringo HP, Windiastuti E. Profil parameter hematologik dan anemia defisiensi zat besi
pada anak berumur 0-6 bulan di RSUD banjarbaru. Sari Pediatri 2006;7:214-218.
6. Sofro AS. Molecular pathology of the -thalassemia in Indonesia. Southeast Asian Journal
of Tropical Medicine and Public Health 1995;26:5-8.
7. Setianingsih I, Harahap A, Nainggolan IM. Alpha Thalassemia in Indonesia: phenotypes and
molecular defects. Adv Exp Med Biol 2003;531:47-55.
8. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi.
Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyusun. Gizi
dalam angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta: DEPKES, 2005. h.41-44.
9. Irwin JJ, Kichner JT. Anemia in children.
http://www/aafp.org/afp/200110151015/1379.html. Tanggal 7 Juni 2007.
10. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency. Pediatric in Review
2002;23:171-178.
11. Glader B. Anemia: general considerations. In: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers
GM, Paraskevas F, Glader B, editors. Wintrobe’s clinical hematology 11th ed. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins; 2004. p. 947-978.
12. Aksesson A, Bjellerup P, Berglund M, Bremme K, Vahter M. Soluble transferin receptor:
Longitudinal assessment from pregnancy to postlactation. Obstet Gynecol 2002;99:260-266.
13. Hersko C. Iron metabolism and chelation.
http://www.charite.de./ch/medgen/eumedis/thalassemia04/ironmetabolism.html#N10014.
14. Andrews NC. Iron deficiency and related disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi
kesebelas, vol 1. Philadelphia:Lippincott William & Wilkins; 2004. h. 979-1009.
15. Smith H. Normal values and appearance. Dalam: Smith H, penyunting. Diagnosis in
paediatric haematology. New York: Churchill Livingstone; 1996. h. 1-33.
16. Bessman JD, Gilmer PR Jr, Gardner FH. Improve classification of anemias by MCV and
RDW. Am J Clin Pathol 1983;80(3):322-326.
17. Qurtom HA, al-Saleh QA, Lubani MM, Hassanein A, Kaddoorah N, Qurtom MA, al-Sheikh
T. The value of red cell distribution widht in the diagnosis of anaemia in
children.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_u
ids=2792125&dopt=Abstract.
18. Lipschitz DA, Cook JD, Finch CA. A Clinical evaluation of serum feritin as an index of iron
stores. N Engl J Med 1974;290:1213-1216
19. Flower CH, Skikne BS, Covell AM, Cook JD. The clinical measurement of serum transferin
receptor. J Lab Clin Med 1989;114:368-77
20. Kohgo Y, Niitsu Y, Kondo, H. et all. Serum transferrin receptor as a new index of
erythropoiesis. Blood 1987;70:1955-58.

Anda mungkin juga menyukai