Anda di halaman 1dari 45

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK DAN UJI IRITASI FORMULA LIP

MATTE LIQUID EKSTRAK PUCUK DAUN TEAK (Tectona grandis Linn.)


PADA KELINCI ALBINO

Usulan Skripsi

diajukan oleh:
Khusnul Hidayah
1041611093

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
Agustus 2019

i
ii

Usulan skripsi

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK DAN UJI IRITASI FORMULA LIP


MATTE LIQUID EKSTRAK PUCUK DAUN TEAK (Tectona grandis Linn.)
PADA KELINCI ALBINO

diajukan oleh :
Khusnul Hidayah
1041611093

Telah disetujui oleh


Pembimbing I

Ungsari Rizki Eka Purwanto, M.Sc, Apt. Tanggal…………………

Pembimbing II

Mutmainah, M.Sc., Apt. Tanggal…………………..

ii
SARI

Adanya tren masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature), membuka


peluang bagi produk jamu dan kosmetik berbahan alami. Salah satu produk
kosmetik yang dapat dikembangkan dari bahan alam adalah lip matte liquid. Lip
matte liquid merupakan salah satu produk pewarna bibir yang mampu memberikan
efek warna lebih lama pada bibir. Tekstur lip matte liquid pun bervariasi, ada cair,
creamy, sampai gel. Lip matte liquid merupakaan sediaan berbasis air (water-based)
sehingga akan cenderung lebih tahan saat terkena minyak. Adanya tren kembali ke
alam juga membawa tuntutan tersendiri untuk memanfaatkan pewarna alami sebagai bahan
dasar kosmetika dekoratif masa kini. Bahan alam yang dapat dijadikan pewarna alami dan
berpotensi untuk diekstrak menurut Hanum (2000) adalah antosianin. Salah satu sumber
antosianin yang murah dan benyak terdapat di Indonesia adalah pada pucuk daun teak
(Tectona grandis Linn.).
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak pucuk daun teak
(Tectona grandis Linn.) menjadi sediaan kosmetika lip matte liquid untuk
kemudian diketahui mutu sediaan kosmetika lip matte liquid tersebut melalui
evaluasi fisika-kimia sediaan. Evaluasi yang dilakukan meliputi uji organoleptis,
uji homogenitas, uji stabilitas dipercepat, uji daya oles, uji pH, dan uji iritasi akut
dermal pada kelinci albino.
Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian kali ini adalah metode
ekstraksi berbantu gelombang ultrasonik untuk menarik zat warna alami yang
terkandung di dalam pucuk daun teak. Metode ini memanfaatkan larutan penyari
berupa campuran aquadest dengan dapar sitrat pH 3.0. Proses ekstraksi dilakukan
pada suhu 60℃ selama 20 menit kemudian dilakukan penyaringan vakum untuk
memisahkan sari dari ampas simplisia. Sari tersebut kemudian dipekatkan dengan
rotary evaporator.
Dalam pembuatan sediaan kosmetika lip matte liquid ekstrak daun teak ini
digunakan 3 variasi konsentrasi yakni 5%, 15%, dan 20%. Perbedaan variasi
tersebut dilakukan untuk menentukan formula sediaan terbaik yang memberikan
warna paling sesuai dengan syarat penerimaan masyarakat. Hasil penelitian
meliputi sediaan dengan kondisi mutu sesuai pada hasil evaluasi yang selanjutnya
dibandingkan dengan prasyarat atau parameter teoritis dan praktis yang tertera di
dalam literatur dan pengembangannya.

Kata kunci : pewarna alami, ekstrak daun teak, lip matte liquid, metode ekstraksi
berbantu gelombang ultrasonik, uji iritasi akut dermal

iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto (2019) mengungkapkan postur
skala industri kosmetik di Indonesia saat ini didominasi hingga 95 persen dari
industri kecil dan menengah, sedangkan sisanya merupakan industri besar.
Menurutnya, adanya tren masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature),
membuka peluang bagi produk jamu dan kosmetik berbahan alami.
Salah satu produk kosmetik yang dapat dikembangkan dari bahan alam
adalah lip matte liquid. Lip matte liquid merupakan salah satu produk pewarna bibir
yang mampu memberikan efek warna lebih lama pada bibir. Tekstur lip matte liquid
pun bervariasi, ada cair, creamy, sampai gel. Lip matte liquid merupakaan sediaan
berbasis air (water-based) sehingga akan cenderung lebih tahan saat terkena
minyak.
Adanya tren kembali ke alam membawa tuntutan tersendiri untuk
memanfaatkan pewarna alami sebagai bahan dasar kosmetika dekoratif masa kini.
Bahan alam yang dapat dijadikan pewarna alami dan berpotensi untuk diekstrak
menurut Hanum (2000) adalah antosianin. Salah satu sumber antosianin yang
murah dan benyak terdapat di Indonesia adalah pada pucuk daun teak (Tectona
grandis Linn.). Hasil penelitian Fathinatullabibah, dkk. (2014) menunjukkan bahwa
daun jati muda mengandung senyawa antosianin sebesar 273,03 mg/liter (0,0273%)
pada pH 3 dan 268,85 mg/liter (0,0269%) pada pemanasan dengan suhu 75ᴼ C.
Sedangkan dari penelitian Qadariyah, dkk. (2018) hasil optimum ekstrak daun jati
sekitar 42,79% pada pH 3 dan waktu ekstraksi 20 menit dengan pelarut aquades
menggunakan metode ekstraksi berbantu gelombang ultrasonik.
Setyawati R. dan Meldina R. Pratama (2018) dalam penelitiannya telah
berhasil memformulasikan lipstik dari ekstrak daun teak dengan komponen formula
lipstik yaitu cera alba, lanolin, vaseline, cetyl alcohol, parafin solid, oleum ricini,
oleum rosae, propilen glikol, butil hidroksioluena, metil paraben, dan penambahan
ekstrak daun jati (teak) dengan konsentrasi 0%, 18%, dan 22%. Bahan lipstik
mudah diaplikasikan, stabil, warna cokelat, homogen, titik leleh 60℃, kisaran pH

1
2

antara 3 atau 4 dan lipstik memiliki titik putus 500 gram. Ekstrak daun teak
(Tectona grandis Linn.) dapat digunakan sebagai pewarna atau warna lipstik.
Dengan alasan di atas maka dilakukan penelitian menggunakan daun teak sebagai
pewarna alami dalam formulasi dan evaluasi sediaan kosmetik lip matte liquid.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Apakah ekstrak pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.) dapat diformulasikan
sebagai sediaan kosmetika lip matte liquid?
2. Bagaimanakah mutu dari sediaan lip matte liquid ekstrak daun teak (Tectona
grandis Linn.)?
3. Bagaimanakah keamanan mutu terkait iritasi dermal akut dari sediaan lip matte
liquid ekstrak daun teak (Tectona grandis Linn.)?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka batasan masalah pada
penelitian ini adalah:
1. Tanaman yang digunakan adalah daun teak (Tectona grandis Linn.) yang
diperoleh dari Dusun Karangbolo, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten
Semarang, Provinsi Jawa Tengah dengan bagian tanaman yang digunakan
adalah pucuk daun segar atau daun yang masih muda.
2. Ekstrak pucuk daun teak merupakan ekstrak kental yang diperoleh dari metode
ekstraksi berbantu gelombang ultrasonik dengan penyari berupa campuran
aquadest dengan dapar sitrat pH 3.0 pada suhu 75℃ selama 20 menit.
3. Sediaan lip matte liquid adalah sediaan liquid yang dikemas dalam tabung ber-
aplikator untuk memberi warna yang padat dan tahan lama pada bibir.
4. Evaluasi sediaan lip cream ekstrak ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) meliputi
uji organoleptis, homogenitas, daya oles, pH, viskositas, stabilitas dipercepat,
uji iritasi akut dermal, dan uji ketahanan warna.
5. Uji iritasi dilakukan menurut metode uji iritasi akut dermal PerKBPOM No.7
Tahun 2014 tentang pedoman uji toksisitas nonklinik secara in vivo pada
kelinci albino.
3

6. Obyek uji iritasi akut dermal menggunakan kelinci albino galur New Zealand
seberat 2 kg yang didapat dari peternakan kelinci di Kota Salatiga.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka tujuan pada penelitian ini
adalah:
1. Untuk memformulasikan ekstrak pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.)
menjadi sediaan kosmetika lip matte liquid.
2. Untuk mengetahui mutu sediaan kosmetika lip matte liquid ekstrak pucuk daun
teak (Tectona grandis Linn.) melalui beberapa evaluasi.
3. Untuk mengetahui tingkat keamanan mutu terkait iritasi dermal akut dari
sediaan lip matte liquid ekstrak daun teak (Tectona grandis Linn.).
1.5 Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka manfaat dari penelitian ini
adalah:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan bahwa daun
teak (Tectona grandis Linn.) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu zat warna
pada sediaan kosmetik khususnya lip matte liquid.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat pada umumnya, dan peneliti pada khususnya, tentang manfaat
ekstrak daun teak (Tectona grandis Linn.) sebagai salah satu potensi alam yang
dapat diolah untuk mengembangkan produksi kosmetik di Indonesia dan tingkat
keamanannya secara nonklinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan tentang Tanaman Daun Teak
2.1.1.1 Klasifikasi Tanaman
Berdasarkan literatur diperoleh data klasifikasi taksonomi dari tanaman teak
(Tectona grandis Linn.) berikut:
Kingdom : Plantae – Tanaman
Subkingdom : Tracheobionta – Tanaman berpembuluh
Superdivisio : Spermatophyta – Tanaman berbiji
Divisio : Magnoliophyta – Tanaman berbunga
Class : Magnoliopsida – Berbiji ganda
Subclass : Astridae
Ordo : Lamiales
Familia : Verbenaceae – Verbena
Genus : Tectona Linn. – Tectona
Species : Tectona grandis Linn. – Teak
(Khera, Neha dan Sangeeta Bhargava, 2013)

Gambar 1. Tanaman daun teak (Tectona grandis Linn.)

(Koleksi Pribadi)
2.1.1.2 Sinonim
Berdasarkan literatur didapat beberapa sinonim atau nama lain dari tanaman
Tectona grandis Linn. dalam berbagai bahasa di beberapa negara, sebagai berikut:
English : Indian Teak, Teak.
Indonesia : Jati
Hindi : Sagwan, Sagauna, Sagu, Sagun, Sakhu.

4
5

Bengali : Segunngachh, Segun.


Gujarati : Sagwan, Sag, Saga, Sagach,
Malyalam : Thekku, Tekka-maram, Tekku, Tekka.
Punjabi : Sagwan, Sagun.
Arab : Saj.
Assam : Chingjagu sagun.
Oriya : Saguana, Sagan, Sagun, Singuru.
Persian : Saj, Sal.
Sanskrit : Anila, Arjunopama, Arna, Atipatraka, Balasara, Balesara, Bhumiruha,
Dvarada, Gandhasara, Grihadruma, Halimaka.
Urdu : Sagwan
(Khera, Neha dan Sangeeta Bhargava, 2013).
2.1.1.3 Morfologi Tanaman
Secara morfologi, tanaman teak memiliki tinggi yang dapat mencapai
sekitar 30-45 cm. dengan pemengkasan, batang yang bebas cabang dapat mencapai
antara 15-20 m. diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna
kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan
pendek dan bercabang sekitar empat. Daun berbentuk opposite (bentuk jantung
membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang 20-50 cm dan lebar 15-40
cm, permukaanya berbulu. Daun muda (petiola) berwarna hijau kecoklatan,
sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan (Sumarna, 2011).
Bunga dari pohon teak berukuran 40x40 cm yang terletak di pucuk tajuk
pohon (Sumarna, 2011). Bunga teak bersifat majemuk yang terbentuk dalam malai
bunga (inflorence) yang tumbuh terminal di ujung atau tepi cabang. Panjang malai
antara 60-90 cm dan lebar antara 10-30 cm (Sumarna, 2011).
2.1.1.4 Ekologi dan Penyebaran
Teak atau jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja,
Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang
menggugurkan daun di musim kemarau. Menurut sejumlah ahli botani, jati
merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India,
6

Thailand, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah
spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.
Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa
kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilanka, dan Vietnam. Namun,
pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Di Afrika dan
Karibia juga banyak dipelihara. Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di
keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman
di Srilanka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam
(awal abad ke-20), dan Malaysia (1909).
Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun
tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun dengan
intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang
optimal adalah antara 0-700 m dpl, meski jat bisa tumbuh hingga 1300 m dpl. Jati
sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari
satu jenis pohon.
Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran
lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak
demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran
karena kulit kayunya tebal. Dan juga buah jati memiliki kulit tebal dan tempurung
yang keras. Hingga batas tertentu, jika terbakar lembaga biji jati tidak rusak.
Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat
musim hujan tiba.
Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk
secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran tersebut
dapat memicu kebakaran yang dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon
lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan
proses pemurnian tegakan jati, biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat
jenis-jenis pohon lain mati.
Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang
(memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan
fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air. Pada masa lalu, jati sempat dianggap
7

sebagai jenis asing yang dimasukkan ke Jawa, ditanam oleh orang Hindu ribuan
tahun yang lalu. Karena nilai kayunya, jati kini dikembangkan diluar daerah
penyebaran lainnya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru,
Pasifik dan Taiwan.
Dengan berkembangnya teknis budi daya, saat ini tanaman teak telah
menyebar di berbagai negara di Asia, di wilayah pasifik (Australia dan Fiji), di
Afrika dan di wilayah Amerika. Di Indonesia sendiri memiliki luas areal pertanian
yang relatif tinggi. Selain di Pulau Jawa, teak juga berkembang di beberapa daerah
lain seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, Lampung, dan
Bali (Sumarna, 2011).
Idealnya, teak akan tumbuh dengan baik pada kawasan hutan dataran rendah
dengan kandungan hara optimal sebagai berikut : (Yahya, 2011)
1. Curah hujan antara 750-1500 mm/tahun
2. Suhu udara antara 34-42℃, dan
3. Kelembapan sekitar 70%.
2.1.1.5 Khasiat dan Kegunaan Tanaman
Kayu : sedatif, obat cacing, disentri, sakit kepala, antiinflamasi, pencahar,
neuralgia, artritis, dispepsia, perut kembung, batuk, penyakit kulit,
kusta, hemoroid, gangguan antibilious dan lipid.
Akar : pengobatan anuria, retensi urin.
Daun : antiinflamasi, lepra, penyakit kulit, stomatitis, borok, pendarahan,
hemoptisis.
Biji : diuretik, emolien, penyakit kulit. Minyak yang diperoleh dari biji
mendorong pertumbuhan rambut dan berguna pada eksim, kurap dan
untuk pemeriksaan kudis.
Kulit pohon : bronkitis, sembelit, obat cacing, disentri, diabetes, lepra, penyakit
kulit, leukoderma, sakit kepala, pencahar, ekspektoran, antiinflamasi,
gangguan pencernaan.
Bunga : bronkitis, diuretik, antiinflamasi, dipsia, kusta, penyakit kulit,
diabetes dan efektif pada kondisi yang disebabkan oleh cacing pitta.
8

Minyak yang diperoleh dari bunga mendorong pertumbuhan rambut


dan berguna untuk kudis, eksim.
Buah : diuretik, menawar rasa sakit, pruritus, stomatitis.
Semua bagian dari biji tanaman, bunga, buah-buahan, kayu, kulit kayu, akar,
dan daun dapat digunakan baik sendiri atau bersama dengan tanaman lain
(Aradhana dkk., 2010).
2.1.1.6 Kandungan Kimia
Unsur kimia yang dilaporkan Aradhana dkk. (2010) terkandung dalam daun
teak atau jati adalah:
Kuinon : Tektokuinon, lapakol, deoxylapakol dan isomernya, tektoleafokuinon,
antrakuinon–pigmen naptakuinon.
Steroid : Squalen, poli-isoprena α-tolyl metil eter, asam betulinik, tekto
grandon, monoterpen, apokarotenoid: tektoionol-A, tectoionol-B.
Glikosida : Glikosida antrakinon.
Asam fenolik : Asam tanat, asam galia, asam ferulat, asam kaffeik dan asam ellagik.
Flavonoid : Rutin dan kuersitin.
Daun Tectona grandis Linn juga dilaporkan mengandung karbohidrat,
alkaloid, tanin, sterol, saponin, protein, kalsium, fosfor, serat mentah dan juga
mengandung pewarna (cokelat kekuningan atau kemerahan).
2.1.2 Tinjauan tentang Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes RI, 2000).
Ekstrak dapat berupa kering, kental, dan cair. Pembuatan ekstrak
dimaksudkan agar zat berkhasiat dalam simplisia mempunyai kadar yang tinggi
(Anief, 2000).
Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan zat kimia yang dapat
larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang
diekstraksi adalah senyawa yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut,
seperti serat, karbohidrat, dan protein (Depkes RI, 1986).
9

Tujuan dari ekstraksi adalah untuk pemurnian, pemekatan atau pemisahan


untuk tujuan analitik. Pemilihan ekstraksi tergantung dari bahan tanaman yang akan
diekstraksi. Ekstraksi bahan tanaman yang tahan terhadap suhu tinggi dapat
dilakukan dengan menggunakan ekstraksi soxhletasi ataupun proses refluks.
Sedangkan ekstraksi bahan tanaman yang tidak tahan terhadap suhu tinggi dapat
dilakukan perendaman atau maserasi. Maserasi merupakan salah satu metode
ekstraksi dengan cara dingin (Depkes RI, 2000).
2.1.2.1 Tinjauan tentang Metode Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
tertentu yang sesuai dengan beberapa kali pengadukan pada suhu ruangan. Prinsip
metode ini adalah pencapaian kesetimbangan konsentrasi. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
kemudian zat aktif akan larut dan mengalami difusi ke luar sel karena adanya
perbedaan konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel. Peristiwa tersebut
terjadi berulang sehingga kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di
dalam sel dapat tercapai.
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi
dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung
dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai kemudian
ampas diperas. Kelebihan dari maserasi adalah alat yang digunakan sederhana dan
prosesnya mudah. Kelemahannya yaitu waktu pengerjaannya yang lama (Depkes
RI, 1986)
2.1.2.2 Tinjauan tentang Ekstraksi Berbantu Gelombang Ultrasonik
Gelombang ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih
tinggi dari kemampuan pendengaran telinga manusia (di atas 20 kHz). Gelombang
ultrasonik dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan kekuatan energinya yaitu
low energy dan high energy. Ultrasonik low energy dengan intensitas rendah (< 1
W/cm2) dan frekuensi tinggi (> 100 kHz) umumnya digunakan untuk proses-proses
yang tidak mengubah keadaan fisik maupun kimia suatu bahan. Ultrasonik high
energy dengan intensitas tinggi (10 sampai 1000 W/cm2) dan frekuensi rendah (20
10

sampai 100 kHz) digunakan untuk aplikasi sonokimia. High energy pada ultrasonik
dapat mengubah sifat fisik dan kimia dari suatu material. Aplikasi dari kategori ini
untuk mengubah kondisi fisik bahan dan percepatan reaksi kimia tertentu.
Pemanfaatan ultrasonik dalam bidang kimia digunakan pada proses
ekstraksi, kristalisasi, sintesis bahan, dan pembuatan katalis. Salah satu
pemanfaatan ultrasonik dalam bidang ekstraksi dikenal dengan ultrasonic assisted
extraction (UAE). Teknik ini telah berhasil mengekstraksi berbagai senyawa yang
terkandung dalam buah, sayuran, dan bahan biologi lainnya. Penggunaan ultrasonik
untuk bidang pengolahan makanan dan industri pertanian merupakan hal yang baru.
Proses ektraksi pada bahan berlangsung dengan melewatkan tenaga
ultrasonik pada media perantara cairan (pelarut). Pada saat gelombang merambat,
medium (pelarut) yang dilewatinya akan mengalami getaran. Getaran akan
memberikan pengadukan secara intensif terhadap proses ekstraksi. Pengadukan
akan meningkatkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga akan
meningkatkan proses ektraksi. Getaran yang sangat cepat menimbulkan tekanan
tinggi dalam waktu yang sangat pendek di dalam medium cair. Getaran ultrasonik
di dalam cairan akan menimbulkan microbubbles dan pecah seketika yang disebut
kavitasi.
Gelombang ultrasonik terbentuk dari pembangkitan ultrasonik secara lokal
dari kavitasi mikro pada sekeliling bahan yang akan diekstraksi sehingga akan
terjadi pemanasan pada bahan tersebut dan melepaskan senyawa ekstrak. Terdapat
efek ganda yang dihasilkan yaitu pengacauan dinding sel sehingga membebaskan
kandungan senyawa dari bahan dan pemanasan lokal pada cairan serta
meningkatkan difusi ekstrak. Energi kinetik dilewatkan ke seluruh bagian cairan
diikuti dengan munculnya gelembung kavitasi pada dinding atau permukaan
sehingga meningkatkan transfer massa antara permukaan padat-cair. Efek mekanik
meningkatkan penetrasi dari cairan menuju dinding membran sel, mendukung
pelepasan komponen sel, dan meningkatkan transfer massa (Keil, 2007).
Karakteristik gelombang ultrasonik yang mempengaruhi proses ekstraksi
adalah frekuensi dan intensitasnya (Jayasooriya dkk., 2007). Frekuensi tinggi akan
memperkecil tekanan minimum sehingga energi lebih banyak diperlukan untuk
11

pembentukan kavitasi dalam sistem. Sebaliknya, frekuensi rendah akan


memerlukan sedikit energi untuk membentuk efek kavitasi yang sama. Sebagai
contoh, energi yang diperlukan untuk membuat kavitasi dalam air sepuluh kali lebih
besar dengan menggunakan frekuensi 400 kHz dibandingkan dengan menggunakan
frekuensi 10 kHz. Dengan alasan inilah frekuensi yang biasa digunakan pada
sonokimia berkisar antara 20 sampai 40 kHz (Sholihah, 2016).
2.1.2.3 Tinjauan tentang Cairan Penyari
Dalam proses pembuatan ekstrak, cairan pelarut adalah pelarut yang baik
atau optimal untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif. Dengan
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih
yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI,
2000).
Cairan pelarut dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik berdasarkan
polaritasnya. Deret eluotropik dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 1. Deret Elutropik
Pelarut Tetapan dielektrik pada 200C
n- heksana 1,89
Petroleum eter 1,90
n-oktan 1.95
n-dektan 1.99
n-dodekan 2.01
Sikliheksana 2.02
1,4-dioksan 2.21
Benzena 2.28
Toluene 2.38
Furan 2.29
Asam propanoat 3.30
Eter (dietil eter) 3.34
Kloroform 4.81
Butil asetat 5.01
Etil asetat 6.02
Asam asetat (glasial) 6.15
Metal asetat 6.68
12

Tetrahidrofuran 7.58
Metilenklorida 9.08
1-butanol 10.09
Piridina 12.30
2-butanol 15.80
n-butanol 17.80
2-propanol 18.30
1-propanol 20.10
Aseton 20.70
Etanol 24.30
Metanol 33.60
Asam formiat 58.50
Air 80.40
(Stahl, 1985)
Tetapan dielektrik memberikan informasi mengenai kepolaran suatu pelarut.
Semakin besar tetapan dielektriknya, maka pelarut tersebut semakin polar (Stahl,
1985).
Pemilihan cairan pelarut atau penyari harus mempertimbangkan banyak
faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria antara lain murah dan
mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah
menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat,
ramah terhadap lingkungan, ekonomis, aman untuk digunakan, kemudahan dalam
bekerja dan proses dengan pelarut tersebut dan diperbolehkan oleh peraturan yang
berlaku (Depkes RI, 1986).
2.1.3 Tinjauan tentang Bibir
Bibir adalah lipatan membran otot yang mengelilingi bagian anterior mulut.
Bibir atas dan bawah masing-masing disebut sebagai "labium superius oris" dan
"labium inferius oris". Titik di mana bibir bertemu kulit di sekitar daerah mulut
adalah perbatasan merah terang.
Tepat di atas zona transisi antara kulit dan zona merah terang adalah
lengkungan cupid. Kulit bibir memiliki 3-5 lapisan, sangat tipis dibandingkan
dengan kulit wajah yang memiliki hingga 16 lapisan. Kulit bibir membentuk
perbatasan antara kulit luar wajah, dan selaput lender interior bagian dalam mulut.
Kulit bibir tidak berbulu dan tidak memiliki kelenjar keringat.
13

Kulit bibir mengandung lebih sedikit melanosit (sel yang memproduksi


pigmen melanin, yang memberikan kulit warna). Karena itu, pembuluh darah
muncul melalui kulit bibir, yang memberikan warna merah bibir. Dengan warna
kulit lebih gelap efek ini kurang menonjol, seperti dalam kasus ini kulit bibir
mengandung lebih banyak melanin sehingga secara visual lebih gelap.
Wilayah yang lebih dalam yang membentuk bibir terdiri dari lapisan otot
lurik, otot orbicularis orbis, dan jaringan ikat longgar. Otot membuat daerah tepi
zona merah terang memberikan bentuk bibir. Bibir memiliki kepekaan sentuhan
yang bagus. Jaringan labial memiliki banyak reseptor sensorik, termasuk Meissner,
sel Merkel, dan ujung saraf bebas (Draelos, 2010).
2.1.4 Tinjauan tentang Kosmetik
Kosmetik berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti “berhias”.
Kosmetik sudah dikenal orang sejak zaman dahulu kala. Di Mesir, 3500 tahun
Sebelum Masehi telah digunakan berbagai bahan alami baik yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, hewan maupun bahan alam lain misalnya tanah liat, lumpur,
arang, batubara bahkan api, air, embun, pasir, atau sinar matahari (Tranggono dan
Latifah, 2007).
Menurut Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor 19 Tahun 2015
pengertian kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital
bagian luar), atau gigi dan membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Sedangkan menurut Permenkes Nomor 1175/Menkes/Per/VII/2010/
Tentang Izin Produksi Kosmetika, Kementerian Kesehatan RI, kosmetika adalah
bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik.
14

Ilmu yang mempelajari kosmetik disebut “kosmetologi”, yaitu ilmu yang


berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi penggunaan, efek dan efek
samping kosmetik. Dalam kosmetologi berperan berbagai disiplin ilmu terkait yaitu:
teknik kimia, farmakologi, farmasi, biokimia, mikrobiologi, ahli kecantikan dan
dermatologi. Dalam disiplin ilmu dermatologi yang menangani khusus peranan
kosmetik disebut “dermatologi kosmetik“ (cosmetic dermatology) (Wasitaatmadja,
1997).
2.1.2.1 Kosmetik Dekoratif
Kosmetik dekoratif adalah kosmetik yang bertujuan semata-mata untuk
mengubah penampilan agar tampak lebih cantik dan noda-noda atau kelainan pada
kulit tertutupi. Sedikit persyaratan untuk kosmetik dekoratif antara lain, warna yang
menarik, bau yang harum menyenangkan, tidak lengket, tidak menyebabkan kulit
tampak berkilau, dan sudah tentu tidak merusak atau mengganggu kulit, rambut,
bibir, kuku, dan adneksa lainnya (Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetik dekoratif terbagi dalam kosmetik dekoratif yang hanya
menimbulkan efek pada permukaan dan pemakaiannya sebentar (bedak, lipstik,
pemerah pipi, eye-shadow, dan lain-lain), serta kosmetik dekoratif yang efeknya
mendalam seperti pemutih kulit, cat rambut, pengeriting rambut, dan preparat
penghilang rambut ( Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetik dekoratif pada prinsipnya lebih menitik beratkan fungsinya untuk
mempercantik dan merias. Pembahasan mengenai produk kosmetik dekoratif tidak
lengkap tanpa pengetahuan mengenai pentingnya pewarna sebagai komponen
primer. Pigmen konvensional akan menciptakan warna yang menyerap panjang
gelombang tertentu dari cahaya yang terbentuk. Warna yang terbentuk sesuai
dengan panjang gelombang yang dipantulkan. Formulasi dari produk kosmetik
telah menjadi tantangan yang menarik bagi para ahli kimia. Sebelum membuat
formula pewarna untuk produk kosmetik, harus dipastikan terlebih dahulu
peraturan pada negara yang mana produk tersebut akan dipasarkan agar pewarna-
pewarna yang digunakan sudah sesuai (Barel dkk., 2001).
2.1.2.2 Pembagian Kosmetik Dekoratif
15

Kosmetik dekoratif dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu


(Tranggono dan Latifah, 2007):
1. Kosmetik dekoratif yang hanya menimbulkan efek pada permukaan dan
pemakaiannya sebentar, misalnya bedak, lipstik, pemerah pipi, eye-shadow, dan
lain-lain.
2. Kosmetik dekoratif yang efeknya mendalam dan biasanya dalam waktu lama
baru luntur, misalnya kosmetik pemutih kulit, cat rambut, pengriting rambut,
dan preparat penghilang rambut.
2.1.2.3 Zat Warna dalam Kosmetik Dekoratif
Dalam kosmetik dekoratif, zat warna memegang peran sangat besar. Zat
warna untuk kosmetik dekoratif berasal dari berbagai kelompok, yaitu (Tranggono
dan Latifah, 2007):
1. Zat Warna Alam yang Larut
Dampak zat warna alam ini pada kulit lebih baik daripada zat warna sintetis,
tetapi kekuatan pewarnaannya relatif lemah, tak tahan cahaya, dan relatif mahal.
Misalnya alkalain, zat warna merah yang dieksrak dari kulit akar alkana (Radix
alcannae); carmine, zat warna merah yang diperoleh dari serangga Coccus cacti
yang dikeringkan; klorofil daun-daun hijau; henna, yang diekstrak dari daun
Lawsonia inermis; carotene, zat warna kuning.
2. Zat Warna Sintetis yang Larut
Zat warna sintesis pertama kali disintesis dari anilin, sekarang benzene,
toluene, anthracene, dan hasil isolasi dari coal-tar lain yang berfungsi sebagai
produk awal bagi kebanyakan zat warna dalam kelompok ini sehingga sering
disebut sebagai zat warna dari coal-tar yang berhasil diciptakan, tetapi hanya
sebagian yang dipakai dalam kosmetik.
3. Pigmen-Pigmen Alam
Pigmen alam adalah pigmen warna pada tanah yang memang terdapat secara
alamiah, misalnya aluminium silikat, yang warnanya tergantung pada kandungan
besi oksida atau mangan oksidanya (misalnya kuning oker, coklat, merah bata,
coklat tua). Zat warna ini murni, sama sekali tidak berbahaya, penting untuk
mewarnai bedakkrim dan make-up sticks.
16

4. Pigmen-Pigmen Sintetis
Dewasa ini, besi oksida sintetis dan oker sintetis sering menggantikan zat
warna alam. Warnanya lebih intens dan lebih terang. Pilihan warnanya antara lain
kuning, coklat sampai merah, dan macammacam violet. Pigmen sintetis putih
seperti zinc oxide dan titanium oxide termasuk dalam kelompok zat pewarna
kosmetik yang terpenting. Zinc oxide tidak hanya memainkan suatu peran besar
dalam pewarnaan kosmetik dekoratif, tetapi juga dalam preparat kosmetik dan
farmasi lainnya. Sejumlah senyawa cobalt digunaka sebagai pigmen sintetis warna
biru, khususnya warna cobalt dan ultramarine. Cobalt hijau adalah pigmen hijau
yang kebiru-biruan.
5. Lakes Alam dan Sintetis
Lakes dibuat dengan mempresipitasikan satu atau lebih zat warna yang larut
air di dalam satu atau lebih substrat yang tidak larut dan mengikatnya sedemikian
rupa (biasanya dengan reaksi kimia) sehingga produk akhirnya menjadi bahan
pewarna yang hampir tidak larut dalam air, minyak, atau pelarut lain. Kebanyakan
lakes dewasa ini dibuat dari zat warna sintetis, kecuali Florentine lake yang
diperoleh dari presipitasi carmine dan brasilin (zat warna dari sayuran) di dalam
aluminum hidroksida. Lakes yang dibuat dari zat-zat warna asal coal-tar merupakan
zat pewarna terpenting di dalam bedak, lipstik, dan make-up warna lainnya.
2.1.2.4 Lips Make Up
Wanita dan make up merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Penampilan dapat menjadi suatu pembeda antara satu orang dengan orang lain.
Perbedaan dalam penampilan dapat didukung dengan menggunakan pakaian,
sepatu, perhiasan, dan kosmetik, namun lipstik menjadi hal yang paling penting
karena akan sangat terlihat saat merubah penampilan (Lipstick History, 2017). Pada
jaman dahulu lipstik masih dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti
buah berry dan tanaman untuk menambahkan pigmen warna pada lipstik (Sherrow,
2001).
Hingga saat ini, terdapat beragam jenis lips make up yang memiliki
karakteristik dan fungsi tertentu menggunakan bahan-bahan yang lebih beraneka
17

ragam. Berikut adalah lips make up yang biasa digunakan dalam aktivitas sehari-
hari menurut Sherrow (2001).
1. Lipstick
Lips make up ini berbahan dasar lilin (wax), pigmen pewarna, dan minyak,
namun ada juga beberapa merek yang memberikan vitamin ke dalam lipstik tersebut
untuk menjaga kesehatan bibir. Hingga saat ini, lipstick memiliki beragam jenis
seperti, Matte Lip Cream/ Liquid Lipstik, Matte Lipstick, Glossy Lipstick, Creamy
Lipstick, Satin Lipstick yang memiliki hasil pemakaian yang berbeda-beda.
2. Lip Gloss
Berfungsi untuk memberikan tampilan yang berkilau pada bibir. Efek dari
lip gloss adalah bibir yang basah dan terlihat lebih bervolume. Namun jenis ini
memiliki warna yang tidak terlalu pigmented (tidak terlalu tebal/ mencolok).
3. Lip Liner
Berfungsi untuk memperjelas bentuk bibir agar terlihat lebih rapih dan
bervolume. Lip liner dapat ditemukan dalam bentuk pensil atau krayon.
4. Lip Stain & Tint
Perbedaan mendasar pada lip stain/lip tint dengan jenis lainnya terletak pada
kandungan bahan yang digunakan. Jenis ini tidak mengandung lilin sama sekali di
dalamnya. Bahan utama untuk membuat lip stain/lip tint adalah air, alkohol, gel,
tanpa dicampur lilin atau minyak. Lip tint popular pada produk kecantikan korea
dan menjadi ciri khas bagi wanita Asia dengan tampilan bibir yang segar, sehat, dan
alami.
5. Lip Balm & Treatments
Berfungsi untuk melembabkan bibir dan merawat bibir yang kering/pecah-
pecah akibat penggunaan lipstik yang membuat bibir tersebut menjadi kering. Lip
balm yang ini memiliki dua jenis, yaitu ada yang berwarna (warnanya samar-samar
dan tidak tebal) dan tidak berwarna sama sekali.
6. Lip Palette
Lips make up yang dikemas dalam bentuk palette, sehingga dalam satu
kemasan terdapat warna yang berbeda-beda dan diaplikasikan dengan
menggunakan kuas. Tekstur dari lip palette memiliki kesamaan seperti lipstick
18

karena memiliki kandungan yang sama. Lip palette ini biasa digunakan untuk
professional make up.
2.1.2.5 Evaluasi Mutu Kosmetik Lips Make Up
Dari segi kualitas, lips make up harus memenuhi beberapa persyaratan
berikut:
1. Tidak menyebabkan iritasi atau kerusakan pada bibir
2. Tidak memiliki rasa dan bau yang tidak menyenangkan
3. Polesan lembut dan tetap terlihat baik selama jangka waktu tertentu
4. Selama masa penyimpanan bentuk harus tetap utuh, tanpa kepatahan dan
perubahan wujud.
5. Tidak lengket
6. Penampilan tetap menarik dan tidak ada perubahan warna (Mitsui, 1997)
Selain itu perlu dilakukan evaluasi karakteristik fisik sediaan meliputi:
1. Uji organoleptis
Sediaan diamati bentuk, warna, dan bau selama penyimpanan dan diharapkan tidak
ada perubahan fisik ataupuun kimia seperti timbulnya bau tengik dan perubahan
warna sediaan (Ansel, 1998).
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu
sediaan pada kaca transparan hingga membentuk lapisan setipis mungkin. Sediaan
harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir
kasar (Depkes RI 1979).
3. Uji daya oles
Uji daya oles dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan sediaan pada
kulit punggung tangan kemudian mengamati banyaknya warna yang menempel
dengan perlakuan 5 kali pengolesan. Sediaan dikatakan mempunyai daya oles yang
baik jika warna yang menempel pada kulit punggung tangan banyak dan merata
dengan beberapa kali pengolesan pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan
dikatakan mempunyai daya oles yang tidak baik jika warna yang menempel sedikit
dan tidak merata. Pemeriksaan dilakukan terhadap masing-masing sediaan yang
19

dibuat dan dioleskan pada kulit punggung tangan dengan 5 kali pengolesan
(Keithler, 1956).
4. Uji stabilitas cycling test
Salah satu cara mempercepat evaluasi kestabilan adalah dengan penyimpanan
selama beberapa periode (waktu) pada suhu yang lebih tinggi dari normal. Cara
khusus ini berguna untuk mengevaluasi “shelf life” emulsi dan atau krim dengan
siklus antara 2 suhu. Dilakukan satu siklus pada saat sediaan krim disimpan pada
suhu 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40± 2°C
selama 24 jam. Percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus (Elya dkk., 2013).
Efek normal penyimpanan suatu emulsi atau krim pada suhu yang lebih tinggi
adalah mempercepat koalesensi atau terjadinya kriming dan hal ini biasanya diikuti
dengan perubahan kekentalan. Kebanyakan emulsi atau krim menjadi lebih encer
pada suhu tinggi dan menjadi lebih kental bila dibiarkan mencapai suhu kamar.
Pembekuan dapat merusak emulsi atau krim dari pada pemanasan, karena
kelarutan emulgator baik dalam fase air maupun fase minyak, lebih sensitif pada
pembekuan daripada pemanasan sedang (Banker, 1997).
5. Uji Ph
Alat pH meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar
standar netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat
menunjukkan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu
dikeringkan dengan tisu. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 g
sediaan dan dilebur dalam beaker glass dengan 100 ml air suling di atas penanga
sair. Setelah dingin kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut.
Dibiarkan alat menunjukkan harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan
pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins,2003).
2.1.4 Tinjauan tentang Uji iritasi akut dermal
Menurut PerKBPOM No. 7 Tahun 2014 tentang pedoman uji toksisitas
nonklinik secara in vivo, uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci
albino) untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji
pada dermal selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut dermal adalah
pemaparan sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit
20

yang tidak diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada
interval waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan
sediaan uji dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari.
Tujuan uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada
kulit serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar
pada kulit.
Hasil uji dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari Globally Harmonised
System (GHS) for The Classification of Chemical (2009), seperti pada Tabel 2.
Kriteria tersebut digunakan terutama untuk mengkategorikan sediaan uji yang
berbahaya/ toksik. Bila sediaan uji sudah diketahui mempunyai pH ekstrim (pH ≤
2 atau ≥ 11,5), maka sediaan tersebut tidak boleh diuji pada hewan uji.
Tabel 2. Kriteria penggolongan sediaan uji yang bersifat korosif/iritan pada kulit
Kategori Kriteria
Respon korosif terjadi pada pemaparan selama ≤ 3 menit,
1A
pengamatan selama ≤ 1 jam pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan uji
Kategori 1, Respon korosif terjadi pada pemaparan selama >3 menit sampai ≤
1B
Korosif 1 jam, pengamatan selama ≤ 14 hari pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan uji
Respon korosif terjadi pada pemaparan selama >1 jam sampai ≤ 4
1C
jam, pengamatan selama ≤ 14 hari pada ≥ 1 dari 3 ekor hewan uji
i. Skor rata-rata untuk eritema/udema ≥ 2,3 sampai ≤ 4,0 setelah
pemaparan selama 4 jam, pengamatan selama 3 hari, pada
minimal 2 dari 3 ekor hewan uji atau
Kategori 2, ii. Inflamasi tidak sembuh sampai hari ke 14 minimal pada 2 ekor
Iritan hewan uji, terjadi alopecia pada daerah tertentu, hyperplasia,
scaling atau
iii. Terdapat efek eritema/udema yang jelas pada 1 ekor hewan uji
walau tidak memenuhi kreteria di atas.
Skor rata-rata untuk eritema/udema ≥ 1,5 sampai ≤ 2,3 setelah
Kategori 3, pemaparan selama 4 jam, pengamatan selama 3 hari setelah
Iritan ringan terjadinya reaksi kulit tetapi tidak termasuk kategori seperti di atas,
pada minimal 2 dari 3 ekor hewan uji
(GHS, 2009)
Dapat dilakukan penilaian terhadap sediaan uji yang mengakibatkan
terjadinya reaksi kulit (ISO 10993-10), terutama untuk sediaan uji yang berupa
obat-obatan atau kosmetik (Tabel 3). Nilai rata-rata dari kategori respon biasanya
disebut sebagai Indeks Iritasi Primer.
21

Tabel 3. Kategori respon iritasi pada kelinci (ISO 10993-10, 2002)

Nilai Rata-rata Kategori respon


0,0 – 0,4 Sangat ringan (negligible)
0,5 – 1,9 Iritan ringan (slight)
2,0 – 4,9 Iritan sedang (moderate)
5,0 – 8,0 Iritan kuat (severe)
(ISO 10993-10, 2002)
2.1.4.1 Prinsip Uji iritasi akut dermal
Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan sediaan uji dalam dosis
tunggal kepada kulit hewan uji dengan area kulit yang tidak diberi perlakuan
berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval waktu tertentu yaitu
pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji. Untuk melihat
reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Hewan yang menunjukkan
tanda-tanda kesakitan atau penderitaan yang parah harus dikorbankan sesuai
dengan prosedur pemusnahan hewan. Selain pengamatan terhadap iritasi, semua
pengaruh zat toksik terhadap kulit, seperti defatting of skin (OECD TG 404-2002)
dan pengaruh toksisitas lainnya serta berat badan harus dijelaskan dan dicatat.
Pemeriksaan histopatologi perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan respon yang
meragukan.
2.1.4.2 Tujuan Uji iritasi akut dermal
Uji ini digunakan untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit serta
untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar pada kulit.
2.1.4.3 Prosedur Uji iritasi akut dermal
2.1.4.3.1 Penyiapan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah kelinci albino jantan atau betina yang
sehat dan dewasa, berat sekitar 2 kg. Sebelum pengujian dimulai, hewan uji
diaklimatisasi di ruang percobaan kurang lebih selama 5 hari dan hewan
ditempatkan pada kandang individual (1 kandang untuk 1 ekor). Sekurang-
kurangnya 24 jam sebelum pengujian, bulu hewan harus dicukur pada daerah
punggung seluas lebih kurang 10 x 15 cm atau tidak kurang 10% dari permukaan
tubuh untuk tempat pemaparan sediaan uji. Pencukuran dimulai dari area tulang
belikat (bahu) sampai tulang pangkal paha (tulang pinggang) dan setengah ke
22

bawah badan pada tiap sisi. Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan
yang mempunyai kulit yang sehat.
2.1.4.3.2 Dosis Uji
Dosis yang digunakan untuk sediaan uji cair adalah sebanyak 0,5 mL dan
untuk sediaan uji padat atau semi padat sebanyak 0,5 g sedangkan sediaan yang
berupa wadah dan alat kesehatan dilakukan ekstraksi dan preparasi sediaan uji
seperti yang tercantum pada tabel 4. Dan dosis yang digunakan sebanyak 0,5 mL
dari larutan hasil ekstraksi.
Tabel 4. Luas Permukaan Sampel yang Digunakan

Bentuk bahan Ketebalan Jumlah sampel untuk setiap Dibagi


20 mL media ekstraksi menjadi
Film atau < 0,5 mm Setara dengan luas permukaan Potongan
lembaran total 120 cm2 (kedua sisi) ± 5 × 0,3 cm
0,5-1 mm Setara dengan luas permukaan
total 60 cm2 (kedua sisi)
Pipa/tabung < 0,5 mm Panjang (dalam cm) = 120 Potongan
cm2/(jumlah keliling diameter ± 5 × 0,3 cm
dalam dan diameter luar)
0,5-1 mm Panjang (dalam cm) = 60 cm2
/(jumlah keliling diameter
dalam dan diameter luar)
Lempeng, > 1 mm Setara dengan luas permukaan Potongan
pipa/tabung dan total 60 cm2 (semua permukaan sampai
bahan cetakan yang terpapar) ± 5 × 0,3 cm
Elastomer > 1 mm Setara dengan luas permukaan Tidak boleh
total 25 cm2 (semua permukaan dibagi-bagi
yang terpapar)
(Depkes RI, 1995)
2.1.4.3.3 Cara Pemberian Sediaan Uji
Sediaan uji dipaparkan di area kulit seluas ± 6 (2 x 3) cm2 dengan lokasi
pemaparan seperti yang terlihat pada Gambar 2, kemudian lokasi pemaparan
ditutup dengan kasa dan diplester dengan plester yang bersifat non-iritan. Jika
pemberian secara langsung tidak memungkinkan (misalnya cairan atau pasta),
sediaan uji harus dioleskan terlebih dahulu pada kasa lalu ditempelkan pada kulit.
Sediaan uji cair tidak perlu diencerkan sedangkan sediaan uji padat dihaluskan lebih
23

dulu dan dibasahi dengan sedikit air atau dengan pelarut yang cocok yang bersifat
non-iritan untuk memastikan interaksi yang baik antara sediaan uji dengan kulit.

1
Keterangan:
2 3 1. Kepala
2. Lokasi pemaparan sediaan uji

3 2 3. Lokasi pemaparan kontrol


4. Ekor

4
Gambar 2. Lokasi pemaparan sediaan uji
(PerKBPOM No. 7 Tahun 2014)

2.1.4.3.4 Tahapan Uji


i. Bila sediaan uji diduga bersifat mengiritasi/korosif
Uji dilakukan dengan menggunakan 1 hewan uji, dan menggunakan
pendekatan sebagai berikut ini. Dibuat tiga tempelan (patch) untuk tiga
pemaparan, tempelan ke-1 dibuka setelah 3 menit, jika tidak terlihat reaksi kulit
yang serius maka tempelan ke-2 dibuka setelah 1 jam, jika pemaparan tidak
mengakibatkan iritasi yang parah, maka tempelan ke-3 dibuka pada jam ke-4,
dan ditentukan gradasi cedera kulit. Jika efek korosif tampak setelah 3 menit
atau 1 jam, maka uji dihentikan dan semua tempelan dilepas. Pengamatan
dilanjutkan selama 14 hari kecuali jika korosi terjadi pada awal pengujian.
Tetapi jika tidak terlihat efek korosif setelah pemaparan selama 4 jam, maka
pengujian dilanjutkan dengan menambah 2 hewan tambahan yang masing-
masing dipaparkan selama 4 jam.
ii. Bila sediaan uji diduga tidak bersifat mengiritasi/korosif
Digunakan 3 hewan uji, masing-masing dibuat 1 tempelan dengan periode
pemaparan selama 4 jam. Residu sediaan uji segera dihilangkan menggunakan
air atau pelarut lain setelah pemaparan 4 jam. Respon dari sediaan uji dinilai
dengan berpedoman pada Tabel 5.
24

Tabel 5. Penilaian reaksi pada kulit

Pembentukan Eritema Skor


Tidak ada eritema 0
Eritema yang sangat kecil (hampir tidak dapat dibedakan) 1
Eritema terlihat jelas 2
Eritema sedang sampai parah 3
Eritema parah (merah daging) sampai pembentukan eschar yang
menghambat penilaian eritema 4
Pembentukan Udema
Tidak ada udema 0
Udema sangat kecil (hampir tidak dapat dibedakan) 1
Udema kecil (batas area terlihat jelas) 2
Udema tingkat menengah (luasnya bertambah sekitar 1 mm) 3
Udema parah (luas bertambah lebih dari 1 mm dan melebar
melebihi area pemaparan oleh sediaan uji 4
Khemosis/Udem (pada kelopak mata atau membran nikitan)
Tidak ada pembengkakan/normal 0
Sedikit pembengkakan di atas normal, termasuk membran nikitan 1
Pembengkakan terlihat jelas, sebagian pembengkakan terdapat di
bagian dalam kelopak 2
Pembengkakan dengan setengah kelopak tertutup 3
Pembengkakan dengan lebih dari setengah kelopak tertutup 4
(OECD, 2002)
2.1.4.3.5 Periode Pengamatan
Jangka waktu pengamatan harus mencukupi untuk mengevaluasi seluruh
pengaruh reversibilitas yang teramati. Akan tetapi pengujian harus diakhiri
saat hewan menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang parah. Untuk
menentukan reversibilitas, hewan harus diamati tidak kurang dari 14 hari
setelah tempelan dibuka. Jika reversibilitas terlihat sebelum 14 hari, maka
pengujian harus dihentikan saat itu juga.
2.1.4.3.6 Pengamatan Klinis dan Penilaian dari Reaksi Kulit
Semua hewan uji harus diamati ada atau tidaknya eritema dan udema,
penilaian respon dilakukan pada jam ke 1, 24, 48, dan 72 setelah pembukaan
tempelan (untuk sediaan uji yang tidak bersifat korosif/iritan). Jika kerusakan kulit
tidak dapat diidentifikasi sebagai iritasi atau korosi pada jam ke 72, pengamatan
dapat dilanjutkan sampai hari ke-14 untuk menentukan reversibilitas. Selain
25

pengamatan terhadap iritasi, efek toksik setempat (local toxic effect), seperti
defatting of skin dan pengaruh toksisitas lainnya dan berat badan harus dijelaskan
dan dicatat. Pemeriksaan histopatologi perlu dipertimbangkan untuk menjelaskan
respon yang meragukan.
Luka kulit yang bersifat reversibel harus diperhitungkan di dalam evaluasi
respon iritan. Jika terlihat respon seperti alopecia (area terbatas), hiperkeratosis,
hiperplasia, dan scaling yang bertahan sampai akhir dari pengamatan selama 14 hari,
maka sediaan uji tersebut dimasukkan ke dalam kategori zat yang bersifat iritan.
Disamping gambaran iritasi kulit, efek toksik lain yang disebabkan oleh bahan uji
juga diamati dan dicatat.
2.1.4.3.7 Analisis Data
Hasil pengamatan dirangkum dalam bentuk tabel yang memperlihat
keadaan secara individual, memuat skor iritasi untuk eritema dan udema tiap hewan
pada jam ke-1, 24, 48, dan 72 setelah tempelan dibuka.
2.1.4.3.8 Evaluasi Hasil
Skor iritasi kulit yang harus dievaluasi adalah terhadap tingkat keparahan
luka, ada atau tidaknya reversibilitas. Skor individu tidak mewakili standar absolut
untuk sifat iritan dari sediaan uji. Dilakukan evaluasi efek-efek lain dari sediaan uji,
skor individual harus dilihat sebagai nilai referensi. Skor iritasi (Indeks Iritasi
Primer) sediaan uji adalah kombinasi dari seluruh observasi dari pengujian. Indeks
Iritasi Primer dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

𝐴−𝐵
Keterangan:
Indeks Iritasi Primer = 𝐶
A: Jumlah skor eritema dan udema seluruh
titik pengamatan sampel pada jam ke 24,
48, dan 72 dibagi jumlah pengamatan
B: Jumlah skor eritema dan udema seluruh
titik pengamatan kontrol pada jam ke 24,
48, dan 72 dibagi jumlah pengamatan
C: Jumlah hewan

Klasifikasi iritasi kulit dapat dilihat pada tabel 2 dan 5.


2.1.5 Tinjauan Tentang Bahan
Bahan basis lip matte liquid yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
26

1. Glycerin

Gambar 3. Struktur Kimia Glycerin

Glycerin atau gliserin merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak


berbau, kental, dan bersifat higroskopik. Gliserin memiliki rasa yang manis sekitar
0,6 kali lebih manis dari sukrosa.
Gliserin digunakan secara luas dalam berbagai formula sediaan seperti oral,
otik, optalmik, topikal, dan pwrenteral. Dalam formula sediaan topikal dan
kosmetik, gliserin digunakan sebagai hemectant dan emollient dengan penggunaan
≥30% dari total sediaan. Sedangkan, dalam krim dam emulsi, gliserin digunakan
sebagai solven atau kosolven.
Gliserin murni tidak mudah teroksidasi oleh udara pada kondisi
penyimpanan biasa, tetapi dapat rusak oleh pemanasan menjadi acrolein yang
beracun. Campuran antara gliserin, air, etanol 95%, dan propilenglikol termasuk
campuran yang stabil secara kimia (Rowe dkk., 2009: 283-284)
2. Aquadest
Air merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam
pembuatan body lotion. Air merupakan bahan pelarut dan bahan baku yang tidak
berbahaya, tetapi air mempunyai sifat korosi. Air mengandung beberapa bahan
pencemar sehingga air yang digunakan untuk produk kosmetik harus dimurnikan
terlebih dahulu (Mitsui 1997). Air murni yaitu air yang diperoleh dengan cara
penyulingan, proses penukaran ion, dan osmosis sehingga tidak lagi mengandung
ion-ion dan mineral-mineral. Air murni hanya mengandung molekul air saja. Air
merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, berfungsi sebagai pelarut,
dan memiliki pH 5,0-7,0 (Departemen Kesehatan 1993).
3. Isopropil palmitat
Isopropil palmitat (C19H38O2) adalah ester dari isopropil alkohol dan asam
palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. Pada suhu ruang,
isopropil palmitat merupakan cairan jernih tidak berwarna sampai berwarna
27

kekuningan, tidak berbau, dan bersifat kental. Viskositas yang terukur adalah antara
5 sampai 10 mPa.s pada 25 °C. Suhu didih dari isopropil palmitate adalah 160 °C
pada 266 Pa (2 mm Hg). Titik beku terukur antara 13-15 °C dan umumnya memadat
pada suhu di bawah 16 °C (Seafast, 2007). Isopropil palmitat terdiri dari ester yang
terbentuk dari isopropil alkohol dan asam lemak jenuh dengan BM tinggi yakni
298,51. Bahan ini merupakan cairan tidak berwarna, mudah dituang, berbau lemah,
serta larut dalam aseton, minyak jarak, kloroform, etanol 95% dan parafin cair.
Namun, isopropil palmitat tidak larut dalam air, gliserin, dan propilen glikol
(Departemen Kesehatan 1993).
Aplikasi isopropil palmitat umumnya sebagai emolient dengan karakteristik
penyebaran yang baik. Secara luas produk ini digunakan dalam produk kosmetika,
seperti sabun cair, krim, lotion, produk perawatan wajah, produk perawatan rambut,
deodoran, pewarna bibir, dan bedak (Seafast, 2007).
4. Asam stearat
Asam stearat (C17H35COOH) merupakan komponen fase lemak yang
berfungsi sebagai emulsifier untuk memperoleh konsistensi suatu produk. Asam
stearat merupakan kristal padat atau serbuk keras, putih atau agak kekuningan, dan
berkilau. Asam stearat memiliki aroma lemah dan sedikit rasa berlemak (Rowe dkk.,
2009: 697). Asam stearat diproduksi dengan mengekstraksi cairan asam dari asam
lemak yang berasal dari lemak sapi. Selain itu, proses destilasi asam lemak yang
berasal dari minyak kacang kedelai atau minyak biji kapas juga dapat dilakukan
untuk memproduksi asam stearat (Mitsui 1997). Asam stearat mudah larut dalam
kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air (Departemen Kesehatan 1993).
5. Dimethicone
Dimetikon adalah poli (dimetilsiloksan) yang diperoleh dari hidrolisis dan
polikondensasi diklorometilsilan (CH3)2SiCl2 dan klorotrimetilsilan (CH3)3SiCl.
Kualitas dibedakan dengan suatu angka yang menunjukkan kekentalan yang jika
dinyatakan dalam viskositas kinetic besarnya 20-1000mm2/detik. Berupa larutan
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Tidak larut dalam air, dalam methanol,
dalam etanol dan dalam aseton, sangat sukar larut dalam isopropanol, larut dalam
hidrokarbon terklorinasi, benzena, toulena, xilena, eter dan heksana. Digunakan
28

sebagai antibusa dan untuk perawatan kulit oklusif, pelindung (protectant) kulit
(Reynold JEF, 1993).
6. Setil alkohol
Setil alkohol (C6H34O) merupakan serpihan putih licin, granul, atau kubus,
putih, bau khas lemah, rasa lemah.digunakan untuk kepentingan farmasetik dan
kosmetik, biasanya diformulasikan dalam bentuk sediaan supositoria, sediaan padat
lepas lambat, sediaan emulsi, losion, krim dan salep. Di dalam sediaan losion, krim
dan salep digunakan sebagai penyerap air, bahan pengemulsi, pelembut (emollient),
sekaligus dapat meningkatkan tekstur, penambah kekentalan (Wade A, Weller PJ,
1993).
7. Glyceril stearat
Gliseril stearat (C21H42O4) merupakan komponen fase lemak yang
berfungsi sebagai emolient dan emulsifier (Idson dan Lazarus 1994). Gliseril stearat
merupakan suatu poliol ester yang pada umumnya bukan merupakan produk alami,
namun merupakan suatu campuran mono dan diester dari asam stearat dan palmitat.
Gliseril stearat adalah suatu zat berbentuk flakes seperti lilin yang larut dalam
pelarut organik dengan titik leleh 56-58 oC. Emulsi yang dihasilkan pada komponen
ini stabil pada pH 7. Konsentrasi yang berlebihan dari bahan ini harus dihindari
karena dapat menghasilkan gel pada body lotion. Lotion yang diformulasikan
menggunakan Gliseril stearat biasanya sangat tebal dan berat (Schmitt 1996).
8. Titanium dioksida
Titanium dioksida digunakan secara luas dalam industri pakaian, kosmetik,
dan makanan, di dalam industri plastik dan pada sediaan farmasetika oral maupun
topikal, digunakan sebagai pigmen putih. Titanium dioksida dapat digunakan dalam
preparasi dermatologi dan kosmetik sebagai sunscreen serta dapat dikombinasikan
dengan pigmen lainnya. Titanium dioksida merupakan serbuk amorf,
nonhigroskopik yang tidak berbau dan tidak berasa (Rowe dkk., 2009: 741).
9. Talc
Talc merupakan serbuk kristal sangat halus berwarna putih atau putih
keabu-abuan yang tidak berbau, tidak berasa atau sedikit meninggalkan rasa manis.
Menempel kuat pada kulit, lembut dan terbebas dari butir-butir kasar.Talc secara
29

umum digunakan sebagai lubrikan dan diluen dalam formula sediaan oral. Talc
merupakan bahan alam, sehingga dapat mengandung mikroorganisme yang harus
disterilisasi sebelum digunakan. Talc juga digunakan dalam produksi kosmetik dan
makanan sebagai lubrikan dan anticaking (Rowe dkk., 2009: 728).
10. Mica powder
Mika merupakan nama yang diberikan pada kelompok mineral silikat yang
berupa serbuk berkilau dan digunakan secara luas dalam produk kecantikan karena
dapat memberikan penampilan serupa glitter yang natural. Mika adalah salah satu
bahan mineral terpenting dalam kosmetik, digunakan secara luas untuk
menambahkan kilau. Pada dasarnya jika suatu produk memiliki efek kilau, itu
hampir pasti karena adanya kandungan mika. Mika juga populer dalam produk
perawatan kulit yang dirancang untuk menciptakan efek bercahaya, terutama yang
dipasarkan sebagai produk pencerah kulit (Vogue, 2016).
11. BHT
Butil Hidroksi Toluen (C15H24O) merupakan kristal padat atau serbuk
putih atau kuning pucat dengan bau khas lemah. Praktis tidak larut dalam air,
gliserin, propilenglikol, larut dalam alkali hidroksida dan larutan asam mineral,
sangat mudah larut dalam aseton, benzena, etanol (96%), eter, metanol, toulena,
dan paraffin cair dan berfungsi sebagai antioksidan (Wade A, Weller PJ, 1993).
12. Strawberry essens
Strawberry essens merupakan bahan tambahan yang umum digunakan
dalam produksi makanan, obat, dan kosmetik. Beberapa dibuat dari buah strawberry
asli dan beberapa merupkan produk olahan sintetis yang memiliki aroma mirip
dengan buah strawberry namun tidak mengeluarkan rasa buah strawberry. Umum
digunakan sebagai bahan tambahan sekaligus memperbaiki mutu produk.
2.2 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disusun hipotesis awal penelitian
sebagai berikut:
1. Ekstrak pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.) dapat diformulasikan
sebagai sediaan kosmetika lip matte liquid.
30

2. Mutu dari sediaan lip matte liquid ekstrak daun teak (Tectona grandis
Linn.) dapat diketahui dari berbagai evaluasi karakteristik fisik sediaan.
3. Keamanan mutu terkait iritasi dermal akut dari sediaan lip matte liquid
ekstrak daun teak (Tectona grandis Linn.) tergolong dalam sediaan non
iritatif.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian
Obyek yang diteliti adalah kandungan senyawa antosianin dalam ekstrak
pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.) dan pengaruhnya dalam memberikan
warna alami pada formulasi sediaan kosmetika jenis lip matte liquid.

3.2 Sampel dan Teknik Sampling


Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah pucuk daun teak (Tectona
grandis Linn.) yang diperoleh dari Dusun Karangbolo, Kecamatan Ungaran Barat,
Kabupaten Semarang. Teknik sampling dengan sampling acak sederhana atau
simple random sampling.

3.3 Variabel Penelitian


1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu : Konsentrasi ekstrak pucuk daun teak
yang digunakan yaitu, 10%, 20%, 30%
2. Variabel Terikat : warna yang dihasilkan dan efek samping iritasi dari sediaan.
3. Variabel Terkontrol :
a. Waktu ekstraksi
b. Suhu ekstraksi
c. pH ekstraksi
d. Digunakan pelarut campuran aquadest dan dapar sitrat pH 3 untuk ekstraksi.
e. Digunakan teknik ekstraksi berbantu gelombang ultrasonik
f. Waktu pemaparan uji iritasi akut dermal
g. Usia, berat badan, jenis kelamin kelinci sebagai hewan uji
h. Dosis pemaparan sediaan lip matte liquid ekstrak pucuk daun teak

3.4 Teknik Pengumpulan Data


3.4.1 Bahan dan Alat yang Digunakan
3.4.1.1 Alat yang Digunakan
1. Alat untuk pembuatan ekstrak kental terdiri dari: labu alas bulat leher tiga,
ultrasonikator, termometer, pendingin balik, klem, statif, rotary evaporator.

31
32

2. Alat untuk pembuatan lip matte liquid terdiri dari: cawan porselen, hotplate,
mortar dan stamper, neraca, beaker glass, gelas ukur, magnetik stirer.
3. Alat untuk evaluasi sifat fisika-kimia lip matte liquid terdiri dari: cover glass dan
deck glass, pH meter, termometer, beaker glass, nyala bunsen, tabung reaksi,
viskometer.
4. Alat untuk uji iritasi akut dermal terdiri dari: silet atau cutter, plester, kain kassa,
aplikator.

3.4.1.2 Bahan yang Digunakan


1. Bahan untuk pembuatan ekstrak kental terdiri dari: daun jati muda, larutan dapar
sitrat pH 3.0, dan aquadest.
2. Bahan untuk pembuatan lip matte liquid terdiri dari: aquadest, glycerin, isopropil
palmitat, asam stearat, dimethicone, setil alkohol, gliseril stearat, titanium
dioxide, talc, mica powder, BHT, ekstrak kental pucuk daun teak, strawberry
essence.

3.4.2 Formula
Formula yang digunakan untuk membuat lip matte liquid adalah:v
Fase Nama Bahan Jumlah (%) Kegunaan
Ekstrak kental pucuk daun 10.0 20.0 30.0 Cosmetic colorant
teak
A
Glycerin 10.0 10.0 10.0 Humectant
Aquadest Solvent
Isopropil palmitat 10.0 10.0 10.0 Emollient
Asam stearat 10.0 10.0 10.0 Emulsifying agent
Dimethicone 7.5 7.5 7.5 Emollient, water
B repelling agent
Setil alkohol 6.0 6.0 6.0 Emulsifying and
stiffening agent
Glyceril stearat 2.0 2.0 2.0 Stabilizer
Titanium diokside 2.0 2.0 2.0 White pigment
Talc 5.0 5.0 5.0 Amticaking agent
C Mica powder 1.0 1.0 1.0 Pigment
BHT 0.1 0.1 0.1 Preservative
Strawberry essens 0.1 0.1 0.1 Cosmetic odorant
33

3.4.3 Prosedur Kerja


3.4.3.1 Determinasi Tanaman Teak
Determinasi dilakukan terlebih dahulu untuk memperoleh kepastian bahwa
tanaman yang digunakan pada penelitian berasal dari tanaman yang dimaksud,
sehingga kemungkinan timbulnya kesalahan dalam pengumpulan bahan penelitian
dapat dihindari. Identifikasi dan determinasi tanaman teak (Tectona grandis Linn.)
dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Tumbuhan Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi “Yayasan Pharmasi Semarang”.
3.4.3.2 Penyiapan Simplisia
Dipilih pucuk dan daun muda yang masih utuh atau tidak rusak, kemudian
daun dibersihkan. Daun kemudian dirajang menggunakan pisau dan dilumatkan
menggunakan lumpang-alu.
3.4.3.3 Pembuatan Ekstrak Kental Pucuk Daun Teak
Daun teak bagian pucuk yang sudah dihancurkan kemudian ditimbang
sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Ke dalam labu tersebut
ditambahkan pelarut campuran aquadest dan dapar sitrat pH 3.0 dengan
perbandingan daun teak:pelarut adalah 1:20. Selanjutnya disusun perangkat
ekstraksi berupa pendingin balik yang dipasang pada leher labu. Perangkat yang
sudah disusun diletakkan dalam bak cuci USG dengan bantuan penyangga klem
dan statif, kemudian diatur frekuensi gelombang ultrasonik pada 40 Hz dan suhu
ekstraksi dijaga pada 40℃ dalam tekanan atmosfer. Dilakukan ekstraksi selama 20
menit. Kemudian dipisahkan sari dan ampas dengan menggunakan penyaring
vakum. Filtrat kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator.
3.4.3.2 Pembuatan Sediaan Lip Matte Liquid
Ditimbang ketiga bahan fase A kemudian dimasukkan ke dalam beaker glass
dan diaduk menggunakan magnetik stirer hingga tercampur homogen. Kemudian
dilakukan penimbangan bahan-bahan fase B dan dilebur dalam cawan porselen di
atas penangas air. Selanjutnya dicampurkan campuran fase A ke dalam campuran
fase B sambil diaduk di atas magnetik stirer dengan kecepatan rendah hingga benar-
benar homogen. Kemudian ditimbang bahan fase C satu per satu kecuali essens dan
dicampur dalam lumpang dengan alu hingga homogen. Setelah itu, masukkan
34

campuran fase A dan B ke dalam fase C lalu aduk perlahan hingga homogen.
Terakhir, setelah sediaan tercampur homogen, ditambahkan odorant atau
strawberry essens untuk meningkatkan mutu fisik sediaan.
3.4.3.3 Evaluasi Sediaan Lip Matte Liquid
1. Uji organoleptis
Sediaan lip matte liquid ekstrak pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.) diamati
bentuk, warna, dan bau selama penyimpanan (Ansel, 1998).
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediaan
lip matte liquid ekstrak pucuk daun jati teak (Tectona grandis Linn.) pada kaca
transparan. Sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak
terlihat adanya butir-butir kasar (Depkes RI 1979).
3. Uji daya oles
Uji daya oles dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan lip matte liquid
ekstrak pucuk daun teak (Tectona grandis Linn.) pada kulit punggung tangan
kemudian mengamati banyaknya warna yang menempel dengan perlakuan 5 kali
pengolesan. Sediaan dikatakan mempunyai daya oles yang baik jika warna yang
menempel pada kulit punggung tangan banyak dan merata dengan beberapa kali
pengolesan pada tekanan tertentu. Sedangkan sediaan dikatakan mempunyai
daya oles yang tidak baik jika warna yang menempel sedikit dan tidak merata.
Pemeriksaan dilakukan terhadap masing-masing sediaan yang dibuat dan
dioleskan pada kulit punggung tangan dengan 5 kali pengolesan (Keithler, 1956).
4. Uji stabilitas cycling test
Pemeriksaan stabilitas sediaan dilakukan terhadap adanya perubahan bentuk,
warna dan bau dari sediaan lip matte liquid ekstrak pucuk daun teak (Tectona
grandis Linn.) dilakukan terhadap masing-masing sediaan dengan kondisi
ekstrim. Sediaan diberi perlakuan dengan siklus antara 2 suhu. Dilakukan satu
siklus pada saat sediaan krim disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam lalu
dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu 40± 2°C selama 24 jam. Percobaan ini
diulang sebanyak 6 siklus (Elya dkk., 2013).
35

5. Uji Ph
Alat pH meter terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan dapar standar
netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan
harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan aquadest dan dikeringkan.
Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% dalam 100 ml aquadest. Kemudian
elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat menunjukkan harga
pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH-meter merupakan pH sediaan
(Rawlins,2003).
6. Uji iritasi akut dermal
Uji iritasi akut dermal adalah suatu uji pada hewan (kelinci albino) untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemaparan sediaan uji pada dermal
selama 3 menit sampai 4 jam. Prinsip uji iritasi akut dermal adalah pemaparan
sediaan uji dalam dosis tunggal pada kulit hewan uji dengan area kulit yang tidak
diberi perlakuan berfungsi sebagai kontrol. Derajat iritasi dinilai pada interval
waktu tertentu yaitu pada jam ke 1, 24, 48 dan 72 setelah pemaparan sediaan uji
dan untuk melihat reversibilitas, pengamatan dilanjutkan sampai 14 hari. Tujuan
uji iritasi akut dermal adalah untuk menentukan adanya efek iritasi pada kulit
serta untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik suatu zat apabila terpapar
pada kulit. Digunakan 3 hewan uji, masing-masing dibuat 1 tempelan dengan
periode pemaparan selama 4 jam. Residu sediaan uji segera dihilangkan
menggunakan air atau pelarut lain setelah pemaparan 4 jam (PerKBPOM No.7
Tahun 2014).
3.4.4 Skema Kerja
1. Pembuatan ekstrak kental pucuk daun teak
Dimasukkan 1 gram serbuk pucuk daun teak (65-80 mesh) ke dalam
labu alas bulat leher 3

Ditambahkan 200 mL campuran


aquadest+dapar sitrat pH 3.0

Diekstrak dengan bantuan bak USG 40 Hz bersuhu 60℃ selama 20 menit.


36

Disaring hasil ekstraksi dengan penyaring vakum

Dipekatkan dengan rotary evaporator dan dihitung rendemennya.

2. Pembuatan sediaan lip matte liquid

Ditimbang dan dicampur fase A hingga homogen

Ditimbang dan dicampur bahan fase B hingga homogen

Ditambahkan fase B ke dalam campuran fase A perlahan hingga homogen

Ditambahkan fase C sedikit demi sedikit hingga homogen

Ditambahkan fase D ke dalam campuran, aduk hingga homogen

4. Evaluasi sifat fisika-kimia sediaan lip matte liquid

Diambil sebagian sampel sediaan sesuai prosedur

Uji Uji Uji daya Uji stabilitas


organoleptis homogenitas oles Uji pH
dipercepat

5. Uji iritasi akut dermal sediaan lip matte liquid

Disiapkan hewan uji berupa kelinci yang sudah diaklimatisasi dan diukur rambut
punggungnya.

Dibagi area kulit tercukur menjadi 4 bagian untuk pemaparan sampel

Dipaparkan sediaan lip matte liquid melalui kassa steril non iritan ke area
pemaparan

Dibuka paparan sediaan uji kemudian di amati pada setiap jam pemaparan dan
jam ke 1, 12, 24, 48, dan 72 setelah pembukaan balutan patch
37

Hasil pengamatan dianalisa menggunakan sistem scoring sesuai tabel rujukan


kemudian dianalisa secara statistika.

3.5 Cara Analisis


Hasil evaluasi dianalisa langsung dengan membandingkan hasil evaluasi
terhadap prasyarat mutu pada literatur dan/atau tabel rujukan kemudian dipilih satu
formula yang terbaik dengan membandingkan mutu. Untuk membantu analisa dari
tiap sub evaluasi digunakan analisa statistik uji T terhadap kontrol dengan taraf
kepercayaan 95% menggunakan aplikasi SPSS.
BAB IV
JADWAL PENELITIAN
Tahap Lamanya Kegiatan
Persiapan 2 September 2019 s/d 21 Studi Pustaka
September 2019 Pembelian bahan kimia
Validasi alat
Pelaksanaan 23 September 2019 s/d 16 Penelitian laboratorium
November 2019 Pengumpulan data
Penyelesaian 18 November 2019 s/d 24 Analisis data
Desember 2019 Penyusunan laporan

38
DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. Cetakan IX. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Halaman 139.
Ansel H. C. 1998. Pengantar bentuk sediaan farmasi Edisi Keempat. Jakarta : UI
Press.
Aradhana, Rajuri, K.N.V.Rao., David Banji and R.K. Chaithanya. 2010. A
Review on Tectona grandis.linn: Chemistry and Medicinal Uses (Family :
Verbenaceae). Herbal Tech Industry.
Buttler, Hilda (Ed.). 2000. Poucher’s Perfumes, Cosmetics and Soaps. 10th Edition.
Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Halaman 151-216.
Departemen Kesehatan. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
___________________. 1986. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Depkes
RI.
___________________. 1993. Kodeks Kosmetik Indonesia. Ed. II VoL.I. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
___________________. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
___________________. 2000. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta:
Depkes RI.
Draelos, Zoe Diana. 2010. Cosmetic Dermatology Products & Procedures. USA:
Wiley-Blackwell
Fathinatullabibah., Kawiji., dan Lia Umi Khasanah. 2014. Stabilitas Antosianin
Ekstrak Daun Jati (Tectona grandis) terhadap Perlakuan pH dan Suhu,
Laporan Penelitian. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 3. (2) : 60-63.
Hanum, T. 2000. Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Beras Ketan
Hitam (Oryzasativaglutinosa). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 9.
(1) :
Idson B, Lazarus J. 1994. Semipadat. Di dalam: Siti Suyatmi, penerjemah;
Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL, editor. Teori dan Praktek Farmasi
Industri II. Ed ketiga. Jakarta: UI Press.
Industri Kosmetik dan Jamu Diracik Jadi Sektor Andalan
Ekspor.https://kemenperin.go.id/artikel/20810 (03 Juli 2019).

39
40

Jayasooriya SD, Torley PJ, D’Arcy BR, Bhandari BR. 2007. Effect of High Power
Ultrasound and Ageing on The Physical Properties of Bovine
Semitendinosus and Longissimus Muscles. Meat Sci. 75: 628-639.
Keil FJ. 2007. Modeling of Process Intensification Ultrasonic vs Microwave
Extraction Intensification of Active Principles from Medicinal Plants.
AIDIC Conference Series. 9 :1-8.
Keithler, W. 1956. Formulation of Cosmetic and Cosmetic Specialities. New
York: Drug and Cosmetic Industry. Halaman 153-155.
Khera, Neha dan Sangeeta Bhargava. 2013. Phytochemical and Pharmacological
Evaluation of Tectona grandis.Linn. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. 5. (3) : 923-927
Mitsui. 1997. New Cosmetic Science. New York: Elsevier.
OECD. 2000. Guidance Document on the Recognition, Assessment and Use of
Clinical Signs as Humane Endpoints for Experimental Animals Used in
Safety Evaluation. OECD Environmental Health and Safety Publications.
Series on Testing and Assessment No. 19.
http://www1.oecd.org/ehs/test/monos.htm.
_____. 2002. OECD Guideline For The Testing Of Chemicals: Acute Dermal
Irritation/Corrosion. http://www.oecd.org/env/test-no-404-acute-dermal-
irritation-corrosion-9789264242678-en.htm.
Permenkes Nomor 1175/Menkes/Per/VII/2010/ Tentang Izin Produksi Kosmetika,
Kementerian Kesehatan RI.
Qadariyah, Lailatul, Mahfud, Endah Sulistiawati, dan Prima Swastika. 2018.
Natural Dye Extraction From Teak Leves (Tectona Grandis) Using
Ultrasound Assisted Extraction Method for Dyeing on Cotton Fabric.
MATEC Web Conference 156, 05004.
Rawlins, E.A. 2003. Bentley’s Textbook of Pharmaceutics Edisi Kedelapan belas.
London: BailierreTindall. Halamane. 355
Reynold JEF. 1993. Martindale The Extra Pharmacope. Ed 30th. London: The
Pharmaceutical Press. Hal. 1068
41

Rowe, Raymon C., Paul J Sheskey, Marian E Quinn. 2009. Handbook of


Pharmaceutical Excipients. 6th Edition. London, Chicago: Pharmaceutical
Press and American Pharmacists Association.
Schmitt WH. 1996. Skin Care Products. Di dalam Williams DF and Schmitt WH,
editor. Chemistry and Technology of The Cosmetics and Toiletries Industry.
2nd Ed. London: Blackie Academe and Profesional.
Seafast. 2007. Perkembangan teknologi untuk nilai tambah sawit.
http://seafast.ipb.ac.id. [2 Oktober 2007].
Setyawati R. dan Meldina R. Pratama. 2018. The Usage of Jati Leaves Extract
(Tectona grandis L.f) as Color of Lipstick. Traditional Medicine Journal.
23. (1) : 16-22.
Sholihah M. 2016. Ultrasonic-assisted extraction antioksidan dari kulit manggis.
Thesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Skincare Alphabet: M Is For Mica. https://www.vogue.co.uk/article/skincare-
alphabet-what-is-mica [2 Agustus 2016].
Stahl, E. 1985. Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi. Diterjemahan
oleh Padmawinata, K dan Soediro. Bandung : ITB
Sumarna, Yana. 2011. Kayu Jati, Panduan Budidaya Dan Prospek Bisnis.
Jakarta : Penebar Swadaya : 5, 19.
Tranggono, R.I. dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.
Jakarta: Penerbit Pustaka Utama.
United Nations. 2009. Globally Harmonised System (GHS) for The Classification
of Chemical. 3rd Revised Edition. United Natioms: New York and Geneva.
Halaman 17-22, 121-144.
Wade A, Weller PJ. 1994. Hanbook of Pharmaceutical Excipients ed 2nd. London:
The Pharmaceutical Press. Hal. 99, 407.
Yahya, Marzuqi. 2011. Jati Emas Kultur Jaringan, Cara Tepat Dan Cepat
Menghasilkan Jati Berkualitas. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka : 5.

Anda mungkin juga menyukai