Anda di halaman 1dari 75

PRAKTIKUM FITOKIMIA

PEMISAHAN, ISOLASI, DAN IDENTIFIKASI ALKALOID

GOLONGAN : I
HARI/TANGGAL PRAKTIKUM: SENIN/3 SEPTEMBER 2018 – 12
NOVEMBER 2018

DISUSUN OLEH:
PUTU ANDIKA DHANANJAYA (1608551011)
A.A. GDE JAYA SANTIKA (1608551012)
PUTU YUNITA (1608551013)
NI KADEK CORNELIA AYU TRISNA (1608551014)
ADE ARI SUNDARI (1608551016)
MADE DEWI WIDYASTUTI (1608551017)
NI KADEK KARYAWATI (1608551018)
NI WAYAN INTAN INDAYANTI (1608551020)
I WAYAN AGUS WIDIANTARA (1608551021)

Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia


Program Studi Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana
Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia kaya akan sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara
megabiodiversity terbesar di dunia, menduduki urutan kedua setelah Brazil yang
memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Di Indonesia terdapat 30.000 jenis
tumbuhan memiliki kandungan obat namun baru sekitar 1.200 jenis tumbuhan obat
yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional. Dengan kekayaan flora
tersebut, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan produk herbal yang
kualitasnya setara dengan obat modern yang digunakan untuk pencegahan dan
pengobatan suatu penyakit (Sub Bidang Jaringan Informasi Puslitbang Biomedis dan
Farmasi, 2007).
Salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai obat adalah tanaman kina.
Tanaman kina banyak digunakan sebagai obat antimalaria, antipiretik serta stomakik.
Khasiat obat tersebut diberikan oleh metabolit sekunder alkaloid yang dikandung oleh
tanaman kina. Pada tanaman kina kurang lebih mengandung 35 macam alkaloid
kuinolin, namun hanya empat macam kuinolin utama yaitu kuinin, kuinidin, sinkonin
dan sinkonidin. Kuinolin banyak ditemukan di dalam kulit batang tanaman kina,
sedangkan pada bagian lain seperti kayu, buah dan daun hanya ditemukan dalam kadar
yang relatif sedikit. Alkaloid kuinin digunakan sebagai obat antimalaria, sedangkan
kuinidin selain digunakan sebagai obat anti malaria juga dapat digunakan sebagai obat
untuk menormalkan denyut jantung yang tidak teratur. Seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, kinin dan alkaloid lainnya, yaitu sinkonin juga dimanfaatkan dalam
dunia industri, yaitu sebagai katalis penting dalam proses sintesa industri farmasi,
sebagai fungisida yang ramah lingkungan, serta sebagai pelembap dalam industri
kosmetik (Depkes RI, 1980; Mathius, dkk., 2004; Wibisana, 2010).
Berdasarkan penelitian oleh Syaikhul dkk (2012) kulit batang kina
mengandung senyawa sitostenon dan senyawa sitosterol, selain itu ekstrak kulit batang
kina juga mengandung senyawa flavonoid, saponin, dan polifenol. Banyaknya
kandungan senyawa selain kinin yang terdapat pada kulit batang kina menyebabkan
ekstrak dari kulit batang kina tidak hanya mengandung senyawa kinin yang memiliki
efek farmakologi. Kandungan alkaloid lain serta senyawa lain dalam kulit batang kina
(C. succirubra) dapat menyebabkan efek farmakologi yang ditimbulkan tidak optimal
saat penggunaan langsung. Selain itu, senyawa lain yang terkandung dapat
menyebabkan efek farmakologi lain yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode pemisahan, isolasi, dan identifikasi
agar diperoleh senyawa murni berupa kinin. Tahapan isolasi dari senyawa kinin ini
diantaranya ekstraksi serbuk kulit batang kina dengan menggunakan metode sokletasi,
deffating, skrining fitokimia, ekstraksi cari-cair, identifikasi dengan menggunakan

1
KLT dengan pereaksi kimia, pemisahan dengan kromatografi vakum cair, KLT hasil
kromatografi vakum cair, KLT preparatif, KLT hasil kromatografi preparatif serta
identifikasi dengan KLT densitometri.

1.2 Tujuan Praktikum


1.2.1. Mampu melakukan pemisahan senyawa alkaloid dari komponen lain dari
serbuk kulit batang kina (Cinchona succirubra) dengan metode ekstraksi
sokletasi.
1.2.2. Mengetahui prinsip ekstraksi senyawa alkaloid dari serbuk kulit batang kina
(Cinchona succirubra) dengan metode sokletasi.
1.2.3. Mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman Cinchona
succirubra secara kualitatif.
1.2.4. Identifikasi senyawa alkaloid dalam ekstrak kulit batang kina dengan skrining
fitokimia.
1.2.5. Mampu Memahami prinsip isolasi alkaloid kinin dengan metode ekstraksi cair-
cair.
1.2.6. Mahasiswa dapat melakukan metode ekstraksi cair-cair dengan baik dalam
pemisahan fase air dan fase organik.
1.2.7. Mahasiswa mampu melakukan penguapan pelarut pada fase air dan etil asetat
hingga diperoleh ekstrak kental.
1.2.8. Mengetahui prinsip pemisahan senyawa alkaloid dengan metode Kromatografi
Lapi Tipis.
1.2.9. Mampu melakukan identifikasi senyawa alkaloid kinin dengan menggunakan
pereaksi kimia H2SO4 10%.
1.2.10. Mampu melakukan fraksinasi alkaloid kinin dari ekstrak kulit batang kina
(Cinchona succirubra) dengan metode kromatografi vakum cair.
1.2.11. Mampu melakukan identifikasi alkaloid kinin dari ekstrak kulit batang kina
(Cinchona succirubra) dari hasil kromatografi vakum cair dengan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan dengan pereaksi semprot.
1.2.12. Mampu melakukan dentifikasi alkaloid kinin dari ekstrak kulit batang kina
(Cinchona succirubra) dari hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dengan
metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLT P).
1.2.13. Mampu menetapkan kadar alkaloid kinin ekstrak kulit batang kina (Cinchona
succirubra) dengan metode KLT Spektrofotodensitometer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit Kina (Cinchona succirubra Cortex)
Kulit kina adalah kulit batang dan kulit dahan Cinchona succirubra. Jumlah
kadar alkaloida tidak kurang dari 7% dihitung sebagai kinina (C20H24N2O2). Kulit kina
memiliki pemerian yaitu bau khas, rasa pahit, dan kelat. Serbuk berwarna coklat merah.
Kulit kina mengandung alkaloida terdiri dari alkaloida kinina, kinidina, sinkonina,
sinkonidina, asam kinat, asam kinatanat, dan zat merah kina. Kulit kina digunakan
sebagai anti malaria, antipiretik, stomatik (Depkes RI, 1980).
Kinina (C20H24N2O2. 3H2O) merupakan alkaloid utama dari berbagai spesies
Cinchona (Rubiaceae). Kinina adalah stereoisomer levo dari kuinidin. Berwarna putih,
sedikit berkilau, berbentuk granular atau kristal mikro. Kinina memiliki titik leleh pada
57oC dengan berat molekul 378,5 gram/mol. Larut 1 dalam 1900 bagian air, 1 dalam
760 bagian air mendidih, 1 dalam 0,8 bagian alkohol, 1 dalam 80 bagian benzen, 1
dalam 1,2 bagian kloroform, 1 dalam 250 bagian eter kering, dan 1 dalam 20 bagian
gliserol (Moffat et al., 2011).

Gambar 1. Struktur Kinina (Moffat et al., 2011).


2.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan
perpindahan zat terlarut kedalam pelarut. Untuk memperoleh ekstrak yang baik dapat
dilakukan ekstraksi secara bertingkat dimulai dari pelarut non polar (n-heksana,
sikloheksana, toluene, kloroform), kemudian dengan pelarut semipolar (diklorometan,
dietil eter atau etil asetat) dan polar (metanol, etanol, atau air) sehingga diperoleh
ekstrak yang mengandung berturut-turut senyawa non polar, semi polar, dan polar
(Siregar, dkk., 2012).
2.3 Sokletasi
Metode ekstraksi sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru dan umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin yang baik
(Depkes RI, 2000). Prinsip metode sokletasi ini adalah penyarian berulang-ulang
dengan tujuan agar penyaringan lebih sedikit dan pelarut yang dipakai relatif sedikit.
Biasanya pelarut yang digunakan adalah pelarut yang muedah menguap atau memiliki
titik didih yang rendah. Pelarut yang sesuai dimasukkan ke dalam labu dan diatur suhu
penangasnya (Mukhriani, 2014).

3
Gambar 2. Alat Sokletasi.
Sumber: Winefordner, 2003.
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh pengembangan bahan tanaman, difusi, pH,
ukuran partikel, temperatur, pemilihan pelarut dan banyaknya pelarut yang digunakan
karena semakin banyak pelarut, maka semakin banyak senyawa yang tertarik dari
bahan yang diekstraksi (Harborne, 1987).
Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinyu, sampel
terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak
pelarut dan tidak memakan banyak waktu. Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat
termolabil dapat terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus menerus berada pada
titik didih (Prasetyo, 2015).
2.4 Penguapan Pelarut
Penguapan merupakan proses terbentuknya uap dari permukaan cairan. Pada
penguapan ekstrak kental terbentuk sangat lambat, sehingga cairan tersebut harus
mendidih (Ditjen POM, 1986). Tujuan dari penguapan adalah untuk memekatkan
larutan yang terdiri dari zat terlarut yang terdiri dari zat terlarut yang tidak mudah
menguap. Metode yang digunakan dalam proses penguapan pelarut yaitu penguapan
sederhana dengan menggunakan pemanasan, penguapan dengan tekanan yang
diturunkan, penguapan dengan cairan gas, beku kering, vakum, destilator dan oven.
(Tobo, 2001).
2.5 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian
fitokimia yang bertujuan memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan
dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna.
(Kristanti dkk., 2008).
a) Uji untuk Flavonoid
Flavonoid umumnya memiliki ikatan dengan gugus gula yang menyebabkan
flavonoid lebih mudah larut dalam air atau pelarut polar (Markham, 1988). Diamati
dengan sinar UV 366 nm hasil positif mengandung flavonoid ditunjukkan dengan
larutan berfluoresensi kuning intensif (Depkes RI, 1989).
b) Uji untuk Steroid dan Triterpenoid

4
Pengujian steroid/triterpenoid didasarkan pada kemampuan senyawa untuk
membentuk warna dengan H2SO4 pekat dalam pelarut asamasetat anhidrida
(Simaremare, 2014). Hasil positif mengandung senyawa golongan triterpenoid
ditunjukkan dengan timbulnya cincin kecoklatan atau violet. Sedangkan hasil positif
mengandung senyawa golongan steroid ditunjukkan dengan timbulnya cincin biru
kehijauan (Ciulei, 1984).
c) Uji untuk Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta
dapat dideteksi berdasrkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dalam air dan
menghidrolisis sel darah merah (Robinson, 1991).
d) Uji untuk Alkaloid
Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai dengan terbentuknya endapan putih
hingga kekuningan, dan hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff ditandai dengan
terbentuknya endapan jingga (Jones dan Kinghorn, 2006).
2.6 Ekstraksi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu cara yang digunakan untuk praperlakuan
sampel atau clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dari komponen-
komponen matriks yang mungkin mengganggu pada saat kuantifkasi atau deteksi
analit. Ekstraksi cair-cair juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam
sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan deteksi
atau kuantifikasinya. Ekstraksi cair-cair biasanya dilakukan dengan menggunakan
corong pisah dalam waktu beberapa menit (Gandjar dan Rohman,2007). Secara
sederhana, dalam ekstraksi cair-cair suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut
organik yang tidak campur dengan air. Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi
Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa “pada konsetrasi dan tekanan yang
konstan analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut
yang tidak saling campur” (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.7 Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan
migrasi dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam dan fase
gerak (Depkes RI, 1995). Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan
sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair, Jika fase diam
berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (adsorpsi),
jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (pembagian). Saat ini kromatografi
merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan, baik
untuk analisis kualitatif, kuantitatif atau preparatif dalam bidang farmasi, industri dan
sebagainya (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.7.1 Kromatografi Lapis Tapis
Kromatografi lapis tipis termasuk kromatografi adsorpsi, dimana sebagai fase
diam digunakan zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat

5
cair yang disebut sebagai larutan pengembang (Gritter dkk., 1991). Kromatografi lapis
tipis merupakan jenis kromatografi dimana fase diamnya berupa lapisan yang seragam
(uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium, atau pelat plastik. Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan
penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μ m (Gandjar dan
Rohman, 2007). Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Pemilihan pelarut didasarkan atas prinsip like disolves like dan pada
keterpisahan senyawa-senyawa dalam analit yang didasarkan pada nilai Rf dan hRf
(Gandjar dan Rohman, 2007).
KLT memiliki beberapa keuntungan, yaitu KLT banyak digunakan untuk tujuan
analisis; identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
fluoresensi atau menggunakan UV; dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending),
menurun (descending), atau dengan cara elusi dua dimensi; serta memiliki ketepatan
penetapan kadar yang lebih baik karena komponen yang ditentukan berupa bercak yang
bergerak (Gandjar dan Rohman, 2007). Parameter dasar yang digunakan untuk
menjelaskan migrasi pada KLT adalah nilai Rf, dimana :
jarak elusi analit dari titik awal penotolan
Rf 
jarak muka pelarut dari titik awal penotolan
jarak elusi analit dari titik awal penotolan
hR f  x100
jarak muka pelarut dari titik awal penotolan
(Gandjar dan Rohman, 2007).
2.7.2 Kromatografi Vakum Cair
Kromatografi vakum cair merupakan salah satu kromatografi kolom khusus yang
biasanya juga menggunakan silika gel berukuran 60, 63-200 mikrometer sebagai
adsorben. Prinsip kromatografi vakum cair yaitu perbedaan distribusi senyawa-
senyawa kimia pada pelarut sebagai fasa gerak dan pada fasa diam seperti silika gel.
Senyawa-senyawa yang diadsorpsi secara lemah akan dielusi lebih cepat daripada
senyawa-senyawa yang diadsorpsi secara kuat. Pada kolom vakum cair, kolom yang
digunakan lebih pendek dari pada kromatografi kolom konvensional, agar pemisahan
tidak terlalu lama. Kolom dikemas kering agar diperoleh kerapatan adsorben yang
maksimum (Kristanti et al., 2008).
Metode Kromatografi vakum cair menggunakan tekanan untuk mendorong eluen,
agar eluen dapat melalui adsorben pada kolom sehingga dapat mempercepat proses
pemisahan. Kolom dielusi dengan pelarut yang cocok, mulai dari kepolaran rendah lalu
ditingkatkan perlahan-lahan. Langkah pemisahan menggunakan kromatografi vakum
cair biasanya dilakukan pada tahap awal pemisahan (Kristanti et al., 2008).
2.7.3 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
KLT Preaparatif merupakan metode pemisahan yang ditujukan untuk
memisahkan analit dalam jumlah yang banyak lalu senyawa yang dipisahkan ini
dianalisis lebih lanjut misalkan dengan spektrofotometri atau dengan teknik
kromatografi lainnya (Gandjar dan Rohman, 2007). Pada KLT Preparatif, sampel

6
ditotolkan pada fase diam berupa bercak atau pita (Grinberg, 1990). Bercak yang
mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilalukan analisis lebih lanjut
(Gandjar dan Rohman, 2007). Fase gerak yang umum digunakan pada pemisahan
KLTP adalah n-heksan, etil asetat, n-heksan-aseton, dan kloroform-metanol,
sedangkan untuk adsorben yang paling umum digunakan pada KLTP adalah silika gel
dengan ketebalan 0,5-0,2 mm (Markham, 1988). Konsentrasi sampel yang baik adalah
sekitar 5-10% dengan penotolan berbentuk pita yang sesempit mungkin, karena baik
tidaknya pemisahan juga bergantung pada lebarnya pita. Rf kinin pada fase gerak
menggunakan kloroform : metanol (9:1 v/v) adalah 0,11 (Moffat et al., 2005).
Kelebihan dari penggunaan KLT preparatif adalah biaya yang digunakan murah
dan memakai peralatan dasar. Kekurangannya antara lain adanya kemungkinan
senyawa yang diambil dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan dalam
proses pemisahan cukup panjang, adanya pencemar setelah proses ekstraksi senyawa
dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang 40%-50% dari bahan
awal (Kristianti dkk., 2008).
2.7.4 KLT-Densitometri
KLT –Densitometri merupakan suatu metode analisis yang dapat digunakan
untuk mendapatkan hasil secara kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan dari metode ini
adalah dapat digunakan untuk menganalisis komponen dalam campuran dalam waktu
yang singkat, relatif sederhana, murah, mudah dan dapat digunakan untuk menentukan
senyawa yang memiliki kadar rendah (Sugijanto dkk., 2010).
Analisis KLT secara kuantitatif dengan metode densitometri didasarkan pada
interaksi elektromagnetik analit yang berupa noda pada plat KLT. Interaksi antara
gelombang elektromagnetik dengan analit terjadi berdasarkan absorbsi, transmisi dan
pantulan pendar fluor dari radiasi semula. Metode instrumental ini memiliki jangkauan
panjang gelombang 190 nm - 800 nm (Hadiprabowo, 2009).
Kinin dapat ditetapkan kadarnya secara kuantitatif dengan metode KLT
densitometri. Kini memiliki panjang gelombang maksimum pada kondisi asam adalah
250 nm dengan A 11 = 959, 317 nm, dan 346 nm. Panjang gelombang kinin pada kondisi
basa adalah 280 dan 330 nm (Moffat et. al., 2011). Identifikasi secara kualitatif kinin
dengan KLT densitometri selain dilihat dari nilai Rf, juga dapat dilihat dari spektrum
kinin, dengan spektrum sebagai berikut:

Gambar 2.2 Spektrum Senyawa Kinin (Winarno, 2006).

7
BAB III
CARA KERJA
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Timbangan analitik q. Oven
b. Kertas perkamen r. Water bath
c. Beaker glass s. Tabung reaksi
d. Botol vial t. Gelas objek
e. Pipet tetes u. Corong pisah
f. Pipet ukur v. Statuf
g. Ballfiller w. Labu ukur
h. Gelas ukur x. Pinset
i. Sendok tanduk y. Kolom
j. Tali kasur z. Kertas saring
k. Kertas saring a.a Kertas kalkir
l. Seperangkat alat sokhlet a.b Mikrokapiler 2 μL
m. Batang pengaduk a.c Plat KLT Al Silika Gel GF 254
n. Cawan porselin a.d Camag TLC Scanner 5
o. Plastik ikan
p. Aluminium foil
3.1.2 Bahan
a. Serbuk kulit batang kina j. Kloroform
(Cinchona succirubra Cortex) k. Asam asetat
b. Metanol l. H2SO4 37% b/b
d. HCl 37% b/b m. Asam borat
e. Akuades n. Asam oksalat
f. Peraksi Dragendrof o. Etil asetat
g. Pereaksi Mayer p. Amonia cair
h. Pereaksi Wagner q. Glass wol
i. Eter r. Serbuk silika
3.2 Cara Kerja
3.2.1 Defatting dan Ekstraksi
a. Ekstraksi dengan Metode Sokletasi

Ditimbang 25 mg serbuk kulit batang kina di atas kertas perkamen dengan


menggunakan timbangan analitik

Dibungkus serbuk kulit kina dengan menggunakan kertas saring dan


diikat dengan menggunakan tali kasur

8
Diukur 250 mL metanol kemudian dimasukkan kedalam labu alas bundar

Alat soklet dirangkai dan serbuk kulit batang kina yang telah dibungkus
dimasukkan kedalam kelongsong

Serbuk disokletasi pada suhu 750C. Dilakukan sirkulasi hingga pelarut


metanol dalam kelongsong berwarna bening

Filtrat yang diperoleh disaring dan volumenya diukur

Filtrat ditampung dalam cawan porselin, kemudian diuapkan hingga


diperoleh ekstrak kental

3.2.2 Penguapan Pelarut


a. Penguapan Ekstrak Metanol Cinchona succirubra Cortex

Cawan porselin ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik

Esktrak metanol kulit batang kina dimasukkan kedalam cawan porselin


dan diuapkan dengan oven pada suhu 40oC

Ekstrak kental ditimbang kembali dengan timbangan analitik dalam


cawan porselin

Esktrak kental dipindahkan kedalam botol vial yang telah ditimbang

Esktrak kental dalam botol vial ditimbang dengan timbangan analitik

Botol vial dibungkus dengan aluminium foil dan plastik ikan serta
ditempatkan pada lemari pendingin

3.2.3 Skrining Fitokimia


a. Pembuatan Larutan Uji

10 mg ekstrak ditimbang diatas beaker glass dengan timbangan analitik

Ekstrak dilarutkan dengan 10 mL metanol, diaduk hingga homogen

b. Pembuatan HCl 2N dari HCl 37% b/b

1
Perhitungan
- Diketahui : BJ HCl = 1,19 gram/cm3
BM HCl = 36,5 gram/mol
- Ditanya : Berapa volume HCl 37% b/b yang dipipet?
- Jawab :
N
M = ; Ek HCl = 1 gram/Ek
Ek
2N
M = =2M
1 gram/Ek

massa 1000
M = x
Mr V (mL)
37 1000
= x = 12,06 M
36,5 100/1,19
M1.V1 = M2.V2
12,06 M.V1 = 2 M. 5 mL
2.5
V1 = = 0,83 mL
12,06
Maka, volume HCl 37% b/b yang dipipet adalah 0,83 mL
Skema Kerja
Labu ukur 5 mL ditambahkan dengan akuades

Dipipet 0,83 mL HCl 37% b/b kemudian dimasukkan kedalam labu ukur

Ditambahkan akuades kedalam labu ukur hingga tanda batas, digojog


hingga homogen
c. Uji Alkaloid

Ekstrak kulit batang kina ditimbang sebanyak 15 mg dengan timbangan


analitik dalam beaker glass

Kedalam beaker glass ditambahkan 3 mL etil asetat dan 5 mL HCl 2N

Larutan yang diperoleh disaring dengan menggunakan kertas saring


hingga diperoleh 2 fase

Dipisahkan kedua fase (fase atas merupakan fase organik dan fase bawah
merupakan fase air)

2
Pengujian dilakukan pada gelas objek, fase air diteteskan beberapa tetes
pada 4 gelas objek kemudian masing-masing gelas objek diteteskan
pereaksi Wagner, Mayer dan Dragendrof serta 1 gelas objek digunakan
sebagai blanko

Endapat diamati, hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan


coklat pada penambahan pereaksi Wagner, warna kuning pada
penambahan pereaksi Mayer, dan warna jingga pada penambahan
pereaksi Dragendrof

d. Uji Flavonoid

Larutan ekstrak uji ditambahkan dengan 1 mL aseton P sehingga menjadi


basa

Sedikit serbuk asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P ditambahkan

Dipanaskan hati-hati diatas penangas air dan hindari terjadinya


pemanasan berlebih

Residu ditambahkan dengan 10 mL eter P

Diamati dibawah UV 366 nm

Larutan berfluoresensi kuning intensif menunjukkan terdapatnya senyawa


flavonoid

e. Uji Umum Steroid dan Triterpenoid

Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan menggunakan


pereaksi Liebermann-Burchard dengan menguapkan 2 mL larutan uji
dalam cawan porselin

Residu diuapkan dengan 5 mL kloroform kemudian ditambahkan dengan


2 mL asam asetat anhidrat

Asam sulfat pekat sebanyak 2 mL ditambahkan secara perlahan melalui


dinding tabung

Terbentukna cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan


menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan apabila muncul cincin biru
kehijauan menunjukkan adanya steroid

3
f. Uji Umum Saponin

Larutan uji sebanyak 10 mL dikocok secara vertikal selama 10 detik

Didiamkan selama 10 detik

Diamati pembentukan busa, apabila terjadi pembentukan busa setinggi 1-


10 cm yang stabil selama ± 10 menit menunjukkan adanya saponin dan
ditambahkan 1 tetes HCl 2N busa tidak hilang

3.2.4 Ekstraksi Cair-Cair dan Penguapan Pelarut


a. Pembuatan H2SO4 10% v/v
Perhitungan
- Diketahui :
H2SO4 tersedia = H2SO4 97% b/b
Volume yang dibuat = 10 mL
BJ H2SO4 = 1,84 g/cm3
BM H2SO4 = 98,08 g/mol
- Ditanya:
Voluem H2SO4 97% b/b yang dipipet?
- Jawab:
massa 1000
MH2SO4 97% b/b = x
Mr V (mL)
97 1000
= x
98,08 100/1,84
= 0,989 x 18,41
= 18,21 M
massa 1000
MH2SO4 10% v/v = x
Mr V (mL)
10.1,84 1000
= x
98,08 100
= 0,1 x 18,39
= 1,88 M
M1.V1 = M2.V2
18,21 M. V1 = 1,88 M. 10 mL
V1 = 1,03 mL
Maka, volume H2SO4 97 b/b yang dipipet adalah 1,03 mL
Skema Kerja
Metanol dimasukkan kedalam labu ukur 10 mL

4
Dimasukkan 1,03 mL H2SO4 97% b/b kedalam labu ukur yang telah berisi
akuades

Ditambahkan metanol hingga tanda batas, digojog hingga homogen

b. Ekstraksi Cair-Cair dan Penguapan Pelarut


Ekstrak yang diperoleh dibagi 2:1 bagian, 20 mg untuk KLT dan sisanya
digunakan untuk ekstraksi cair-cair

Ditambahkan 10 mL asam sulfat 10% kedalam ekstrak

Larutan ekstrak dalam asam sulfat 10% dipartisi dalam corong pisah
menggunakan 30 mL etil asetat sebanyak 3 kali

Fase air dan fase etil asetat I ditampung, fase air ditambahkan dengan 1
mL amonia cair

Dilakukan partisi kedua dengan 30 mL etil asetat sebanyak 3 kali

Fase air dan fase etil asetat II ditampung

Diambil 5 mL dari ketiga fraksi hasil pemisahan (fase air, fase etil asetat
I, fase etil asetat II), diuapkan pelarutnya

Residu ditambahkan 2 mL metanol untuk identifikasi KLT, sisanya


digunakan untuk pemisahan lebih lanjut

3.2.5 KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia


a. Pembuatan Fase Gerak
Perhitungan
Diketahui : Perbandingan kloroform : metanol (9:1) v/v
Volume fase gerak yang dibuat 10 mL
Ditanya : Berapa volume kloroform dan metanol yang dipipet?
Jawab :
9
Kloroform = 𝑥 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10
1
Metanol = 𝑥 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10

5
Jadi, volume kloroform yang dipipet adalah 9 mL dan metanol yang dipipet
adalah 1 mL.
Skema Kerja

Dipipet kloroform sebanyak 9 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu


ukur 10 ml

Dipipet metanol sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu


ukur yang sama

Digojog hingga homogen dan diberi label

b. Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%


Perhitungan
Diketahui : C H2SO4 yang tersedia = 97% b/b
C H2SO4 yang dibuat = 10% b/b
Volume yang dibuat = 10 mL
BM H2SO4 = 98,08 gram/mol
BJ H2SO4 = 1,84 gram/ml
Ditanya : Berapa H2SO4 10% yang dipipet?
Jawab :
Molaritas H2SO4 10%
10 1000
M= 𝑥 = 1,88 M
98,08 100/1,84
Molaritas H2SO4 97%
97 1000
M= 𝑥 = 18,197 M
98,08 100/1,84
Volume H2SO4 97% yang dipipet
M1 x V1 = M2 x V2
18,197 M x V1 = 1,88 M x 10 mL
V1 = 1,03 mL
Jadi, volume H2SO4 97% yang dipipet adalah 1,03 mL
Skema Kerja

Dipipet H2SO4 97% sebanyak 1,03 ml dan dimasukkan ke dalam lau


ukur 10 ml yang telah berisi sedikit akuades

Ditambahkan akuades hingga tanda batas 10 ml

Digojog hingga homogen dan diberi label

6
c. KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia

Plat KLT Al Silika Gel GF 254 dipotong dengan ukuran 3 x 10 cm


dengan batas bawah 1 cm dan batas atas 1 cm

Chamber dijenuhkan dengan fase gerak kloroform : metanol (9:1) v/v

Fraksi air, etil asetat I, etil asetat II, standar kinin sulfat, dan ekstrak
metanol dilarutkan dengan 2 ml metanol

Masing-masing ditotolkan pada plat dengan jarak antar totolan 1 cm

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan

Plat dielusi hingga batas jarak pengembangan

Plat diangkat dan diangin-anginkan kemudian dideteksi di bawah sinar


UV 254 nm dan 366 nm

Plat disemprot dengan pereaksi semprot H2SO4 10% dan diangin-


anginkan

Diamati kemali plat di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm, ditandai
spot yang diduga sebagai kinin dan dihitung Rf masing-masing spot

3.2.6 Kromatografi Vakum Cair


a. Penyiapan Fraksi

Fraksi etil asetat kental ditimbang terlebih dahulu

Ditambahkan beberapa tetes eluen

Ditambahkan silika sama banyak dengan jumlah fraksi etil asetat

b. Penyiapan Kolom

7
Ditimbang sejumlah silika, kemudian dimasukkan ke dalam kolom
sambil digetar-getarkan

Pada bagian atas kolom diletakkan kertas saring sebanyak 3 lapis

Kolom diekuilibasi dengan 30 ml eluen kloroform : metanol (9:1) v/v

c. Elusi
Perhitungan
a). Kloroform : metanol (9:1) v/v
9
Kloroform = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 27 𝑚𝐿
10
1
Metanol = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 3 𝑚𝐿
10
b). Kloroform : metanol (8:2) v/v
8
Kloroform = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 24 𝑚𝐿
10
2
Metanol = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 6 𝑚𝐿
10
c). Kloroform : metanol (7:3) v/v
7
Kloroform = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 21 𝑚𝐿
10
3
Metanol = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10
d). Kloroform : metanol (6:4) v/v
6
Kloroform = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 18 𝑚𝐿
10
4
Metanol = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 12 𝑚𝐿
10
e). Kloroform : metanol (5:5) v/v
5
Kloroform = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 15 𝑚𝐿
10
5
Metanol = 𝑥 30 𝑚𝐿 = 15 𝑚𝐿
10
Cara Kerja

Fraksi ditaburkan di bagian atas kolom yang sudah dikemas

Dielusi secara gradien masing-masing dengan 30 ml campuran eluen


kloroform : metanol (9:1) v/v sampai (5:5) v/v

Setiap fraksi ditampung dalam botol vial sehingga diperoleh 4 fraksi

8
Tiap fraksi diuapkan pelarutnya kemudian ditimbang

3.2.7 KLT Hasil Fraksinasi Kromatografi Vakum Cair


a. Pembuatan Fase Gerak
Perhitungan
Diketahui : Perbandingan kloroform : metanol (9:1) v/v
Volume fase gerak yang dibuat 10 mL
Ditanya : Berapa volume kloroform dan metanol yang dipipet?
Jawab :
9
Kloroform = 𝑥 10 𝑚𝐿 = 9 𝑚𝐿
10
1
Metanol = 𝑥 10 𝑚𝐿 = 1 𝑚𝐿
10
Jadi, volume kloroform yang dipipet adalah 9 mL dan metanol yang dipipet
adalah 1 mL.
Skema Kerja

Dipipet kloroform sebanyak 9 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu


ukur 10 ml

Dipipet metanol sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu


ukur yang sama

Digojog hingga homogen dan diberi label

b. Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%


Perhitungan
Diketahui : C H2SO4 yang tersedia = 97% b/b
C H2SO4 yang dibuat = 10% b/b
Volume yang dibuat = 10 mL
BM H2SO4 = 98,08 gram/mol
BJ H2SO4 = 1,84 gram/ml
Ditanya : Berapa H2SO4 10% yang dipipet?
Jawab :
Molaritas H2SO4 10%
10 1000
M= 𝑥 = 1,88 M
98,08 100/1,84
Molaritas H2SO4 97%
97 1000
M= 𝑥 = 18,197 M
98,08 100/1,84

9
Volume H2SO4 97% yang dipipet
M1 x V1 = M2 x V2
18,197 M x V1 = 1,88 M x 10 mL
V1 = 1,03 mL
Jadi, volume H2SO4 97% yang dipipet adalah 1,03 mL
Skema Kerja

Dipipet H2SO4 97% sebanyak 1,03 ml dan dimasukkan ke dalam lau


ukur 10 ml yang telah berisi sedikit akuades

Ditambahkan akuades hingga tanda batas 10 ml

Digojog hingga homogen dan diberi label

c. Analisis dengan KLT

Disiapkan plat KLT Al Silika Gel GF 254 dengan tinggi plat 10 cm dan
jarak antar totolan 0,6 cm

Dicuci plat KLT dengan metanol, kemudian diaktivasi pada suhu 110oC
selama 10 menit

Dijenuhkan chamber dengan fase gerak kloroform : metanol (9:1) v/v

Ditotolkan fraksi yang sudah diperoleh dari hasil fraksinasi kromatografi


vakum cair yaitu fraksi kloroform : metanol, standar kinin, dan fraksi
metanol pada plat KLT yang sudah diaktivasi

Dimasukkan plat ke dalam chamber yang sudah dijenuhkan dengan fase


gerak dan dielusi plat hingga jarak pengembangan 8 cm

Plat diangin-anginkan, kemudian diamati di bawah sinar UV 254 nm dan


366 nm

Disemprotkan plat KLT dengan pereaksi semprot H2SO4 10%, lalu


diamati kemali di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm

10
Fraksi yang mempunyai profil yang sama digaungkan menjadi satu,
kemudian diuapkan dan ditimbang

3.2.8 KLT Preparatif


a. Penyiapan Fase Gerak
Perhitungan
Volume CHCl3 : = 9 mL

Volume MeOH : = 1 mL

Skema Kerja

Dipipet 9 mL CHCl3, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

Kemudian ditambahkan 1 mL MeOH ke dalam labu ukur


b. Penyiapan Larutan Uji

Sejumlah tertentu fraksi hasil KVC yang telah diuapkan, dilarutkan


dalam 1 mL campuran CHCl3 : MeOH (9:1 v/v)

Larutan dibuat agak pekat

c. Elusi Plat KLT Preparatif

Disiapkan lempeng Al Silika gel GF254 ukuran 10 cm x 10 cm,


diberi tanda batas bawah kira-kira 1 cm dari ujung lempeng

Dijenuhkan chamber dengan fase gerak CHCl3 : MeOH (9:1 v/v)

Kemudian ditotolkan larutan uji pada lempeng KLT dengan


bantuan pipet dalam bentuk pita

Pelarut diuapkan kemudian lempeng dielusi di dalam chamber


yang telah dijenuhkan

d. Pengamatan dan Pengambilan Bercak

Plat yang telah dielusi diamati dibawah sinar UV 254 dan 366 nm

Ditandai bercak yang positif mengandung kinin, bercak tersebut


diambil dengan mengerok silika pada plat KLT dengan spatula

11
Alkaloid kinin yang terikat pada silika diekstraksi dengan pelarut
campuran CHCl3 : MeOH (9:1 v/v)
3.2.9 KLT Subfraksinasi Hasil KLT Preparatif
a. Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%
Perhitungan
Diketahui : Konsentrasi larutan H2SO4 stok (C1) : 97 % b/v
Konsentrasi yang dibuat (C2) : 10 % b/v
Volume yang dibuat (V2) : 10 mL
BM H2SO4 : 98,08 g /mol
BJ H2SO4 : 1,84 g/ml
Ditanya : Volume yang dipipet dari larutan stock (V1) ?
Jawab :
M 1000
C1 = BM x V(mL)
97 1000
= 98,08 x 100/1,84 = 18,19 M
M 1000
C2 = BM x V(mL)
10 1000
= 98,08 x = 1,87 M
100/1,84

Pengenceran
C1 x V1 = C2 x V2
18,19 x V1 = 1,87 M x 10 mL
V1 = 1,03 mL
Jadi, volume larutan H2SO4 97% b/v yang dipipet untuk membuat H2SO4 10% b/v
sebanyak 10 mL adalah 1,03 mL
Skema Kerja
Dipipet sejumlah 1,03 mL H2SO4 97% b/v

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

Ditambahkan akuades sampai tanda batas 10 mL kemudian digojog


homogen.
b. Pembuatan Fase Gerak
Perhitungan
Volume CHCl3 : = 9 mL

Volume MeOH : = 1 mL

Skema Kerja

Dipipet 9 mL CHCl3, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

12
Kemudian ditambahkan 1 mL MeOH ke dalam labu ukur

c. KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia

Dipotong plat KLT Al Silika Gel GF254 dengan ukuran 4,2 x 10 cm


dengan batas bawah 1 cm dan batas atas 1 cm

Dijenuhkan chamber dengan fase gerak kloroform : metanol (9:1


v/v)

Subfraksi hasil KLT preparatif dilarutkan dengan 1 mL fase gerak

Ditotolkan pada plat dengan jarak antar petotolan 0,6 cm (Subfraksi


I, II, III,IV,V, dan standar kinin).

Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh.

Plat dielusi hingga jarak pengembangan 8 cm

Plat diangkat dan diangin-anginkan

Spot pada plat dideteksi dibawah sinar UV254 dan 366 nm

Plat disemprot dengan pereaksi semprot H2SO4 10%

Plat dipanaskan dengan oven pada suhu 1100C selama 5 menit

Kemudian plat diamati lagi dibawah sinar UV254nm dan 366nm

3.2.10 Identifikasi KLT Densitometri


a. Penyiapan Fase Diam
Plat Aluminium Silika Gel GF254 disiapkan dan dipotong 10×10
cm dengan batas atas dan batas bawah masing-masing 1 cm, diatur
jarak antar totolan 1 cm dengan batas kanan dan kiri masing-
masing 1 cm.

13
Dicuci plat dengan 10 mL metanol dan diaktivasi pada suhu 1100C
selama 10 menit.
b. Penyiapan Fase Gerak
Perhitungan
Volume CHCl3 : = 9 mL

Volume MeOH : = 1 mL

Skema Kerja

Dipipet 9 mL CHCl3, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL

Kemudian ditambahkan 1 mL MeOH ke dalam labu ukur

Larutan digojog hingga homogen

c. Penyiapan Larutan Uji Standar Kinin


Perhitungan
Diketahui : Konsentrasi standar kinin = 2400 ng/µL = 2,4 mg/mL
Volume yang dibuat = 10 mL
Ditanya : Massa standar kinin =…?
Jawab :
2,4 mg x
=
1 ml 10 mL
x = 24 mg
Skema Kerja

Ditimbang 24 mg serbuk standar kinin, dimasukkan ke dalam


gelas beker.

Dilarutkan dengan metanol, diaduk hingga larut.

Dimasukkan larutan dalam labu ukur 10 mL, ditambah metanol


hingga tanda batas 10 mL.

Dipindahkan dalam botol vial dan diberi label.


d. Penyiapan Larutan Ekstrak Metanol

Ditimbang 10 mg ekstrak metanol

14
Dilarutkan dengan 2 mL metanol, kemudian disaring dan
dimasukkan ke dalam botol vial dan diberi label.
e. Identifikasi dengan KLT-Densitometer

Dijenuhkan chamber dengan fase gerak yang telah dibuat.

Ditotolkan larutan standar kinin 2400 ng/µL sebanyak


4,8,12,16,20 µL, serta ditotolkan ekstrak metanol dan larutan hasil
subfraksinasi sebanyak 6 µL pada plat KLT.

Kemudian plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh


dan dilakukan proses elusi sampai jarak pengembangan 8 cm.

Setelah proses elusi, plat diangkat dan diangin-anginkan.

Plat diamati pada TLC-Scanner.

Dianalisis dengan Spektrofotodensitometer pada panjang


gelombang maksimum kinin yaitu 250 nm.

Dibuat kurva kalibrasi dari larutan uji standar kinin dan


ditetapkan kadar kinin pada ekstrak metanol dan larutan hasil
subfraksinasi.

15
BAB IV
HASIL
4.1 Defatting dan Ekstraksi
4.1.1 Penimbangan dan Pengambilan Bahan
 Bobot serbuk kulit kina yang digunakan untuk ekstraksi = 25 gram
 Volume metanol yang digunakan sebagai pelarut = 250 mL
 Suhu pemanasan saat proses sokletasi = 75oC
 Pengukuran alat sokletasi :
- Diameter alat sokletasi (tabung ekstraktor) = 3,5 cm
- Tinggi tabung ekstraktor = 11,5 cm
- Tinggi pipa sifon = 7,5 cm
4.1.2 Pengamatan
Tabel 4.1 Pengamatan sirkulasi
Warna Pelarut di Dalam
Sirkulasi Waktu
Tabung Ekstraktor
Sirkulasi 1 11.23 Warna coklat muda
Sirkulasi 2 11.37 Warna coklat muda
Sirkulasi 3 11.54 Warna coklat muda
Sirkulasi 4 12.17 Warna coklat pekat
Sirkulasi 5 12.38 Warna coklat pekat
Sirkulasi 6 12.58 Warna coklat pekat
Sirkulasi 7 13.31 Warna coklat agak pekat
Sirkulasi 8 13.48 Warna coklat agak pekat
Sirkulasi 9 14.08 Warna coklat agak pekat
Sirkulasi 10 14.30 Warna coklat muda
Sirkulasi 11 14.54 Warna coklat muda
Sirkulasi 12 15.25 Warna coklat muda
 Ekstrak hasil sokletasi
- Volume ekstrak = 221 mL
- Warna ekstrak = warna coklat muda
4.2 Penguapan Pelarut
4.2.1. Penimbangan dan Pengambilan Bahan
 Ekstraksi hasil sokletasi diuapkan menjadi tiga bagian dengan
menggunakan dua cawan porselen dan satu botol vial.
 Bobot cawan porselen A kosong = 77,66 gram
 Bobot cawan porselen B kosong = 75,7 gram
 Bobot vial kosong = 14,98 gram
4.2.2. Pengamatan
 Suhu oven untuk menguapkan = 40oC
 Bobot cawan A berisi ekstrak kental = 77,8 gram

16
 Bobot cawan B berisi ekstrak kental = 76,492 gram
 Bobot vial berisi ekstrak kental = 16,482 gram
 Bobot ekstrak kental pada cawan A = 0,14 gram
 Bobot ekstrak kental pada cawan B = 0,792 gram
 Bobot ekstrak kental pada vial = 1,502 gram
 Total bobot ektrak kental = 2,434 gram
4.3 Skrining Fitokimia
4.3.1. Penimbangan dan Pengambilan Bahan
 Pembuatan Larutan Uji
- Bobot ektrak kina yang digunakan = 15 mg
- Volum metanol sebagai pelarut = 15 mL
 Uji untuk Flavonoid
- Larutan uji yang digunakan = 1 mL
- Aseton yang digunakan untuk membasahi = 1 mL
- Serbuk halus asam borat = 20 mg
- Serbuk halus asam oksalat = 20 mg
- Eter untuk sisa penguapan = 5 mL
 Uji untuk Steroid dan Triterpenoid
- Larutan uji yang diuapkan = 2 mL
- Kloroform untuk melarutkan residu = 5 mL
- Asam asetat yang ditambahkan ke dalam larutan residu = 2 mL
- Asam sulfat pekat yang ditambahkan ke dalam larutan residu = 2 mL
 Uji untuk Saponin
- Bobot ekstrak kental yang digunakan = 10 mg
- Akuades yang ditambahkan = 10 mL
- HCl 2 N yang ditambahkan = 1 tetes
 Uji untuk Alkaloid
- Serbuk ekstrak yang digunakan = 10 mg
- Etil asetat sebagai pelarut ekstrak = 3 mL
- Larutan HCl yang ditambahkan = 5 mL
4.3.2. Pengamatan
 Uji untuk Flavonoid
Hasil pengamatan dengan sinar UV 366 nm adalah larutan berwarna
biru, sehingga hasil teramati dinyatakan bahwa ekstrak kinin negatif
mengandung flavonoid.
 Uji untuk Steroid dan Triterpenoid
Hasil penambahan 2 mL asam asetat dan 2 mL asam sulfat pekat ke
dalam residu ekstrak yang dilarutkan dengan kloroform sebanyak 5 mL
menghasilkan cincin berwarna violet pada larutan tersebut, sehingga dapat
dinyatakan bahwa ekstrak kinin positif mengandung senyawa triterpenoid.

17
 Uji untuk Saponin
Hasil pengocokkan 10 mL larutan ekstrak selama 10 detik
menghasilkan busa setinggi 0,5 cm pada bagian atas larutan. Kemudian
didiamkan selama 10 detik dan ditambahkan 1 tetes HCl 2N diamati tidak
terdapat busa, sehingga dapat dinyatakan bahwa ekstrak kinin negatif
mengandung saponin.
 Uji untuk Alkaloid
Hasil pengamatan pada ekstrak etil asetat kina pada blanko yaitu tidak
terjadi perubahan baik itu tidak adanya perubahan warna maupun
pembentukan endapan. Pada penambahan pereaksi Dragendorff diamati
terdapat endapan berwarna jingga. Pada penambahan pereaksi Mayer
diamati terjadi perubahan warna menjadi kuning. Pada penambahan
pereaksi Wagner diamati terdapat endapan berwarna coklat. berdasarkan
hasil tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa ekstrak kina tersebut positif
mengandung alkaloid.
4.4 Ekstraksi Cair-Cair dan Penguapan Pelarut
4.4.1. Penimbangan dan Pengambilan Bahan
 Ekstraksi Cair-Cair I
- Bobot ekstrak kering = 702 mg
- Etil asetat = 30 mL
- Asam sulfat 10% b/v = 20 mL
- Amonia cair = 1 mL
 Ekstraksi Cair-Cair II
Ekstraksi cair-cair II dilakukan sebanyak 3 kali, berikut ini jumlah bahan
yang digunakan pada ekstraksi pertama (i) :
- Fase air hasil ekstraksi cair-cair I yang digunakan semuanya
- Akuades = 20 mL
- Asam sulfat 10% b/v = 10 mL
- Etil asetat = 30 mL
Kemudian dari ekstraksi (i) diambil fase airnya untuk diekstraksi kembali
pada ekstraksi kedua (ii) dengan penambahan etil asetat sebanyak 30 mL.
Kemudian dari ekstraksi (ii) diambil fase airnya untuk diekstraksi kembali
pada ekstraksi ketiga (iii) dengan penambahan etil asetat sebanyak 30 mL.
 Ekstraksi Cair-Cair III
- Fase air dari ekstraksi cair-cair II yang digunakan = 42 mL
- Amonia cair = 1 mL
- Etil asetat = 30 mL
 Ekstraksi Cair-Cair Pengulangan
- Fase air dari ekstraksi cair-cair III digunakan semuanya
- Amonia cair = 5 mL

18
- Etil asetat = 30 mL
 Bobot cawan porselen kosong :
- Cawan porselen untuk fraksi etil asetat hasil ekstraksi cair-cair I =
70,242 gram
- Cawan porselen untuk fraksi etil asetat total hasil ekstraksi cair-cair II
= 75,613 gram
- Cawan porselen untuk fraksi air = 77,803 gram
4.4.2. Pengamatan
 Ekstraksi Cair-Cair I
- Fase etil asetat di bagian atas = berwarna coklat kemerahan
- Fase air di bagian bawah = berwarna bening kekuningan
- Volume fraksi etil asetat I = 119 mL
- Bobot cawan porselen berisi fraksi etil asetat II yang sudah diuapkan =
72,844 gram
- Bobot fraksi etil asetat I yang sudah diuapkan = 2,602 gram
 Ekstraksi Cair-Cair II
- Fase etil asetat di bagian atas = berwarna coklat kekuningan
- Fase air di bagian bawah = berwarna bening
- Volume fraksi etil asetat II = 29 mL
- Bobot cawan porselen berisi fraksi etil asetat II yang sudah diuapkan =
75,791 gram
- Bobot fraksi etil asetat II yang sudah diuapkan = 0,178 gram
 Ekstraksi Cair-Cair III
- Fase etil asetat di bagian atas = berwarna kekuningan
- Fase air di bagian bawah = berwarna bening
- Bobot fraksi etil asetat III yang sudah diuapkan = 0,089 gram
- Volume fraksi air = 40 mL
- Bobot cawan porselen berisi fraksi air yang sudah diuapkan = 88,344
gram
- Bobot fraksi air yang sudah diuapkan = 10,541 gram
 Ekstraksi Cair-Cair Pengulangan
- Fase etil asetat di bagian atas = berwarna bening
- Fase air di bagian bawah = berwarna kecoklatan
4.5 KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia
4.5.1 Penimbangan dan pengambilan bahan
Tabel 4.2 Penimbangan KLT dan identifikasi dengan pereaksi kimia
No Nama Bahan Jumlah
1 Pembuatan Ekstrak Metanol:
a. Ekstrak kering kulit batang kina 10 mg
b. Metanol 2 mL

19
2 Pembuatan Fase Gerak:
a. Kloroform 9 mL
b. Metanol 1 mL
3 Pelarutan Fraksi Air:
a. Ekstrak fase air 0,5 mL
b. Metanol 3 mL
4 Pelarutan Fraksi Etil Asetat I:
a. Ekstrak Etil Asetat I 10 mg
b. Metanol 3 mL
5 Pelarutan Fraksi Etil Asetat II:
a. Ekstrak Etil Asetat II 0,5 mL
b. Metanol 2 mL
6 Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%
a. H2SO4 97% 1,03 mL
b. Aquadest ad 10 mL
7 Penotolan Sampel
a. Fraksi air 6 µL
b. Fraksi Etil Asetat I 6 µL
c. Fraksi Etil Asetat II 6 µL
d. Ekstrak metanol awal 6 µL
e. Standar Kinin 2 µL
4.5.2 Pengamatan
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan KLT Sebelum disemprot dengan H2SO4 10%
No Pengamatan Fraksi Rf HRf
1 Hasil Pengamatan KLT Fraksi air:
Sebelum disemprot Tidak ada spot
dengan H2SO4 10% pada Fraksi Etil Asetat 1:
UV 254nm - Spot 1 0,0875 8,75
Fraksi Etil Asetat 2:
Tidak ada spot
Fraksi ekstrak
metanol awal:
- Spot 1 0,4125 41,25
- Spot 2 0,45 45
- Spot 3 0,7625 76,25
Standar Kinin:
- Spot 1 0,45 45
2 Hasil Pengamatan KLT Fraksi air:
Sebelum disemprot - Spot 1 0,8375 83,75

20
dengan H2SO4 10% pada Fraksi Etil Asetat 1:
UV 366nm - Spot 1 0,3875 38,75
Fraksi Etil Asetat 2:
- Spot 1 0,3875 38,75
Fraksi ekstrak
metanol awal:
- Spot 1 0,4125 41,25
- Spot 2 0,8125 81,25
- Spot 3 0,8875 88,75
Standar Kinin:
- Spot 1 0,3 30
- Spot 2 0,425 42,5
Maka interpretasi hasil sebelum penyemprotan H2SO4 10%:
 Pada UV 254 nm
Fraksi air tidak mengandung kinin
Fraksi Etil Asetat I mengandung 1 spot
Fraksi Etil Asetat II tidak ada kinin
Fraksi ekstrak metanol awal pada spot 2 terdapat kinin
 Pada UV 366 nm
Fraksi air tidak mengandung kinin
Fraksi Etil Asetat I dan II terdapat kinin karena Rfnya mendekati Rf standar
Fraksi ekstrak metanol awal terdapat kinin pada spot 1 karena nilai Rf
mendekati Rf standar
Tabel 4.4 Hasil Pengamatan KLT Setelah disemprot dengan H2SO4 10%
No Pengamatan Fraksi Rf HRf
1 Hasil Pengamatan KLT Fraksi air:
Setelah disemprot dengan Tidak ada spot
H2SO4 10% pada UV Fraksi Etil Asetat 1:
254nm - Spot 1 0,375 37,5
Fraksi Etil Asetat 2:
- Spot 1 0,375 37,5
Fraksi ekstrak
metanol awal:
- Spot 1 0,4125 41,25
Standar Kinin:
- Spot 1 0,325 32,5
- Spot 2 0,425 42,5
2 Hasil Pengamatan KLT Fraksi air:
Setelah disemprot dengan Tidak ada spot
Fraksi Etil Asetat 1:

21
H2SO4 10% pada UV - Spot 1 0,3625 36,25
366nm Fraksi Etil Asetat 2:
- Spot 1 0,3625 36,25
Fraksi ekstrak
metanol awal:
- Spot 1 0,4125 41,25
Standar Kinin:
- Spot 1 0,325 3,25
- Spot 2 0,425 42,5
Maka interpretasi hasil setelah penyemprotan H2SO4 10%:
 Pada UV 254 nm
Spot pada Fraksi Etil Asetat II nilai Rfnya mendekati Rf standar sehingga
diduga pada Etil Asetat II terdapat kinin
 Pada UV 366 nm
Spot pada Fraksi Etil Asetat II nilai Rfnya mendekati Rf standar sehingga
diduga pada Etil Asetat II terdapat kinin
Jadi Fraksi Etil Asetat II yang digunakan untuk Kromatografi Vakum Cair
 Perhitungan hasil pengamatan
a. Perhitungan Rf dan HRf masing-masing spot
1. Pengamatan pada Sinar UV 254 nm sebelum disemprot H2SO4 10%
a. Fraksi Air
Tidak ada spot
b. Fraksi Etil Asetat I
jarak perpindahan solut
Spot 1 =
jarak pengembang an
0,7cm
= = 0,0875
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,0875 x 100 = 8,75
c. Fraksi Etil Asetat II
Tidak ada Spot
d. Ekstrak metanol awal
jarak perpindahan solut
 Spot 1 =
jarak pengembang an
3,3cm
= = 0,4125
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,4125 x 100 = 41,25
3,6cm
 Spot 2 = = 0,45
8cm
HRf = 0,45 x 100 = 45

22
6,1cm
 Spot 3 = = 0,7625
8cm
HRf = 0,7625 x 100 = 76,25
e. Standar Kinin
3,6cm
 Spot 1 = = 0,45
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,45 x 100 = 45
2. Pengamatan pada Sinar UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4 10%
a. Fraksi Air
jarak perpindahan solut
 Spot 1 =
jarak pengembang an
6,7cm
= = 0,8375
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,8375 x 100 = 83,75
b. Fraksi Etil Asetat I
3,1cm
 Spot 1 = = 0,3875
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,3875 x 100 = 38,75
c. Fraksi Etil Asetat II
3,1cm
 Spot 1 = = 0,3875
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,3875 x 100 = 38,75
d. Ekstrak metanol awal
jarak perpindahan solut
 Spot 1 =
jarak pengembang an
3,3cm
= = 0,4125
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,4125 x 100 = 41,25
6,5cm
 Spot 2 = = 0,8125
8cm
HRf = 0,8125 x 100 = 81,25
7,1cm
 Spot 3 = = 0,8875
8cm
HRf = 0,8875 x 100 = 88,75
e. Standar Kinin
2,4cm
 Spot 1 = = 0,3
8cm

23
HRf = Rf x 100
= 0,3 x 100 = 30
3,4cm
 Spot 2 = = 0,425
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,425 x 100 = 42,5
3. Pengamatan pada Sinar UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10%
a. Fraksi Air
Tidak ada spot
b. Fraksi Etil Asetat I
jarak perpindahan solut
 Spot 1 =
jarak pengembang an
3cm
= = 0,375
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,375 x 100 = 37,5
c. Fraksi Etil Asetat II
3cm
 Spot 1 = = 0,375
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,375 x 100 = 37,5
d. Ekstrak metanol awal
3,3cm
 Spot 1 = = 0,4125
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,4125 x 100 = 41,25
e. Standar Kinin
2,6cm
 Spot 1 = = 0,325
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,325 x 100 = 32,5
3,4cm
 Spot 2 = = 0,425
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,425 x 100 = 42,5
4. Pengamatan pada Sinar UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%
a. Fraksi Air
Tidak ada spot
b. Fraksi Etil Asetat I
2,9cm
 Spot 1 = = 0,3625
8cm

24
HRf = Rf x 100
= 0,3625 x 100 = 36,25
c. Fraksi Etil Asetat II
2,9cm
 Spot 1 = = 0,3625
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,3625 x 100 = 36,25
d. Ekstrak metanol awal
3,3cm
 Spot 1 = = 0,4125
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,4125 x 100 = 41,25
e. Standar Kinin
2,6cm
 Spot 1 = = 0,325
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,325 x 100 = 32,5
3,4cm
 Spot 2 = = 0,425
8cm
HRf = Rf x 100
= 0,425 x 100 = 42,5
4.6 Kromatografi Vakum Cair
4.6.1 Penimbangan dan pengambilan bahan
Tabel 4.5 Penimbangan Pemisahan dengan Kromatografi Vakum Cair
No. Data Jumlah
1. Bobot Fraksi Etil Asetat 0,267 gram
2. Bobot Fase Diam (serbuk silika) 0,267 gram
3. Volume Campuran Pelarut untuk Ekuilibrasi 30 mL
4. Pembuatan Pelarut Bergradien
a. Kloroform:Metanol (9:1) v/v
Kloroform 27 mL
Metanol 3 mL
b. Kloroform:Metanol (8:2) v/v
Kloroform 24 mL
Metanol 6 mL
c. Kloroform:Metanol (7:3) v/v
Kloroform 21 mL
Metanol 9 mL
d. Kloroform:Metanol (6:4) v/v
Kloroform 18 mL

25
Metanol 12 mL
e. Kloroform:Metanol (5:5) v/v
Kloroform 15 mL
Metanol 15 mL
4.6.2 Pengamatan
Tabel 4.6 Hasil Fraksinasi Kromatografi Vakum Cair
No. Data Fraksi Warna
1. Fraksi 1 (9 : 1 v/v) Bening
2. Fraksi 2 (8 : 2 v/v) Bening
3. Fraksi 3 (7 : 3 v/v) Bening
4. Fraksi 4 (6 : 4 v/v) Agak kuning bening
5. Fraksi 5 (5 : 5v/v) Agak coklat bening
4.7 KLT Hasil Fraksinasi
4.7.1 Penimbangan dan pengambilan bahan
Tabel 4.7 penimbangan KLT fraksi kromatografi vakum cair
No Nama Bahan Jumlah
1 Pembuatan fase gerak
- Kloroform 9mL
- Metanol 1mL
2 Pembuatan Pereaksi semprot
- H2SO4 98% 1,03mL
- Metanol ad 10mL
3 Penotolan Fraksi 6µL
Penotolan standar 4µL
4.7.2 Pengamatan
Tabel 4.8 Hasil Pengamatan
No Pengamatan Fraksi Rf HRf
1 Sebelum disemprot dengan Fraksi 9:1
H2SO4 10% pengamatan - Spot 1 0,775 77,5
pada UV 254nm Fraksi 8:2
- Spot 1 0,775 77,5
Fraksi 7:3
- spot 1 0,8 80
Fraksi 6:4
Tidak ada spot
Fraksi 5:5
Tidak ada spot
2 Fraksi 9:1
- Spot 1 0,55 55

26
Sebelum disemprot dengan - Spot 2 0,7625 76,25
H2SO4 10% pengamatan Fraksi 8:2
pada UV 366nm - Spot 1 0,2375 23,75
- Spot 2 0,5375 53,75
- Spot 3 0,825 82,5
Fraksi 7:3
- spot 1 0,225 22,5
- Spot 2 0,55 55
- Spot 3 0,8125 81,25
Fraksi 6:4
- Spot 1 0,325 32,5
Fraksi 5:5
Tidak ada spot
Standar kinin
- Spot 1 0,225 22,5
3 Setelah disemprot dengan Fraksi 9:1
H2SO4 10% pengamatan - Spot 1 0,3 30
pada UV 254nm Fraksi 8:2
- Spot 1 0,25 25
- Spot 2 0,3625 36,25
Fraksi 7:3
- spot 1 0,2875 28,75
Fraksi 6:4
- Spot 1 0,325 32,5
Fraksi 5:5
- Spot 1 0,2437 24,37
Standar kinin
- Spot 1 0,2062 20,62
4 Setelah disemprot dengan Fraksi 9:1
H2SO4 10% pengamatan - Spot 1 0,3125 31,25
pada UV 366nm - Spot 2 0,575 57,5
- Spot 3 0,7875 78,75
Fraksi 8:2
- Spot 1 0,2625 26,25
- Spot 2 0,3625 36,25
- Spot 3 0,425 42,5
- Spot 4 0,6 60
- Spot 5 0,8125 81,25
Fraksi 7:3
- spot 1 0,288 28,8

27
- Spot 2 0,6 60
- Spot 3 0,8375 83,75
Fraksi 6:4
- Spot 1 0,15 15
- Spot 2 0,225 22,5
- Spot 3 0, 3375 33,775
Fraksi 5:5
- Spot 1 0,275 27,5
Standar kinin
- Spot 1 0,225 22,5
Interpretasi hasil pengamatan:
Fraksi yang mengandung kinin sebelum penyemprotan pereaksi semprot yaitu:
- Fraksi 7:3 dengan HRf 22,5 yang diamati pada UV 366nm
Fraksi yang mengandung kinin setelah disemprot dengan pereaksi semprot yaitu:
- Fraksi 5:5 dengan HRf 24,75 yang diamati pada UV 254nm
- Fraksi 6:2 dengan HRf 22,5 yang diamati pada UV 366nm
- Fraksi 8:2 dengan HRf 23,5 yang diamati pada UV 366nm
 Perhitungan hasil pengamatan
Perhitungan Rf dan HRf masing-masing spot:
jarak perpindahan solut
Rumus: Rf =
jarak pengembang an
HRf = Rf x 100
a. Sebelum disemprot dengan H2SO4 10% diamati pada UV 254nm
 Fraksi 9:1
6,2𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,775
8𝑐𝑚

HRf = 0,775 x 100 = 77,5


 Fraksi 8:2
6,2𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,775
8𝑐𝑚

HRf = 0,775 x 100 = 77,5


 Fraksi 7:3
6,4𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,8
8𝑐𝑚

HRf = 0,8 x 100 = 80


 Fraksi 6:4 (tidak ada spot)
 Fraksi 5:5 (tidak ada spot)
 Standar Kinin (tidak ada spot)
b. Sebelum disemprot dengan H2SO4 10% diamati pada UV 366nm
 Fraksi 9:1
4,4𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,55
8𝑐𝑚

HRf = 0,55 x 100 = 55

28
6,1𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,7625
8𝑐𝑚

HRf = 0,7625 x 100 = 76,25


 Fraksi 8:2
1,9𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,2375
8𝑐𝑚

HRf = 0,2375 x 100 = 23,75


4,3𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,5375
8𝑐𝑚

HRf = 0,5375 x 100 = 53,75


6,5𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,825
8𝑐𝑚

HRf = 0,825 x 100 = 82,5


 Fraksi 7:3
1,8𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,225
8𝑐𝑚

HRf = 0,225 x 100 = 22,5


4,4𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,55
8𝑐𝑚

HRf = 0,55 x 100 = 55


6,5𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,825
8𝑐𝑚

HRf = 0,825 x 100 = 82,5


 Fraksi 6:4
2,6𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,325
8𝑐𝑚

HRf = 0,325 x 100 = 32,5


 Fraksi 5:5 (tidak ada spot)
 Standar Kinin
1,8𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,225
8𝑐𝑚

HRf = 0,225 x 100 = 22,5


c. Setelah disemprot dengan H2SO4 10% diamati pada UV 254nm
 Fraksi 9:1
2,4𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,3
8𝑐𝑚

HRf = 0,3 x 100 = 30


 Fraksi 8:2
2𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = 8𝑐𝑚 = 0,25

HRf = 0,25 x 100 = 25


2,9𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,3625
8𝑐𝑚

HRf = 0,3625 x 100 = 36,5


 Fraksi 7:3
2,3𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,2875
8𝑐𝑚

HRf = 0,2875 x 100 = 28,75


 Fraksi 6:4

29
2,6𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,325
8𝑐𝑚

HRf = 0,325 x 100 = 32,5


 Fraksi 5:5
1,9𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,2437
8𝑐𝑚

HRf = 0,2437 x 100 = 24,37


 Standar Kinin
1,65𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,2062
8𝑐𝑚

HRf = 0,2062x 100 = 20,62


d. Setelah disemprot dengan H2SO4 10% diamati pada UV 366nm
 Fraksi 9:1
2,5 𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,3125
8𝑐𝑚

HRf = 0,3125 x 100 = 31,25


4,6𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,575
8𝑐𝑚

HRf = 0,575 x 100 = 57,5


6,3𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,7875
8𝑐𝑚

HRf = 0,7875 x 100 = 78,75


 Fraksi 8:2
2,1𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,2625
8𝑐𝑚

HRf = 0,2625 x 100 = 26,25


2,9𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,3625
8𝑐𝑚

HRf = 0,3625 x 100 = 36,25


3,4𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,425
8𝑐𝑚

HRf = 0,425 x 100 = 42,5


4,8𝑐𝑚
- Spot 4: Rf = = 0,6
8𝑐𝑚

HRf = 0,6 x 100 = 60


6,5𝑐𝑚
- Spot 5: Rf = = 0,8125
8𝑐𝑚

HRf = 0,8125 x 100 = 81,25


 Fraksi 7:3
2,15𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,288
8𝑐𝑚

HRf = 0,288 x 100 = 28,8


4,8𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,6
8𝑐𝑚

HRf = 0,6 x 100 = 60


6,7𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,8375
8𝑐𝑚

HRf = 0,8375 x 100 = 83,75


 Fraksi 6:4

30
1,2𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,15
8𝑐𝑚

HRf = 0,6 x 100 = 60


1,8𝑐𝑚
- Spot 2: Rf = = 0,225
8𝑐𝑚

HRf = 0,225 x 100 = 22,5


6,7𝑐𝑚
- Spot 3: Rf = = 0,3375
8𝑐𝑚

HRf = 0,3375 x 100 = 33,75


 Fraksi 5:5
2,2𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,275
8𝑐𝑚

HRf = 0,275 x 100 = 27,5

 Standar Kinin
1,8𝑐𝑚
- Spot 1: Rf = = 0,225
8𝑐𝑚

HRf = 0,225 x 100 = 22,5


4.8 KLT Preparatif
4.8.1 Pengamatan

Gambar 4.1 Hasil Pengamatan pada UV 366 nm


Tabel 4.9 Hasil Pengamatan KLT Preparatif
No. Nama Pengamatan
1. Pita 1 Biru
2. Pita 2 Kehijauan
3. Pita 3 Biru
4. Pita 4 Biru
5. Pita 5 Biru muda
4.9 KLT Hasil Subfraksinasi
4.9.1 Penimbangan dan Pengukuran
Tabel 4.10 Penimbangan dan Pengukuran
No. Nama Bahan Jumlah
1. Kloroform 9 mL
2. Metanol 1 mL
3. H2SO4 97% b/v 1,03 mL

31
4. Akuades Ad 10 mL

4.9.2 Pengamatan
a. Hasil Pengamatan KLT Subfraksinasi

Gambar 4.2 Pengamatan pada UV 254 nm Sebelum disemprotkan H2SO4

Gambar 4.3 Pengamatan pada UV 254 nm Setelah disemprotkan H2SO4

Gambar 4.4 Pengamatan pada UV 366 nm Sebelum disemprotkan H2SO4

Gambar 4.5 Pengamatan pada UV 366 nm Setelah disemprotkan H2SO4

b. Jumlah Penotolan
Tabel 4.11 Jumlah Penotolan Hasil KLT Sufraksi KLT Preparatif
No. Nama Jumlah Penotolan
1. Subfraksi 1 10 μL
2. Subfraksi 2 10 μL
3. Subfraksi 3 10 μL
4. Subfraksi 4 10 μL

32
5. Subfraksi 5 10 μL
6. Standar Kinin 6 μL

c. Hasil pada UV 254 nm Sebelum Penyemprotan H2SO4


Hasil pengamatan pada UV 254 nm sebelum penyemprotan pereaksi terjadi
pemadaman bercak, diperoleh nilai Rf dan HRf pada spot sebagai berikut;
Tabel 4.12 Hasil Pengamatan pada UV 254 nm
No. Spot Rf HRf
1. Pita 1
Spot 1 0,2625 26,25
Spot 2 0,6375 63,75
2. Pita 2
Spot 1 0,825 82,5
3. Pita 3
Spot 1 0,8125 81,25
4. Pita 4
Spot 1 0,05 5
Spot 2 0,8125 81,25
5. Pita 5
Spot 1 0,825 82,5
6. Standar Kinin
Spot 1 0,2625 26,25

d. Hasil pada UV 254 nm Setelah Penyemprotan H2SO4


Hasil pengamatan pada UV 254 nm setelah penyemprotan pereaksi terjadi
pemadaman bercak, diperoleh nilai Rf dan HRf pada spot sebagai berikut;
Tabel 4.13 Hasil pengamatan pada UV 254 nm
No. Pita Rf HRf
1. Pita 1 0,287 28,7
2. Pita 2 Tidak ada spot Tidak ada spot
3. Pita 3 Tidak ada spot Tidak ada spot
4. Pita 4 Tidak ada spot Tidak ada spot
5. Pita 5 Tidak ada spot Tidak ada spot
Standar Kinin
6. Spot 1 0,225 22,5
Spot 2 0,287 28,7

e. Hasil pada UV 366 nm Sebelum Penyemprotan H2SO4


Hasil pengamatan pada UV 366 nm sebelum penyemprotan pereaksi terjadi
fluoresensi berwarna biru, diperoleh nilai Rf dan HRf pada spot sebagai berikut;
Tabel 4.14 Hasil Pengamatan pada UV 366 nm

33
No. Pita Rf HRf
1. Pita 1 0,825 82,5
2. Pita 2 0,8125 81,25
3. Pita 3 0,8125 81,25
4. Pita 4 0,8 80
5. Pita 5 0,8 80
6. Standar Kinin Tidak ada spot Tidak ada spot

f. Hasil pada UV 366 nm Setelah Penyemprotan H2SO4


Hasil pengamatan pada UV 366 nm setelah penyemprotan pereaksi terjadi
fluoresensi berwarna biru, diperoleh nilai Rf dan HRf pada spot sebagai berikut;
Tabel 4.15 Hasil Pengamatan pada UV 366 nm
No. Pita Rf HRf
1. Pita 1
Spot 1 0,275 27,5
Spot 2 0,8125 81,25
2. Pita 2 Tidak ada spot Tidak ada spot
3. Pita 3
Spot 1 0,8125 81,25
Spot 2 0,8625 86,25
4. Pita 4
Spot 1 0,8125 81,25
Spot 2 0,8625 86,25
5. Pita 5
Spot 1 0,8125 81,25
Spot 2 0,8625 86,25
6. Standar Kinin
Spot 1 0,225 22,5
Spot 2 0,2938 29,38
4.10 Identifikasi dengan KLT Densitometri
4.10.1 Penimbangan dan Pengukuran
Tabel 4.16 Penimbangan bahan KLT densitometri
No. Nama Bahan Jumlah
1. Ekstrak 24 mg
2. Pembuatan Fase Gerak
- Kloroform 9 ml
- Metanol 1 ml

4.10.2 Pengamatan
a. Jumlah Penotolan Larutan Standar Kinin

34
Konsentrasi larutan standar yang digunakan pada plat KLT dibuat berseri dengan
kadar 10.000 ng, 20.000 ng, 30.000 ng, 40.000 ng, dan 50.000 ng, sehingga diperoleh
jumlah penotolan sebagai berikut;
Tabel 4.17 Jumlah Penotolan Larutan Standar Kinin
Larutan yang Volume Konsentrasi
No. Seri
ditotolkan penotolan penotolan
1. I 2,4 ng/ μL 4 μL 9.600 ng
2. II 2,4 ng/ μL 8 μL 19.200 ng
3. III 2,4 ng/ μL 12 μL 28.800 ng
4. IV 2,4 ng/ μL 16 μL 38.400 ng
5. V 2,4 ng/ μL 20 μL 48.000 ng

b. Hasil Pengamatan KLT Densitometri

Gambar 4.6 Hasil Pengamatan pada UV 254 nm

Gambar 4.7 Hasil Pengamatan pada UV 366 nm


Tabel 4. 18 Hasil Pembacaan Spot
No. Track Rf AUC
1. Standar Seri I
- Spot 1 0,16 504,0
- Spot 2 0,24 3430,9
- Spot 3 (Kinin) 0,34 21669,8

35
- Spot 4 0,76 1778,6
- Spot 5 0,96 250,8
- Spot 6 0,98 243,5
2. Standar Seri II
- Spot 1 0,16 873,3
- Spot 2 0,24 5148,0
- Spot 3 (Kinin) 0,33 27441,6
- Spot 4 0,77 2339,1
- Spot 5 0,97 301,2
- Spot 6 0,99 122,7
3. Standar Seri III
- Spot 1 0,16 1342,7
- Spot 2 0,24 6956,5
- Spot 3 (Kinin) 0,32 29747,1
- Spot 4 0,55 185,6
- Spot 5 0,77 2806,2
- Spot 6 0,98 459,7
4. Standar Seri IV
- Spot 1 0,03 244,9
- Spot 2 0,24 12896,5
- Spot 3 (Kinin) 0,33 40677,2
- Spot 4 0,72 404,2
- Spot 5 0,76 3024,9
- Spot 6 0,98 490,8
5. Standar Seri V
- Spot 1 0,07 1310,0
- Spot 2 (Kinin) 0,34 57538,7
- Spot 3 0,76 3044,6
- Spot 4 0,48 484,2
6. Ekstrak Metanol 1
- Spot 1 0,03 346,7
- Spot 2 0,07 284,2
- Spot 3 0,13 752,3
- Spot 4 0,26 1490,8
- Spot 5 (Kinin) 0,34 15149,9
- Spot 6 0,47 4954,4
- Spot 7 0,51 771,9
- Spot 8 0,57 2802,1
- Spot 9 0,77 3294,0
- Spot 10 0,97 700,3

36
7. Ekstrak Metanol 2
- Spot 1 0,03 282,6
- Spot 2 0,07 380,6
- Spot 3 0,13 713,8
- Spot 4 0,26 1794,7
- Spot 5 (Kinin) 0,34 14818,9
- Spot 6 0,41 1063,2
- Spot 7 0,48 5369,9
- Spot 8 0,52 853,9
- Spot 9 0,57 2980,6
- Spot 10 0,77 3231,1
- Spot 11 0,98 514,3
8. Hasil KLT Preparatif 1
- Spot 1 0,02 357,9
- Spot 2 (Kinin) 0,31 577,1
- Spot 3 0,76 2687,4
9. Hasil KLT Preparatif 2
- Spot 1 0,03 218,7
- Spot 2 (Kinin) 0,31 470,4
- Spot 3 0,78 2042,8

c. Kurva Kalibrasi dan Persamaan Regresi Linier


Tabel 4.19 Kadar AUC dari Larutan Seri Standar
No. Seri Konsentrasi AUC
1. I 9.600 ng 21669,8
2. II 19.200 ng 27441,6
3. III 28.800 ng 29747,1
4. IV 38.400 ng 40677,2
5. V 48.000 ng 57538,7
Berdasarkan data kadar AUC seri standar, data yang digunakan dalam persamaan
regresi linier adalah seri I,II dan IV dengan nilai r = 0,99946 sehingga diperoleh
persamaan regresi linier y = 0,664x + 15052.

37
Kurva Kalibrasi Larutan Seri
50000

40000 y = 0,664x + 15052


r = 0,99946
30000
AUC 20000

10000

0
9.600 ng 19.200 ng 38.400 ng
Konsentrasi

Gambar 4.8 Kurva Kalibrasi Larutan Seri Standar

d. Persentase Recovery
Standar kinin di dalam sampel memiliki kadar di bawah kadar seri, maka apabila
penentuan kadar dilakukan dengan multiple point caliration akan memperoleh nilai
negatif, sehingga penentuan kadar dilakukan dengan single point calibration.
Tabel 4.20 Nilai Perolehan Kembali (% recovery) pada Larutan Seri
No. Seri Kadar % recovery
1. I 9966,57 ng 103,82 %
2. II 18659,04 ng 97,187 %
3. III 22131,17 ng 76,84 %
4. IV 38592,17 ng 100,5 %
5. V 63985,99 ng 133,3 %
Berdasarkan data di atas, seri IV memiliki nilai % recovery terbaik yaitu 100,5%
mendekati 100%, sehingga dalam penentuan kadar dengan single point calibration
menggunakan seri IV.

e. Penetapan Kadar Ekstrak Metanol


Tabel 4.21 Konsentrasi Sampel dengan jumlah penotolan 6 μL
No. Sampel AUC Kadar sampel Konsentrasi
1. Sampel 1 15149,9 14301,77 ng 2383,63 ng/ μL
2. Sampel 2 14818,9 13989,31 ng 2331,55 ng/ μL
3. Konsentrasi rata-rata 2357,59 ng/ μL

f. Penetapan Kadar Hasil KLT Preparatif


Tabel 4.22 Konsentrasi Sampel dengan jumlah penotolan 6 μL
No. Sampel AUC Kadar sampel Konsentrasi
1. Sampel 1 577,1 544,79 ng 90,79 ng/ μL
2. Sampel 2 470,4 444,06 ng 74,01 ng/ μL

g. Penetapan Kadar Total Kinin dalam Ekstrak Metanol


Tabel 4.23 Konsentrasi dan Kadar Total Sampel

38
Konsentrasi Kadar total
No. Sampel Konsentrasi
sampel dalam 1ml sampel
1. Sampel 1 2,383 mg/ml 2,383 mg 1649,04 mg
2. Sampel 2 2,331 mg/ml 2,331 mg 1613,05 mg
3. Konsentrasi rata-rata 1631,045 mg

h. Penetapan Kadar Total Kinin dalam Hasil KLT Preparatif


Tabel 4.24 Konsentrasi dan Kadar Total Sampel
No. Sampel Konsentrasi Kadar total sampel
1. Sampel 1 90,79 ng/ μL 90,79 x 10-3 mg
2. Sampel 2 74,01 ng/ μL 74,01 x 10-3 mg
3. Konsentrasi rata-rata 82,40 x 10-3 mg

Gambar 4.9 Spektrum dari Standar Kinin

Gambar 4.10 Spektrum dari Ekstrak Metanol

Gambar 4.11 Spektrum dari Hasil KLT Preparatif

39
Gambar 4.12 Spektrum dari Larutan Standar (merah muda),
Ekstrak Metanol (biru), dan Hasil KLT Preparatif (hijau)

40
BAB V
PEMBAHASAN
Kina (Cinchona succirubra) merupakan tanaman penghasil senyawa alkaloid
yang terdiri dari alkaloid kinina, kinidina, sinkonina, sinkonidina, asam kinat, asam
kinatanat, dan zat merah kina. Kinin merupakan alkaloid utama yang dapat digunakan
sebagai antimalaria, antipiretik, dan stomatik (Depker RI, 1980). Selain itu, kinin juga
dapat digunakan dalam industri farmasi, industri makanan dan minuman, kosmetik dan
agrokimia lainnya.
Pada praktikum ini dilakukan pemisahan, isolasi dan identifikasi alkaloid dari
serbuk simplisia kulit batang kina (Cinchona succirubra Cortex). Metode yang
dipergunakan dalam pemisahan, isolasi, dan identifikasi alkaloid dari serbuk simplisia
kulit batang kina, meliputi ekstraksi dengan menggunakan metode soxhletasi, ekstraksi
cair-cair, kromatografi vakum cair, dan kromatografi lapis tipis preparatif. Identifikasi
dilakukan dengan skrining fitokimia alkaloid dengan reaksi pengendapan dan metode
kromatografi lapis tipis, sedangkan penetapan kadar kinin dalam ekstrak dilakukan
dengan metode spektrofotometri.
5.1 Defatting dan Ektraksi
Proses pemisahan, isolasi, dan identifikasi alkaloid dari serbuk simplisia kulit
batang kina (Cinchona succirubra) diawali dengan proses ekstraksi dengan
menggunakan metode soxhletasi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa
tertentu yang terdapat pada suatu bahan dengan bantuan pelarut atau cairan penyari,
yang mana pelarut yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik senyawa yang
diinginkan (Anam dkk., 2014). Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang
selalu baru yang umumnya dilarutkan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik
(Depkes RI, 2014). Prinsip soxhletasi adalah penyaringan yang berulang-ulang
sehingga hasil yang diperoleh sempurna dan pelarut yang digunakan sedikit (Anam
dkk., 2014).
Ekstraksi pada praktikum ini diawali dengan ditimbang serbuk kulit batang kina
(Cinchona succirubra) sebanyak 25 gram, kemudian dibungkus dengan kertas saring
agar serbuk simplisia tetap terkumpul dan tidak ikut terbawa keluar dari tabung pori
tempat bahan yang hendak di ekstraksi menuju tabung sifon dan mengalir ke labu alas
bulat, sehingga proses ekstraksi bisa berjalan optimal dan ekstrak yang diperoleh tidak
kotor oleh serbuk simplisia. Pelarut penyari yang dipergunakan adalah metanol
sebanyak 250 mL. Metanol digunakan sebagai pelarut penyari karena metanol
merupakan pelarut bersifat semipolar, yang terdiri dari gugus OH yang bersifat polar
dan CH3 yang bersifat nonpolar sehingga mampu masuk ke sel tanaman dan akan
terjadi pengembangan sel, dan kemudian akan terjadi disolusi komponen yang tertarik
dan difusi bahan yang diekstraksi ke luar sel. Selain itu karena alkaloid bersifat basa
yang mudah larut dalam larutan beralkohol (Depkes RI, 1995). Alat sokletasi yang

41
digunakan memiliki diameter sebesar 3,5 cm, tinggi pipa sifon yaitu 7,5 cm, dan tinggi
timbel atau ekstraktor yaitu 11,5 cm. Jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk proses
ekstraksi sebanyak 2,5 kali volume tabung berpori. Hal ini bertujuan untuk mencegah
adanya kerusakan pada labu alas bulat dengan menjaga agar pelarut masih ada dalam
labu alas bulat ketika sebagian pelarut berada dalam tabung berpori untuk
mengekstraksi simplisia. Apabila labu alas bulat yang sedang dipanaskan tidak
mengandung pelarut dapat mengakibatkan akumulasi panas dalam labu sehingga dapat
menyebabkan labu menjadi retak atau pecah. Proses sokletasi juga digunakan batu
didih yang bertujuan untuk menyerap panas berlebih saat labu didih dipanaskan, yang
mana batu didih akan menyerap panas melalui pori-porinya sehingga dapat mencegah
pecahnya labu didih (bumping) karena etanol yang terlalu panas atau mendidih. Selama
proses ekstraksi, suhu pemanasan diatur sebesar 75 oC karena metanol memiliki titik
didih yang berkisar antara 64,5 oC-65,5oC (Depkes RI, 1995).
Labu alas bundar mengandung metanol yang akan menguap ketika dipanaskan,
pelarut kemudian melewati pipa samping alat soxhlet dan mengalami pendinginan saat
melewati kondensor. Pelarut yang telah terkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian
dalam alat soxhlet yang mengandung serbuk simplisia yang telah dibungkus kertas
saring dan mengisinya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seluruh bagian
linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini
berlangsung terus menerus hingga diperoleh hasil ekstraksi yang dikehendaki.
Ekstraksi dengan metode ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya pelarut yang
digunakan lebih sedikit sehingga dapat menyaring senyawa yang terdapat dalam
simplisia lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau
perkolasi. Namun, pada metode ini tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa
yang tidak stabil terhadap pemanasan (Harborne, 1987).
Metode soxhletasi berlangsung hingga pelarut yang mengekstraksi di dalam
tabung berpori tidak berwarna lagi. Proses ekstraksi dilakukan sebanyak 12 kali
sirkulasi dengan waktu 4 jam 2 menit, diperoleh ekstrak hasil soxhletasi dengan warna
yang berbeda mulai dari coklat muda, coklat pekat, hingga hasil akhir ekstraksi
berwarna coklat muda. Volume ekstrak yang diperoleh yaitu sebanyak 221 mL. Selama
proses ekstraksi terjadi kehilangan sebanyak 29 mL, hal ini dapat disebabkan karena
adanya ekstrak yang masih menempel pada kertas saring yang digunakan untuk
menyaring ekstrak sebelum dimasukkan ke dalam gelas ukur. Ekstrak metanol cair
yang diperoleh dari hasil soxhletasi kemudian ditempatkan pada cawan porselen dan
diuapkan untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut sehingga diperoleh ekstrak kental.
5.2 Penguapan Pelarut
Ekstrak metanol cair yang diperoleh dari hasil sokletasi kemudian ditempatkan
pada cawan porselin dan diuapkan untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut sehingga
diperoleh ekstrak kental. Proses penguapan dilakukan pada oven dengan suhu 40oC.
Penguapan pelarut ekstrak dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi maupun suhu

42
yang terlalu rendah. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan
terjadinya degradasi zat aktif yang terkandung dalam suatu senyawa, sedangkan jika
suhu yang digunakan terlalu rendah, maka waktu yang dibutuhkan suatu ektrak cair
menjadi ekstrak kental cukup lama (kurang efisien). Ekstrak setelah diuapkan menjadi
berwarna coklat kemerahan dengan bobot ekstrak kental sebanyak 1,502 g. Tujuan
penguapan pelarut adalah untuk menghilangkan cairan penyari yang digunakan
sehingga pada tahap ekstraksi selanjutnya diperoleh hanya dua lapisan saja tidak ada
senyawa lain yang menggangu proses ekstraksi (Markham, 1988).
5.3 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia bertujuan untuk pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap
golongan senyawa - senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan.
Sebelum dilakukan skrining fitokimia, dilakukan pembuatan larutan ekstrak uji terlebih
dahulu. Ekstrak kental yang diperoleh ditimbang sebanyak 10 mg untuk skrining
fitokimia. Ekstrak kental tersebut kemudian dilarutkan dengan 10 mL metanol.
Metanol digunakan sebagai pelarut karena metanol merupakan pelarut yang bersifat
universal sehingga dapat melarutkan hampir semua komponen, baik yang bersifat
polar, semi polar, maupun non polar (Al-Ash’ary, 2010). Metanol dapat menarik
alkaloid, saponin, dan flavonoid dari tanaman (Thompson, 1985). Dalam skrining
fitokimia pemilihan pelarut merupakan hal yang penting karena pelarut berperan dalam
melarutkan senyawa yang kita inginkan dan apabila pemilihan pelarut sudah tepat
maka skrining fitokimia akan menunjukkan hasil yang tepat. Namun, pemilihan pelarut
yang spesifik sulit dilakukan pada skrining fitokimia. Apabila pemilihan pelarut hanya
didasarkan pada ketentuan derajat kelarutan suatu senyawa yang diteliti secara umum,
maka akan ada kemungkinan hasil yang didapat tidak sesuai dengan pustaka. Hal ini
disebabkan karena hadirnya senyawa-senyawa dari golongan lain dalam tanaman
tersebut akan berpengaruh terhadap proses kelarutan senyawa yang diinginkan
(Kristanti dkk., 2008).
Uji skrining fitokimia yang dilakukan dalam praktikum ini adalah uji kandungan
flavonoid, uji steroid dan triterpenoid, uji kandungan saponin, dan uji kandungan
alkaloid. Pada uji flavonoid, 1 mL larutan ekstrak uji ditambahkan 20 mg asam borat
dan 20 mg serbuk halus asam oksalat lalu diuapkan hingga diperoleh residu. Residu
yang didapat ditambahkan dengan 5 mL eter lalu diamati pada sinar UV 366 nm. Hasil
yang didapatkan adalah terjadinya flouresensi warna biru dan pada sinar UV 254 terjadi
pemadaman. Oleh sebab itu, dengan adanya hasil fluoresensi bewarna biru
menunjukkan bahwa larutan ekstrak yang digunakan tidak mengandung senyawa
flavonoid karena menurut Depkes RI (1989), larutan ekstrak yang positif mengandung
flavonoid akan berfluoresensi kuning intensif. Selanjutnya dilakukan uji steroid dan
terpenoid, 2 mL larutan uji diuapkan kemudian residunya ditambahkan dengan 5 mL
kloroform ditambahkan 2 mL asam asetat anhidrat kemudian ditambah 2 mL H2SO4
pekat lewat dinding. Hasil yang didapatkan adalah positif mengandung steroid dan

43
triterpenoid karena terbentuk cincin berwarna violet pada batas larutan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa larutan ekstrak uji yang digunakan tidak mengandung steroid
tetapi mengandung triterpenoid.
Uji untuk saponin dilakukan dengan mengambil, 10 mg larutan dan ditambahkan
10 mL akuades selanjutnya dimasukkan ke tabung reaksi lalu dikocok vertikal selama
10 detik dan didiamkan selama 10 detik. Pengocokan ini berfungsi untuk merangsang
terbentuknya busa jika larutan mengandung saponin. Saat didiamkan selama 10 detik,
terbentuk busa setinggi 0,5 cm pada larutan uji sehingga perlu diteteskan dengan HCl
2N. 1 tetes HCL 2N membuat busa yang tadinya ada menjadi hilang. Hasil yang
didapatkan adalah negatif, karena hasil positif mengandung saponin ditunjukkan
dengan terbentuknya buih/busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-10
cm, dan pada penambahan 1 tetes asam klorida 2 N busa tidak hilang (Depkes RI,
1989). Uji untuk alkaloid dilakukan dengan menimbang 15 mg serbuk kulit kina dan
ditambahkan 3 mL etil asetat, HCl dan air sebanyak 5 mL. Penambahan HCl berfungsi
untuk penarik senyawa alkaloid dalam ekstrak karena alkaloid dalam bentuk basa jika
ditambahkan dengan asam akan membentuk garam yang terpisah dengan komponen
lain dalam sampel (Harborne, 1987). Kemudian larutan tersebut dibagi 4, dimana akan
ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi yang berbeda pada gelas objek tetapi pada salah
satu tabung ditambahkan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Perekasi yang
digunakan untuk uji identifikasi alkaloid adalah perekasi Wagner pada gelas objek
pertama, pereaksi Mayer pada gelas objek ketiga dan pereaksi dragendroff pada gelas
objek keempat. Berdasarkan hasil pengamatan pada gelas objek pertama terdapat
endapan berwarna coklat dan gelas objek ketiga terdapat endapan berwarna kuning,
dan pada gelas objek keempat terdapat endapan berwarna jingga yang menunjukan
bahwa positif mengandung alkaloid.
Menurut Marliana dkk. (2005) hasil positif alkaloid pada uji Wagner ditandai
dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Diperkirakan endapan
tersebut adalah kalium-alkaloid. Dari hasil pengamatan, larutan ekstrak uji
mengandung endapan berwarna coklat yang menunjukkan hasil positif alkaloid dengan
pereaksi Wagner. Perkiraan reaksi yang terjadi pada uji Wagner ditunjukkan pada
gambar berikut.

Gambar 5.1 Reaksi Uji Wagner (Marliana dkk., 2005).


5.4 Ekstraksi Cair-Cair dan Penguapan Pelarut

44
Setelah dilakukan proses skrining fitokimia dan diduga bahwa ekstrak metanol
hasil sokletasi positif mengandung senyawa alkaloid, selanjutnya dilakukan proses
ekstraksi cair-cair. Ekstrak yang diperoleh dari hasil sokletasi masih mengandung
berbagai senyawa lainnya selain kinin karena pelarut yang digunakan adalah metanol.
Metanol (CH3OH) merupakan pelarut yang memiliki sisi polar dari gugus hidroksi (-
OH) dan non polar dari gugus metil (-CH3) sehingga dengan sifatnya tersebut,
memungkinkan metanol dapat menarik berbagai senyawa lainnya selain kinin, baik
yang bersifat polar maupun nonpolar. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses
pemisahan senyawa alkaloid kinin dengan senyawa lain atau pengotor, maka
dilakukan proses ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan suatu proses
pemisahan dimana dua zat atau lebih dipisahkan dengan menggunakan dua pelarut
yang tidak saling campur dan menimbulkan perpindahan zat terlarut (solute).
Pemisahan dengan metode ekstraksi cair-cair didasarkan pada rasio distribusi
(koefisien distribusi koefisien partisi) yang didasarkan pada kecenderungan zat-zat
tersebut terdistribusi kedalam dua pelarut partisi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dengan ekstraksi cair-cair, alkaloid dapat dipisahkan dari senyawa lain dan
pengotor dengan menggunakan dua pelarut yang tidak saling campur, yang mana
senyawa-senyawa dalam ekstrak akan terpisah dengan prinsip like-dissolve-like. Suatu
alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak campur dengan air,
terjadi ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat nonpolar
atau agak polar. Bila rasio distribusi (koefisien distribusi/koefisien partisinya)
cukup besar, maka pemisahan dapat dilakukan. Jika satu senyawa terlarut
mempunyai koefisien distribusi lebih besar dari satu, dan lainnya kurang dari satu,
maka ekstraksi (penyarian) sekali akan menghasilkan pemisahan hampir sempurna.
Keadaan yang menguntungkan ini hanya terjadi jika dua senyawa terlarut mempunyai
sifat kimia sangat berbeda. Jika dua senyawa terlarut serupa tetapi tidak sama
koefisien distribusinya, ekstraksi sekali hanya akan memisahkan sebagian. Jika
diinginkan pemisahan yang lebih baik, proses ini harus diulangi beberapa kali. Setelah
ekstraksi pertama, setiap fase dapat diseimbangkan lebih lanjut dengan pelarut segar
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Proses ekstraksi cair-cair dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama
merupakan tahap defatting (menghilangkan lipid dan resin) dan tahap kedua adalah
purification (pemurnian). Pada proses ekstraksi ini, ekstrak kental hasil ekstraksi
sokletasi ditimbang kemudian dibagi menjadi 2 bagian. Bagian 1 ditimbang 20 mg
untuk KLT (10 mg untuk analisis dengan KLT dan 10 mg untuk penetapan kadar)
dan sisanya yaitu bagian 2 dipisahkan dengan ekstraksi cair-cair. Bobot ekstrak yang
digunakan untuk pemisahan dengan ekstraksi cair-cair sebanyak 1404 mg, namun
dengan bobot sebanyak itu tidak bisa langsung dilakukan ekstraksi cair-cair sekaligus
karena dapa menyebabkan terjadinya kejenuhan pelarut sehingga proses pemisahan
tidak terjadi dengan baik. Oleh karena itu, dilakukan dua kali ekstraksi dengan

45
membagi dua bobot ekstrak kental tersebut, sehingga dalam sekali proses ekstraksi
cair-cair digunakan ekstrak kental sebanyak 702 mg. Pada ekstrasi cair-cair pertama,
ekstrak kental yang telah ditimbang ditambahkan dengan 20 mL asam sulfat 10%.
Penambahan asam sulfat bertujuan untuk mengubah alkaloid yang terdapat dalam
ekstrak yang berupa basa bebasnya menjadi bentuk garamnya. Hal ini dikarenakan
alkaloid yang ada di alam berada dalam bentuk basa maupun garamnya. Setelah
penambahan asam sulfat didapatkan larutan berwarna coklat keruh.
Pertama-tama dilakukan tahap defatting, ekstrak dalam asam sulfat dipartisi
dengan cara dimasukkan ke dalam corong pisah lalu ditambahkan etil asetat
sebanyak 30 mL kemudian dilakukan penggojogan. Digunakan etil asetat karena etil
asetat bersifat nonpolar dan tidak menyatu dengan fase air sehingga dapat digunakan
dalam ekstraksi cair-cair. Campuran dalam corong pisah kemudian digojog untuk
memperluas kontak antar pelarut tidak saling campur sehingga terjadi perpindahan
senyawa terlarut hingga mencapai keadaan kesetimbangannya diantara kedua pelarut.
Penggojogan dapat membantu proses distribusi analit di antara campuran pelarut.
Penggojogan dilakukan tidak boleh terlalu keras agar tidak terbentuk emulsi dari dua
fase sehingga pemisahan dua fase dapat dilakukan dengan baik. Sesekali keran pada
corong di buka untuk mengalirkan gas yang terbentuk selama proses ekstraksi.
Setelah penggojogan, corong pisah yang berisi hasil ekstraksi cair-cair didiamkan
sebentar sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair,
dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat
kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap.
Setelah dilakukan penggojogan terbentuk dua lapisan yang tidak saling
campur pada corong pisah, yaitu fase air pada lapisan bawah yang berwarna kuning
bening dan fase organik pada lapisan atas yang berwarna coklat kemerahan. Hal ini
dikarenakan bobot jenis etil asetat lebih kecil yaitu 0,894 – 0,898 g/mL (Moffat et
al., 2005) dibandingkan bobot jenis air 0,9971 g/mL (Moffat et al., 2005),
sehingga membuat etil asetat berada pada bagian atas pada corong pisah.
Selanjutnya fase air ditampung untuk dilakukan proses pemurnian. Alasan
diambilnya fase air untuk diekstraksi lebih lanjut, karena senyawa organik dan
alkaloid dalam bentuk garamnya yang bersifat polar sebagian besar akan terdistribusi
ke fase air karena garam larut dalam air, sedangkan senyawa organik nonpolar
sebagian besar akan berada dalam fase organik. Senyawa lipid dan resin akan
terdistribusi dari fase air ke fase organik sehingga tahap ini disebut sebagai tahap
deffating. Fase air dan fase etil asetat I yang diperoleh kemudian ditampung dalam
cawan porselen.
Proses kedua, dilakukan tahap pemurnian (purification) yang dilakukan untuk
mendapatkan alkaloid pada fase air yang telah terbebas dari lipid dan resin. Fase air
ditambahkan 1 mL ammonia cair yang bertujuan untuk membasakan alkaloid
yang tadinya berada dalam bentuk garamnya menjadi bentuk basa bebas. Selanjutnya

46
dipartisi dengan menggunakan etil asetat sebanyak 30 ml di dalam corong pisah,
sama seperti yang telah dipaparkan di atas. Senyawa organik yang bersifat polar
sebagian besar akan terdistribusi ke fase air, sedangkan senyawa organik nonpolar
sebagian besar akan ke fase organik. Selama proses ekstraksi, alkaloid yang telah
berada dalam bentuk basanya dapat terekstraksi ke dalam pelarut organik. Hal ini
dikarenakan alkaloid bentuk basa bebas memiliki kelarutan yang baik dalam fase
organiknya. Semua fraksi yang diperoleh ditampung dalam cawan porselen dan diisi
label.
Setelah ekstraksi cair-cair pertama selesai, selanjutnya dilakukan ekstraksi cair-
cair kedua dengan menggunakan ekstrak kental sebanyak 720 mg, yang mana
prosesnya sama seperti di atas. Ekstraksi cair-cair yang dilakukan dibagi menjadi dua
tahap, tahap pertama merupakan tahap defatting (menghilangkan lipid dan resin) dan
tahap kedua adalah purification (pemurnian). Ekstrak kental yang telah ditimbang
ditambahkan dengan 10 mL asam sulfat 10% yang dilarutkan dalam metanol, lalu
ditambahkan dengan 20 mL akuades. Penambahan asam sulfat 10% bertujuan untuk
mengubah alkaloid yang terdapat dalam ekstrak yang berupa basa bebasnya menjadi
bentuk garamnya. Sedangkan penambahan akuades bertujuan untuk memperbanyak
fase air sebagai media terlarutnya alkaloid dalam bentuk garamnya. Selanjutnya,
ekstrak dalam asam sulfat dipartisi dengan cara dimasukkan ke dalam corong pisah
lalu ditambahkan etil asetat sebanyak 30 mL kemudian dilakukan penggojogan
sama seperti proses ekstraksi cair-cair sebelumnya.
Selanjutnya terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur pada corong
pisah, yaitu fase air pada lapisan bawah yang berwarna coklat pekat dan fase organik
pada lapisan atas yang berwarna coklat kemerahan. Fase air diambil untuk
diekstraksi kembali pada ekstraksi kedua (ii) dengan penambahan etil asetat sebanyak
30 mL. Kemudian dari ekstraksi (ii) diambil fase airnya untuk diekstraksi kembali
pada ekstraksi ketiga (iii) dengan penambahan etil asetat sebanyak 30 mL. Partisi
kembali dilakukan dengan tujuan untuk memperluas bidang kontak antar pelarut
dengan menggunakan pelarut segar, sehingga dapat membantu proses distribusi solute
pada kedua fase dan meningkatkan efisiensi ekstraksi (Gandjar dan Rohman, 2007).
Partisi berulang juga bertujuan untuk mengoptimalkan hasil partisi karena dalam
ekstraksi berulang terjadi pergantian pelarut segar yang menyebabkan terjadinya
penyesuaian atau penyusunan ulang kesetimbangan sesuai koefisien partisi setiap kali
pelarut digantikan (Cairns, 2009).
Fase air yang didalamnya terdapat garam-garam alkaloid diambil untuk
dilakukan tahap pemurnian (purification) yang dilakukan untuk mendapatkan
alkaloid pada fase air yang telah terbebas dari lipid dan resin. Fase air ditambahkan
1 mL ammonia cair yang bertujuan untuk membasakan alkaloid yang tadinya
berada dalam bentuk garamnya menjadi bentuk basa bebas. Selanjutnya dipartisi
dengan menggunakan etil asetat sebanyak 30 ml di dalam corong pisah, sama

47
seperti yang telah dipaparkan di atas. Senyawa organik yang bersifat polar sebagian
besar akan terdistribusi ke fase air, sedangkan senyawa organik nonpolar sebagian
besar akan ke fase organik. Selama proses ekstraksi, alkaloid yang telah berada dalam
bentuk basanya dapat terekstraksi ke dalam pelarut organik. Hal ini dikarenakan
alkaloid bentuk basa bebas memiliki kelarutan yang baik dalam fase organiknya.
Semua fraksi yang diperoleh ditampung dalam cawan porselen dan diisi label.
Diperoleh fase air dan fase etil asetat I dan II berturut-turut yakni 40 mL, 119 mL dan
29 mL yang kemudian ditampung dan diuapkan pelarutnya dengan cara menempatkan
larutan pada cawan porselin dan diletakkan pada oven dengan suhu 41ºC. Diperoleh
bobot fraksi air, fraksi etil asetat I dan fraksi etil asetat II berturut-turut yakni 10,541
gram, 2,602 gram, dan 0,178 gram. Setelah dilakukan penguapan pelarut,
ditambahkan masing-masing dengan 2 mL metanol untuk identifikasi dengan
KLT.
Pada saat dilakukan identifikasi dengan KLT, pada fraksi etil asetat II diperoleh
adanya tanda senyawa kinin dengan menghasilkan spot yang berfluoresensi biru namun
sangat kecil dan tipis, sehingga dalam proses pemisahan dengan metode ekstraksi cair-
cair ini kemungkinan belum dapat menarik senyawa kinin dengan baik. Oleh karena
itu, dilakukan proses pemurnian ulang pada fraksi air dengan menambahkan lebih
banyak amonia cair yaitu digunakan amonia cair sebanyak 5 mL. Hal ini dilakukan
karena pada proses pemurnian sebelumnya dengan menggunakan 1 mL amonia cair
saja belum cukup untuk membebaskan atau mengubah semua alkaloid kinin ke dalam
bentuk basa bebasnya sehingga hanya sedikit yang dapat terdistribusi ke fase organik.
Selanjutnya kembali dipartisi dengan menggunakan etil asetat sebanyak 30 ml di
dalam corong pisah, sama seperti yang telah dipaparkan di atas. Fase organik yang
diperoleh dicampurkan dengan fase etil asetat II yang sebelumnya sudah diperoleh,
yang selanjutnya dilakukan identifikasi kembali dengan KLT.
5.5 KLT dan Identifikasi dengan Pereaksi Kimia
Kromatografi lapis tipis (KLT) terhadap ekstrak metanol hasil sokletasi serbuk
kulit batang kina Cinchona succirubra Cortex dilakukan untuk mengidentifikasi secara
kualitatif kandungan dari alkaloid kina yang terdapat pada ekstrak yang diperoleh dari
pemisahan dengan metode sokletasi. Identifikasi pemisahan dengan KLT secara
kualitatif dilakukan dengan membandingkan nilai Rf analit yang diperoleh dengan nilai
Rf standar. Rf (retardation factor) adalah nilai yang diperoleh dengan membandingkan
jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Nilai yang juga
diamati sebagai data kualitatif adalah HRf (hundred retartadion factor), yaitu Rf x 100
(Gandjar dan Rohman, 2016). Pemisahan dengan menggunakan teknik KLT juga dapat
dilakukan untuk optimasi fase gerak yang akan digunakan dalam pemisahan KCV,
yang mana apabila pemisahan senyawa dengan metode KLT dapat memperoleh hasil
yang baik maka hasil tersebut dapat mengindikasikan fase gerak yang digunakan dapat
memberikan hasil yang baik pada pemisahan dengan KVC.

48
Analisis KLT dilakukan dengan menggunakan fase diam berupa Al. silika gel GF
254. Fase gerak ini merupakan fase gerak yang bersifat polar karana silika memilki
gugus SiO2 yang bersifat polar (Kristianingrum dkk., 2011). Ukuran plat KLT yang
digunakan adalah 3 x 10 cm dengan batas atas adalah 1 cm dan batas bawah 1 cm
sehingg jarak pengembangan adalah 8 cm. Jumlah fraksi yang ditotolkan adalah 5,
yaitu fraksi air, fraksi etil asetat I, fraksi etil asetat II, ekstrak metanol dan standar
sehingga jarak penotolan antar spot adalah 0,6 cm. Sampel yang digunakan dilarutkan
dengan metanol, hal ini karena metanol merupakan pelarut universal sehingga
komponen-komponen yang terdapat pada fraksi dapat terlarut di dalamnya. Plat yang
digunakan dicuci dengan menggunakan metanol. Metanol merupakan pelarut
universal, sehingga kotoran yang terdapat dalam plat yang dapat mengganggu
pemisahan dapat dihilangkan. Terhadap plat yang teah dicuci dilakukan aktivasi,
aktivasi ini bertujuanuntuk menghilangkan metanol yang digunakan dalam pencucian,
sehingga tidak adanya metanol yang terikat pada sisi aktif plat yaitu SiO2 sehingga
pemisahan dapat terjadi dengan baik.
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : metanol dengan perbandingan 9 :
1 v/v. Sifat kepolaran suatu campuran pelarut dapat ditentukan berdasarkan tetapan
dielektrik dari campuran pelarut tersebut. Tetapan dielektrik kloroform adalah 4,806
dan tetapan dielektrik metanol adalah 33,68 (Stahl,1985). Perbandingan kloroform :
metanol dengan perbandingan 9 : 1 v/v memiliki tetapan dielektrik 7,69. Semakin
tinggi nilai dari tetapan dielektrik maka larutan tersebut akan semakin bersifat polar,
sehingga campuran pelarut kloroform : metanol 9:1 v/v termasuk kedalam pelarut non-
polar. Penggunaan fase diam polar dan fase gerak non polar dalam KLT merupakan
suatu sistem KLT fase normal yang umumnya digunakan untuk memisahkan senyawa
yang bersifat cenderung non polar, sehingga analit dapat terbawa oleh fase geraknya
dan terjadi pemisahan yang sesuai. Sifat analit yang diperoleh dari pemisahan ekstraksi
cair-cair adalah bersifat non-polar karena kinin berada dalam bentuk basanya setelah
ditambahkan dengan NH4OH cair (Rachmanto dkk., 2017).
Chamber yang digunakan untuk pengelusian dijenuhkan terlebih dahulu untuk
memperoleh kondisi atmosfir serta tekanan yang optimal dalam chamber (Zlatkis and
Kaiser, 1977). Kondisi optimal ini diperoleh dengan menggunakan indikator kertas
saring. Kondisi optimum dari tekanan yang terdapat dalam chamber dapat diamati
dengan diperolehnya garis lurus pada pelarut yang menaik pada kertas saring
berdasarkan gaya kapilaritas. Kondisi ini umumnya dapat diperoleh dengan
penjenuhan chamber selama 30 menit.
Pemisahan dilakukan pada analit yang ditotolkan sebanyak 6 µL untuk fraksi air,
etil asetat I, dan etil asetat II, sedangkan untuk standar kinin ditotolkan sebanyak 2 µL.
Konsentrasi analit yang terdapat dalam sampel belum diketahui sehingga parameter
kesesuaian penetolon tidak dapat dijadikan patokan, yang mana parameter ini
menjelaskan bahwa kadar sampel yang ditotolkan untuk analisis kualitatif adalah 1-20

49
µg (Gandjar dan Rohman, 2016). Pengelusian dilakukan hingga fase gerak menyentuh
batas atas plat sehingga telah terjadi jarak pengembangan sejauh 8 cm.
Pengamatan hasil pengembangan dilakukan secara fisika dan kimia. Cara fisika
adalah dengan menggunakan sinar UV 254 dan UV 366 serta cara kimia adalah dengan
menggunakan reagen kimia semprot, yang mana dalam identifikasi ini dilakukan
dengan menggunakan asam sulfat 10%. Plat yang digunakan adalah plat Al. Silika gel
GF 254. F 254 mengindikasikan bahwa plat mampu berfluoresensi pada sinar UV 254
nm (Gandjar dan Rohman, 2016).
Pengamatan dibawah UV 254 sebelum penyemprotan menunjukkan hasil plat
yang berpendar hijau dan adanya bercak-bercak padam. Bercak-bercak padam yang
dihasilkan tersebut merupakan analit yang menutupi permukaan plat sehingga tidak
terjadinya pemendaran pada bagian tersebut. Rf dan HRf terhadap pengamatan
dihitung, dan dihasilkan nilai HRf untuk fraksi air adalah spot 1 yaitu 8,75; fraksi etil
asetat I adalah spot 1 yaitu 41,25; spot 2 yaitu 45; spot 3 yaitu 76,25; fraksi etil asetat
II tidak ditemukan spot, fraksi ekstrak metanol adalah spot 1 yaitu 41,25; spot 2 yaitu
45; spot 3 yaitu 76,25; serta standar kinin adalah spot 1 yaitu 45. Hasil pada UV 366
menunjukkan penampankan kromatogram yang padam dengan spot-spot yang
berpendar. Spot-spot tersebut merupakan analit hasil pemisahan. Nilai Rf dan HRf
yang diperoleh dihitung, sehingga diperoleh nilai HRf untuk fraksi air adalah spot 1
yaitu 83,75; fraksi etil asetat I adalah spot 1 yaitu 38.75; fraksi etil asetat II adalah spot
1 yaitu 38,75; ekstrak metanol adalah spot 1 yaitu 41,25; spot 2 yaitu 1,25; spot 3 yaitu
88,75; dan standar kinin adalah spot 1 yaitu 30 serta spot 2 yaitu 42,5.
Reagen kimia asam sulfat 10% yang diguanakn dapat bereaksi dengan alkaloid
kinin membentuk kinin sulfat. Senyawa yang terbentuk akan memberikan fluoresensi
biru pada pengamatan di panjang gelombang 336 nm (Stahl, 1985). Deteksi terhadap
hasil penyemprotan diamati pada panjang gelombang 254 nm untuk melihat spot yang
memberikan pemadaman. Hasil pengamatan menunjukkan nilai HRf diantaranya pada
fraksi etil asetat I yaitu spot 1 dengan 37,5; fraksi etil asetat II dengan spot 1 yaitu 37,5;
ekstrak metanol dengan spot 1 yaitu 41,25; dan standar dengan spot 1 yaitu 32,5; dan
spot 2 yaitu 42,5. UV 366 menunjukkan fluoresensi biru yang mengindikasikan hasil
positif adanya senyawa alkaloid, dengan nilai HRf diantaranya pada fraksi air tidak
ditemukan spot; fraksi etil asetat I dengan spot 1 yaitu 36,25; fraksi etil asetat II dengan
spot 1 36,25; ekstrak metanol dengan spot 1 yaitu 41,25; dan standar dengan spot 1
yaitu 32,5 serta spot 2 yaitu 42,5.
Data nilai HRf yang diperoleh dari hasil pengamatan dibawah sinar UV 254
sebelum penyemprotan menunjukkan bahwa kinin tidak terdeteksi pada fraksi air dan
fraksi etil asetat II karena tidak ditemukannya nilai HRf yang mendekati standar,
sedangkan fraksi etil asetat I spot 1 dan fraksi ekstrak metanol awal pada spot 2
terdeteksi adanya senyawa kinin karena nilai HRf mendekati kinin. Pengamatan pada
UV 366 sebelum penyemprotan menunjukkan hasil spot 1 pada fraksi etil asetat I dan

50
II serta fraksi metanol awal terdeteksi kinin karena nilai HRf mendekati standar, namun
tidak terdeteksinya kinin pada fraksi air.
Pengamatan hasil setelah dilakukan penyemprotan dengan menggunakan
pereaksi semprot menunjukkan data yang lebih spesifik. Pengamatan pada UV 254
menunjukkan hasil terdeteksinya senyawa kinin pada fraksi etil asetat II spot 1 karena
nilai HRf yang mendekat mendekati HRf standar. Pengamatan pada UV 366 pada spot
yang sama, menunjukkan adanya senyawa kinin dengan nilai HRf yang mendekati
standar. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai HRf setelah penyemprotan
digunakan sebagai acuan karena penyemprotan yang dilakukan bertujuan untuk
memperjelas hasil pengamatan.
5.6 Kromatografi Vakum Cair
Setelah mendapatkan hasil identifikasi senyawa alkaloid kini dengan
kromatografi lapis tipis dengan pereaksi kimia yang hasilnya positif mengandung
alkaloid kinin, maka dilanjutkan dengan kromatografi vakum cair. Pemisahan
kromatografi vakum cair berfungsi untuk memisahkan komponen senyawa alkaloid
yang terkandung di dalam fraksi etil asetat. Fraksi etil asetat yang sebelumnya sudah
diuapkan digunakan sebanyak 0,267 gram yang ditimbang terlebih dahulu agar
diketahui bobotnya, sehingga dapat diketahui jumlah serbuk silika gel yang digunakan
(bobot ekstrak sama dengan bobot silika gel yang digunakan). Penambahan 10 tetes
campuran pelarut kloroform:metanol (9:1) v/v pada ekstrak bertujuan untuk
melarutkan ekstrak kental fraksi etil asetat.
Metode ini dapat memisahkan suatu komponen kimia dengan bantuan tekanan
yang berasal dari pompa vakum, sehingga pemisahan senyawa dapat lebih optimal dan
lebih cepat. Instrumen kromatografi vakum cair terdiri atas kolom berbentuk corong
G-3, penyangga karet, kertas saring, selang penghisap yang dihubungkan dengan
pompa vakum, dan tabung gelas sebagai wadah penampung hasil elusi. Lebar dan
tinggi kolom dapat mempengaruhi hasil pemisahan yang diperoleh, dimana makin
lebar kolom yang digunakan maka pemisahan yang terjadi akan lebih merata pada
setiap silika gel yang berada di dalam kolom tersebut. Tinggi kolom akan
mempengaruhi lamanya waktu tambat dan laju elusi senyawa yang akan dipisahkan
pada silika gel. Kolom G-3 dialasi satu lapis kertas saring yang berfungsi untuk
mencegah silika gel keluar dari kolom. Apabila silika gel sudah berada di dalam kolom,
kolom diketuk-ketuk hingga permukaan silika gel rata, hal ini bertujuan untuk
memampatkan dan mengurangi adanya rongga udara pada kolom, sehingga pemisahan
menjadi optimal.
Bagian atas kolom diletakkan kertas saring kemudian setelah itu diletakkan
ekstrak fraksi etil asetat. Kertas saring yang menjadi batas antara silika gel dengan
ekstrak berfungsi untuk mencegah bercampurnya ekstrak yang akan dipisahkan dengan
silika gel. Kemudian pada bagian atas ekstrak diletakkan kertas saring juga yang
berfungsi untuk memperluas kontak antara eluen (fase gerak) saat dituangkan dengan

51
ekstrak yang akan dielusi. Penggunaan eluen berupa campuran kloroform:metanol
secara bergradien dari 9:1 v/v, 8:2 v/v, 7:3 v/v, 6:4 v/v, hingga 5:5 v/v atau dari yang
bersifat paling non-polar hingga yang paling polar bertujuan untuk dapat mengetahui
pada tingkat kepolaran berapa senyawa atau komponen kimia sampel dapat
membentuk fraksi yang baik atau terelusi dengan baik, sehingga dapat diketahui tingkat
kepolaran dari senyawa yang terkandung di dalam fraksi etil asetat tersebut. Apabila
senyawa yang terdapat di dalam fraksi etil asetat tersebut memiliki polaritas yang
mendekati atau mirip dengan polaritas dari eluen yang digunakan, maka senyawa
tersebut akan terbawa oleh eluen.
Alkaloid kinin merupakan senyawa yang bersifat non polar, sehingga dapat
diharapkan senyawa alkaloid kinin akan terbawa pada campuran eluen yang bersifat
cenderung non polar. Adapun hasil pemisahan kromatografi vakum cair yang dapat
diamati warna dari masing-masing fraksi eluen bergradien yaitu fraksi kloroform :
metanol (9:1 v/v) berwarna bening, fraksi kloroform : metanol (8:2 v/v) berwarna
bening, fraksi kloroform : metanol (7:3 v/v) berwarna bening, fraksi kloroform :
metanol (6:4 v/v) berwarna agak kuning bening, dan fraksi kloroform : metanol (5:5
v/v) berwarna agak coklat bening). Fraksi hasil pemisahan ditampung di dalam botol
coklat (botol bermulut besar) bertujuan agar pelarut dapat menguap dengan sempurna
dan menghasilkan cairan kental yang lebih murni untuk pemisahan selanjutnya.
5.7 KLT Hasil Fraksinasi
Setelah dilakukan pemurnian dengan kromatografi vakum cair, maka fraksi-
fraksi yang dihasilkan diidentifikasi lebih lanjut dengan metode kromatografi lapis tipis
(KLT). Tujuan dilakukannya metode KLT adalah untuk mengidentifikasi ada tidaknya
alkaloid kinin dalam hasil fraksinasi kromatografi vakum cair. Prinsip dari
Kromatografi Lapis Tipis berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi molekul analit
yang diperngaruhi oleh afinitas, adsorpsi dan partisi senyawa-senyawa yang sedang
dianalisis terhadap dua fase yaitu fase diam dan fase gerak (Gandjar dan Rohman,
2016).
Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan menggunakan fase diam dan
fase gerak. Pada praktikum digunakan fase diam yang digunakan dalam identifikasi
alkaloid ini adalah plat KLT Al Silika Gel GF254, sedangkan fase gerak yang digunakan
adalah adalah CHCl3 : MeOH (9:1 v/v). Berdasarkan sifat dari fase diam yang polar
dan fase gerak yang non polar maka sistem KLT yang digunakan adalah sistem KLT
fase normal (Gandjar dan Rohman, 2012). Semua fraksi hasil kromatografi vakum cair
diuapkan pada suhu 400C untuk mendapatkan ekstrak kental. Kemudian fraksi yang
telah diuapkan, dilarutkan kembali dengan menambahkan beberapa tetes metanol dan
larutan dibuat sepekat mungkin. Penambahan metanol ini bertujuan untuk menarik
kembali alkaloid kinin yang akan diidentifikasi pada fraksi.
Identifikasi alkaloid kinin dengan metode KLT dan pereaksi semprot diawali
dengan penyiapan plat KLT dengan ukuran 4,2 x 5 cm dengan batas bawah 1 cm dan

52
batas atas 1 cm. dilakukan pencucian pada plat dengan metanol, yang bertujuan untuk
menghilangkan pengotor-pengotor atau matriks yang tidak diinginkan, karena dapat
mengganggu proses pemisahan. Setelah pencucian plat, dilakukan aktivasi plat dengan
cara menguapkan pelarut sisa hasil pencucian pada plat selama 10 menit pada suhu
oven 110ºC dengan tujuan menghilangkan sisa pelarut pada saat pencucian, karena
pelarut jika tidak dihilangkan akan bereaksi dengan gugus polar padaplat sehingga
tidak dapat memperoleh pemisahan yang baik. Sebelum dilakukan penotolan,
dilakukan penjenuhan chamber terlebih dahulu dengan menggunakan fase gerak.
Tujuan penjenuhan chamber adalah untuk menyamakan kondisi yang ada di dalam
chamber, dengan demikian akan meminimalkan penguapan pelarut dari lempeng KLT
selama pengembangan. Tepi bagian bawah lempeng yang tipis yang akan ditotoli
sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih 1 cm. Tinggi fase gerak dalam
bejana harus di bawah lempeng yang telah berisi totolan sampel. Chamber harus
tertutup rapat dan dalam penjenuhan digunakan indikator kertas saring. Jika fase grak
telah mencapai ujung atas kertas saring, maka dapat dikatan bahwa fase gerak telah
jenuh. Teknik pengembangan yang dilakukan pada praktikum ini adalag
pengembangan menaik (ascending) (Gandjar dan Rohman, 2012).
Fraksi yang ditotolkan pada plat tersebut adalah fraksi CHCl3 : MeOH (9:1; 8:2;
7:3; 6:4; dan 5:5 v/v), dan standar kinin, dengan jarak antar masing-masing totolan
sebesar 0,6 cm. Jarak penotolan merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan karena
apabila jarak penotolan terlalu dekat dapat menyebabkan hasil pemisahan terlihat
bergabung sehingga akan susah dalam pengamatan bercak. Pemisahan pada KLT yang
optimal akan diperoleh jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil-kecilnya
dan sesempit mungkin karena apabila sampel yang ditotolkan terlalu banyak maka akan
menurunkan resolusi. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak
yang menyebar dan puncak ganda (Gandjar dan Rohman, 2012). Penotolan fraksi pada
praktikum kali ini menggunakan pipet 2µ dengan jumlah totolan sebanyak 6µ. Plat
KLT yang telah ditotolkan dengan sampel kemudian dielusi dalam chamber yang telah
dijenuhkan. Pada proses ini akan terjadi interaksi antara sampel dengan fase diam dan
fase gerak.
Plat KLT yang telah dielusi kemudian diangin-anginkan untuk menguapkan
pelarut yang masih terdapat pada plat. Bercak hasil pemisahan dengan KLT selanjutnya
dideteksi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV). Deteksi dengan siniar UV ini
merupakan cara fisika yang digunakan untuk menampakan bercak (Gandjar dan
Rohman, 2016). Deteksi bercak dilakukan pada panjang gelombang 254 nm dan 366
nm. Pada pengamatan dibawah sinar UV 254 nm sebelum disemprot dengan H2SO4
10%, spot mengalami pemadaman bercak dan plat berfluoresensi berwarna biru
intensif.
Pengamatan pada plat KLT di bawah lampu UV 254 mengalami pemadaman
bercak, sehingga hanya diperoleh satu spot yaitu pada fraksi 9:1, fraksi 8:2, dan fraksi

53
7:3 dengan nilai Rf dan hRf fraksi 9:1 yaitu 0,775 dan 77,5. Rf dan hRf fraksi 8:2 yaitu
0,775 dan hRf 77,5. Rf dan hRf fraksi 7:3 yaitu 0,8 dan 80. Sedangkan pengamatan
pada plat KLT di bawah lampu UV366 nm menghasilkan beberapa spot yang
berfluoresensi pada setiap fraksi yang ditotolkan, yaitu pada standar kinin diperoleh
satu spot dengan nilai Rf dan hRf yaitu 0,225 dan 22,5. Pada fraksi 9:1, diperoleh
sebanyak dua spot dengan nilai Rf dan hRf pada masing-masing spot, pada spot 1 yaitu
0,55 dan 55; dan pada spot 2 yaitu 0,7625 dan 76,25. Pada fraksi 8:2 diperoleh tiga spot
dengan nilai Rf dan hRf yaitu 0,2375 dan 23,75 ; dan pada spot 2 yaitu 0,5375 dan hRf
53,75 ; dan pada spot 3 yaitu Rf 0,8125 dan hRf 81,25 . Pada fraksi 7:3 juga diperoleh
tiga spot dengan nilai Rf dan hRf yaitu 0,225 dan 22,5 ; dan pada spot 2 yaitu 0,55 dan
hRf 55 ; dan pada spot 3 yaitu Rf 0,8125 dan hRf 81,25. Sedangkan pada fraksi 6:4
diperoleh satu spot, dengan Rf dan hRf yaitu 0,325 dan 32,5.
Selain dilakukan pengamatan langsung pada UV 254 dan 366 nm, identifikasi
bercak juga dilakukan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi kimia melalui
cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Deteksi bercak menggunakan
pereaksi merupakan salah satu cara kimia dalam identifikasi bercak. Deteksi dengan
pereaksi kimia tujuannya untuk menampakkan spot agar menjadi lebih jelas dan
memvisualisasikan berbagai senyawa yang berbeda struktur molekulnya (Gandjar dan
Rohman, 2016). Pereaksi yang digunakan adalah H2SO4 10%. Plat KLT disemprot
dengan H2SO4 10% kemudian diamati kembali di bawah sinar UV 254 dan 366 nm.
Diperoleh sebanyak satu spot dari hasil fraksinasi dan identifikasi standar kinin
pada UV 254 nm setelah disemprot dengan H2SO4 10%,dengan nilai Rf dan hRf yaitu
0,20625 dan 20,625. Diperoleh sebanyak satu spot juga pada fraksi 9:1, fraksi 7:3,
fraksi 6:4, dan fraksi 5:5 dengan masing-masing memiliki nilai Rf dan hRf berturut-
turut fraksi 9:1 0,30 dan 30; fraksi 7:3 0,2875 dan 28,75; fraksi 6:4 0,325 dan 32,5 ;
dan fraksi 5:5 0,24375 dan 24,375. Diperoleh sebanyak dua spot dari hasil fraksinasi
dan identifikasi fraksi CHCl3 : MeOH (8:2) v/v pada UV 254 nm setelah disemprot
dengan H2SO4 10%, spot 1 dengan nilai Rf dan hRf 0,25 dan 25; spot 2 dengan nilai
Rf dan hRf 0,3625 dan 36,25. Pada pengamatan UV 366 nm setelah disemprot dengan
H2SO4 10% , diperoleh sebanyak satu spot dari standar kinin, dengan Rf dan hRf 0,225
dan 22,5. Pada fraksi 9:1 terdapat 3 spot, dengan memiliki masing-masing nilai Rf dan
hRf berturut-turut pada spot 1 0,3125 dan 31,25; spot 2 0,575 dan 57,5; spot 3 0,7875
dan 78,75. Pada fraksi 8:2 terdapat 5 spot, dengan memiliki masing-masing nilai Rf
dan hRf berturut-turut pada spot 1 0,2625 dan 26,25; spot 2 0,3625 dan 36,25; spot 3
0,425 dan 42,5; spot 4 0,6 dan 60; spot 5 0,8125 dan 81,25. Pada fraksi 7:3 terdapat 3
spot, dengan memiliki masing-masing nilai Rf dan hRf berturut-turut pada spot 1
0,26875 dan 26,875; spot 2 0,6 dan 60; spot 3 0,8375 dan 83,75. Pada fraksi 6:4 terdapat
3 spot, dengan memiliki masing-masing nilai Rf dan hRf berturut-turut pada spot 1
0,15 dan 15; spot 2 0,225 dan 22,5; spot 3 0,3375 dan 33,75. Sedangkan fraksi 5:5,
terdapat satu spot, dengan nilai Rf dan hRf yaitu 0,275 dan 27,5. Pada pengamatan

54
dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm setelah disemprot dengan H2SO4 10%, spot
menjadi berwarna biru yang lebih intensif dan plat tidak berfluoresensi. Hal ini sesuai
dengan pustaka yang ada dimana disebutkan bahwa alkaloid kinin apabila bereaksi
dengan H2SO4 akan memberikan fluoresensi biru intensif (Eagleson, 1993).
Berdasarkan proses identifikasi tersebut maka bercak-bercak yang dihasilkan
kemudian dihitung nilai Rf-nya, diperoleh pada fraksi CHCl3 : MeOH (8:2) v/v
teridentifikasi adanya kinin yang ditunjukkan dengan adanya fluoresensi biru intensif
pada UV 366 nm.
5.8 KLT Subfraksi Hasil KLT Preparatif
Identifikasi alkaloid kinin hasil pemisahan KLT preparatif dengan metode KLT
dan pereaksi semprot H2SO4 10% dilakukan untuk memastikan bahwa fraksi hasil
pemisahan KLT preparatif mengandung senyawa yang diinginkan yaitu alkaloid kinin.
Alkaloid kinin apabila dideteksi di bawah sinar UV 366nm memberikan fluoresensi
berwarna biru (Moffat et al., 2005).
Identifikasi alkaloid kinin diawali dengan penyiapan plat KLT Al Silika Gel
GF254 dengan ukuran 4,2 x 10 cm dengan batas atas 1 cm dan batas bawah 1 cm dengan
jarak antar totolan 0,6 cm. Jarak penotolan bertujuan supaya masing-masing totolan
sampel tidak saling berikatan satu sama lain maka dari itu diameter penotolan sekecil
mungkin. Sampel yang ditotolkan pada plat KLT adalah 5 subfraksi hasil KLT
preparatif dan standar kinin. Standar kinin digunakan untuk mengetahui profil
subfraksi yang dipisahkan dengan metode KLT dengan melihat nilai Rf dan warna
yang dihasilkan dan kemudian dibandingkan dengan profil standar kinin dan fraksi-
fraksi yang lain ditotolkan untuk mengetahui ketertinggalan senyawa kinin dalam
setiap metode apakah sudah terpisah dengan baik atau tidak.
Sebelum dilakukan penotolan plat dicuci terlebih dahulu dengan metanol untuk
menghilangkan pengotor yang ada pada plat, kemudian plat diaktivasi pada suhu 110oC
selama 10 menit. Aktivasi plat bertujuan untuk menguapkan metanol yang digunakan
saat pencucian, serta menjaga kelembaban dari plat dan bertujuan untuk mengaktifkan
sisi aktif dari silika gel. Silika gel memiliki gugus OH yang bersifat polar. Gugus yang
polar ini pada lingkungan yang lembab sangat mudah mengikat air. Adanya molekul-
molekul air dapat menyebabkan plat terdeaktifasi dan dapat mempengaruhi kinerja plat
sehingga molekul-molekul air harus dihilangkan terlebih dahulu. Hilangnya molekul-
molekul air dapat mengaktifkan sisi aktif plat (silanol) dan menjaga kelembaban dari
plat (Gandjar dan Rohman, 2007). Setelah tahap aktivasi barulah dilakukan penotolan
semua larutan pada plat. Plat yang telah ditotolkan selanjutnya di elusi pada chamber
yang telah dijenuhkan dengan fase gerak kloroform: metanol (9:1) v/v. Tujuan
penjenuhan chamber adalah untuk memperoleh homogenitas atmosferik dalam bejana,
dengan demikian akan meminimalkan penguapan pelarut dari lempeng KLT selama
pengembangan (Gandjar dan Rohman, 2012). Prinsip KLT didasarkan atas perbedaan
afinitas analit antara fase diam dan fase gerak. Analit yang memiliki afinitas yang besar

55
terhadap fase diam akan cenderung tertambat lebih kuat pada fase diam (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Plat KLT selanjutnya dianalisis pada sinar UV 254 dan 366 nm. Pada sinar UV
254 nm, bercak tampak berwarna gelap karena yang berfluoresensi pada sinar UV 254
nm adalah plat KLT karena pada plat tersebut mengandung bahan yang dapat
berfluoresensi pada UV254. Dalam hal ini, standar kinin dan subfraksi I, II, III, IV dan
V hasil KLTP menunjukkan adanya pemadaman bercak. Pada UV 366 nm, bercak yang
dihasilkan pada standar kinin dan subfraksi I, II, III, IV dan V hasil KLTP
menunjukkan fluoresensi berwarna biru. Hal tersebut terjadi karena senyawa kinin
mampu berfluoresensi memberikan warna biru pada UV366 (Moffat et al., 2005).
Kinin mampu berfluoresensi karena memiliki struktur yang kaku dan kromofornya
yang diperpanjang (Gandjar dan Rohman, 2012). Sistem rangkap terkonjugasi
memiliki struktur yang planar dan kaku sehingga akan mampu menyerap secara kuat
di daerah 200-800 nm pada radiasi elektromagnetik (Gandjar dan Rohman, 2007).
Identifikasi bercak yang dihasilkan dilanjutkan dengan menggunakan pereaksi
semprot H2SO4 10%. Pengamatan bercak pada sinar UV 254 nm setelah disemprot
dengan H2SO4 10% standar kinin dan subfraksi I menunjukkan adanya pemadaman
bercak. Sedangkan pada UV366 nm setelah penyemprotan H2SO4 10% menunjukkan
standar kinin dan subfraksi I, II, IV, dan VI berfluoresensi biru.
Subfraksi I diduga mengandung kinin karena menghasilkan nilai Rf yang sama
yakni pada spot I (Rf= 2,75) dengan spot standar (Rf= 0,2938) pada pengamatan stelah
penyemprotan dengan H2SO4 10% pada UV 366 nm serta menghasilkan fluoresensi
biru.
5.9 Identifikasi Dengan KLT-Spekrofotodensitometri
Penetapan kadar kinin dalam ekstrak kulit batang kina dilakukan dengan metode
KLT-Spektrofotodensitometri. Ekstrak yang digunakan sebagai sampel yang
ditotolkan pada plat KLT yakni fraksinasi hasil KLT preparatif dimana yang
seharusnya ditotolkan adalah ekstrak metanol kulit batang kina, dikarenakan ektrak
metanol yang sebelumnya sudah habis digunakan. Terdapat 5 seri standar kinin (4µL,
8µL, 12 µL, 16 µL, dan 20 µL), fraksi hasil KLTP, dan ekstrak metanol (ekstrak
kelompok 3) pada plat yang berukuran 10cm x 10cm. Larutan standar kinin yang
ditotolkan memiliki kadar 5000ng/ µL yang ditotolan sesuai dengan seri, ekstrak
metanol dan fraksi hasil KLTP ditotolkan masing-masing sebanyak 6 µL dan diulangi
sebanyak 1 kali.
Kinin memiliki pajang gelombang maksimum 250nm, 317nm, dan 346nm pada
suasana asam dan panjang gelombang maksimum 280nm dan 330nm pada suasana
basa (Moffat et al., 2005). Pengukuran dengan spektrofotodensitometer dilakukan
pada panjang gelombang maksimum kinin dalam suasana basa yaitu 330nm
dikarenakan fraksi hasil KLTP berasal dari fraksi Etil asetat II hasil ekstraksi cair-cair
yang mana pada ekstrak etil asetat II kini berada pada suasana basa. Hasil yang

56
diperoleh dari analisis menggunakan KLT-spektrofotodensitometer adalah AUC, Rf,
dan spektrum. Berikut ini merupakan spektrum dari larutan sampel (ekstrak metanol
dan fraksi hasil KLTP) dan standar kinin.

Gambar 5.2 Spektrum dari hasil pengamatan dengan Spektrofotodensitometri.


Berdasarkan gambar spektrum tersebut terlihat bahwa spekrtum larutan standar
(merah muda) dengan spektrum fraksi hasil KLTP (warna hijau) lebih mirip
diabnfingakan dengan Spektrum ekstrak metanol (warna biru). Hal tersebut
dikarenakan jumlah pengotor pada fraksi hasil KLTP lebih sedikit dibandingkan
dengan pengotor dalam ekstrak metanol. Dengan demikian, proses isolasi yang
dilakukan telah mampu memisahkan senyawa alkaloid kinin dengan baik atau dapat
dikatakan isolat alkaloid kinin memiliki kemurnian yang cukup baik.
Dari data Rf yang diperoleh kemudian ditentukan spot yang mengandung kinin
dengan melihat spot yang memiliki Rf yang mendekati dengan nilai Rf satndar kinin
yaitu 0,3. Dari spot tersebut dapat diperoleh nilai AUC, yang berbanding lurus dengan
konsentrasi larutan standar kinin yang ditotolkan pada plat KLT. Hubungan antara
konsentrasi dengan AUC merupakan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi ini selanjutnya
akan digunakan untuk mengukur kadar senyawa kinin pada ekstrak metanol. Kurva
kalibrasi yang diperoleh adalah sebagai berikut: Berdasarkan data kadar AUC seri
standar, diperoleh kurva kalibrasi sebagai berikut:

Kurva Kalibrasi Larutan Seri


50000
40000
y = 0,664x + 15052
30000
AUC

20000
10000
0
9.600 ng 19.200 ng 38.400 ng
Konsentrasi

Gambar 5.3 Kurva Kalibrasi Larutan Seri Standar Kinin.


Berdasarkan Kurva kalibrasi tersebut diperoleh persamaan regresi Y= 0,664x +
15052 dan koefisien korelasi (r) = 0,99946 yang menunjukan data yang diperoleh
cukup linier. Perhitungan penetapan kadar kinin dalam ekstrak metanol dan fraksi hasil
KLTP dilakukan dengan single point calibration, karena apabila menggunakan
multiple point calibration akan memperoleh nilai negatif. Dari perhitungan dengan

57
menggunakan persamaan regresi diperoleh kadar kinin rata-rata dalam ekstrak metanol
sebesar 2357,55 ng/µL dan kadar kinin rata-rata dalam fraksi hasil KLTP sebesar 74,01
ng/ μL. Penetapan kadar total kinin dalam ekstrak metanol dan fraksi hasil KLTP
berturut- urut adalah sebesar 1631,045 mg dan 82,40 x 10-3 mg. Kadar kinin dalam
fraksi hasil KLTP lebih sedikit dibandingkan dengan ekstrak metanol karena fraksi
hasil KLTP dikerok dari plat KLT preparatif yang ditotolkan hanya beberapa mikro
sehingga konsentrasi kinin dalam fraksi hasil KLTP lebih sedikit dibandingkan dengan
crude ekstrak metanol yang merupakan hasil langsung dari pemisahan dengan
kromatografi kolom lambat (kelompok 3).

58
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Ekstraksi sokletasi serbuk kulit batang kina (Cinchona succirubra) dilakukan
dengan menggunakan pelarut metanol sabanyak 250 mL pada suhu 75 °C hingga
diperoleh larutan yang jernih pada saat sirkulasi.
6.2 Prinsip ekstraksi sokletasi adalah penyaringan yang berulang-ulang sehingga hasil
yang diperoleh sempurna dan pelarut yang digunakan sedikit
6.3 Ekstrak metanol kulit batang kina postif mengandung senyawa triterpenoid dan
alkaloid.
6.4 Identifikasi senyawa alkaloid pada skrining fitokimia dilakukan dengan pereaksi
wagner, mayer, dan dragendroff, ketiga pereaksi tersebut menunjukkan hasil positif
adanya kandungan alkaloid.
6.5 Prinsip isolasi alkaloid dengan metode ekstraksi cair-cair yakni alkaloid yang
terkandung dalam ekstrak terlebih dahulu ditambahkan asam sulfat untuk
mengubah alkaloid ke dalam bentuk garamnya sehingga akan terlarut ke dalam fase
air selanjutnya fase air ditambahkan ammonia cair sehingga alkaloid akan kembali
ke dalam bentuk basanya dan terlarut dalam fase anorganik yaitu etil asetat.
6.6 Ekstraksi cair-cair dilakukan dengan melarutkan ekstrak yang diperoleh dengan
metanol selanjutnya ditambahkan 20 mL asam sulfat encer dan dan 30 mL etil
asetat lalu campuran tersebut digojog pada corong pisah. Fase air diambil dan
ditambahkan dengan 1 mL ammonia cair dan 30 mL etil asetat. Campuran tersebut
digojog kembali dan diambil fase etil asetatnya.
6.7 Penguapan pelarut etil asetat dilakukan pada oven dengan suhu 40 °C.
6.8 Prinsip pemisahan alkaloid dengan KLT adalah interaksi antara alkaloid dengan
dua fase yang terdapat pada KLT yakni fase diam yang berupa silika gel dengan
fase gerak yang digunakan dimana pemisahannya didasarkan atas afinitas alkaloid
terhadap kedua fase tersebut.
6.9 Reagen kimia asam sulfat 10% yang diguanakn dapat bereaksi dengan alkaloid
kinin membentuk kinin sulfat. Senyawa yang terbentuk akan memberikan
fluoresensi biru pada pengamatan di panjang gelombang 336 nm
6.10 Fraksinasi alkaloid kinin dengan kromatografi vakum cair dilakukan dengan
menggunakan 5 gradien eluen yakni perbandingan etil asetat dengan metanol (9:1;
8:2; 7:3; 6:4 dan 5:5) v/v
6.11 Identifikasi hasil fraksinasi KVC dengan KLT dan pereaksi semprot dilakukan
dengan fase diam berupa silika gel GF 254 serta fase gerak berupa campuran
kloroform : metanol (9:1) v/v. Pengamatan di bawah sinar UV 366 nm setelah
disemprot dengan pereaksi semprot asam sulfat memberikan fluoresensi berwarna
biru.

59
6.12 KLTP dilakukan pada plat KLT dengan totolan berupa pita dengan fase gerak
kloroform : metanol (9:1) v/v, hasil elusi yang memberikan fluoresensi biru pada
UV 366 nm selanjutnya dikerok dan diekstraksi dengan menggunakan metanol.
6. 13 Penetapan kadar kinin dengan KLT spektrofotodensitometri menghasilkan kadar
total kinin dalam ekstrak metanol dan fraksi hasil KLTP berturut- urut adalah
sebesar 1631,045 mg dan 82,40 x 10-3 mg

60
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ash’ary, M.N., F.M.T. Supriyanti, dan Zackiyah. 2010. Penentuan Pelarut Terbaik
dalam Mengekstraksi Senyawa Bioaktif dari Kulit Batang
Artocarpusheterophyllus. Jurnal Sains dn Teknologi Kimia. 1(2): 150-158.

Anam, C., T.W. Agustini, dan Romadhon. 2014. Pengaruh Pelarut yang Berbeda pada
Ekstraksi Spirulina platensis Serbuk sebagai Antioksidan dengan Metode
Soxhletasi. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3(4): 106 –
112.

Cairns, D. 2009. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ciulei, J. 1984. Methodology for Analysis of Vegetable and Drugs. Bucharest: Faculty
of Pharmacy.

Depkes RI. 1980. Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia

Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indoensia.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia

Ditjen POM. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik


Indonesia.

Djamal, R. 1988. Tumbuhan sebagai Sumber Bahan Obat. Sumatera Barat: Universitas
Negeri Andalas.

Eagleson, M. 1993. Concise Encyclopedia Chemistry. New York: Walter de Gruyter.

Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2012. Analisis Obat secara Spektrofotometri dan


Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gandjar, I.G. dan A. Rohman. 2016. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Grinberg, N. 1990. Modern Thin-Layer Chromatography. New York: Maeker Dekker


Inc. P: 427.

Gritter, R. J., J. M. Bobbit, dan A. E. Scwartung. 1991. Pengantar Kromatografi. Ed.


2, terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Hadiprabowo, W. 2009. Optimasi Sintesis Analog Kurkumin 1,3-Bis(4-Hidroksi-3-


Metoksi Benzilidin) Urea pada Rentang pH 3-4. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

61
Haji, A.T.S., R. Wirasoedarmo, M.W. Tyas. 2017. Analisis Nomografi Suhu, Laju
Penguapan, dan Tekanan Udara untuk Perancangan Alat Destilasi Tenaga Surya
dengan Pengaturan Vakum. Jurnal Universitas Brawijaya. 4(2)

Harborne, J.B. 1984. Phitochemical Method. London: Chapman and Hall

Harborne, J.B. 1987. Metode Kimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Bandung: Penerbit ITB.

Harborne, J.B.. 1987. Metode Fitokimia Tumbuh-tumbuhan. Bandung: ITB.

Jones, W.P. dan A.D. Kinghorn. 2006. Extraction of Plant Secondary Metabolites.
New Jersey: Humana Press.

Kristanti, A. N., N. S. Aminah, M. Tanjung, B. Kurniadi, 2008. Buku Ajar Fitokimia.


Surabaya: Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas
Airlangga.

Kristanti, A. N., Nanik, S. A., Mulyod, T. Bambang K. 2008. Buku Ajar Fitokimia.
Surabaya : Airlangga

Kristianingrum, S., E. D. Siswani dan A. Dilaeli. 2011. Pengaruh Jenis Asam pada
Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse dan Uji Sifat Adsorptifnya terhadap Ion
Logam Tembaga (II). Prosiding Seminar Kimia. 1(1):281-292.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB.

Marliana, D.S., S. Venty, dan Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis
Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule
Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. Jurnal Biofarmasi. 3(1): 29.

Mathius, N.T., Reflini, N. Haris, J. Santoso, dan P. Roswiem. 2004. Kultur Akar
Rambut Cinchona ledgeriana dan Cinchona succirubra dalam Kultur in Vitro.
Menara Perkebunan. Vol 72(2): 72-87.

Moffat, A. C., M. D. Osselton and B. Widdop. 2011. Clarke’s Analysis of Drug and
Poisons in Pharmaceuticals, Body Fluids and Postmortem Material. Fourth
Edition. London: Pharmaceutical Press.

Moffat, C. A., M. D. Osselton, and B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs and
Poisons, In Pharmaceuticals, Body Fluids, and Postmortem Material. 3rd
Edition. London: Pharmaceutical Press.

Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.


Jurnal Kesehatan 7(2) : 361-367.

Nasution, R.A. 2010. Isolasi Senyawa Triterpenoid atau Steroid. Sumatera Utara:
Universitas Sumater Utara.

Prasetyo, A. W.. 2015. Ekstraksi Oleoresin Jahe (Zingiber officinale Rose) dengan
Metode Ekstraksi Sokletasi. Jurnal Indonesia. 1 (2) : 1-9.

Rachmanto, S., S. Wardatun dan M. Miranti. 2017. Isolasi dan Penentuan Akivitas
Antioksidan Alkaloid Total Daun Pepaya (Carica papaya L.). E-Journal
Universitas Pakuan. 1(1):1-7.

Ramdja, A.F., R.M.A. Aulia, P. Mulya. 2009. Ekstraksi Kurkumin dari Temulawak
Dengan Menggunakan Etanol. Jurnal Teknik Kimia. 16 (3): 52-58

62
Redha, A. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya dalam Sistem
Biologis. Jurnal Belian. 9(2): 196-202.

Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung: ITB.

Simaremare, E.S. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal (Laportea
decumana (Roxb.) Wedd). PHARMACY. 11(1): 97-108.

Siregar, A.F., A.Sabdono, D. Pringgenies. 2012. Potensi Antibakteri Ekstrak Rumput


Laut Terhadap Bakteri Penyakit Kulit Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus epidermidis, dan Micrococcus. Journal Of Marine
Research.1(2):152-160.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB.

Sub Bidang Jaringan Informasi Puslitbang Biomedis dan Farmasi.. 2007. Tanaman
Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RI.
http://www.litbang.com/tanaman obat asli masyarakat bangsa dan Negara
RI.html. 1 Desember 2018.

Sugijanto, Prihatin dan N. E. Sugijanto. 2010. Analisis Pestisida Karbaril dengan


Metode KLT-Densitometri dalam Matriks Kedelai dan Validasi Metodenya.
Berk. Penel. Hayati. 15: 165-169.

Syaikhul, A., K.R. Wirasutisna, Elfahmi, dan Sukrasno. 2012. Identifikasi Senyawa
Non-Alkaloid dari Kulit Batang Kina (Cinchona officinalis L.). Jurnal Bahan
Alam Indonesia. Vol 8 (3): 12-16.

Thompson, E.B. 1985. Drug Bioscreening. America: Graceway Publishing Company.


Inc. Pp. 40, 118.

Tobo, F. 2011. Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia. Makassar: Universitas


Hasanudin.

Wibisana, A, 2010, Difusi Teknologi Ekstraksi Kinin dan Sinkonin dari Produk
Samping lndustri Kina dan Sintesis Turunannya. Balai Pengkajian Bioteknologi,
Tangerang.

Winarno, E. K. 2006. Produksi Alkaloid oleh Mikroba Endofit yang Diisiolasi dari
Batang Kina Chincona ledgeriana Moens dan Cinchona pubescens Vahl
(Rubiaceae). Jurnal Kimia Indonesia. 1(2): 59-66.

Winefordner, J.D.. 2003. Sample Preparation Techniques in Analytical Chemistry


Volume 162. United State of America: John Wiley & Sons, Inc..

Zlatkis, A. and R. E. Kaiser. 1977. HPTLC High Performance Thin-Layer


Chromatography. New York: Elsevier Scientific Publishing Company.

63
LAMPIRAN

Gambar 1. Serbuk simplisia kulit Gambar 2. Proses ekstraksi


batang kina dengan metode soxhletasi

Gambar 3. Ekstrak yang Gambar 4. Penguapan pelarut


diperoleh dari proses soxhletasi pada oven dengan suhu 40oC

Gambar 5. Ekstrak kental yang Gambar 6. Hasil pengamatan UV


diperoleh setelah diuapkan 366 nm pada uji flavonoid

Gambar 7. Hasil pengamatan Gambar 8. Hasil pengamatan


pada uji steroid dan terpenoid pada uji saponin

64
Gambar 9. Hasil pengamatan Gambar 10. Proses pemisahan
pada uji alkaloid dengan metode ekstraksi cair-cair

Gambar 11. Tahap penggojogan Gambar 12. Hasil pemisahan


pada ekstraksi cair-cair dengan ekstraksi cair-cair

Gambar 13. Penimbangan sampel Gambar 14. Proses elusi plat KLT
pada timbangan analitik dengan fase gerak

Gambar 15. Hasil pengamatan Gambar 16. Hasil pengamatan


dibawah UV 254 nm sebelum dibawah UV 366 nm sebelum
penyemprotan H2SO4 10% penyemprotan H2SO4 10%

65
Gambar 17. Hasil pengamatan Gambar 18. Hasil pengamatan
dibawah UV 254 nm setelah dibawah UV 366 nm setelah
penyemprotan H2SO4 10% penyemprotan H2SO4 10%

Gambar 20. Hasil pengamatan


Gambar 19. Hasil fraksinasi pada dibawah UV 366 nm setelah
kromatografi vakum cair penyemprotan H2SO4 10% pada
hasil fraksinasi KVC

Gambar 21. Hasil pengamatan Gambar 22. Hasil pengamatan


dibawah UV 366 nm pada KLT dibawah UV 254 nm pada KLT
preparatif preparatif

Gambar 23. Hasil ekstraksi pada Gambar 24. Elusi pada KLT
KLT preparatif spektrofotodensitometri

66

Anda mungkin juga menyukai